DOSEN PENGAMPU
Dosen Pengampu:
Ari Widiarti SH,MH
DISUSUN OLEH
Dosen Pengampu:
Ari Widiarti SH.M.H
1. HABL MASHALDI (2015020730)
2. NADHIF RAFI FIRDAUSS ( 2015020574 )
3. AGOES DWI SAPUTRA (2015020852)
4.OPERLIANUS GULO ( 2015020600 )
5 KHARISMAWATI (2015020659)
Di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang
mendasarinya. Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus
menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das
sollen (keinginan, keharusan dan cita). Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam ari
bahwa dalam kenyataannya baik produk normative maupun implementasi-penegakannya
hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini
dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris. Ketiga,
politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang dapat
dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan
atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”.
Di dalam buku Politik Hukum Di Indonesia karangan Mahfud M.D dikonstruksikan secara
akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik
determinan (menentukan) atas hukum”. Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang
sebagai dependent variable (variable terpengaruh), politik diletakkan sebagai independent
variable (variabel berpengaruh).
Pilihan atas asumsi dalam buku ini bahwa produk hukum merupakan produk politik,
mengantarkan pada penentuan hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan
karakter produk hukum tertentu pula. Dalam buku ini membagi variable bebas (konfigurasi
politik) dan variable terpengaruh (konfigurasi produk hukum) kedalam kedua ujung yang
dikotomis. Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang
otoriter (non-demok rtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum yang berkarakter
responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau
menindas.
Diatas telah dijelaskan bahwa konfigurasi politik tertentu melahirkan produk tertentu juga.
Didalam buku politik hukum Mahfud ini dijelaskan masa periodesasi dalam perkembangan
hukum dengan produk hukumnya.
Karena instabilitas politik dan pemerintahan yang ditimbulkannya maka sistem politik liberal
harus berakhir dengan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan Demokrasi
Terpimpin yang menurut Soekarno lebih “berwarna” Indonesia. Menurut Demokrasi
Terpimpin, konsepsi Demokrasi Liberal tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia,
karenanya harus ditinggalkan. Yang tterjadi dalam Demokrasi Terpimpin adalah tidak adanya
Demokra si, karena yang ditonjolkannya adalah terpimpinnya, sehingga konfigurasi politik
yang tampak adalah konfigurasi otoriter. Kekuasaan pemerintah yang berpusat di Istana
presiden sangat kuat, sedangkan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah. Kewenangan DPR
s ering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Peperpu untuk akhirnya
parlemen hasil pemilu ini dibubarkan dengan sebuah Penpres. Kehidpan pers ditekan
sedemikian rupa dengan pembredelan, sensor dan pemenjaraan. Pada era ini ada tiga
kekasaan politik yang saling torak tarik dan saling memanfaatkan, yaitu, Presiden Soekarno,
Angkatan Darat dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada ditangan Soekarno.
Konfigurasi politik otoriter pada era demokrasi terpimpin b erakhir pada tahun 1966 ketika
Orde Baru yang berintikan Angkatan Darat tampil sebagai pemeran utama dan membentuk
rezim baru. Tampilnya ABRI diberi jalan oleh peristiwa G 30 S/PKI yang menyebabkan PKI
dibubarkan setelah keluarnya Supersemar dari Presiden Soekarno dan Soekarno sendiri tak
dapat mempertahankan sendiri jabatannya. Pada awalnya Orde Baru memulai langkah
politiknya dengan langgam “agak” demokratis-liberal, namun langgam tersebut hanya tampil
sementara, yakni selama pemerintah berusaha membentuk format baru politik Indonesia.
Setelah format baru tersebut terbantuk melalui UU No. 15 dan UU No. 16 Tahun1969 serta
hasil pemilu 1971, maka langgam sistem politik mulai bergeser lagi kearah otoritarian.
Logika pembangunan ekonomi didukung “stabilitas nasional” (sebagai prasyaratya) telah
membawa orde baru menjadikan dirinya Negara kuat yang mampu melaksanakan program
pembangunannya. Dipandang dari sudut demokrasi politik, maka berdasarkan standar
konvensional yang manapun konfigurasi politik orde baru, bukanlah konfigurasi politik yang
demokratis karena lebih menonjolkan otoritariannya. Tetapi dipandang dari segi upayanya
untuk membangun ekonomi masyarakat dapat dikatakan berhasil. Ciri otoritarian pada
konfigurasi politik Orde baru terlihat pada: Pertama, sistem kepartaian yang hegemonic, tidak
kompetitif karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik asional adalah partai
yang didukung dan mendukung yang kuat oleh pemerintah, yaitu Golkar. Pada saat yang
sama terjadi emaskulasi terhadap parpol selain Golkar. Kedua, peranan eksekutif sangat
dominan ditandai dengan tindakan-tindakan intervensionis dan pembentukan jaringan-
jaringan korporatis serta dominannya eksektif dalam pembentukan produk hukum. Ketiga,
kebebasan pers yang relative terbatas. Dengan demikian kkonfigurasi politik orde baru yang
lebih menonjolkan otoritariannya dikualifikasikan sebagai konfigurasi politik otoriter.
Pasca Soeharto, Indonesia mengalami perubahan yang sangat luas dan dalam bidang politik.
Demokrasi dan demokratisasi melanda lembaga Negara yang selama ini tidak tersentuh.
Instansi militer yang biasanya begitu kuat dan hegemonistik sekarang mengalami proses
demokratisasi, seperti kebutuhan Negara modernakan pengelolaan bidang pertahanan secara
lebih me madai. Potensi masyarakat sipil juga menguat, sekalipun mengalami keterbatasan
akibat factor-faktor internal.parat-partai berkembang, bahkan dalam tingkatan partai politik
local. Berbagai departemen dan kementrian Negara dimasuki oleh kalangan partai-partai
politik, sekalipun dengan kepastian yang belum memadai.
Kini masyarakat memiliki kebebasan luas, mulai dari aksi-aksi demonstrasi, sampai protes
atas kebijakan public yang dirasakan merugikan kepentingan warega Negara. Namun dalam
sisi yang negative, jug a muncul konflik persoalan antar warga, terutama karena bangkitnya
politik etnis dan politik identitas. Konflik juga tumbuh dalam partai-partai politik, termasuk
adanya hak recall pimpinan partai politik atas anggota-anggotanya diparlemen.
Uraian diatas t elah menunjukkan bahwa situasi poliitik tertentu dapat melahirkan hukum
dengan karakter tertentu pula, secara teoritis, dikotomis sistem politik demokratis akan
melahirkan hukum yang responsif, sedangkan sistem politik yang otoriter akan melahirkan
produk hukum yang konvensional/ortodoks.
Kita senantiasa ingin melihat lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif tanpa
mengorbankan persatuan dan kesatuan serta kebutuhan ekonomi kita. Karena hukum
responsif hanya lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, untuk melahirkan hukum-
hukum yang responsif itu diperlihatkan dalam demokratisasi didalam kehidupan politik.
Alasan-alasan untuk melakukan demikratisasi ini sudah cukup: kesadaran politik masyarakat
sudah membaik, kehidupan ekonomi masyarakat dan trend pertumbuhannya sudah memadai.
Dengan modal-modal seperti, model demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas nasional,
apalagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Indonesia ada lah suatu bangsa dan Negara yang secara politis resmi merdeka 17 Agustus
1945. Soekarno dan Soeharto yang bagaimanapun dianggap bapak bangsa namun berlaku
tirani pada masa pemerintahannya, Soekarno pernah dinyatakan sebagai presiden seumur
hidup, sehingga berkuasa sampai dua puluh satu tahun. Sedangkan Soeharto merekayasa
pemilihan umum sebanyak tujuh kali sehingga berkuasa selama tiga puluh dua tahun
berturut-turut.
Ketiranian ini bukan berangkat dari Pancasila, karena falsafah ini sudah berusaha
menyeimbangkan sila-silanya, namun sebenarnya berasal dari UUD 1945 yang membesarkan
peran eksekutif ketimbang legislative, dan lembaga tinggi lain, itulah sebabnya pada era
reformasi UUD 1945 ini kemudian diamandemen.
Mengapa para pendiri Republik ini membesarkan peran eksekutif, adalah karena bermaksud
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah-tengah kebhinekaan suku, pulau, agama,
adat istiadat, budaya dan berbagai bahasa etnis kedaerahan yang ada di Indonesia.
Pada decade terakhir kita mengalami integrasi bagi persatuan dan kesatuan bangsa, saying
tidak dimengerti oleh bangsa lain, bagaimana tidak kalau dalam integrasi orang Papua dan
Aceh harus merasa memiliki Indones ia, bukan dimiliki Indonesia, sehingga dengan
demikian, hak dan kewajibannya sama. Tentu saja pendekatannya mutlak harus
kesejahteraan.
Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara
politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa
hukum harus mampu mengendalikan
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu
menekankan pada aspek the legal sistem tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut
dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah
sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan d ari penguasa, di sisi
lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari
peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta
terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.
Memahami kenyataan itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick kemudian mencoba
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan
menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk
bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur
pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum
sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja
merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-
tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Dan menyebut
tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan
(hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model
perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk
pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya
pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.
Hukum respons if berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar
hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam
p eraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan
ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan
tidak fleksibel.
Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyar akat, yaitu:
hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi
tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum
otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuh an dan aspirasi
sosial (hukum responsif). Untuk mengidentifikasi lebih lanjut digambarkan sebagai berikut:
Hukum RepresifHukum OtonomHukum ResponsifTujuan hukumKetertiban
LegitimasiKompetensiLegitimasiKetahanan sosial dan tujuan negaraKeadilan
proseduralKeadilan substantifPeraturanKeras dan rinci, namun berlaku lemah terhadap
pembuatan hukumLuas dan rinci, mengikat penguasa maupun yang dikuasaiSubordinat dari
prinsip dan kebijakanPertimbanganAd hoc, memudahkan mencapai tujuan dan bersifat
partikulerSangat melekat pada otoritas legal, rentan terhadap formalisme dan
legalismePurposif (berorientasi pada tujuan), perluasan kompetensi kognitifDiskresiSangat
luas, oportunistikDibatasi oleh peraturan, delegasi yang sempitLuas, tetapi tetap sesuai
dengan tujuan PaksaanEkstensif, dibatasi secara lemahDikontrol oleh batasanbatasan
hukumPencarian positif bagi
berbagai alternatif, spt.
insentif, sistem kewajiban yang mampu
bertahanMoralitasMoralitas komunal,moralitas hukum, moralitas pembatasanMoralitas
kelebbagian,yaitu dipenuhi dengan integritas proses hukumMoralitas sipil, moralitas
kerjasamaPolitikHukum subordinat terhadap politik kekuasaanHukum ”independen”dari
politik, pemisahankekuasaanTerintegrasinya aspirasi hukum dan politik, keberpaduan
kekuasaanHarapan akan
ketaatan Tanpa syarat, ketidaktaatanpers dihukum sebagai pembangkangPenyimpangan
peraturan yang dibenarkan, mis:
untuk. Menguji UU atauperintahPembangkangan dilihat dlm aspek bahaya
substantif, dipandang sbg gugatan legitimasiPartisipasiPasif, kritik dipandang sbg
ketidaksetiaanAkses dibatasi prosedur baku, munculnya kritik atas hukumAkses diperbesar
denganintegrasi advokasi hukum dan sosial
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar
hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat
yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka
menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi
yang baku dan tidak fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya
bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan
sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem
hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet.
Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum
yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum
yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara
mencapai tujuan.
Sistem hukum nasional pada dasarnya tidak hanya terdiri dari kaidahkaidah atau norma-
norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan organisasi,
mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum
pemerintah dan masyarakat. Dan, pembangunan Sistem Hukum Nasional sesungguhnya
diarahkan untuk menggantikan hukum-hukum kolonial Belanda disamping menciptakan
bidang-bidang hukum baru yang lebih sesuai sebagai dasar Bangsa Indonesia untuk
membangun.
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa
memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam
proses penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang
kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni
mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi
individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari
keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak
dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya.
Nonet dan Selznick pada dasarnya tidak memposisikan ketiga model perkembangan hukum
(developmental model) dalam satu garis hierarkis. Artinya, tidak ada klaim bahwa tahapan
hukum responsif adalah tahapan yang paling cocok, paling dapat menyesuaikan diri, a tau
paling stabil dibandingkan dengan tahapan hukum otonom atau hukum represif. Setiap pola
menuntut adanya proses adaptasi. Bahkan, menurut mereka, model pada tahapan ketiga
kurang stabil dibandingkan dengan tahapan kedua dan pertama. Nonet & Selznick ju ga
menyatakan, "We want toargue that repressive, autonomous, and responsive law are not only
distinct types of law but, in some sense, stages of evolution in the relation of law to the
political and social order.".
Satjipto Raharjo tidak memberi uraian tent ang potensi-potensi kelemahan ini tatkala ia
menyodorkan tipe responsif sebagai karakter pemikiran hukum progresifnya. Sebagai contoh,
patut diperdebatkan: benarkah tahapan hukum otoriter yang menurut kajian Moh. Mahfud
M.D. telah menandai politik hukum p ada era Orde Baru itu61 dan baru saja kita lewati
masanya tersebut sungguh-sungguh telah siap untuk digiring saat ini langsung menuju ke
tahap hukum responsif? Dengan perkataan lain, tidakkah kita membutuhkan adaptasi terlebih
dulu pada tahapan hukum otonom sebelum dapat melangkah ke tahapan hukum responsif?
Dan, bukankah pemikiran hukum progresif didesain sebagai teori hukum pada masa transisi?