Anda di halaman 1dari 15

RESUME BUKU POLITIK HUKUM DI INDONESIA

Karya MAHFUD MD S.H

DOSEN PENGAMPU
Dosen Pengampu:
Ari Widiarti SH,MH
DISUSUN OLEH
Dosen Pengampu:
Ari Widiarti SH.M.H
1. HABL MASHALDI (2015020730)
2. NADHIF RAFI FIRDAUSS ( 2015020574 )
3. AGOES DWI SAPUTRA (2015020852)
4.OPERLIANUS GULO ( 2015020600 )
5 KHARISMAWATI (2015020659)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS PAMULANG
2015 / 2016
Jl.Surya Kencana No.1 Pamulang-Tangerang Selatan
Telepon:(021)7412566
PENDAHULUAN
Politikdeterminan atas hukum. Corak politik pada suatu rezim pemerintahan tertentu akan
sangat mempengaruhi karakter/produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah rezim
tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya
akan berkarakter responsif/populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya
otoriter, maka produk hukumnya akan berkarakter ortodoks/konservatif/elitis. Itulah inti atau
substansi dari isi buku yang berjudul “Politik Hukum di Indonesia” karya Prof. Dr. Moh.
Mahfud. MD, S. ini.
Dalam konteks hukum itu dipahami sebagai UU kiranya bukan sesuatu yang berlebihan jika
dikatakan bahwa “hukum adalah produk politik” karena sebenarnya lahirnya sebuah UU
berasal dari lembaga politik (DPR) dimana pasal-pasal yang tertuang di dalamnya merupakan
kompromi atau kesepakatan-kesepakan diantara kekuatan- kekuatan politik parpol yang
mempunyai kursi di parlemen.
Dalam buku ini Prof. Mahfud membedakan secara diametral corak atau konfigurasi politik
menjadi dua kutub yang berbeda yaitu konfigurasi politik demokratis yang diartikan sebagai
susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi masyarakat
secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Sementara konfigurasi
politik yang kedua adalah konfigurasi politik otoriter diartikan sebagai susunan sistem politik
yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh
inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara.
Pembagian konfigurasi politik kedalam corak demokratis dan otoriter tersebut kemuadian
berimplikasi terhadap karakter produk hukum yang dihasilkannya. Pada konfigurasi politik
demokratis, karakter produk hukumnya adalah responsif/populistik yang diartikan sebagai
produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam
proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok
sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap
tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Sementara konfigurasi
politik otoriter akan melahirkan produk hukum konservatif/ortodoks/elitis yaitu produk
hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan
pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan
program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam
pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami bagaimana pengaruh politik dalam
interaksinya dengan hukum sehingga konfigurasi politik tertentu akan menghasilkan karakter
hukum tertentu pula, Prof. Mahfud mengambil sampel tiga produk undang-undang yaitu
Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Keagrariaan untuk kemudian dianalisis dan dibandingkan bagaimana ketiga UU tersebut
dihasilkan oleh tiga fase konfigurasi politik yang berbeda yaitu pada masa demokrasi liberal,
demokrasi terpimpin dan masa orde baru.
Untuk memahami apakan konfigurasi politik itu demokratis atau otoriter, buku setebal ix +
381 halaman ini, indikator yang dipakai adalah bekerjanya tiga pilar demokrasi. Yaitu
peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pers, dan peranan eksekutif. Pada
konfigurasi politik demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan
menentukan hukum negara atau politik nasional. Kehidupan pers relatif bebas, sedangkan
peranan lembaga eksekutif (pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan
rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Pada konfigurasi
politik otoriter yang terjadi adalah sebaliknya.
Hal terpenting yang bisa dicatat pada periode demokrasi liberal adalah adanya perubahan
sistem ketatanegaraan yang tidak melalui amandemen terhadap UUD. Perubahan dimaksud
adalah beralih fungsinya KNIP yang semula sebagai pembantu Presiden, dikarenakan
desakan beberapa pihak yang menuntut segera dibentuknya MPR dimana sebelum MPR
terbentuk agar KNIP diberikan fungsi dan kewenangan yang sama dengan MPR. Oleh karena
itu berdasarkan Maklumat Presiden No. X tahun 1945 fungsi legislatif dialihkan kepada
KNIP dan dibentuk BP-KNIP.
Pada periode ini lahir Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang pada pokonya berisi
harapan pemerintah agar aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk parpolnya
sebelum dilangsungkan pemilu pada bulan Januari 1946. Maklumat inilah yang menjadi dasar
sistem banyak partai atau pluralisme. Tidak ada yang membantah bahwa pada masa ini
Indonesia benar-benar menerapkan konfigurasi politik yang sangat demokratis karena selain
partai politik diberikan kebebasan untuk berkembang, kebebasan pers pun memperoleh
pengakuan dari pemerintah. Saking demokratisnya pada era ini kekuatan eksekutif begitu
lemah sehingga menyebabkan jatuh bangunnya kabinet dan terjadi instabilitas politik. Orang
banyak menyebut kondisi ini sebagai demokrasi yang liberal.
Pada masa demokrasi liberal ini lahir UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU ini dapat
diidentifikasi sebagai UU yang sangat responsif. UU tersebut dapat mengatur secara sangat
rinci sistem pemilu (electoral laws) dan pokok-pokok proses pemilunya (electoral processes),
sehingga tidak memberi ruang yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menafsirkan sendiri
dengan peraturan perundang-undangan delegatif.
Dibidang Pemerintahan Daerah, pemerintah berhasil mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945
yang masih sangat sederhana karena hanya berisi 6 pasal. UU ini menganut dualisme
pemerintahan di daerah karena mendudukkan kepala daerah sebagai organ daerah otonom
sekaligus alat pusat di daerah. Atas kelemahan ini kemudian diadakan penyempurnaan
dengan menerbitkan UU No. 22 tahun 1948. Namun begitu UU inipun belum menghapus
sifat dualisme dari UU sebelumnya dan bahkan UU ini tidak dapat diberlakukan diseluruh
Indonesia karena pergulatan melawan penjajahan Belanda.
UU No. 1 tahun 1957 kemudian tampil sebagai pengganti atas UU No. 22 tahun 1948
tersebut. UU ini sudah lebih responsif dari dua UU sebelumnya yang mengatur hal yang
sama. Watak responsif atau populistik tersebut dari sudut materi dapat dilihat dari adanya
muatan tentang keleluasaan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri di bawah asas
otonomi yang seluas-luasnya, penekanan DPRD sebagai pelaksana medebewind, serta
mikanisme penentuan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat meskipun sebelum
adanya UU pemilihan, kepala daerah dipilih oleh DPR. Menurut UU No 1 tahun 1957, kepala
daerah bukan alat pusat dan kedudukannya tidak tergantung pada pusat. Disini tampak bahwa
unsur sentralistik sangat diminimalkan.
Ada dua hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal keagrariaan yang sangat responsif
yaitu mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara parsial dan menyiapkan rancangan
UU agrarian nasional yang baru. Dalam hal penyiapan rancangan undang-undang agrarian
tersebut Presiden membentuk sebuah panitia di Yogyakarta melalui Penpres No. 16 tahun
1948 dan menghasilkan beberapa saran kepada DPR diantaranya adalah penghapusan
dualisme, pemberian tanah kepada petani, pengembalian tanah perkebunan kepada negara,
penghapusan perkebunan swasta yang berstatus hak milik, pembebasan orang desa dari beban
warisan feodalisme, pengaturan pembelian hasil panen yang dapat melindungi petani kecil
dan koordinasi pengairan oleh negara. Ketika ibukota Indonesia berpindah kembali ke
Jakarta, pemerintah dengan Kepres No. 36 tahun 1951 melakukan pembaharuan terhadap
kepanitiaan agraria nasional ini dengan tetap diketuai oleh ketua panitia yang sama dengan di
Yogyakarta yaitu Sarimin Reksodihardjo. Inilah conto corak/karakter tiga produk hukum
yang ada pada masa demokrasi liberal yang kesemuanya bersifat demokratis sesuai dengan
konfigurasi politiknya pada saat itu yang juga demokratis.
Pada periode kedua yaitu demokrasi terpimpin, berlandaskan pada adanya instabilitas
pemerintahan pada periode sebelumnya yaitu demokrasi liberal, akhirnya Presiden
mengeluarkan Dekrit Tanggal 5 Juli 1959 yang pada pokoknya membubarkan konstituante
yang dianggap gagal melaksanakan tugasnya “ membentuk UUD” dan memberlakukan
kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Inilah era baru yang dinamakan
demokrasi terpimpin oleh Soekarno.
Seiring dengan adanya Dekrit Presiden tersebut kemudian politik liberal demokratis yang
diterapkan sebelumnya kemudian mengalami perubahan kearah politik yang otoriter. Hal ini
mengundang banyak kritikan dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Moeljarto
Tjokrowinoto yang mengatakan bahwa demokrasi terpimpin ternyata lebih menekankan pada
aspek “terpimpin” nya sehingga menjurus kepada disguised autocracy.
Tidak terselenggara pemilu pada periode ini sehingga UU yang mengatur tentang Pemilu juga
secara otomatis tidak dilahirkan. UU pemerintahan daerahpun mengalami revisi yang
sebelumnya diatur dengan UU No. 1 tahun 1957 diganti dengan Penpres No. 6 tahun 1959
yang intinya menggariskan kebijakan politik untuk mengembalikan dan memperkuat
kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat yang kemudian diganti lagi dengan
UU No. 18 tahun 1965 yang juga bersifat sentralistik.
Berbeda dengan dua corak karakter hukum pemilu dan pemerintahan daerah di atas, produk
hukum di bidang agraria yang dihasilkan pada masa ini berhasil mengeluarkan UU No. 5
tahun 1960 yang substansi isinya sangat aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berakhirnya masa demokrasi terpimpin kemudian digantikan dengan rezim orde baru. Belajar
dari pengalaman orde sebelumnya (orde lama), orde baru di bawah kepemimpinan Presiden
Soeharto menitik beratkan program pemerintahannya terhadap pembangunan dan pemulihan
ekonomi yang pada jaman orde lama kurang mendapat perhatian sehingga sejarah mencatat
inflasi ekonomi Indonesia pernah mencapai angka 600%.
Prioritas kebijakan yang menitik tekankan pada pertumbuhan ekonomi ini menuntut adanya
stabilitas politik, pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat. Jalan yang ditempuh untuk
mensukseskan obsesi Soeharto yang didukung penuh oleh kekuatan Angkatan Darat (AD) itu
kemudian mengambil cara membatasi pluralisme parpol yang dijaman Soekarno dianggap
menjadi penyebab terjadinya instabilitas politik.
Pada era ini pilar-pilar demokrasi tidak bisa berjalan secara baik dan efektif. Parpol dan
parlemen berada pada posisi yang tidak berdaya bahkan hanya menjadi alat legitimatimasi
bagi kebijakan-kebijan pemerintah, eksekutif sangat powerful karena bisa mengontrol semua
kebijakan negara sesuai dengan apa yang dikehendakinya serta kebebasan pers terpasung dan
dikebiri dengan diberlakukannya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dimana kebijakan
ini terbukti sangat ampuh dijadikan sebagai amunisi oleh pemerintah untuk membungkap
kebebasan dan independensi pers. Jika ada pers yang terlalu vokal mengkritik pemerintah dan
dianggap mengganggu proses pembangunan maka pers yang bersangkutan akan dibredel
dengan cara dicabut SIUPP nya.
Memang pada awal-awal pemerintahannya, orde baru sempat menampilkan politik yang agak
liberal demokratis dengan memberikan ruang kepada pers dan parpol untuk melakukan
koreksi atau kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun kebijakan ini hanya
untuk sementara dan merupakan strategi awal pemerintah orde baru sampai ditetapkannya
format politik baru yang terbukti kemudian sangat otoriter.
Konfigurasi politik otoriter yang ditampilkan oleh kekuasaan orde baru kemudian paralel
dengan produk hukum yang dihasilkannya yaitu karakter hukum yang
konservatif/ortodoks/elitis. UU pemilu yang lahir pada masa orde baru ini adalah UU No. 15
tahun 1969 yang hanya memuat 37 pasal. Sangat singkatnya pasal-pasal yang ada dalam UU
ini membuat pemerintah sesuai dengan keinginan politiknya bisa menginterpretasikan
semaunya sendiri ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis. Di lain pihak UU ini
memungkin adanya pengangkatan sebagian dari anggota MPR dan DPR dari ABRI yang
tentu saja orang-orang yang diangkat oleh pemerintahpun adalah mereka yang mendukung
visi dan kebijakan eksekutif.
Khusus mengenai agraria hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam periode ini
disbandingkan dengan periode sebelumnya. UUPA yang sudah ada sejak masa demokrasi
terpimpin tetap diberlakukan dan tidak diganti. Sehingga praktis dalam bidang keagrariaan
walaupun watak politik orde baru adalah otoriter namun pengaturannya demokratis.
Hal menarik lainnya dari buku ini adalah pengungkapannya tentang karakter produk hukum
bidang keagrariaan yang dirancang pada masa demokrasi liberal dan berlaku dalam 2 variasi
konfigurasi politik yang berbeda yaitu periode demokrasi terpimpin dan orde baru tetapi tidak
mengalami perubahan dan tetap konsisten berkarakter responsif/demokratis. Padahal jika
mengacu pada asumsi dasar buku ini bahwa karakter produk hukum selalu mengikuti dan
menyesuaikan dengan konfigurasi politik yang sedang ditampilkan oleh penguasa pada saat
itu, harusnya UU agraria pada masa demokrasi terpimpin dan di era orde baru bercorak
ortodoks/elitis/otoriter, namun tidak demikian degan UUPA. Penyimpangan atau
pengecualian ini menurut Prof. Mahfud dapat dijelaskan dalam 4 hal, yakni: Pertama, UUPA
disahkan berdasarkan rancangan yang telah disiapkan oleh periode sebelumnya. Kedua,
UUPA membongkar dasar-dasar kolonialisme yang ditentang oleh semua pemerintah
Indonesia tanpa tergantung pada konfigurasi politiknya. Ketiga, UUPA memuat materi yang
tidak menyangkut hubungan kekuasaan. Keempat, UUPA tidak semata-mata memuat bidang
Hukum Administrasi Negara, tetapi juga memuat bidang hukum keperdataan.
Buku ini memberikan perspektif yang berbeda kepada kita terhadap apa yang selama ini kita
yakini bahwa hukum itu bersifat otonom dan tidak terpengaruh oleh sistem atau tatanan sosial
kemasyarakatan. Namun membaca buku ini seakan kita menemukan sebuah cakrawala baru
yang lebih luas bahwa hukum yang notabene diproses dan dihasilkan oleh lembaga politik
yaitu parlemen sulit untuk tidak dikatakan tidak tercemar oleh kepentingan politik praktis
parpol bahkan secara ektrem bisa dikatakan bahwa hukum (undang-undang) merupakan
kristalisasi dari kepentingan-kepentingan sebuah rezim kekuasaan.
Yang menjadi kekurangan dari buku ini adalah beberapa bagian pembahasannya terutama
menyangkut Judicial Review beberapa hal sudah tidak lagi kontekstual untuk saat ini karena
mikanisme judicial review telah diatur dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga yaitu di
dalam pasal 24 ayat (2) dan di dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Hal ini bisa dimaklumi karena sebenarnya buku ini telah terbit pertama kali pada bulan
September tahun 1998 sebelum UUD 1945 diamandemen dan mengadopsi keberadaan MK
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu tugasnya adalah melakukan
judicial review.
Kekurangan yang kedua adalah dari segi penulisan yang masih banyak salah dalam
pengetikannya, misalnya, kata rnelalui yang seharusnya melalui (hlm 347 baris ke 33) serta
letak catatan kaki (foot note) ada yang salah letak halamannya sehingga terpisah dari teksnya.
Catatan kaki nomor 194 yang seharusnya berada di halaman 273 tetapi berada di halaman
274.
Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat sebagai karya yang tidak hanya mengupas
hukum dari sisi yuridis normatif belaka, tetapi berusaha menguak tabir apa sesungguhnya
yang melatarbelakangi sebuah peraturan hukum (UU) itu dihasilkan sehingga hal ini bisa
membantu kita untuk memahami esensi hukum itu yang sesungguhnya jauh lebih kompleks
dari sekedar persoalan rumusan norma dalam pasal-pasal.

Next >n Hubungan politik dengan hukum

Di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang
mendasarinya. Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus
menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das
sollen (keinginan, keharusan dan cita). Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam ari
bahwa dalam kenyataannya baik produk normative maupun implementasi-penegakannya
hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini
dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris. Ketiga,
politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang dapat
dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan
atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”.

Di dalam buku Politik Hukum Di Indonesia karangan Mahfud M.D dikonstruksikan secara
akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik
determinan (menentukan) atas hukum”. Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang
sebagai dependent variable (variable terpengaruh), politik diletakkan sebagai independent
variable (variabel berpengaruh).

Pilihan atas asumsi dalam buku ini bahwa produk hukum merupakan produk politik,
mengantarkan pada penentuan hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan
karakter produk hukum tertentu pula. Dalam buku ini membagi variable bebas (konfigurasi
politik) dan variable terpengaruh (konfigurasi produk hukum) kedalam kedua ujung yang
dikotomis. Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang
otoriter (non-demok rtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum yang berkarakter
responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau
menindas.

Konsep demokratis atau otoriter (non-demokratis) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator,


yaitu sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif dan kebebasan pers.
Sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan pada proses
pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.
Pengertian konseptual yang dipakai dalam buku ini yaitu :

a.Konfigurasi Politik Demokratis adalaah konfigurasi yang membuka peluang bagi


berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan Negara.
Dengan demikian pemerintah lebih merupakan “komite” yang harus melaksanakan kehendak
masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan parpol
berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam membuat kebijakkan, sedangkan
pers dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa takut ancaman pemberedelan.

b.Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan posisi ppemerintaah


yang saangat dominan dalaam penentuan dan pelaksanaan kebijakan Negara, sehingga
potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Dan
juga badan perwakilan dan parpol tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat
justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak mempunyai
kebebasan dan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah dan berada dalam bayang-
bayang pemeredelan.

c.Produk Hukum Responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan


pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun kelompok social didalam
masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan didalam masyarakat. Proses
pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi
masyarakat, dan lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi
kehendak masyarakat.

d.Produk Hukum Konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya


mencerminkan visi poli tik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak
melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Dan biasanya
bersifat formalitas dan produk hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau
menjadi alat bagi pelaksanaan idiologi dan program pemerintah.

2.Sejarah konfigurasi politik di Indonesia

Diatas telah dijelaskan bahwa konfigurasi politik tertentu melahirkan produk tertentu juga.
Didalam buku politik hukum Mahfud ini dijelaskan masa periodesasi dalam perkembangan
hukum dengan produk hukumnya.

1)Periode Demokrasi Liberal


Setelah proklamasi 1945 terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik.
Keadaan ini sampai tahun 1959, saat presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit
presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga macam konstitusi, yaitu UUD
1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Tetapi konfigurasi politik yang ditampilkannya
dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis.
Indikatorny a adalah begitu dominannya partai-partai, pada saat yang sama kedudukan
pemerintah sangat lemah dan dengan mudah dapat dijatuhkan melalui “mosi” dilembaga
perwakilan (parlemen). Begitu juga kebebasan pers cukup mendapatkan kebabasan untuk
mengekspresikan segala temuan, opini dan kritik-kritiknya.

2)Periode Demokrasi Liberal

Karena instabilitas politik dan pemerintahan yang ditimbulkannya maka sistem politik liberal
harus berakhir dengan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan Demokrasi
Terpimpin yang menurut Soekarno lebih “berwarna” Indonesia. Menurut Demokrasi
Terpimpin, konsepsi Demokrasi Liberal tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia,
karenanya harus ditinggalkan. Yang tterjadi dalam Demokrasi Terpimpin adalah tidak adanya
Demokra si, karena yang ditonjolkannya adalah terpimpinnya, sehingga konfigurasi politik
yang tampak adalah konfigurasi otoriter. Kekuasaan pemerintah yang berpusat di Istana
presiden sangat kuat, sedangkan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah. Kewenangan DPR
s ering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Peperpu untuk akhirnya
parlemen hasil pemilu ini dibubarkan dengan sebuah Penpres. Kehidpan pers ditekan
sedemikian rupa dengan pembredelan, sensor dan pemenjaraan. Pada era ini ada tiga
kekasaan politik yang saling torak tarik dan saling memanfaatkan, yaitu, Presiden Soekarno,
Angkatan Darat dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada ditangan Soekarno.

3)Periode Orde Baru

Konfigurasi politik otoriter pada era demokrasi terpimpin b erakhir pada tahun 1966 ketika
Orde Baru yang berintikan Angkatan Darat tampil sebagai pemeran utama dan membentuk
rezim baru. Tampilnya ABRI diberi jalan oleh peristiwa G 30 S/PKI yang menyebabkan PKI
dibubarkan setelah keluarnya Supersemar dari Presiden Soekarno dan Soekarno sendiri tak
dapat mempertahankan sendiri jabatannya. Pada awalnya Orde Baru memulai langkah
politiknya dengan langgam “agak” demokratis-liberal, namun langgam tersebut hanya tampil
sementara, yakni selama pemerintah berusaha membentuk format baru politik Indonesia.
Setelah format baru tersebut terbantuk melalui UU No. 15 dan UU No. 16 Tahun1969 serta
hasil pemilu 1971, maka langgam sistem politik mulai bergeser lagi kearah otoritarian.
Logika pembangunan ekonomi didukung “stabilitas nasional” (sebagai prasyaratya) telah
membawa orde baru menjadikan dirinya Negara kuat yang mampu melaksanakan program
pembangunannya. Dipandang dari sudut demokrasi politik, maka berdasarkan standar
konvensional yang manapun konfigurasi politik orde baru, bukanlah konfigurasi politik yang
demokratis karena lebih menonjolkan otoritariannya. Tetapi dipandang dari segi upayanya
untuk membangun ekonomi masyarakat dapat dikatakan berhasil. Ciri otoritarian pada
konfigurasi politik Orde baru terlihat pada: Pertama, sistem kepartaian yang hegemonic, tidak
kompetitif karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik asional adalah partai
yang didukung dan mendukung yang kuat oleh pemerintah, yaitu Golkar. Pada saat yang
sama terjadi emaskulasi terhadap parpol selain Golkar. Kedua, peranan eksekutif sangat
dominan ditandai dengan tindakan-tindakan intervensionis dan pembentukan jaringan-
jaringan korporatis serta dominannya eksektif dalam pembentukan produk hukum. Ketiga,
kebebasan pers yang relative terbatas. Dengan demikian kkonfigurasi politik orde baru yang
lebih menonjolkan otoritariannya dikualifikasikan sebagai konfigurasi politik otoriter.

Pasca Soeharto, Indonesia mengalami perubahan yang sangat luas dan dalam bidang politik.
Demokrasi dan demokratisasi melanda lembaga Negara yang selama ini tidak tersentuh.
Instansi militer yang biasanya begitu kuat dan hegemonistik sekarang mengalami proses
demokratisasi, seperti kebutuhan Negara modernakan pengelolaan bidang pertahanan secara
lebih me madai. Potensi masyarakat sipil juga menguat, sekalipun mengalami keterbatasan
akibat factor-faktor internal.parat-partai berkembang, bahkan dalam tingkatan partai politik
local. Berbagai departemen dan kementrian Negara dimasuki oleh kalangan partai-partai
politik, sekalipun dengan kepastian yang belum memadai.

Kini masyarakat memiliki kebebasan luas, mulai dari aksi-aksi demonstrasi, sampai protes
atas kebijakan public yang dirasakan merugikan kepentingan warega Negara. Namun dalam
sisi yang negative, jug a muncul konflik persoalan antar warga, terutama karena bangkitnya
politik etnis dan politik identitas. Konflik juga tumbuh dalam partai-partai politik, termasuk
adanya hak recall pimpinan partai politik atas anggota-anggotanya diparlemen.

Uraian diatas t elah menunjukkan bahwa situasi poliitik tertentu dapat melahirkan hukum
dengan karakter tertentu pula, secara teoritis, dikotomis sistem politik demokratis akan
melahirkan hukum yang responsif, sedangkan sistem politik yang otoriter akan melahirkan
produk hukum yang konvensional/ortodoks.

Kita senantiasa ingin melihat lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif tanpa
mengorbankan persatuan dan kesatuan serta kebutuhan ekonomi kita. Karena hukum
responsif hanya lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, untuk melahirkan hukum-
hukum yang responsif itu diperlihatkan dalam demokratisasi didalam kehidupan politik.
Alasan-alasan untuk melakukan demikratisasi ini sudah cukup: kesadaran politik masyarakat
sudah membaik, kehidupan ekonomi masyarakat dan trend pertumbuhannya sudah memadai.
Dengan modal-modal seperti, model demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas nasional,
apalagi persatuan dan kesatuan bangsa.

3.Sistem Politik di Indonesia

Indonesia ada lah suatu bangsa dan Negara yang secara politis resmi merdeka 17 Agustus
1945. Soekarno dan Soeharto yang bagaimanapun dianggap bapak bangsa namun berlaku
tirani pada masa pemerintahannya, Soekarno pernah dinyatakan sebagai presiden seumur
hidup, sehingga berkuasa sampai dua puluh satu tahun. Sedangkan Soeharto merekayasa
pemilihan umum sebanyak tujuh kali sehingga berkuasa selama tiga puluh dua tahun
berturut-turut.

Ketiranian ini bukan berangkat dari Pancasila, karena falsafah ini sudah berusaha
menyeimbangkan sila-silanya, namun sebenarnya berasal dari UUD 1945 yang membesarkan
peran eksekutif ketimbang legislative, dan lembaga tinggi lain, itulah sebabnya pada era
reformasi UUD 1945 ini kemudian diamandemen.

Mengapa para pendiri Republik ini membesarkan peran eksekutif, adalah karena bermaksud
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah-tengah kebhinekaan suku, pulau, agama,
adat istiadat, budaya dan berbagai bahasa etnis kedaerahan yang ada di Indonesia.

Pada decade terakhir kita mengalami integrasi bagi persatuan dan kesatuan bangsa, saying
tidak dimengerti oleh bangsa lain, bagaimana tidak kalau dalam integrasi orang Papua dan
Aceh harus merasa memiliki Indones ia, bukan dimiliki Indonesia, sehingga dengan
demikian, hak dan kewajibannya sama. Tentu saja pendekatannya mutlak harus
kesejahteraan.

4.Perkembangan tipologi hukum ortodoks, represif dan responsif

Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara
politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa
hukum harus mampu mengendalikan

Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu
menekankan pada aspek the legal sistem tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut
dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah
sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan d ari penguasa, di sisi
lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari
peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta
terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.

Memahami kenyataan itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick kemudian mencoba
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan
menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk
bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur
pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum
sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.

Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja
merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-
tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Dan menyebut
tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).

Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan
(hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model
perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk
pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya
pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.

Hukum respons if berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar
hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam
p eraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan
ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan
tidak fleksibel.

Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyar akat, yaitu:
hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi
tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum
otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuh an dan aspirasi
sosial (hukum responsif). Untuk mengidentifikasi lebih lanjut digambarkan sebagai berikut:
Hukum RepresifHukum OtonomHukum ResponsifTujuan hukumKetertiban
LegitimasiKompetensiLegitimasiKetahanan sosial dan tujuan negaraKeadilan
proseduralKeadilan substantifPeraturanKeras dan rinci, namun berlaku lemah terhadap
pembuatan hukumLuas dan rinci, mengikat penguasa maupun yang dikuasaiSubordinat dari
prinsip dan kebijakanPertimbanganAd hoc, memudahkan mencapai tujuan dan bersifat
partikulerSangat melekat pada otoritas legal, rentan terhadap formalisme dan
legalismePurposif (berorientasi pada tujuan), perluasan kompetensi kognitifDiskresiSangat
luas, oportunistikDibatasi oleh peraturan, delegasi yang sempitLuas, tetapi tetap sesuai
dengan tujuan PaksaanEkstensif, dibatasi secara lemahDikontrol oleh batasanbatasan
hukumPencarian positif bagi
berbagai alternatif, spt.
insentif, sistem kewajiban yang mampu
bertahanMoralitasMoralitas komunal,moralitas hukum, moralitas pembatasanMoralitas
kelebbagian,yaitu dipenuhi dengan integritas proses hukumMoralitas sipil, moralitas
kerjasamaPolitikHukum subordinat terhadap politik kekuasaanHukum ”independen”dari
politik, pemisahankekuasaanTerintegrasinya aspirasi hukum dan politik, keberpaduan
kekuasaanHarapan akan
ketaatan Tanpa syarat, ketidaktaatanpers dihukum sebagai pembangkangPenyimpangan
peraturan yang dibenarkan, mis:
untuk. Menguji UU atauperintahPembangkangan dilihat dlm aspek bahaya
substantif, dipandang sbg gugatan legitimasiPartisipasiPasif, kritik dipandang sbg
ketidaksetiaanAkses dibatasi prosedur baku, munculnya kritik atas hukumAkses diperbesar
denganintegrasi advokasi hukum dan sosial

Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar
hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat
yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka
menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi
yang baku dan tidak fleksibel.

Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya
bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan
sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem
hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet.
Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum
yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum
yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara
mencapai tujuan.

Sistem hukum nasional pada dasarnya tidak hanya terdiri dari kaidahkaidah atau norma-
norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan organisasi,
mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum
pemerintah dan masyarakat. Dan, pembangunan Sistem Hukum Nasional sesungguhnya
diarahkan untuk menggantikan hukum-hukum kolonial Belanda disamping menciptakan
bidang-bidang hukum baru yang lebih sesuai sebagai dasar Bangsa Indonesia untuk
membangun.

Semua unsur/komponen/fungsi/variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur


atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi.
Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila
dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain seperti asas kenusantaraan,
kebangsaan, dan kebhinekaan

Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa
memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam
proses penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang
kaku dan analitis.

Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni
mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi
individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari
keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak
dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya.

Nonet dan Selznick pada dasarnya tidak memposisikan ketiga model perkembangan hukum
(developmental model) dalam satu garis hierarkis. Artinya, tidak ada klaim bahwa tahapan
hukum responsif adalah tahapan yang paling cocok, paling dapat menyesuaikan diri, a tau
paling stabil dibandingkan dengan tahapan hukum otonom atau hukum represif. Setiap pola
menuntut adanya proses adaptasi. Bahkan, menurut mereka, model pada tahapan ketiga
kurang stabil dibandingkan dengan tahapan kedua dan pertama. Nonet & Selznick ju ga
menyatakan, "We want toargue that repressive, autonomous, and responsive law are not only
distinct types of law but, in some sense, stages of evolution in the relation of law to the
political and social order.".
Satjipto Raharjo tidak memberi uraian tent ang potensi-potensi kelemahan ini tatkala ia
menyodorkan tipe responsif sebagai karakter pemikiran hukum progresifnya. Sebagai contoh,
patut diperdebatkan: benarkah tahapan hukum otoriter yang menurut kajian Moh. Mahfud
M.D. telah menandai politik hukum p ada era Orde Baru itu61 dan baru saja kita lewati
masanya tersebut sungguh-sungguh telah siap untuk digiring saat ini langsung menuju ke
tahap hukum responsif? Dengan perkataan lain, tidakkah kita membutuhkan adaptasi terlebih
dulu pada tahapan hukum otonom sebelum dapat melangkah ke tahapan hukum responsif?
Dan, bukankah pemikiran hukum progresif didesain sebagai teori hukum pada masa transisi?

Jika ada contoh-contoh yang dapat memperlihatkan kemungkinan adanya pelompatan


tahapan tersebut, maka perlu juga d ianalisis apakah lompatan ini tidak mengundang risiko-
risiko sebagaimana dikhawatirkan oleh Nonet dan Selznick. Diskresi yang terlanjur diberikan
secara luas, misalnya, namun tidak terlebih dulu dibekali dengan kesadaran hukum yang
tinggi (adaptasi ini se yogianya dijalankan selama berada pada tahapan kedua), tentu pada
gilirannya akan mendatangkan bahaya tersendiri pada sistem hukum secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai