Anda di halaman 1dari 2

Pada sekolah umum, fenomena kelas campuran antara putra dan putri wajar dilaksanakan.

Namun berbeda halnya dengan di Ulumiyyah yang notabene lembaga formal berbasis
pesantren. Ulumiyyah harus mengedepankan etika pendidikan Islam. Sistem pendidikan
Islam berbeda dengan sistem pendidikan umum, dalam kaitannya pelaksanaan prinsip
berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan teladan salaf as-shalihin.

Pemisahan antara siswa dan siswi merupakan prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan
Islam. Ada dua cara pemisahan siswa putra dan putrid.

Pertama, dipisah dengan ruangan kelas yang berbeda dan kedua dipisah hanya
menggunakan satir berupa kain atau papan. Jika dipisah dengan satir, tentunya harus
dibuatkan akses jalan yang berbeda antara para siswa dan siswa. Sehingga paling utama
adalah dipisah di ruang kelas yang berbeda.

Dalam hukum fikih disebutkan, Ikhthilat baina an-nisa’ wa ar-rijal (bercampurnya orang laki-
laki dan perempuan) adalah awal dari timbulnya fitnah. Itulah mengapa dalam urusan shalat
berjama’ah, shaf (barisan) antara laki-laki dan perempuan dibedakan dengan maksud untuk
menghindari adanya ikhthilat.

Dikisahkan dalam hadis, saat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam membangun sebuah
masjid, dan membuat sebuah pintu yang diperuntukkan untuk perempuan dan beliau
bersabda : “Seorang laki-laki pun tidak boleh memasuki pintu ini”. (HR. Abu Dawud)

Hadis ini dijadikan dasar hukum oleh para ulama ahli fiqih tentang larangan berbaurnya laki-
laki dan perempuan yang bukan mahram di dalam masjid karena berakibat pada kerusakan.
Begitu halnya dengan hukum larangan berbaurnya laki-laki dan perempuan dalam
keperluan mencari ilmu. Sayyidatina ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha ketika menyampaikan hadis
kepada jamaah muslimin, selalu berada di belakang satir. Hal ini mempertegas bahwa pola
pembelajaran Islami harus mencerminkan pengamalan syari’at Islam. Boleh saja kita
mengadopsi pola pembelajaran modern dari Barat, asalkan tidak bertentangan dengan
rambu-rambu ajaran Islam.

Hisham Attalib, dkk dalam bukunya Parent –Child Relations: A Guide to Raising Children
memaparkan panjang lebar tentang pentingnya memisahkan anak laki-laki dan anak
perempuan di kelas. Hal itu dianggap sangat bermanfaat untuk pendidikan maupun proses
belajar mereka.

Lalu, sejak kapan anak-anak sebaiknya dipisah berdasarkan jenis kelaminnya saat
melakukan proses belajar?. Hisyam Ath-Thalib, dkk, merekomendasikan agar pemisahan
itu dimulai semenjak kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Mereka bisa tetap berada dalam satu
sekolah yang sama, tetapi ruang kelasnya berbeda. Pada waktu-waktu tertentu, dapat saja
ada kegiatan bersama yang melibatkan anak laki-laki maupun perempuan, tetapi secara
prinsip mereka dipisahkan ruang kelasnya.

Ternyata pada akhir-akhir ini prinsip pemisahan kelas, mampu dibuktikan melalui penelitian
yang dilakukan atas nama The Good School Guide. Penelitian itu berhasil menemukan fakta
bahwa sebagian besar dari 71.286 penemuan yang mengikuti program sekolah menengah
(The General Certificate Secondary) di sekolah sesama perempuan antara tahun 2005 dan
2007 lebih baik hasilnya. Sementara itu, lebih dari 647.942 perempuan yang ikut ujian di
sekolah campuran (pria/wanita) 20% lebih buruk dari pada yang diharapkan.

Dari semua pandangan dan rujukan tentang pokok bahasan di atas, sedikit mengerucut
sebuah kesimpulan bahwa pemisahan ruang belajar antara siswa putra dan putri pada
konteksnya bukan sekedar pilihan. Hal itu adalah keharusan yang harus diusahakan
berdasarkan hadist, kajian fiqh, fatwa ulama’ maupun penelitian ilmiah. Allahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai