Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PRAKTIKUM

EKOFISIOLOGI KELAPA SAWIT

Nama : Wahyu Hadi Saputra

NIM : 16002022

Dosen Pembimbing : Salmiyati, M.Pd, Ph.D

PRODI AGROTEKNOLOGI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI PELALAWAN
STT PELALAWAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada allah ta’ala SWT, karena Nikmat dan
Rahmatnya Laporan Akhir Praktikum Ekofiologi Kelapa Sawit ini bisa terselesaikan
tepat pada waktunya. Begitu juga ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
bersedia memberikan Kontribusi dengan memberikan sumbangan tenaga dan pikiran
terhadap laporan ini.
Sangat besar harapan kami, semoga laporan ini bisa memberikan pengetahuan
kepada para pembaca. Dan juga besar keinginan kami untuk kedepannya dapat
memperbaiki ataupun menambah isi laporan ini apabila terdapat kesalahan dan
kekurangan.
Dan juga kami meyakini akan banyak terdapat kesalahan pada laporan ini.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Pangkalan Kerinci ,20 Juni 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................... 3

DAFTAR TABEL....................................................................................... 4

DAFTAR GAMBAR.................................................................................. 5

BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................... 6

1.1. Latar Belakang............................................................................. 6

1.2. Tujuan Praktikum......................................................................... 6

1.3 Manfaat Praktikum....................................................................... 6

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA................................................................11

BAB III.METODOLOGI.......................................................................... 21

3.1 Bahan dan alat............................................................................. 21

3.2 Cara Kerja................................................................................. 21

BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................... 25

BAB V.KESIMPULAN.............................................................................. 41

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekofisiologi Tanaman adalah ilmu tentang respon fisiologis tanaman terhadap


lingkungan. Fisiologi adalah ilmu yang mendeskripsikan tentang mekanisme
fisiologis yang mendasari observasi ekologi. Di sisi lain, ilmuan ekologi atau fisiologi
mengarahkan permasalahan ekologi tentang pengontrolan pertumbuhan, reproduksi,
kemampuan bertahan hidup, dan penyebaran geografi tanaman sebagai proses yang
diakibatkan oleh interaksi antara tanaman dengan mekanisme fisikanya, kimia, dan
lingkungan biotik (Lambers, 1998).

Salinitas tinggi dan genangan dapat terjadi pada tempat dan waktu yang sama;
meskipun demikian pemahaman terhadap pengaruh kedua kondisi tersebut terhadap
pertumbuhan, respon morfologis, dan anatomis kelapa sawit masih sedikit. Telah
dilakukan penelitian dengan mengkombinasikan 2 aras salinitas (non salin dan salin)
dan tiga taraf genangan (tanpa genangan, interval genangan 2 minggu, dan interval
genangan 4 minggu).

Penelitian dilakukan dalam pot selama 4 bulan dengan bahan tanam kelapa sawit
berumur 4 bulan. Parameter pertumbuhan dianalisis dengan analisis varian dan
dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada jenjang nyata 5%. Pengamatan
visual secara langsung dan pembuatan preparat melintang akar dilakukan untuk
mengetahui perubahan morfologi dan anatomi tanaman. Hasil analisis menunjukkan
salinitas tinggi dan genangan konsisten menurunkan parameter pertumbuhan kelapa
sawit. Salinitas tinggi dan genangan tidak secara konsisten mengubah rasio luas
masing-masing jaringan penyusun akar primer, sekunder, dan tersier. Kelapa sawit
membentuk pneumatophore dan saluran aerenkima pada kondisi genangan, baik non
salin maupun salin. Mekanisme adaptasi terhadap genangan tersebut dapat
menurunkan pengaruh negatif cekaman salinitas tinggi.

4
Genangan air yang terjadi di lahan kelapa sawit sangat mudah terjadi pada musim
hujan, intensitas hujan yang tinggi akan membuat kelapa sawit mudah di genangi air
apalagi kelapa sawit pada lahan gambut. Oleh karena itu, ketika kelapa sawit di
genangi oleh air apakah ada efek samping bagi pertumbuhan dan produktifitasnya.

Pada saat ini pandangan perkembangan pertanian organik sebagai salah satu
teknologi alternatif untuk menanggulangi persoalan lingkungan sangat diperlukan.
Persoalan besar yang terjadi disebabkan karena pencemaran tanah yang menyebabkan
persediaan unsur hara dalam tanah semakin lama semakin menipis. Apalagi banyak
unsur yang hilang tidak dikembalikan lagi ke tanah. Jika hal ini berlangsung terus-
menerus maka tanah akan semakin miskin unsur hara.

Kondisi ini diperburuk dengan munculnya pertanian modern yang menerapkan


sistem pertanian monokultur dan penggunaan varietas unggul yang menyerap banyak
unsur hara. Jika varietas unggul digunakan secara terus menerus, tanah akan semakin
miskin unsur hara. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan penambahan unsur hara
secara tepat, yakni melalui pemupukan. Pemupukan adalah pemberian pupuk
terhadap tanaman. Sedangkan pupuk adalah material yang ditambahkan pada media
tanam atau tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman
sehingga mampu berproduksi dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan
organik ataupun non-organik (mineral).

Pupuk mengandung bahan baku yang diperlukan pertumbuhan dan perkembangan


tanaman dalam pemberian pupuk perlu diperhatikan kebutuhan tumbuhan tersebut,
agar tumbuhan tidak mendapat terlalu banyak unsur hara. Terlalu sedikit atau terlalu
banyak unsur hara dapat berbahaya bagi tumbuhan. Pupuk dapat diberikan lewat
tanah ataupun disemprotkan ke daun. Salah satu jenis pupuk yang menjadi alternatif
dan mulai popular kembali setelah cukup lama tidak pernah digunakan dalam
perkembangan pertanian organik yaitu pupuk organik.

Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup yang
diolah melalui proses pembusukan (dekomposisi) oleh bakteri pengurai, seperti

5
pelapukan sisa - sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik banyak
memberikan keuntungan ditinjau dari peningkatan kesuburan tanah dan peningkatan
produktifitas tanaman. Atas dasar tersebut saya merasa tertarik untuk mengkaji dan
mengetahui lebih dalam mengenai pupuk organik serta segala sesuatu yang berkaitan
dengan pupuk organik.

Pupuk buatan adalah pupuk yang dibuat di pabrik yang mengandung unsur
hara tertentu, yang pada umumnya mempunyai kadar unsur hara yang tinggi. Pupuk
buatan mempunyai kelemahan yaitu dapat merusak lingkungan dan mengandung
sedikit unsur mikro. Sedangkan kebaikannya adalah pemakaiannya lebih mudah dan
dapat diberikan pada saat yang tepat

Kesuburan tanah tidak terlepas dari keseimbangan biologi, fisika dan kimia;
ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan sangat menentukan tingkat kesuburan lahan
pertanian. Tanpa disadari selama ini sebagian besar pelaku tani di Indonesia hanya
mementingkan kesuburan yang bersifat kimia saja, yaitu dengan memberikan pupuk
anorganik seperti : urea, TSP/SP36, KCL dan NPK secara terus menerus dengan dosis
yang berlebihan.

Pemupukan merupakan salah satu usaha pengelolaan kesuburan tanah.


Dengan ppertanian akan semakin merosot. Hal ini disebabkan ketimpangan antara
pasokan hara dan kebutuhan tanaman. Hara dalam tanah secara berangsur-angsur
akan berkurang karena terangkut bersama hasil panen, pelindian, air limpasan
permukaan, erosi atau penguapan. Pengelolaan hara terpadu antara pemberian pupuk
dan pembenah akan meningkatkan efektivitas penyediaan hara, serta menjaga mutu
tanah agar tetap berfungsi secara lestari.

Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman


mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya yaitu media
tanam. Menurut Levit (1980) dan Bray (1997) cekaman kekeringan pada tanaman
dapat disebabkan kekurangan suplai air di daerah perakaran dan permintaan air yang

6
berlebihan oleh daun akibat laju evapotransporasi melebihi laju absorpsi air walaupun
keadaan air tanah tersedia cukup.

Tanaman kelapa sawit mempunyai tipe perakaran dangkal sehingga umumnya


tidak toleran terhadap cekaman kekeringan, yang sangat membatasi pertumbuhan dan
produksi. Cekaman kekeringan dapat menghambat pembukaan pelepah daun muda,
merusak hijau daun yang menyebabkan daun tampak menguning dan mengering,
pelepah daun terkulai dan pupus patah. Pada fase reproduktif cekaman kekeringan
menyebabkan perubahan nisbah kelamin bunga, bunga dan buah muda mengalami
keguguran, dan tandan buah gagal menjadi masak. Akhirnya, mengakibatkan gagal
panen dan menurunkan produksi tandan buah segar hingga 40% dan CPO hingga 21-
65% (Calliman & Southworth, 1998; Siregar, 1998).

Mekanisme adaptasi tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan adalah


dengan pengaturan osmotik sel. Pada mekanisme ini terjadi sintesis dan akumulasi
senyawa organik yang dapat menurunkan potensial osmotik sehingga menurunkan
potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim serta menjaga turgor sel.
Beberapa senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotikal sel antara lain gula
osmotik ( Wang et al., 1995; Yakhushiji et al., 1998), prolin dan betain (Maestri et al.,
1995), protein dehidrin (Close, 1997) dan asam absisik (ABA) yang berperan dalam
memacu akumulasi senyawa tersebut (Dingkhun et al., 1991).

Subronto et al. (2000) melaporkan bahwa 14 persilangan tanaman kelapa sawit


(induk DA 10 DxDA 8 D; DA 8 self, bapak LM 9 T x LM 2 T) tanggap terhadap
perlakuan cekaman kekeringan berdasarkan peubah fisiologis yang diukur. Untuk
mengetahui lebih jauh repon tanaman kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan,
perlu dilakukan penelitian khususnya pembentukan senyawasenyawa osmotikal dan
protein baru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari respons tanaman kelapa
sawitterhadap cekaman kekeringan.

7
1.2 Tujuan Praktikum
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh cekaman garam
pada pertumbuhan bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui adaptasi kelapa sawit
terhadap cekaman air di lahan gambut
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui adaptasi kelapa sawit
terhadap cekaman air di lahan mineral
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan kelapa sawit
terhadap aplikasi pupuk organic dari kelapa sawit
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan kelapa sawit
terhadap aplikasi pupuk non organic dari kimiawi
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh alelopati dari lcc
terhadap kelapa sawit
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh cekaman
kekeringan terhadap kelapa sawit periode TBM
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh cekaman
kekeringan terhadap kelapa sawit periode TM
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui inokulasi rhizobium pada
kelapa sawit periode TBM dan TM
 Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui inokulasi mikoriza pada
kelapa sawit periode TBM dan TM

1.3 Manfaat Praktikum


 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
pengaruh cekaman garam pada pertumbuhan bibit Kelapa Sawit (Main
Nursery)

8
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
adaptasi kelapa sawit terhadap cekaman air di lahan gambut.
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
adaptasi kelapa sawit terhadap cekaman air di lahan mineral
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
pertumbuhan kelapa sawit terhadap aplikasi pupuk organic dari kelapa sawit
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
pertumbuhan kelapa sawit terhadap aplikasi pupuk non organic dari kimiawi
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
pengaruh alelopati dari lcc terhadap kelapa sawit
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
cekaman kekeringan terhadap kelapa sawit periode TBM
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
cekaman kekeringan terhadap kelapa sawit periode TM
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
inokulasi rhizobium pada kelapa sawit periode TBM dan TM
 Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
inokulasi mikoriza pada kelapa sawit periode TBM dan TM

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cekaman Garam Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)

Perubahan iklim, lingkungan budidaya yang tidak sesuai, dan praktek


pertanian yang salah dapat menyebabkan kelapa sawit menghadapi berbagai macam
kondisi lingkungan yang tidak ideal. Salinitas tinggi dan genangan merupakan dua
dari sekian banyak kondisi lingkungan yang semakin sering dialami oleh kelapa
sawit. Genangan pada zona perakaran merupakan salah satu cekaman lingkungan
utama yang dihadapi oleh kelapa sawit di lahan budidaya (Koon & Kun, 2006).

Air yang menggenangi perakaran memiliki salinitas beragam, bahkan pada


beberapa kondisi memiliki salinitas tinggi, terutama lahan yang masih dipengaruhi
pasang surut air laut melalui badan – badan air / sungai. Salinitas tinggi juga dapat
terjadi akibat pelarutan deposit garam di tanah, antara lain Na+ , K+ , Ca2+, Mg2+,
dan Cl– (Kim et al., 2016; Machado & Serralheiro, 2017). Salinitas tanah, khususnya
yang disebabkan oleh NaCl merupakan salah satu cekaman abiotik terkait tanah yang
paling luas di dunia (Golldack et al., 2014; Lauchli & Grattan, 2007; Negrao et al.,
2017).

Beberapa efek negatif dari salinitas antara lain penurunan pertumbuhan


(Batool et al., 2014; Machado & Serralheiro, 2017; Hanin et al., 2016), menekan
perluasan daun yang kemudian akan menurunkan laju fotosintesis dan produksi
biomassa tanaman (Magdy & Mansour, 2016). Tumbuhan yang toleran terhadap
kadar NaCl menerapkan serangkaian adaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap
salinitas tinggi, termasuk perubahan morfologis, fisiologis dan biokimia (Acosta-
Motos et al., 2017).

Efek berbahaya dari salinitas dapat bervariasi tergantung pada kondisi iklim,
intensitas cahaya, spesies tanaman ataupun kondisi tanah (Tang et al., 2015).
Genangan adalah kondisi ketika tanah mengalami saturasi dan terdapat lapisan air di

10
permukaan tanah (El-Nashar, 2013). Secara alami, genangan dapat terjadi bersamaan
atau setelah banjir, namun pada berbagai area terjadinya genangan tidak berhubungan
langsung dengan banjir. Genangan dapat terjadi melalui naiknya permukaan air tanah
akibat intrusi dari badan – badan air di sekitarnya seperti sungai, danau, dan laut.
Berbeda dengan banjir, air pada kondisi genangan relatif tenang dan tidak bergerak
secara horizontal. Tanah dikatakan mengalami genangan bila <10% pori makronya
terisi oleh air (Shaw, 2015).

Adanya lapisan air yang membatasi pertukaran gas antara rhizosfer dan
atmosfer memiliki dampak yang besar terhadap tanaman. Terbatasnya laju difusi
menyebabkan terjadinya kompetisi penyerapan O2 antara mikroorganisme dan akar
tanaman. Kondisi tergenang menurunkan ketersediaan dan serapan unsur hara
(ElNashar, 2013), terjadi akumulasi CO2 hasil respirasi dan fermentasi yang tidak
dapat dilepaskan ke atmosfer. Hormon tanaman berupa gas (etilen) juga mengalami
akumulasi di perakaran tanaman karena tidak dapat dilepaskan ke rizosfer (Salazar et
al., 2015; Voesenek & Bailey-Serres, 2015).

Kondisi hipoksia pada rizosfer tidak hanya menyebabkan cekaman pada


sistem perakaran karena hilangnya kemampuan untuk menyerap O2, air, dan nutrisi,
namun juga dapat menarik O2 keluar dari jaringan akar akibat perbedaan konsentrasi
(Kim et al., 2016). Efek negatif yang disebabkan oleh genangan tergantung dari
beberapa faktor, antara lain suhu, bahan organik, salinitas, keasaman tanah, dan fase
pertumbuhan tanaman (Lauchli & Grattan, 2007; Negrao et al., 2017).

Salinitas tinggi dan genangan pada lahan kelapa sawit dapat terjadi pada
tempat dan waktu yang sama. Sumber genangan yang berasal dari intrusi air laut atau
pelarutan deposit garam pada tanah merupakan sumber salinisasi genangan. Interaksi
antara salinitas tinggi dan genangan terhadap pertumbuhan kelapa sawit belum
banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antara salinitas
tinggi dan genangan terhadap pertumbuhan, perubahan morfologis, dan anatomis
kelapa sawit.

11
2.2 Adaptasi Kelapa Sawit Terhadap cekaman Air Di Lahan Gambut

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas


penting di Indonesia, karena besar perannya dalam menyumbang peningkatan
ekonomi bangsa, terutama dari hasil ekspor Crude Palm Oil (CPO). Guna keberlanj
utan industri perkebunan kelapa sawit ini diperlukan pengadaan bibit dengan kualitas
baik dalam jumlah yang besar (Syahfitri, 2007).

Perubahan iklim telah menggangu pengembangan bibit kelapa sawit, akibat


banjir. Menurut Analisa BMKG Pekanbaru (2012) beberapa daerah di Riau sering
mengalami curah hujan diatas normal yang menyebabkan potensi banjir secara
periodik sangat besar. Kondisi tergenang merupakan keadaan serius yang dapat
mengancam pertumbuhan tanaman, termasuk pembibitan kelapa sawit.

Menurut Sivakumaran dan Hall (1978), respon tanaman terhadap genangan air
berbeda-beda tergantung dari jenis, genotip, umur tanaman, penyebab genangan,
waktu dan lama penggenangan, kondisi genangan, serta karakteristik tempat tumbuh
tanaman. Penggenangan mengakibatkan ketidakstabilan pembentukan ABA (Asam
Absisat) yang mempengaruhi pembentukan etilen endogen pada tanaman, sehingga
pada sel tanaman muda akan cepat tua dan membusuk. Hasil penelitian Dewi (2009)
menunjukkan, penggenangan air dapat mengakibatkan perubahan warna daun, tinggi
bibit, kandungan unsur hara makro daun bibit kelapa sawit, namun tidak berpengaruh
pada jumlah pelepah dan pertumbuhan tunas.

Meskipun genangan air dapat menggangu pertumbuhan bibit kelapa sawit,


namun menurut Tabrani dkk. (2014), bibit kelapa sawit masih dapat bertahan hidup
meskipum mengalami cekaman penggenangan secara periodik selama 30 hari,
bahkan sampai 40 hari. Hasil penelitian Suwarti dkk. (2013) menyimpulkan, beberapa
tanaman jagung memiliki genotip tahan terhadap genangan air. Penelitian Bilgin dkk.
(2008) menemukan bahwa pada beberapa tingkat penggenangan dapat mempengaruhi
pertumbuhan akar.

12
2.3 Adaptasi Kelapa Sawit terhadap Cekaman Air di Lahan Mineral

Perkebunan merupakan salah satu sub sektor pertanian penting dalam


meningkatkan perekonomian rakyat Indonesia yang saat ini telah menjadi penggerak
pembangunan nasional. Tanaman kelapa sawit merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang menduduki posisi penting di sektor perkebunan. Berkembangnya
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau didukung oleh topografi tanah yang
cenderung datar, beriklim basah, dan kemudahan investasi.

Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2013) luas areal perkebunan
kelapa sawit di Provinsi Riau telah mencapai 3.372.403 ha yang didominasi oleh
perkebunan rakyat dan swasta. Laporan Dinas Perkebunan Provinsi Riau (2014)
menyebutkan, tanaman kelapa sawit yang akan diremajakan mencapai 10.247 ha.
Guna memenuhi bibit kelapa sawit untuk peremajaan tanaman atau pembukaan
perkebunan baru sangat dibutuhkan bibit yang berkualitas dengan kuantitas yang
terus meningkat.

Menurut Rahim (1992) pengadaan bibit kelapa sawit yang bermutu tergantung
pada faktor eksternal yang mendukung, salah satu diantaranya adalah curah hujan.
Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan pembibitan kelapa sawit akibat
perubahan iklim adalah karena terjadi perubahan pola curah hujan, sehingga sering
tergenangnya areal pembibitan, yang berakibat cekaman jenuh air, baik dalam kondisi
hipoksia atau anoksia pada bibit kelapa sawit. Proses metabolisme tanaman yang
mengalami kondisi tergenang secara keseluruhan akan terganggu, sehingga
mengganggu pertumbuhan bibit dan akan menggangu perkembangan tanaman
selanjutnya (Taiz dan Zeiger, 2002).

Menurut Dewi untuk memulihkan keadaan tanaman yang terganggu akibat


genangan air, diperlukan unsur hara melalui daun yang cukup, karena kondisi
tergenang menyebabkan terhambatnya penyerapan unsur hara melalui akar. Oleh
karena itu serapan unsur hara pada kondisi tergenang diharapkan dapat di atasi
dengan pemberian pupuk pelengkap cair melalui daun. Pemberian pupuk pelengkap

13
cair melalui daun lebih efisien bila dibandingkan dengan pemberian melalui akar
karena dapat langsung digunakan oleh tanaman dalam proses metabolismenya.
Absorpsi unsur hara yang diberikan melalui daun sangat dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhinya adalah
konsentrasi unsur hara yang diberikan. Menurut Dewi (2009) bibit yang mengalami
genangan 30 hari membutuhkan 12.000 ppm pupuk pelengkap cair, bibit yang
mengalami genangan 20 hari membutuhkan 8.000 pupuk pelengkap cair dan
genangan 10 hari hanya membutuhkan 4.000 ppm pupuk pelengkap cair.

2.4 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Organik dari Kelapa Sawit

Kelapa sawit sangat penting peranannya bagi Indonesia baik sebagai


komoditas andalan untuk ekspor. Menurut data Kementrian Pertanian (2014),
Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara dengan luas tanaman
menghasilkan kelapa sawit terbesar di dunia mencapai 11.300.370 hektar dengan
produksi 31.284.306 ton. Komoditas ini telah berhasil mengatasi kekurangan minyak
goreng dari minyak kelapa yang terjadi pada tahun 1972 (Lubis, 2008).

Masalah yang ditemukan dalam persawitan Indonesia cukup kompleks


menyebabkan rendahnya produktivitas perkebunan kelapa sawit. Langkah pertama
yang dapat menunjang keberhasilan perkebunan kelapa sawit adalah pembibitan
(Bahrum & Lubis, 1982). Hal ini menjadi sangat penting karena pembibitan adalah
awal kegiatan yang harus dimulai setahun sebelum pindah tanam ke lapangan. Bibit
yang digunakan harus berasal dari benih unggul dan bersertifikat. Titik kritis
pemeliharaan bibit kelapa sawit terletak pada pemupukan yang dimulai dari
pembibitan awal sampai pembibitan utama, tanah memiliki keterbatasan sumber hara
karena ditanam di dalam polybag (Sari, 2015).

Tindakan pemupukan menjadi sangat penting untuk menunjang pertumbuhan


bibit, namun kenaikan harga pupuk dapat memengaruhi biaya pemeliharaan yang
harus ditanggung perusahaan perkebunan. Upaya untuk mencari sumber hara untuk

14
pemupukan menjadi sangat penting untuk mengurangi biaya pemupukan secara
konvensioanal (Sutarta dkk., 2001).

Limbah dari kelapa sawit dapat berasal dari tandan kosong, serat, cangkang,
limbah cair, dan pelepah penunasan. Kandungan bahan organik dari limbah tersebut
cukup tinggi (Chan, 1992 dalam Tarmizi, 2000). Beberapa perkebunan sudah
memanfaatkan berbagai limbah tersebut tetapi masih jarang yang memanfaatkan
pelepah. Pelepah hasil penunasan pada umumnya dibiarkan di sekitar pinggiran
pohon kelapa sawit dan dibiarkan melapuk dengan sendirinya. Proses tersebut tentu
membutuhkan waktu yang cukup lama sampai pelepah terdekomposisi. Jumlah
pelepah kelapa sawit yang dapat diperoleh untuk setiap satu hektar perkebunan kelapa
sawit mencapai kurang lebih 2,3 ton bahan kering. Bila satu hektar terdiri dari 130
pohon, setiap pohon dapat menghasilkan 22–26 pelepah/tahun dengan rerata berat
pelepah dan daun sawit 4–6 kg/pelepah, bahkan produksi pelepah dapat mencapai
40–50 pelepah/pohon/tahun dengan berat sebesar 4,5 kg/pelepah (Hutagalung &
Jalaluddin, 1982).

Pada dasarnya pelepah kelapa sawit memiliki nilai guna seperti halnya dengan
tandan kosong. Menurut Sugiyono (1998) pelepah kelapa sawit mengandung unsur
makro K = 2,57-3,74%, Ca = 0,37-0,68%, dan Mg = 0,13-0,36%. Menurut Herviyanti
dkk. (2012), kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah mampu meningkatkan
keefektifan pemupukan anorganik karena mampu mengikat unsur hara dan
meningkatkan jumlah muatan negatif sehingga KTK tanah tinggi.

2.5 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Non Organik dari kimiawi

Pengembangan tanaman perkebunan dewasa ini semakin memberi harapan.


Hal ini berkaitan dengan semakin kuatnya dukungan pemerintah terhadap usaha
perkebunan rakyat, tumbuhnya berbagai industri yang membutuhkan bahan baku dari
produk perkebunan dan semakin luasnya pangsa pasar produk perkebunan terutama
perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Kelapa sawit adalah salah satu
dari beberapa palma yang menghasilkan minyak untuk tujuan komersil. Minyak sawit

15
selain digunakan sebagai minyak goreng dan margarine, dapat juga digunakan untuk
industri sabun dan lilin. Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia
selama tahun 1990- 2000 mencapai 14.164.439 ha atau meningkat 21,5%
dibandingkan akhir tahun 1990 yang hanya 11.651.439 ha (Fauzi et al., 2004).

Data Dinas Perkebunan Provinsi Riau (2011) mengemukakan bahwa luas


areal perkebunan kelapa sawit Provinsi Riau sampai tahun 2010 adalah 2.103.175 ha
dengan produksi 6.293.541 ton. Tanaman kelapa sawit yang belum menghasikan
(TBM) merupakan proses pertumbuhan awal tanaman di lapangan selama masa
sebelum panen yang berlangsung 30 – 36 bulan. Masalah yang sering dihadapi pada
tanaman kelapa sawit belum menghasilkan adalah kemampuan lahan dalam
penyediaan unsur hara secara terusmenerus bagi pertumbuhan dan perkembangan
kelapa sawit yang terbatas. Keterbatasan daya dukung lahan dalam penyediaan hara
ini harus diimbangi dengan penambahan unsur hara melalui pemupukan (Parnata,
2010) Salah satu upaya untuk memenuhi ketersediaan hara tanah bagi tanaman adalah
mensinergiskan penggunaan mikroorganisme selulolitik dan pupuk anorganik.

Mikroorganisme selulolitik (MOS) adalah mikroorganisme yang mampu


mendegradasi selulosa secara enzimatis melalui aktivitas enzim selulase.
Mikroorganisme selulolitik merombak selulosa menghasilkan glukosa yang dapat
digunakan oleh mikroorganisme heterotrop lainnya sebagai sumber karbon dalam
proses dekomposisi bahan organik, diharapkan pupuk anorganik yang diberikan
sepenuhnya dapat terserap dan dimanfaatkan oleh tanaman. Penggunaan
mikroorganisme selulolitik dalam dekomposisi bahan organik dapat mengurangi
penggunaan pupuk anorganik.

Hasil penelitian Gusmawartati (2012) bahwa pemberian MOS dengan


beberapa kali penyiraman dapat memperbaiki kesuburan tanah gambut dan
meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit di prenursery. Pemberian 30 mL MOS
dengan penyiraman 2 kali sehari menurunkan nisbah C/N hingga 26% dan
meningkatkan pH tanah 1-1,5 satuan pH. Penelitian lain yang dilakukan pada

16
tanaman bawang merah yang ditanam di lahan gambut, Gusmawartati et al. (2011)
hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikroorganisme selulolitik dan
pupuk NPK dosis rendah cendrung meningkatkan pertumbuhan dan produksi bawang
merah. Dosis 10 ml mikroorganisme selulolitik dan 1/3 anjuran pupuk urea, TSP, KCl
meningkatkan secara nyata berat kering tanaman 55 HST (hari setelah tanam).

2.6 Pengaruh Alelopati dari LCC terhadap Kelapa sawit

Salah satu tanaman perkebunan yang memiliki peranan cukup penting sebagai
sumber devisa negara Indonesia adalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan
produk utamanya yaitu minyak sawit sebagai produk unggulan yang perlu terus
dikembangkan nilai produksinya. Pada tahun 2014 produksi CPO mencapai 27.7 juta
ton dengan luas areal pertanaman kelapa sawit mencapai 10.9 juta ha dengan
pembagian 42% perkebunan rakyat, 7% perkebunan besar negara dan 51%
perkebunan besar swasta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).

Upaya peningkatan produksi kelapa sawit dilakukan dengan berbagai teknik


salah satunya teknik konservasi tanah dan air dengan metode vegetatif. Metode
vegetatif merupakan suatu cara pengelolaan lahan dengan menggunakan tanaman
sebagai sarana konservasi tanah dan air. Penanaman tanaman penutup tanah (TPT)
atau legume cover crops (LCC) berfungsi untuk menekan pertumbuhan gulma,
melindungi tanah terhadap penyinaran langsung sinar matahari, melindungi tanah dari
tetesan langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan menjaga kelembaban
tanah serta menambah kesuburan tanah (sebagai pupuk hijau) (Ditjenbun 2007).

Selain itu, tujuan penanaman LCC pada perkebunan kelapa sawit, guna
menunjang pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit lebih optimal, khususnya
dalam menciptakan lingkungan mikro yang lebih baik. Lingkungan mikro mencakup
keadaan tanah dan iklim di sekitar tanaman kelapa sawit. Pertumbuhan dan
perkembangan kelapa sawit yang baik idealnya akan menghasilkan tanaman yang
memiliki produktivitas yang optimal. Penelitian terkait penanaman LCC di
perkebunan kelapa sawit lebih ditekankan pada fungsinya sebagai tanaman

17
konservasi tanah dan air. Legume cover crops (LCC) memiliki beberapa fungsi yaitu
mengurangi kepadatan tanah (Cock 1985), sebagai tempat menyimpan karbon
(Reicosky dan Forcella 1998), mempengaruhi hidrologi tanah dan menjaga dari erosi
yang disebabkan oleh air dan angin (Battany and Grismen 2000), dan meningkatkan
laju infiltrasi air (Archer et al. 2002).

PT. Mega Utama Tani merupakan salah satu perusahaan perkebunan kelapa
sawit di Kecamatan Besulutu, Kabupaten Konawe. Saat ini, kelapa sawit yang ada di
lokasi tersebut berumur 2 dan 3 tahun dan hanya terdiri dari 1 afdeling dengan
beberapa blok. Perkebunan tersebut telah menerapkan teknik konservasi tanah dan air
dengan metode vegetasi, yaitu dengan menanam tanaman leguminoseae misalnya
Calopogonium mucunoides Desv. agar mampu menahan pertumbuhan gulma di
sekitar kelapa sawit dan menjaga agar tidak terjadi erosi, penyubur tanah dan
pengantar unsur N ke tanaman pokok.

Menurut Agus et.al. (2000) legum Calopogonium mucunoides Desv. telah


digunakan sebagai cover crops, karena kemampuannya dalam menutup tanah sebesar
87,5% pada umur 3 bulan. Calopogonium mucunoides Desv. adalah sejenis legume
yang menjalar. Tanaman ini bermanfaat untuk merehabilitasi lahan yang terdegradasi,
meningkatkan bahan organik tanah, memperbaiki kesuburan tanah, melindungi tanah
dari butiran air hujan, dan mencegah erosi pada lahan yang berlereng. Tanaman ini
dapat tumbuh baik sampai ketinggian 300 m dpl, agak tahan terhadap naungan dan
lahan kering, bentuk daun elips dan berukuran kecil, warna hijau, permukaan daun
agak licin. Produksi daun basah dapat mencapai sebesar 20-40 ton/ ha dan produksi
biji mencapai 1000 kg/ ha (Prawirosukarto et al. 2003).

2.7 Cekaman Kekeringan Terhadap Kelapa sawit Periode TBM

Menurut Siregar et al. (1995) dan Siregar et al. (2007), wilayah Indonesia
yang terkena dampak El Niño adalah wilayah yang berada di bagian selatan garis
khatulistiwa. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Sumatera bagian selatan, Jawa,
Kalimantan bagian selatan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara

18
Timur, serta Papua bagian selatan. Curah hujan di bawah normal akibat El Niño
dalam jangka waktu yang panjang (lebih dari 3 bulan) dapat menyebabkan bencana
kekeringan/drought (Yulihastin et al., 2009).

Selain menyebabkan kekurangan air di lahan pertanian maupun perkebunan,


kekeringan panjang juga menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan
yang menyebabkan gangguan asap khususnya di Sumatera dan Kalimantan (Fuller et
al., 2006 dan Wooster et al., 2012). Dalam kaitannya dengan usaha perkebunan
kelapa sawit, cekaman kekeringan dan gangguan asap akan mempengaruhi performa
tanaman kelapa sawit. Hal ini karena tanaman kelapa sawit memerlukan curah hujan
sebagai sumber air utama dan cahaya matahari untuk mendukung pertumbuhan,
perkembangan, dan produktivitasnya. Curah hujan yang optimal bagi tanaman kelapa
sawit adalah 1.700- 3.000 mm/tahun (Siregar et al., 1997).

Sementara itu, lama penyinaran minimal yang dibutuhkan tanaman kelapa


sawit yaitu sebesar 4 jam/hari (Siregar et al., 1997; Verheye, 2010). Oleh karena itu,
defisit air akibat kemarau panjang dan tingkat radiasi matahari yang berkurang akibat
gangguan asap dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman kelapa
sawit. Berdasarkan hasil penelitian, cekaman kekeringan dapat menyebabkan
penurunan laju pembelahan sel, menurunkan laju penyerapan CO , penyerapan hara,
fotosintesis, dan produktivitas 2 (Gardner et al., 2008; Palupi dan Dedywiyanto,
2008; Lakitan, 2012; Bakoume et al., 2013; Cha-um et al., 2013; dan Syarovy et al.,
2015). Sementara itu, gangguan asap dapat menyebabkan penurunan rendemen
minyak (Caliman and Southworth, 1998; Siregar et al., 1999).

2.8 Cekaman Kekeringan Terhadap Kelapa Sawit Periode TM

Cekaman kekeringan dan gangguan asap juga mempengaruhi performa


tanaman kelapa sawit. Hal ini karena tanaman kelapa sawit memerlukan curah hujan
sebagai sumber air untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, dan
produktivitasnya. Curah hujan yang optimal bagi tanaman kelapa sawit adalah 1.700-
3.000 mm th-1 (Siregar et al. 1997; Adiwiganda 1999). Selain itu, tanaman kelapa

19
sawit merupakan tanaman heliofit yang memerlukan cahaya matahari optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Kelapa sawit memerlukan lama penyinaran
minimal yaitu sebesar 4 jam hari-1 (Siregar et al. 1997; Adiwiganda 1999; Verheye
2010).

Defisit air lahan akibat kemarau panjang dan reduksi radiasi matahari akibat
gangguan asap dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan produktivitas tanaman
kelapa sawit. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai dampak kemarau bagi
tanaman kelapa sawit telah cukup banyak dilakukan. Berdasarkan penelitian,
cekaman kekeringan dapat menyebabkan penurunan laju pembelahan sel,
menurunkan laju penyerapan CO2, penyerapan hara, dan fotosintesis, dan penurunan
produktivitas (Darmosarkoro et al. 2001; Bakoume et al. 2008; Cha-um et al. 2013).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak El Niño 2015 terhadap


kondisi defisit air lahan, deret hari terpanjang tidak hujan (dry spell), dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman kelapa sawit. Data
yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai dampak
kekeringan terhadap tanaman kelapa sawit serta beberapa langkah teknis untuk
meminimalisasinya.

2.9 Cekaman Kekeringan Terhadap Kelapa Sawit Periode TM

Pembukaan lahan baik untuk penanaman baru maupun peremajaan tanaman


kelapa sawit menimbulkan perubahan kondisi fisik, kimia dan biologi tanah. Tanah
yang terbuka tanpa vegetasi mudah diterpa air hujan dan tersinari matahari secara
langsung sehingga mudah mengalami erosi. Salah satu cara mengurangi dampak
terpaan air hujan dan sinar matahari adalah penanaman tanaman penutup tanah
kacangan (legume cover crop/LCC). Penanaman LCC memberikan keuntungan
terhadap perbaikan kualitas air dan tanah, membantu menekan serangan hama,
menghambat erosi dan meningkatkan efisiensi siklus hara (Widiastuti dan
Suharyanto, 2007).

20
Tanaman LCC yang telah digunakan sebagai penutup tanah di perkebunan
kelapa sawit antara lain Pueraria javanica, Pueraria phaseoloides, Centrosema
pubescens, Calopogonium caeruleum dan Calopogonium mucunoides yang dikenal
sebagai LCC konvensional. Mucuna bracteata merupakan LCC yang memiliki
kelebihan dibandingkan LCC konvensional. Penggunaan M. bracteata bertujuan
mengatasi beberapa kelemahan LCC konvensional yang tidak tahan terhadap
kekeringan dan naungan serta kurangnya daya kompetisi LCC konvensional dengan
pertumbuhan gulma (Othman et al., 2012).

Menurut Othman et al. (2012) persentase penutupan tanah oleh LCC


konvensional yang merupakan campuran dari P. javanica, C. pubescens dan C.
caeruleum pada umur 6 bulan setelah penanaman di lapangan (BSP) sebesar 80%
kemudian pada umur 12 dan 24 BSP menurun menjadi 54.2% dan 55.4%. Persentase
penutupan tanah oleh M. bracteata memiliki pola yang berbeda yaitu pada umur 6
BSP, persentase penutupan tanah sebesar 30.8% kemudian meningkat menjadi 57.9%
dan 77.5% pada umur 12 dan 24 BSP. Penanaman LCC juga diharapkan dapat
menyumbang unsur nitrogen ke dalam tanah. Kondisi tersebut dicapai jika LCC dapat
menambat N2 dari udara melalui bintil akar yang telah berinokulasi dengan
Rhizobium. Simbiosis antara LCC dengan Rhizobium diharapkan menjadi sistem
yang efektif dalam penambatan nitrogen dari udara.

Menurut Widiastuti dan Suharyanto (2007) inokulasi bakteri Bradyrhizobium


dan Aeromonas punctata yang disertai Acaulospora tuberculata nyata meningkatkan
tinggi tanaman, biomasa, serapan N, P dan K tanaman C. caeruleum. Menurut
Kothandaraman (2008) secara alami bintil akar pada M. bracteata diinokulasi oleh
bakteri Bradyrhizobium. Penanaman M. bracteata untuk mencegah erosi dan
menekan pertumbuhan gulma telah dilakukan di perkebunan kelapa sawit dan karet,
akan tetapi belum dilakukan penambahan inokulan. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian untuk menganalisis pengaruh waktu inokulasi dan dosis inokulan terhadap
pertumbuhan M. bracteata.

21
2.10 Inokulasi Mikoriza pada Kelapa sawit Periode TBM dan TM

Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang cukup penting di


Indonesia dan masih memiliki prospek pengembangan yang cerah. Komoditas kelapa
sawit baik berupa bahan mentah maupun hasil olahan merupakan penyumbang devisa
non-migas terbesar bagi negara. Minyak nabati merupakan produk utama yang dapat
dihasilkan dari kelapa sawit. Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah
kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (CPO atau Crude Palm Oil) yang berwarna
kuning dan minyak inti sawit (PKO atau Palm Kernel Oil) yang tidak berwarna atau
jernih. CPO dan PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan seperti
minyak goreng dan margarin, industri sabun, industri kosmetik dan sebagai bahan
bakar alternatif. Disamping itu limbah kelapa sawit dapat pula dimanfaatkan sebagi
pupuk organik dan makanan ternak (Senardi, 2003).

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2013), luas areal perkebunan kelapa


sawit Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar 8.992.824 ha dan semakin bertambah
pada tahun 2012 yaitu sebesar 9.074.621 ha. Produksi kelapa sawit Indonesia pada
tahun 2011 adalah sebesar 23.096.541 ton dengan produktivitas 3.526 kg/ha dan
mengalami kenaikan yang tidak terlalu signifikan pada tahun 2012 yaitu produksi
sebesar 23.521.071 ton dan produktivitas 3.571 kg/ha untuk memenuhi permintaan
dunia yang semakin meningkat. Untuk mendorong pengembangan produksi kelapa
sawit yang baik maka perlu adaya pembibitan yang baik pula. Langkah yang harus
ditempuh adalah upaya pengembangan seluruh potensi yang tersedia antara lain
pemanfaatan bibit berkualitas, peningkatan sumber daya petani perkebunan,
melakukan pembinaan tentang kemurnian dan mutu benih. Pembibitan kelapa sawit
merupakan hal yang penting untuk menghasilkan produksi kelapa sawit yang
produksinya dalam jangka panjang. Pertumbuhan awal bibit akan menentukan
keberhasilan tanaman (BBPPTP, 2013).

Pertumbuhan bibit di lapangan sangat ditentukan oleh pertumbuhan tanaman


selama di pembibitan. Media tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

22
pertumbuhan tanaman di pembibitan. Erwiyono (2005), mengemukakan bahwa media
tanam di pembibitan umumnya menggunakan tanah lapisan atas (top soil) dengan
pertimbangan lapisan tanah tersebut biasanya subur dan gembur. Namun pada
kenyataannya ketersedian tanah top soil yang semakin sulit didapat maka digunakan
pengganti media tanam sub soil. Pada umumnya tanah sub soil mempunyai nilai
kesuburan yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah top soil dalam kandungan
bahan organik dan unsur hara sehingga perlu adanya penambahan unsur hara dan
bahan organik.

Untuk memperbaiki sifat fisik dan meningkatkan kandungan unsur hara pada
tanah sub soil dapat dilakukan penambahan bahan melalui limbah pabrik kelapa sawit
(sludge). Aplikasi sludge dapat memperbaiki sifat kimia tanah seperti pH, C organik,
Total N, total dan ketersediaan P, Ca, Mg, bahan organik dan peningkatan K (Tajudin,
1991). Peningkatan ketersediaan unsur hara mineral bagi tanaman baik hara makro
atau hara mikro dapat diupayakan melalui inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskural
(FMA) (Kartika, 2007).

Secara umum dalam simbiosisnya dengan tanaman, FMA membentuk hifa


eksternal yang dapat meningkatkan jangkauan tanaman untuk menyerap hara
terutama P, yaitu melalui perbaikan sistem perakaran tanaman kelapa sawit. Peranan
FMA pada tanah masam sangat tinggi karena ketersediaan unsur P merupakan salah
satu pembatas bagi pertumbuhan tanaman di tanah masam (Widiastuti, dkk, 2003).

23
BAB III

METODOLOGI

3.1 Cekaman Garam Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)

3.1.1 Bahan dan Alat

Alat yang di lakukan pada praktikum ini adalah penggaris, gelas ukur, dan alat
tulis. Sedangkan bahan yang di gunakan adalah 2 bibit kelapa sawit dan air garam.

3.1.2 Cara Kerja

1. Siapkan 2 bibit kelapa sawit pre nursery dan pilih salah satu yang akan di
berikan perlakuan
2. Buat lah air garam dengan konsentrasi 50%, 75%, 100%, 150%, dan 200%.
3. Kemudian siram bibit kelapa sawit setiap minggu dengan konsentrasi yang
telah di tentukan.
4. Amati jumlah daun pada bibit yang di beri perlakuan.

3.2 Adaptasi Kelapa Sawit Terhadap cekaman Air Di Lahan Gambut

3.2.1 Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan dalam praktikum ini adalah tidak ada, sedangakan alat yang
digunakan adalah alat tulis dan kamera HP.

3.2.2 Cara Kerja

Pergi ke lahan kelapa sawit yang bertanah gambut, kemudian amati 7 tanaman kelapa
sawit secara visual.

3.3 Adaptasi Kelapa Sawit terhadap Cekaman Air di Lahan Mineral

24
3.3.1 Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan dalam praktikum ini adalah tidak ada, sedangakan alat yang
digunakan adalah alat tulis dan kamera HP.

3.3.2 Cara Kerja

Pergi ke lahan kelapa sawit yang bertanah mineral, kemudian amati 7 tanaman kelapa
sawit secara visual.

2.4 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Organik dari Kelapa Sawit

2.4.1 Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan pada praktikum ini adalah bibit kelapa sawit dan alat yang di
gunakan pada praktikum ini adalah penggaris dan alat tulis

2.4.2 Cara Kerja

Amati bibit kelapa sawit dan amati secara visual serta ukur sifat fisik bibit
tersebut.

2.5 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Non Organik dari kimiawi

2.5.1 Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan adalah Jurnal tentang pupuk kimia terhadap kelapa
sawit dan alat tulis.

2.5.2 Cara Kerja

Mencari jurnal tentang pupuk kimia terhadap kelapa sawit serta mereview
hasil dan pembahasannya.

2.6 Pengaruh Alelopati dari LCC terhadap Kelapa sawit

25
2.6.1 Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan adalah jurnal tentang aleloppati LCC terhadap kelapa sawit
dan alat tulis.

2.6.2 Cara Kerja

Mencari jurnal tentang alelopati LCC terhadap kelapa sawit serta mereview
hasil dan pembahasannya.

2.7 Cekaman Kekeringan Terhadap Kelapa sawit Periode TBM

2.7.1 Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan adalah jurnal tentang cekaman kekeringan terhadap TBM dan
alat tulis.

2.7.2 Cara Kerja

Mencari jurnal tentang cekaman kekeringan kelapa sawit TBM serta


mereview hasil dan pembahasannya.

2.8 Cekaman Kekeringan Terhadap Kelapa Sawit Periode TM

2.8.1 Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan adalah jurnal tentang cekaman kekeringan terhadap TM dan
alat tulis.

2.8.2 Cara Kerja

Mencari jurnal tentang cekaman kekeringan kelapa sawit TM serta mereview


hasil dan pembahasannya.

2.9 Inokulasi Rhizobium pada Kelapa sawit Periode TBM dan TM

26
2.9.1 Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan adalah jurnal tentang aleloppati LCC terhadap kelapa
sawit dan alat tulis.

2.9.2 Cara Kerja

Mencari jurnal inokulasi rhizobium pada kelapa sawit periode TBM dan TM
kelapa sawit serta mereview hasil dan pembahasannya.

2.10 Inokulasi Mikoriza pada Kelapa sawit Periode TBM dan TM

2.10.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kecambah kelap
sawit Tenera (DxP) Simalungaun PPKS Medan, Sludge limbah pabrik kelapa sawit
dan sub soil ultisol, Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA), Polibag ukuran 1 kg (15 cm x
20 cm), Pelepah sawit, paranet dan bambu.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, meteran,


ayakan, timbangan elektronik, gembor atau spayer, kertas label, jangka sorong digital,
form data, kalkulator, alat tulis untuk serta alat lainnya yang mendukung penelitian
ini.

2.10.2 Cara Kerja

Pelaksanaan penelitian meliputi persiapan areal pembibitan, persiapan media


tanam, penyediaan bahan tanam, pemberian FMA, penanaman kecambah kelapa
sawit, pemeliharaan yang meliputi penyiraman, penyulaman, pemupukan,
pengendalian gulma, pengendalian gejala serangan hama dan penyakit, pengendalian
hama dan penyakit.

Parameter yang diamati adalah tinggi bibit (cm), diameter batang (mm),
jumlah daun (helai), total luas daun (cm2), kehijauan daun (unit/0,71 cm2), derajat
infeksi (%), volume akar (ml), berat kering tajuk (g), berat kering akar (g).

27
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Cekaman Garam Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)

Dari hasil pengamatan yang telah di lakukan maka di dapatlah hasil berikut :
 Kontrol

NO Minggu Ke Jumlah Daun Visual Daun


1 1 4 Helai Terdapat bercak daun pada daun
ke 1,2,3,5
2 2 4 Helai Terdapat bercak daun pada daun
ke 1,2,3,5
3 3 4 Helai Terdapat bercak daun pada daun
ke 1,2,3,5
4 4 4 Helai Terdapat bercak daun pada daun
ke 1,2,3,5

 Perlakuan

NO Minggu Ke Jumlah Daun Visual Daun


1 1 6 helai Terdapat bercak daun pada daun
ke 1,2,3.
2 2 6 helai Terdapat bercak daun pada daun
ke 1,2,3.
3 3 6 helai Terdapat bercak daun pada daun
ke 1,2,3.
4 4 6 helai Terdapat bercak daun pada daun
ke 1,2,3.

Dari hasil praktikum di atas di dapatlah pembahasan bahwa salinitas pada


bibit pre nursery kelapa sawit tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah daun. Hal ini
terlihat mulai dari minggu pertama sampai minggu ke empat tidak terjadi
penambahan jumlah daun ataupun terjadi perubahan fisik pada daun.

28
Namun, bisa saja tidak tampak berpengaruh karena waktu pengamatan yang
terlalu singkat. Praktikan hanya mengamati jumlah daun selama 4 minggu saja.
Padahal menurut teori 1 pelepah/daun membutuhkan waktu selama 8 minggu.
Kemudian penampakan fisik pada daun juga tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Setelah itu, pengamatan pada bibit kelapa sawit yang di lakukan perlakuan
tidak dapat kami amati dalam waktu lama karena bibit tersebut mengalami kematian.
Hal ini terjadi di karenakan praktikan salah melakukan durasi penyiraman konsentrasi
air garam.

29
4.2 Adaptasi Kelapa Sawit Terhadap cekaman Air Di Lahan Gambut

Dari praktikum yang telah di lakukan, praktikan meneliti 7 tanaman kelapa


sawit di lahan gambut, seperti table berikut ini :

Hari Pertama :

Hari Kedua :

Hari Ketiga :

Hari Keempat :

30
Dari tabel di atas di dapatlah pembahasan bahwa setelah melakukan 4 hari
berturut-turut kondisi kelapa sawit di lahan gambut dalam kondisi yang biasa saja,
tidak ada perubahan sama sekali hal ini mungkin di karenakan waktu pengamatan
yang terlalu singkat.

4.3 Adaptasi Kelapa Sawit terhadap Cekaman Air di Lahan Mineral

Dari praktikum yang telah di lakukan, praktikan meneliti 7 tanaman kelapa sawit di
lahan mineral, seperti table berikut ini :

Hari pertama :

Hari Kedua :

Hari ketiga :

31
Hari ke empat :

Dari tabel di atas di dapatlah pembahasan bahwa setelah melakukan 4 hari


berturut-turut kondisi kelapa sawit di lahan mineral dalam kondisi yang biasa saja,
tidak ada perubahan sama sekali hal ini mungkin di karenakan waktu pengamatan
yang terlalu singkat.

4.4 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Organik dari Kelapa Sawit

Minggu Ke 5 :

Objek Pengamatan
No Nama 1 2 3 4 5
Senin, 01 April 2019
7 cm 1,4 cm Terdapat bintik coklat
13 cm 2,4 cm Terdapat bintik coklat
Rianis Junita 5
1 19 cm 3,3 cm 22 cm Terdapat bintik coklat
Sari helai
14,5 cm 3 cm Terdapat bintik coklat
20,5 cm 5 cm Terdapat bintik coklat
3,20
14,8 cm
Rata-rata cm
4,5 cm 0,6 cm Terdapat bercak kuning
11 cm 2,9 cm Terdapat bercak kuning
Via Afriani 5
2 13,5 cm 2,9 cm 23 cm Terdapat bercak kuning
Antika helai
19,2 cm 4,1 cm Terdapat bercak kuning
22 cm 5,1 cm Terdapat bercak kuning
3,12
14,4 cm
Rata-rata cm
3 Melati Sukma 5 cm 1,8 cm 4 26,5 Terdapat bercak coklat
9 cm 2,8 cm helai cm Terdapat bercak coklat

32
14,5 cm 3,1 cm Terdapat bercak coklat
17 cm 4,7 cm Terdapat bercak coklat
Rata-rata 11,38 cm 3,1 cm
Jum'at, 05 April 2019
7 cm 1,3 cm Terdapat bintik coklat
13 cm 2,4 cm Terdapat bintik coklat
Rianis Junita 5
1 19 cm 3,3 cm 22 cm Terdapat bintik coklat
Sari helai
14,5 cm 3 cm Terdapat bintik coklat
20,2 cm 5,3 cm Daun terserang hama
14, 74 3,06
Rata-rata cm cm
4,5 cm 0,6 cm Terdapat bercak kuning
11 cm 2,9 cm Terdapat bercak kuning
Via Afriani 5
2 13,5 cm 2,9 cm 23 cm Terdapat bercak kuning
Antika helai
19,2 cm 4,1 cm Terdapat bercak kuning
22 cm 5,1 cm Terdapat bercak kuning
3,12
14,4 cm
Rata-rata cm
5 cm 1,8 cm Terdapat bercak coklat
9 cm 2,8 cm 4 26,5 Terdapat bercak coklat
3 Melati Sukma
14,5 cm 3,1 cm helai cm Terdapat bercak coklat
17 cm 4,7 cm Terdapat bercak coklat
Rata-rata 11,38 cm 3,1 cm

Minggu Ke 6 :

Objek Pengamatan
No Nama 1 2 3 4 5
Senin, 08 April 2019
6,5 cm 1,1cm Terdapat bintik coklat
9,4 cm 2,2 cm Terdapat bintik coklat
12,9 cm 3,2 cm Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai cm
17,7cm 4,1 cm Terdapat bintik coklat
20,1 cm 4,5cm Terdapat bintik coklat
19,6 cm 5,5 cm dimakan hama
rata-rata 14,36 cm 3,43 cm
2 Via Afriani 4 cm 0,6 cm 6 helai 25,7 Terdapat bercak kuning
Antika 10,9 cm 3,1 cm cm Terdapat bercak kuning

33
13,5 cm 3,3 cm Terdapat bercak kuning
17,6 cm 4,4 cm Terdapat bercak kuning
20,8 cm 5 cm Terdapat bercak kuning
20,3 cm 6,2 cm Terdapat bercak kuning
rata-rata 14,51 cm 3,76 cm
4,8 cm 0,6 cm Terdapat bercak coklat
6,6 cm 2,8 cm Terdapat bercak coklat
23,5
3 Melati Sukma 13,9 cm 4,5 cm 5 helai Terdapat bercak coklat
cm
18,5 cm 4,7 cm Terdapat bercak coklat
19,9 cm 5,1 cm Terdapat bintik coklat
rata-rata 13,94 cm 3,54 cm
Jumat, 12 April 2019
6 cm 1,3cm Terdapat bintik coklat
12,5cm 2,5 cm Terdapat bintik coklat
18,5 cm 4 cm Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai 22,5 cm
15,5 cm 3,2 cm Terdapat bintik coklat
22,3 cm 4,8 cm Terdapat bintik coklat
20,5 cm 4,5 cm dimakan hama
rata-rata 15,88 cm 3,38 cm
4,2 cm 0,6 cm Terdapat bercak kuning
12,5 cm 3,4 cm Terdapat bercak kuning
Via Afriani 15,4 cm 3,5 cm Terdapat bercak kuning
2 6 helai 23 cm
Antika 23,5 cm 5,5 cm Terdapat bercak kuning
19,5 cm 4,5 cm Terdapat bercak kuning
22 cm 5 cm Terdapat bercak kuning
rata-rata 16,18 cm 3,75 cm
4,5 cm 0,5 cm Terdapat bercak coklat
13,3 cm 3 cm Terdapat bercak coklat
3 Melati Sukma 20,6cm 4 cm 5 helai 23,5 cm Terdapat bercak coklat
19,5 cm 4,2cm Terdapat bercak coklat
19,5 cm 4,6 cm Terdapat bintik coklat
rata-rata 15,48 cm 3,26 cm

Minggu 7 :

34
Objek Pengamatan
No Nama 1 2 3 4 5
Senin, 15 April 2019
7,1 cm 1,3cm Terdapat bintik coklat
13,8 cm 2,6 cm Terdapat bintik coklat
15,6 cm 3,2 cm Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai 23,2 cm
19,3cm 4,4 cm Terdapat bintik coklat
22,6 cm 4,9cm Terdapat bintik coklat
22,2cm 5,5 cm dimakan hama
16,76
rata-rata
cm 3,65 cm
Terdapat bercak
5 cm 0,7 cm kuning
Terdapat bercak
13,5 cm 3,1 cm kuning
Terdapat bercak
16,1 cm 3,7 cm kuning
2 Via Afriani Antika 6 helai 23,5cm
Terdapat bercak
19,5 cm 4,7 cm kuning
Terdapat bercak
23,2 cm 5,5 cm kuning
Terdapat bercak
21,7 cm 5,4 cm kuning
rata-rata 16,5 cm 3,85 cm
Terdapat bercak
5 cm 0,6 cm coklat
Terdapat bercak
6,6 cm 3,2 cm coklat
3 Melati Sukma 5 helai 23,5 cm Terdapat bercak
13,9 cm 3,5 cm coklat
Terdapat bercak
18,5 cm 5,8 cm coklat
19,9 cm 4,4 cm Terdapat bintik coklat
12,76
rata-rata
cm 3,5 cm
Jumat, 19 April 2019
7 cm 1,3cm Terdapat bintik coklat
13,7cm 2,5 cm Terdapat bintik coklat
14,9 cm 4 cm Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai 22,5 cm
20 cm 3,9 cm Terdapat bintik coklat
22,3 cm 4,8 cm Terdapat bintik coklat
22,4 cm 5,5 cm dimakan hama

35
16,71
rata-rata
cm 2,44 cm
Terdapat bercak
5,1 cm 0,7 cm kuning
Terdapat bercak
13,5 cm 3,4 cm kuning
Terdapat bercak
16,4 cm 4,7cm kuning
2 Via Afriani Antika 6 helai 23 cm
Terdapat bercak
20,2 cm 5,5 cm kuning
Terdapat bercak
24,1 cm 4,5 cm kuning
Terdapat bercak
21,6 cm 5,7cm kuning
16,81
rata-rata
cm 4,08 cm
Terdapat bercak
4,5 cm 0,5 cm coklat
Terdapat bercak
5,9 cm 3 cm coklat
Terdapat bercak
3 Melati Sukma 16,5cm 4 cm 6 helai 23,5 cm coklat
Terdapat bercak
19,5 cm 4,1cm coklat
19,5 cm 4,6 cm Terdapat bintik coklat
22 cm 5,6 cm Terdapat bintik coklat
14,65
rata-rata cm 3,63 cm

Minggu ke 8 :

Objek Pengamatan
No Nama 1 2 3 4 5
Senin, 22 April 2019
1 Rianis Junita Sari 7,2 cm 1,3cm 6 helai 23,2 Terdapat bintik coklat
13,9 cm 2,8cm cm Terdapat bintik coklat
15,5 cm 3,2 cm Terdapat bintik coklat
19,3cm 4,8 cm Terdapat bintik coklat

36
23 cm 5 cm Terdapat bintik coklat
22,3cm 5,8 cm dimakan hama
16,86 3,81
rata-rata
cm cm
6,1 cm 0,9 cm Terdapat bercak kuning
13,8 cm 3,1 cm Terdapat bercak kuning
16 cm 4 cm Terdapat bercak kuning
2 Via Afriani Antika 6 helai 23,5cm
20 cm 4,8cm Terdapat bercak kuning
23,5 cm 5,5 cm Terdapat bercak kuning
21,9 cm 5,4 cm Terdapat bercak kuning
16,88 3,95c
rata-rata
cm m
5,1 cm 0,6 cm Terdapat bercak coklat
6,4 cm 3,2 cm Terdapat bercak coklat
23,5
3 Melati Sukma 14 cm 3,5 cm 5 helai Terdapat bercak coklat
cm
18,5 cm 5,9 cm Terdapat bercak coklat
19,9 cm 4,5 cm Terdapat bintik coklat
12,78 3,54
rata-rata
cm cm
Jumat, 26 April 2019
7 cm 1,3cm Terdapat bintik coklat
13,9cm 2,9 cm Terdapat bintik coklat
14,9 cm 4,3 cm 22,5 Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai
20 cm 4,2 cm cm Terdapat bintik coklat
22,3 cm 4,8 cm Terdapat bintik coklat
22,5 cm 5,6 cm dimakan hama
16,76 3,85
rata-rata
cm cm
6 cm 0,8 cm Terdapat bercak kuning
13,5 cm 3,4 cm Terdapat bercak kuning
16,4 cm 4,9 cm Terdapat bercak kuning
2 Via Afriani Antika 20,2 cm 5,5 cm 6 helai 23 cm Terdapat bercak kuning
24,1
cm 4,5 cm Terdapat bercak kuning
21,6 cm 5,7cm Terdapat bercak kuning
16,96 4,13
rata-rata
cm cm
3 Melati Sukma 4,5 cm 0,5 cm 6 helai 23,5 Terdapat bercak coklat
5,9 cm 3 cm cm Terdapat bercak coklat
16,5cm 4 cm Terdapat bercak coklat

37
19,5 cm 4,1cm Terdapat bercak coklat
19,5 cm 4,6 cm Terdapat bintik coklat
22 cm 5,6 cm Terdapat bintik coklat
14,65 3,63
rata-rata cm cm

Dari table di atas ternyata pemberian pupuk organic ke kelapa sawit selama 4
minggu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini bisa terjadi karena waktu
pengamatan yang terlalu singkat sehingga tidak begitu tampak peerubahannya.

4.5 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Non Organik dari kimiawi

Dari praktikum ini di dapatlah hasil dan pembahasan bahwa praktikan mengambil
jurnal yang berjudul Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) terhadap Pemberian Pupuk Organik Asal Pelepah Kelapa Sawit dan Pupuk
Majemuk NPK yang di tulis oleh Mira Ariyanti dari Universitas Padjadjaran di
dapatlah hasil dan pembahasan sebagai berikut :

Bobot Basah Akar

Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa secara mandiri pemberian pupuk
organik asal pelepah kelapa sawit tidak berbeda nyata pada parameter bobot basah
akar (Tabel 1). Menurut penelitian Winarna dkk. (2001), perakaran kelapa sawit
berkembang baik pada akar yang berada dibawah TKS (tandan kosong kelapa sawit)
yang telah melapuk.

Hal tersebut tidak terjadi pada penelitian ini diduga karena pelepah kelapa sawit
belum melapuk seluruhnya. Pemberian pupuk majemuk NPK secara mandiri
berpengaruh nyata terhadap bobot basah akar pada setiap dosisnya dibandingkan
dengan tanpa pemberian pupuk. Hal tersebut karena unsur hara pada pupuk majemuk
NPK penguraiannya berangsur-angsur di tanah sehingga akar mampu menyerap unsur
hara yang diberikan pupuk pada tanaman dengan baik. Menurut Gardner dkk. (1991),
fosfor mampu mengembangkan lebih banyak akar walaupun bukan pengaruh secara

38
langsung, namun awalnya unsur P dapat membantu meningkatkan fotosintesis yang
selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan akar tanaman.

Selain fungsi di atas, fosfor memiliki fungsi lain bagi tanaman, salah satu yang utama
adalah menjadi sumber dan transfer energi dalam tanaman. Hara P bersifat immobil di
dalam tanah karena sebagian besar P tanah dijerap menjadi bentuk tidak tersedia bagi
tanaman. Ketersediaan P untuk pertumbuhan tanaman tergantung kepada
mobilitasnya di dalam tanah dan keseimbanganm antara bentuk P larut dan terjerap
(Nursyamsi dkk.,2011).

4.6 Pengaruh Alelopati dari LCC terhadap Kelapa sawit

Pada jurnal “Peranan Legume Cover Crops (LCC) Colopogonium mucunoides


DESV. Pada Teknik Konservasi Tanah Dan Air Di Perkebunan Kelapa Sawit” di
dapatlah hasil dan pembahasan berikut :

Distribusi biomassa pada tiap bagian tumbuhan menggambarkan besaran distribusi


diserap oleh tanaman dan dengan bantuan sinar matahari kemudian diubah menjadi

39
karbohidrat untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh tanaman dan ditimbun
dalam bentuk daun, batang, cabang, buah dan bunga (Hairiah dan Rahayu, 2007)

Memperlihatkan rata-rata produksi biomassa tertinggi LCC Calopogonium


mucunoides Desv. terdapat pada batang (52,08 g) dan terendah pada akar (31, 4 g).
Tingginya biomassa batang pada Calopogonium mucunoides Desv. disebabkan batang
merupakan bagian berkayu dan tempat penyimpanan cadangan makanan dari hasil
fotosintesis. Menurut Hilmi (2003) walaupun aktifitas fotosintesis terjadi di daun,
namun ternyata distribusi hasil fotosintesis terbesar digunakan
untuk pertumbuhan batang karena bagian batang menyimpan karbon lebih banyak.
tingginya kadar karbon pada bagian batang disebabkan oleh unsur karbon yang
merupakan bahan organik penyusun dinding sel-sel batang. Batang umumnya
memiliki zat penyusun kayu yang lebih baik dibandingkan
dengan bagian pohon lainnya. Zat penyusun kayu tersebut menyebabkan bagian
rongga sel pada batang banyak tersusun oleh komponen penyusun kayu dibanding air
sedangkan daun umumnya tersusun oleh banyak rongga stomata yang berfungsi
untuk pertukaran gas sehingga kurang padat dan
tidak banyak menyimpan karbon. Kayu secara umum tersusun oleh selulosa, lignin
dan bahan ekstraktif yang sebagian besar disusun dari unsur karbon. Menurut
Gardner dkk., (1991) rendahnya biomassa daun juga dipengaruhi segi morfologi daun
dan jumlah daun. Produksi biomassa yang tinggi akan berkorelasi terhadap
pengembalian unsur hara ke dalam tanah dalam perbaikan kesuburan tanah.
Berdasarkan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah Calopogonium mucunoides
Desv. ternyata memenuhi syarat sebagai LCC. Calopogonium mucunoides
Desv. penghasil bahan organik yang tinggi dan akan sangat bermanfaat jika ditanam

40
di daerah dengan kandungan bahan organik rendah dan seringkali mengalami
kekeringan seperti di daerah perkebunan kelapa sawit PT. Mega Utama Tani di
Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara.

4.7 Cekaman Kekeringan Terhadap Kelapa sawit Periode TBM

Kadar air daun (KAD) menggambarkan jumlah air yang tersimpan dalam tajuk
(status air tanaman). KAD menurun dengan semakin rendahnya KA media (Tabel 1).
Pengaruh interaksi KA media dan genotipe terhadap KAD terlihat pada 4MSP. KAD
semua genotipe menurun dengan semakin rendahnya KA media (Tabel 2). Menurut
Levitt (1980) mekanisme pertahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah:

41
1) menghindari kekeringan (drought avoidance): tanaman mempertahankan status air
dalam jaringan agar metabolisme tetap berjalan; 2) toleransi terhadap kekeringan
(drought tolerance): tanaman tetap dapat melangsungkan metabolismenya pada
kondisi status air yang rendah.

Penurunan KAD keempat genotipe pada KA media 25% KL mencerminkan


mekanisme toleransi bibit kelapa sawit dalam menghadapi cekaman kekeringan
Penurunan KAD pada G1 dan G4 dari K0 sampai K3 (sebesar 2.23%) lebih kecil
daripada G2 dan G3 (sebesar 5.39% dan 3.01%) (Tabel 2), menunjukkan bahwa G1
dan G4 lebih mampu mempertahankan jumlah air yang tersimpan dalam jaringan
daun daripada G2 dan G3. Kirkham (1990) mengemukakan bahwa penurunan jumlah
air yang tersimpan pada tajuk tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan
relatif lebih rendah daripada tanaman yang kurang toleran. Dengan demikian diduga
G1 dan G4 lebih toleran terhadap cekaman kekeringan dibandingkan dengan G2 dan
G3. Kedua kelompok genotipe tersebut mempunyai sumber polen yang berbeda, G1
dan G4 dari AP.01 sedangkan G2 dan G3 dari 742.316. Defisit air (DA) menunjukkan
banyaknya air dalam jaringan yang hilang dibandingkan dengan kandungan air pada
kondisi turgor penuh. Semakin besar defisit air semakin rendah air yang tersedia
untuk metabolisme. Hasil pengamatan menunjukkan DA pada KA media 100, 75 dan
50% KL tidak berbeda, dan lebih rendah daripada KA media 25% KL (Tabel 1). Data
ini memberi gambaran bahwa KA media 25% KL merupakan kondisi cekaman
kekeringan untuk bibit kelapa sawit sehingga air tersedia untuk metabolisme lebih
rendah daripada KA media yang lebih tinggi. DA pada kondisi tersebut paling tinggi,
sebesar 28.85% pada 2MSP dan 21.75% pada 4MSP. Penurunan DA ini diduga
karena penurunan bobot turgid. DA pada keempat genotipe tidak berbeda (Tabel 1),
tetapi pada 4MSP, sekitar 12.1-14.4%, lebih rendah daripada 2MSP, sekitar 19.6-
20.8%. G2 cenderung mempunyai bobot turgid yang lebih tinggi, yang
mencerminkan kemampuan jaringan daun menyerap air, akan tetapi genotipe ini juga
lebih mudah kehilangan air sebagaimana ditunjukkan oleh kadar air daun yang rendah
pada kondisi tercekam kekeringan (Tabel 2).

42
Menurut Prawiranata et al. (1992) DA, terutama pada tanaman yang kurang toleran,
akan mempengaruhi semua proses metabolik, sehingga laju pertumbuhan tanaman
menurun dan jika berlangsung lama dapat mengakibatkan kematian. Luas daun
spesifik (LDS) dapat digunakan untuk memperkirakan ketebalan daun, semakin
rendah LDS maka daun akan semakin tebal (Sitompul dan Guritno, 1995). Salah satu
adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah menambah ketebalan daun,
karena akan semakin tebal lapisan kutikula yang dapat menghambat kehilangan air.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cekaman kekeringan pada KA media 25%KL
selama 4 minggu tidak berpengaruh terhadap LDS. Dibandingkan dengan genotipe
lain LDS G2 pada 2MSP lebih rendah, akan tetapi KAD relatif rendah (Tabel 1),
mengindikasikan tidak adanya penghambatan transpirasi, diduga lapisan kutikula
tidak cukup tebal untuk menghambat transpirasi. Berat kering tajuk (BKT) semakin
rendah dengan semakin rendah KA media pada 2MSP (Tabel 1). Tanaman yang
tercekam kekeringan tumbuh lebih lambat sebagaimana ditunjukkan oleh BKT yang
lebih rendah daripada tanaman yang tidak tercekam, mengindikasikan adanya
penurunan laju pertumbuhan. BKT G1 lebih tinggi daripada genotipe lainnya sampai
2MSP (Tabel 2), tetapi pada 4MSP semua genotipe mempunyai BKT yang sama,
menunjukkan kemampuan bibit kelapa sawit beradaptasi dengan cekaman
kekeringan. Kadar air media 25% KL menghasilkan bibit dengan berat kering akar
(BKA) terendah (Tabel 1). Sampai dengan 2MSP, G1 mempunyai BKA lebih tinggi
daripada genotipe lainnya, tetapi pada 4MSP BKA keempat genotipe tidak berbeda
nyata. BKA menggambarkan kemampuan tanaman dalam menyediakan unsur hara
dan air yang diperlukan dalam proses metabolisme. Tanaman dengan BKA lebih
tinggi mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mendapatkan air pada saat
tercekam kekeringan. BKA yang rendah pada perlakuan KA media 25% KL ini
berkaitan dengan BKT yang rendah, yang mengindikasikan laju pertumbuhan yang
rendah. Nisbah tajuk/akar (nisbah T/A) tidak dipengaruhi oleh kadar air media dan
genotipe (Tabel 1). Nisbah T/A mengindikasikan kemampuan tanaman menyerap air
ketika terjadi cekaman kekeringan (Yoshida dan Hasegawa, 1982). G1 mempunyai
pertumbuhan yang agak berbeda dengan genotipe lainnya, karena selama 4 minggu

43
perlakuan nisbah T/A genotipe ini lebih stabil dan perkembangan akar cenderung
lebih besar daripada genotipe lainnya (Tabel 1). Salah satu mekanisme adaptasi
tanaman terhadap cekaman kekeringan untuk mempertahankan status air tetap tinggi
adalah dengan mengembangkan perakaran, sehingga meningkatkan kemampuan
tanaman dalam mengabsorbsi air. Menurut Hale dan David (1987) peningkatan sistem
perakaran umumnya diikuti dengan penurunan pertumbuhan tajuk. Tanaman yang
lebih mengutamakan pertumbuhan akar daripada tajuknya mempunyai kemampuan
lebih baik untuk bertahan pada kondisi kekeringan. Oleh karena itu, diduga genotipe
G1 lebih mampu bertahan pada kondisi tercekam kekeringan. Pengaruh KA media
terhadap tinggi tanaman (TT) sudah terlihat pada 2MSP sedangkan pengaruh genotipe
pada 4MSP (Tabel 1).

KA media yang rendah dapat menghambat pertumbuhan tanaman, sebagaimana


ditunjukkan oleh pertambahan tinggi tanaman (PTT). PTT pada KA media 100, 75,
dan 50%KL relatif lebih tinggi, sekitar 1.08-1.51 cm/minggu, dibandingkan dengan
KA media 25% KL, 0.29 cm/minggu. Bibit paling tinggi diperoleh dari G3,
sedangkan yang paling rendah G1. Disamping itu G1 juga mempunyai PTT paling
rendah, 0.58 cm/minggu (Tabel 1). Lambatnya pertambahan tinggi G1 diduga
disebabkan oleh sifat genotipe tersebut yang pertumbuhannya lambat sebagaimana
ditunjukkan oleh PTT pada kondisi cukup air (Gambar 2). Cekaman kekeringan
menekan pertambahan tinggi G1 sekitar 69.4%, G2 sebesar 70.7%, G3 sebesar 89%,
dan G4 sebesar 88.6%.

4.8 Cekaman Kekeringan Terhadap Kelapa Sawit Periode TM

Dari praktikum ini maka di dapatlah hasil dan pembahasan :

44
Cekaman kekeringan pada tanaman kelapa sawit akan terjadi apabila terjadi salah
satu dari kriteria berikut : curah hujan (CH) < 1250 mm th -1 , defisit air > 200 mm,
bulan kering (CH < 60 mm bulan -1 ) > 3 bulan, hari terpanjang tidak hujan (dry
spell) > 20 hari (Lubis 2008; Siregar et al. 2005). Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit di wilayah kajian (khususnya di Riau,
Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung) mengalami cekaman kekeringan. Hal ini
dapat dilihat dari kondisi morfologis tanaman .

Hasil perhitungan terhadap rata-rata jumlah pelepah sengkleh, daun tombak dan
penurunan produktivitas kelapa sawit Semester I 2016 dibandingkan dengan Semester
II 2015 ditampilkan pada Tabel 4. Secara umum, hasil penelitian sejalan dengan

45
penelitian - penelitian terdahulu (Siregar et al. 1995; Siregar et al. 1998;
Darmosarkoro 2001; Pangaribuan et al. 2001; Corley and Tinker 2003; Rizal dan
Tsan 2007; Bakoume et al. 2013), cekaman kekeringan dapat menyebabkan laju
produksi pelepah daun menurun; penurunan sex ratio, ditandai dengan kemunculan
bunga jantan yang lebih banyak; jumlah tandan buah menurun; aborsi/keguguran
bunga meningkat; gagal tandan atau kerusakan perkembangan tandan menjadi buah
akan meningkat; penurunan rendemen (banyaknya buah mentah/buah hitam tetapi
sudah membrondol); dan panen pertama dapat tertunda. Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan kriteria dan klasifikasi stadia/tingkat cekaman kekeringan satu tahun
setelah terjadi kekeringan berdasarkan kejadian kekeringan 1994/1995 di Lampung
yang disajikan pada Tabel 5.

Namun demikian, kerentanan tanaman kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan


berbeda-beda tergantung pada umur tanaman. Berdasarkan kajian pengaruh cekaman
kekeringan terhadap produktivitas kelapa sawit yang telah dilakukan di Sumatera
Utara (Pradiko et al. 2016) dan Lampung (Siregar et al. 1998), urutan kerentanan
terhadap cekaman kekeringan adalah sebagai berikut: tua > dewasa > remaja > muda
(tanaman tua paling rentan terhadap cekaman kekeringan dan memiliki masa
recovery yang lebih lama). Menurut hasil kajian dan simulasi cekaman kekeringan
yang dikembangkan di Lampung (Tabel 6), persentase penurunan produksi tandan
buah segar (TBS) yang terjadi setahun setelah kejadian kekeringan (berdasarkan
parameter dry spell) bervariasi menurut umur tanaman. Cekaman kekeringan pada
tanaman muda dapat menyebabkan penundaan panen. Sementara itu, pada tanaman
tua dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 41%. Namun demikian, menurut
Harahap dan Latif (1998), recovery/pemulihan pada tanaman muda lebih cepat
dibandingkan tanaman yang lebih tua.

4.9 Inokulasi Rhizobium pada Kelapa sawit Periode TBM dan TM

46
Dimana proses inokulasi adalah pemberian inokulan bakteri Rhizobium sp ke
dalam tanah yang digunakan sebagai media penanaman tanaman kacang-kacangan.
Inokulasi ini bertujuan untuk membuat simbiosis antara akar tanaman dengan bakteri
sehingga akan tercipta bintil-bintil akar. Proses inokulasi tersebut diawali dengan
inokulan yang berasal dari bakteri Rhizobium sp dicampurkan ke dalam media tanah
pada konsentrasi tertentu sehingga sel-selnya akan berinteraksi dengan sel jaringan
akar sehingga terbentuklah bintil akar. Di dalam bintil akar terdapat bakteri yang
berkembang biak serta melakukan kegiatan fiksasi Nitrogen bebas yang ada di udara.
Hasil simbiosis yang digolongkan sebagai simbiois mutualisme ini yaitu asam amino
untuk tanaman dan karbohidrat untuk bakteri.
Pemberian inokulasi Rhizobium sp. Pada tanaman kacang-kacangan bertujuan
untuk menyediakan bakteri Rhizobium pada tanah yang belum atau tidak pernah
ditanami tanaman kacang-kacangan. Kehadiran bakteri Rhizobium yang serasi
merupakan syarat utama untuk menjamin terbentuknya bintil akar efektif, maka
kemampuan menambat nitrogennya dapat mencukupi kebutuhan nitrogen sebesar 80-
90% dari kebutuhan tanaman dan meningkatkan produksi antara 10%-25%. Sehingga
tanaman kacang-kacangan tidak memerlukan lagi tambahan pupuk nitrogen.
Terdapat 2 cara dalam menularkan bakteri:
 Lewat biji
 Lewat tanah
Dalam penularan bakteri lewat biji dapat dilakukan dengan 2 cara:
 Inokulum buatan pabrik
 Inokulum bubukan tanah
Dosis pemberian inokulasi rhizobium tergantung pada sumber inokulum yang
digunakan. Inokulum buatan pabrik, Legin, rhizogen, atau nitragin dosisnya antara 5-
10 gram/kg benih kacang-kacangan. Sedangkan inokulum berupa bubukan tanah
yang berasal dari lahan yang ditanami tanaman kacang-kacangan dosisnya adalah 100
gram/kg benih kacang-kacangan.

4.10 Inokulasi Mikoriza pada Kelapa sawit Periode TBM dan TM

47
Dari praktikum ini di daptlah hasil dan pembahasan sebagai berikut :

Tinggi Bibit (cm)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam diketahui bahwa


penggunaan perbandingan media tanam sludge dan sub soil ultisol berpengaruh nyata
terhadap tinggi bibit pada 6-12 MST, aplikasi FMA berpengaruh tidak nyata terhadap
tinggi bibit. Sedangkan interaksi antara penggunaan perbandingan media tanam
sludge dan sub soil ultisol dengan FMA berpengaruh nyata pada 6 MST. Dari data
pengamatan 6 MST – 9 MST (Tabel 1), dapat diketahui penggunaan perbandingan
media tanam sludge 25% + ultisol 75% (S1) menghasilkan rataan bibit
tertinggi yang berbeda tidak nyata dengan S0 dan S2 namun berbeda nyata dengan
penggunaan perbandingan media tanam sludge 75% + ultisol 25% (S3) dengan rataan
terendah.

48
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Cekaman Garam Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)

Pada praktikum ini dapat di ambil kesimpulan bahwa salinitas pada bibit pre
nursery kelapa sawit tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah daun. Hal ini terlihat
mulai dari minggu pertama sampai minggu ke empat tidak terjadi penambahan
jumlah daun ataupun terjadi perubahan fisik pada daun.

5.2 Adaptasi Kelapa Sawit Terhadap cekaman Air Di Lahan Gambut

Pada praktikum ini dapat di ambil kesimpulan bahwa tidak ada perubahan
sama sekali hal ini mungkin di karenakan waktu pengamatan yang terlalu singkat.

5.3 Adaptasi Kelapa Sawit terhadap Cekaman Air di Lahan Mineral

Pada praktikum ini dapat di ambil kesimpulan bahwa tidak ada perubahan
sama sekali hal ini mungkin di karenakan waktu pengamatan yang terlalu singkat.

5.4 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Organik dari Kelapa Sawit

Pada praktikum ini dapat di beri kesimpulan bahwa pemberian pupuk organic
ke kelapa sawit selama 4 minggu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini
bisa terjadi karena waktu pengamatan yang terlalu singkat sehingga tidak begitu
tampak peerubahannya.

5.5 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Non Organik dari kimiawi

Tidak terjadi pengaruh interaksi antara pupuk organik pelepah kelapa sawit
dengan pupuk majemuk NPK terhadap bobot basah akar dan bobot kering akar.
Aplikasi pupuk organik pelepah kelapa sawit dan pupuk majemuk NPK berpengaruh
secara mandiri pada parameter bobot basah akar dan bobot kering akar.

49
5.6 Pengaruh Alelopati dari LCC terhadap Kelapa sawit

Berdasarkan hasil dari penelitian maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik


jenis Calopogonium mucunoides Desv. merupakan LCC yang berakar serabut, dengan
kedalaman akar (radix) 17-25 cm. Batangnya bulat dengan ketebalan batang 2-4 cm
berwarna hijau muda. Daun bentuk bulat (orbicularis) berwarna hijau tua permukaan
daunnya berbulu.

Memiliki lebar daun 5,3 cm, panjang tangkai daun (petiolus) 1,8 cm dan
panjang permukaan daun 4,7-8 cm, ketebalan daun 0,2 cm-2 cm. Pengukuran
produksi biomassa tertinggi pada LCC Calopogonium mucunoides Desv. terdapat
pada batang (52,08 g) dan terendah pada akar (31, 4 g). Karakteristik tanah yang
ditanami LCC Calopogonium mucunoides Desv. memiliki tekstur liat lebih tinggi
(96,74%), pH rata-rata 6,0, kadar N-total, P, K serta Corganik yang tinggi.
Karakteristik tanah yang tidak ditanami LCC Calopogonium mucunoides Desv.
memiliki tekstur pasir dan debu tinggi (2,68% dan 1,65%), pH rata-rata 5,3, kadar N-
total, P dan K dan COrganik sangat rendah. Produksi biomassa yang tinggi akan
berkorelasi terhadap pengembalian unsur hara ke dalam tanah dalam perbaikan
kesuburan tanah. Berdasarkan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah Calopogonium
mucunoides Desv. ternyata memenuhi syarat sebagai LCC.

5.8 Cekaman Kekeringan Terhadap Kelapa Sawit Periode TM

Respons tanaman kelapa sawit klon MK 356 dan MK 365 terhadap cekaman
kekeringan ditunjukkan dengan adanya perubahan kadar air daun, kadar air relatif,
luas daun spesifik, potensial air daun, prolin, glisin betain, ABA, gula-gula osmotic
terutama glukosa dan silosa, serta protein dengan bobot molekul rendah. Perbedaan
respons klon MK 356 dengan MK 365 terjadi pada kadar gula silosa, ABA, profil
SDS-PAGE protein dan protein dengan berat molekul 36 kDa. Hibrida berpotensi
toleran memberikan respons terhadap cekaman kekeringan dengan menginduksi
protein baru pI 4,7-36 kDa, pI 5,3-34 kDa, pI 4,6-32 kDa dan pI 5,3-36 kDa,

50
sedangkan pada hibrida yang berpotensi peka tidak ditemukan adanya induksi protein
baru.

5.9 Inokulasi Rhiobiujm pada Kelapa sawit Periode TBM dan TM

Sebagai simbiois mutualisme ini yaitu asam amino untuk tanaman dan
karbohidrat untuk bakteri. Kemampuan menambat nitrogennya dapat mencukupi
kebutuhan nitrogen sebesar 80-90% dari kebutuhan tanaman dan meningkatkan
produksi antara 10%-25%.

5.10 Inokulasi Mikoriza pada Kelapa sawit Periode TBM dan TM

Pemberian FMA pada pembibitan kelapa sawit di pre nursery berpengaruh nyata
terhadap parameter derajat infeksi akar, menunjukkan bahwa perlakuan M2 (10 g/m
bibit) menghasilkan derajat infeksi tertinggi. Komposisi media tanam (sludge +
ultisol) pada pembibitan kelapa sawit di pre nursery berpengaruh nyata terhadap
parameter tinggi bibit 6-12 MST, derajat infeksi akar, serta bobot kering tajuk.
Interaksi pemberian FMA dan komposisi media tanam pada pembibitan
kelapa sawit di pre nursery berpengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman 6 MST
serta parameter derajat infeksi, S0M2 (Sludge 0% + Ultisol 100%) dengan mikoriza 10
g/bibit dengan derajat infeksi tertinggi.

51
DAFTAR PUSTAKA

Ebbs, Stephen. 2009. Plant Ecophysiology-Spring


Semester. http://www.plantbiology.siu.edu/plb530/index_files/PLB530_Sp09.pdf

Jumin, H. B. , 1992, Ekologi Tanaman suatu Pendekatan Fisiologi, Rajawali Press,


Jakarta.

Lambers, H., F. Stuart Chapin, Thijs L. Pons. 1998. Plant Physiological Ecology.
Springer. New York.

Moonns. A. 1995. Molecular and Physiological Responses to Abscisic Acid


Salts in Roots of Salt-Sensitive and Salt-Tolerant Indica Rice Varieties. Plant
Physiol Vol 107: 177-186.

Zoko, G. 2009. Cekaman Kekeringan. Diakses dari gozomora.blogspot.com

Sinaga, S. 2002. Asam Absisik Sebuah Mekanisme Adaptasi Tanaman Terhadap


Cekaman Kekeringan. Hal 1-6. Diakses dari http://www.daneprairie.com

Acosta-Motos, J. R., Ortuño, M. F., BernalVicente, A. Diaz-Vivancos, P.,


SanchezBlanco, M. J. & Hernandez, J. A. (2017). Plant responses to salt stress:
adaptive mechanisms. Agronomy, 7, 18-56. https://doi.org/10.3390/agronomy701
0018

Ashraf, M. A. (2012). Waterlogging stress in plants: A review. African Journal of


Agricultural Research, 7(13), 1976-1981. DOI: 10.5897/AJARX11.084

Batool, N., Shahzad, A & Ilyas, A. (2014). Plants and salt stress. International
Journal of Agriculture and Crop Sciences, 7(14), 1439-1446. Retrieved from
www.ijagcs.com. IJACS/2014/7- 14/1439-1446

Chen, T., X. Cai, X. Wu, I. Karahara, L. Schreiber, & J. Lin. (2011). Casparian strip
development and its potential function in salt tolerance. Plant Signaling and
Behavior, 6(10), 1499– 1502. https://doi.org/10.4161/psb.6.10.1705

Corley, R. H. V. dan P. B. Tinker. (2015). The Oil Palm. West Sussex: Blackwell
Science.
Duarte, H. H. F. & E. R. de Souza. (2016). Soil water potentials and Capsicum
annuum L. under salinity. Revista Brasileira de Ciência do
Solo,40,111.DOI:10.1590/18069657rbcs20150220

El-Nashar, W. Y. (2013). The combined effect of water-logging and salinity on crops

52
yield. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science, 6(4), 40-49. DOI:
10.9790/2380-0644049

Mehrjerdi, M. (2015). The effect of salinity stress on Na+ , K+ concentration , Na+ /


K+ ratio , electrolyte leakage and HKT expression profile in roots of Aeluropus
littoralis. Journal of Plant Molecular Breeding, 3(2), 1–10.

Bilgin, O., I. Baser, K. Z. Korkut, A. Balkan and N. Saglam, 2008. The


impacts on seedling root growth of water and salinity stress
in maize (Zea mays indentata Sturt.). Bulg. J. Agric. Sci.,
volume 14(1): 313-320 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Pekanbaru. 2012. Analisis Keadaan Cuaca Bulan Juni 2012.
Pekanbaru. Buletin BMKG Juli 2012. Pekanbaru

Dat, J.F., Capelli, N., Folzer, N., Bourgeade, P. dan PierreMarie Badot.
2004. Sensing and signalling during plant flooding. Plant
Physiology and Biochemistry, volume 42(1) : 273–282.

Dewi, N. 2009. Respons bibit kelapa sawit terhadap lama


penggenangan dan pupuk pelengkap cair. Agronobis, volume 1
(1): 117-129 Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991.
Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan: Herawati Susilo. UI
Press. Jakarta.

Hendramono, 2003. Kriteria penilian mutu bibit dalam wadah


yang siap tanam untuk rehabilitasi lahan. Buletin penelitian
dan pengembangan kehutanan. vol. 4 (3). Pusat penelitian hutan
dan konservasi alam. Bogor.

53
Lakitan, B. 2001. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Pt Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Salisbury, F. B dan C. W. Ross.1995. Plant Phisyology. Edisi ke 3.
Diterjemahkan oleh: D. R.Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB.
Bandung Santoso, H. 2004. Pengelolaan tanah-tanah aquik di
perkebunan kelapa sawit. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
volume 12(1): 1-7 Setyamidjaja, D., 2006. Kelapa Sawit. Kanisius,
Yogyakarta.

54

Anda mungkin juga menyukai