Laporan Akhir Praktikum Ekofisiologi
Laporan Akhir Praktikum Ekofisiologi
NIM : 16002022
PRODI AGROTEKNOLOGI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI PELALAWAN
STT PELALAWAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada allah ta’ala SWT, karena Nikmat dan
Rahmatnya Laporan Akhir Praktikum Ekofiologi Kelapa Sawit ini bisa terselesaikan
tepat pada waktunya. Begitu juga ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
bersedia memberikan Kontribusi dengan memberikan sumbangan tenaga dan pikiran
terhadap laporan ini.
Sangat besar harapan kami, semoga laporan ini bisa memberikan pengetahuan
kepada para pembaca. Dan juga besar keinginan kami untuk kedepannya dapat
memperbaiki ataupun menambah isi laporan ini apabila terdapat kesalahan dan
kekurangan.
Dan juga kami meyakini akan banyak terdapat kesalahan pada laporan ini.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................... 3
DAFTAR TABEL....................................................................................... 4
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. 5
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................... 6
BAB III.METODOLOGI.......................................................................... 21
BAB V.KESIMPULAN.............................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
Salinitas tinggi dan genangan dapat terjadi pada tempat dan waktu yang sama;
meskipun demikian pemahaman terhadap pengaruh kedua kondisi tersebut terhadap
pertumbuhan, respon morfologis, dan anatomis kelapa sawit masih sedikit. Telah
dilakukan penelitian dengan mengkombinasikan 2 aras salinitas (non salin dan salin)
dan tiga taraf genangan (tanpa genangan, interval genangan 2 minggu, dan interval
genangan 4 minggu).
Penelitian dilakukan dalam pot selama 4 bulan dengan bahan tanam kelapa sawit
berumur 4 bulan. Parameter pertumbuhan dianalisis dengan analisis varian dan
dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada jenjang nyata 5%. Pengamatan
visual secara langsung dan pembuatan preparat melintang akar dilakukan untuk
mengetahui perubahan morfologi dan anatomi tanaman. Hasil analisis menunjukkan
salinitas tinggi dan genangan konsisten menurunkan parameter pertumbuhan kelapa
sawit. Salinitas tinggi dan genangan tidak secara konsisten mengubah rasio luas
masing-masing jaringan penyusun akar primer, sekunder, dan tersier. Kelapa sawit
membentuk pneumatophore dan saluran aerenkima pada kondisi genangan, baik non
salin maupun salin. Mekanisme adaptasi terhadap genangan tersebut dapat
menurunkan pengaruh negatif cekaman salinitas tinggi.
4
Genangan air yang terjadi di lahan kelapa sawit sangat mudah terjadi pada musim
hujan, intensitas hujan yang tinggi akan membuat kelapa sawit mudah di genangi air
apalagi kelapa sawit pada lahan gambut. Oleh karena itu, ketika kelapa sawit di
genangi oleh air apakah ada efek samping bagi pertumbuhan dan produktifitasnya.
Pada saat ini pandangan perkembangan pertanian organik sebagai salah satu
teknologi alternatif untuk menanggulangi persoalan lingkungan sangat diperlukan.
Persoalan besar yang terjadi disebabkan karena pencemaran tanah yang menyebabkan
persediaan unsur hara dalam tanah semakin lama semakin menipis. Apalagi banyak
unsur yang hilang tidak dikembalikan lagi ke tanah. Jika hal ini berlangsung terus-
menerus maka tanah akan semakin miskin unsur hara.
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup yang
diolah melalui proses pembusukan (dekomposisi) oleh bakteri pengurai, seperti
5
pelapukan sisa - sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik banyak
memberikan keuntungan ditinjau dari peningkatan kesuburan tanah dan peningkatan
produktifitas tanaman. Atas dasar tersebut saya merasa tertarik untuk mengkaji dan
mengetahui lebih dalam mengenai pupuk organik serta segala sesuatu yang berkaitan
dengan pupuk organik.
Pupuk buatan adalah pupuk yang dibuat di pabrik yang mengandung unsur
hara tertentu, yang pada umumnya mempunyai kadar unsur hara yang tinggi. Pupuk
buatan mempunyai kelemahan yaitu dapat merusak lingkungan dan mengandung
sedikit unsur mikro. Sedangkan kebaikannya adalah pemakaiannya lebih mudah dan
dapat diberikan pada saat yang tepat
Kesuburan tanah tidak terlepas dari keseimbangan biologi, fisika dan kimia;
ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan sangat menentukan tingkat kesuburan lahan
pertanian. Tanpa disadari selama ini sebagian besar pelaku tani di Indonesia hanya
mementingkan kesuburan yang bersifat kimia saja, yaitu dengan memberikan pupuk
anorganik seperti : urea, TSP/SP36, KCL dan NPK secara terus menerus dengan dosis
yang berlebihan.
6
berlebihan oleh daun akibat laju evapotransporasi melebihi laju absorpsi air walaupun
keadaan air tanah tersedia cukup.
7
1.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh cekaman garam
pada pertumbuhan bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui adaptasi kelapa sawit
terhadap cekaman air di lahan gambut
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui adaptasi kelapa sawit
terhadap cekaman air di lahan mineral
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan kelapa sawit
terhadap aplikasi pupuk organic dari kelapa sawit
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan kelapa sawit
terhadap aplikasi pupuk non organic dari kimiawi
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh alelopati dari lcc
terhadap kelapa sawit
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh cekaman
kekeringan terhadap kelapa sawit periode TBM
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh cekaman
kekeringan terhadap kelapa sawit periode TM
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui inokulasi rhizobium pada
kelapa sawit periode TBM dan TM
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui inokulasi mikoriza pada
kelapa sawit periode TBM dan TM
8
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
adaptasi kelapa sawit terhadap cekaman air di lahan gambut.
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
adaptasi kelapa sawit terhadap cekaman air di lahan mineral
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
pertumbuhan kelapa sawit terhadap aplikasi pupuk organic dari kelapa sawit
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
pertumbuhan kelapa sawit terhadap aplikasi pupuk non organic dari kimiawi
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
pengaruh alelopati dari lcc terhadap kelapa sawit
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
cekaman kekeringan terhadap kelapa sawit periode TBM
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
cekaman kekeringan terhadap kelapa sawit periode TM
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
inokulasi rhizobium pada kelapa sawit periode TBM dan TM
Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang
inokulasi mikoriza pada kelapa sawit periode TBM dan TM
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cekaman Garam Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)
Efek berbahaya dari salinitas dapat bervariasi tergantung pada kondisi iklim,
intensitas cahaya, spesies tanaman ataupun kondisi tanah (Tang et al., 2015).
Genangan adalah kondisi ketika tanah mengalami saturasi dan terdapat lapisan air di
10
permukaan tanah (El-Nashar, 2013). Secara alami, genangan dapat terjadi bersamaan
atau setelah banjir, namun pada berbagai area terjadinya genangan tidak berhubungan
langsung dengan banjir. Genangan dapat terjadi melalui naiknya permukaan air tanah
akibat intrusi dari badan – badan air di sekitarnya seperti sungai, danau, dan laut.
Berbeda dengan banjir, air pada kondisi genangan relatif tenang dan tidak bergerak
secara horizontal. Tanah dikatakan mengalami genangan bila <10% pori makronya
terisi oleh air (Shaw, 2015).
Adanya lapisan air yang membatasi pertukaran gas antara rhizosfer dan
atmosfer memiliki dampak yang besar terhadap tanaman. Terbatasnya laju difusi
menyebabkan terjadinya kompetisi penyerapan O2 antara mikroorganisme dan akar
tanaman. Kondisi tergenang menurunkan ketersediaan dan serapan unsur hara
(ElNashar, 2013), terjadi akumulasi CO2 hasil respirasi dan fermentasi yang tidak
dapat dilepaskan ke atmosfer. Hormon tanaman berupa gas (etilen) juga mengalami
akumulasi di perakaran tanaman karena tidak dapat dilepaskan ke rizosfer (Salazar et
al., 2015; Voesenek & Bailey-Serres, 2015).
Salinitas tinggi dan genangan pada lahan kelapa sawit dapat terjadi pada
tempat dan waktu yang sama. Sumber genangan yang berasal dari intrusi air laut atau
pelarutan deposit garam pada tanah merupakan sumber salinisasi genangan. Interaksi
antara salinitas tinggi dan genangan terhadap pertumbuhan kelapa sawit belum
banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antara salinitas
tinggi dan genangan terhadap pertumbuhan, perubahan morfologis, dan anatomis
kelapa sawit.
11
2.2 Adaptasi Kelapa Sawit Terhadap cekaman Air Di Lahan Gambut
Menurut Sivakumaran dan Hall (1978), respon tanaman terhadap genangan air
berbeda-beda tergantung dari jenis, genotip, umur tanaman, penyebab genangan,
waktu dan lama penggenangan, kondisi genangan, serta karakteristik tempat tumbuh
tanaman. Penggenangan mengakibatkan ketidakstabilan pembentukan ABA (Asam
Absisat) yang mempengaruhi pembentukan etilen endogen pada tanaman, sehingga
pada sel tanaman muda akan cepat tua dan membusuk. Hasil penelitian Dewi (2009)
menunjukkan, penggenangan air dapat mengakibatkan perubahan warna daun, tinggi
bibit, kandungan unsur hara makro daun bibit kelapa sawit, namun tidak berpengaruh
pada jumlah pelepah dan pertumbuhan tunas.
12
2.3 Adaptasi Kelapa Sawit terhadap Cekaman Air di Lahan Mineral
Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2013) luas areal perkebunan
kelapa sawit di Provinsi Riau telah mencapai 3.372.403 ha yang didominasi oleh
perkebunan rakyat dan swasta. Laporan Dinas Perkebunan Provinsi Riau (2014)
menyebutkan, tanaman kelapa sawit yang akan diremajakan mencapai 10.247 ha.
Guna memenuhi bibit kelapa sawit untuk peremajaan tanaman atau pembukaan
perkebunan baru sangat dibutuhkan bibit yang berkualitas dengan kuantitas yang
terus meningkat.
Menurut Rahim (1992) pengadaan bibit kelapa sawit yang bermutu tergantung
pada faktor eksternal yang mendukung, salah satu diantaranya adalah curah hujan.
Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan pembibitan kelapa sawit akibat
perubahan iklim adalah karena terjadi perubahan pola curah hujan, sehingga sering
tergenangnya areal pembibitan, yang berakibat cekaman jenuh air, baik dalam kondisi
hipoksia atau anoksia pada bibit kelapa sawit. Proses metabolisme tanaman yang
mengalami kondisi tergenang secara keseluruhan akan terganggu, sehingga
mengganggu pertumbuhan bibit dan akan menggangu perkembangan tanaman
selanjutnya (Taiz dan Zeiger, 2002).
13
cair melalui daun lebih efisien bila dibandingkan dengan pemberian melalui akar
karena dapat langsung digunakan oleh tanaman dalam proses metabolismenya.
Absorpsi unsur hara yang diberikan melalui daun sangat dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhinya adalah
konsentrasi unsur hara yang diberikan. Menurut Dewi (2009) bibit yang mengalami
genangan 30 hari membutuhkan 12.000 ppm pupuk pelengkap cair, bibit yang
mengalami genangan 20 hari membutuhkan 8.000 pupuk pelengkap cair dan
genangan 10 hari hanya membutuhkan 4.000 ppm pupuk pelengkap cair.
2.4 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Organik dari Kelapa Sawit
14
pemupukan menjadi sangat penting untuk mengurangi biaya pemupukan secara
konvensioanal (Sutarta dkk., 2001).
Limbah dari kelapa sawit dapat berasal dari tandan kosong, serat, cangkang,
limbah cair, dan pelepah penunasan. Kandungan bahan organik dari limbah tersebut
cukup tinggi (Chan, 1992 dalam Tarmizi, 2000). Beberapa perkebunan sudah
memanfaatkan berbagai limbah tersebut tetapi masih jarang yang memanfaatkan
pelepah. Pelepah hasil penunasan pada umumnya dibiarkan di sekitar pinggiran
pohon kelapa sawit dan dibiarkan melapuk dengan sendirinya. Proses tersebut tentu
membutuhkan waktu yang cukup lama sampai pelepah terdekomposisi. Jumlah
pelepah kelapa sawit yang dapat diperoleh untuk setiap satu hektar perkebunan kelapa
sawit mencapai kurang lebih 2,3 ton bahan kering. Bila satu hektar terdiri dari 130
pohon, setiap pohon dapat menghasilkan 22–26 pelepah/tahun dengan rerata berat
pelepah dan daun sawit 4–6 kg/pelepah, bahkan produksi pelepah dapat mencapai
40–50 pelepah/pohon/tahun dengan berat sebesar 4,5 kg/pelepah (Hutagalung &
Jalaluddin, 1982).
Pada dasarnya pelepah kelapa sawit memiliki nilai guna seperti halnya dengan
tandan kosong. Menurut Sugiyono (1998) pelepah kelapa sawit mengandung unsur
makro K = 2,57-3,74%, Ca = 0,37-0,68%, dan Mg = 0,13-0,36%. Menurut Herviyanti
dkk. (2012), kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah mampu meningkatkan
keefektifan pemupukan anorganik karena mampu mengikat unsur hara dan
meningkatkan jumlah muatan negatif sehingga KTK tanah tinggi.
2.5 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Non Organik dari kimiawi
15
selain digunakan sebagai minyak goreng dan margarine, dapat juga digunakan untuk
industri sabun dan lilin. Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia
selama tahun 1990- 2000 mencapai 14.164.439 ha atau meningkat 21,5%
dibandingkan akhir tahun 1990 yang hanya 11.651.439 ha (Fauzi et al., 2004).
16
tanaman bawang merah yang ditanam di lahan gambut, Gusmawartati et al. (2011)
hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikroorganisme selulolitik dan
pupuk NPK dosis rendah cendrung meningkatkan pertumbuhan dan produksi bawang
merah. Dosis 10 ml mikroorganisme selulolitik dan 1/3 anjuran pupuk urea, TSP, KCl
meningkatkan secara nyata berat kering tanaman 55 HST (hari setelah tanam).
Salah satu tanaman perkebunan yang memiliki peranan cukup penting sebagai
sumber devisa negara Indonesia adalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan
produk utamanya yaitu minyak sawit sebagai produk unggulan yang perlu terus
dikembangkan nilai produksinya. Pada tahun 2014 produksi CPO mencapai 27.7 juta
ton dengan luas areal pertanaman kelapa sawit mencapai 10.9 juta ha dengan
pembagian 42% perkebunan rakyat, 7% perkebunan besar negara dan 51%
perkebunan besar swasta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
Selain itu, tujuan penanaman LCC pada perkebunan kelapa sawit, guna
menunjang pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit lebih optimal, khususnya
dalam menciptakan lingkungan mikro yang lebih baik. Lingkungan mikro mencakup
keadaan tanah dan iklim di sekitar tanaman kelapa sawit. Pertumbuhan dan
perkembangan kelapa sawit yang baik idealnya akan menghasilkan tanaman yang
memiliki produktivitas yang optimal. Penelitian terkait penanaman LCC di
perkebunan kelapa sawit lebih ditekankan pada fungsinya sebagai tanaman
17
konservasi tanah dan air. Legume cover crops (LCC) memiliki beberapa fungsi yaitu
mengurangi kepadatan tanah (Cock 1985), sebagai tempat menyimpan karbon
(Reicosky dan Forcella 1998), mempengaruhi hidrologi tanah dan menjaga dari erosi
yang disebabkan oleh air dan angin (Battany and Grismen 2000), dan meningkatkan
laju infiltrasi air (Archer et al. 2002).
PT. Mega Utama Tani merupakan salah satu perusahaan perkebunan kelapa
sawit di Kecamatan Besulutu, Kabupaten Konawe. Saat ini, kelapa sawit yang ada di
lokasi tersebut berumur 2 dan 3 tahun dan hanya terdiri dari 1 afdeling dengan
beberapa blok. Perkebunan tersebut telah menerapkan teknik konservasi tanah dan air
dengan metode vegetasi, yaitu dengan menanam tanaman leguminoseae misalnya
Calopogonium mucunoides Desv. agar mampu menahan pertumbuhan gulma di
sekitar kelapa sawit dan menjaga agar tidak terjadi erosi, penyubur tanah dan
pengantar unsur N ke tanaman pokok.
Menurut Siregar et al. (1995) dan Siregar et al. (2007), wilayah Indonesia
yang terkena dampak El Niño adalah wilayah yang berada di bagian selatan garis
khatulistiwa. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Sumatera bagian selatan, Jawa,
Kalimantan bagian selatan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
18
Timur, serta Papua bagian selatan. Curah hujan di bawah normal akibat El Niño
dalam jangka waktu yang panjang (lebih dari 3 bulan) dapat menyebabkan bencana
kekeringan/drought (Yulihastin et al., 2009).
19
sawit merupakan tanaman heliofit yang memerlukan cahaya matahari optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Kelapa sawit memerlukan lama penyinaran
minimal yaitu sebesar 4 jam hari-1 (Siregar et al. 1997; Adiwiganda 1999; Verheye
2010).
Defisit air lahan akibat kemarau panjang dan reduksi radiasi matahari akibat
gangguan asap dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan produktivitas tanaman
kelapa sawit. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai dampak kemarau bagi
tanaman kelapa sawit telah cukup banyak dilakukan. Berdasarkan penelitian,
cekaman kekeringan dapat menyebabkan penurunan laju pembelahan sel,
menurunkan laju penyerapan CO2, penyerapan hara, dan fotosintesis, dan penurunan
produktivitas (Darmosarkoro et al. 2001; Bakoume et al. 2008; Cha-um et al. 2013).
20
Tanaman LCC yang telah digunakan sebagai penutup tanah di perkebunan
kelapa sawit antara lain Pueraria javanica, Pueraria phaseoloides, Centrosema
pubescens, Calopogonium caeruleum dan Calopogonium mucunoides yang dikenal
sebagai LCC konvensional. Mucuna bracteata merupakan LCC yang memiliki
kelebihan dibandingkan LCC konvensional. Penggunaan M. bracteata bertujuan
mengatasi beberapa kelemahan LCC konvensional yang tidak tahan terhadap
kekeringan dan naungan serta kurangnya daya kompetisi LCC konvensional dengan
pertumbuhan gulma (Othman et al., 2012).
21
2.10 Inokulasi Mikoriza pada Kelapa sawit Periode TBM dan TM
22
pertumbuhan tanaman di pembibitan. Erwiyono (2005), mengemukakan bahwa media
tanam di pembibitan umumnya menggunakan tanah lapisan atas (top soil) dengan
pertimbangan lapisan tanah tersebut biasanya subur dan gembur. Namun pada
kenyataannya ketersedian tanah top soil yang semakin sulit didapat maka digunakan
pengganti media tanam sub soil. Pada umumnya tanah sub soil mempunyai nilai
kesuburan yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah top soil dalam kandungan
bahan organik dan unsur hara sehingga perlu adanya penambahan unsur hara dan
bahan organik.
Untuk memperbaiki sifat fisik dan meningkatkan kandungan unsur hara pada
tanah sub soil dapat dilakukan penambahan bahan melalui limbah pabrik kelapa sawit
(sludge). Aplikasi sludge dapat memperbaiki sifat kimia tanah seperti pH, C organik,
Total N, total dan ketersediaan P, Ca, Mg, bahan organik dan peningkatan K (Tajudin,
1991). Peningkatan ketersediaan unsur hara mineral bagi tanaman baik hara makro
atau hara mikro dapat diupayakan melalui inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskural
(FMA) (Kartika, 2007).
23
BAB III
METODOLOGI
3.1 Cekaman Garam Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)
Alat yang di lakukan pada praktikum ini adalah penggaris, gelas ukur, dan alat
tulis. Sedangkan bahan yang di gunakan adalah 2 bibit kelapa sawit dan air garam.
1. Siapkan 2 bibit kelapa sawit pre nursery dan pilih salah satu yang akan di
berikan perlakuan
2. Buat lah air garam dengan konsentrasi 50%, 75%, 100%, 150%, dan 200%.
3. Kemudian siram bibit kelapa sawit setiap minggu dengan konsentrasi yang
telah di tentukan.
4. Amati jumlah daun pada bibit yang di beri perlakuan.
Bahan yang di gunakan dalam praktikum ini adalah tidak ada, sedangakan alat yang
digunakan adalah alat tulis dan kamera HP.
Pergi ke lahan kelapa sawit yang bertanah gambut, kemudian amati 7 tanaman kelapa
sawit secara visual.
24
3.3.1 Bahan dan Alat
Bahan yang di gunakan dalam praktikum ini adalah tidak ada, sedangakan alat yang
digunakan adalah alat tulis dan kamera HP.
Pergi ke lahan kelapa sawit yang bertanah mineral, kemudian amati 7 tanaman kelapa
sawit secara visual.
2.4 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Organik dari Kelapa Sawit
Bahan yang di gunakan pada praktikum ini adalah bibit kelapa sawit dan alat yang di
gunakan pada praktikum ini adalah penggaris dan alat tulis
Amati bibit kelapa sawit dan amati secara visual serta ukur sifat fisik bibit
tersebut.
2.5 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Non Organik dari kimiawi
Bahan yang di gunakan adalah Jurnal tentang pupuk kimia terhadap kelapa
sawit dan alat tulis.
Mencari jurnal tentang pupuk kimia terhadap kelapa sawit serta mereview
hasil dan pembahasannya.
25
2.6.1 Bahan dan Alat
Bahan yang di gunakan adalah jurnal tentang aleloppati LCC terhadap kelapa sawit
dan alat tulis.
Mencari jurnal tentang alelopati LCC terhadap kelapa sawit serta mereview
hasil dan pembahasannya.
Bahan yang di gunakan adalah jurnal tentang cekaman kekeringan terhadap TBM dan
alat tulis.
Bahan yang di gunakan adalah jurnal tentang cekaman kekeringan terhadap TM dan
alat tulis.
26
2.9.1 Bahan dan Alat
Bahan yang di gunakan adalah jurnal tentang aleloppati LCC terhadap kelapa
sawit dan alat tulis.
Mencari jurnal inokulasi rhizobium pada kelapa sawit periode TBM dan TM
kelapa sawit serta mereview hasil dan pembahasannya.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kecambah kelap
sawit Tenera (DxP) Simalungaun PPKS Medan, Sludge limbah pabrik kelapa sawit
dan sub soil ultisol, Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA), Polibag ukuran 1 kg (15 cm x
20 cm), Pelepah sawit, paranet dan bambu.
Parameter yang diamati adalah tinggi bibit (cm), diameter batang (mm),
jumlah daun (helai), total luas daun (cm2), kehijauan daun (unit/0,71 cm2), derajat
infeksi (%), volume akar (ml), berat kering tajuk (g), berat kering akar (g).
27
BAB IV
4.1 Cekaman Garam Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)
Dari hasil pengamatan yang telah di lakukan maka di dapatlah hasil berikut :
Kontrol
Perlakuan
28
Namun, bisa saja tidak tampak berpengaruh karena waktu pengamatan yang
terlalu singkat. Praktikan hanya mengamati jumlah daun selama 4 minggu saja.
Padahal menurut teori 1 pelepah/daun membutuhkan waktu selama 8 minggu.
Kemudian penampakan fisik pada daun juga tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Setelah itu, pengamatan pada bibit kelapa sawit yang di lakukan perlakuan
tidak dapat kami amati dalam waktu lama karena bibit tersebut mengalami kematian.
Hal ini terjadi di karenakan praktikan salah melakukan durasi penyiraman konsentrasi
air garam.
29
4.2 Adaptasi Kelapa Sawit Terhadap cekaman Air Di Lahan Gambut
Hari Pertama :
Hari Kedua :
Hari Ketiga :
Hari Keempat :
30
Dari tabel di atas di dapatlah pembahasan bahwa setelah melakukan 4 hari
berturut-turut kondisi kelapa sawit di lahan gambut dalam kondisi yang biasa saja,
tidak ada perubahan sama sekali hal ini mungkin di karenakan waktu pengamatan
yang terlalu singkat.
Dari praktikum yang telah di lakukan, praktikan meneliti 7 tanaman kelapa sawit di
lahan mineral, seperti table berikut ini :
Hari pertama :
Hari Kedua :
Hari ketiga :
31
Hari ke empat :
4.4 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Organik dari Kelapa Sawit
Minggu Ke 5 :
Objek Pengamatan
No Nama 1 2 3 4 5
Senin, 01 April 2019
7 cm 1,4 cm Terdapat bintik coklat
13 cm 2,4 cm Terdapat bintik coklat
Rianis Junita 5
1 19 cm 3,3 cm 22 cm Terdapat bintik coklat
Sari helai
14,5 cm 3 cm Terdapat bintik coklat
20,5 cm 5 cm Terdapat bintik coklat
3,20
14,8 cm
Rata-rata cm
4,5 cm 0,6 cm Terdapat bercak kuning
11 cm 2,9 cm Terdapat bercak kuning
Via Afriani 5
2 13,5 cm 2,9 cm 23 cm Terdapat bercak kuning
Antika helai
19,2 cm 4,1 cm Terdapat bercak kuning
22 cm 5,1 cm Terdapat bercak kuning
3,12
14,4 cm
Rata-rata cm
3 Melati Sukma 5 cm 1,8 cm 4 26,5 Terdapat bercak coklat
9 cm 2,8 cm helai cm Terdapat bercak coklat
32
14,5 cm 3,1 cm Terdapat bercak coklat
17 cm 4,7 cm Terdapat bercak coklat
Rata-rata 11,38 cm 3,1 cm
Jum'at, 05 April 2019
7 cm 1,3 cm Terdapat bintik coklat
13 cm 2,4 cm Terdapat bintik coklat
Rianis Junita 5
1 19 cm 3,3 cm 22 cm Terdapat bintik coklat
Sari helai
14,5 cm 3 cm Terdapat bintik coklat
20,2 cm 5,3 cm Daun terserang hama
14, 74 3,06
Rata-rata cm cm
4,5 cm 0,6 cm Terdapat bercak kuning
11 cm 2,9 cm Terdapat bercak kuning
Via Afriani 5
2 13,5 cm 2,9 cm 23 cm Terdapat bercak kuning
Antika helai
19,2 cm 4,1 cm Terdapat bercak kuning
22 cm 5,1 cm Terdapat bercak kuning
3,12
14,4 cm
Rata-rata cm
5 cm 1,8 cm Terdapat bercak coklat
9 cm 2,8 cm 4 26,5 Terdapat bercak coklat
3 Melati Sukma
14,5 cm 3,1 cm helai cm Terdapat bercak coklat
17 cm 4,7 cm Terdapat bercak coklat
Rata-rata 11,38 cm 3,1 cm
Minggu Ke 6 :
Objek Pengamatan
No Nama 1 2 3 4 5
Senin, 08 April 2019
6,5 cm 1,1cm Terdapat bintik coklat
9,4 cm 2,2 cm Terdapat bintik coklat
12,9 cm 3,2 cm Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai cm
17,7cm 4,1 cm Terdapat bintik coklat
20,1 cm 4,5cm Terdapat bintik coklat
19,6 cm 5,5 cm dimakan hama
rata-rata 14,36 cm 3,43 cm
2 Via Afriani 4 cm 0,6 cm 6 helai 25,7 Terdapat bercak kuning
Antika 10,9 cm 3,1 cm cm Terdapat bercak kuning
33
13,5 cm 3,3 cm Terdapat bercak kuning
17,6 cm 4,4 cm Terdapat bercak kuning
20,8 cm 5 cm Terdapat bercak kuning
20,3 cm 6,2 cm Terdapat bercak kuning
rata-rata 14,51 cm 3,76 cm
4,8 cm 0,6 cm Terdapat bercak coklat
6,6 cm 2,8 cm Terdapat bercak coklat
23,5
3 Melati Sukma 13,9 cm 4,5 cm 5 helai Terdapat bercak coklat
cm
18,5 cm 4,7 cm Terdapat bercak coklat
19,9 cm 5,1 cm Terdapat bintik coklat
rata-rata 13,94 cm 3,54 cm
Jumat, 12 April 2019
6 cm 1,3cm Terdapat bintik coklat
12,5cm 2,5 cm Terdapat bintik coklat
18,5 cm 4 cm Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai 22,5 cm
15,5 cm 3,2 cm Terdapat bintik coklat
22,3 cm 4,8 cm Terdapat bintik coklat
20,5 cm 4,5 cm dimakan hama
rata-rata 15,88 cm 3,38 cm
4,2 cm 0,6 cm Terdapat bercak kuning
12,5 cm 3,4 cm Terdapat bercak kuning
Via Afriani 15,4 cm 3,5 cm Terdapat bercak kuning
2 6 helai 23 cm
Antika 23,5 cm 5,5 cm Terdapat bercak kuning
19,5 cm 4,5 cm Terdapat bercak kuning
22 cm 5 cm Terdapat bercak kuning
rata-rata 16,18 cm 3,75 cm
4,5 cm 0,5 cm Terdapat bercak coklat
13,3 cm 3 cm Terdapat bercak coklat
3 Melati Sukma 20,6cm 4 cm 5 helai 23,5 cm Terdapat bercak coklat
19,5 cm 4,2cm Terdapat bercak coklat
19,5 cm 4,6 cm Terdapat bintik coklat
rata-rata 15,48 cm 3,26 cm
Minggu 7 :
34
Objek Pengamatan
No Nama 1 2 3 4 5
Senin, 15 April 2019
7,1 cm 1,3cm Terdapat bintik coklat
13,8 cm 2,6 cm Terdapat bintik coklat
15,6 cm 3,2 cm Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai 23,2 cm
19,3cm 4,4 cm Terdapat bintik coklat
22,6 cm 4,9cm Terdapat bintik coklat
22,2cm 5,5 cm dimakan hama
16,76
rata-rata
cm 3,65 cm
Terdapat bercak
5 cm 0,7 cm kuning
Terdapat bercak
13,5 cm 3,1 cm kuning
Terdapat bercak
16,1 cm 3,7 cm kuning
2 Via Afriani Antika 6 helai 23,5cm
Terdapat bercak
19,5 cm 4,7 cm kuning
Terdapat bercak
23,2 cm 5,5 cm kuning
Terdapat bercak
21,7 cm 5,4 cm kuning
rata-rata 16,5 cm 3,85 cm
Terdapat bercak
5 cm 0,6 cm coklat
Terdapat bercak
6,6 cm 3,2 cm coklat
3 Melati Sukma 5 helai 23,5 cm Terdapat bercak
13,9 cm 3,5 cm coklat
Terdapat bercak
18,5 cm 5,8 cm coklat
19,9 cm 4,4 cm Terdapat bintik coklat
12,76
rata-rata
cm 3,5 cm
Jumat, 19 April 2019
7 cm 1,3cm Terdapat bintik coklat
13,7cm 2,5 cm Terdapat bintik coklat
14,9 cm 4 cm Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai 22,5 cm
20 cm 3,9 cm Terdapat bintik coklat
22,3 cm 4,8 cm Terdapat bintik coklat
22,4 cm 5,5 cm dimakan hama
35
16,71
rata-rata
cm 2,44 cm
Terdapat bercak
5,1 cm 0,7 cm kuning
Terdapat bercak
13,5 cm 3,4 cm kuning
Terdapat bercak
16,4 cm 4,7cm kuning
2 Via Afriani Antika 6 helai 23 cm
Terdapat bercak
20,2 cm 5,5 cm kuning
Terdapat bercak
24,1 cm 4,5 cm kuning
Terdapat bercak
21,6 cm 5,7cm kuning
16,81
rata-rata
cm 4,08 cm
Terdapat bercak
4,5 cm 0,5 cm coklat
Terdapat bercak
5,9 cm 3 cm coklat
Terdapat bercak
3 Melati Sukma 16,5cm 4 cm 6 helai 23,5 cm coklat
Terdapat bercak
19,5 cm 4,1cm coklat
19,5 cm 4,6 cm Terdapat bintik coklat
22 cm 5,6 cm Terdapat bintik coklat
14,65
rata-rata cm 3,63 cm
Minggu ke 8 :
Objek Pengamatan
No Nama 1 2 3 4 5
Senin, 22 April 2019
1 Rianis Junita Sari 7,2 cm 1,3cm 6 helai 23,2 Terdapat bintik coklat
13,9 cm 2,8cm cm Terdapat bintik coklat
15,5 cm 3,2 cm Terdapat bintik coklat
19,3cm 4,8 cm Terdapat bintik coklat
36
23 cm 5 cm Terdapat bintik coklat
22,3cm 5,8 cm dimakan hama
16,86 3,81
rata-rata
cm cm
6,1 cm 0,9 cm Terdapat bercak kuning
13,8 cm 3,1 cm Terdapat bercak kuning
16 cm 4 cm Terdapat bercak kuning
2 Via Afriani Antika 6 helai 23,5cm
20 cm 4,8cm Terdapat bercak kuning
23,5 cm 5,5 cm Terdapat bercak kuning
21,9 cm 5,4 cm Terdapat bercak kuning
16,88 3,95c
rata-rata
cm m
5,1 cm 0,6 cm Terdapat bercak coklat
6,4 cm 3,2 cm Terdapat bercak coklat
23,5
3 Melati Sukma 14 cm 3,5 cm 5 helai Terdapat bercak coklat
cm
18,5 cm 5,9 cm Terdapat bercak coklat
19,9 cm 4,5 cm Terdapat bintik coklat
12,78 3,54
rata-rata
cm cm
Jumat, 26 April 2019
7 cm 1,3cm Terdapat bintik coklat
13,9cm 2,9 cm Terdapat bintik coklat
14,9 cm 4,3 cm 22,5 Terdapat bintik coklat
1 Rianis Junita Sari 6 helai
20 cm 4,2 cm cm Terdapat bintik coklat
22,3 cm 4,8 cm Terdapat bintik coklat
22,5 cm 5,6 cm dimakan hama
16,76 3,85
rata-rata
cm cm
6 cm 0,8 cm Terdapat bercak kuning
13,5 cm 3,4 cm Terdapat bercak kuning
16,4 cm 4,9 cm Terdapat bercak kuning
2 Via Afriani Antika 20,2 cm 5,5 cm 6 helai 23 cm Terdapat bercak kuning
24,1
cm 4,5 cm Terdapat bercak kuning
21,6 cm 5,7cm Terdapat bercak kuning
16,96 4,13
rata-rata
cm cm
3 Melati Sukma 4,5 cm 0,5 cm 6 helai 23,5 Terdapat bercak coklat
5,9 cm 3 cm cm Terdapat bercak coklat
16,5cm 4 cm Terdapat bercak coklat
37
19,5 cm 4,1cm Terdapat bercak coklat
19,5 cm 4,6 cm Terdapat bintik coklat
22 cm 5,6 cm Terdapat bintik coklat
14,65 3,63
rata-rata cm cm
Dari table di atas ternyata pemberian pupuk organic ke kelapa sawit selama 4
minggu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini bisa terjadi karena waktu
pengamatan yang terlalu singkat sehingga tidak begitu tampak peerubahannya.
4.5 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Non Organik dari kimiawi
Dari praktikum ini di dapatlah hasil dan pembahasan bahwa praktikan mengambil
jurnal yang berjudul Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) terhadap Pemberian Pupuk Organik Asal Pelepah Kelapa Sawit dan Pupuk
Majemuk NPK yang di tulis oleh Mira Ariyanti dari Universitas Padjadjaran di
dapatlah hasil dan pembahasan sebagai berikut :
Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa secara mandiri pemberian pupuk
organik asal pelepah kelapa sawit tidak berbeda nyata pada parameter bobot basah
akar (Tabel 1). Menurut penelitian Winarna dkk. (2001), perakaran kelapa sawit
berkembang baik pada akar yang berada dibawah TKS (tandan kosong kelapa sawit)
yang telah melapuk.
Hal tersebut tidak terjadi pada penelitian ini diduga karena pelepah kelapa sawit
belum melapuk seluruhnya. Pemberian pupuk majemuk NPK secara mandiri
berpengaruh nyata terhadap bobot basah akar pada setiap dosisnya dibandingkan
dengan tanpa pemberian pupuk. Hal tersebut karena unsur hara pada pupuk majemuk
NPK penguraiannya berangsur-angsur di tanah sehingga akar mampu menyerap unsur
hara yang diberikan pupuk pada tanaman dengan baik. Menurut Gardner dkk. (1991),
fosfor mampu mengembangkan lebih banyak akar walaupun bukan pengaruh secara
38
langsung, namun awalnya unsur P dapat membantu meningkatkan fotosintesis yang
selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan akar tanaman.
Selain fungsi di atas, fosfor memiliki fungsi lain bagi tanaman, salah satu yang utama
adalah menjadi sumber dan transfer energi dalam tanaman. Hara P bersifat immobil di
dalam tanah karena sebagian besar P tanah dijerap menjadi bentuk tidak tersedia bagi
tanaman. Ketersediaan P untuk pertumbuhan tanaman tergantung kepada
mobilitasnya di dalam tanah dan keseimbanganm antara bentuk P larut dan terjerap
(Nursyamsi dkk.,2011).
39
karbohidrat untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh tanaman dan ditimbun
dalam bentuk daun, batang, cabang, buah dan bunga (Hairiah dan Rahayu, 2007)
40
di daerah dengan kandungan bahan organik rendah dan seringkali mengalami
kekeringan seperti di daerah perkebunan kelapa sawit PT. Mega Utama Tani di
Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara.
Kadar air daun (KAD) menggambarkan jumlah air yang tersimpan dalam tajuk
(status air tanaman). KAD menurun dengan semakin rendahnya KA media (Tabel 1).
Pengaruh interaksi KA media dan genotipe terhadap KAD terlihat pada 4MSP. KAD
semua genotipe menurun dengan semakin rendahnya KA media (Tabel 2). Menurut
Levitt (1980) mekanisme pertahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah:
41
1) menghindari kekeringan (drought avoidance): tanaman mempertahankan status air
dalam jaringan agar metabolisme tetap berjalan; 2) toleransi terhadap kekeringan
(drought tolerance): tanaman tetap dapat melangsungkan metabolismenya pada
kondisi status air yang rendah.
42
Menurut Prawiranata et al. (1992) DA, terutama pada tanaman yang kurang toleran,
akan mempengaruhi semua proses metabolik, sehingga laju pertumbuhan tanaman
menurun dan jika berlangsung lama dapat mengakibatkan kematian. Luas daun
spesifik (LDS) dapat digunakan untuk memperkirakan ketebalan daun, semakin
rendah LDS maka daun akan semakin tebal (Sitompul dan Guritno, 1995). Salah satu
adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah menambah ketebalan daun,
karena akan semakin tebal lapisan kutikula yang dapat menghambat kehilangan air.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cekaman kekeringan pada KA media 25%KL
selama 4 minggu tidak berpengaruh terhadap LDS. Dibandingkan dengan genotipe
lain LDS G2 pada 2MSP lebih rendah, akan tetapi KAD relatif rendah (Tabel 1),
mengindikasikan tidak adanya penghambatan transpirasi, diduga lapisan kutikula
tidak cukup tebal untuk menghambat transpirasi. Berat kering tajuk (BKT) semakin
rendah dengan semakin rendah KA media pada 2MSP (Tabel 1). Tanaman yang
tercekam kekeringan tumbuh lebih lambat sebagaimana ditunjukkan oleh BKT yang
lebih rendah daripada tanaman yang tidak tercekam, mengindikasikan adanya
penurunan laju pertumbuhan. BKT G1 lebih tinggi daripada genotipe lainnya sampai
2MSP (Tabel 2), tetapi pada 4MSP semua genotipe mempunyai BKT yang sama,
menunjukkan kemampuan bibit kelapa sawit beradaptasi dengan cekaman
kekeringan. Kadar air media 25% KL menghasilkan bibit dengan berat kering akar
(BKA) terendah (Tabel 1). Sampai dengan 2MSP, G1 mempunyai BKA lebih tinggi
daripada genotipe lainnya, tetapi pada 4MSP BKA keempat genotipe tidak berbeda
nyata. BKA menggambarkan kemampuan tanaman dalam menyediakan unsur hara
dan air yang diperlukan dalam proses metabolisme. Tanaman dengan BKA lebih
tinggi mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mendapatkan air pada saat
tercekam kekeringan. BKA yang rendah pada perlakuan KA media 25% KL ini
berkaitan dengan BKT yang rendah, yang mengindikasikan laju pertumbuhan yang
rendah. Nisbah tajuk/akar (nisbah T/A) tidak dipengaruhi oleh kadar air media dan
genotipe (Tabel 1). Nisbah T/A mengindikasikan kemampuan tanaman menyerap air
ketika terjadi cekaman kekeringan (Yoshida dan Hasegawa, 1982). G1 mempunyai
pertumbuhan yang agak berbeda dengan genotipe lainnya, karena selama 4 minggu
43
perlakuan nisbah T/A genotipe ini lebih stabil dan perkembangan akar cenderung
lebih besar daripada genotipe lainnya (Tabel 1). Salah satu mekanisme adaptasi
tanaman terhadap cekaman kekeringan untuk mempertahankan status air tetap tinggi
adalah dengan mengembangkan perakaran, sehingga meningkatkan kemampuan
tanaman dalam mengabsorbsi air. Menurut Hale dan David (1987) peningkatan sistem
perakaran umumnya diikuti dengan penurunan pertumbuhan tajuk. Tanaman yang
lebih mengutamakan pertumbuhan akar daripada tajuknya mempunyai kemampuan
lebih baik untuk bertahan pada kondisi kekeringan. Oleh karena itu, diduga genotipe
G1 lebih mampu bertahan pada kondisi tercekam kekeringan. Pengaruh KA media
terhadap tinggi tanaman (TT) sudah terlihat pada 2MSP sedangkan pengaruh genotipe
pada 4MSP (Tabel 1).
44
Cekaman kekeringan pada tanaman kelapa sawit akan terjadi apabila terjadi salah
satu dari kriteria berikut : curah hujan (CH) < 1250 mm th -1 , defisit air > 200 mm,
bulan kering (CH < 60 mm bulan -1 ) > 3 bulan, hari terpanjang tidak hujan (dry
spell) > 20 hari (Lubis 2008; Siregar et al. 2005). Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit di wilayah kajian (khususnya di Riau,
Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung) mengalami cekaman kekeringan. Hal ini
dapat dilihat dari kondisi morfologis tanaman .
Hasil perhitungan terhadap rata-rata jumlah pelepah sengkleh, daun tombak dan
penurunan produktivitas kelapa sawit Semester I 2016 dibandingkan dengan Semester
II 2015 ditampilkan pada Tabel 4. Secara umum, hasil penelitian sejalan dengan
45
penelitian - penelitian terdahulu (Siregar et al. 1995; Siregar et al. 1998;
Darmosarkoro 2001; Pangaribuan et al. 2001; Corley and Tinker 2003; Rizal dan
Tsan 2007; Bakoume et al. 2013), cekaman kekeringan dapat menyebabkan laju
produksi pelepah daun menurun; penurunan sex ratio, ditandai dengan kemunculan
bunga jantan yang lebih banyak; jumlah tandan buah menurun; aborsi/keguguran
bunga meningkat; gagal tandan atau kerusakan perkembangan tandan menjadi buah
akan meningkat; penurunan rendemen (banyaknya buah mentah/buah hitam tetapi
sudah membrondol); dan panen pertama dapat tertunda. Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan kriteria dan klasifikasi stadia/tingkat cekaman kekeringan satu tahun
setelah terjadi kekeringan berdasarkan kejadian kekeringan 1994/1995 di Lampung
yang disajikan pada Tabel 5.
46
Dimana proses inokulasi adalah pemberian inokulan bakteri Rhizobium sp ke
dalam tanah yang digunakan sebagai media penanaman tanaman kacang-kacangan.
Inokulasi ini bertujuan untuk membuat simbiosis antara akar tanaman dengan bakteri
sehingga akan tercipta bintil-bintil akar. Proses inokulasi tersebut diawali dengan
inokulan yang berasal dari bakteri Rhizobium sp dicampurkan ke dalam media tanah
pada konsentrasi tertentu sehingga sel-selnya akan berinteraksi dengan sel jaringan
akar sehingga terbentuklah bintil akar. Di dalam bintil akar terdapat bakteri yang
berkembang biak serta melakukan kegiatan fiksasi Nitrogen bebas yang ada di udara.
Hasil simbiosis yang digolongkan sebagai simbiois mutualisme ini yaitu asam amino
untuk tanaman dan karbohidrat untuk bakteri.
Pemberian inokulasi Rhizobium sp. Pada tanaman kacang-kacangan bertujuan
untuk menyediakan bakteri Rhizobium pada tanah yang belum atau tidak pernah
ditanami tanaman kacang-kacangan. Kehadiran bakteri Rhizobium yang serasi
merupakan syarat utama untuk menjamin terbentuknya bintil akar efektif, maka
kemampuan menambat nitrogennya dapat mencukupi kebutuhan nitrogen sebesar 80-
90% dari kebutuhan tanaman dan meningkatkan produksi antara 10%-25%. Sehingga
tanaman kacang-kacangan tidak memerlukan lagi tambahan pupuk nitrogen.
Terdapat 2 cara dalam menularkan bakteri:
Lewat biji
Lewat tanah
Dalam penularan bakteri lewat biji dapat dilakukan dengan 2 cara:
Inokulum buatan pabrik
Inokulum bubukan tanah
Dosis pemberian inokulasi rhizobium tergantung pada sumber inokulum yang
digunakan. Inokulum buatan pabrik, Legin, rhizogen, atau nitragin dosisnya antara 5-
10 gram/kg benih kacang-kacangan. Sedangkan inokulum berupa bubukan tanah
yang berasal dari lahan yang ditanami tanaman kacang-kacangan dosisnya adalah 100
gram/kg benih kacang-kacangan.
47
Dari praktikum ini di daptlah hasil dan pembahasan sebagai berikut :
48
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Cekaman Garam Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Main Nursery)
Pada praktikum ini dapat di ambil kesimpulan bahwa salinitas pada bibit pre
nursery kelapa sawit tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah daun. Hal ini terlihat
mulai dari minggu pertama sampai minggu ke empat tidak terjadi penambahan
jumlah daun ataupun terjadi perubahan fisik pada daun.
Pada praktikum ini dapat di ambil kesimpulan bahwa tidak ada perubahan
sama sekali hal ini mungkin di karenakan waktu pengamatan yang terlalu singkat.
Pada praktikum ini dapat di ambil kesimpulan bahwa tidak ada perubahan
sama sekali hal ini mungkin di karenakan waktu pengamatan yang terlalu singkat.
5.4 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Organik dari Kelapa Sawit
Pada praktikum ini dapat di beri kesimpulan bahwa pemberian pupuk organic
ke kelapa sawit selama 4 minggu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini
bisa terjadi karena waktu pengamatan yang terlalu singkat sehingga tidak begitu
tampak peerubahannya.
5.5 Pertumbuhan Kelapa Sawit Aplikasi Pupuk Non Organik dari kimiawi
Tidak terjadi pengaruh interaksi antara pupuk organik pelepah kelapa sawit
dengan pupuk majemuk NPK terhadap bobot basah akar dan bobot kering akar.
Aplikasi pupuk organik pelepah kelapa sawit dan pupuk majemuk NPK berpengaruh
secara mandiri pada parameter bobot basah akar dan bobot kering akar.
49
5.6 Pengaruh Alelopati dari LCC terhadap Kelapa sawit
Memiliki lebar daun 5,3 cm, panjang tangkai daun (petiolus) 1,8 cm dan
panjang permukaan daun 4,7-8 cm, ketebalan daun 0,2 cm-2 cm. Pengukuran
produksi biomassa tertinggi pada LCC Calopogonium mucunoides Desv. terdapat
pada batang (52,08 g) dan terendah pada akar (31, 4 g). Karakteristik tanah yang
ditanami LCC Calopogonium mucunoides Desv. memiliki tekstur liat lebih tinggi
(96,74%), pH rata-rata 6,0, kadar N-total, P, K serta Corganik yang tinggi.
Karakteristik tanah yang tidak ditanami LCC Calopogonium mucunoides Desv.
memiliki tekstur pasir dan debu tinggi (2,68% dan 1,65%), pH rata-rata 5,3, kadar N-
total, P dan K dan COrganik sangat rendah. Produksi biomassa yang tinggi akan
berkorelasi terhadap pengembalian unsur hara ke dalam tanah dalam perbaikan
kesuburan tanah. Berdasarkan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah Calopogonium
mucunoides Desv. ternyata memenuhi syarat sebagai LCC.
Respons tanaman kelapa sawit klon MK 356 dan MK 365 terhadap cekaman
kekeringan ditunjukkan dengan adanya perubahan kadar air daun, kadar air relatif,
luas daun spesifik, potensial air daun, prolin, glisin betain, ABA, gula-gula osmotic
terutama glukosa dan silosa, serta protein dengan bobot molekul rendah. Perbedaan
respons klon MK 356 dengan MK 365 terjadi pada kadar gula silosa, ABA, profil
SDS-PAGE protein dan protein dengan berat molekul 36 kDa. Hibrida berpotensi
toleran memberikan respons terhadap cekaman kekeringan dengan menginduksi
protein baru pI 4,7-36 kDa, pI 5,3-34 kDa, pI 4,6-32 kDa dan pI 5,3-36 kDa,
50
sedangkan pada hibrida yang berpotensi peka tidak ditemukan adanya induksi protein
baru.
Sebagai simbiois mutualisme ini yaitu asam amino untuk tanaman dan
karbohidrat untuk bakteri. Kemampuan menambat nitrogennya dapat mencukupi
kebutuhan nitrogen sebesar 80-90% dari kebutuhan tanaman dan meningkatkan
produksi antara 10%-25%.
Pemberian FMA pada pembibitan kelapa sawit di pre nursery berpengaruh nyata
terhadap parameter derajat infeksi akar, menunjukkan bahwa perlakuan M2 (10 g/m
bibit) menghasilkan derajat infeksi tertinggi. Komposisi media tanam (sludge +
ultisol) pada pembibitan kelapa sawit di pre nursery berpengaruh nyata terhadap
parameter tinggi bibit 6-12 MST, derajat infeksi akar, serta bobot kering tajuk.
Interaksi pemberian FMA dan komposisi media tanam pada pembibitan
kelapa sawit di pre nursery berpengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman 6 MST
serta parameter derajat infeksi, S0M2 (Sludge 0% + Ultisol 100%) dengan mikoriza 10
g/bibit dengan derajat infeksi tertinggi.
51
DAFTAR PUSTAKA
Lambers, H., F. Stuart Chapin, Thijs L. Pons. 1998. Plant Physiological Ecology.
Springer. New York.
Batool, N., Shahzad, A & Ilyas, A. (2014). Plants and salt stress. International
Journal of Agriculture and Crop Sciences, 7(14), 1439-1446. Retrieved from
www.ijagcs.com. IJACS/2014/7- 14/1439-1446
Chen, T., X. Cai, X. Wu, I. Karahara, L. Schreiber, & J. Lin. (2011). Casparian strip
development and its potential function in salt tolerance. Plant Signaling and
Behavior, 6(10), 1499– 1502. https://doi.org/10.4161/psb.6.10.1705
Corley, R. H. V. dan P. B. Tinker. (2015). The Oil Palm. West Sussex: Blackwell
Science.
Duarte, H. H. F. & E. R. de Souza. (2016). Soil water potentials and Capsicum
annuum L. under salinity. Revista Brasileira de Ciência do
Solo,40,111.DOI:10.1590/18069657rbcs20150220
52
yield. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science, 6(4), 40-49. DOI:
10.9790/2380-0644049
Dat, J.F., Capelli, N., Folzer, N., Bourgeade, P. dan PierreMarie Badot.
2004. Sensing and signalling during plant flooding. Plant
Physiology and Biochemistry, volume 42(1) : 273–282.
53
Lakitan, B. 2001. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Pt Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Salisbury, F. B dan C. W. Ross.1995. Plant Phisyology. Edisi ke 3.
Diterjemahkan oleh: D. R.Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB.
Bandung Santoso, H. 2004. Pengelolaan tanah-tanah aquik di
perkebunan kelapa sawit. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
volume 12(1): 1-7 Setyamidjaja, D., 2006. Kelapa Sawit. Kanisius,
Yogyakarta.
54