Anda di halaman 1dari 19

PEMAHAMAN TERHADAP IMAM MAZHAB

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


FIQIH DAN USHUL FIQIH
Dosen Pengampu:
MAS’ADAH, M.PD.I

Disusun oleh:
MA’ARIF
BADRUS SALAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STIT RADEN WIJAYA
MOJOKERTO
2018/2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fiqih atau hukum islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang
sangat dikenal oleh masyarakat dan melekat dalam kehidupan umat Islam. Hal ini
disebabkan karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Sejak
lahir hingga meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Fiqih
mengatur kehidupan manusia mulai dari urusan ibadah, muamalah, jinayah
(tindak pidana), hingga urusan pertahanan Negara dan peperangan. Oleh karena
itu, fiqih sering pula disebut ilmu al-hal yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah
laku manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
Adanya fiqih yang mengatur hamper seluruh aspek kehidupan manusia
itu menunjukkan bahwa fiqih memiliki keterlibatan dan kepedulian yang luar
biasa terhadap kehidupan manusia yaitu dengan cara memberikan status hukum
pada setiap aspek kehidupan manusia sehingga hokum seuatu perbuatan manusia
menjadi jelas dan adanya kepastian untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan.
Keadaan fiqih yang demikian itu tampak inheren atau menyatu dengan
misi agama Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar
tercapai ketertiban dan keteraturan. Kenyataan manusia sebagai makhluk sosial
juga mendorong dan menuntut adanya kaidah-kaidah untuk mengatur kehidupan
manusia sehingga tidak akan terjadi pertentangan karena pemenuhan hak-hak
tersebut.
Situasi dan kondisi masyarakat yang dinamis dan berbeda-beda antara
satu daerah dengan daerah lainnya telah menuntut para ahli fiqih untuk mampu
memberikan jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Dengan demikian, fiqih menjadi sangat dinamis dan begitu juga halnya dengan
sumber-sumber yang digunakan untuk menetapkan hukum tersebut juga
mengalami perkembangan.
Pada periode Nabi Muhammad SAW, sumber hukumnya hanya Al-
Qur’an dan hadist. Tetapi pada periode Khulafaur Rosyidin (sahabat), sumber
hukum yang digunakan adalah Al-Qur’an, hadist, dan ijtihad para sahabat yang

2
disebut ijma’ sahabat. Jadi, sumber hukum yang digunakan untuk menetapkan
suatu hukum terus mengalami perkembangan.
Dengan demikian, fiqih memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Fiqih merupakan respon atau jawaban atas berbagai masalah kehidupan
manusia dari segi legalitasnya.
b. Fiqih merupakan akibat dari pelaksanaan fungsi manusia sebagai
makhluk bermasyarakat dapat berjalan tertib, aman, damai, dan harmonis.
c. Fiqih adalah hasil penalaran bebas terkendali, maksudnya bahwa bebas
dalam menentukan pemikiran yang akan dihasilkan namun harus
dikendalikan oleh berbagai aturan atau kaidah yang bersumber pada nash Al-
Qur’an dan hadist.
d. Fiqih adalah produk pikiran yang sangat dinamis.
e. Dalam perubahan dan dinamika tersebut, selain dipengaruhi oleh
kecenderungan, kecakapan intelektual, integritas dank kepribadian Fuqoha’.
Fiqih dipengaruhi oleh tradisi, budaya, situasi sosial, ekonomi, politik, dan
paham keagamaan di tempat fiqih tersebut dikembangkan.1
Fiqih sebagai kumpulan`` hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali
2
(praktis) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. bukanlah sesuatu yang
bersifat dogmatis melainkan sesuatu yang bersifat ijtihadiyyah. Ketentuan hukum
dalam fiqih diproses melalui ijtihad. Menurut imam al Amidi, ijtihad adalah
mencurahkan segala kemampuan yang ada untuk mencari hukum syara’ yang
sifatnya dhanni.
Fiqih ini merupakan hasil ijtihad yang telah memakan waktu yang cukup
panjang. Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah perkembangan fiqih yang menurut
Harun Nasution, fiqih terbagi ke dalam empat periode yaitu periode Nabi
Muhammad SAW,sahabat, ijtihad (kemajuan) dan taklid (kemunduran). Adapun
menurut Sobhi Mahmassani, fiqih dibagi ke dalam zaman Nabi Muhammad SAW,
zaman Khulafaur Rasyidin, zaman dinasti Umayyah, zaman dinasti Abbasiyah,
zaman taklid, dan kebangkitan.3
Dalam sejarah perkembangan fiqih, telah melahirkan begitu banyak faqih
(ahli fiqih) dan mazhabnya. Menurut A. Djazuli, mazhab adalah aliran-aliran
1 Abuddin ,Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: kencana, 2011, halaman 239

2 Abdul Wahab, Afif, Pengantar Studi Perbandingan Madzhab, Jakarta: Darul Ulum Press,1995, halaman
8

3 Abuddin ,Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: kencana, 2011, halaman 244

3
dalam fiqih yang bermula dari perbedaan dalam menggunakan metode ijtihad
sehingga menimbulkan perbedaan pendapat.4
Mazhab adalah aliran pemikiran atau perspektif di bidang fiqih. Mazhab
diibaratkan aliran sungai dari mata air yang sama. Di tengah perjalanan, bertemu
dengan aliran sungai yang lain yang juga bercabang dan beranting. Oleh karena
itu, dalam realitas masyarakat islam, terdapat berbegai mazhab, diantaranya
adalah mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pembahasan pada empat mazhab
tersebut karena keempat mazhab tersebut masih berkembang hingga saat ini dan
banyak dianut oleh mayoritas umat islam.

B. RUMUSAN MASALAH
Agar pembahasan dalam makalah ini lebih terarah, maka perlu diberikan
rumusan masalah sehingga tidak keluar dari topik permasalahan yang ingin
dibahas. Dalam makalah ini, penulis membatasi pembahasan mengenai tokoh-
tokoh fiqih hanya pada empat imam mazhab yang terdiri dari Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali saja. Keempat mazhab tersebut
memegang peranan yang sangat penting dalam penetapan hukum islam dan masih
berkembang hingga saat ini.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan fiqih dari masa ke masa?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam perkembangan
ilmu fiqih?
3. Bagaimanakah pemikiran dari para ahli fiqih tersebut?
4. Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi adanya perbedaan
mazhab dalam islam?

C. TUJUAN DAN MAKSUD PENULISAN


Adapun tujuan dan maksud yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini
sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan sejarah perkembangan fiqih dari masa ke masa.
2. Untuk mendeskripsikan tokoh-tokoh yang berperan penting dalam
perkembangan ilmu fiqih.
3. Untuk mendeskripsikan pemikiran dari para ahli fiqih tersebut.

4 Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Mazhab Dalam Hukum Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008,
halaman 6

4
4. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya
perbedaan mazhab dalam islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqih
Fiqih berasal dari bahasa arab yakni faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti
“memahami, memikirkan, mempelajari”.5
Adapun pengertian fiqih menurut istilah dapat dilihat dari beberapa
pendapat berikut. Abdul Wahab Khalaf menyatakan pengertian fiqih sebagai
berikut:
‫الفقه هو مجموعة الحاكام الشرعية العملية المكتسبة من ادلتها التفصلية‬
“Fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis)
yang digali dari dalil-dalilnya yang tafsili (terperinci) ”6
Kata amaliyah (praktis) dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqih
hanya menyangkut tindakan manusia yang bersifat amaliyah (praktis). Dengan
demikian, hal-hal yang bersifat non-amaliyah, seperti masalah keimanan atau
aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqih dalam pengertian ini.
Penggunaan kata “digali” menunjukkan bahwa fiqih itu adalah hasil suatu
proses penggalian, penganalisaan, dan pengambilan ketetapan tentang hukum. Oleh

5 Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, op.cit., halaman 240

6 Abdul Wahab Afif, pengantar studi perbandingan mazhab, op.cit. halaman 8

5
karena itu, apabila tidak dalam bentuk hasil suatu penggalian seperti mengetahui
sesuatu yang secara jelas diungkapkan oleh Alloh dan rosul-Nya, tidaklah disebut
fiqih. Fiqih merupakan hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak
dijelaskan oleh nash.
Adapun kata “tafsili” dalam definisi tersebut menjelaskan tentang dalil-
dalil yang digunakan oleh faqih (ahli fiqih) atau mujtahid dalam usaha penggalian
hukum.
Al-Amidi mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang seperangkat hukum-
hukum syara’ yang bersifat furu’iyah (cabang) yang berhasil diperoleh melalui
penalaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari fiqih adalah:

1. Fiqih adalah ilmu tentang hukum syara’.


2. Hal yang dibicarakan dalam fiqih adalah hal-hal yang bersifat, amaliyah,
furu’iyah.
3. Pengetahuan tentang hukum syara’ itu didasarkan kepada dalil-dalil yang
tafsili (terperinci).
4. Fiqih digali dan ditemukan melalui penalaran.7
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya menjelaskan bahwa pengetahuan
hukum-hukum Alloh SWT tentang perbuatan dan tindakan manusia mukallaf dan
diambil dari al-qur’an dan sunnah rosululloh SAW, serta dalil-dalil yang diakui
syara’.

B. Sejarah Perkembangan Fiqih


Ilmu fiqih dengan berbagai ruang lingkup kajiannya bukanlah sesuatu
yang bersifat dogmatis melainkan sesuatu yang bersifat ijtihadiyyah. Ilmu fiqih ini
merupakan hasil ijtihad yang memakan waktu yang cukup panjang. Hal ini dapat
ditelusuri dari sejarah perkembangan fiqih. Sejarah perkembangan fiqih dapat
dibagi kedalam lima periode yaitu periode Nabi Muhammad SAW, periode
Khulafaur Rasyidin (sahabat), periode Umayyah dan Abbasiyah, periode taqlid
(penutupan pintu ijtihad), dan periode kebangkitan.8
1. Ilmu fiqih pada periode Nabi Muhammad SAW
Pada periode Nabi Muhammad SAW ini, sumber hukum islam yang
utama adalah Al-qur’an yang masih dalam proses turun yang memakan waktu

7 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, halaman 44-45

8 Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, op.cit. halaman 13

6
kurang lebih 23 tahun (tepatnya 22 tahun, 2 bulan, 22 hari). Proses turunnya
Al-Qur’an ini dilakukan dengan cara berangsur-angsur. Berdasarkan wahyu
yang diturunkan itulah, Nabi Muhammad SAW menyelesaikan persoalan-
persoalan yang timbul dalam masyarakat islam pada waktu itu. Namun
adakalanya timbul persoalan hukum dalam masyarakat yang cara
penyelesaiannya belum terdapat di dalam Al-Qur’an. Dalam keadaan demikian,
maka Nabi Muhammad SAW menyelesaikannya dengan cara ijtihad atau
pendapat yang dihasilkan dalam pemikiran mendalam. Dengan demikian,
sumber hukum yang terdapat pada periode Nabi Muhammad SAW adalah Al-
Qur’an dan sunnah Nabi.

2. Ilmu fiqih pada periode Khulafaur Rasyidin (Sahabat)


Pada periode sahabat, persoalan hukum yang harus diselesaikan
semakin luas dan berkembang serta lebih sulit untuk diselesaikan. Hal ini
disebabkan karena pada periode ini daerah yang dikuasai Islam semakin
bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah-daerah yang di luar
Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan yang tinggi dan
susunan masyarakat yang tidak sederhana dibandingkan dengan masyarakat
Arab pada masa itu.
Dalam menyelesaikan persoalan hukum yang demikian berat, luas,
dan baru itu para sahabat menggunakan Al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan
utama. Namun demikian, penggunaan Al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam
menyelesaikan persoalan fiqih tidak mengalami masalah yang berarti karena
Al-qur’an telah dihafal oleh para sahabat dan telah dibukukan pada zaman Abu
Bakar ra. Akan tetapi berbeda halnya dengan masalah sunnah. Penggunaan
sunnah sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan masalah fiqih bukanlah
suatu hal yang mudah. Hal ini disebabkan karena sunnah tidak dihafal dan
belum dibukukan pada waktu itu. Sehingga timbullah hadist-hadist yang
diragukan berasal dari Nabi Muhammad SAW yang selanjutnya dikenal
sebagai hadist buatan.
Para ahli fiqih dari kalangan sahabat ini antara lain Umar bin Khattab,
Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Abdulloh bin Umar di Madinah, Abdulloh

7
bin Abbas di Makkah, Abdulloh bin Mas’ud di Kufah, Anas bin Malik di
Bashrah, Mu’az bin Jabal di Suriah, dan Abdulloh bin ‘Amr di Mesir.

3. Ilmu fiqih pada periode Umayyah dan Abbasiyyah`


Pada periode ini, yang juga disebut periode ijtihad, persoalan hukum
semakin bertambah kompleks dan luas. Hal ini terjadi karena wilayah islam
semakin luas, hingga mencapai Afrika, Spanyol, dan Asia Tengah. Selain itu,
hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu agama, ilmu umum,
kebudayaan, dan peradaban yang semakin berkembang pula. Pada masa ini
kegiatan pengumpulan, penyeleksian, pembuatan hadist palsu, dan pembukuan
hadist semakin berkembang. Demikian pula ilmu di bidang bahasa arab, ilmu
Al-Qur’an, dan ilmu hadist dengan berbagai cabangnya yang juga semakin
berkembang. Demikian pula dengan berbagai adat istiadat, tradisi, dan system
kemasyarakatan yang terdapat di berbagai daerah tersebut semakin beragam.
Keadaan ini memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan hukum
islam. Persoalan hukum yang dihadapi umat semakin beagam pula. Untuk
mengatasi keadaan ini, para ulama semakin meningkatkan ijtihadnya dengan
berdasarkan pada Al-Qur’an, sunnah Nabi, dan ijma’ sahabat. Pada periode
inilah lahir para ahli hukum (mujtahid) yang selanjutnya dikenal sebagai imam
atau faqih dalam islam. Empat mazhab yang dikenal saat ini yaitu Mazhab
Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syai’I, dan mazhab Hanbali juga lahir pada
periode ijtihad ini.
4. Ilmu fiqih pada periode taqlid atau penutupan pintu ijtihad
Periode ini dapat pula disebut periode kemumnduran dalam sejarah
kebudayaan Islam, yang dimulai sejak abad keempat hijriah (ke-11 masehi).
Pada masa ini, mazhab yang empat telah memiliki kedudukan yang stabil
dalam masyarakat dan perhatian bukan lagi ditujukan kepada Al-Qur’an, As-
sunnah, dan sumber-sumber hukum islam tersebut, melainkan pada buku-buku
fiqih yang ditulis oleh para ulama fiqih. Ulama-ulama mempertahankan
mazhab imamnya masing-masing dan menganggap imamnyalah yang terbenar
dan yang lainnya kurang benar. Dengan demikian perhatian dipusatkan pada
usaha mempertahankan kebenaran mazhab masing-masing.
Dalam hubungan ini, Sobhi Mahmassani mengemukakan sebagai
berikut “Pada masa terakhir dari kekuasaan daulah Abbasiyah, perkembangan

8
ilmu fiqih mulai berhenti. Ulama-ulama pada waktu itu sudah merasa cukup
dengan pengumpulan karya mazhab-mazhab saja dan mereka membatasi diri
dalam ijtihad hanya pada soal-soal furu’ belaka. Setelah jatuhnya Baghdad
pada pertengahan abad ke-7 Hijriah (13 M), ulama’-ulama’ fiqih sepakat untuk
menutup pintu ijtihad hanya karena rasa kekhawatiran dengan adanya
perselisihan pendapat.”
Kemudian peradaban bangsa Arab mulai menurun dan berangsur-
angsur menderita kemundurannya sehingga akhirnya mengalami kemunduran
dalam segala bidang. Disusul pula dengan meluasnya taqlid yang berakibat
terhentinya ijtihad dalam ilmu fiqih. Ulama-ulama fiqih sudah merasa cukup
dengan ikhtisar kitab-kitab syari’at, dengan syarah-syarahnya, atapun kitab
fatwa saja. Pada masa itu, ulama-ulama sekaliber Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali sudah tidak terdapat lagi. Ijtihad yang
dijalankan ulama-ulama yang belum mencapai derajat mujtahid telah
membawa kekacauan dalam bidang hukum di masyarakat. Dalam suasana yang
demikian, para ulama melihat perlunya menutup pintu ijtihad.

5. Ilmu fiqih pada periode kebangkitan


Pada masa itu, yakni abad ke-14 masehi, terdapat sejumlah ulama
yang tidak menerima taqlid. Mereka bangkit menyerukan kewajiban ijtihad
kepada dunia islam dan menyerukan ajakannya untuk kembali kepada sumber-
sumber syariat yang asli, yakni Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Ulama-ulama ini kemudian terkenal dengan sebutan mazhab salaf. Sebagai
pada mujadid yang mengadakan pembaruan dari alam taqlid dan
penyelewengan ke alam ijtihad dan keaslian. Mereka itu antara lain Taqiyuddin
ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah.
Pada abad ke-19 masehi, lahirlah Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh yang menyerukan kepada dunia islam untuk meninggalkan
taqlid. Gerakan membuka kembali pintu ijtihad dengan merujuk langsung
kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi ini dilakukan oleh dunia islam yang
bersentuhan dengan peradban modern seperti Turki, India, Mesir, dan
Indonesia. Tokoh pembaharu islam dari Turki seperti Zia Gokalf dan Sultan
Mahmud II. Di India terdapat nama Ahmad Khan dan Sayyid Ameer Ali. Di

9
Mesir terdapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, sedangkan di Indonesia
terdapat KH. Ahmad Dahlan dan Ahmad Syurkati.

C. Tokoh-Tokoh Fiqih
Pada pembahasan sebelumnya, penulsi telah membahas periode-periode
dari perkembangan ilmu fiqih dan perkembangan yang paling pesat terjadi pada
periode dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Pada masa ini, tokoh-tokoh fiqih yang
terkenal hingga saat ini adalah Abu Hanifah (mazhab Hanafi), Malik bin Anas
(mazhab Maliki), Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (mazhab Syafi’i), dan Ahmad ibn
Hambal (mazhab Hambali)
1. Abu Hanifah al-Nu’man
Abu Hanifah banyak memakai “pendapat” yang dalam bahasa arab
dikenal dengan istilah al-ra’yu, qiyas, atau anaalogi serta istihsan yang juga
merupakan suatu bentuk ideology. Abu Hanifa dikenal sangat hati-hati dalam
menggunakan sunnah sebagai sumber hukum. Ia hanya memakai sunnah yang
benar-benar diyakininya orisinal dan bukan sunnah buatan. Oelh karena itu, ia
dikenal sebagai penganut mazhab ahl al-ra’yi (aliran rasionalis). Selain itu,
Abu Hanifah berada di Kufah sehingga tidak banyak menjumpai hadist.
Sumber hukum yang digunakan Abu Hanifah yaitu Al-Qur’an, sunnah
(secara selektif), al-ra’yu, qiyas, istihsan, dan syar’u man qoblana (agama
sebelum kita, umat islam). Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian
atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya
kepada suatu kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash, karena adanya persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau
peristiwa tersebut. Sedangkan istihsan adalah menetapkan hukum terhadap
suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa karena ada alasan yang lebih kuat. Adapun
syar’u man qoblana merupakan syari’at hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku
pada para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW seperti syari’at Nabi Ibrahim,
Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa.
Diantara murid imam Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf Ibn Ya’qub Al-
Anshari (113-182 H) dan Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani (102-189 H).
mazhab Hanafi resmi dipakai oleh daulah Turki Ustmani, dan pada periode

10
Abbasiyah banyak dianut di Irak. Sekarang mazhab ini banyak terdapat di
Turki, Suriah, Afganistan, Turkistan, Bangladesh, Israel, Yordania, Pakistan,
Palestina, dan India. Suriah, Lebanon, dan Mesir juga menggunakan mazhab
ini secara resmi.

2. Malik bin Anas


Malik bin Anas al-Asbahi sebagai pendiri mazhab Maliki, lahir pada
tahun 713 H dan berasal dari Yaman. Ia tidak pernah meninggalkan kota ini,
kecuali untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Ia meninggal dunia pada
tahun 795 H. Paman beliau termasuk dalam golongan perawi hadist. Dengan
demikian tidak mengherankan kalau Malik bin Anas menjadi perawi hadist
juga, dan dalam pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi oleh sunnah Nabi. Ia
pernah belajar pada sejumlah guru seperti Nafi’, Maula Abdullah Ibn Umar,
Ibnu Syihab Al-Zuhri, dan Ibn Hurmuz.
Malik bin Anas menulis sebuah kitab terkenal “Al-MUwatta”, yang
merupakan kitab hadist dan fiqih. Dalam kitab ini, hadist diatur di dalamnya
sesuai dengan bidang-bidang yang terdapat dalam kitab fiqih.
Dalam melahirkan produk hukum, Malik bin Anas banyak berpegang
pada sunnah nabi dan ijma’ sahabat. Jika ia tidak mendapatkan dasar hukum
dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka ia menggunakan qiyas dan masalih al-
mursalah, yaitu maslahat umum. Dengan demikian, sumber hukum yang yang
digunakan oleh imam Malik, yaitu Al-Qur’an, sunnah, tradisi yang berlaku di
kalangan sahabat (qoul al-shahabi), qiyas dan masalih al-mursalah.
Malik bin Anas memiliki banyak murid, diantaranya Al-Syaibani, Al-
Syafi’i, Yahya Al-Lais, Al-Andalusi, Abdul Al-Rahman Ibn Al-Qasim di Mesir,
dan Asad ibn al Furat al-Tunisi, filsuf Ibn Rusyd dan pengarang bidayah al-
mujtahid termasuk pengikut imam Malik. Mazhab Maliki banyak dianut di
Hejaz, Maroko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, al0azair,
gambia, Ghana, Libya, Nigeria, dan Kuwait.

3. Muhammad ibn Idris as-syafi’i


Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Muhammad ibn Idris al-Syafi’I
lahir di Ghazza pada tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy. Ia
pernah belajar pada Sufyan bin Uyaynah Muslim ibn Khalid di Mekkah, dan

11
ketika pindah ke Madinah, ia belajar pada Imam Malik bin Anas hingga imam
Malik ini meninggal dunia.
Dalam menetapkan produk hukum, al-Syafi’i bepegang pada lima
sumber yaitu Al-Qur’an, sunnah nabi, Ijma’, pendapat sebagian sahabat yang
tidak mengandung perselisihan di dalamnya, serta qiyas.
Murid-murid Imam syafi’i antara lain di Irak terdapat Ahmad Ibn
Hambal, Daud Al-Zahiri, dan Abu Ja’far Ibn Jarir al-Tabari. Di Mesir terdapat
Isma’ill-Din Al-Nawawi, Taqiyuddin Ali Al-Subki, Tajuddin Abdul Wahhab
Al-Subki dan Jalaluddin Al-Suyuti adalah termasuk ke dalam pengikut-
pengikut besar dari imam Syafi’i. Mazhab Syafi’i banyak dianut di Indonesia,
Ethiopia, Kenya, Malaysia, Singapura, Somalia, Srilanka, Tanzania, dan
Yaman. Bahkan Brunei Darussalam menjadikan mazhab syafi’i sebagai
mazhab resmi Negara.

4. Ahmad ibn Hanbal


Ahmad Ibn Hanbal lahir di Baghdad pada tahun 780 M dan berasal
dari keturunan Arab. Pada mulanya, ia belajar hadist dan banyak mengadakan
perjalanan, tetapi kemudian dia belajar hukum juga. Diantara guru-gurunya
terdapat Abu Yusuf dan Imam Syafi’i. Kemudian ia sendiri menjadi guru dan
mulai temasyhur namanya.
Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad Bin Hanbal banyak
menggunakan lima sumber yaitu Al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat yang
diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seorang atau
beberapa sahabat dengan syarat sesuai dengan al-qur’an dan sunnah serta
qiyas.
Diantara murid Ahmad bin Hanbal yaitu Abu Al-Wafa’ Ibn Aqil,
Abdul Qadir Al Jaelani, Abu Al Farraj Ibr, Aljawzi, Muwaffaq Al-Din Ibn
Qudama, Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Muhammad Ibn Al-Qayyim dan
Muhammad Abdul Al-Wahhab. Penganut mazhab ahmad bin hanbal ini
terdapat di Irak, Mesir, Suriah, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia dan
Qatar, mazhab ini merupakan mazhab resmi dari Negara.

D. Metode Istinbath 4 Imam Madzhab


1. Imam Hanafi

12
Urutan Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi)
yaitu:
a. Al-Qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir
zaman.
b. Hadits: Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih
bersifat umum.
c. Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat
menurut Imam hanafi itu sangat penting karena menurut beliau para sahabat
meupakan pembawa ajaran rasul setelah generasinya.
d. Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam
Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah.
e. Istihsan: istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”,
menurut ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas
yang jelas Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f. Urf, beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari
dalam kebutuhan srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang
mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan
(bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ),
beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan
istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusi

2. Imam Maliki
Urutan Metode Istinbath Hukum Imam Malik
a. Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam
pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang
merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk
berpegangan kepada Al-Qur’an.
b. Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
c. Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak
hadits apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama
madinah.

13
d. Qiyas : Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi
kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan
sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang
antara keduanya.
e. Mashalihul Mursalah (Istislah): Maslahah mursalah menurut lughat
terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Katamursalah berasal
dari kata bahasa arab sholaha- yasluhu menjadi sholhan atau mashlahatan
yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah
berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul,
yaitu: arsala- yursilu- irsalan- mursalan yang berarti diutus, dikirim atau
dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah”
yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan
menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang
mengandung nilai baik (manfaat).

3. Imam Syafi’i
Urutan Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i
a. Al-qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam
sampai akhir zaman.
b. Hadits; Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah
Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan
menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah
Al-Qur’an
c. Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas
suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa
hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali
kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada
para sahabatnya dan para Mujtahid.

d. Qiyas
e. Istishab; Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa
serta dan tidak melepaskan sesuatu.

14
4. Imam Hanbali
Urutan Metode Istinbath Hukum Imam Hambali
a. Al-qur’an dan Hadits: yakni beliau jika telah mnemukan nahs
dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka beliau tidak memperhatikan
dalil-dalil yang lain dan juga kepada pendapat para sahabat yang
menyalahinya.
b. Fatwa Shahaby: yaitu ketika beliau tidak mendapatkan nash dan
beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu
ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini,
dengan tidak memenadang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
c. Pendapat Sebagian Sahabat yaitu mengambil pendapat yang
lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang beliau tidak
memberikan fatwa jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu pendapat.
d. Hadits Mursal atau Da’if: Mursal menurut bahasa merupakan
isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal menurut
istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in.
Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
e. Qiyas: akan dipakai jika benar-benar tidak ada ketentuan-
ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd di atas, namun Qiyas ini
mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada masa tersebut),
namun tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di masa
yang akan datang.

E. Pemikiran-Pemikiran Para Ahli Fiqih (Fuqaha)


Adanya perbedaan mazhab dalam islam disebabkan oleh factor-faktor
sebagai berikut:
a. Al-ikhtilaf fi tsubut al-nash wa darajatuhu (perbedaan dalam hal
menetapkan adanya sebuah nash dan mengukur tingkat validitasnya).
b. Al-ikhtilaf fi fahm al-nash wa idrak hikmatihi (perbedaan dalam hal
memahami atau menginterpretasi sebuah nash dan upaya menggali hikmah di
balik nash tersebut)

15
c. Al-ikhtilaf fi al-ijtihadi fima la nasha fih manthuqan aw mafhuman
(perbedaan ijtihad dalam suatu masalah yang tidak ditemukan nashnya baik
secara tekstual maupun kontekstual).
Perbedaan mazhab dalam islam juga dilatarbelakangi oleh hal-hal berikut:
a. Adanya perbedaan latar belakang kecakapan intelektual, kecenderungan,
kepribadian, dan aliran yang dianut seorang imam.
b. Adanya perbedaan kondisi sosial, politik, adat istiadat, dan tradisi yang
terdapat pada suatu daerah tempat imam mazhab tersebut berada.
c. Terbukanya pintu ijtihad.
d. Tidak adanya larangan bagi seorang murid untuk memiliki pandangan
yang berbeda dengan gurunya.
e. Sikap saling menghargai adanya perbedaan pendapat.
Dalam makalah ini, penulis hanya menjelaskan contoh-contoh kasus yag
di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para imam mazhab dalam menetapkan
hukumya. Contoh kasus ini banyak terdapat di Indonesia dan sering menjadi
pertentangan di kalangan umat islam di Indonesia.
1. Persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan asing (bukan mahram)
Salah satu masalah yang tedapat perbedaan pendapat di dalamnya
adalah masalah persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan asing yang
bukan mahramnya. Bahkan para imam mazhab pun juga berbeda pendapat
dalam menyikapinya. Hal ini didasarkan pada perbedaan dalil yang digunakan
dan perbedaan penafsiran dalam menafsirkan kata “aw laamastumun nisaa”
dalam QS. An-Nisa ayat 43.
Imam syafi’i menghukumi persentuhan kulit antara laki-laki dan
perempuan asing (bukan mahram) tanpa adanya penghalang sebagai salah satu
hal yang membatalkan wudhu. Imam Syafi’i berpendapat bahwa menyentuh
lain jenis yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudhu baik yang
menyentuh maupun yang disentuh. Pendapat ini didasarkan pada firman Alloh
SWT yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati
shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar dengan apa yang
kamu ucapkan, dan janganlah pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam
keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi
(mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau
sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu
tidak mendapat air maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci),

16
usaplah wajahmu, dan tanganmu dengan debu itu. Sungguh Alloh Maha
Pemaaf Lagi Maha Pengampun” (QS. An-Nisa’:43)
Dalam ayat tersebut terdapat dua ketentuan syar’i sebelum mendirikan
shalat. Pertama, kewajiban mandi junub bagi yang berhadas besar. Kedua,
tayammum sebagai pengganti wudhu bagi orang yang berhadas kecil seperti
setelah buang hajat dan persentuhan kulit lelaki dan perempuan yang bukan
mahram. Dengan memahami dua hal ini, imam Syafi’i berpendapat bahwa
yang dimaksud “mulamasah” (persentuhan) disini bukan persentuhan dalam
arti persentuhan karena masalah hadas yang disebabkan oleh janabat telah
dijelaskan pada penjelasan sebelumnya yakni harus dengan mandi, sedangkan
persentuhan kulit (bukan bersetubuh) cukup disucikan dengan wudhu atau
tayammum.
Mazhab Maliki juga berpendapat bahwa persentuhan kulit antara laki-
laki dan perempuan yang bukan mahram termasuk salah satu hal yang
membatalkan wudhu. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Muwatha’nya Imam
Malik. Sebuah hadist yang artinya:”Dari Abdullah bun Umar, ia berkata:
kecupan seorang laki-laki atas istrinya dan menyentuh dia dengan tangannya
adalah termasuk “mulamasah” (persentuhan). Maka barangsiapa yang
mengecup istrinya dan menyentuhnya dengan tangan maka ia wajib berwudhu
(jika akan sholat).” Imam Malik juga mensyariatkan hal lain diantaranya yang
menyentuh dan yang disentuh harus baligh da nada maksud untuk mencari
nikmat atau bersyahwat. Sedangkan menurut imam Syafi’I tidak mensyariatkan
banyak hal. Dalam mazhab syafi’i, persentuhan kulit antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram baik disengaja atau tidak, dan besyahwat atau
tidak, wudhunya tetap batal.
Mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa persentuhan kulit laki-laki
dengan perempuan dapat membatalkan wudhu walaupun dengan mahram
sekalipun. Sedangkan mazhab Hanafi menginterpretasikan “mulamasah” disini
sebagai persetubuhan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa salah satu hal yang
membatalkan wudhu adalah bersetubuh dan bukan hanya persentuhan kulit saja
seperti yang dipahami oleh tiga imam yang lainnya.

2. Membaca basmalah dalam surat al-fatihah

17
Dalam masalah ini, para mujtahid terpecah menjadi 3 pendapat. Imam
Malik melarang (tidak menganjurkan) membaca basmalah dalam fatihah secara
mutlak baik dengan jahr (keras) maupun sirri (pelan) tetapi
memperbolehkannya dalam shalat sunnah. Sedangkan imam Abu Hanifah dan
imam Ahmad bin Hanbal berpendapat harus membaca basmalah tetapi dengan
sirri (pelan). Adapun imam Syafi’i berpendapat wajib membaca basmalah
dalam surat al-fatihah. Apabila sholatnya jahr (keras) seperti sholat shubuh,
maghrib, dan isya’ maka basmalahnya pun harus jahr (keras). Dan apabila
sholatnya sirri (pelan) maka bacaan basmalahnya pun mengikuti bacaan dalam
sholat yang dilakukan secara sirri (pelan). Perbedaan ini didasarkan pada
perbedaan beristinbath dari sunnah-sunnah Rosululloh SAW dan adanya
perbedaan pemahaman yaitu apakah basmalah itu termasuk ayat dari surat al-
fatihah atau bukan.

3. Membaca qunut dalam sholat shubuh


Menurut imam Syafi’I, hukum membaca qunut pada saat sholat
shubuh adalah sunnah muakkad. Artinya apabila qunut pada saat sholat shubuh
ditinggalkan maka hal tersebut tidaklah membatalkan sholat namun
disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi. Demikian pula mazhab maliki
mensunnahkan melakukan qunut pada saat sholat shubuh. Sedangkan mazhab
Hanbali mensunnahkan qunut shubuh khusus kepada para imam atau
pemimpin bukan kepada rakyat biasa. Adapun mazhab Hanafi tidak
memperkenankan qunut pada saat sholat shubuh.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis yang telah disampaikan pada bab-bab
sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal berikut:
1. Fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (praktis) dan furu’iyah (cabang) yang digali dan
ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci dan melalui proses ijtihad.
2. Sejarah perkembangan fiqih dapat dibagi menjadi 5 periode yaitu periode
Nabi Muhammad SAW, periode Khulafaur-Rasyidin (sahabat), periode

18
Umayyah dan Abbasiyah, periode taqlid atau penutupan pintu ijtihad, dan
periode kebangkitan.
3. Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam ilmu fiqih diantaranya Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
4. Adanya perbedaan mazhab dalam islam disebabkan oleh factor-faktor
sebagai berikut:
a. Al-ikhtilaf fi tsubut al-nash wa darajatuhu (perbedaan dalam hal
menetapkan adanya sebuah nash dan mengukur tingkat validitasnya).
b. Al-ikhtilaf fi fahm al-nash wa idrak hikmatihi (perbedaan dalam
hal memahami atau menginterpretasi sebuah nash dan upaya menggali
hikmah di balik nash tersebut)
c. Al-ikhtilaf fi al-ijtihadi fima la nasha fih manthuqan aw
mafhuman (perbedaan ijtihad dalam suatu masalah yang tidak
ditemukan nashnya baik secara tekstual maupun kontekstual).
5. Perbedaan mazhab dalam islam juga dilatarbelakangi oleh hal-hal
berikut:
a. Adanya perbedaan latar belakang kecakapan intelektual,
kecenderungan, kepribadian, dan aliran yang dianut seorang imam.
b. Adanya perbedaan kondisi sosial, politik, adat istiadat, dan tradisi
yang terdapat pada suatu daerah tempat imam mazhab tersebut berada.
c. Terbukanya pintu ijtihad.
d. Tidak adanya larangan bagi seorang murid untuk memiliki
pandangan yang berbeda dengan gurunya.
e. Sikap saling menghargai adanya perbedaan pendapat.

19

Anda mungkin juga menyukai