PEMBAHASAN
Pemeriksaan marka jantung pada pasien ini menunjukkan hasil troponin I >
10.00 ng/ml (normal <0.02 ng/ml) yang menandakan bahwa terjadi cedera
miokardial pada organ jantung pasien tersebut. Adapun pemeriksaan marka jantung
yang dikenal saat ini antara lain adalah Cardiac troponin I (cTnI) dan T (cTnT).
Cardiac troponin I (cTnI) dan T (cTnT) adalah komponen kontraktil dari sel
miokardial dan diekspresikan secara eksklusif pada organ jantung. Peningkatan nilai
cTnI belum pernah dilaporkan terjadi terkait dengan cedera jaringan non-cardiac.
Sebaliknya, keadaan ini berbeda halnya dengan cTnT. Data biokimiawi
menunjukkan bahwa otot skeletal yang cedera mengekspresikan protein yang
terdeteksi oleh pemeriksaan cTnT, sehingga mengakibatkan terjadinya beberapa
kondisi dimana terjadi peningkatan cTnT berasal dari otot skeletal semata, tanpa
disertai kondisi penyakit jantung iskemik.2
cTnI dan cTnT merupakan biomarker pilihan untuk evaluasi cedera
miokardial, dan pemeriksaan high-sensitivity (hs)-cTn direkomendasikan untuk
pemeriksaan penunjang klinis rutin. Biomarker jantung lain seperti creatine kinase
MB isoform (CK-MB) bersifat kurang sensitif dan spesifik daripada cTnI dan cTnT.
Cedera miokardial didefinisikan saat terdapat peningkatan cTn darah di atas
persentil ke-99 dari nilai batas atas. Cedera miokardial dianggap akut bila terjadi
peningkatan atau penurunan dari nilai cTn.2
Pemeriksaan troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam
setelah awitan SKA, sehingga hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina.
Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya
diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar troponin pada pasien IMA
meningkat di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai
2 minggu. Peningkatan biomarka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis
miosit, namun tidak tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (koroner atau nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat akibat
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan non-kardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologi akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufiensi ginjal.
Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.1
Pada pasien ini dilakukan tatalaksana awal di IGD berupa bed rest, posisi
kepala elevasi 30’, IVFD RL asnet.Terapi medis yang dapat diberikan pada pasien
yang tidak menerima terapi reperfusi meliputi DAPT, antikoagulan dan terapi
pencegahan sekunder. Terapi farmakologis yang diberikan pada pasien berupa terapi
reperfusi dengan pemberian fibrinolitik segera dan dilanjutkan dengan pemberian
Lovenox 0,3 cc IV segera setelah pemberian fibrinolitik. Hal ini dilakukan sebagai
penatalaksanaan pertama yang dilakukan, karena belum dapat dilakukan primary
IKP. Pasien juga diberikan loading CPG 300 mg → 1x75 mg, Aspilet loading 160
mg, Aptor 1x100 mg.
. Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena
(Kelas I-C). Kemudian diberikan Recansa (Rosuvastatin) 1 x 20mg, hal ini telah
sesuai dengan rekomendasi ESC untuk memulai terapi statin intensitas tinggi seperti
atorvastatin 40 – 80 mg atau rosuvastatin 20 – 40 mg sedini mungkin, kecuali
dikontraindikasikan dan mempertahankan terapi ini dalam jangka panjang (kelas I
level A).3 Kemudian diberikan ISDN (Isosorbit dinitrat) 1 x 5mg prn (tunda jika
tekanan sistole 90 atau lebih rendah) diberikan bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). Jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali.
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien
yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya
dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan
prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran dokter umum lebih
besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di rumah
sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien
dipulangkan. Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari
STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat (Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa
henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan
setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan
gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin
sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk
rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa
memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A).
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi =40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia (Kelas I-B).
Pada pasien ini diberikan terapi jangka panjang berupa, Brilinta (Ticagleror)
jangka panjang dengan dosis pemeliharaan 2x90 mg (Kelas I-C), Aspilet
(Acetylsalicylic acid) 1 x 80 mg merupakan terapi antiplatelet dengan aspirin dosis
rendah (75-100 mg) yang diindikasikan tanpa henti (Kelas I-A), Recansa
(Rosuvastatin) 1 x 20 mg sebagai statin perlu diberikan atau dilanjutkan tanpa
memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A), Concor (Bisoprolol) 1 x 2,5 mg,
Lisinopril (ACE inhibitor) 1 x 2,5 mg sebaiknya diberikan pada semua pasien (kelas
II-A), ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A) dan
ISDN 3 x 5 mg p.r.n. Untuk prognosis pada pasien ini di nilai menggunakan score
Killip, yaitu termasuk ke dalam killip 1 yaitu tidak terdapat gagal jantung (tidak
terdapat ronki maupun S3) dengan nilai mortalitas 6%.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis berupa nyeri dada yang tipikal, disertai dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan STEMI
anterior extensive, serta prognosis killip 1 dengan mortalitas sebesar 6%.
DAFTAR PUSTAKA