Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dijabarkan dalam Pasal 7 UU BI


sebagai berikut: Ayat (1) Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam penjelasan pasal ini dikemukakan:
Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam ayat ini adalah kestabilan nilai
rupiah terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang negara lain. Kestabilan
nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan atau tercermin dari
perkembangan laju inflasi. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain
diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata
uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.

Tugas yang diemban oleh BI dalam menjaga kestabilan nilai rupiah,


tampaknya bukanlah suatu pekerjaan yang ringan. Hal ini dapat dimaklumi
mengingat berbagai perkembangan yang terjadi baik skala nasional maupun
internasional cukup mempengaruhi dalam menjaga kestabilan nilai rupiah yang
dimaksud. Hal ini juga tercermin dari apa yang dijabarkan dalam Pasal 7 ayat (2)
UUBI: Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang
perekonomian. Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) dikemukakan: Ketentuan ini
dimaksudkan agar kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia secara
berkelanjutan, konsisten, dan transparan dapat dijadikan acuan yang pasti dan
jelas bagi dunia usaha dan masyarakat luas. Di samping itu, ketentuan ini
dimaksudkan pula agar kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia sudah
mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian nasional secara
keseluruhan, termasuk bidang keuangan negara dan perkembangan di sektor riil.

Dari ketentuan Pasal 7 UU BI di atas dapat diketahui tugas yang diemban


oleh Bank Indonesia, tidak saja di bidang sektor keuangan akan tetapi juga untuk
bidang-bidang yang lainnya cukup strategis. Oleh karena itu dalam mengeluarkan
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia harus memperhatikan
sektor riil. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 8 UU BI: untuk mencapai tujuan

1
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai
berikut:

a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;

c. mengatur dan mengawasi Bank.

Berdasarkan latar belakang tersebut penyusun tertarik untuk melakukan


pembahasan mengenai huruf/point C yaitu, “Pengaturan dan Pengawasan Bank
oleh BI” yang sebagaimana tertuang dalam pasal 8 UU BI yang merupakan tugas
Bank Indonesia guna mencapai tujuan dimaksud dalam pasal 7 UU BI.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan


dalam pembahasan ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Apa yang dilakukan Bank Indonesia dalam hal mengatur Bank di


Indonesia?
2. Apa yang dilakukan Bank Indonesia dalam hal mengawasi Bank di
Indonesia?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Mengatur dan Mengawasi Bank

Terkait dengan tugas mengatur dan mengawasi bank, tampaknya pembuat


undang-undang ingin memisahkan antara tugas mengatur dan mengawasi
dipisahkan. Dengan kata lain tugas mengatur bank diberikan kepada Bank
Indonesia. Sedangkan tugas mengawasi bank diberikan kepada lembaga yang
khusus dibentuk untuk itu. Bahkan pendirian lembaga pengawas jasa keuangan
tersebut secara limitatif telah ditegaskan dalam undang-undang Bank Indonesia
harus sudah didirikan paling lambat pada akhir tahun 20101. Hal ini dengan tegas
dijabarkan dalam Pasal 34 UUBI:

(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan
dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Dalam penjelasan Pasal 34 Ayat (1) dikemukakan: Lembaga pengawasan jasa


keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan
perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana
pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan
lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat
independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar
pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya lembaga
ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam undang-undang

1
Pada tanggal 22 November 2011 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Tahun 2011 Nomor 111 diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dalam Pasal 1 angka 1 dijelaskan : Otoritas Jasa
Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan
bebas dari campur tangan pihak Iain, yang mempunya fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.

3
pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat
mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan
Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari
Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan. Selanjutnya dalam
Ayat (2) dikemukakan:

Pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada lembaga


pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya
syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur
organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan
pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.

Dari ketentuan di atas terlihat bahwa di masa yang akan datang, pengawasan
terhadap lembaga keuangan Bank, yang dalam penjelasan Pasal 34 UU BI
digunakan istilah Bank dan Perusahaan-perusahaan jasa keuangan lainnya,
diberikan kepada lembaga yang independen. Hal ini tentu cukup menarik dengan
adanya pemisahan antara otoritas pemberi izin dengan pengawasan. Artinya izin
untuk mendirikan Bank tetap ada diBank Indonesia, sementara itu pengawasan
terhadap operasional atau kegiatan Bank sebagai Lembaga Keuangan diberikan
kepada lembaga independen yang segera akan dibentuk sesuai dengan perintah
UU BI. Dengan model ini tentunya diharapkan dengan diberikannya status
independen dalam pengawasan, maka berbagai ketentuan tentang pelaksanaan izin
operasional yang telah diberikan dapat lebih ditingkatkan pengawasannya.
Adanya pengawasan yang independen ini diharapkan kemungkinan terjadinya
berbagai pelanggaran dapat dideteksi sedini mungkin, sehingga kemungkinan
terjadinya Bank gagal dapat ditekan sekecil mungkin.

Penjabaran lebih lanjut dalam rangka menjalankan tugas mengatur Bank,


dalam Pasal 25 UU BI dikemukakan: Bank Indonesia berwenang menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. Selanjutnya
dalam Pasal 26 dikemukakan, Bank Indonesia berwenang :

a. memberikan dan mencabut izin usaha Bank;

b. memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank;

c. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank;

d. memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha


tertentu.

Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia dilakukan baik langsung dan tidak
langsung, yakni:

4
(1) Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan,
dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(2) Apabila diperlukan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dikenakan pula terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait,
dan pihak terafiliasi dari Bank.

(3) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala
maupun setiap waktu apabila diperlukan.

(4) Apabila diperlukan, pemeriksaan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk,


perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi, dan debitor Bank.

(5) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan sementara


sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian
Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak
pidana di bidang perbankan.

(6) Apabila dari hasil pemeriksaan tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank
Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi.

Dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia


membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau
membahayakan sistem perbankan atau tetjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang
berlaku.2

Lebih lanjut dijelaskan, salah satu yang cukup penting dalam pengelolaan
bank adalah masalah pengawasan bank. Mengapa demikian, sebab dana yang
dikumpulkan langsung dari masyarakat, bila tidak diawasi secara ketat bisa
menimbulkan ketidakpercayaan terhadap lembaga perbankan sebagai tempat
penyimpan dana yang aman. Ada pun lembaga yang diberikan otoritas oleh
undang-undang untuk melakukan pengawasan bank adalah Bank Indonesia. Hal
ini dijabarkan dalam Pasal 29 Ayat (1) UUP yang mengemukakan: Pembinaan
dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya dalam
penjelasan pasal ini dikemukakan, yang dimaksud dengan pengawasan dalam ayat
(1) ini meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk
pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan
pengawasan Iangsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-
tindakan perbaikan. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang,
tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan

2
Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang Perbankan

5
pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat
preventif maupun represif. Demikian juga halnya, di penjelasan umum UUP
dikemukakan :agar pembinaan dan pengawasan bank dapat dilaksanakan secara
efektif, kewenangan dan tanggung jawab bank mengenai perizinan bank, yang
semula berada pada Menteri Keuangan, menjadi berada pada Bank lndonesia
sehingga Bank Indonesia memiliki tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan
perizinan, pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank
yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku.

Selain dalam UUP, dalam Undang-Undang Bank Indonesia juga disebutkan


bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah melakukan pengawasan. Hal ini
dijabarkan dalam Pasal 8 huruf c UU BI: Bank Indonesia mempunyai tugas
mengatur dan mengawasi Bank. Namun di masa yang akan datang tugas Bank
Indonesia dalam bidang pengawasan Bank akan diserahkan kepada lembaga yang
khusus dibentuk untuk itu. Sementara belum terbentuk, tugas pengawasan bank
tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 34 Ayat
(1) UU BI: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang; (2)
Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan
dilaksanakan selambat-Iambatnya 31 Desember 2010. Dalam Penjelasan Pasal 34
Ayat (2) UU BI dikemukakan: Pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank
Indonesia kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara
bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran,
personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sstem dokumentasi, dan berbagai
peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.

Dari ketentuan di atas, dapat diketahui apa latar belakang tugas pengawasan
bank diberikan kepada Bank Indonesia, walaupun dalam perkembangannya tugas
pengawasan bank dialihkan ke lembaga independen. Arti pentingnya pengawasan
bank, juga tercermin dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh pakar
perbankan, antara lain, Priasmoro Prawiroardjo mengemukakan, sebagaimana
diketahui salah satu tugas Bank Sentral adalah menjalankan pengawasan secara
ketat untuk menjaga agar lembaga keuangan terutama bank-bank dapat bekerja
sehat dan jujur.3 Untuk mencapai ini, maka pengeloIa bank harus mentaati UUP

3
Priasmoro Prawiroardjo: Indepedensi BI, Pengertian dan Konsekuensinya;
Kompas, 1999. Lihat juga . O.P. Simorangkir: Dasar-dasar dan Mekanisme
Perbankan. Jakarta: Liha Yagrat, 1983. Hlm. 119.

6
dan peraturan lainnya yang terkait dengan industri perbankan, baik yang
ditetapkan oleh pemerintah maupun oleh Bank Indonesia.4

Pendapat senada dikemukakan oleh Permadi Gandapradja, tujuan dan inti


dari pengawasan bank adalah melindungi kepentingan masyarakat penyimpan
dana (deposan dan kreditor) yang mempercayakan dananya pada bank untuk
memperoleh pembayaran kembali dan manfaatnya dari bank sesuai dengan sifat,
jenis dan cara pembayaran yang dijanjikan. Peran pengawasan bank adalah
memastikan apakah bank memiliki kebijakan, prosedur, dan pedoman penilaian
kredit, serta menguji konsistensi pelaksanaannya. Selanjutnya dikemukakan,
prinsip dan metode pengawasan bank dilakukan meliputi 6 (enam) jalur yaitu:

1. Pengaturan (regulasi) yang meliputi;


a. Mengatur persyaratan dan tata cara perizinan bagi pendirian suatu bank
termasuk jaringan kantornya;
b. Pengaturan yang berkaitan dengan usaha bank;
c. Pengaturan tentang inforrnasi yang diperlukan bagi otoritas pengawasan
bank.
2. Pengawasan tidak langsung (off site supervision). Mekanisme yang dilakukan
dalam hal ini adalah:
a. Melakukan penilaian atas kepatutan, ketepatan waktu, konsistensi materi
laporan.
b. Menganalisis setiap laporan maupun kombinasi atas berbagai laporan
yang diterima.
c. Mengkomunikasikan dan/atau mengklarifikasikan berbagai temuan dari
analisis, guna memperoleh kejelasan dalam menetapkan tindak lanjut
yang diperlukan.
3. Pengawasan Iangsung/pemeriksaan (on site supervision). Dalam hal ini
otoritas pengawasan bank ingin meyakini kondisi bank secara langsung
berdasarkan data dan dokumen yang dipelihara oleh bank, sekaligus menguji
kebenaran dan konsistensi pembuatan laporan yang disampaikan kepada
otoritas pengawasan bank.
4. Kontak dan komunikasi teratur dengan bank. Melalui jalur ini, otoritas
pengawasan bank berusaha untuk memahami alur pemikiran dan komitmen
manajemen.

5. Tindak remedial dan/atau penerapan sanksi. Dengan metode ini otoritas


pengawasan bank berusaha mengendalikan dan mengamankan efektivitas
dalam mencapai sarana pengawasan bank. Setiap penyimpangan atau

4
Dalam UU BI disebutkan Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang
mengikat setiap orang atau badan. Peraturan BI diumumkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia (Lihat Pasal 1 butir 8).

7
pelanggaran yang dilakukan oleh bank dikenakan sanksi sesuai ketentuan
yang berlaku.

6. Kerja sama dengan otoritas pengawasan bank negara lain. Dengan metode ini,
otoritas pengawasan bank menjalin kerjasama dan saling tukar informasi,
baik mengenai permasalahan yang dihadapi oleh perbankan di negara masing-
masing maupun mengenai strategi, kebijakan, dan teknik pengawasan bank
yang efektif berdasarkan pengawasan masing-masing negara.5

Pendapat yang hampir senada dikemukakan oIeh Widjanarto, di negara-


negara lain industri perbankan merupakan industri yang diatur dan diawasi secara
ketat (highly regulated industry). Di Amerika Serikat misalnya, tujuan pengaturan
dan pengawasan bank dimaksudkan untuk:

1. Melindungi kestabilan moneter. Kestabilan sistem perbankan sangat penting


untuk memungkinkan pembinaan moneter (moneteray authorities)
mengontrol volume uang yang beredar;

2. Melindungi penyimpan uang/depositor. Untuk mendapatkan pelayanan jasa-


jasa perbankan, biasanya seseorang harus menjadi nasabah dahulu, yang tidak
lain harus menyetor atau menyimpan yang lebih dahulu.

3. Melindungi para konsumen, yakni pengguna jasa perbankan. Berkaitan


dengan perlindungan pada penyimpan dana/ depositor, maka pengaturan
pengawasan dan pembinaan bank juga dimaksudkan untuk melindungi semua
masyarakat pengguna jasa bank atau konsumen. Lebih spesifik, dalam hal ini
adalah untuk melindungi konsumen dari praktik-praktik perkreditan yang
kurang jujur, jaminan perlakuan dan kesempatan untuk mendapat kredit dan
sebagainya;

4. Menumbuhkan sistem keuangan yang efisien dan kompetitif.6

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar hukum perbankan
di atas, dapat diketahui bahwa tugas yang diemban oleh Bank Indonesia sebagai
Bank Sentral sangat penting dalam menjaga integritas bank sebagai lembaga
intermediasi. Untuk itu, perlu dilakukan pengawasan oleh lembaga pemegang
otoritas perbankan. Adapun bentuk pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dijelaskan dalam
Pasal 27 UU BI: Pengawasan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 24 adalah pengawasan secara langsung dan tidak langsung.

5
Permadi Gandapradja. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004. Hlm. 7/23.
6
Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta:
Grafiti, 2003. Hlm. 225.

8
Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini dikemukakan yang dimaksud dengan
pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan
tindakan perbaikan. Yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung, terutama
dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan
bank.

Dalam Pasal 24 UU BI sendiri dijelaskan: Dalam rangka melaksanakan tugas


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi
terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam penjelasan
pasal ini disebutkan, pengaturan dan pengawasan mengacu kepada UU No. 7
Tahun 1992 Jo. UU No. 10 Tahun 1998.

Dari ketentuan di atas kiranya dapat dikemukakan, bahwa secara umum


bentuk pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dapat dilakukan:

(1). Secara langsung yang berarti petugas Bank Indonesia yang melakukan
pemeriksaan ke bank yang bersangkutan (on the spot);

(2). Secara tidak langsung yang berarti bank diharuskan mengirim data ke Bank
Indonesia untuk dianalisis oleh petugas Bank Indonesia.7

Tugas yang diemban oleh Bank Indonesia sebagai pengawas bank, sangat erat
kaitannya dengan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Bank
Indonesia seperti yang dimaksud dalam Pasal 30, 31, 31 A dan 37 UUP.8
Mungkin timbul pertanyaan mengapa bank perlu pembinaan dan pengawasan oleh
pemegang otoritas perbankan dalam hal ini Bank Indonesia, bukankah dengan
dipenuhinya berbagai persyaratan yang harus dipenuhi ketika hendak mendirikan
bank sudah cukup rumit baik dari segi administrasi maupun substansi? Dengan
mengacu kepada berbagai pemikiran yang dilontarkan oleh para pakar seperti
dikutip di atas, tampaknya langkah preventif semata, dirasakan tidak cukup dalam
rangka pengawasan bank. Untuk itu perlu pembinaan dan pengawasan bank secara
berkesinambungan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Adapun tujuan
pembinaan dan pengawasan ini tiada lain karena bank:

a. merupakan sarana dalam melaksanakan kebijakan moneter;

7
O.P. Simorangkir. Op.Cit. Hlm. 123.
8
Secara ringkas ketentuan ini mengatur tentang:
a) Kewajiban bank menyampaikan laporan ke Bank Indonesia (Pasal 30).
b) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan setiap saat (Pasal 31).
c) Bank Indonesia dapat menugaskan akuntan publik (Pasal 31 A).
d) Bank Indonesia dapat melakukan tindakan tertentu (Pasal 37).

9
b. merupakan sarana dalam pelaksanaan pembangunan;

c. harus memenuhi asas-asas perbankan yang sehat; dan

d. harus melindungi kreditor bank.9

Berkaitan dengan pentingnya pengawasan bank tersebut menarik untuk


dicermati, apa yang dikemukakan oleh Edward W Reed & Edward K Gill:

"... Commercial banks holds deposits of millions of people, which may be


requested on demand; they can withhold or make credit available to
individuals and business; and they are closely involved with the nation’s
money supply. Because of these factors, banks are vested with a public interest
and are requested to ensure that these very basic functions are adequately
performed ...”10

Dengan demikian, mengacu kepada pandangan di atas semakin terlihat,


bahwa bisnis perbankan mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan
dengan badan usaha pada umumnya.Disebut demikian, karena bank mengelola
sejumlah dana yang dipercayakan oleh nasabah, untuk itu perlu ada pengawasan
dari pemegang otoritas perbankan. Dalam UUP sendiri atau tepatnya pada Pasal 1
angka 2 dijelaskan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Jadi bank langsung bersentuhan dengan kepentingan
masyarakat banyak (Public Interest). Oleh karena itu adalah wajar dan pantas bila
seluruh aktivitas bank diawasi secara ketat oleh lembaga yang ditunjuk untuk itu,
agar masyarakat tetap percaya bahwa bank memang lembaga penyimpan dana
yang aman dan dapat dipercaya.

Berangkat dari berbagai pengalaman yang ada, Bank Indonesia yang hingga
saat ini secara yuridis formal masih diberi tugas untuk melakukan pengawasan
bank, menjabarkan tugas dalam melakukan pengawasan bank dilakukan dalam
tiga tahapan sesuai dengan kondisi bank yakni:11
1. Pengawasan Normal (Rutin);

2. Pengawasan Intensif (Intensive Supervision);

3 . Pengawasan Khusus (Special Surveillance).

9
0.P Simorangkir. Ibid. Hlm. 130. Lihat Juga M. Djumhana. Hukum Perbankan di
Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993. Hlm. 160-161.
10
Edward W Reed and Edward K Gill: Commercial Banks. Fourth edition. Printice
Hall. 1989. Hlm 34.
11
Bank Indonesia: “Bank Dalam Pengawasan Khusus (special surveillance)". Artikel
tersedia di : http/www.bi.go.id/ akses tanggal 24/11/18.

10
Ad. 1. Pengawasan Normal

Yang dimaksud dengan pengawasan normal dalam hal ini adalah pengawasan
dilakukan terhadap Bank yang memenuhi kriteria tidak memiliki potensi atau
tidak membahayakan kelangsungan usahanya. Umumnya, frekuensi pengawasan
dan pemantauan kondisi Bank dilakukan secara normal sedangkan pemeriksaan
terhadap jenis Bank ini dilakukan secara berkala atau sekurang-kurangnya setahun
sekali.12

Ad. 2 Pengawasan Intensif

Yang dimaksud dengan pengawasan intensif yakni pengawasan dilakukan bagi


Bank yang memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan
usahanya. Langkah-Iangkah yang dilakukan Bank Indonesia pada Bank dengan
status Pengawasan Intensif, antara lain:

1. Meminta Bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank Indonesia.

2. Melakukan peningkatan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana kerja


dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan dicapai.

3. Meminta Bank untuk menyusun rencana tindakan sesuai dengan


permasalahan yang dihadapi.

4. Menempatkan pengawas dan/atau pemeriksa Bank Indonesia pada Bank,


apabila diperlukan.

Bagi Bank dalam Pengawasan Intensif yang tidak menghasilkan perbaikan


kondisi keuangan dan manajerial dan berdasarkan analisis Bank Indonesia
diketahui bahwa Bank tersebut dapat diklasifikasikan sebagai Bank yang memiliki
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank tersebut
selanjutnya ditetapkan sebagai Bank dengan status Pengawasan Khusus. Di
samping itu, apabila diperlukan, intensitas pemeriksaan langsung pada Bank pada
umumnya meningkat terutama dalam rangka memantau perkembangan kinerja

12
Perhatikan misalnya PBI No.3/22/PBI/2001 Tanggal 13 Desember 2001 tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank. Dalam PBI ini dijelaskan langkah awal menuju
pengawasan bank secara konsolidasi perlu didukung dengan adanya laporan tentang
kondisi keuangan dan perusahaan induk, perusahaan induk di bidang keuangan,
perusahaan anak, perusahaan afiliasi dan pihak terkait dengan anak. Atas dasar
pertimbangan tersebut, maka disempurnakanlah: a, Laporan tahunan; b. Laporan
keuangan tahunan; c. Laporan Keuangan publikasi triwulan dan bulanan bank. (Lihat
Widjanarto. 0p.Cit. Hlm. 230).

11
berdasarkan komitmen dan rencana perbaikan yang disampaikan manajemen
Bank kepada Bank Indonesia.

Ad. 3 Pengawasan Khusus

Pengawasan terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan yang


membahayakan kelangsungan usahanya. Terhadap Bank dengan status
Pengawasan Khusus ini maka beberapa tindakan Bank Indonesia yang diambil,
antara lain:

1. Memerintahkan Bank dan/atau pemegang saham Bank untuk mengajukan


rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) secara tertulis
kepada Bank Indonesia.

2. Memerintahkan Bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan tindakan


perbaikan (mandatory supervisory actions).

3. Memerintahkan Bank dan/atau pemegang saham Bank untuk lakukan


tindakan antara lain:

a. mengganti dewan komisaris dan/atau direksi Bank;

b. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah


yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan
modal Bank;

c. melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

d. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh


kewajiban Bank;

e. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada


pihak lain ;

f. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank kepada


bank atau pihak lain; dan/atau

g. membekukan kegiatan usaha tertentu Bank.

Lebih lanjut perihal pengawasan bank dijabarkan dalam Peraturan Bank


Indonesia Nomor: 13/3/PBI/2011 (PBI: 13/3/2011) Tentang Penetapan Status Dan
Tindak Lanjut Pengawasan Bank, tanggal 17 Januari 2011. Dalam Pasal 3 PBI:
13/3/2011 dikemukakan:

(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif apabiia dinilai
memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.

12
(2) Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau
lebih kriteria sebagai berikut:

a. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) lebih dari 8%


(delapan persen) namun kurang dari rasio KPMM yang
mempertimbangkan potensi kerugian sesuai profil risiko Bank yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;

b. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia;

c. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah sama dengan atau
lebih besar dari rasio yang ditetapkan untuk GWM Bank, namun
memiliki permasalahan likuiditas mendasar;

d. rasio kredit atau pembiayaan bermasalah (non perfonning Ioan/financing)


secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit atau total
pembiayaan;

e. peringkat risiko Bank tinggi (high risk) berdasarkan hasil penilaian


terhadap keseluruhan risiko (composite risk);

f. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank 4 (empat) atau S (lima);

g. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank 3 (tiga) dengan peringkat


faktor manajemen 4 (empat) atau 5 (lima).

Adapun jangka waktu pengawasan terhadap bank dijelaskan dalam Pasal 4


sebagai berikut:

(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif paling lama 1
(satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia.

(2) Dalam hal Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif karena kredit atau
pembiayaan bermasalah yang penyelesaiannya bersifat kompleks maka
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1
(satu) kali dan paling lama 1 (satu) tahun.

Untuk itu bagi bank yang dalam pengawasan intensif, ada beberapa hal yang
harus dilakukan oleh pengelola bank. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6: Bank
dalam pengawasan intensif wajib melakukan tindakan pengawasan yang
diperintahkan Bank Indonesia (mandatory supervisory actions) yaitu:

a. mengganti Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank;

13
b. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan yang tergolong macet dan
memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank;

c. melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank lain;

d. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak


lain;

e. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank kepada bank
atau pihak lain; dan/atau

f. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh


kewajiban Bank.

Selain itu bank pun harus melakukan serangkaian tindakan. Lebih lanjut
dalam Pasal 9 dikemukakan: Bank dalam pengawasan wajib:

a) menyampaikan rencana tindak (action plan) sesuai permasalahan yang


dihadapi dan realisasi rencana tindak;

b) menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap;

c) mengkinikan rencana bisnis (business plan); dan

d) melakukan tindakan lainnya dan/atau melaporkan hal-hal tertentu yang


ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Sedangkan bank yang dinilai dapat membahayakan kelangsungan usahanya


Bank Indonesia dapat menetapkan dalam pengawasan khusus. Hal ini dijabarkan
dalam Pasal 15:

(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus apabila dinilai
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.

(2) Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan


usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau
lebih kriteria sebagai berikut:

a. Rasio KPMM13 kurang dari 8% (delapan persen);

b. rasio GWM14 dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk
GWM Bank dan berdasarkan penilaian Bank Indonesia:

1) Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau

13
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
14
Giro Wajib Minimum (GWM).

14
2) Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu
singkat; atau

c. jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 terlampaui.

Yang menarik dalam hal pengawasan bank ini adalah, jika bank yang berada
dalam pengawasan tersebut menurut penilaian Bank Indonesia berdampak
sistemik Bank Indonesia akan melaporkan hal tersebut ke lembaga yang
berwenang untuk mengambil tindakan. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 29 PBI:
13/3/2011 sebagai berikut:

(1) Dalam hal Bank Indonesia menengarai Bank dalam pengawasan khusus
berdampak sistemik, Bank Indonesia meminta kepada lembaga yang
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk
memutuskan Bank yang bersangkutan berdampak sistemik atau tidak
berdampak sistemik.

(2) Selain meminta kepada lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia juga memberitahukan kepada LPS mengenai Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 27: Bank dalam pengawasan khusus


yang memenuhi kriteria:

a. rasio KPMM kurang dari 2% (dua persen);

b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari 0% (nol persen); atau

c. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 terIampaui, ditetapkan


oleh Bank Indonesia sebagai Bank yang tidak dapat disehatkan.

Untuk itu jika bank tidak dapat diselamatkan, BI minta kepada LPS
menentukan langkah yang harus diambil. (Pasal 30 dan 31 PBI).

15
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penyusunan yang telah dilakukan serta pembahasan


sebagaimana terurai pada bab sebelumnya, dalam penulisan makalah ini dapat
menyimpulkan:
(1) Pasal 8 UU BI: Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
c. mengatur dan mengawasi Bank.

(2) Prinsip dan metode pengawasan bank dilakukan meliputi 6 (enam) jalur yaitu:
1. Pengaturan (regulasi) yang meliputi;
2. Pengawasan tidak langsung (off site supervision).
3. Pengawasan Iangsung/pemeriksaan (on site supervision).
4. Kontak dan komunikasi teratur dengan bank.
5. Tindak remedial dan/atau penerapan sanksi.
6. Kerja sama dengan otoritas pengawasan bank negara lain.

(3) Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan bank dilakukan dalam tiga
tahapan sesuai dengan kondisi bank yakni:15
1. Pengawasan Normal (Rutin);
Adalah pengawasan dilakukan terhadap Bank yang memenuhi kriteria
tidak memiliki potensi atau tidak membahayakan kelangsungan
usahanya.
2. Pengawasan Intensif (Intensive Supervision);
Adalah pengawasan dilakukan bagi Bank yang memiliki potensi
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya.
3. Pengawasan Khusus (Special Surveillance).
Adalah pengawasan terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usahanya.

16
3.2. Saran

Adapun saran-saran yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil pembahasan


dalam makalah ini adalah, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus lebih giat
dalam melaksanakan tugas nya khusunya dalam hal pengaturan dan pengawasan
Bank di Indonesia. Hal itu perlu ditingkatkan kembali karena agar nilai rupiah
dapat terpelihara kestabilannya, kestabilan rupiah sangat penting untuk
mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan serta meningkatkan
kesejahteraan rakyat Republik Indonesia.

17
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:
Edward W Reed and Edward K Gill: Commercial Banks. Fourth Edition.
Printice Hall, 1989.
M. Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti,
1993.
O.P. Simorangkir. Dasar-dasar dan Mekanisme Perbankan. Jakarta: Liha
Yagrat, 1983.
Permadi Gandapradja. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Priasmoro Prawiroardjo. Indepedensi BI, Pengertian dan Konsekuensinya;


Kompas, 1999.

Sentosa Sembiring. Hukum Perbankan Edisi Revisi. Bandung: Mandar Maju,


2012.

Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Cetakan Ketiga.


Jakarta: Grafiti, 2003.

B. MAKALAH/ JURNAL/ WEBSITE:


Bank Indonesia. “Bank Dalam Pengawasan Khusus (special surveillance)".
Artikel tersedia di : http/www.bi.go.id/. Akses 24 November 2018.

C. PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA:


Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998.
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia.

18
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia.
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang
Penetepan Peraturan Pemerintah Penggganti Undang- Undang Nomor
2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2008.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

19

Anda mungkin juga menyukai