Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan suatu hal yang fundamental bagi manusia. Kesehatan

merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi manusia dalam menjalankan

aktivitas sehari- hari. Kesehatan masyarakat suatu negara merupakan hal pokok

dalam rangka pertumbuhan dan keberlangsungan hidup bangsa. Masyarakat yang

terjaga kesehatannya akan menjadi sumber daya manusia yang optimal dalam

pembangunan.

Manusia tidak dapat memastikan bahwa tubuhnya akan selalu sehat serta

dapat digunakan untuk beraktivitas. Maka kemudian asuransi ada sebagai jaminan

untuk penanggulangan resiko terkena penyakit di kemudian hari. Asuransi sebagai

suatu upaya untuk menanggulangi resiko tersebut di kemudian hari terkait masalah

biaya kesehatan yang bisa saja besar dan tidak mampu dibayarkan jika penyakit tiba-

tiba muncul di kemudian hari. Hal inilah yang membuat asuransi menjadi suatu

keharusan yang harus dimiliki setiap orang untuk menjamin biaya pengobatan jika

sakit. Mungkin untuk penyakit- penyakit ringan seperti demam, batuk, pilek, ataupun

sakit kepala biaya nya tidak terlalu besar. Akan tetapi jika penyakit yang menyerang

merupakan penyakit yang berat tentu saja memerlukan biaya yang besar pula.
Pada tahun 2017 hanya sekitar 10% rakyat Indonesia yang memiliki asuransi

kesehatan, berarti hanya sekitar 26 juta jiwa dari total penduduk Indonesia yang

berjumlah kurang lebih 261 juta jiwa. Sebenarnya banyak masyarakat mengerti

mengenai pentingnya asuransi kesehatan. Namun, besarnya premi yang harus

dibayar untuk asuransi menjadi suatu hambatan bagi sebagian besar masyarakat

tersebut. Hal ini menjadi salah satu problema di Indonesia yang memiliki Masyarakat

miskin sekitar 25,9 juta jiwa pada tahun 2018 menurut data Badan Pusat Statistik.

Negara sendiri memiliki kewajiban untuk menjamin kesehatan warganya tanpa

memandang status ekonomi maupun sosial. Dalam hal ini Undang-undang Nomor 36

tahun 2009 menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab

menjamin kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Tanggung jawab ini meliputi seluruh

komponen penyediaan layanan kesehatan yang murah, mudah dan yang terpenting

dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Sebagai upaya untuk menjamin keterjaminan akan kesehatan warga negara

Indonesia, maka dibentuklah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terdiri atas lima

jaminan : (i) kesehatan; (ii) kecelakaan kerja; (iii) pensiun; (iv) hari tua dan kematia .

Kemudian terkhusus untuk menjamin kesehatan masyarakat Indonesia, Jaminan

Kesehatan Nasional hadir sebagai suatu program yang dilaksanakan berdasar prinsip

asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Dalam hal ini Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu

Indonesia Sehat diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Kesehatan sesuai dengan amanat UU. No. 24 Tahun 2011. Jaminan Kesehatan

Nasional-Kartu Indonesia Sehat dalam kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional


menjadi program yang memberikan kepastian jaminan kesehatan menyeluruh bagi

masyarakat Indonesia. Diharapkan program ini akan meng-cover seluruh masyarakat

Indonesia pada tahun 2019. Pendekatan ini disebut universal Health Coverage,

dimana setiap warga negara Indonesia memiliki jaminan kesehatan kemudian tidak

akan terdapat lagi kasus warga yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan karena

tidak memiliki uang. Commented [F1]: Peraturan yang menjelaskan bahawa


seluruh masyarakat wajib menjadi peserta JKN
-empiris
JKN-KIS dengan pendekatan universal health coverage berbeda dengan -fenomena
-peraturan
Jamkesmas yang menggunakan pendekatan Targetting Coverage yaitu cakupan

terhadap warga miskin. Hal inilah yang paling membedakan JKN-KIS dalam kerangka

SJSN dengan jaminan- jaminan social sebelumnya dimana pemerintah

mengusahakan setiap Warga Negara Indonesia terdaftar sebagai peserta JKN-KIS.

Dalam usaha untuk menjangkau seluruh masyarakat Indonesia agar terdaftar dalam

kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional, dijelaskan dalam PerPres Nomor 111

Tahun 2013 penjangkauan peserta Jaminan Kesehatan Nasional akan dilakukan

secara bertahap hingga 2019.

JKN-KIS ini merupakan salah satu bentuk kebijakan publik dalam bidang

kesehatan. dalam siklus kebijakan publik, implementasi merupakan hal yang

krusial,sebab Implementasi merupakan salah satu tahapan dari siklus kebijakan

publik yang turut andil dalam keberhasilan suatu kebijakan. Implementasi menurut

Van Meter dan Van Horn (Agustino, 2006:139) didefinisikan sebagai :


“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-

pejabat kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”

Implementasi dengan persepsi Van Meter dan Van Horn dapat diartikan

sebagai bentuk realisasi dari keputusan kebijakan yang dilakukan dalam tindakan-

tindakan. Dimana dengan pemikiran ini, implementasi dari suatu kebijakan merupakan

salah satu tahapan yang begitu penting untuk di perhatikan. Implementasi menjadi

begitu penting dalam siklus kebijakan publik dikarenakan tanpa implementasi yang

efektif, dapat dipastikan suatu kebijakan tidak dapat mencapai tujuan yang ingin

dicapai dari adanya kebijakan tersebut

Dalam proses pengimpmentasiannya, JKN-KIS hingga 1 Juli 2018 baru

mencapai 199 juta jiwa atau sekitar 80 persen dari keseluruhan populasi penduduk

Indonesia (Data BPJS-Kesehatan). Hal ini mengungkapkan bahwa masih ada sekitar

62 juta jiwa penduduk Indonesia yang belum terdaftar sebagai peserta JKN-KIS dari

total sekitar 261 jiwa penduduk Indonesia. Pemerintah hanya memiliki waktu sekitar

lima bulan lagi untuk menyelesaikan target universal health coverage yakni semua

penduduk Indonesia terdaftar sebagai peserta JKN-KIS pada 1 Januari 2019.

Bukanlah suatu hal yang dapat dianggap remeh untuk dilaksanakan dalam

upaya mendaftarkan 62 juta jiwa penduduk Indonesia sebagai peserta JKN-KIS.

Dalam kepesertaan JKN-KIS, sedikitnya ada 10 kelompok yang terdaftar di BPJS

Kesehatan, seperti penerima bantuan iuran (PBI) yang menjadi tanggung jawab

APBN dan APBD. Lalu, Pekerja Penerima Upah (PPU) PNS, Polri, BUMN, BUMD,
dan TNI. Kemudian ada PPU Swasta, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pekerja

Mandiri dan Bukan Pekerja. Banyak nya kelompok tersebut menjadi suatu kerumitan

tersendiri dalam mencapai universal health coverage

Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana dengan hak-

hak dasar akan pemenuhan jaminan kesehatan terhadap warga fakir, miskin, ataupun

tidak mampu? Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 Tentang

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan,disebutkan bahwa pemerintah

membayarkan iuran bagi warga fakir, miskin, dan tidak mampu. Dengan harapan

bahwa warga fakir, miskin, dan tidak mampu tidak akan terbebani dengan iuran

bulanan Jaminan Kesehatan yang dibuat oleh pemerintah

Dalam pelaksanaannya JKN-KIS bagi Peserta Penerima Bantuan Iuran

mengalami berbagai masalah. Keluhan-keluhan masyarakat ini dapat kita lihat dari

website layanan aspirasi masyarakat yang disediakan oleh Pemerintah, yakni

lapor.go.id. Salah satu dari keluhan masyarakat misalnya fasilitas kamar rawat inap

Rumah Sakit penuh, khususnya kamar kelas III yang menjadi hak Peserta PBI.

Terbuka nya akses pelayanan kesehatan secara gratis tentu saja menyebabkan

peningkatan pasien di Rumah Sakit. Kamar untuk perawatan rawat inap di Rumah

Sakit yang penuh memaksa Rumah Sakit untuk menolak pasien. Contoh nya saja

kasus seorang bayi berusia dua hari di Ciamis, Jawa Barat meninggal dunia setelah

rumah sakit menolak menangani meskipun kondisinya sudah kritis. Rumah sakit

beralasan ruangan sudah penuh sehingga tidak dapat melayani bayi bernama

Muhamad Askar Hidayat


Kamar rawat inap yang penuh sehingga menyebabkan banyaknya antrian

hanyalah salah satu dari sekian banyak keluhan masyarakat dalam penyelenggaran

JKN-KIS. Belum lagi keluhan-keluhan lain yang dirasakan oleh masyarakat dalam

penyelenggaraan JKN-KIS, seperti penetapan kuota peserta JKN yang dilayani rumah

sakit, pembatasan waktu layanan bagi pasien JKN, peserta kesulitan mencari ruang

perawatan intensif, peserta harus membeli obat, hingga menanti berbulan-bulan untuk

mendapat tindakan medis.Selain itu, keterbatasan sarana, prasarana, alat kesehatan,

kompetensi, dan ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas.

Kota Makassar merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang

memiliki jumlah penduduk perkotaan terbesar di wilayah Indonesia bagian timur.

Dengan total jumlah penduduk 1,469,601 jiwa, kota Makassar juga tak lepas dari

program JKN-KIS. Pelaksanaan JKN-KIS di Kota Makassar sebagai keseriusan yang

dilakukan oleh Pemerintah pusat untuk menjamin kebutuhan kesehatan masyarakat

di seluruh wilayah NKRI. Hal ini dilakukan untuk mencapai universal health coverage

sesuai dengan yang ditetapkan dalam Perpres No. 19 Tahun 2016.

Dalam proses pengimplementasiannya, program JKN-KIS di Kota Makassar

ditemukan berbagai masalah. Masalah yang utama yakni terhitung per 1 April 2018

masih ada 342.867 orang atau 20,61% yang belum terdaftar kepesertaan JKN-KIS di

Kota Makassar. Ini artinya baru 79,39% dari total penduduk Makassar yang menjadi

peserta JKN-KIS, sedangkan pada tahun 2019 seperti yang telah dipaparkan, Kota

Makassar juga harus telah mendapatkan predikat Universal Health Coverage.


Masalah yang lain yaitu terdapat kasus Penolakan pasien miskin, Muhammad

Ardiansyah (5 tahun), yang dilakukan RSUD Labuang Baji Makassar, (25/8/2017).

Pasien tersebut ditolak oleh Rumah Sakit karena hanya memiliki surat rekomendasi

KIS. Dengan alasan kendala administrasi pasien ini ditolak oleh Rumah Sakit, hal ini

menjadi dilema tersendiri dimana pemberi layanan kesehatan wajib untuk mematuhi

prosedur dari program ini,di lain sisi terdapat hal-hal yang sifat nya mendesak

sehingga perlu tindakan yang tanggap.

(https://www.mediasulsel.com/tolak-pasien-miskin-lmpi-sulsel-minta-direktur-rsud-

labuang-baji-dicopot diakses pada 11 Desember 2018 pukul 2.27)

Masih berbicara mengenai prosedur administrasi, dalam implementasi JKN-KIS di

Kota Makassar juga terdapat masalah lain yakni penolakan pasien disebabkan

kesalahan data pada KIS nya. Hal ini dapat kita jumpai pada kasus Novia Nurfadilla

yang ditolak RS Grestelina karena kesalahan data tanggal lahir pada KIS nya. Validasi

data yang tidak tepat juga menjadi masalah lain yang dihadapi BPJS Kesehatan

Cabang Makassar dalam proses Implementasi JKN-KIS.

(http://lintasterkini.com/22/08/2017/terjadi-kesalahan-data-kartu-jkn-kis-novia-ditolak-

di-rumah-sakit.ldiakses pada 12 Desember 2018 pukul 2.38)

Permasalahan selanjutnya yang terjadi dalam proses implementasi

program JKN-KIS ialah 256 badan usaha di kota makassar melakukan tunggakan

pembayaran iuran senilai RP. 2 Miliar. Padahal iuran peserta merupakan sumber

pendanaan untuk membayar pembayaran ke fasilitas-fasilitas kesehatan. Tunggakan-

tunggakan ini menyebabkan tagihan klaim yang harus dibayarkan kepada fasilitas-
fasilitas kesehatan harus diundur. Tunggakan pembayaran iuran mengindikasikan

kurangnya kesadaran dari masyarakat Kota Makassar mengenai pentingnya jaminan

kesehatan.

Banyak Masyarakat Kota Makassar tidak mengetahui mengenai asas

gotong royong atau subsidi silang dalam pembiayaan kesehatan. Bahwa peserta yang

sementara tidak mengalami sakit membiayai peserta lain yang sedang sakit dengan

iuran yang dibayarkannya, begitu pula sebaliknya. banyaknyat tunggakan ini

menghambat pembayaran klaim dari fasilitas-fasilitas kesehatan, sehingga seringkali

operasional dari pelayanan kesehatan fasilitas-fasilitas kesehatan yang bekerjasama

dengan BPJS ini terganggu yang ujung-ujungnya kembali kepada masyarakat sendiri.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Muhammad Irvan Nur Iva (2015)

dengan judul “Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Melalui Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Di Kota Makassar”.Penelitian

menggunakan pendekatan kualitatif dan dilakukan secara deskriptif, dengan indikator

kondisi eksternal, sumber daya,komunikasi dan koordinasi, serta standar dan

operasional. Hasil penelitian ini menemukan beberapa masalah yakni, masyarakat

tidak memahami mengenai program JKN-KIS, banyaknya tunggakan dari peserta

JKN-KIS, ditemukannya kecurangan-kecurangan dalam klaim pelayanan kesehatan

yang dilakukan oleh faskes, dan juga masih banyak faskes yang tidak bekerjasama

dengan BPJS Kesehatan Cabang Makassar. Commented [fn2]: Tambah hasil penelitian mengenai
contoh permasalahan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada dapat diketahui bahwa proses

implementasi JKN-KIS belum berjalan dengan semestinya, kemudia perlu lebih lanjut
diketahui mengenai hal yang mempengaruhi proses implementasi nya. Berdasarkan

uraian yang telah dipaparkan diatas , maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

secara mendalam terkait judul Implementasi Program Jaminan Kesehatan

Nasional- Kartu Indonesia Sehat di Kota Makassar.

I.2. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah yang

akan dibahas dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. Bagaimana Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu

Indonesia Sehat di Kota Makassar?

2. Apa kendala-kendala dari penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan

Nasional- Kartu Indonesia Sehat di Kota makassar?

I.2. Tujuan penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah dijelaskan diatas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan Implementasi Program Jaminan Kesehatan

Nasional- Kartu Indonesia Sehat di Kota makassar.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala dari penyelenggaraan Program

Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat di Kota makassar.

I.3 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Akademik
Secara umum hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi

akademisi atau pihak yang berkompeten, serta dapat dijadikan referensi dalam

mengkaji masalah implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu

Indonesia Sehat. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

kajian dalam administrasi publik.

2. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan bagi instansi

terkait berupa saran atau masukan yang dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam melakukan pembenahan kualitas pelayanan publik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Konsep Kebijakan Publik

II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publikc pada umumnya dimaknai sebgai upaya pemerintah yang

dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, dalam wujud

peraturan maupun keputusan. Dalam praktiknya kebijakan tidak terlepas dari peran

dan fungsi apparat pemerintah yang disebut birokrasi.

Kebijakan publicpublik harus dapat mengakomodasi segala kepentingan.

Dimana hal ini dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak. Negara

berkewajiban untuk menyelesaikan masalah-masalah publicpublik yang dituangkan

dalam kebijakan publicpublik, sebagai upaya untuk mencapai amanat konstitusi.

Menurut Thomas R. Dye (1992) dalam Sahya Anggara (2014:35)

“PublicPublic policy is whatever Government choose to do or not to do”.

Dalam pengertian ini, maka pusat perhatian dari kebijakan publik tidak hanya

berkutat pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan apa saja yang

tidak dilakukan oleh pemerintah. Konsep non-decision memilki dampak yang cukup Formatted: Font: Not Italic

besar bagi masyarakat. Meskipun konsep non-decision ini cukup sulit untuk dipahami,

akan tetapi segala hal yang bersifat non-decision ini bukanlah menyangkut mengenai

hal yang remeh-temeh, melainkan keputusan untuk tidak melakukan sesuatu ini
haruslah bermanfaat bagi masyarakat dan juga harus bersifat holistik. “Kebijakan Formatted: Font: Italic

publik tidak bersifat spesifik dan sempit, melainkan berada pada strata strategis”, Said Formatted: Font: Italic

Zainal Abidin (2004:23).

Keputusan untuk melakukan tindakan ataupun tidak melakukan tindakan yang

dikemukakan oleh Dye ini mengisyaratkan bahwa adanya pilihan-pilihan dalam

kebijakan publik. Sejalan dengan hal ini, Charles Lindblom (1939) dalam Sahya

Anggara (2014:39) mengemukakan bahwa “Kebijakan berkaitan erat dengan Formatted: Font: Italic, Font color: Text 1
Formatted: Font: Italic, Font color: Text 1
pengambilan keputusan karena sama-sama memilih dari pilihan-pilihan yang

tersedia”. Pilihan dari kebijakan ini mungkin dibatasi oleh, kurangnya sumber daya

ataupun adanya kontra terhadap pilihan tertentu.

Jenkins yang dikutip dari Suratman (2017) secara eksplisit mengakui bahwa

kebijakan publik adalah seperangkat keputusan yang saling terkait. Sangat jarang

pemerintah mengatasi masalah dengan keputusan tunggal, kebanyakan dari

kebijakan melibatkan serangkaian keputusan. Jenkins juga mengungkapkan bahwa

keputusan yang bersifat multiple ini dibuat pula oleh pengambil keputusan yang

bersifat multiple. Dimana dalam memahami suatu kebijakan yang dilaksanakan oleh

pemerintah perlu memperhitungkan semua keputusan dari semua pelaku

pemerintahan yang terlibat.

David Easton (Sahya Anggara, 2014 : 35) mendefinisikan :

“Kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota Formatted: Font: Italic
Formatted: Font: Italic
masyarakat”.
Kebijakan sebagai pengalokasian nilai-nilai secara sah, berarti kebijakan

publik ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik, seperti menjadi undang-udang,

peraturan pemerintah atau peraturan presiden termasuk peraturan daerah, maka

kebijakan publik harus ditaati dan mengikat seluruh warganya.

Dari beberapa pandangan mengenai definisi kebijakan publik diatas dapat

disimpulkan bahwa :

1. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang dalam bentuk tindakan

– tindakan pemerintah

2. Kebijakan publik harus mementingkan kepada kepentingan publik

3. Kebijakan publik merupakan tindakan pemilihan atas opsi yang ada

untuk dilaksanakan atau tidak di laksanakan oleh pemerintah demi

kepentingan public

4. Kebijakan publik untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan harus

bersifat holistic

5. Kebijakan publik bersifat mengikat dan harus ditaati

II.1.2. Ciri-ciri Kebijakan Publik

Ciri adalah keterangan yang menunjukkan sifat khusus dari sesuatu. Orang

mengenal sesuatu berdasarkan keterangan tersebut. Demikian juga dengan

kebijakan .Tanpa mengetahui ciri-ciri kebijakan, sulit dibedakan antara kebijakan

dengan keputusan biasa dalam birokrasi.

Anderson dalam Zainal Abidin (2004:41) mengemukakan beberapa ciri dari kebijakan

publik, sebagai berikut :


1. Setiap kebijakan mesti ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijakan

tidak boleh sekedar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan

membuatnya.

2. Suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi

berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi

pada pelaksanaan, interprestasi dan penegakan hukum.

3. Kebijakan adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang ingin

atau diniatkan akan dilakukan pemerintah.

4. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa

pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.

5. Kebijakan di dasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk

memaksa masyarakat untuk mematuhinya.

II.1.3 Elemen- elemen dalam Sistem Kebijakan Publik

Menurut Dunn dalam Sahya Anggara (2014:46) merumuskan tiga elemen penting

dalam system kebijakan publik, yakni :

a. Lingkungan kebijakan, dimana keadaan yang melatarbelakangi atau peristiwa

yang menyebabkan timbulnya sesuatu “isu kebijakan”, yang memengaruhi dan

dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan dan kebijakan tersebut.

b. Kebijakan publik, merupakan keputusan atas atau serangkaian pilihan yang

berhubungan satu sama lain yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-

kantor pemerintah dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu.


c. Pelaku kebijakan, yaitu individu atau kelompok yang mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pemerintah.

II.1.3 Proses kebijakan

1. Identifikasi masalah. Identifikasi masalah kebijakan melalui keinginan-

keinginan dan tuntutan dari individu atau kelompok untuk kegiatan pemerintah

2. Agenda setting, fokus perhatian darimedia massa dan pejabak public dalam

masalah public secara khusus untuk memutuskan hal-hal yang akan

diputuskan.

3. Perumusan usul kebijakan, merupakan penentuan agenda permasalahn dan

pengusulan program untuk penyelesaian masalah.

4. Pengesahan kebijakan, yaitu suatu tahap memilih suatu usulan, pembentukan

dukungan politik untuk usulan tersebut dan mengesahkan kebijakan sebagai

suatu produk hukum.

5. Pelaksanaan kebijakan, implementasi kebijakan melalui pengorganisasian

Birokrasi, menyiapkan pembiayaan atau memberikan pelayanan, menarik

pajak, dan sebagainya.

6. Evaluasi kebijakan, penganalisisan tentang program, evaluasi hasil dan

pengaruhnya, dan menyarankan perubahan dan penyesuaian

II.2 Konsep Implementasi

II.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik


Implementasi berasal dari Bahasa inggris, yakni to implement. Dalam kamus

besar webster, dikatakan bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to

carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical

effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Dapat disimpulkan

menurut pengertian diatas bahwa dalam mengimplementasikan sesuatu diperlukan

penyediaan sarana yang dapat menimbulkan dampak terhadap sesuatu tersebut.

Implementasi merupakan bagian dari proses atau siklus kebijakan (part of the

stage of the policy process). Implementasi merupakan suatu tahapan dari serangkaian

proses atau suatu siklus kebijakan. Implementasi merupakan salah satu tahapan yang

penting dalam siklus kebijakan publicpublik. Implementasi menjadi tahapan yang

penting karena suatu kebijakan tidak dapat berarti apa-apa jika tidak dilaksanakan

dengan baik dan benar. Hal ini mengungkapkan bahwa implementasi merupakan

tahap dimana suatu kebijakan perlu dilaksanakan secara maksimal sehingga tujuan

dari kebijakan dapat tercapai.

Menurut Edwards III (1980) dalam Sahya anggara (2014:249), Implementasi

diartikan sebagai tahapan dalam proses kebijaksanaan, yang berada di antara

tahapan penyusunan kebijaksanaan dan hasil atau konsekuensi yang ditimbulkan

oleh kebijaksanaan (output, outcome), Aktivitas Implementasi menurutnya terdiri atas

perencanaan, pendanaan, pengorganisasian, pengangkatan, dan pemecatan

karyawan, negosiasi, dan lain- lain. Dari Ppendapat Edwards ini dapat Commented [F3]: Tidak relevan dengan gagasan tahap
implementasi
disimpulkanmenyiratkan bahwa Implementasi kebijakan merupakan proses

administrasi yang terpisah dari perencanaan enentuan kebijakan yang bersifat


teoritispolitis . Pendapat Edwards ini menjelaskan posisi implementasi dalam tahap-

tahap kebijakan.

Implementasi kebijakan merupakan “jembatan” karena melalui tahapan ini

dilakukan delivery mechanism, yaitu ketika berbagai policy output yang dikonversi dari

policy input disampaikan kepada kelompok sasaran sebagai upaya nyata untuk

mencapai tujuan kebijakan.

Selain itu, menurut Van Meter dan Van Horn (Suratman, 2017 : 26),

Implementasi kebijakan publicpublik sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

organisasi publicpublik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan dalam keputusan- keputusan sebelumnya.

Tindakan-tindakan ini tidak dapat dilaksanakan jika belum ada tujuan dan

sasaran dari kebijakan yang ditetapkan. Dengan demikian searah dengan pendapat

Van Meter dan Van Horn, Ripley dan Frankin (Winarno, 2007 :145) mengungkapkan

bahwa implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan,

dimana undang-undang tersebut berisi tentang kebijakan, keuntungan, otoritas, dan

output kebijakan.

Mazmanian dan Sabatier (Suratman, 2017 : 29) menjelaskan bahwa

implementasi selain merupakan pelaksanaan kebijakan yang berdasar pada undang-

undang, Implementasi juga dapat berbentuk perintah, keputusan eksekutif, dan

keputusan badan peradilan. Maka keputusan- keputusan ini haruslah dapat

mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi, dapat menyebutkan secara tegas


tujuan/sasaran yang akan ingin dicapai, juga mengatur cara- cara dalam mengatur

proses implementasi. Commented [F4]: Seharusnya sudah masuk bagaimana


pelaksanaan implementasi. Menjelaskan mengenai
bagaimana pemerintah mengatur mengenai proses
Secara lebih kompleks implementasi menurut Anderson (1990) dalam implementasi

Purwanto dan Sulistyastuti (2015:21) mengemukakan bahwa :

“ Administration of the law in which various actors, organizations, procedures,

and techniques work together to put adopted policies into effect in an effort to attain

policy or program goals”.

Kunci penting implementasi menurut pendapat Anderson diatas adalah

implementasi berlangsung dalam proses yang dinamis dan melibatkan berbagai

stakeholder dimana para stakeholders ini haruslah bersinergi untuk mencapai tujuan

kebijakan. Tujuan kebijakan ini diharapkan tercapai dimana policy output dapat

diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam

jangka panjang hasil kebijakan akan mampu diwujudkan.

II.2.2 Unsur- unsur implementasi kebijakan publicpublik

Unsur- unsur Implementasi kebijakan publik menurut Tachjan (Suratman,

2017: 33) yaitu:

1) Unsur pelaksana, yaitu pelaksana kebijakan yang menjalankan kebijakan.

Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah

birokrasi. Unit- unit birokrasi menempati posisi dominan.

2) Adanya program yang dilaksanakan, yaitu sebagai tindakan riil dalam

melaksanakan kebijakan. Program merupakan rencana yang bersifat


komprehensif yang menggambarkan sasaran, prosedur, metode, standar,

dan budjet

3) Target group, yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat

yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya

oleh kebijakan. Berbagai macam karakteristik dari kelompok sasaran dapat

mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.

II.2.3. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau

faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.

Dibawah ini akan diuraikan secara ringkas ide-ide dasar yang disampaikan oleh

beberapa tokoh dalam menjelaskan terapan implementasi kebijakan yang mereka

teoremakan.

1. Model Implementasi Donald S. Van Meter dan Carl E. Varn Horn (1975)

Donald Van Meter dan Van Horn mendefenisikan implementasi

kebijakan, merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-

pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta, yang diarahkan

untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Pandangan keduanya mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan

secara linier dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan.

Meter dan Horn mengemukakan suatu model dasar yang mencakup

enam variabel yang membentuk keterkaitan antara kebijakan dengan kinerja.

Dalam model ini, variabel terikat adalah kinerja, yang didefinisikan sebagai
tingkat sejauh mana standar-standar dan tujuan-tujuan kebijakan

direalisasikan.

Menurut Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975) dalam

Subarsono (2005), ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja

implementasi, yakni :

1) Standar dan sasaran kebijakan.

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi

multiinterprestasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen

implementasi.

2) Sumber daya

Suatu kebijakan perlu didukung oleh sumber daya, baik itu sumber daya

manusia maupun sumber daya non manusia.

3) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas

Dalam berbagai kasus, implementasi sebuah program terkadang perlu

didukung dan dikoodinasikan dengan instansi lain agar tercapainya

keberhasilan yang diinginkan. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama

antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4) Karakteristik agen pelaksana

Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup birokrasi,

norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang

semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.

5) Kondisi sosial, ekonomi dan politik


Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan: Sejauhmana kelompok-

kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan.

Termasuk didalamnya karakteristik para partisipan yakni mendukung atau

menolak, kemudian juga bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan

dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

6) Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal penting, yaitu :

a. Respons implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.

b. Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan

c. Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki

oleh implementor.

2. Model Implementasi George C. Edward III

Model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh George C.

Edward III menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan

Direct and Indirect Impact on Implementation (Agustino,2008:149). Dalam

pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III, terdapat empat variabel yang

sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu

komunikasi, sumber daya, diposisi dan struktur birokrasi.

1. Komunikasi

Menurut George C. Edward III dalam Agustino (2008:150), komunikasi

merupakan variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi


suatu kebijakan. Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian

tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan

terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang

akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan

dapat berjalan baik bila komunikasi berjalan baik. Terdapat tiga indikator yang

dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan komunikasi.

Edward III dalam Agustino (2008:150-151) mengemukakan tiga variabel

tersebut yaitu:

a. Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat

menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi

masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian

(miskomuinikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi

yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang

diharapkan terdistorsi di tengah jalan.

b. Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan

(street-level-bureuacrats) harus jelas dan tidak membingungkan (tidak

ambigu/mendua).

c. Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam plaksanaan suatu

komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau

dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka

dapat menimbulkan kebingunan bagi pelaksana dilapangan.

2. Sumber Daya
Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumber

daya (resources). Edwards III (1980) mengkategorikan sumber daya

organisasi terdiri dari : “staf, information, authority, facilities, building,

equipment, land and supplies.” Menurut Edward III dalam Agustino (2008:151-

152), sumber daya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang

baik.

Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan

Edward III tentang “zona ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan

melalui kekuasaannya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat

implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan

penghambat lainnya.

3. Disposisi

Disposisi atau sikap dari pelaksanan adalah faktor penting ketiga dalam

pendekatan mengenai pelaksanaan kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu

kebijakan ingin efektif maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus

mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan

untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak teradi bias.

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu institusi yang paling sering bahkan secara

keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya

dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi

swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus

tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan


tertentu. Menurut Edward III dalam Agustino (2008:153) yang mempengaruhi

tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi.

Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau

para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan

mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan

kebijakan tersebut tidak terlaksana karena terdapatnya kelemahan dalam

struktur birokrasi.

Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya

kerjasama banyak pihak. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif terhadap

implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan

ketidakefektifan dan menghambat jalannya pelaksana kebijakan.

3. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatlier (1983)

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni :

I. Karakteristik dari masalah :

i. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan

dimana di satu pihak terdapat beberapa masalah social yang

secara teknis mudah dipecahkan, seperti kekurangan

persediaan air bersih bagi penduduk.

ii. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Hal ini berarti

bahwa suatu program akan relative mudah diimplementasikan


apabila kelompok sasarannya adalah homogen, karena tingkat

pemahaman kelompok sasaran relative sama.

iii. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, dimana

sebuah program akan relative sulit diimplementasikan apabila

sasarannya mencakup semua populasi dan sebaliknya sebuah

program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah

kelompok sasarannya tidak terlalu besar.

iv. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan dimana sebuah

program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau

bersifat kognitif akan relative mudah diimplementasikan

dibanding program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan

perilaku masyarakat.

II. Karakteristik Kebijakan :

1) Kejelasan isi kebijakan, yaitu, karena semakin jelas dan rinci isi sebuah

kebijakan, maka akan lebih mudah di implementasikan, karena implementor

mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata.

2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis, di mana

kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat lebih mantap karena sudah

teruji, meskipun untuk beberapa lingkungan tertentu perlu ada modifikasi.

3) Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut, di mana

sumber daya keuangan adalah factor krusial untuk setiap program sosial,

setiap program juga memerlukan dukungan staf untuk melakukan pekerjaan-


pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program yang semuanya

memerlukan biaya.

4) Seberapa besar adanya ketertarikan dan dukungan antar berbagai institusi

pelaksana, di mana kegagalan kerja sering disebabkan oleh kurangnya

koordinasi vertical dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam

implementasi program.

5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

6) Tingkat komitmen aparat, terhadap tujuan kebijakan. Kasus korupsi yang

terjadi di Negara-negara dunia ke tiga, khususnya Indonesia salah satu

sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat untuk melaksanakan

tugas dan pekerjaan atau program-program.

7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpastisipasi dalam

implementasi kebijakan, di mana suatu program yang memberikan peluang

luas bagi masyarakat untuk terlibat akan relative mendapat dukungan di

banding program yang tidak melibatkan masyarakat.

III. Lingkungan Kebijakan :

A. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi dimana

masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relative mudah menerima

program pembaharuan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan

tradisional.

B. Dukungan publik sebuah kebijakan, dimana kebijakan yang memberikan

insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan public, sebaliknya kebijakan


yang bersifat dis-intensif, misalnya kenaikan harga BBM akan kurang

mendapatkan dukungan public.

C. Sikap dari kelompok pemilih (constituency goups), dimana kelompok pemilih

yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan

melalui berbagai cara, yaitu kelompok dapat melakuakn intervensi terhadap

keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar

dengan maksud untuk mengubah keputusan, dan kelempok pemilih dapat

memiliki kemampuan untuk mempengaruhi badanbadan pelaksana secara

tidak langsung melalui kritik yang dipubliksikan terhadap badan-badan

pelaksana.

D. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor .pada

akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah

tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial, sehingga aparat

pelaksana harus memiliki keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan

selanjutnya marealisasikan prioritas tujuan tersebut (Subarsono, 2005).

II.3 Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS)

II.3.1 Pengertian Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan menurut Kemenkes RI (2013) merupakan jaminan berupa

perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan

dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan


kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh

pemerintah.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah sebuah bentuk program jaminan

sosial yang dibuat pemerintah untuk masyarakat Indonesia. JKN bertujuan untuk

memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh yaitu asas Universal

Health Coverage bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Jaminan Kesehatan Nasional ini merupakan bagian dari Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN), sesuai dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004

tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, penyelenggaraan SJSN menggunakan

mekanisme asuransi kesehatan yang bersifat wajib dan harus dimilik seluruh

masyarakat Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang

Badan Peneyelenggara Jaminan Sosial, maka pada 1 Januari 2014 BPJS mulai

beroperasi. Dengan semangat satu Jaminan Kesehatan untuk seluruh penduduk

Indonesia pada tahun 2019.

II.3.2 Prinsip Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional

Program JKN dalam pelaksanaannya mengacu pada prinsip-prinsip dalam

Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Adapun Prinsip- prinsip JKN dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 :

1. Prinsip Kegotongroyongan
Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup

bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan

masyarakat Indonesia. Prinsip gotong royong dalam SJSN berarti peserta

yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta sehat

membantu yang sakit.

2. Prinsip Nirlaba

Pengelolaan dana amanat oleh Badan Peneyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) adalah nirlaba. Nirlaba berarti BPJS bukan lah Badan yang mencari

laba (profit oriented). Tujuan dari BPJS adalah untuk memenuhi kepentingan

peserta.

3. Prinsip Portabilitas

Prinsip portabilitas dalam hal ini bertujuan untuk memberikan jaminan yang

berkelanjutan kepada peserta meskipun peserta berpindah tempat tinggal

ataupun pekerjaan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Prinsip kepesertaan bersifat wajib

Kepesertaan wajib ini dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta

sehingga dapat terlindungi. Dalam hal ini Jaminan Kesehatan Nasional

diharapkan dapat mencakup seluruh rakyat (universal health coverage)

5. Prinsip Dana Amanah

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan

penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan

dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

6. Prinsip Hasil pengelolaan dana Jaminan Sosial


Dana yang diperoleh dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program

dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

7. Prinsip Ekuitas

Kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis

yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah dibayarkan. Prinsip ini

diwujudkan dengan pembayaran iuran sebesar persentase tertentu dari upah

bagi yang memiliki penghasilan (UU No. 40/2004 Pasal 17 ayat 1) dan

pemerintah membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu

(UU.No.40/2004 Pasal 17 ayat 4).

II.3.3 Peserta Jaminan Kesehatan Nasional

Peserta Jaminan Kesehatan Nasional meliputi:

a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin

dan orang tidak mampu.

b. Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang

tidak mampu yang terdiri atas:

a) Pegawai Negeri Sipil;

b) Anggota TNI;

c) Anggota Polri;

d) Pejabat Negara;

e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;


f) Pegawai Swasta; dan

g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan

huruf f yang menerima Upah.

II.3.4 Landasan Hukum Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat

1. UU. No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional

2. UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

3. PP No. 86 Tahun 2013

4. PerPres No. 12 Tahun 2013

5. PerPres No. 111 tahun 2013

6. PerPres No. 19 Tahun 2016

7. PerPres No. 28 Tahun 2016

II.3.5 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat

A. Bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif,

preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan obat, bahan medis habis pakai sesuai

dengan indikasi medis yang diperlukan meliputi :

1. Manfaat medis yang tidak terikat dengan besaran iuran


2. Manfaat non medis yang ditentukan berdasarkan skala besaran iuran yang

dibayarkan, termasuk didalamnya manfaat akomodasi

B. Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:

1. Penyuluhan kesehatan perorangan

2. Imunisasi rutin

3. Keluarga Berencana

4. skrining kesehatan

C. Manfaat pelayanan rujukan meliputi pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi

medis dasar di UGD; Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik,

Pelayanan Keluarga Berencana

D. Peserta yang menginginkan kelas lebih tinggi dari haknya dapat membayar

selisihnya : membayar sendiri selisihnya, dibayar pemberi kerja atau mengikuti

asuransi kesehatan tambahan ( kecuali Peserta PBI dan Peserta didaftarkan

Pemda)

II.4 Kerangka Pikir

Untuk mengetahui Implementasi dari Program yang diteliti, maka peneliti

menggunakan model implementasi menurut Van Meter dan Van Horn. Van Meter dan

Van Horn mengemukakan suatu model dasar implementasi yang mencakup enam

variabel yang membentuk keterikatan antara kebijakan dan kinerja implementasi..


Berdasarkan penjelasan diatas, maka dibuatlah kerangka pikir yang menjadi fokus

penelitian, sebagai berIkut :

Implementasi Kebijakan Publik Model


Donald S. Van Metter & Carl E. Van
Horn (1975):

1. Standar dan Tujuan Kebijakan


(Standards and Objectives)
2. Sumberdaya (Resources)
Program Universal Health
3. Karakteristik Agen
Jaminan Pelaksana(characteristics of the Coverage pada
Kesehatan implementing agencies) tahun 2019
Nasional- Kartu 4. Komunikasi Antar Organisasi
Indonesia (interorganizational communication)
Sehat (JKN- 5. Sikap Pelaksana(disposition of
KIS) implementors)
6. Kondisi-kondisi Ekonomi, Sosial, dan
Politik(economic, social, and political
conditions)

Kendala-kendala Implementasi Program Jaminan


Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS)
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ialah tempat ataupun wilayah penelitian akan dilakukan.

Kemudian lokasi yang dipilih oleh penulis dalam melakukan adalah Kota makassar.

Alasan pemilihan lokasi penilitian didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan bahwa

untuk mempermudah peneliti dalam menjangkau informasi serta pengumpulan data.

III.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dalam

hal ini digunakan untuk menggambarkan serta mengetahui kenyataan dari kejadian

yang akan diteliti secara mikro dengan menggunakan batasan. Penelitian kualitatif

dalam hal ini menganalisis Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu

Indonesia Sehat pada tingkat mikro yakni Kecamatan Tamalanrea, dengan melihat

fenomena sebagai suatu proses dan menegaskan konteks sosial dimana suatu

fenomena tersebut muncul.

III.3 Tipe dan jenis Penelitian


Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, untuk

mengungkapkan suatu masalah, peristiwa, dan keadaan sebagaimana adanya. Hal

ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara obyektif tentang keadaan yang

sebenarnya dari obyek yang diteliti. Jenis penelitian ini adalah studi kasus dengan

fokus terhadap implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia

Sehat. Dalam hal ini jenis penelitian studi kasus digunakan untuk melakukan

pengamatan secara mendalam terhadap implementasi program Jaminan Kesehatan

Nasional- Kartu Indonesia Sehat secara sistematis agar diperoleh kejelasan serta

pemahaman terhadap obyek penelitian.

III.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu data sekunder dan

data primer, adapun sumber data penelitian ini adalah, sebagai berikut :

a. Data Primer

Menurut Sugiyono (2012) sumber primer adalah sumber data yang langsung

memberikan data kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini data primer yang

diperoleh dari informan yang bersangkutan dengan cara wawancara dengan

informan dan pengamatan atau observasi secara langsung terhadap objek

penelitian yang berkaitan dengan implementasi program Jaminan Kesehatan

Nasional- Kartu Indonesia Sehat di Kota makassar.

b. Data Sekunder

Sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data

kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen
(Sugiyono, 2012). Data sekunder pada penelitian ini merupakan data yang dapat

dicari sumber-sumber bacaan baik berupa buku-buku, literature-literatur,

dokumen-dokumen, laporan-laporan, maupun arsip-arsip resmi yang dapat

mendukung kelengkapan data primer.

III.5 Narasumber atau Informan

Informan adalah orang yang berada pada lingkup penelitian, artinya orang yang

dapat memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Untuk

memperoleh data secara representative, maka diperlukan informan kunci yang

memahami dan mempunyai kaitan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Adapun

informan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pejabat dan tenaga kesehatan di Puskesmas Tamalanrea Jaya

Makassar.Dalam hal ini Puskemas Tamalanrea Jaya sebagai Fasilitas

Tingkat Kesehatan Pertama di Kecamatan Tamalanrea Jaya

2. Masyarakat (pasien)

3. Pejabat BPJS Kesehatan cabang Makassar sebagai pelaksana program

Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat di Kota Makassar.

III.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai

berikut:

1. Wawancara
Wawancara adalah kegiatan tanya jawab antara dua orang atau lebih

secara langsung. Wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara

langsung terhadap informan atau responden. Peneliti menggunakan

handphone dengan aplikasi voice recorder untuk merekam hasil

wawancara responden dan peneliti juga menggunakan alat tulis berupa

buku dan ballpoint untuk menulis hal-hal penting yang disampaikan oleh

responden. Responden diminta untuk memberikan informasi dalam bentuk

fakta yang terjadi, opini yang ingin disampaikan, sikap, dll.

Wawancara ini dilakukan secara formal (terstruktur). Dalam hal

wawancara formal, peneliti berpedoman pada daftar pertanyaan yang

telah disediakan.

2. Observasi

Observasi yakni metode yang menitikberatkan pada pengamatan langsung di

lokasi penelitian guna melihat dan mengetahui secara pasti mengenai

implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat di

Kota makassar.

Dalam penelitian observasi ini, peneliti menggunakan seluruh alat

indera untuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di lokasi. Alat-

alat yang digunakan dalam observasi yaitu buku dan ballpoint untuk

mencatat kejadian-kejadian penting dan peneliti juga menggunakan

mechanical devices seperti handphone untuk memotret kejadian-

kejadian yang terjadi (jika memungkinkan).


3. Studi dokumen

Studi dokumen, yaitu cara pengumpulan data dan telaah pustaka

dimana dokumen-dokumen yang dianggap menunjang dan relevan

dengan permasalahan yang akan diteliti baik berupa literatur, laporan,

jurnal, maupun karya tulis ilmiah.Dalam penelitian ini data yang digunakan

adalah laporan-laporan tentang program Jaminan Kesehatan Nasional-

Kartu Indonesia Sehat di Kota makassar.

Selain itu, data-data kepustakaan juga digunakan sebagai penunjang

dan penguat dari data yang diperoleh dari wawancara dan observasi.

Adapun data-data kepustakaan tersebut berasal dari buku-buku,

majalah, karya tulis ilmiah dan hasil penelitian sebelumnya yang relevan

dengan objek penelitian ini.

III.7 Teknik Analisis Data

Proses analisis data dilakukan secara terus menerus dimulai dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,

pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen dan

sebagainya sampai dengan penarikan kesimpulan. Didalam melakukan analisis data

peneliti mengacu kepada beberapa tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman

(Sugiyono, 2013) yang terdiri dari beberapa tahapan antara lain:

1. Pengumpulan informasi melalui wawancara terhadap key informan yang

compatible terhadap penelitian kemudian observasi langsung ke lapangan untuk


menunjang penelitian yang dilakukan agar mendapatkan sumber data yang

diharapkan.

2. Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyerderhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di

lapangan selama meneliti tujuan diadakan transkrip data (transformasi data) untuk

memilih informasi mana yang dianggap sesuai dan tidak sesuai dengan masalah

yang menjadi pusat penelitian di lapangan.

3. Penyajian data (data display) yaitu kegiatan sekumpulan informasi dalam bentuk

naratif, grafik jaringan, tabel dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman

penelitian terhadap informasi yang dipilih kemudian disajikan dalam tabel ataupun

uraian penjelasan.

4. Pada tahap akhir adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion

drawing/verification), yang mencari arti pola-pola penjelasan, konfigurasi yang

mungkin, alur sebab akibat dan proposisi. Penarikan kesimpulan dilakukan secara

cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan.

III.8 Fokus Penelitian

Sugiyono (2010:60) mengemukakan bahwa, kerangka berpikir merupakan model

konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah

diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Berdasarkan topik penelitian ini variabel-

variabel yang menjadi fokus penelitian ialah :

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Indikatornya:
1. Ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan yang ada dengan kenyataan.

2. Indikator keberhasilan Program JKN-KIS (Input, Proses dan Output) di

Kota makassar.

2. Sumberdaya:

a. Ketersediaan Dana

b. SDM (Sumber Daya Manusia)

c. Fasilitas yang Disediakan

3. Karakteristik Agen Pelaksana

a. BPJS Kesehatan Cab. Kota Makassar

4. Sikap/Kecenderungan (Disposition) Para Pelaksana, meliputi:

3. Pengetahuan dan pemahaman pelaksana terhadap Implementasi JKN-

KIS di Kota makassar.

4. Sikap pelaksana terhadap Implementasi Program JKN-KIS di Kota

makassar.

5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana, Indikatornya:

a. Transmisi (penyampaian) program dan informasi standard dan tujuan

kebijakan kepada para pelaksana dan pengguna kebijakan

5. Kejelasan penyampaian program dan informasi tentang pelaksanaan

Implementasi Program JKN-KIS (Input, Proses dan Output) di Kota

makassar.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik

a. Pengaruh implementasi kebijakan terhadap kondisi sosial yang

berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat khususnya.


b. Dukungan politik terhadap kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA

AB, Syamsuddin. 2016. Paradigma Metode Penelitian. Makassar : Shofia

Anggara, Sahya. 2014. Kebijakan Publik. Bandung : Pustaka Setia

Iva, Muhammad Irvan Nur. Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional

Melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Di Kota Makassar.

Makassar : Makassar : Jurnal Analisis Kebijakan dan Pelayanan Publik (JAKPP)

Kemenkes. 2016. Materi Sosialisasi JKN-KIS 2016 Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta : Kementerian Kesehatan RI

Lapor.go.id Kartu Indonesia Sehat (KIS)

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 19 Tahun 2016

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 82 Tahun 2018

Purwanto, Erwan Agus., Dan Sulistyastuti, Dyah Ratih. 2015. Implementasi


Kebijakan Publik: Konsep Dan Aplikasinya Di Indonesia. Yogyakarta : Gava Media

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: CV.


ALFABETA, 2016.
Suratman, 2017.Generasi Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik. Surabaya :
Capiya Publishing

Tiro, Muhammad Arif. 2009. Penelitian : Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Makassar :
Andira Publisher

Vandawati, Zahry. Dkk. 2016. Aspek Hukum Kartu Indonesia Sehat. Surabaya :

Yuridika Universitas Airlangga

Anda mungkin juga menyukai