Anda di halaman 1dari 164

GAMBARAN KEBERHASILAN PENGOBATAN PADA PASIEN

TUBERKULOSIS PARU BTA (+) DI WILAYAH KECAMATAN


CIPUTAT, KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2015

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh :

Dewi Citra Murni

NIM : 1113101000001

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2017
LEMBAR PERNYATAAN

i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
Skripsi, September 2017
Dewi Citra Murni, NIM : 1113101000001
Gambaran Keberhasilan Pengobatan Pada Pasien TB Paru BTA (+) di Wilayah
Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Xi + 106 halaman + 11 tabel + 11 gambar+ 5 lampiran

ABSTRAK
Keberhasilan pengobatan merupakan indikator yang digunakan diantara pasien
sembuh dan pengobatan lengkap. Pada Puskesmas Kampung Sawah keberhasilan
pengobatan sebesar 68%, sedangkan di Puskesmas Ciputat sebesar 32%.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keberhasilan pengobatan pada
pasien TB Paru BTA (+) di Wilayah Kecamatan Ciputat yaitu Puskesmas
Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun 2015. Desain studi yang
digunakan adalah Case series, menggunakan telaah dokumen formulir TB 01
serta wawancara dengan kuesioner. Analisis yang digunakan adalah analisis
univariat. Karakteristik individu pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan
berhasil yang memiliki proporsi sama. Sebagian besar jenis PMO berasal dari
keluarga (61,3%) dibandingkan petugas kesehatan (38,7%). Sebagian besar juga
telah mendapatkan peran PMO (96%). Akses pasien ke Puskesmas Kampung
Sawah dan Puskesmas Ciputat yaitu kurang dari 30 menit menggunakan
kendaraan (45,3%). Pasien telah mendapatkan motivasi tinggi dari diri sendiri
(45%) maupun keluarga (51%) dan dari petugas kesehatan (46%). Oleh karena itu,
saran bagi puskesmas untuk PMO pasien TB Paru BTA (+) lebih diprioritaskan
kepada keluarga, dikarenakan keluarga merupakan orang yang paling dekat dan
mempunyai waktu lebih banyak dengan pasien, sehingga keluarga lebih berperan
penting dalam mengawasi pasien untuk teratur berobat dan menelan obat sesuai
yang telah dianjurkan petugas kesehatan.
Kata kunci: Keberhasilan pengobatan, Puskesmas Kampung Sawah, Puskesmas
Ciputat
Daftar Bacaan : (1993-2016)

ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY
Epidemiology
Undergraduate Thesis, September 2017
Dewi Citra Murni, NIM : 1113101000001
Description of Successful Treatment among Patients of Tuberculosis BTA (+) At
District of Ciputat, South Tangerang City 2015

Xi + 106 page + 11 table + 11 picture + 5 attachment

ABSTRACT
The success of treatment is an indicator used among patients recovered and
complete treatment. At Puskesmas Kampung Sawah the success of treatment is
68%, whereas in Puskesmas Ciputat is 32%. This study aims to see the
description of the of Successful Treatment among Patients of Tuberculosis BTA
(+) at Ciputat Subdistrict namely Puskesmas Kampung Sawah and Puskesmas
Ciputat in 2015. The study design used is Case series, using document review
form 01 and interview with questionnaire. The analysis used is univariate
analysis. Individual characteristics of patients with TB BTA (+) with successful
treatment who have the same proportion. Most types of PMO come from families
(61.3%) than officer of health (38.7%). Most have also received the role of PMO
(96%). Access to Puskesmas Kampung Sawah and Puskesmas Ciputat is less than
30 minutes by vehicle (45.3%). Patients were highly self-motivated (45%) and
family (51%) and from health workers (46%). Therefore, the suggestion for
puskesmas for PMO of TB patient (+) is more priority to family, because family is
the closest person and have more time with patient, so that family more important
role in supervise patient to regularly medication and swallow medicine as
recommended by health workers.
Keywords:Successful Treatment,Puskesmas Kampung Sawah,Puskesmas Ciputat
Reading List: (1993-2016)

iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul

GAMBARAN KEBERHASILAN PENGOBATAN PADA PASIEN


TUBERKULOSIS PARU BTA (+) DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT
TAHUN 2015

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi


Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh :

Dewi Citra Murni


1113101000001

Jakarta, Oktober 2017

Mengetahui,

Pembimbing

Meilani M.Anwar, M.T

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

iv
PANIT

IA SIDANG SKRIPSI

v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI

Nama : Dewi Citra Murni

Tempat/Tanggal lahir : Sei sakat, 06-12-1995

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Kewarganegaraan : WNI

Alamat : Jalan PLN Dusun I Sei Sakat, Kec.Panai Hilir,


Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara

Nomor Hp : 0852-0613-7370

E-mail : dewicitramurni@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL

2013-2017 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas


Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Prodi Kesehatan
Masyarkat

2010-2013 : MAN 2 Model Medan

2007-2010 : MTs.S Al-Washliyah Merbau

2000-2006 : SDN 116250 Kampung Baru, Kecamatan Panai


Hilir, Sei Sakat.

vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT. karena atas berkah, kemudahan, kelancaran, dan rahmat-Nya, skripsi ini

dapat terselesaikan dengan judul Gambaran Keberhasilan Pengobatan pada Pasien

Tuberkulosis Paru BTA (+) di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat Tahun 2015. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu

syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Bentuk Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :

1. Kedua orang tua, ayah dan umi yang telah memberikan motivasi, do’a

tulus yang tiada henti setiap harinya, serta dukungan penuh baik secara

moril maupun materi.

2. Kakak saya (Suci) yang telah memberikan arahan, pengetahuannya,

motivasi serta do’a tulus yang tiada henti. Dan kedua adik saya (Putri dan

Wina) yang selalu memberikan motivasi dan do’a yang tulus selama

skripsi berlangsung.

3. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Ibu Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Kepala Prodi Kesehatan

Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Ibu Hoirun Nisa M.Kes, Ph.D dan Ibu Meilani M.Anwar M.Epid selaku

dosen pembimbing yang telah sabar dalam memberikan arahan serta

bimbingannya kepada penulis, selama menyelesaikan proposal skripsi.

vii
6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan

izin untuk melakukan penelitian di Puskesmas Kampung Sawah dan

Puskesmas Ciputat, wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan

7. Ubaydillah selaku petugas puskesmas yang bersedia dan meluangkan

waktunya kurang lebih dua bulan menjadi ojek selama penelitian

berlangsung di wilayah Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat.

8. Rista dan sabrina teman seperjuanganku yang selalu memberikan energi

positif kepada penulis selama skripsi berlangsung.

9. Seluruh teman-teman Epidemiologi 2013 (narita, wanti, ririn, mutia, wio,

mila, fitul, rai, upi, dedes, rina, fatih, ndun, dina, anggi, ica,) yang selalu

memberikan semangat dan bantuannya.

10. Seluruh teman-teman Pathisity Kesmas 2013 yang selalu memberikan

semangat kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, penulis membutuhkan saran dan kritik yang

membangun agar skripsi ini lebih baik lagi. Semoga dengan disusunnya

skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi banyak pihak, khususnya

penulis dan pembaca.

Jakarta, September 2017

Dewi Cita Murni

viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i

ABSTRAK ............................................................................................................. ii

ABSTRACT .......................................................................................................... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN...................................................................... iv

PANITIA SIDANG SKRIPSI .............................................................................. v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 9

1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 10

1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 10

1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 10

1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 10

1.5 Manfaat .......................................................................................................... 10

1.6 Ruang Lingkup Penelitian.............................................................................. 11

BAB II .................................................................................................................. 13

ix
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 13

2.1 Tuberkulosis ................................................................................................... 13

2.1.1 Etiologi Tuberkulosis .............................................................................. 13

2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis Paru............................................................. 14

2.1.3 Gejala dan Penularan Tuberkulosis Paru ................................................ 17

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis Paru ................................................................. 19

2.2 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis .................................................................... 21

2.2.1 Pengobatan Tuberkulosis Paru Dewasa .................................................. 21

2.2.2 Keberhasilan Pengobatan TB Paru ......................................................... 27

2.2.3 Gambaran Pasien TB Paru terhadap Keberhasilan Pengobatan .............. 27

2.3 Uji Statistik ..................................................................................................... 38

2.4 Kerangka teori ................................................................................................. 39

BAB III ................................................................................................................. 41

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........................... 41

3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................ 41

3.2 Definisi Operasional........................................................................................ 43

BAB IV ................................................................................................................. 49

METODE PENELITIAN ................................................................................... 49

4.1 Desain Penelitian ............................................................................................. 49

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................... 49

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................................... 49

4.4 Metode dan Instrumen Penelitian.................................................................... 53

4.5 Pengumpulan Data .......................................................................................... 59

4.6 Pengolahan Data.............................................................................................. 59

4.7 Analisis Data ................................................................................................... 60

x
4.8 Validitas ......................................................................................................... 61

4.9 Reliabilitas ...................................................................................................... 62

BAB V................................................................................................................... 63

HASIL .................................................................................................................. 63

5.1 Gambaran Umum Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat ....... 63

5.2 Analisis Univariat............................................................................................ 65

5.2.1 Gambaran Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil berdasarkan Wilayah ................................................................ 65

5.2.2 Gambaran Karakeristik Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan


yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 66

5.2.3 Gambaran Tipe Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015............................. 68

5.2.4 Gambaran Kategori Pengobatan Pasien TB Paru BTA (+) dengan


Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 68

5.2.5 Gambaran Faktor Perilaku Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 69

BAB VI ................................................................................................................. 79

PEMBAHASAN .................................................................................................. 79

6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................................... 79

6.2 Gambaran Karaktristik Individu Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat .............................................. 80

6.4 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................................... 86

6.5 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................................... 88

xi
6.6 Gambaran Akses dari Rumah Ke Pelayanan Kesehatan pada Pasien TB Paru
BTA (+) dengan Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Tahun 2015 .................................................................................................... 90

6.7 Gambaran Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015.................................... 91

BAB VII ............................................................................................................... 95

SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 95

7.1 Simpulan ......................................................................................................... 95

7.2 Saran ................................................................................................................ 96

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 98

xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 .................................................... 24
Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1 ............................................ 24
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 .................................................... 25
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2 ............................................ 26
Tabel 4.1 Besar sampel minimal ........................................................................... 51
Tabel 4.2 Pengkodean data ................................................................................... 60
Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Individu Pasien dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 66
Tabel 5.2 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 70
Tabel 5.3 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 70
Tabel 5.4 Gambaran Akses Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan CiputatTahun 2015 ..................... 72
Tabel 5.5 Distribusi Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat
Tahun 2015 ............................................................................................. 75

xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis ..................... 15
Gambar 2.2 Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis Menurut
Provinsi tahun 2015 .............................................................................................. 16
Gambar 3.1 Kerangka Teori .................................................................................. 40
Gambar 3.2 Kerangka Konsep .............................................................................. 41
Gambar 5.1 Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang Berhasil
berdasarkan Wilayah .......................................................................... 65
Gambar 5.2 Tipe Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ............................................ 68
Gambar 5.3 Kategori Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ................ 69
Gambar 5.4 Distribusi Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 ............... 71
Gambar 5.5 Motivasi Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ............................................ 73
Gambar 5.6 Motivasi dari Keluarga Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ................ 73
Gambar 5.7 Motivasi dari Petugas Kesehatan Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+)
dengan Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ... 74

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 SURAT IZIN PENELITIAN

LAMPIRAN 2 KUESIONER

LAMPIRAN 3 VALIDITAS DAN RELIABILITAS

LAMPIRAN 4 OUTPUT SPSS UNIVARIAT

LAMPIRAN 5 HASIL WAWANCARA

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang

serius secara global. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2012

menyatakan terdapat sembilan juta penduduk dunia menderita TB, dan terjadi

peningkatan pada tahun 2014 menjadi 9,6 juta penduduk. Wilayah dengan

jumlah kasus TB paru terbanyak adalah Afrika (37%), Asia Tenggara (28%),

dan Mediterania Timur (17%) (WHO, 2014). Indonesia pada tahun 2015

merupakan negara kedua kasus TB tertinggi di dunia (10%) setelah negara

India (23%).(WHO, 2015)

Laporan data Riskesdas tahun 2013, menemukan bahwa prevalensi

penduduk Indonesia yang didiagnosis TB adalah 0,4%. Lima propinsi dengan

TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta

(0.6%), Gorontalo (0.5%) dan Banten (0.4%) (Balitbangkes, 2013).

Berdasarkan Angka Case Detection Rate (CDR) kasus TB paru BTA (+) di

Indonesia terjadi peningkatan yaitu pada tahun 2009 (73,1%), tahun 2010

(78,3%) dan tahun 2011 (83,5%). WHO menetapkan standar angka CDR

sebesar 70%. Propinsi dengan angka CDR tertinggi diatas 70% yaitu Jawa

Barat, Sulawesi Utara, Maluku, DKI Jakarta, dan Banten (Kemenkes RI,

2011a).

1
2

Berdasarkan angka keberhasilan pengobatan TB paru diantara pasien

sembuh dan lengkap atau disebut dengan Treatment Success Rate (TSR) pada

tahun 2014 sebesar 90,1%, terjadi penurunan pada tahun 2015 hanya 85%.

Walaupun terjadi penurunan, angka tersebut sudah mencapai target nasional

(85%). Pada provinsi Banten jumlah kasus TB Paru BTA (+) sebanyak 7.357

kasus, dengan angka Treatment Success Rate (TSR) cukup tinggi yaitu sebesar

89,2% (Kemenkes RI, 2015).

Angka penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan merupakan

indikator yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan upaya dalam

pendeteksian kasus TB. Jika pasien TB paru tidak berhasil dalam

pengobatannya, maka pasien tersebut berpotensi besar untuk menularkan ke

orang lain yang berdampak pada penyebaran dan peningkatan kasus TB di

masyarakat, serta berdampak pada pasien tersebut untuk terjadi resistensi obat

atau yang disebut dengan Multi drug resisten (MDR TB). Pasien TB MDR di

Indonesia sebesar 8.900 kasus dan 2% kasus TB MDR diperkirakan berasal

dari kasus TB baru, dan 14,7% dari kasus TB yang mendapatkan pengobatan

ulang dikarenakan tidak tuntas dalam pengobatan TB Paru

sebelumnya.(Kemenkes RI, 2011b)

Untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian TB, bahwa pada tahun

1995-an WHO mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal

sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Fokus

utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien. Prioritas diberikan

pada pasien TB paru BTA (+) yang menular sangat cepat. Strategi ini akan
3

memutuskan rantai penularan TB dengan cara menemukan dan

menyembuhkan pasien agar dapat menurunkan insiden kasus TB. (Kemenkes

RI, 2014a)

Salah satu komponen dari DOTS yaitu pengobatan yang standar dengan

supervisi dukungan bagi pasien. Dukungan bagi pasien yang sudah ditetapkan

dengan strategi DOTS tersebut yaitu adanya pengawas menelan obat (PMO)

bagi pasien, agar selalu teratur minum obat anti TB (OAT) secara lengkap

selama 6 bulan pada penderita dengan kriteria kategori 1, dan pengobatan

selama 8 bulan pada penderita dengan kriteria kategori 2 (Kemenkes RI,

2014a).

Peran PMO (pengawas menelan obat) sangat penting dalam keberhasilan

pengobatan pasien. Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.Kariadi

Semarang, menemukan bahwa peran PMO secara baik mendapatkan hasil

keberhasilan pengobatan pada 18 pasien (100%) dibandingkan pasien yang

mendapat dukungan PMO secara tidak baik dengan keberhasilan pengobatan

hanya 8 pasien (66,7%) (Jumaelah, 2013).

Penelitian yang sama dilakukan di Puskesmas Sukoharjo menemukan

bahwa peran PMO sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan.

PMO yang berperan (56%) lebih mempengaruhi keberhasilan pengobatan

pasien dibanding PMO yang tidak berperan hanya (19%) mempengaruhi

keberhasilan pengobatan pasien. (Firdaus, 2012)

Berdasarkan karaktersitik umur, dari hasil penelitian yang dilakukan di

10 daerah di Ethiopia, menemukan bahwa kasus TB yang terdeteksi sebesar


4

131.071 pasien pada juli 2012 – juli 2015. Pasien dengan kasus TB Paru BTA

(+) paling banyak adalah umur >15 tahun sebesar 30,2%, daripada umur 5-14

sebesar 18,3% dan <0-4 tahun hanya 10,7%. Dengan hasil akhir pengobatan

selama tahun 2011-2014 yang paling banyak ditemukan yaitu pasien dengan

hasil akhir sembuh dan pengobatan lengkap yang meningkat secara fluktuatif

dari tahun 2011 (88,9%), tahun 2012 (90,6%), tahun 2013 (93,5%) dan tahun

2014 (92,5%) (Z. G. Dememew dkk., 2016) .

Berdasarkan jenis kelamin, hasil penelitian yang dilakukan di Rumah

Sakit Uganda, menemukan bahwa pasien dengan hasil akhir pengobatan TB

sembuh, banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki sebesar 37% (A.

Nakanwagi-Mukwaya dkk.,2013). Penelitian sama yang dilakukan di bagian

Barat Ethiopia, bahwa sebagian dari pasien treatment succes adalah

perempuan sebesar 32,5% dibanding laki-laki hanya 27,0% (Belay Tessema

dkk., 2009). Sedangkan penelitian yang dilakukan di bagian Utara Ethiopia

pada pasien TB paru BTA (+) sebesar 89,2% dengan karakteristik pasien lebih

banyak terjadi pada pasien laki-laki sebanyak 221 pasien daripada perempuan

hanya 186 pasien (Berhe dkk., 2012).

Berdasarkan tipe pasien dari hasil Meta-analysis pada 197 artikel terkait

hasil akhir pengobatan tuberkulosis di Eropa, bahwa keberhasilan pengobatan

lebih banyak pada pasien kasus baru sebesar 73,5%, daripada pasien yang

sudah ditangani sebelumnya atau pasien kambuh hanya 42,3% (A. Faustini

dkk.,2005). Sedangkan berdasarkan kategori pengobatan, pada penelitian yang

dilakukan di Morocco, bahwa keberhasilan pengobatan pada pasien


5

pengobatan kategori 2 sebesar 93% (Dooely dkk., 2011). Hal tersebut berbeda

dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Deli Serdang menemukan

bahwa sabagian besar pasien yang berhasil pengobatannya adalah pasien

dengan kategori 1 dengan pengobatan sembuh sebesar 99,4% (Tri Hartini

dkk., 2012)

Berdasarkan karakteristik pendidikan, dari hasil penelitian yang

dilakukan di Pekan Baru, bahwa karaktristik pendidikan yang paling banyak

berhasil pengobatannya adalah pendidikan menengah atas (41,38%), SMP

(27,58%), SD (24,14%) dan perguruan tinggi (6,9%). Selain itu, hasil

penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sokaraja menemukan bahwa

keberhasilan pengobatan lebih banyak terjadi pada pendidikan rendah sebesar

68,4% (Natalia dkk., 2012)

Selain dari pendidikan, dilihat dari karakteristik pekerjaan bahwasanya

pasien TB paru BTA (+) yang paling banyak mengalami keberhasilan

pengobatan adalah pekerja wiraswata sebesar 65,51%, diikuti tidak bekerja

sebesar 27,58% dan pegawai negeri sipil sebesar 6,9% (Imelda Atika dkk.,

2015). Penelitian yang sama dilakukan di Jawa Tengah menemukan bahwa

keberhasilan pengobatan lebih banyak terjadi pada mereka yang memiliki

pekerjaan tidak berisiko sebesar 86,7% (Bertin Tanggap Tirtana, 2011).

Selain faktor pekerjaan dilihat juga dari status ekonomi. Dalam hal ini

status ekonomi dari pasien dilihat dari penghasilan ataupun pengeluaran yang

diperoleh selama satu bulan. Dari hasil penelitian sebelumnya ditemukan

bahwa pasien TB Paru yang sembuh sebagian besar memiliki stastus ekonomi
6

rendah sebanyak 36 orang (94,7%) dibanding pasien dengan penghasilan yang

tinggi hanya 2 orang (5,3%). (Kholifah, 2009)

Faktor lain berdasarkan akses pasien ke pelayanan kesehatan untuk

mendapatkan pengobatan, bahwa penelitian yang dilakukan di Balai

Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Salatiga dengan, menyatakan bahwa

jarak jauh (90%) dapat meningkatkan risiko terhadap pasien untuk terjadinya

drop out,daripada pasien dengan jarak rumahnya dekat (10%), sehingga

pasien dengan jarak jauh dari rumahnya berpotensi untuk mengalami dropout

(Fauziyah, 2010).

Berdasarkan pengetahuan, penelitian yang dilakukan di BP4 Salatiga

Semarang, menemukan bahwa pasien TB Paru yang berhasil pengobatan

memiliki pengetahuan cukup sebesar 63,1%, dibanding mereka yang memiliki

pengetahuan baik (5,31% ) dan kurang (31,6%) (Kholifah, 2009). Penelitian

yang sama dilakukan di Jakarta bahwa sebagian dari pasien TB Paru yang

patuh untuk berobat adalah memiliki pengetahuan baik sebesar 80,5%

daripada pengetahuan kurang baik hanya 58,5%.(Maesaroh, 2009).

Selain itu, dilihat dari karakteristik motivasi, bahwasanya motivasi

merupakan dorongan dari dalam diri maupun dari luar individu untuk

melakukan tindakan atau perilaku. Motivasi yang diterima dari diri individu

maupun dari luar dapat membentuk dirinya untuk berperilaku sehat yang

menuntutnya untuk sembuh dari penyakit yang dideritanya. Dari hasil

penelitian sebelumnya didapatkan bahwa pasien dengan motivasi untuk


7

sembuh yaitu rendah (36,2%) cenderung tidak patuh minum Obat Anti TB

(OAT) (Margaretha, 2012)

Dari Laporan BPS Kota Tangerang Selatan, jumlah penduduk Kota

Tangerang Selatan tahun 2015 adalah 1.543.209 penduduk, dengan 25

puskesmas yang semuanya telah melaksanakan Program TB DOTS.

Penemuan angka CDR pada kasus TB Paru BTA (+) pada penduduk Kota

Tangerang Selatan tahun 2015 sebesar 52%. Angka tersebut masih rendah dari

standar program nasional yaitu 70%. Sedangkan, angka keberhasilan

pengobatan di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2014 dan 2015 masih

dibawah angka standar nasional program TB (85%) dengan persentase

sebesar 74% pada tahun 2014 dan sebesar 83% pada tahun 2015. (Dinkes

Tangerang Selatan, 2015).

Dari pemaparan diatas serta beberapa hasil penelitian terkait gambaran

pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan, dapat diketahui bahwa

rendahnya angka keberhasilan pengobatan, membuat pasien TB Paru BTA (+)

yang berhasil pengobatan juga sedikit, yang berdampak negatif pada

kesehatan masyarakat. Dikarenakan jika pasien tidak berhasil pengobatan

(sembuh dan pengobatan lengkap) maka pasien tersebut memberikan peluang

untuk menularkan penyakitnya ke anggota keluarga dan masyarakat

sekitarnya, serta memungkinkan terjadinya resisten OAT bagi pasien tersebut

(Amiruddin, 2006).

Agar pasien TB Paru BTA (+) bisa berhasil pengobatan, dibutuhkan

ketersediaan OAT yang memadai di Puskesmas maupun dukungan dari


8

seorang PMO untuk pasien bisa sembuh dengan pengobatan lengkap atau

disebut dengan berhasil pengobatan (Kemenkes RI, 2011).

Walaupun paduan OAT yang digunakan sudah baik dan memadai di

Puskesmas, serta program TB DOTS yang dijalankan dari Puskesmas juga

sudah baik. Akan tetapi, apabila penderita tidak berobat secara teratur dan

tidak adanya dukungan dari PMO ataupun motivasi dari diri sendiri untuk

sembuh, maka pasien tidak bisa berhasil pengobatan (Prasetya, 2009). Oleh

karena itu, jika adanya dukungan dari PMO dan mendapatkan motivasi dari

dalam diri sendiri maupun dorangan dari luar, maka pasien akan teratur

berobat dan bisa berhasil pengobatan. Sehingga, nantinya berdampak pada

peningkatan keberhasilan pengobatan di Puskesmas.

Menurut Notoadmojo (2012), motivasi merupakan kunci keberhasilan

atau dorongan dalam diri indivu yang dapat merubah perilaku. Semakin tinggi

motivasi seseorang, maka semakin patuh orang tersebut. Yang mana dalam hal

ini adalah semakin tinggi motivasi yang diberikan oleh keluarga sebagai

PMO maupun dari petugas kesehatan, maka semakin patuh pasien dalam

pengobatan TB, yang berdampak pada seseorang tersebut berhasil pengobatan.

Dari hasil observasi yang dilakukan bahwasnya wilayah kecamatan

ciputat merupakan wilayah yang keberhasilan pengoabatan TB Parunya

tertinggi di Kota Tangerang Selatan. Pada Wilayah tersebut juga belum pernah

dilakukan penelitian tersebut, sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui

bagaimana gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB Paru BTA (+)

di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015.


9

1.2 Rumusan Masalah

Pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil merupakan

ukuran indikator dari program TB yang berdampak pada pemutusan rantai

penularan kuman TB, yang dapat menurunkan kejadian kasus TB paru di

masyarakat. Angka keberhasilan pengobatan TB paru di wilayah Kecamatan

Ciputat tertinggi ditemukan di Puskesmas Kampung Sawah sebesar 91,11%,

diikuti Puskesmas Ciputat sebesar 78,5%.

Dalam hal ini dilakukan penelitian pada dua puskesmas dikarenakan

tidak memenuhi sampel minimal dari penelitian ini, sehingga perlu ditambah

sampel pada puskesmas lain yang memiliki karakteristik pasien yang sama

dengan puskesmas kampung sawah dan dalam satu wilayah yang berdekatan,

yaitu puskesmas ciputat. Keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru BTA

(+) dari beberapa hasil penelitian dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, kategori pengobatan, jenis PMO, peran

PMO, akses, status ekonomi dan motivasi.

Dari hasil observasi yang dilakukan di Puskesmas Kampung Sawah dan

Puskesmas Ciputat, berdasarkan umur sebagian besar adalah umur produktif

bagi pasien TB Parunya, sebagian besar jenis kelamin laki-laki dan sebagian

besar tipe pasiennya tipe baru dengan pengobatan kategori satu. Serta

keterjangkauan akses untuk berobat secara teratur juga mudah pada masing-

masing puskesmas. Dikarenakan sebagian besar puskesmas ciputat memiliki

karakteristik pasien dan wilayah yang sama, maka perlu dilakukan penelitian
10

secara khusus terkait gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru

BTA (+) di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Bagaimana distribusi proporsi gambaran keberhasilan pengobatan pada

pasien TB paru BTA (+) di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 yang

dilihat dari karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, pengetahuan, status ekonimi ) tipe pasien, kategori pengobatan,

jenis PMO, Peran PMO, distribus peran PMO, akses motivasi, dan distribusi

motivasi ?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB Paru

BTA (+) di Wilayah Kecamatan Ciputat tahun 2015

1.4.2 Tujuan Khusus


Diketahuinya gambaran karakteristik individu (umur, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan status ekonomi) tipe

pasien, kategori pengobatan, dan faktor perilaku (akses, jenis PMO, peran

PMO, distribusi peran PMO, motivasi pasien dan distribusi motivasi) pada

pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil di Wilayah

Kecamatan Ciputat Tahun 2015

1.5 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :


11

1.5.1 Puskesmas

Sebagai bahan evaluasi pada kegiatan program pengendalian tuberkulosis,

untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan yang dapat dilihat dari

gambaran pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan yang

nantinya akan berdampak pada penurunan kejadian kasus TB di Wilayah

Puskesmas tersebut.

1.5.2 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Sebagai bahan pertimbangan kebijakan pada program pengendalian TB,

untuk melakukan edukasi dan informasi terkait keberhasilan pengobatan

TB di wilayah puskesmas.

1.5.3 Peneliti selanjutnya

Sebagai bahan informasi untuk melanjutkan penelitian terkait gambaran

keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru BTA (+) dengan metode

penelitian yang berbeda.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deksriptif

dengan desain studi Case series, untuk mengetahui bagaimana distribusi

proporsi gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB Paru BTA (+) di

Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015. Responden dalam penelitian ini

adalah pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan. Penelitian ini

menggunakan data laporan laporan kartu pengobatan pasien TB (TB.01) di

wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah dan Ciputat, Kota Tangerang


12

Selatan tahun 2015 serta melakukan wawancara dengan membagikan

kuesioner ke responden.

Penelitian ini juga mempertimbangkan beberapa variabel dari

karaktersitik pasien TB paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil di

Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat yaitu umur, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, tipe pasien TB, kategori

pengobatan, akses, jenis PMO, peran PMO, distribusi peran PMO, motivasi

dan distribusi motivasi. Analisis yang digunakan adalah analisis Univariat.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni tahun 2017.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Berikut merupakan penjelasan dari tuberkulosis yang dilihat dari

etiologi tuberkulosis, epidemiologi tuberkulosis, gejala dan penularan

tuberkulosis serta klasifikasi pasien tuberkulosis.

2.1.1 Etiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium Tuberculosis, termasuk dalam family

Mycobacteriaceace dan termasuk dalam ordo Zctinomycetales.

Mycobacterium Tuberculosis ini merupakan jenis bakteri yang paling

sering dijumpai. Sebagian besar bakteri TB ini menyerang paru, tetapi

dapat menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus

dan ginjal) yang disebut dengan tuberkulosis ekstra paru.(Kemenkes RI,

2011)

Bakteri ini berukuran 0,5-4 mikron X 0,3-0,36 mikron dengan

bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak

memiliki selubung, tetapi memiliki lapisan luar yang tebal yang terdiri dari

lipoid (terutama asammikolat). Bakteri ini disebut sebagai bakteri tahan

asam (BTA) yang disebut sebagai Droplet Nuclei yang sangat halus dan

tidak dapat dilihat oleh mata. Droplet Nuclei tersebut melayang di udara

untuk waktu yang lama sampai terhisap oleh orang lain yang ada disekitar

13
14

penderita TB, dengan masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai

terinfeksi sampai terjadinya sakit diperikirakan selama 4 sampai 6 minggu

(Widoyono, 2008).

Bakteri ini juga dapat hilang dengan suhu 60oC selama 20 menit,

dapat pula segera mati pada pemanasan basal pada suhu 100oC. Jika

terkena sinar matahari akan mati dalam waktu 2 jam, mati dengan tincture

iodii dalam 5 menit, dengan etanol 80% dalam waktu 2 sampai 10 menit

dan juga dapat dimatikan oleh larutan fenol 5% dalam waktu 24 jam

(Widoyono, 2008).

2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis Paru

TB paru masih menjadi masalah yang serius di masyarakat,

dikarenkan jumlah kasusnya yang terus mengalami peningkatan. Laporan

WHO (2013) menyatakan terdapat 9 juta penduduk dunia menderita TB,

dan terjadi peningkatan pada tahun 2014 menjadi 9,6 juta penduduk. Pada

tahun 2015 Indonesia merupakan negara penyumbang kedua kasus TB di

dunia (10%) setelah negara India (23%) dan diikuti negara China urutan

ketiga (10%) (WHO, 2015).

Laporan data Riskesdas tahun 2013 menemukan bahwa prevalensi

penduduk Indonesia yang didiagnosis TB adalah 0,4%. Lima propinsi

dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI

Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) (Balitbangkes, 2013).

Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910


15

kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang

ditemukan pada tahun 2014 hanya 324.539 kasus (Kemenkes RI, 2015).

Dilihat dari angka Case Detection Rate (CDR) kasus TB paru

BTA (+) di Indonesia terjadi peningkatan yaitu pada tahun 2009 (73,1%),

tahun 2010 (78,3%), tahun 2011 (83,5%). WHO menetapkan standar

angka penemuan kasus sebesar 70%. Dengan demikian, penemua kasus

untuk TB Paru BTA (+) sudah mencapai target. Provinsi dengan angka

CDR tertinggi diatas 70% yaitu Jawa Barat, Sulawesi Utara, Maluku, DKI

Jakarta, Banten (Kemenkes RI, 2011a). Sedangkan angka keberhasilan

pengobatan yaitu pengobatan lengkap dan sembuh atau disebut dengan

Treatment Success Rate (TSR) pada tahun 2015 sebesar 85%.

(Kemenkes RI, 2015). Berikut merupakan angka keberhasilan pengobatan

TB Paru BTA (+) di Indonesia dari tahun 2008-2015.

94 92
92 91 91
90 90 90 90
90
88
%

86 85

84
82
80
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tahun

Gambar 2.1 Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis


di Indonesia tahun 2008-2015

Sumber : Ditjen P2PL, Kemenkes RI 2016


16

Dari grafik diatas diketahui bahwa angka keberhasilan pengobatan

TB Paru BTA (+) di Indonesia mengalami fluktuatif. Namun, angka

tersebut sudah memenuhi standar nasional yaitu sebesar 85%. Pada

tingkat provinsi, angka keberhasilan pengobatan TB paru di Indonesia

dapat dilihat pada grafik dibawah yang mana pada provinsi Banten

jumlah kasus TB Paru BTA (+) sebesar 7.357 kasus, dengan angka

Treatment Success Rate (TSR) sebesar 89,2%.

Gambar 2.2 Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis Menurut


Provinsi tahun 2015
Sumber : Ditjen P2PL, Kemenkes RI, 2016
17

Epidemiologi TB paru merupakan suatu penyakit yang terjadi

dikarenakan adanya interaksi anatara kuman (agent) Mycobacterium

Tuberkulosis dengan host (manusia) dan lingkungan (environment)

(Achmadi, 2005). Berdasarkan karakteristik host (manusia) bahwa jumlah

kasus TB paru pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,5

kali dibandingkan perempuan. Menurut kelompok umur, kasus

tuberkulosis pada tahun 2015 paling banyak ditemukan pada kelompok

umur 25-34 tahun yaitu sebesar 18,65%, diikuti dengan kelompok umur

45-54 tahun sebesar 17,33% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar

17,18%

Sedangkan berdasarkan lingkungan bahwa kejadian TB paru lebih

banyak terjadi pada lingkungan yang lembab, kumuh dan kotor. Dapat

disimpulkan bahwa epidemiologi TB paru mempelajari tiga proses khusus

yang menyebabkan terjadinya penyakit TB paru : (Aditama, 2002)

1. Penyebaran atau penularan dari kuman TB

2. Perkembangan dari kuman TB yang mampu menularkan pada orang

lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman TB.

3. Perkembangan lanjut dari kuman TB sampai penderita sembuh atau

meninggal karena penyakit ini.

2.1.3 Gejala dan Penularan Tuberkulosis Paru

Gejala utama TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak

bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
18

menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa

kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes RI,

2014a). Oleh karena itu, jika seseorang mengalami gejala tersebut,

dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB paru, sehingga

perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI,

2011a).

Jika seseorang ditemukan mengalami gejala TB paru dengan hasil

pemeriksaan mikroskopis terdiagnosis TB paru BTA positif, maka

seseorang tersebut berisiko untuk menularkan penyakitnya kepada orang

lain. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB paru dengan hasil

pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal

tersebut bisa saja terjadi karena jumlah kuman yang terkandung dalam

contoh uji dahk ≤ dari 5.000 kuman/cc, sehingga sulit dideteksi melalui

pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien TB paru dengan BTA negatif

juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat

penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, sedangkan pasien TB

dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

Penularan utama TB paru BTA positif adalah melalui cara dimana

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tersebar diudara melalui percik

renik dahak saat pasien TB paru berbicara, bersin maupun bernyanyi.

Percik renik tersebut melayang diudara berukuran antara 1-5 mikron

hingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara

untuk waktu yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman
19

TB pada umumnya hanya ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak

permukaan.

Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik

renik yang mengandung kuman TB masuk kedalam saluran pernafasan.

Setelah kuman TB Paru masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan,

kuman TB paru tersebut dapat menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya

melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau

penyebaran ke bagian tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2014b).

Kontak penularan yang paling cepat yaitu keluarga melalui droplet.

Kerentanan pasien TB paru adalah memperoleh infeksi dengan

konsekuensi menimbulkan penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi

orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel

bergantung pada kontak dengan sumber-sumber kuman penyebab infeksi

terutama dari penderita tuberkulosis denga BTA positif (Machfoedz,

2008).

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Penyakit tuberkulosis paling sering menyerang jaringan

parenchyme paru (tidak termasuk pleura) disebut TB paru, sedangkan

yang menyerang organ lain disebut TB ekstra paru. Berdasarkan hasil

pemeriksaan pada kasus TB paru dapat dibedakan menjadi beberapa

kriteria diantaranya adalah :


20

1. Tuberkulosis paru BTA positif

Jika seseorang didiagnosis sebagai penderita TB paru BTA

positif, harus memenuhi pemeriksaan sebagai berikut :

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak sewaktu pagi

sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks

dada menunjukkan gambaran tuberkulosis

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA

negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik

non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Jika seseorang didiagnosis sebagai penderita TB paru BTA

negatif, harus memenuhi pemeriksaan sebagai berikut :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis..

c. Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Sedangkan Klasifikasi berdasrkan tipe pasien yang ditentukan

berdasarkan hasil riwayat pengobatan sebelumnya adalah :

1. Kasus baru
21

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi

kambuh lagi.

3. Kasus setelah putus berobat (default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan

atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atu kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih

selama pengobatan. (Kemenkes RI, 2011a)

2.2 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis

Berikut merupakan penjelasan dari tatalaksana pasien tuberkulosis yang

dilihat dari etiologi tuberkulosis, epidemiologi tuberkulosis, gejala dan

penularan tuberkulosis serta klasifikasi pasien tuberkulosis.

2.2.1 Pengobatan Tuberkulosis Paru Dewasa


Penyakit TB paru termasuk penyakit yang serius jika tidak ditangani

secara cepat dan tepat, sehingga untuk mencegah terjadinya peningkatan

kasus TB paru, maka pasien dengan terdiagnosis TB paru harus melakukan

pengobatan secara teratur dengan waktu kurang lebih 6 bulan untuk paseien

baru, dan pengobatan selama 8 bulan untuk pasien yang kambuh, gagal
22

pengobatan dan dropout . Pengobatan TB paru disebut juga sebagai OAT

(obat anti TB). Pengobatan pasien TB paru ini memiliki beberapa tujuan

diantaranya :

a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas

hidup

b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk

selanjutnya

c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB

d. Menurunkan penularan TB

e. Menegah terjadinya dan penularan TB resisten obat

Pengobatan TB paru harus selalu meliputi pengobatan tahap awal

dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap dimana pasien menderita TB

paru untuk minum obat setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini

adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang

ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil

kuman yang mungkin awal pada semua pasien baru, harus diberikan

selama 2 bulan. pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan

tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah

pengobatan selama 2 minggu. Sedangkan tahap lanjutan adalah

pengobatan tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang

masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat

semubuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. (Kemenkes RI, 2014a)


23

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi

WHO dan ISTC) pada pasien tuberkulosis paru dewasa terbagi menjadi

kategori 1 dan kategori dua. Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2

disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).

Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu

tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini

dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Selain itu, paket kombipak

adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,

Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan

OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien

yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT

KDT sebelumnya.(Kemenkes RI, 2014a)

A. Kategori 1

Pada kategori 1 OAT ini diberikan untuk pasien baru yang

terkonfirmasi bakteriologis dan terdiagnosis klinis serta pasien TB ekstra

paru. Pemberian obat kategori 1 tahap intensif (awal) selama 2 bulan

sedangkan tahap lanjutan diberikan selama 4 bulan. Berikut merupakan

dosis dan lamanya pengobatan kategori 1 OAT KDT yang disesuaikan

dengan Berat Badan (BB) pasien. Dosis paduan OAT KDT kategori 1

dapat dilihat pada tabel 2.1


24

Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan


tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT


≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber : Pedoman TB Nasional 2014

Paduan OAT tidak hanya diberikan dalam bentuk kombinasi dosis

tepat (KDT). Namun, bisa diberikan dengan paduan OAT kombipak.

Adapun dosis paduan OAT Kombipak kategori 1 dapat dilihat pada tabel

2.2

Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1


Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah
Pengobatan Pengobatan Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol kali
@ @ 450 mgr @ 500 mgr @ 250mgr menelan
300mgr obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 4

Sumber : Pedoman TB Nasional 2014

B. Kategori 2

Pada kategori 2 OAT diberikan untuk pasien TB BTA posistif yang

pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yang diberikan pada pasien

kambuh, pasien gagal pengobatan dengan paduan OAT kategori 1

sebelumnya dan pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow up). Pada kategori 2 OAT diberikan selama 8 bulan kepada pasien.
25

Berikut merupakan dosis dan lamanya pengobatan kategori 2 OAT KDT

yang disesuaikan dengan Berat Badan (BB) pasien. Paduan OAT KDT

tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari RHZE (150/75/400/275)+ S 3 kali seminggu
RH (150/150) +
E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 Minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol

38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT


+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55-70 kg
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
4 tab 4KDT + 4 tab Etambutol
+ 1000 mg Streptomisin inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT
(> do maks)
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol
Sumber : Pedoman TB Nasional 2014

Selain paduan OAT KDT kategori 2, paduan OAT kombipak kategori 2

juga diberikan pada pasien gagal pengobatan, kambuh maupun dropout dapat

dilihat pada tabel 2.4


26

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomi Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid sin injeksi hari/kali
@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr Tablet Tablet menelan
@ @ obat
250 mgr 400 mgr
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
Awal
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian)

Tahap 5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)

Sumber : Pedoman TB Nasional 2014


Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan

pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Untuk

memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji

dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2

uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu uji positif atau keduanya positif,

hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. (Kemenkes RI,

2011a)

Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu

cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah

pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang

dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif,

pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT

sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA


27

positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.

Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis

pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada

akhir pengobatan. (Kemenkes RI, 2011a)

2.2.2 Keberhasilan Pengobatan TB Paru


Keberhasilan pengobatan TB Paru merupakan indikator pencapaian

utama pengendalian program TB di Pelayanan Kesehatan. Angka

keberhasilan pengobatan pada target nasional yaitu 85%. Seseorang pasien

dikatakan berhasil yaitu jika pasien tersebut melakukan pengobatan

lengkap dan dinyatakan sembuh. Pengobatan lengkap adalah pasien TB

paru yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, tapi tidak

memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Sedangkan sembuh adalah

pasien TB paru yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap

dengan pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan dan pemerikasaan

ulang dahak sebelumnya menghasilkan negatif. Oleh karena itu, jika

pasien tersebut dinyatakan sembuh dan lengkap maka pasien tersebut

masuk kedalam pencatatan angka keberhasilan pengobatan Treatment

Success Rate (TSR). Adapun rumus keberhasilan pengobatan TB paru

BTA positif adalah : (Kemenkes RI, 2014a)

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑇𝐵 𝑃𝑎𝑟𝑢 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 (𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ+𝑝𝑒𝑛𝑔𝑜𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝)


x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑇𝐵 𝑃𝑎𝑟𝑢 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑎𝑡𝑖

2.2.3 Gambaran Pasien TB Paru terhadap Keberhasilan Pengobatan


Pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil dapat

memberikan dampak positif. Seperti halnya dapat memutuskan rantai


28

penularan TB di Masayarakat yang berpotensi pada penurunan kejadian

kasus TB dan mengurangi risiko bagi pasien tersebut untuk terjadi resistensi

obat. Adapun karakteristik dari pasien terhadap keberhasilan pengobatan TB

paru menurut beberapa penelitian diantaranya adalah :

1. Umur

Penyakit TB paru kebanyakan ditemukan pada pasien yang usia

muda maupun pasien dengan usia produktif yaitu 15-50 tahun. Hal

tersebut dikarenakan sistem imunologis pada usia lanjut diatas 45 tahun

mengalami penurunan dan sangat rentan terhadap berbagai penyakit

termasuk penyakit TB paru. (Amiruddin, 2006)

Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada formulir TB.01 di

Puskesmas Kampung Sawah bahwa sebagian dari pasien yang mengalami

TB paru dan berhasil dalam pengobatan adalah pasien dengan usia

produktif. Hasil penelitian sebelumnya, di wilayah kerja Puskesmas Tanah

Kalikedinding, menyatakan bahwa umur produktif lebih banyak patuh

untuk melakukan pemeriksaan dahak sebesar 79,2% dibanding pasien

dengan umur lansia yaitu hanya 20,8% (Ruditya, 2015) .

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status biologi

seseorang, yang terdiri dari tampilan fisik yang dapat membedakan

perempuan dan laki-laki. Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-

laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu hampir 1,5 kali dibandingkan

kasus BTA+ pada perempuan. Hal ini dikarenakan jenis kelamin laki-laki
29

memiliki aktivitas kegiatan dliuar lebih banyak yang membuat risiko laki-

laki untuk terkena TB lebih besar dibanding perempuan.

Dalam pencarian pengobatan atau perawatan kesehatan

bahwasanya jenis kelamin perempuan cenderung lebih banyak dibanding

laki-laki, dikarenakan laki-laki akan mencari pengobatan jika sudah

mengalami sakit yang cukup parah dan adanya dukungan atau motivasi

dari diri sendiri maupun dari luar yang membuat laki-laki akan mencari

pengobatan (Bastable, 2002). Dari hasil penelitian sebelumnya

menemukan bahwa Proporsi pasien yang berhasil pengobatan lebih banyak

ditemukan pada pasien dengan jenis kelamin perempuan (96,2%) daripada

laki-laki hanya 93,2% (Mengistu Endris dkk., 2014).

3. Pendidikan

Menurut Dictionary of Education (1984) bahwa pendidikan adalah

proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk

tingkah laku lainya dalam lngkungan masyarakat. Dari definisi tersebut

dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai proses yang digunakan

untuk merubah perilaku manusia untuk mengembangkan pemahaman dan

kemampuan yang diperoleh. Pendidikan adalah proses perubahan dan

sikap seseorang dalam usaha pengajaran.

Menurut Mukhsin (2006) bahwa semakin tinggi pendidikan pasien,

maka akan semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan dan

penyakitnya sehingga tuntas untuk berobat dan penyembuhan. Namun hal

tersebut berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan di


30

Kecamatan Sokaraja bahwa keberhasilan pengobatan lebih banyak terjadi

pada pendidikan rendah sebesar 68,4% dibanding pendidikan tinggi

(31,7%) (Natalia dkk., 2012)

4. Pekerjaan

Menurut Purwanto (2007) bahwa seseorang yang mempunyai latar

belakang tertentu seperti bekerja atau tidak bekerja maka akan memiliki

pandangan tersendiri terhadap pencarian pengobatan. Termasuk

diantaranya pada pasien TB Paru yang bekerja maupun tidak bekerja akan

mencari pengobatan untuk bisa sembuh. Dari hasil penelitian sebelumnya

didapatkan bahwa keberhasilan pengobatan bagi pasien yang resisten obat

TB lebih banyak terjadi pada mereka yang memiliki pekerjaan tidak

berisiko seperti pegawai swasta, PNS, wiraswasta, pelajar sebesar 86,7%

dibanding mereka yang bekerja risiko hanya 13,3% (Bertin Tanggap

Tirtana, 2011).

5. Pengetahuan

Menurut Notoatdmojo (2010) pengetahuan merupakan hasil dari

tahu, dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek. Sedangkan menurut aditama (2000) dalam Maesarah (2009)

mengatakan bahwa pengetahuan penderita tentang penyakit TB paru masih

kurang diantaranya masih banyak penderita yang mengatakan bahwa

penyakit ini menular melalui kontak langsung dan melalui makanan

pasien. Pengetahuan TB paru akan menimbulkan persepsi seseorang dalam

berperilaku sehat dan mematuhi pengobatannya.


31

Dari hasil penelitian yang dilakukan di BP4 Salatiga Semarang

menemukan bahwa pasien TB Paru yang sembuh dan berhasil pengobatan

memiliki pengetahuan baik (5,31%) dibanding mereka yang memiliki

pengetahuan dan kurang (31,6%) (Kholifah, 2009)

6. Status ekonomi

Status ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan,

perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan

tersebut berkaitan dengan penghasilan. Menurut (Koentjaraningrat,1981)

dari penghasilan tersebut dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial

ekonomi rendah, sedang, dan tinggi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Semarang tingkat sosial

ekonomi dilihat dari pendapatan UMR di kota tersebut yang dibagi

menjadi pendapatan rendah dan tinggi. Yang mana ditemukan bahwa

proporsi pasien TB Paru yang sembuh sebagian besar memiliki stastus

sosial ekonomi rendah sebanyak 36 orang (94,7%) dibanding pasien

dengan penghasilan yang tinggi hanya 2 orang (5,3%). (Kholifah, 2009).

7. Tipe pasien

Tipe pasien adalah klasifikasi dari pasien TB paru berdasarkan

riwayat pengobatan sebelumnya yang dibagi menjadi pasien baru, gagal,

kambuh, putus berobat. Dari hasil penelitian menyatakan bahwa

keberhasilan pengobatan lebih banyak terjadi pada pasien kasus baru


32

sebesar 73,5%, daripada pasien yang sudah ditangani sebelumnya atau

pasien kambuh hanya 42,3% (A. Faustini dkk 2005)

8. Kategori pengobatan

Kategori pengobatan TB paru dibagi menjadi dua yaitu kategori satu

dan dua. Kategori satu diberikan pengobatan selama enam bulan,

sementara itu pada kategori dua diberikan pengobatan selama delapan

bulan. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Riau bahwa kapatuhan

pasien untuk teratur berobat lebih banyak ditemukan pada pasien dengan

kategori 1 (93,3%) (Kurniawan dkk., 2015). Sedangkan penelitian yang

dilakukan di Morocco bahwasanya sebagian besar pasien yang berhasil

pengobatannya adalah berasal dari pasien dengan kategori 2 atau pasien

pengobatan ulang (pasien kambuh, gagal pengobatan dan dropout) sebesar

93% (Dooely dkk., 2011).

9. Jenis PMO

Pengawas menelan obat dibutuhkan pasien, agar selalu teratur dan

tepat waktu dalam minum OAT. Sebaiknya yang menjadi seorang PMO

adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya,

Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas

kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,

guru, anggota PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

Adapun Persyaratan PMO diantaranya adalah : (Kemenkes RI, 2014a)

a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan
33

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

pasien

Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada formulir TB 0.1 dan

hasil dari wawancara dengan pemegang program TB bahwasanya sebagian

besar jenis PMO bagi pasien TB Paru BTA (+) berasal dari keluarga untuk

Puskesmas Kampung Sawah dan sebagian besar dari petugas kesehatan

untuk pasien yang berada di wilayah Puskesmas Ciputat.

10. Peran PMO

Keberhasilan pengobatan TB sangat ditentukan oleh adanya

keteraturan minum obat anti tuberkulosis (Sukana dkk., 2010). PMO

dalam program TB DOTS dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan

TB yang tercermin dari meningkatnya angka kesembuhan serta

menurunnya angka drop out. Adapun tugas seorang PMO adalah : (Nizar,

2010)

a. Mengawasi pasien tuberkulosis agar menelan obat secara teratur

sampai selesai masa pengobatannya

b. Memberikan dorongan kepada pasien agar mau berobat secara

teratur

c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telah ditentukan
34

d. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien

tuberkulosis yang mempunyai gejala tersangka TB agar

memeriksakan kepada petugas kesehatan terdekat

e. Membantu atau mendampingi pasien dalam pengambilan OAT di

pelayanan kesehatan

f. Membantu petugas kesehatan dalam rangka memantau

perkembangan penyakit tuberkulosis di desanya.

Dari beberapa penelitian menemukan bahwa karakteristik

penderita TB paru yang berhasil dalam menjalani pengobatan dan

dinyatakan sembuh salah satunya adanya pengaruh PMO. Seperti

penelitian yang dilakukan di Padang, bahwa peran PMO secara

baik mendapatkan keberhasilan pengobatan pada penderita sebesa

(87,5%) daripada PMO yang mendapatkan peran kurang baik

hanya berhasil pengobaan sebesar 66,7 % (Nurmadya dkk., 2015).

Penelitian yang sama terkait kinerja seorang PMO terhadap

kesembuhan pasien TB di Puskesmas Arcamanik Bandung

ditemukan bahwa sebanyak 23 pasien (100%) penderita TB Paru

yang sembuh mendapatkan kinerja dari seorang PMO secara baik

(Hayati and Elly Musa, 2016) .

11. Akses

Menurut Marzuki (2000) dalam Maesarah (2009) menyebutkan

bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian kesehatan

individu/masyarakat adalah faktor keterjangkauan sarana pelayanan


35

kesehatan. Selain itu, menurut dever (1984) salah satu faktor yang

mempengaruhi seseorang dalam menggunakan fasilitas kesehatan adalah :

a. Faktor sosiokultural yang terdiri dari : norma dan nilai sosial yang ada

di masyarakat, dan teknologi yang digunakan dalam pelayanan

kesehatan.

b. b. Faktor Organisasi yang terdiri dari : 1) ketersediaan sumber daya.

Yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan

kualitas, sangat mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan. 2)

keterjangkauan lokasi. Keterjangkauan lokasi berkaitan dengan

keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan tempat diukur

dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan. 3)

keterjangkauan sosial. Dalam hal ini adalah pasien memperhatikan

bagaimana sikap dari petugas kesehatan yang dapat memicu pasien

untuk lebih baik dalam pemafaatan pelayanan kesehatan.

Dari hasil penelitan yang dilakukan di Puskesmas Depok bahwa

penderita TB Paru yang patuh atau teratur dalam berobat lebih banyak

ditemukan dengan jarak pasien yang dekat saat ke Puskesmas sebesar

66,7% dibanding pasien yang mengatakan jarak jauh hanya 33,3%

(Felly, Philipus, 2002)

12. Motivasi Pasien

Menurut Notoatmodjo (2012) motif atau motivasi berasal dari kata

latin moreve yang berarti dorongan dari dalam diri manusia untuk

bertindak atau berperilaku. Menurut skinner (1938) dalam Notoadmojo


36

seorang ahli psikologi menyatakan bahwa perilaku merupakan respons

atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Salah satu

stimulus atau rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi perilaku

seseroang adalah dari Faktor lingkungan seperti halnya dukungan motivasi

dari lingkungan keluarganya. Dimana faktor lingkungan ini merupakan

faktor dominan yang dapat mempengaruhi perilaku.

Menurut Spencer bahwa perilaku yang baik didukung dari motivasi

yang tinggi, tanpa motivasi orang tidak akan dapat berbuat apa-apa dan

tidak akan bergerak. Motivasi merupakan tenaga penggerak, dengan

adanya motivasi manusia akan lebih cepat melakukan kegiatan, hal ini

penting dan dirasakan sebagai suatu kebutuhan. Motivasi juga merupakan

kunci keberhasilan, semakin tinggi motivasi seseorang maka semakin

patuh yang mana dalam hal ini adalah semakin patuh dalam pengobatan

TB yang berdampak pada seseorang tersebut menjadi sembuh. (Spencer,

Lyle M., 1993)

Dari penelitian menemukan bahwa sebagian besar responden yang

patuh dalam mengikuti program pengobatan TB tersebut memiliki

motivasi rendah (74,14%) dibanding motivasi tinggi (25,86%). Hal

tersebut dikarenakan sebagian pasien mengalami drop out, yang membuat

motivasi pasien untuk patuh dalam mengikuti program TB sebagian

besarnya juga rendah (Prasetya, 2009).

13. Motivasi Keluarga


37

Keluarga merupakan peran penting dalam penentuan keputusan

untuk mencari dan mematuhi anjuran pengobatan. Begitupula keluarga

juga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu seperti memberi dukungan dan

membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

(Neil, 2000)

Dukungan atau motivasi dari keluarga sangat mempengaruhi

pasien untuk taratur dalam berobat yang berdampak pada keberhasilan

pengobatan pasien. Yang mana untuk mengingatkan dan mendampingi

pasien selama berobat salah satunya dibutuhkan pengawasa menelan obat

(PMO) dari keluarga (Kemenkes RI, 2014b). Selain itu juga, keluarga juga

memberikan motivasi seperti dukungan moril maupu materi, memberikan

semangat dan pengertian kepada pasien agar pasien tetap teratur minum

OAT dan berobat ke pelayanan kesehatan (Amira, 2005).

Seperti halnya dari hasil penelitian yang dilakukan di Semarang,

bahwa sebagian besar responden yang teratur berobat adalah pasien yang

telah mendapat motivasi dari keluarganya tinggi sebanyak 16 pasien

(80%) dibanding pasien yang tidak teratur berobat hanya 4 pasien (20%)

mendapat motivasi dari keluaga rendah. (Fauziyah, 2010).

14. Motivasi Petugas Kesehatan

Dukungan dari petugas kesehatan memberikan dorongan kepada

pasien untuk teratur berobat agar pasien bisa sembuh. Petugas kesehatan

juga berhak memberikan motivasi dan dukungan kepada pasien TB seperti


38

menjadi PMO jika keluarga terdekat pasien tidak bisa menjadi seorang

PMO. Adapun peran petugas memberikan dukungan kepada pasien yaitu

untuk memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan

kepada pasien untuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping

OAT, serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada

petugas kesehatan. Selain itu, petugas kesehatan harus selalu melakukan

pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka

datang ke fasyankes untuk mengambil obat. (Kemenkes RI, 2014)

Dari hasil penelitian di ketahui bahwa sebagian besar pasien TB

yang patuh dalam berobat secara teratur mendapat motivasi cukup dari

petugas kesehatan sebanyak 20 orang (46,5%) dan tidak jauh dengan

pasien yang mendapat motivasi baik sebanyakk 19 orang (44,2%) daripada

pasien yang mendapat motivasi kurang hanya 4 paisen (9,3%) (Pandapotan

dkk., 2015).

2.3 Uji Statistik


Uji statisitik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan

analisis univariat. Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karaktersitik pada masing-masing variabel yang diteliti.

Selain itu, analisis univariat berguna untuk mengasumsi stastsitik lanjut atau

analisis lebih lanjut. Pada analisis univariat biasanya untuk data numerik nilai

statsitik yang dikeluarkan adalah nilai mean, median, standar deviasi,

minumum, maksimum dan lain-lain tergantung dari tujuan penelitian.


39

Dalam menggunakan mean dan median pada suatu data numerik, maka

diperlukan uji normalitas. Jika nilai Pvalue lebih dari 0,05 maka data tersebut

normal, sehingga yang digunakan adalah nilai mean. Dan sebaliknya jika

nilai Pvalue kurang dari 0,05 maka data tersebut tidak normal, maka yang

digunakan adalah nilai median. Adapun rumus dari mean dan median, antara

lain :

Mean = Jumlah datum (x1+ x2+ x3+ x4+ x5+ x6.........+xn)

Banyak datum (n)

𝑛+1
Median = x ( )
2

Sedangkan untuk data kategorik hanya menggunakan persentase atau

proporsi. Proporsi merupakan bentuk pecahan yang mana enumeratornya

merupakan bagian dari denumerator. Bentuk ini sering diinyatakan dalam

persen, yaitu mengalikannya (k) dengan 100%.(Sugiyono, 2010). Adapun

rumus dari proporsi antara lain :

𝑥
Proporsi = Xk
(𝑥+𝑦)

2.4 Kerangka teori


Kerangka teori dari penelitian ini merupakan hasil modifikasi dari

pedoman pengendalian Tuberkulosis tahun 2011, dari beberapa teori serta

mengambil dari beberapa hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan


40

karakteristik pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan. Berikut

merupakan bagan kerangka teori dari penelitian ini.

Faktor Perilaku

 Jenis PMO
 Peran PMO
 Motivasi
 Akses pasien ke Pelayanan Kesehatan

Tipe pasien : baru, kambuh,


gagal, putus berobat, pasien
Pasien TB MDR
Infeksi KumanTB TB Paru BTA (+)
yang Berhasil Kategori Pengobatan :
Pengobatan kateogori 1 dan kategori 2
10% Malnutrisi

Karakteristik Individu:
Umur, Jenis kelamin,
Pendidikan, Pekerjaan,
Pengetahuan, Status
ekonomi dan asal wilayah.

Gambar 3.1 Kerangka Teori

Sumber: (HL. Blum)(Notoadmojo,2012) (Kemenkes RI, 2011), (A. Faustini dkk

2005), (Dooely dkk., 2011) (Jumaelah, 2013)


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil


pengobatan

1.Karakteristik
individu 2.Kategori Pengobatan
- Umur -Kategori 1
3.Faktor perilaku
- Jenis Kelamin -Kategori 2
-Akses
- Pendidikan 3.Tipe Pasien TB
-Jenis PMO
- Pekerjaan -Baru
-Peran PMO
- Pengetahuan -Kambuh
- Gagal -Motivasi
-Status ekonomi
-Asal wilayah - Putus Berobat

Gambar 3.2 Kerangka Konsep

41
42

Dari kerangka konsep tersebut, ada beberapa variabel yang tercantum

dalam kerangka teori yang tidak termasuk dalam konsep penelitian ini, antara lain:

1. Pasien TB Paru BTA (+) berhasil pengobatan

Pada variabel ini bukan bagian dari variabel dependen penelitian,

melainkan bagian dari populasi dan sampel dari penelitian saya, yang

dilihat dari semua variabel yang ada di kerangka konsep seperti

karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

pengetahuan, status ekonomi) tipe pasien, kategori pengobatan, PMO,

peran PMO, akses dan motivasi sudah termasuk bagian pasien TB Paru

BTA (+) yang berhasil pengobatan, yang dilihat pada dua Puskesmas yaitu

Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat.

2. Malnutrisi

Malnutrisi pada pasien TB disebabkan oleh dua hal diantaranya

yaitu efek tuberkulosis terhadap status gizi dan efek malnutrisi terhadap

manifestasi klinis dari tuberkulosis sebagai akibat dari kelemahan sistem

imun. Pada kerangka teori bahwasanya dijelaskan yang menyebabkan TB

adalah karena adanya efek malnutrisi seperi status imun menurun dan

berat badan menurun yang menyebabkan seseorang sangat cepat untuk

tertular TB (Nasution, 2015). Pada variabel malnutrisi tidak diteliti, dilihat

dari kerangka teori bahwasanya malnutrisi tersebut mempengaruhi

seseorang untuk terjadinya TB, bukan mempengaruhi pasien yang berhasil

pengobatan TB.
43

Walaupun malnutrisi bisa dilihat dari efek pasien TB terhadap

status gizinya, namun berdasarkan dari laporan data TB.01 tidak diketahui

status gizi pasien atau tidak tercatat dalam laporan tersebut, dan yang

diketahui hanya berat badan pasien bukan status gizinya. Oleh karena itu,

variabel ini tidak diteliti dikarenakan dapat menyebabkan bias informasi.

3. Pasien TB MDR

Pasien TB MDR merupakan tipe pasien TB yang resisten terhadap

OAT dikarenakan sebagian besar pasien tersebut tidak tuntas dan teratur

dalam minum OAT pada pengobatan sebelumnya. Tipe pasien TB MDR

tidak dimasukkan dalam konsep variabel penelitian ini dikarenakan pada

laporan data TB 0.1 di Puskesmas Kampung Sawah dan ciputat tahun

2015 tidak ditemukan pasien yang mengalami MDR dan belum ada

pelayanan khusus untuk pasien TB MDR pada tahun 2015 dari kedua

puskesmas tersebut yaitu Puskesmas Ciputat dan kampung sawah.

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
1. Asal Domisili Telaah Kueioner 1.Kampung Nominal
wilayah wilayah pasien dokumen Sawah
TB paru BTA kartu 2. Ciputat
(+) yang pengobatan
berhasil pasien
pengobatan (TB.01)
44
Lanjutan tabel 3.1

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
2. Umur Umur pasien Telaah Kuesioner Umur dalam Rasio
TB paru pada dokumen tahun
saat mulai kartu
pengobatan TB pengobatan
sampai selesai pasien
dan dinyatakan (TB.01)
berhasil

3. Jenis Identitas dari Telaah Kuesioner 1.Laki-laki Nominal


kelamin responden yang dokumen 2.Perempuan
dilihat dari kartu
bentuk, sifat pengobatan
dan fungsi pasien
biologinya (TB.01)

4. Pendidikan lamanya Wawancara Kuesioner Pendidikan Rasio


pendidikan terstruktur dalam tahun
terakhir dari
responden

5. Pekerjaan Kegiatan yang Wawancara Kuesioner 1. Bekerja Ordinal


dilakukan terstruktur 2. Tidak bekerja
responden
untuk
menunjuang
kehidupannya

6. Pengetahuan Pemahaman Wawancara Kuesioner 1. Baik : Ordinal


umum pasien terstruktur ≥ 75%
45
Lanjutan tabel 3.1

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
terkait penyakit 2. Cukup : 56-
TB Paru dan 74%
tatalaksana 3. Kurang :
pengobatan <55%
TB (Arikunto,2006)

7. Tipe pasien Klasifikasi Telaah Kuesioner 1.Pasien baru Ordinal


TB pasien TB paru dokumen 2.Pasien
BTA (+) yang kartu kambuh
dilihat dari pengobatan 3.Pasien gagal
riwayat pasien 4.Pasien putus
pengobatan (TB.01) berobat
sebelumnya

8. Kategori lamanya Telaah Kuesioner 1. Kategori 1 Ordinal


pengobatan pengobatan dokumen 2. Kategori 2
yang harus kartu
dipatuhi pasien pengobatan
berdasarkan pasien
tipe pasien (TB.01)

9. Peran PMO Seseorang yang Wawancara Kuesioner 1. Ya, jika Ordinal


memberikan terstruktur responden
peranan penuh menjawab lebih
terhadap pasien dari sama
agar pasien dengan 6
teratur untuk pernyataan
berobat selama 2. Tidak, jika
46
Lanjutan tabel 3.1

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
masa responden
pengobatan TB menjawab
yang kurang dari 6
dijalankannya pernyataan

10. Jenis PMO Seseorang yang Telaah Kuesioner 1.Keluarga Nominal


telah dipercayai dokumen 2.Petugas
oleh pasien, kartu kesehatan
keluarga dan pengobatan
petugas pasien
kesehatan (TB.01) dan
untuk Wawancara
memberikan
dukungan
penuh selama
masa
pengobatan TB
sampai dengan
selesai

11 Akses ke Jarak dan Wawancara Kuesioner 1. lebih dari 60 Ordinal


pelayanan waktu yang terstruktur menit
kesehatan ditempuh oleh menggunakan
pasien ke kendaraan
pelayanan 2.30-60menit
kesehatan menggunakan
selama kendaraan
menjalani 3.kurang dari 30
pengobatan TB menit
47

Lanjutan tabel 3.1

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
dengan menggunakan
menggunakan kendaraan
kendaraan atau 4. kurang dari
tidak 30 menit jalan
menggunakan kaki (Fauziyah,
2010)

12. Motivasi Dorongan dari Wawancara Kuesioner Tinggi : Jika Ordinal


pasien dalam diri terstruktur Skor 28-35
pasien selama Sedang : Jika
pengobatan TB Skor 21-27
sehingga bisa Rendah : Jika
berhasil Skor 7-20
pengobatan (Azwar, 2007)

13. Motivasi Dorongan atau Wawancara Kuesioner Tinggi : Jika Ordinal


Keluarga dukungan dari terstruktur Skor 28-35
keluarga Sedang : Jika
selama Skor 21-27
menjalani Rendah : Jika
pengobatan TB Skor 7-20
yang bisa (Azwar, 2007)
membuat
pasien berhasil
pengobatan

14. Motivasi Dorongan atau Wawancara Kuesioner Tinggi : Jika Ordinal


Petugas dukungan dari terstruktur Skor 28-35
Keseatan petugas Sedang : Jika
48
Lanjutan tabel 3.1

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
kesehatan Skor 21-27
selama Rendah : Jika
menjalani Skor 7-20
pengobatan TB (Azwar 2007)
yang bisa
membuat
pasien berhasil
pengobatan

15. Status Penghasilan Wawancara Kuesioner a.≥1.500.000 Ordinal


ekonomi ataupun terstruktur b.<1.500.000
pengeluaran
yang diperoleh
responden
selama sebulan
untuk
menunjang
kehidupannya
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain

Case series. Penelitian desain Case series ini bertujuan melihat bagaimana

distribusi proporsi gambaran keberhasilan pengobatan pasien TB Paru BTA (+) di

Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun 2015 yang dilihat dari

variabel karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

pengetahuan, status ekonomi) tipe pasien, kategori pengobatan, jenis PMO, peran

PMO, distribusi peran PMO, akses, motivasi dan distribusi motivasi.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah

dan Puskesmas Ciputat, Kota Tangerang Selatan pada bulan April-Juni 2017.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA

(+) di Kecamatan Ciputat, populasi sumber dalam peneltian ini

diantaranya pasien TB paru BTA (+) yang berhasil pengobatan (sembuh

dan pengobatan lengkap) di Puskesmas kampung Sawah sebanyak 62

pasien dan Puskesmas Ciputat sebanyak 33 pasien. Kemudian sampel

eligible dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA (+) yang berhasil

pengobatan (sembuh dan pengobatan lengkap) yang memenuhi kriteria

49
50

inklusi dan eksklusi, serta responden yang menjadi sampel dalam

penelitian ini sebanyak 95 responden yang telah memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi.

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA

(+) yang berhasil pengobatan yang terdaftar pada laporan TB.01, dengan

umur >15 tahun, pasien yang bersedia menjadi responden penelitian.

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien yang pindah dari

alamat rumah sebelumnya.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru BTA

(+) yang berhasil pengobatan yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas

Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi. Untuk mengetahui besar sampel minimal yang dibutuhkan

dalam penelitian ini menggunakan rumus :

n= [ Z21-α/2 x P (1-P) ]

d2
Keterangan : n= Jumlah Sampel

Z1-α/2 = Derajat kepercayaan 90% (1,64)

P = Proporsi pasien yang berhasil pengobatan

d = Presisi mutlak sebesar 10%


51

Dari rumus diatas, bahwa nilai P didapatkan dari proporsi

penelitian sebelumnya yang dilihat dari beberapa variabel. Hasil

perhitungan besar minimal sampel adalah :

Tabel 4.1 Besar sampel minimal

No Variabel Peneliti p N

1. Umur (Ruditya, 2015) 0,792 45

2.. Jenis Kelamin (A. Nakanwagi- 0,37 64

Mukway et al., 2013)

3. Pendidikan (Natalia dkk., 2012) 0,684 59

4. Pekerjaan (Imelda Atika et al., 0,6551 62

2015)

5. Pengetahuan (Kholifah, 2009) 0,631 63

6. Status ekonomi (Kholifah, 2009) 0,947 14

7. Tipe pasien (Faustini A. dkk., 0,735 53

2005)

8. Kategori (Dooely et al., 2011) 0,93 18

pengobatan

9. Akses (Fauziyah, 2010) 0,90 25

10. Jenis PMO (Jufrizal dkk., 2016) 0,86 33

11. Peran PMO (Firdaus, 2012) 0,56 67

12. Motivasi pasien (Prasetya, 2009) 0,7441 52

13. Motivasi (Fauziyah, 2010) 0,80 44

keluarga
52

14. Motivasi (Pandapotan dkk., 0,465 68

petugas 2015)

kesehatan

Berdasarka hasil perhitungan besar minimal sampel, maka sampel

minimal dari penelitian ini yaitu 68 sampel. Pada Wilayah Kecamatan

Ciputat, keberhasilan pengobatan paling tinggi ditemukan di Puskesmas

Kampung Sawah sebanyak 62 pasien yang tercatat di formulir TB.01.

Dikarenakan keberhasilan pengobatan pasien TB paru BTA (+) di

Puskesmas Kampung Sawah tidak memenuhi sampel minimal penelitian,

maka ditambah dari puskesmas lain yang memiliki karaktersitik pasien TB

yang sama dan berdekatan wilayahnya dengan Kampung Sawah, yaitu

Puskesmas Ciputat. Pada Puskesmas Ciputat pasien TB Paru BTA (+)

yang berhasil pengobatan yang tercatat di formulir TB.01 sebanyak 33

pasien.

Dari perhitungan sampel minimal tersebut, maka teknik sampel

yang akan digunakan untuk memenuhi sampel minimal tersebut adalah

menggunakan total sampling dari keseluruhan populasi pasien TB Paru

BTA (+) yang berhasil pengobatan pada puskesmas kampung sawah dan

puskesmas ciputat yaitu sebesar 95 responden.

Pada pelaksanaannya dilapangan dari kedua Puskesmas, bahwa

sampel yang ditemukan melebihi dari sampel minimal penelitian yaitu

sebanyak 75 responden. Di Puskesmas Kampung Sawah ditemukan

sebanyak 51 responden. Sedangkan di Puskesmas Ciputat ditemukan


53

sebanyak 24 responden. Dari beberapa responden yang tidak ditemukan

tersebut, dikarenakan responden tidak memenuhi kriteria inklusi seperti

pasien meninggal saat akan dilakukan wawancara, pasien pindah dari

alamat rumah sebelumnya, pasien bekerja diluar kota, pasien bukan

domisili wilayah kerja dari dua puskesmas.

4.4 Metode dan Instrumen Penelitian


Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan telaah

dokumen dan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner kepada

responden. Sebelum digunakan untuk pengumpulan data, kuesioner tersebut

terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan realibilitas pada variabel

pengetahuan, peran PMO dan motivasi. Berikut merupakan metode dan

instrumen yang digunakan pada penelitian ini, antara lain :

1. Umur

Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01,

dengan melihat umur pasien TB paru BTA (+) yang dinyatakan berhasil

pengobatan. Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis

univariat untuk melihat rata-rata umur pasien TB Paru BTA (+) yang

berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat tahun 2015.

2. Jenis kelamin

Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01.

Dalam menganalisis atau mengkode data, jenis kelamin laki-laki

dikategorikan dengan angka satu dan perempuan dikategorikan dengan


54

angka dua, untuk mempermudah peneliti dalam analisis data. Analisis

yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat, untuk

mengetahui proporsi jenis kalamin pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil

pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun

2015.

3. Pendidikan

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan

wawancara kepada responden terkait lama waktu pendidikan yang

ditempuh pasien sampai pada saat pasien dinyatakan berhasil pengobatan

TB. Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat

untuk mengetahui rata-rata lamanya pendidikan pasien TB Paru BTA (+)

yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat tahun 2015

4. Pekerjaan

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan

wawancara kepada responden terkait pekerjaan yang dilakukan pasien

yang dikategorikan sebagai bekerja (wiraswasta atau pelayan jasa, buruh,

pegawai swasta dan PNS), sedangkan tidak bekerja (ibu rumah tangga dan

siswa/mahasiswa). Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah

analisis univariat untuk mengetahui proporsi pekerjaan pasien TB Paru

BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan

Puskesmas Ciputat tahun 2015.

5. Pengetahuan
55

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan

wawancara kepada responden terkait pengetahuan responden pada saat

menjalani pengobatan TB yang berdampak pada pasien bisa berhasil

pengobatan. Kuesioner ini dimodifikasi dari penelitian sebelumnya terkait

faktor yang berhubungan dengan kesembuhan pasien TB paru yang

dilakukan di Semarang oleh (Kholifah, 2009). Variabel Pengetahuan

dibuat sebanyak 12 item pertanyaan (A1-A12). Variabel ini dikategorikan

menjadi pengetahuan baik, cukup, kurang.

Pengetahuan baik (≥ 75%), jika pasien menjawab benar sebanyak

10-12 pertanyaan, pengetahuan cukup (56-74%) jika pasien menjawab

benar sebanyak 7-9 pertanyaan, sedangkan pengetahuan kurang (<55%)

jika pasien menjawab benar kurang dari sama dengan 6 pertanyaan.

Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat, untuk

mengetahui proporsi pengetahuan pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil

pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun

2015.

6. Kategori pengobatan

Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01

yang dikategorikan menjadi kategori satu pada pasien baru yang menjalani

pengobatan selama 6 bulan, dan kategori dua diberikan pengobatan selama

8 bulan pada pasien gagal pengobatan, kambuh, dan dropout. Analisis

yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat untuk

mengetahui proporsi kategori pengobatan pasien TB Paru BTA (+) yang


56

berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat tahun 2015.

7. Tipe pasien

Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01

yang dikategorikan menjadi tipe pasien baru, gagal pengobatan, kambuh,

dan dropout. Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis

univariat, untuk mengetahui proporsi tipe pasien TB Paru BTA (+) yang

berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat tahun 2015.

8. Status ekonomi

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan

wawancara kepada responden terkait penghasilan atau pengeluaran yang

diperoleh responden salam satu bulan. Variabel ini tidak berdistribusi

normal, sehingga yang digunakan adalah median penghasilan pasien di

Puskesmas Kampung Sawah dan Ciputat, (Rp ≥ 1.500.000,00). Analisis

yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat untuk

mengetahui proporsi status ekonomi pasien TB Paru BTA (+) yang

berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat tahun 2015.

9. Akses

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan

wawancara kepada responden terkait jarak dan waktu tempuh dari rumah

pasien ke Puskesmas Kampung Sawah dan ciputat, yang dikategorikan


57

menjadi 1) lebih dari 60 menit menggunakan kendaraan, 2) 30-60menit

menggunakan kendaraan, 3) kurang dari 30 menit menggunakan

kendaraan, 4) kurang dari 30 menit jalan kaki. Analisis yang digunakan

pada variabel ini adalah analisis univariat untuk mengetahui proporsi akses

pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas

Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun 2015.

10. Jenis PMO

Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01,

maupun metode wawancara untuk responden yang tidak tertulis PMO nya

di Formulir TB.01. Dalam menganalisis atau mengkode data, keluarga

sebagai PMO dikategorikan dengan angka satu dan petugas kesehatan

sebagai PMO dikategorikan dengan angka dua, untuk mempermudah

peneliti dalam analisis data. Analisis yang digunakan pada variabel ini

adalah analisis univariat untuk mengetahui proporsi jenis PMO pasien TB

Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah

dan Puskesmas Ciputat tahun 2015.

11. Peran PMO

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan

wawancara kepada responden terkait peran PMO yang diambil dari

pedoman program pengendalian TB dan dimodifikasi dari buku

pemberantasan dan penanggulangan TB (Nizar, 2010) yang berisi

pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan (B1-B10). Kategori yang digunakan

adalah 1) Ya, jika responden menjawab lebih dari sama dengan enam
58

pertanyaan, 2) Tidak, jika responden menjawab kurang dari dengan enam

pertanyaan. Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis

univariat untuk mengetahui proporsi peran PMO pasien TB Paru BTA (+)

yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat tahun 2015.

12. Motivasi

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan

wawancara kepada responden terkait motivasi yang diperoleh pasien

sehingga bisa berhasil pengobatan. Motivasi tersebut dibagi menjadi

motivasi pasien, motivasi dari keluarga maupun motivasi dari petugas

kesehatan sebanyak 21 item pernyataan (C1-C21), yang dimodifikasi dari

penelitian sebelumnya. Kuesioner ini dimodifikasi dari penelitian

sebelumnya terkait faktor yang berhubungan dengan kesembuhan pasien

TB paru yang dilakukan di Semarang oleh (Kholifah, 2009) dan dari

penelitian yang dilakukan oleh (Trisnawati, Ovaria 2014).

Pengukuran variabel motivasi menggunakan rumus telah baku

pada lima item skala likerd (sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju

dan sangat tidak setuju) yang dikategorikan menjadi tinggi, sedang dan

rendah. Adapun rumus dari kategori motivasi pada 5 item skala likerd

tersebut antara lain : (Azwar, 2007)

a. Tinggi : ≥ (µ+1,0 (σ))

b. Sedang : (µ-1,0 (σ)) ≤ X < (µ+1,0 (σ))

c. Rendah : < (µ-1,0 (σ))


59

Keterangan : µ (mean) dan σ (standard deviasi)

Adapun Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis

univariat untuk mengetahui proporsi motivasi pasien, keluarga, dan

petugas kesehatan pada pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan

di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun 2015.

4.5 Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer pada penelitian ini diperoleh langsung dari responden

dengan wawancara menggunakan kuesioner untuk variabel independen

seperti karakteristik individu (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, status

ekonomi), akses, jenis PMO, peran PMO dan motivasi.

2. Data Sekunder

Data sekunder dilakukan dengan cara telaah dokumen pada

formulir kartu pengobatan paisen TB (TB.01), di Puskesmas Kampung

Sawah dan Puskesmas Ciputat untuk memperoleh informasi terkait jumlah

pasien TB paru BTA (+) yang berhasil dalam pengobatan (sembuh dan

pengobatan lengkap), nama, alamat, umur pasien, jenis kelamin, kategori

pengobatan, tipe pasien, dan jenis PMO.

4.6 Pengolahan Data


Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan SPSS VERSI

16.00 dengan tahap berikut :

1. Pemeriksaan data (Editing)


60

Melakukan pemeriksaan kelengkapan data dari pertanyaan

kuesioner yang telah dikumpulkan, maupun kelengkapan data dari

responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

2. Pemberian kode (Coding)

Pemberian kode dilakukan pada saat membuat kuesioner untuk

masing-masing pertanyaan sesuai dengan tujuan pengumpulan data,

agar mempermudah dalam melakukan pengolahan data.

Tabel 4.2 Pengkodean data

No. Variabel Kode


1. Identitas Responden IR
2. Pengetahuan A
3. Peran PMO B
4. Motivasi C
3. Pemasukan data ( Data entry)

Melakukan entry data pada setiap pertanyaan sesuai dengan kode

yang telah dibuat pada software Epidata atau SPSS.

4. Pembersihan data ( Data cleaning)

Untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan pada data, baik

dalam pengkodean maupun membaca kode, dan melengkapi data yang

tidak lengkap. Pembersihan data dilakukan sebelum melakukan

analisis data.

4.7 Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini adalah univariat, yang bertujuan

untuk melihat distribusi proporsi pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil

pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Ciputat yang dilihat melalui


61

variabel dengan skala ordinal dan nominal (jenis kelamin, pekerjaan,

pengetahuan, status ekonomi, tipe pasien TB, kategori pengobatan, akses,

jenis PMO, peran PMO, distribusi peran PMO, motivasi dan distribusi

motivasi).

Pada variabel dengan skala rasio seperti umur dan pendidikan akan

digunakan nilai mean, median, max-min dan SD. Pada variabel umur setelah

dilakukan analisis distribusi normalitas, dengan hasil data berdistribusi

normal maka yang digunakan nilai mean, sedangkan pada pendidikan data

tidak berdistribusi normal, maka interpretasi yang digunakan nilai median.

Sedangkan pada variabel kategorik dengan skala ordinal mapun nominal

maka analisis yang digunakan akan distrbusi frekuensi (%).

4.8 Validitas
Validitas merupakan indeks yang digunakan untuk menunjukkan alat

ukur yang dapat mengkur objek secara tepat. Adapun pengujian validitas ini

dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun tidak valid.

Item kuesioner yang tidak valid, tidak dapat digunakan untuk pengukuran dan

pengujian. Item pertanyaan dikatakan valid jika nilai r dari hasil perhitungan

lebih besar dari nilai r tabel, dan begitu juga sebaliknya untuk pertanyaan

yang tiak valid (Hastono, 2016). Instrumen kuesioner pada penelitian ini

dimodifikasi dari penelitian terdahulu, sehingga diperlukan uji validitas dari

setiap item pertanyaan dari variabel pengetahuan, peran PMO dan Motivasi.

Uji validitas ini dilakukan pada 17 pasien yang berhasil pengobatan di

Wilayah Puskesemas Pisangan. Untuk melihat nilai r tabel menggunakan df


62

(N-2), sehingga nilai df dari 17 responden adalah 15 dengan nilai r tabelnya

adalah 0,482. Dari hasil yang diperoleh, bahwa kuesioner pengetahuan dari

15 item pertanyaan ada 3 item pertanyaan yang tidak valid dengan nilai r hasil

perhitungan statsistiknya nya (<0,482). Pada variabel peran PMO dari 10 item

pertanyaan ada 1 pertanyaan yang tidak valid (0,406).

Pada variabel motivasi yang dibagi menjadi motivasi pasien, motivasi

keluarga dan motivasi petugas kesehatan. Yang mana motivasi pasien dari 7

item pertanyaan, ada 1 item pertanyaan yang tidak valid, dan pada variabel

motivasi keluarga dari 7 item pertanyaan semuanya valid, sama halnya

dengan variabel motivasi petugas kesehatan semua item pertanyaannya valid

dengan nilai r hasil (> 0,482). Oleh karena itu, dari item pertanyaan yang

tidak valid pada kuesioner pengetahuan dihapus, dan pada kuesioner motivasi

dan peran PMO diganti dengan pernyataan yang baru.

4.9 Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Reliabilitas ini biasanya dilakukan

untuk melihat apakah pengukuran tersebut dapat terlihat konsisten bila

dilakukan berulang kali dengan menggunakan kuesioner yang sama. Suatu

kuesioner dikatakan reliabel jika mempunyai nilai Cronbach’s Alpha lebih

besar dari Cronbach’s Alpha Table (Hastono, 2016). Dalam hal ini semua

item pertanyaan kuesioner dari variabel pengetahuan (0,856), peran PMO

(0,892), Motivasi pasien (0,762), Motivasi keluarga (0,841), motivasi petugas

kesehatan (0,860) sudah reliabel


BAB V

HASIL

5.1 Gambaran Umum Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat


Puskesmas Kampung Sawah berada di kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang Selatan, provinsi Banten. Mempunyai luas wilayah sebesar 261

ha dengan jumlah penduduk 27.943 jiwa. Berdasarkan distribusi jumlah

penduduk menurut jenis kelamin yaitu lebih banyak laki-laki dibandingkan

perempuan. Dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 14.174 jiwa dan

perempuan hanya 13.769 jiwa. Untuk batas wilayah kerja Puskesmas

Kampung Sawah antara lain : (PKM Kampung Sawah, 2016)

Sebelah utara : Pondok Jaya

Sebelah selatan : Serua Indah / Kedaung

Sebelah barat : Sawah Baru

Sebelah Timur : Pondok Ranji / Cempaka Putih

Sebelah Timur : Wilayah kerja Puskesmas Ciputat timur

Puskesmas Ciputat terletak kurang lebih dari 6 km sebelah Utara,

Kota Tangerang Selatan yang terdiri dari 2 kelurahan yaitu kelurahan

ciputat dan kelurahan cipayung. Adapun luas wilayahnya sekitar 13.311 H.

Puskesmas Ciputat salah satu dari 3 Puskesmas yang berada di wilayah

kecamatan ciputat. Letaknya berhubungan dengan :

63
64

Sebelah utara : Wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah

Sebelah selatan : Wilayah kerja puskesmas pamulang

Sebelah barat : Wilayah kerja puskesmas benda baru

Sebelah Timur : Wilayah kerja Puskesmas Ciputat timur

Berikut merupakan peta atau maps dari puskesmas Kampung Sawah ke

Puskesmas Ciputat

: Puskesmas
65

5.2 Analisis Univariat


Analisis univariat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui rata-rata

pada variabel numerik seperti umur, pendidikan dan status ekonomi. Sementara

itu pada variabel kategorik untuk melihat distribusi proporsi pasien TB Paru

BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan

Puskesmas Ciputat yang dilihat dari karakteristk individu (jenis kelamin,

pekerjaan, pengetahuan, status ekonomi) tipe pasien, kategori pengobatan dan

faktor perilaku (jenis PMO, peran PMO, distribusi peran PMO Akses, Motivasi

pasien, Motivasi petugas kesehatan dan Motivasi keluarga dan disrtibusi

Motivasi pasien, keluarga dan petugas kesehatan).

5.2.1 Gambaran Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil berdasarkan Wilayah
Berikut merupakan gambaran pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan

yang berhasil pengobatan berdasarkan tempat wilayah, dapat dilihat pada gambar

5.1

32%

Kampung Sawah
Ciputat
68%

Gambar 5.1 Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang Berhasil
berdasarkan Wilayah
66

Berdasarkan gambar 5.1 diketahui bahwa pasien TB paru BTA (+)

yang berhasil pengobatan yang ditemukan di Puskesmas Kampung Sawah

sebesar 68%, sedangkan di Puskesmas Ciputat sebesar 32%.

5.2.2 Gambaran Karakeristik Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan


yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Distribusi proporsi karakteristik individu pasien TB Paru BTA (+) dengan

pengobatan yang berhasil di Puskesmas Kampung Sawah yang dapat dilihat pada

tabel 5.1 dibawah ini.

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Individu Pasien dengan Pengobatan yang


Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015

Karakteristik Individu Pasien TB paru


BTA (+) yang berhasil Pengobatan
(N=75)
N %
Umur
Mean ± SD 40,68 ± 13,418
Min - Maks 17 – 65 tahun
Remaja 12 16,0
Dewasa 37 49,3
Lansia 26 34,7
Pendidikan
Median ± SD 6,0 ± 4,434
Min - Maks 0 – 12 tahun
Tidak Sekolah 27 36,00
SD 12 16,00
SMP 19 25,3
67
Lanjutan tabel 5.1

Karakteristik Individu Pasien TB paru


BTA (+) yang berhasil Pengobatan
(N=75)
N %
SMA 17 22,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 45 60,0
Perempuan 30 40,0
Pekerjaan
Bekerja 43 57,3
Tidak bekerja 32 42,7
Pengetahuan
Baik 40 53,3
Cukup 26 34,7
Kurang 9 12,0
Status ekonomi
Median ± SD 1.500,000 ± 681,901
Min – Maks 500.000-2.850,000
≥ 1.500,000 45 60,0
<1.500,000 30 40,0
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian besar pasien

dengan pengobatan yang berhasil adalah pasien laki-laki (60,0%), dengan

rata-rata umur sebagian besar produktif sebesar (49,3%) dan sebagian

besar juga tidak sekolah (36%). Berdasarkan karakteristik pekerjaan

sebagian besar pasien yang berhasil pengobatan adalah bekerja dengan

proporsi (57,3%) dengan penghasilan responden sebagian besar memiliki

penghasilan lebih dari sama dengan Rp1.500.000,00 sebesar (60,0%).

Sedangkan berdasarkan pengetahuan sebagian besar pasien menjawab


68

benar ≥ 75% pertanyaan, sehingga mereka memiliki pengetahuan baik

(53,3%).

5.2.3 Gambaran Tipe Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut merupakan gambaran tipe pasien TB Paru BTA (+) dengan

pengobatan yang berhasil pengobatan dapat dilihat pada gambar 5.2

2%

Baru
Kambuh

98%

Gambar 5.2 Tipe Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Berdasarkan gambar 5.2 diketahui bahwa tipe pasien TB paru BTA (+)

yang berhasil pengobatan lebih banyak ditemukan pada pasien tipe baru sebesar

98% dibandingkan pasien kambuh hanya 2%

5.2.4 Gambaran Kategori Pengobatan Pasien TB Paru BTA (+) dengan


Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut merupakan gambaran kategori pengobatan pasien TB Paru BTA

(+) dengan pengobatan yang berhasil pengobatan dapat dilihat pada gambar 5.3
69

2%

Kategori 1
Kategori 2

98%

Gambar 5.3 Kategori Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Berdasarkan gambar 5.3 diketahui bahwa kategori pengobatan pasien TB

paru BTA (+) yang berhasil pengobatan lebih banyak ditemukan pada pasien

kategori satu sebesar 98% dan kategori dua hanya 2%

5.2.5 Gambaran Faktor Perilaku Pasien TB Paru BTA (+) dengan


Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Gambaran faktor perilaku pasien TB paru BTA (+) yang berhasil

pengobatan dibagi menjadi jenis PMO, Peran PMO, Akses dan Motivasi yang

dapat dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini.

5.2.5.1 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut merupakan gambaran jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan

Pengobatan yang Berhasil yang dapat dilihat pada tabel 5.2


70

Tabel 5.2 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015

Jenis PMO Pasien TB paru BTA (+)


yang berhasil Pengobatan
n %
Keluarga 46 61,3
Petugas Kesehatan 29 38,7
Total 75 100
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa sebagian besar PMO

pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil berasal dari

keluarga (61,3%) dibandingkan petugas kesehatan hanya (38,7%).

5.2.5.2 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut merupakan gambaran peran PMO Pasien TB Paru BTA (+)

dengan Pengobatan yang Berhasil yang dapat dilihat pada tabel 5.3

Tabel 5.3 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015

Peran PMO Pasien TB paru BTA (+)


yang berhasil Pengobatan
n %
Ya 72 96,0
Tidak 3 4,0
Total 75 100
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa sebagian besar pasien TB

paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil di Puskesmas Kampung

Sawah dan Puskesmas Ciputat telah mengaku mendapatkan peran PMO

(96,0%) dan hanya (4,0%) mengaku tidak mendapatkan peran PMO.


71

5.2.5.3 Distribusi Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut distirbusi peran PMO pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan

yang berhasil di Kecamatan Ciputat, dapat dilihat pada Gambar 5.4

120

100 96
90,7 92 90,7 89,3
84 86,7 84
82,7
80
Persentase (%)

61,3
60
Ya
38,7 Tidak
40

16 17,3 16
20 13,3 10,7
9,3 8 9,3
4
0
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10
Distribusi peran PMO

Gambar 5.4 Distribusi Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berdasarkan gambar 5.4 diketahui bahwa sebagian besar pasien TB Paru

BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas

Ciputat telah mendapatkan peran PMO terkait informasi tata cara pengobatan

secara lengkap (B10), dengan persentese (96%). Sedangkan yang mendapatkan

distirbusi peran terendah dari PMO pada masing-masing puskesmas yaitu terkait

PMO memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala suspek TB untuk segera memeriksakan diri ke puskesmas

terdekat (B4), dengan persentase (61,3%).


72

5.2.5.4 Gambaran Akses Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Gambaran akses pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil

ke pelayanan kesehatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat

dapat dilihat pada tabel 5.4 dibawah ini

Tabel 5.4 Gambaran Akses Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan CiputatTahun 2015

Akses Pasien TB paru


BTA (+) yang berhasil
Pengobatan
n %
30-60 menit menggunakan 30 40,0
kendaraan
<30 menit menggunakan kendaraan 34 45,3
<30 menit jalan kaki 11 14,7
Total 75 100

Dari tabel 5.4 diketahui bahwa sebagian besar akses dari rumah

pasien ke pelayanan kesehatan saat menjalani pengobatan adalah

menempuh waktu < 30 menit ke puskesmas sebesar 45,3%, diikuti dengan

30-60 menit sebesar 40,0% dan yang berjalan kaki sebesar 14,7%.

5.2.5.5 Gambaran Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan


Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Gambaran motivasi pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang

berhasil yang dibagi menjadi motivasi dari pasien, keluarga dan petugas kesehatan

dapat dilihat pada gambar dibawah ini


73

16%

Tinggi

45% Sedang
Rendah

39%

Gambar 5.5 Motivasi Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Berdasarkan gambar 5.5 diketahui bahwa sebagian besar motivasi pasien

dengan pengobatan yang berhasil yang memiliki motivasi tinggi sebesar 45%,

diikuti motivasi sedang sebesar 16% dan rendah sebesar 39%.

13%

Tinggi
Sedang
51% Rendah
36%

Gambar 5.6 Motivasi dari Keluarga Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
74

Berdasarkan gambar 5.6 diketahui bahwa sebagian besar pasien dengan

pengobatan yang berhasil mendapatkan motivasi tinggi dari keluarga sebesar

51%, diikuti motivasi sedang sebesar 36% dan rendah sebesar 13%.

11%

Tinggi
46% Sedang
Rendah

43%

Gambar 5.7 Motivasi dari Petugas Kesehatan Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+)
dengan Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Berdasarkan gambar 5.7 diketahui bahwa sebagian besar pasien dengan

pengobatan yang berhasil mendapatkan motivasi tinggi dari keluarga sebesar

46%, diikuti motivasi sedang sebesar 43% dan rendah sebesar 11%.

5.2.5.6 Distribusi Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut distribusi motivasi pasien keberhasilan pengobatan pada pasien

Tuberkulosis Paru BTA (+) di Puskesmas Kampung Sawah yang dapat dilihat

pada tabel 5.5


75

Tabel 5.5 Distribusi Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat Tahun 2015

No Pernyataan Setuju Ragu- Tidak


ragu setuju
n % n % N %
Motivasi pasien
C3. Selama pengobatan teratur 44 58,7 16 21,3 15 2,0
untuk kontrol dan
mengambil OAT
kepuskesmas walaupun
sedang demam
C4. Selama pengobatan tetap 27 36,0 21,0 28,0 27 36,0
mengambil OAT dan kontrol
ke puskesmas menggunakan
kendaraan umum,
dikarenakan tidak punya
kendaraan sendiri.
C5. Selama pengobatan 56 74,7 19 25,3 - -
berusaha, berdoa dan pasrah
untuk selalu bersyukur
kepada Tuhan
C6. Pengobatan TB paru 3 4,0 12 16,0 60 80,0
membosankan karena
membutuhkan waktu yang
lama
C7. Efek samping dari OAT TB 13 17,3 26 34,7 36 48,0
(mual, menggigil, muntah
dll) dapat mengganggu
aktifitas sehari-hari saya.
Motivasi Keluarga
C8. Selalu diingatkan oleh 62 82,7 10 13,3 3 4,0
76
Lanjutan tabel 5.5

No Pernyataan Setuju Ragu- Tidak


ragu setuju
n % n % N %
keluarga untuk minum OAT
secara teratur dan
mengambil kembali ke
puskesmas jika sudah habis
C9. Keluarga sering menemani 56 74,7 15 20,0 4 5,3
saat kontrol ke puskesmas
C10. Dukungan keluarga terhadap 72 96,0 3 4,0 - -
pengobatan pasien sangat
besar
C11. Kesembuhan pasien sangat 66 88,0 9 12,0 - -
diharapkan oleh keluarga
C12. Selama pengobatan keluarga 44 58,7 19 25,3 12 16,0
menginformasikan tentang
manfaat dan risiko jika tidak
patuh minum OAT
C13. Kelurga acuh terhadap 11 14,7 10 13,3 54 72,0
pengobatan TB yang saya
jalani
C14. Keluarga tidak perduli 13 17,3 12 16,0 50 66,7
apakah saya sudah minum
OAT atau belum
Motivasi petugas
kesehatan
C15. Petugas dalam melayani 57 76,0 18 24,0
pasien selama pengobatan
cukup baik
C16. Petugas selalu bertindak 52 69,3 23 30,7 - -
tegas kepada saya jika tidak
77

Lanjutan tabel 5.5

No Pernyataan Setuju Ragu- Tidak


ragu setuju
n % n % N %
mengikuti arahannya
C17. Petugas sering memberikan 46 61,3 23 30,7 6 8,0
penjelasan tentang apa saja
yang harus dilakukan selama
menjalani pengobatan agar
cepat sembuh seperti
dilarang merokok, makanan
bergizi, dll
C18. Petugas sering 45 60,0 19 25,3 11 14,7
menyampaikan untuk
megambil OAT dan
memeriksakan dahak
kembali selama menjalani
pengobatan
C19. Petugas jarang 8 10,7 28 37,3 39 52,0
menyampaikan penjelasan
seperti efek samping obat,
hal-hal yang harus dihindari
selama menjalani
pengobatan
C20. Petugas memberi 3 4,0 20 26,7 52 69,3
kesempatan kepada saya
untuk menyampaikan
keluhan selama menjalani
pengobatan
C21. Petugas tidak pernah 7 9,3 16 21,3 52 69,3
menanyakan kemajuan
78

No Pernyataan Setuju Ragu- Tidak


ragu setuju
n % n % N %
penyakit dan keluhan yang
saya alami selama menjalani
pengobatan.
Dari tabel 5.5 diketahui bahwa sebagian besar pasien TB Paru BTA (+)

yang berhasil pengobatan telah mendapatkan motivasi tinggi dari diri pasien, yang

mana terlihat bahwa sebagian besar pasien menjawab setuju (58,7%) terkait

pernyataan selama pengobatan tetap kontrol ke puskesmas walaupun sedang

demam. Sedangkan berdasarkan motivasi keluarga sebagian besar pasien telah

mendapatkan motivasi tinggi yang mana dilihat dari pernyataan terkait keluarga

acuh terhadap pengobatan TB yang dijalani pasien sebagian besar menjawab tidak

setuju (72,0%) Untuk motivasi dari petugas kesehatan bahwa pasien yang berhasil

pengobatan sebagian besar mendapat motivasi tinggi, yang mana sebagian besar

menjawab tidak setuju (69,3%) terkait petugas tidak pernah menanyakan

kemajuan penyakit dan keluhan yang dialami pasien


BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Adapun beberapa keterbatasan penelitian ini antara lain :

1. Penelitian ini menggunakan data 2015 dengan sampel yang diambil adalah

dari keseluruhan jumlah pasien yang berhasil pengobatan TB di

Puskesmas Kampung Sawah dan ciputat sebesar 95 pasien. Namun dari 95

pasien yang berhasil pengobatan dari kedua puskesmas, hanya 75 pasien

yang ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar dari pasien

sudah pindah dari alamat sebelumnya karena urusan pekerjaan, sudah

meninggal, dan bukan termasuk bagian wilayah kerja dari Puskesmas

Kampung Sawah dan ciputat.

2. Pada variabel pengetahuan rentan bias informasi, dikarenakan yang ingin

diketahui adalah pengetahuan pasien saat menjalani pengobatan yang

membuat pasien tersebut menjadi berhasil pengobatan. Walaupun, sudah

diminimalisir oleh peneliti dengan mewawancarai atau memprobbing

pengetahuan pasien saat menjalani pengobatan.

3. Kuesioner dari penelitian ini dimodifikasi dari beberapa penelitian

terdahulu sehingga bukan kuesioner baku.

79
80

6.2 Gambaran Karaktristik Individu Pasien TB Paru BTA (+) dengan

Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat

Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini membutuhkan pengobatan yang

cukup lama, dibagi menjadi dua kategori pengobatan yaitu kategori satu dan

kategori dua. Kategori satu dilakukan pengobatan selama enam bulan bagi pasien

baru, sementara itu pasien dengan kategori dua merupakan pasien yang

sebelumnya sudah mendapatkan pengobatan tetapi tidak tuntas antara lain pasien

gagal pengobatan, putus berobat (dropout), dan kambuh, yang diberikan

pengobatan ulang kembali selama delapan bulan.

Pasien yang dikatakan berhasil pengobatan adalah pasien TB Paru yang

terkonfirmasi bakteriologis (BTA+) yang menyelesaikan pengobatan secara

lengkap dan sembuh dengan hasil akhir pemeriksaan ulang dahak pada akhir

pengobatan dan dua bulan sebelumnya menunjukkan hasil negatif. (Kemenkes RI,

2014). Berdasarkan hasil penelitian di Puskesmas Kampung Sawah pasien TB

Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan sebesar 68%, dan di Puskesmas Ciputat

sebesar 32%. Hal tersebut dikarenakan pada saat dilapangan masih ada pasien

yang tidak ditemukan karena tidak memenuhi kriteria inklusi seperti pasien

meninggal, pasien pindah dari alamat rumah sebelumnya, pasien bukan domisili

wilayah kerja puskesmas tersebut serta pasien bekerja diluar kota.

Berdasarkan kategori pengobatan dan tipe pasien didapatkan bahwa dari

laporan TB.01 sebagian besar pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan
81

adalah pasien tipe baru. Pasien tipe baru adalah pasien yang belum pernah

mengalami sakit TB Paru pada saat sebelumnya dan ditemukan satu pasien

kambuh. Pasien kambuh tersebut sebelumnya sudah menjalani pengobatan

kembali dan dinyatakan berhasil pengobatan pada tahun 2015. Jika sebagian besar

pasien adalah pasien dengan tipe baru, maka sebagian besar pasien tersebut

termasuk dalam kategori pengobatan satu. Kategori pengobatan satu diberikan

pada pasien baru TB Paru BTA (+) maupun pasien BTA (-).

Dilihat dari karakterstik umur, dari hasil penelitian diketahui bahwa

sebagian besar pasien yang berhasil pengobatan adalah pasien dengan umur

produktif. Dengan rata-rata umur 41 tahun, dengan umur yang paling muda adalah

17 tahun dan paling tua 65 tahun. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian

sebelumnya di wilayah kerja Puskesmas Tanah Kalikedinding, menyatakan bahwa

sebagian besar pasien patuh untuk melakukan pemeriksaan dahak adalah pasien

dengan umur produktif sebesar 79,2% dibandingkan pasien dengan umur lansia

hanya 20,8% (Ruditya, 2015). Jika pasien patuh untuk memeriksakan dahak

selama pengobatan, maka dapat diketahui hasil akhir dari pengobatannya. Sebab

pemeriksaan dahak selama pengobatan merupakan indikator pasien dikatakan

sembuh atau tidak sembuh (Kemenkes RI, 2014).

Dari hasil Riskesdas tahun 2013, kasus TB Paru paling banyak ditemukan

pada umur produktif (21-40 tahun) sebesar 61%. Umur produktif merupakan

umur seseorang berada pada tahap untuk bekerja menghasilkan sesuatu, baik

untuk diri sendiri maupun orang lain. Dan pada umur produktif mobilisasinya juga

cukup tinggi, yang membuat umur produktif tersebut lebih sering berinteraksi
82

dengan orang lain, sehingga berisiko untuk tertular kuman TB (Nurjana, 2015).

Selain itu, dari hasil observasi yang dilakukan pada formulir TB.01 bahwa

sebagian kasus TB Paru BTA (+) ditemukan pada umur produktif, sehingga

sebagian besar pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan adalah pasien

dengan umur produktif juga.

Sama halnya berdasarkan jenis kelamin, dari hasil penelitian diketahui

bahwa sebagian besar pasien yang berhasil pengobatan adalah pasien dengan jenis

kelamin laki-laki. Hal tersebut dikarenakan dari hasil laporan TB.01, bahwasanya

kejadian kasus TB Paru BTA (+) lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-

laki dibanding perempuan, sehingga keberhasilan pengobatan juga demikian,

bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak yang berhasil daripada perempuan.

Walaupun dalam pencarian pengobatan, perempuan cenderung lebih

banyak dibanding laki-laki, dikarenakan laki-laki akan mencari pengobatan jika

sudah mengalami sakit yang cukup parah. Namun, karena ada tuntutan dari

seorang laki-laki yang harus bekerja untuk menunjang kehidupan keluarganya.

Sehingga, laki-laki menjadi termotivasi untuk mencari pengobatan terhadap

penyakit yang dideritanya (Bastable, 2002). Seperti halnya pada suatu keadaan

laki-laki menderita penyakit TB, maka penderita tersebut berusaha untuk

melakukan pengobatan secara teratur dan bisa berhasil pengobatan.

Dilihat dari karakteristik pekerjaan bahwasanya sebagian besar pasien TB

Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan adalah bekerja. Sebagian besar pekerjaan

pasien pada masing-masing puskesmas adalah wirasawata, seperti memiliki usaha


83

sendiri dengan berdagang, tukang ojek, dan asisten rumah tangga. Proporsi pasien

bekerja paling banyak adalah sebagai wiraswata (46,7%), diikuti dengan tidak

bekerja yaitu (40%).

Dari hasil wawancara, sebagian besar pasien menyatakan pekerjaan

mereka bukan sebagai penghalang pasien untuk teratur dalam menelan obat setiap

harinya. Dikarenakan pasien tersebut mempunyai waktu luang untuk berobat

secara teratur maupun melakukan pemeriksaan dahak secara teratur ke Puskesmas

Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat, sehingga pasien bisa berhasil pengobatn

(sembuh dan pengobatan lengkap).

Selain dari karakteristik pekerjaan, berdasarkan tingkat status sosial

ekonomi bahwasanya sebagian besar pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil

pengobatan memiliki penghasilan lebih dari sama dengan Rp 1.500.00,00 per

bulannya. Penghasilan tersebut masih dibawah rata-rata UMR Tangerang Selatan

(Rp 3.000.000,00). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan

di Puskemas Tanah Kalikedinding menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang

memiliki penghasilan rendah lebih patuh untuk memeriksakan dahak selama

pengobatan (54,2%) (Ruditya, 2015).

Dari hasil wawancara, sebagian besar pasien menyatakan tidak merasakan

keberatan untuk menjalani pengobatan TB, dikarenakan pengobatan TB dari

program pemerintah sudah gratis tidak dibebankan biaya. Hanya saja diperlukan

biaya untuk pemeriksaan rontgen pada masa awal terdiagnosis penyakit TB,
84

sehingga pasien disarankan untuk melakukan rontgen sebagai penunjang hasil

dari pemeriksaan dahak saat pertama kali ke Puskesmas.

Menurut BPOM (2006) dalam Ruditya (2015) selain kondisi sosial

ekonomi, dukungan sosial seperti keluarga, petugas kesehatan merupakan hal

yang terpenting dapat mempengaruhi pasien untuk patuh dalam berobat. Setelah

dilakukan analisis lebih lanjut, walaupun penghasilan pasien yang berhasil

pengobatan di Kecamatan Ciputat dibawah rata-rata UMR yaitu lebih dari sama

dengan Rp 1.500.000,00. Akan tetapi pasien telah mendapatkan peran dari PMO

sebesar 95,6% serta mendapatkan motivasi tinggi dari keluarga (51,1%). Oleh

karena itu, walaupun status ekonomi yang didapatkan rendah, namun dikarenakan

adanya dukungan dari PMO maupun motivasi dari dalam diri sendiri dandari luar,

sehingga hal tersebutlah yang dapat mendukung pasien bisa berhasil pengobatan.

Selain tingkat ekonomi yang dibawah rata-rata UMR, berdasarkan tingkat

pendidikan, ditemukan bahwa rata-rata pendidikan pasien TB Paru BTA (+) yang

berhasil pengobatan adalah pasien telah menempuh pendidikan selama enam

tahun. Dan ternyata masih ada pasien TB paru BTA (+) yang berhasil pengobatan

yang tidak pernah menempuh pendidikan sebanyak (36%).

Dari hasil wawancara dengan pasien yang tidak pernah sekolah tersebut,

dikarenakan adanya tuntutan dari keluarga yang mana lingkungan sosial dan

kondisi ekonomi dari mereka yang menuntut mereka tidak sekolah. Walaupun

pendidikan pasien sebagian besar tidak sekolah, akan tetapi motivasi pasien untuk
85

sembuh juga tinggi, karena adanya dukungan dari keluarga dan petugas kesehatan

yang membuat pasien bisa berhasil pengobatan.

Selain dari faktor pendidikan, dilihat juga dari karaktersitik pengetahuan.

Menurut Notoadmojo bahwasanya pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” yang

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu, melalui

penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Yang mana dari pengetahuan

tersebut seseorang mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan kembali apa

yang diketahuinya dalam bentuk bukti jawaban baik lisan atau tulisan

(Notoadmojo, 2012).

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pengetahuan pasien TB Paru BTA

(+) yang berhasil pengobatan memiliki pengetahuan baik. Pasien yang memiliki

pengetahuan baik dapat mengubah sikapnya untuk patuh dalam pengobatan dan

bisa menyelesaikan pengobatannya, dibandingkan pasien yang memilki

pengetahuan rendah (Okanurak dkk., 2008).

Dari hasil observasi dan wawancara di kedua wilayah puskesmas. Pada

variabel pengetahuan dapat menjadi bias informasi. Dikarenakan pengetahuan

dalam hal ini adalah pengetahuan pasien saat menjalani pengobatan dan bisa

berhasil pengobatan pada tahun 2015, namun ditanyakan saat ini. Hal tersebut

yang membuat dari kedua puskesmas memiliki pengetahuan baik, dikarenakan

pada saat sebelumnya pasien sudah terpapar informasi terkait TB.

Setelah dilakukan analisis lebih lanjut untuk melihat distribusi proporsi

pengetahuan pasien terkait setelah menjalani pengobatan dan dinyatakan berhasil

pengobatan agar tidak tertular kembali, didapatkan bahwa sebagian besar pasien
86

TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Kecamatan Ciputat sudah

menjawab benar. Proporsi pasien yang menjawab benar sebanyak 64 pasien

(85,3%)

Selain itu, hanya dari beberapa pasien yang menjawab tidak benar (14,7%)

dan yang menjawab terkait menjaga kondisi fisik rumah agar terkena sinar cahaya

matahari tanpa harus menjaga kondisi fisik tubuh seperti mengkonsumsi makanan

yang bergizi sebanyak lima pasien. Sedangkan yang hanya menjawab dengan

menjaga kondisi fisik tubuh seperti mengkonsumsi makanan sehat tanpa menjaga

kondisi fisik rumah adalah enam pasien. Oleh karena itu, dapat disimpulkan

bahwa pasien telah mendapatkan pengetahuan dan pemahaman secara baik pada

saat menjalani pengobatan, agar pasien tersebut tidak dapat tertular kembali.

6.4 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan

Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015

Pada tahun 1995-an WHO telah mengembangkan strategi program

pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed

Treatment Short-course). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan

penyembuhan pasien. Prioritas diberikan pada pasien TB paru BTA (+) yang

menular sangat cepat.

Dalam peningkatan penyembuhan pasien dibutuhkan seorang PMO yang

telah dipercayai oleh pasien dan petugas kesehatan. Adapun orang yang berhak

menjadi seorang PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,

Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada

petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
87

guru, anggota PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

(Kemenkes RI, 2014a).

PMO sudah ditetapkan atas keputusan bersama antara pasien dan petugas

kesehatan. PMO sebaiknya adalah orang yang terdekat dengan pasien (tinggal

satu rumah atau dekat dengan rumah pasien), sehingga pengawasan dalam

pengobatan akan lebih teratur dan bisa mengawasi pasien setiap harinya (Hadifah,

2009). Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten

Wonosobo, bahwa semakin tinggi peran PMO dari keluarga, maka akan diikuti

oleh membaiknya perilaku pasien TB untuk pasien dapat teratur dalam menelan

OAT, sehingga pasien tersebut bisa sembuh dan dapat melakukan pencegahan

penularan kepada orang lain (Istiawan Rochmati dkk 2006).

Keluarga juga dapat memberikan dukungan dengan cara menemani pasien

berobat, mengingatkan tentang berobat secara teratur dan memberi makanan

maupun nutrisi bagi penderita TB selama menjalani pengobatan (Kaulagekear-

Nagarkar dkk 2012). Selain itu, menurut Limbu dan Marni (2006) dalam Jufrizal

dkk (2016) menyebutkan bahwa peran dari keluarga dapat memberikan partisipasi

terhadap proses pengobatan penderita TB paru, seperti halnya membantu

penderita melakukan pemeriksaan dahak di laboratorium, pemenuhan kebutuhan

penderita, mengingatkan penderita untuk minum obat dan melakukan

pengambilan obat untuk pesediaan, serta mengantarkan penderita malakukan

pengontrolan di puskesmas.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar PMO pasien yang

berhasil pengobatan berasal dari keluarga. Dikarenakan pada saat pertama kali
88

pasien didiagnosis dengan hasil pemeriksaan dahak pertama kali sebagai kasus TB

BTA (+) maupun BTA (-) yang didukung dengan hasil rontgen, dan setelah itu

akan menjalani pengobatan.

Pada saat akan menjalankan pengobatan, dari petugas pemegang program

TB menyarankan untuk adanya seorang pendamping yang berasal dari keluarga

atau tetangga dekat dari pasien yang telah dipercayai pasien dan petugas

kesehatan untuk diberikan arahan dan informasi terkait keteraturan pemeriksaan

dahak selama pengobatan, cara mengeluarkan dahak bagi pasien yang merasakan

kesulitan, serta teratur dalam menelan obat dan tepat waktu untuk mengambil obat

jika habis.

Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian sebelumnya

yang dilakukan di Aceh, bahwasanya peran keluarga sebagai PMO dengan

kategori baik sebesar 86% dapat membuat pasien berhasil pengobatan, daripada

peran keluarga tidak baik hanya 23,1% dapat mempengaruhi pasien berhasil

pengobatan. Peran keluarga secara baik dapat meningkatkan keberhasilan

pengobatan penderita TB paru, baik dalam keberhasilan kelengkapan penderita

dalam minum obat, hasil pemeriksaan dahak menunjukkan negatif pada akhir

pengobatan, maupun dapat meningkatkan berat badan penderita TB saat menjalani

pengobatan (Jufrizal dkk 2016).

6.5 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan

Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015

Seperti diketahui bahwa PMO memberikan peranan penting dalam

keberhasilan pengobatan TB paru. Seorang PMO memiliki peran sebagai 1)


89

Mengawasi pasien tuberkulosis agar menelan obat secara teratur sampai selesai

masa pengobatannya, 2) Memberikan dorongan kepada pasien agar mau berobat

secara teratur, 3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu

yang telah ditentukan, 4) Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien

tuberkulosis yang mempunyai gejala tersangka TB agar memeriksakan kepada

petugas kesehatan terdekat, 5) Membantu atau mendampingi pasien dalam

pengambilan OAT di pelayanan kesehatan 6) Membantu petugas kesehatan dalam

rangka memantau perkembangan penyakit tuberkulosis di desanya (Nizar, 2010).

Seorang PMO harus mempunyai pengetahuan atau informasi tentang

tuberkulosis, Penyebab TB, cara penularan TB, gejala TB, pencegahan TB,

anggapan masyarakat yang salah tentang TB (bukan keturunan atau kutukan), TB

dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur, dan efek samping dari OAT. Yang

mana informasi tersebut disampaikan kepada pasien maupun keluarga pasien yang

dipilih sebagai PMO. (Kemenkes RI, 2014).

Dari hasil penelitian diketahui bahwasanya secara keseluruhan pasien TB

Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan sebagian besar pasien telah mendapatkan

peran PMO. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian sebelumnya di

Puskesmas Purwodadi, bahwasanya tingkat kesembuhan dari pasien yang telah

mendapatkan peran PMO dari keluarga secara baik sebesar 89,7%, dikarenakan

peran dan dukungan emosional dari PMO yang berasal dari keluarga memberikan

semangat dan mempunyai andil yang besar dalam kesembuhan pengobatan pasien

TB Paru BTA (+) (Harnanik, 2016).


90

Dari hasil wawancara dengan pasien, bahwasanya PMO sangat memiliki

peranan penting bagi pasien, seperti jika pasien sedang sakit atau tidak bisa ke

Puskesmas untuk mengambil obat, maka PMO bisa menggantikan pasien untuk

mengambil obat ke puskesmas. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian

bahwasanya sebesar 90,7% PMO mendampingi pasien dalam pengambilan OAT,

dikarenakan sebagian besar dari PMO pasien berasal dari keluarga, sehingga

PMO memberikan peranan penting untuk mengingatkan pasien maupun

mendampingi pasien jika sedang berhalangan untuk mengambil OAT ke

Puskesmas jika sudah habis.

6.6 Gambaran Akses dari Rumah Ke Pelayanan Kesehatan pada Pasien TB

Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan

Ciputat Tahun 2015

Akses pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau dapat meningkatkan

kemanfaatannya. Menurut andersen dalam Notoadmojo (2007) bahwasanya ada

tiga hal penting dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan antara lain 1) mudahnya

menggunakan pelayanan yang tersedia 2) adanya faktor-faktor yang menjamin

terhadap pelayanan kesehatan yang ada, dan 3) adanya kebutuhan untuk ke

pelayanan kesehatan. Selain itu, menurut Dever (1984) bahwasanya faktor yang

mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan dalam pencarian pengobatan

untuk meningkatkan kesehatan, dipengaruhi oleh keterjangkauan lokasi yang

berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu yang dapat diukur melalui

jarak tempuh, waktu tempuh, dan biaya.


91

Dari hasil penelitian diketahui bahwa akses pasien TB Paru BTA (+) yang

berhasil pengobatan menempuh waktu selama kurang dari 30 menit menggunakan

kendaraan. Hal tersebut didukung dengan penelitan yang dilakukan di RS

Persahabatan Jakarta bahwasanya sebagian besar pasien TB paru sebesar 86%

ternyata memilih fasilitas kesehatan yang terdekat dari rumahnya untuk

melakukan pengobatan dengan waktu tempuh kurang dari 30 menit menggunakan

kendaraan (Aditama, 2008).

6.7 Gambaran Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang

Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015

Motivasi merupakan keinginan yang terdapat pada diri seorang individu

yang mendorongnya melakukan tindakan untuk mencapai suatu tujuan (Terry and

Leslie W.Rue, 2009). Motivasi tersebut dapat timbul dari dalam diri sendiri,

maupun pengaruh dari luar individu karena adanya ajakan, suruhan atau paksaan

dari orang lain. Oleh karena itu, motivasi yang diperoleh dari dalam diri sendiri

maupun dari luar dapat membentuk individu tersebut untuk berperilaku sehat dan

menuntutnya untuk sembuh dari penyakit yang dideritanya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar motivasi pasien TB

Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Kecamatan Ciputat memiliki motivasi

tinggi. Hasil penelitian tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan di

Rumah Sakit Eka Hospital BSD Tangerang, bahwasanya pasien dengan motivasi

kesembuhan rendah sebesar 36,2% untuk tidak patuh minum OAT, daripada

pasien dengan motivasi kesembuhan tinggi maka patuh minum OAT (29,3%)

(Margaretha, 2012).
92

Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien yang berhasil pengobatan TB

paru, bahwasanya selama pengobatan pasien memiliki keinginan atau dorongan

dari diri sendiri untuk sembuh, walaupun ada dari beberapa pasien selama

pengobatan mengalami efek samping OAT (mual, muntah dan demam). Selain itu

juga, karena adanya tuntutan dari keluarga seperti tuntutan seorang laki-laki harus

tetap bekerja untuk menunjang kehidupan keluarganya, dan perempuan sebagai

ibu rumah tangga harus mengurus keluarganya, sehingga membuat pasien menjadi

termotivasi untuk teratur dalam berobat yang mengakibatkan pasien bisa berhasil

pengobatan.

Motivasi yang didapatkan selama pengobatan, tidak hanya dari individu

saja. Sebagian besar pasien mendapatkan motivasi atau dukungan dari keluarga,

terutama keluarga yang menjadi PMO untuk pasien. Dari hasil penelitian

diketahui bahwa pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan telah

mendapatkan motivasi tinggi dari keluarga.

Menurut Niven (2002) bahwa salah satu yang dapat mendukung kepatuhan

pada pasien adalah faktor lingkungan dan sosial yang berarti membangun

dukungan sosial dengan keluarga maupun teman. Dalam hal ini keluarga

memberikan dukungan seperti mengingatkan untuk kontrol, minum obat secara

teratur dan memperhatikan keluhan pasien. Oleh karena itu motivasi dari keluarga

sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan pada pasien.

Setelah dilakukan analisis lebih lanjut bahwasanya motivasi dari keluarga

tinggi di Kecamatan Ciputat, dikarenakan sebagian besar PMO pasien berasal dari
93

keluarga (71,1%). Selain itu, bukan hanya dari keluarga dekat pasien yang

memberi dukungan, akan tetapi tetangga dari pasien tersebut juga ikut berperan,

seperti halnya memberikan semangat kepada pasien agar bisa sembuh dan sering

menemani pasien untuk mengambil obat ke puskesmas jika obatnya sudah habis,

sehingga membuat pasien menjadi termotivasi untuk bisa sembuh dan pengobatan

lengkap.

Selain motivasi dari keluarga, motivasi dari petugas kesehatan juga

diperlukan untuk menunjang pasien teratur kontrol berobat ke puskesmas dan

nantinya bisa berhasil pengobatan. Dikarenakan angka keberhasilan pengobatan di

Puskesmas merupakan salah satu indikator dari program nasional yang dapat

menentukan program pengendalian TB di Puskesmas tersebut sudah berhasil. Jika

di wilayah puskesmas tersebut angka keberhasailnya tinggi, maka dapat

memutuskan rantai penularan TB di wilayah puskesmas yang berdampak pada

penurunan kejadian kasus TB..

Dari hasil penelitian diketahui bahwa motivasi dari petugas kesehatan

pada pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Kecamatan Ciputat

mendapatkan motivasi tinggi. Hasil penelitian tersebut didukung dengan

penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pasien yang mendapatkan motivasi

cukup dari petugas kesehatan (46,5%) dapat mendorong pasien untuk teratur

berobat daripada pasien yang mendapat motivasi rendah hanya (9,3%) untuk

teratur berobat (Pandapotan dkk., 2015).

Dukungan petugas kesehatan memberikan pengaruh terhadap kepatuhan

pasien. Pasien yang telah mendapatkan dukungan motivasi dari petugas kesehatan
94

untuk selalu tepat waktu mengambil obat ke puskesmas dan memperhatikan

perkembangan kesehatan pasien TB, maka pasien TB tersebut akan merasa

diperhatikan oleh petugas dan menerima semua anjuran petugas selama

pengobatan (Darmawanti, 2014).

Dari hasil wawancara pada salah satu pasien, bahwasanya sebagian besar

pasien TB paru BTA (+) yang berhasil pengobatan yang sering berperan itu lebih

ke petugas kesehatan, seperti mengingatkan pasien untuk melakukan pemeriksaan

dahak ke puskesmas, memberitahu efek samping obat dan risiko yang dialami jika

pasien tidak minum obat. Dibandingkan pada keluarga biasanya hanya memberi

motivasi atau berperan seperti mengingatkan minum obat dan makan-makanan

yang sehat yang harus dikonsumsi pasien, tanpa mengingatkan yang lainnya .

Dari pemaparan tersebut diketahui bahwa selain pentingnya motivasi dari

petugas kesehatan, motivasi dari keluarga juga sangat dibutuhkan untuk pasien

bisa berhasil pengobatan, dikarenakan keluarga selalu mempunyai waktu lebih

lama dengan pasien, sehingga bisa memotivasi pasien untuk berobat secara

teratur, dan keluarga juga dapat memberikan dukungan moril maupun materi

terhadap pengobatan yang dijalani pasien.


BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Adapun simpulan dari penelitian terkait karakteristik pasien TB Paru

BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil di Kecamatan Ciputat antara lain :

1. Proporsi pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas

Kampung Sawah sebanyak 51 pasien (68%) dan di Puskesmas Ciputat

sebanyak 24 pasien (32%)

2. Berdasarkan karakteristik individu pasien yang berhasil pengobatan di

Kecamatan Ciputat sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (60%), tipe

pasien baru dan kategori pengobatan satu (98%), denga rata-rata

pendidikan menempuh selama 6 tahun, dan memiliki pengetahuan baik

(53,3%) dikarenakan telah menjawab benar ≥ 75% pertanyaan

pengetahuan, dan sebagian besar umurnya produktif (49,3%), sebagian

besar bekerja (57,3%) dengan penghasilan ≥ Rp 1.500,000 per bulannya

(60%).

3. Berdasarkan PMO, sebagian besar berasal dari keluarga (61,3%) dan telah

mendapatkan motivasi tinggi dari diri pasien (45%) dari keluarga (51%)

dan mendapat motivasi tinggi dari petugas kesehatan (46%).

4. Motivasi dari keluarga sangat penting bagi keberhasilan pengobatan pada

pasien, terutama keluarga yang menjadi PMO. Dikarenakan keluarga

merupakan orang yang paling dekat dan selalu berada dengan pasien,

95
96

sehingga keluarga bisa selalu mengawasi, mengingatkan untuk teratur

minum obat, mengingatkan untuk melakukan pemeriksaan dahak,

membantu pengambilan OAT ke Puskesmas dan dapat memberikan

dukungan penuh berupa materi dan moril yang nantinya dapat membuat

pasien bisa sembuh dan pengobatan lengkap.

7.2 Saran

Adapun saran dari peneliti terkait gambaran keberhasilan pengobatan

pada pasien TB Paru BTA (+) di Kecamatan Ciputat antara lain :

1. Bagi Puskesmas

a. Diharapkan petugas kesehatan khususnya pemegang program TB,

aktif dalam upaya keteraturan pengobatan bagi penderita TB Paru

BTA (+) dengan melakukan pelacakan bagi pasien yang mengalami

dropout, agar dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan pada

pasien dan dapat memutuskan rantai penularan TB yang berdampak

pada penurunan kejadian kasus TB.

b. Untuk PMO pasien TB Paru BTA (+) lebih diprioritaskan kepada

keluarga, dikarenakan keluarga merupakan orang yang paling dekat

dan mempunyai waktu lebih banyak dengan pasien. Sehingga keluarga

lebih berperan penting dalam mengawasi pasien untuk teratur berobat

dan menelan obat sesuai yang telah dianjurkan petugas kesehatan.


97

2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Memfasilitasi dan mengarahkan puskesmas untuk memberikan

informasi dan edukasi kepada PMO terutama PMO yang berasal dari

keluarga.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Diharapkan peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian terkait

keberhasilan pengobatan TB Paru dengan melihat faktor dari

pelayanan kesehatannya.

b. Untuk melakukan penelitian dengan desain case control dengan

melihat perbedaan gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien

TB Paru yang berhasil pengobatan dengan pasien yang tidak berhasil

pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F., 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Buku Kompas,

Jakarta.

Aditama, T.., 2002. Tuberkulsosis Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya Edisi ke-4.

Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.

Aditama, T.Y., 2008. Tuberkulosisi Masalah dan Perkembangannya 57 Th, VI.

A. Faustini, Hall, A.J., C.A. Perucci, 2005. Tuberculosis treatment outcomes in

Europe: a systematic review. Eur. Respir. J.

doi:10.1183/09031936.05.00103504

Amira, P., 2005. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS (Skripsi).

FK USU, Medan.

Amiruddin, 2006. Faktor Keberhasilan Konversi Pada Penderita TB Paru di

Puskesmas Jongaya Tahun 2006 (Skripsi). UNHAS, Makassar.

A. Nakanwagi-Mukwaya, Reid, A.J., P. I. Fujiwara, Mugabe, F., R. J. Kosgei,

Tayler-Smith, K., W. Kizito, 2013. Characteristics and treatment outcomes

of tuberculosis retreatment cases in three regional hospitals, Uganda. Int.

Union Tuberc. Health Solut. Poor Vol. 3 No. 2.

doi:http://dx.doi.org/10.5588/pha.12.0105

98
A. Nakanwagi-Mukway, Reid, A.J., P. I. Fujiwar, Mugabe, F., R. J. Kosge,

Tayler-Smith, K., W. Kizito, 2013. Characteristics and treatment outcomes

of tuberculosis retreatment cases in three regional hospitals, Uganda. Int.

Union Tuberc. Health Solut. Poor. Int Union Tuberc Health Solut 3(2).

doi:doi:http://dx.doi.org/10.5588/pha.12.0105

Azwar, S., 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Balitbangkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar.

Bastable, 2002. Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-Prinsip Pengajaran dan

Pembelajaran. EGC, Jakarta.

Belay Tessema, Muche, A., Assegedech Bekele, Reissig, D., Frank Emmrich,

Ulrich Sack, 2009. Treatment outcome of tuberculosis patients at Gondar

University Teaching Hospital, Northwest Ethiopia. A five - year

retrospective study. BioMed Cent. doi:10.1186/1471-2458-9-371

Berhe, G., Fikre Enquselassie, Abraham Aseffa, 2012. Treatment outcome of

smear-positive pulmonary tuberculosis patients in Tigray Region,

Northern Ethiopia. BioMed Cent.

Bertin Tanggap Tirtana, 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan

Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resisten Obat

Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah (Artikel Ilmiah). UNDIP.

99
Darmawanti, 2014. Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan

Terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas

Sunggal Medan Tahun 2014. (Tesis). USU, Medan.

Dinkes Tangerang Selatan, 2015. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Tangerang

Selatan.

Dooely, K., Lahlaou, Ghali, Knudsen, El Aoud, 2011. Risk factors for

tuberculosis treatment failure, default, or relapse and outcomes of

retreatment in Morocco. Biomed Cent.

Faustini A., A.J, H., C.A. Perucci, 2005. Tuberculosis treatment outcomes in

Europe: a systematic review. Eur Respir J.

doi:doi:10.1183/09031936.05.00103504

Fauziyah, N., 2010. Faktor Yang Berhubungan Dengan Dropout Pengobatan Pada

Penderita TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Salatiga

(Skripsi). UNNES, Semarang.

Felly, Philipus, 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat

Penderita TB Paru di Puskesmas Depok. Buletin Penelitian Kesehatan

Vol.30 No.1.

Firdaus, K.M., 2012. Pngaruh PMO Terhadap Keberhasilan Pengobatan TB Paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah

Surakarta, Surakarta.

100
Hadifah, Z., 2009. Pemenuhan tugas pengawas Menelan Obat (PMO) bagi

Penderita Tuberkulosis (TB) Sebagai Indikator Penyakit Menular di

Puskesmas Kota Sigli. Aceh.

Harnanik, 2016. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan

Pengobatan TB Paru di Puskesmas Purowdadi II Kabupaten Grobogan

(Skripsi). Yogyakarta.

Hastono, S.P., 2016. Analisis Data Bidang Kesehatan. Rajagrafindo Persada,

Jakarta.

Hayati, D., Elly Musa, 2016. Hubungan Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO)

dengan Kesembuhan Penderit TB di Puskesmas Arcimanik Bandung. J.

Ilmu Keperawatan Vol.4 No.1.

Imelda Atika, Munir, S.M., Inayah, 2015. Gambaran Angka Kesembuhan Pasien

Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Petala Bumi

PekanBaru Periode Januari 2011-Desember 2013. JOM FK 2 No. 1.

Istiawan Rochmati, S, J., Adang, B, 2006. Hubungan Peran Pengawas Minum

Obat Oleh Keluarga dan Petugas Kesehatan terhadap Pengetahuan,

Perilaku Pencegahan dan Kepatuhan Klien TBC dalam Konteks

Keperawatan Komunitas di Kabupaten Wonosobo. J. Keperawatan

Soedirman 1 No.2.

101
Jufrizal, Hermansyah, Mulyadi, 2016. Peran Keluarga Sebagai Pengawas Minum

Obat (Pmo) Dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan Penderita

Tuberkulosis Paru.

Jumaelah, N., 2013. Hubungan Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap

Keberhasilan Pengobatan TB paru dengan DOTS di RSUP Dr, Kariadi

Semarang. Medica Hosp. 2 (1).

Kaulagekear-Nagarkar, Dhake, Preeti, 2012. Perspective of Tuberculosis Patients

on Family Support and care in Rural Maharashtra. Indian J. Tuberc. 224–

230.

Kemenkes RI, 2015a. Profil Kesehatan Indonesia.

Kemenkes RI, 2015b. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014.

Kemenkes RI, 2014a. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.

Kemenkes RI, 2014b. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.

Kemenkes RI, 2011a. Strategi Pengendalian TB Nasional 2010-2014. Jakarta.

Kemenkes RI, 2011b. Rencana Aksi Nasional Programmatic Management of

Drug Resistance Tuberculosis Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.

Kholifah, N., 2009. Analis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesembuhan

Penderita TB Paru (Skripsi). UNNES.

102
Kurniawan, N., Siti Rahmalia, Ganis Indriati, 2015. Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan TB Paru. JOM Vol.5 No.1.

Machfoedz, I., 2008. Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai Penyakit, Bagian

Dari Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, Sanitasi Perkotaan

dan Pedesaan. Yogyakarta.

Maesaroh, S., 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat

Pasien Tuberkulosis Paru di Klinik Jakarta Respiratory Centre PPTI tahun

2009 (Skripsi). UIN Jakarta, Jakarta.

Margaretha, 2012. Hubungan Motivasi Kesembuhan dengan Kepatuhan Minum

Obat Pada Pasien TB Paru Dewasa di RS Eka Hosipital BSD (Skripsi).

Esa Unggul, Jakarta.

Mengistu Endris, Moges, F., Yeshambel Belyhun, EleniWoldehana, Ahmed

Esmael, Chandrashekhar Unakal, 2014. Treatment Outcome of

Tuberculosis Patients at Enfraz Health Center, Northwest Ethiopia: A

Five-Year Retrospective Study. Hindawi Publ. Corp.

doi:http://dx.doi.org/10.1155/2014/726193

Nasution, S.D., 2015. Malnutrisi dan Anemia Pada Penderita Tuberkulosis.

Majority 4 (08).

Natalia, N. asitrit, Indri Hapsari, Ika Yuni, 2012. Faktor Yang Berpengaruh

Terhadap Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis di Puskesmas Sukaroja

tahun 200-2011. PHARMACY Vol.09 No.3.

103
Neil, N., 2000. Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat & Profesional

Kesehatan Lain. EGC, Jakarta.

Nizar, M., 2010. Pemberantasan dan Penanggulangan Tuberkulosis. Gosyen

Pubishing, Yogyakarta.

Notoadmojo, S., 2012. Promosi Kesehatan & Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta,

Jakarta.

Nurjana, M.A., 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia Produktif

(15-49 tahun) di Indonesia. Media Litbangkes Vol.25 No.3, 165–170.

Nurmadya, Medison, I., Hafni Bachtiar, 2015. Hubungan Pelaksanaan Strategi

Directly Observed Treatment Short Course dengan Hasil Pengobatan

Tuberkulosis Paru Puskesmas Padang Pasir Kota Padang 2011-2013. J.

Kesehat. Andalas 4 (1).

Okanurak, K., Kitayaporn, P.Akarasewi, 2008. Factors contributing to treatment

success among tuberculosis patients: a prospective cohort study in

Bangkok. INT Journal Tuberculosis Lung Disease 1160–1165.

Pandapotan, Kintoko, Alam Bakti, 2015. Gambaran Peran Serta Petugas

Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan

Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014. USU, Medan.

PKM Kampung Sawah, 2016. Profil Puskesmas Kampung Sawah Tahun.

Puskesmas, Tangerang Selatan.

104
Prasetya, J., 2009. Hubungan Motivasi Pasien TB Paru dengan Kepatuhan dalam

Mengikuti Program Pengobatan TB DOTS di WIlayah Puskemas Genuk

Semarang. Visikes Vol.08 No.1.

Ruditya, D., 2015. Hubungan Antara Karateristik Pendrita dengan Kepatuhan

Memeriksakan Dahak Selama Pengobatan. Berkala Epidemiologi 3 No.02.

Spencer, Lyle M., 1993. Competence Work: Model for Superior Performance.

John Willy & Sons, Canada.

Subakhti, Arneliwati, Erwin, 2011. Hubungan Dukungan Keluarga dengan

Tindakan Penderita TB Paru Melakukan Kontrol Ulang di Puskesmas

Sidomulyo. UNRI, Riau.

Sugiyono, 2010. Statistika Untuk Penelitian. IKAPI, 2010.

Sukana, Heryanto, Supraptini, 2010. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Pengetahuan

Penderita TB Paru di Kabupaten Tangerang. Tangerang.

Terry, G.R., Leslie W.Rue, 2009. Dasar-Dasar Manajemen. Bumi Aksara, Jakarta.

Tri Hartini, Sarumpaet, S.M., Rasmaliah, 2012. Karakteristik Penderita

Tuberkulosis Paru BTA Positif dan Hasil Pengobatannya di Poli Paru

RSUD Deli Serdang Tahun 2011-2012. USU, Medan.

WHO, 2015. Global Tuberculosis Report.

WHO, 2014. Global Tuberculosis Report.

105
Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan

Pemberantasannya. Erlangga, Jakarta.

Z. G. Dememew, Habte, D., M. Melese, Hamusse, S.D., G. Nigussie, 2016.

Trends in tuberculosis case notification and treatment outcomes after

interventions in 10 zones of Ethiopia. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 20 (9).

doi:http://dx.doi.org/10.5588/ijtld.16.0005

106
LAMPIRAN
Lampiran 1 surat izin penelitian
Lampiran 2 Kuesioner

INFORMED CONSENT

Assalamualaikum Wr.Wb

Saya mahasiswi Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sedang

melakukan penelitian terkait gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien

tuberkulosis paru BTA (+)di Pukesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat

Tahun 2015

Dalam penelitian ini, Bapak/ibu terpilih sebagai responden/partisipan

penelitian berdasarkan laporan data formulir TB 01 dari Puskesmas Kampung

Sawah dan Puskesmas Ciputat. Bapak/ibu diharapkan dapat memberikan

informasi terkait umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, peran

PMO, Jenis PMO, motivasi dan akses yang ditempuh pada saat ke pelayanan

kesehatan. Pertanyaan dari beberapa kuesioner ini bersifat sedikit sensitif,

sehingga Bapak/ibu tidak perlu khawatir untuk ikut berpartisiapasi dalam

penelitian ini, karena kami akan menjaga kerahasiaan dari informasi yang

Bapak/ibu berikan.

Penelitian ini nantinya juga bermanfaat pada pemegang program TB di

Puskesmas Kampung Sawah dan ciputat, sebagai bahan pertimbangan dalam

pengambilan kebijakan terutama dalam peningkatan edukasi dan promosi

kesehatan terkait TB paru BTA (+) dan pentingnya untuk melakukan pengobatan

secara lengkap dan teratur. Oleh karena itu, partisipasi dari Bapak/ibu untuk
melakukan penelitian ini sangat diharapkan. Namun, Bapak/ibu mempunyai hak

kebebesan untuk menyetujui ataupun menolak sebagai partisipan penelitian.

Kejujuran informasi dari Bapak/ibu sangat kami harapkan. Jika ada

kesulitan dan perlu untuk dipertanyakan, silahkan menghubungi.

Dengan ini saya menyatakan setuju untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini

Tangerang Selatan, 2017

Partisipan

( )
IR. Identitas Responden

Ientitas Responden (IR)

Tanggal Pengisian

Kuesioner

IR1 Nama

IR2 No.Telepon ______________________________

IR3 Alamat JL._______________RT___RW___K

ELURAHAN_______

IR4 Tanggal lahir Tanggal_____Bulan____Tahun____

IR5 Umur

IR6 Jenis Kelamin 1.Laki-laki ( )

2.Perempuan

IR7 Pendidikan terakhir 1. Tidak bersekolah ( )

2. SD

3. SMP

4. SMA

5.Perguruan Tinggi
IR8 Pekerjaan 1.Tidak bekerja ( )

2.Buruh

3.Wiraswasta/pedagang/pelayan/jasa

4. PNS

5.Pegawai Swasta

6.Pelajar

IR9 Tipe Pasien 1.Pasien baru ( )

2.Pasien kambuh

3.Paisen gagal

4.Pasien putus berobat

IR10 Kategori pengobatan 1.Kategori 1 ( )

2.Kategori 2

IR11 Pengeluaran pasien ( )

perbulan

IR12 Jenis PMO 1.keluarga

2.petugas kesehatan

IR13 Akses pasien ke pelayanan 1.lebih dari 60 menit menggunakan ( )

kesehatan selama kendaraan

pengobatan 2.30-60menit menggunakan kendaraan

3.kurang dari 30 menit menggunakan

kendaraan

4. kurang dari 30 menit jalan kaki


A. Pengetahuan

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan cara melingkari jawaban menurut

anda yang benar

1. Menurut anda penyakit tuberkulosis paru disebabkan oleh ?

a. Kutukan dari Tuhan

b. Adanya virus dan terpapar oleh asap kendaraan

c. Adanya kuman atau bakteri

d. Semua salah

2. Penularan penyakit TB Paru melalui ?

a. Udara

b. Pakaian

c. Makanan/minum

d. Kontak kulit

3. Menurut anda penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular kepada anggota

keluarga lain karena :

a. Memakai pakaian keluarga anda yang terkena TB

b. Berdekatan dan kontak kulit dengan keluarga anda yang terkena

TB

c. Berbicara dengan menggunakan masker pada penedrita

tuberkulosis

d. Terhirup percikan ludah atau dahak penderita Tuberkulosis


4. Bagaimana Pemeriksaan diagnosis pasien yang masih terduga mengidap

penyakit TB paru maka dilakukan dengan cara ?

a. Pemeriksaan dahak pasien dengan 3 kali ( Sewaktu-Pagi-Sewaktu)

dan didukung dengan hasil rontgen

b. Pemeriksaaan rontgen saja

c. Langsung diberikan obat TB tanpa melakukan pemeriksaan dahak

d. b & c benar

5. Menurut yang anda ketahui, pengobatan untuk TB Paru sebaiknya ?

a. Minum obat secara teratur selama 6 bulan untuk pasien baru, dan

pengobatan 8 bulan untuk pasien kambuh, gagal, putus berobat

sampai dinyatakan sembuh.

b. Tidak boleh berhenti sebelum pengobatan selesai

c. Boleh berhanti apabila obat tidak tersedia

d. a & b benar

6. Menurut saudara apakah tujuan dari pengobatan TB Paru ?

a. Menyembuhkan pasien TB Paru

b. Mencegah kematian akibat TB Paru

c. Dapat menularkan kepada orang lain

d. a & b benar

7. Berapa lama pengobatan TB harus anda jalani agar bisa sembuh dari

penyakit ?

a. 2 bulan

b. 4 bulan
c. 6 bulan dan 8 bulan untuk pasien kambuh, gagal dan putus berobat

d. Semua benar

8. Pasien dengan menjalani pengobatan TB minimal selama 6 bulan

dikategorikan sebagai ?

a. Pasien baru

b. Pasien gagal

c. Pasien putus berobat

d. Pasien kambuh

9. Menurut anda, apa yang anda lakukan jika anda sudah berhasil pengobatan

dari penyakit TB Paru agar tidak tertular kembali ?

a. Menjaga kondisi fisik rumah dan lingkungan sekitarnya tetap

bersih dan terkena cahaya sinar matahari

b. Tidak memakai masker saat berkomunikasi dengan pasien TB

c. Menjaga kondisi fisik tubuh agar tetap sehat degan mengkonsumsi

makanan yang sehat

d. a & c benar

10. Sebelumnya pada masa anda menjalani pengobatan, menurut anda selain

minum obat secara teratur dan lengkap agar cepat sembuh, sebaiknya apa

yang anda lakukan ?

a. banyak istirhat terutama ditempat yang sejuk tidak terkena sinar

cahaya matahari

b. tetap merokok, bila anda perokok

c. makan makanan bergizi


d. banyak istirahat terutama ditempat dengan ventilasi baik terkana

cahaya sinar matahari, makan teratur dengan makanan yang sehat

dan bergizi.

11. Sebelumnya pada masa anda menjalani pengobatan, menurut anda

Pemeriksaan ulang dahak selama menjalani pengobatan dilakukan berapa

kali ?

a. Sebanyak 5 kali (pertama kali datang, akhir minggu ke 5, pada

akhir pemberian obat sisipan bagi pasien yg mengalami konversi,

akhir bulan kelima, dan akhir pengobatan)

b. Sebanyak 3 kali (pertama kali datang, akhir minggu kelima, akhir

pengobatan)

c. Tidak dilakukan pemeriksaan dahak lagi

d. Semua salah

12. Sebelumnya pada masa anda menjalani pengobatan, menurut anda pasien

TB Paru dengan pengobatan yang berhasil adalah ?

a. Pasien yang sudah sembuh

b. Pasien yang sembuh dan pengobatan lengkap sesuai anjuran

petugas kesehatan

c. Pasien yang sudah sembuh dan pengobatan tidak sampai habis

d. Pasien dengan pengobatan lengkap


B. Peran PMO

Berilh tanda cheklist (√) pada masing-masing pertanyaan dibawah ini

terkait peran PMO yang diberikan kepada Bapak/ibu ketika Bapak/ibu

masih dalam pengobatan TB.

No Peran PMO Ya Tidak


1. Apakah PMO selalu mengingatkan
saudara agar menelan obat secara teratur
atau setiap hari sampai selesai masa
pengobatannya

2. Apakah PMO Memberikan dorongan


kepada saudara agar mau berobat secara
teratur

3. Apakah PMO mengingatkan kepada


saudara untuk periksa ulang dahak pada
waktu yang telah ditentukan

4. Apakah PMO juga memberikan


penyuluhan pada anggota keluarga pasien
TB yang mempunyai gejala suspek TB
untuk segera memeriksakan diri ke
puskesmas terdekat

5. Apakah PMO Membantu atau


mendampingi saudara dalam
pengambilan OAT di pelayanan
kesehatan
6. Apakah PMO pernah menyampaikan
kepada saudara bahwa penyakit TB Paru
dapat disembuhkan.

7. Apakah PMO menginformasikan terkait


efek samping yang akan ditimbulkan saat
menelan OAT TB
8. Apakah PMO juga menginformasikan
terkait tindakan yang akan dilakukan
apabila terjadi efek samping obat
9. Apakah PMO menginformasikan terkait
risiko yang akan dialami ketika menelan
obat tidak secara teratur
10. Apakah PMO menginformasikan kepada
saudara tentang tata cara pengobatan TB
secara lengkap
C. MOTIVASI

Petunjuk pengisian : Berikan tanda centang (√) pada masing-masing

pernyataan yang menurut anda paling sesuai.

Keterangan:

SS= Sangat Setuju

S = Setuju

RR= Ragu-Ragu

TS = Tidak Setuju

STS= Sangat Tidak Setuju

No. Pernyataan SS S RR TS STS

Motivasi Pasien

C1. Saya selalu makan-makanan bergizi

selama menjalani pengobatan TB

seperti minum susu, makan sayur,

makan daging dll

C2. Saya selama minum OAT (obat anti

TB) bekerja keras setiap hari, seperti

berladang, bekerja sebagai buruh

bangunan dll

C3. Selama pengobatan saya teratur untuk

kontrol dan mengambil OAT

kepuskesmas walaupun sedang


demam

C4. Selama pengobatan saya tetap

mengambil OAT dan kontrol ke

puskesmas menggunakan kendaraan

umum, dikarenakan tidak punya

kendaraan sendiri.

C5. Selama pengobatan saya berusaha,

berdoa dan pasrah untuk selalu

bersyukur kepada Tuhan

C6. Pengobatan TB paru sangat

membosankan karena membutuhkan

waktu yang lama

C7. Efek samping dari OAT TB (mual,

menggigil, muntah dll) dapat

mengganggu aktifitas sehari-hari

saya.

Motivasi Keluarga

C8. Selalu diingatkan oleh keluarga untuk

minum OAT secara teratur dan

mengambil kembali ke puskesmas

jika sudah habis

C9. Keluarga saya sering menemani saya

saat kontrol ke puskesmas


C10. Dukungan keluarga terhadap

pengobatan saya sangat besar

C11. Kesembuhan saya sangat diharapkan

oleh keluarga

C12. Selama pengobatan keluarga saya

menginformasikan tentang manfaat

dan risiko jika saya tidak patuh

minum OAT

C13. Kelurga saya acuh terhadap

pengobatan TB yang saya jalani

C14. Keluarga saya tidak perduli apakah

saya sudah minum OAT atau belum

Motivasi petugas kesehatan

C15. Petugas dalam melayani saya selama

pengobatan cukup baik

C16. Petugas juga selalu bertindak tegas

kepada saya jika tidak mengikuti

arahannya

C17. Petugas sering memberikan

penjelasan tentang apa saja yang

harus dilakukan selama menjalani

pengobatan agar cepat sembuh seperti

dilarang merokok, makanan bergizi,


dll

C18. Petugas sering menyampaikan untuk

megambil OAT dan memeriksakan

dahak kembali selama menjalani

pengobatan

C19. Petugas jarang menyampaikan

penjelasan seperti efek samping obat,

hal-hal yang harus dihindari selama

menjalani pengobatan

C20. Petugas kesehatan memberi

kesempatan kepada saya untuk

menyampaikan keluhan selama

menjalani pengobatan

C21. Petugas tidak pernah menanyakan

kemajuan penyakit saya dan keluhan

yang saya alami selama menjalani

pengobatan.
Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas

A. Pengetahuan

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.855 15

Item-Total Statistics

Scale Corrected Cronbach's


Scale Mean if Variance if Item-Total Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Correlation Deleted

A1 11.5882 9.632 .556 .843

A2 11.6471 10.118 .247 .859

A3 11.5882 10.632 .068 .865

A4 11.6471 9.243 .625 .839

A5 11.6471 10.493 .095 .867

A6 11.6471 9.368 .569 .842

A7 11.6471 9.493 .513 .845

A8 11.7059 9.096 .608 .839

A9 11.5882 9.632 .556 .843

A10 11.6471 9.243 .625 .839

A11 11.6471 9.368 .569 .842

A12 11.7647 8.816 .664 .835

A13 11.6471 9.243 .625 .839

A14 11.5882 9.757 .493 .846

A15 11.5882 9.632 .556 .843


B. Peran PMO

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.892 10

Item-Total Statistics

Scale Cronbach's
Scale Mean Variance if Corrected Alpha if
if Item Item Item-Total Item
Deleted Deleted Correlation Deleted

B1 10.4118 5.882 .545 .890

B2 10.4706 5.640 .729 .874

B3 10.5882 6.007 .754 .874

B4 10.4706 6.265 .406 .899

B5 10.6471 6.493 .642 .884

B6 10.5882 6.257 .589 .884

B7 10.4706 5.765 .662 .880

B8 10.5882 6.007 .754 .874

B9 10.5882 6.257 .589 .884

B10 10.5294 5.640 .831 .867

C. Motivasi pasien

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.762 7
Item-Total Statistics

Scale
Scale Mean Variance if Corrected Cronbach's
if Item Item Item-Total Alpha if Item
Deleted Deleted Correlation Deleted

C1_1 20.1765 14.654 .510 .733

C2_1 22.0588 11.309 .507 .743

C3_1 20.3529 13.243 .678 .698

C4_1 21.1765 13.654 .489 .732

C5_1 20.5294 12.890 .683 .693

C6_1 20.4118 14.632 .520 .731

C7_1 22.4706 15.265 .195 .796

D. Motivasi keluarga

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.841 7

Item-Total Statistics

Scale Cronbach's
Scale Mean Variance if Corrected Alpha if
if Item Item Item-Total Item
Deleted Deleted Correlation Deleted

C1_2 22.6471 16.993 .737 .806

C2_2 24.2941 13.721 .553 .833

C3_2 22.8235 16.654 .673 .810

C4_2 23.7059 16.346 .509 .835

C5_2 23.0000 16.875 .580 .822

C6_2 22.8824 17.235 .697 .811

C7_2 22.6471 16.993 .737 .806


E. Motivasi petugas kesehatan

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.860 7

Item-Total Statistics

Scale Mean Scale Corrected Cronbach's


if Item Variance if Item-Total Alpha if Item
Deleted Item Deleted Correlation Deleted

C1_3 23.8824 11.985 .635 .840

C2_3 24.0588 12.934 .487 .858

C3_3 24.0588 11.184 .689 .832

C4_3 24.8824 11.235 .555 .856

C5_3 24.2353 11.066 .651 .838

C6_3 24.1176 11.610 .731 .828

C7_3 24.1765 11.904 .710 .832

Lampiran 4 Output SPSS Univariat

PKM
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kampung sawah 51 68.0 68.0 68.0
Ciputat 24 32.0 32.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
Statistics
umur
N Valid 75
Missing 0
Mean 40.68
Median 42.00
Std. Deviation 13.418
Minimum 17
Maximum 65

Statistics
tamat_didik
N Valid 75
Missing 0
Mean 6.75
Median 6.00
Std. Deviation 4.334
Minimum 0
Maximum 12

Statistics

penghasilan

N Valid 75

Missing 0

Mean 1588.00

Median 1500.00

Std. Deviation 681.901

Minimum 500

Maximum 2850

pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak sekolah 27 36.0 36.0 36.0
SD 12 16.0 16.0 52.0
SMP 19 25.3 25.3 77.3
SMA 17 22.7 22.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
kategori_umur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Remaja 12 16.0 16.0 16.0
Dewasa 37 49.3 49.3 65.3
Lansia 26 34.7 34.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

jenis_kel
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki-laki 45 60.0 60.0 60.0
perempuan 30 40.0 40.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

pekerja
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak kerja 32 42.7 42.7 42.7
bekerja 43 57.3 57.3 100.0
Total 75 100.0 100.0

tipe_pasien
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid baru 73 97.3 97.3 97.3
kambuh 2 2.7 2.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

kat_obat
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kategori 1 73 97.3 97.3 97.3
kategori 2 2 2.7 2.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

status_ekonomi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid lebihdarisamadengan 1500 45 60.0 60.0 60.0
kurangdari1500 30 40.0 40.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

skor_tahu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid baik 40 53.3 53.3 53.3
cukup 26 34.7 34.7 88.0
kurang 9 12.0 12.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

PMO
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Keluarga 46 61.3 61.3 61.3
Petugas kesehatan 29 38.7 38.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

Peran_PMO
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ya 72 96.0 96.0 96.0
tidak 3 4.0 4.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

motivasi_pasien
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tinggi 34 45.3 45.3 45.3
Sedang 29 38.7 38.7 84.0
Rendah 12 16.0 16.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

motivasi_keluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tinggi 38 50.7 50.7 50.7
Sedang 27 36.0 36.0 86.7
Rendah 10 13.3 13.3 100.0
motivasi_keluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tinggi 38 50.7 50.7 50.7
Sedang 27 36.0 36.0 86.7
Rendah 10 13.3 13.3 100.0
Total 75 100.0 100.0

motivasi_nakes
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tinggi 35 46.7 46.7 46.7
Sedang 32 42.7 42.7 89.3
Rendah 8 10.7 10.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

B1
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 12 16.0 16.0 16.0
ya 63 84.0 84.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

B2
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 7 9.3 9.3 9.3
ya 68 90.7 90.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

B3
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 6 8.0 8.0 8.0
ya 69 92.0 92.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

B4
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 29 38.7 38.7 38.7
ya 46 61.3 61.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
B5
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 10 13.3 13.3 13.3
ya 65 86.7 86.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

B6
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 7 9.3 9.3 9.3
ya 68 90.7 90.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

B7
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 13 17.3 17.3 17.3
ya 62 82.7 82.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

B8
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 12 16.0 16.0 16.0
ya 63 84.0 84.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

B9
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 8 10.7 10.7 10.7
ya 67 89.3 89.3 100.0
Total 75 100.0 100.0

B10
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 3 4.0 4.0 4.0
ya 72 96.0 96.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C3
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak setuju 15 20.0 20.0 20.0
ragu-ragu 16 21.3 21.3 41.3
setuju 44 58.7 58.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

C4
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak setuju 27 36.0 36.0 36.0
ragu-ragu 21 28.0 28.0 64.0
setuju 27 36.0 36.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C5
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ragu-ragu 19 25.3 25.3 25.3
setuju 56 74.7 74.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

C6
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid setuju 3 4.0 4.0 4.0
ragu-ragu 12 16.0 16.0 20.0
tidak setuju 60 80.0 80.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C7
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid setuju 13 17.3 17.3 17.3
ragu-ragu 26 34.7 34.7 52.0
tidak setuju 36 48.0 48.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C8
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak setuju 3 4.0 4.0 4.0
ragu-ragu 10 13.3 13.3 17.3
setuju 62 82.7 82.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

C9
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak setuju 4 5.3 5.3 5.3
ragu-ragu 15 20.0 20.0 25.3
setuju 56 74.7 74.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

C10
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ragu-ragu 3 4.0 4.0 4.0
setuju 72 96.0 96.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C11
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ragu-ragu 9 12.0 12.0 12.0
setuju 66 88.0 88.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C12
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak setuju 12 16.0 16.0 16.0
ragu-ragu 19 25.3 25.3 41.3
setuju 44 58.7 58.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

C13
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid setuju 11 14.7 14.7 14.7
ragu-ragu 10 13.3 13.3 28.0
tidak setuju 54 72.0 72.0 100.0
C13
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid setuju 11 14.7 14.7 14.7
ragu-ragu 10 13.3 13.3 28.0
tidak setuju 54 72.0 72.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C14
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid setuju 13 17.3 17.3 17.3
ragu-ragu 12 16.0 16.0 33.3
tidak setuju 50 66.7 66.7 100.0
Total 75 100.0 100.0

C15
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ragu-ragu 18 24.0 24.0 24.0
setuju 57 76.0 76.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C16
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ragu-ragu 23 30.7 30.7 30.7
setuju 52 69.3 69.3 100.0
Total 75 100.0 100.0

C17
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak setuju 6 8.0 8.0 8.0
ragu-ragu 23 30.7 30.7 38.7
setuju 46 61.3 61.3 100.0
Total 75 100.0 100.0

C18
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak setuju 11 14.7 14.7 14.7
ragu-ragu 19 25.3 25.3 40.0
setuju 45 60.0 60.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C19
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid setuju 8 10.7 10.7 10.7
ragu-ragu 28 37.3 37.3 48.0
tidak setuju 39 52.0 52.0 100.0
Total 75 100.0 100.0

C20
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak setuju 3 4.0 4.0 4.0
ragu-ragu 20 26.7 26.7 30.7
setuju 52 69.3 69.3 100.0
Total 75 100.0 100.0

C21
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid setuju 7 9.3 9.3 9.3
ragu-ragu 16 21.3 21.3 30.7
tidak setuju 52 69.3 69.3 100.0
Total 75 100.0 100.0

A9

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid salah 11 14.7 14.7 14.7

benar 64 85.3 85.3 100.0

Total 75 100.0 100.0


status_ekonomi * motivasi_keluarga Crosstabulation

motivasi_keluarga

Tinggi Sedang Rendah Total

status_ekonomi lebihdarisamadengan 1500 Count 23 15 7 45

% within status_ekonomi 51.1% 33.3% 15.6% 100.0%

kurangdari1500 Count 15 12 3 30

% within status_ekonomi 50.0% 40.0% 10.0% 100.0%

Total Count 38 27 10 75

% within status_ekonomi 50.7% 36.0% 13.3% 100.0%

status_ekonomi * Peran_PMO Crosstabulation

Peran_PMO

ya tidak Total

status_ekonomi lebihdarisamadengan 1500 Count 43 2 45

% within status_ekonomi 95.6% 4.4% 100.0%

kurangdari1500 Count 29 1 30

% within status_ekonomi 96.7% 3.3% 100.0%

Total Count 72 3 75

% within status_ekonomi 96.0% 4.0% 100.0%

motivasi_keluarga * PMO Crosstabulation

PMO
Petugas
Keluarga kesehatan Total
motivasi_keluarga Tinggi Count 27 11 38
% within motivasi_keluarga 71.1% 28.9% 100.0%
Sedang Count 13 14 27
% within motivasi_keluarga 48.1% 51.9% 100.0%
Rendah Count 6 4 10
% within motivasi_keluarga 60.0% 40.0% 100.0%
Total Count 46 29 75
% within motivasi_keluarga 61.3% 38.7% 100.0%
Lampiran 5 Hasil Wawancara

Wawancara Pemegang Program TB Puskesmas Ciputat

P : Pewawancara

Nakes : Petugas kesehatan

P : Bagaimana pemilihan PMO pada pasien, kenapa lebih banyak PMO berasal

dari petugas kesehatan?

Nakes : Untuk PMO iya mba, memang biasanya bekerja sama dengan kader pada

masing-masing wilayah pasien. Kadernya kita kader posyandu, soalnya untuk TB

memang ga ada kadernya. Seperti nanti jika ada kasus TB biasanya kader

posyandu laporin ke Puskesmas.

P : oiya bu, tapi kalau dari keluarga sendiri berperan gasih bu terkait pengobatan

yang dijalani pasien?

Nakes : Kalau keluarga sebenarnya juga ikut serta mendampingi pasien, tapikan

mba biasanya keluarga hanya pada saat itu saja atau masa pengobatan saja ikut

berperan dengan pasien, selebihnya tidak kan kalau pasien sudah tidak menjalani

pengobatan, yaudah gitu aja. Makanya lebih mengembangkan kader di wilayah

masing-masing pasiennya mba.. ntar biar bisa bantu pasiennya juga.

P : Oiyaa bu.. berarti kalau begitu ada pelatihan atau penyuluhan gitu ya

sama kader?

Nakes : oiya mba ada, soalnya kita juga ada pelatihan dengan kader jugakan

namanya refreshing kader untuk posyandu dan posbindu dilakukan setahun 2 kali,

atau penyuluhan penyakit termasuk diantaranya penyakit TB yang disampaikan ke


kader, nanti dari kader posyandu dan posbindu kita undang ke Puskesmas.

P : Oiyaa bu, kan untuk Puskesmas sendiri kan dilihat dari datanya pada tahun

2015 masih belum mencapai keberhasilan pengobatannya, itu kenapa ya bu ?

Nakes : yaa itu mba, karena masih ada yang dropout yang bukan dari wilayah

kita, makanya terkadang saya malas suka gitu kadang pasien datang bukan dari

wilayah kita

P : tapi seharusnya dilakukan pelacakan kan bu kalau begitu ? dan kalau dropout

berarti sipasien sudah pernah menjalani pengobatan sebelumnya selama 2 bulan ?

Nakes : iyaa, karena dia bukan berasal dari wilayah kita yaudah ga dilakukan

pelacakan

P : oogitu ya bu, terus bagaimana sikap dari dinkes sendiri terkait keberhasilan

pengobatan di Puskesmas yang ga mencapai target bu ?

Nakes : yaa paling kita disuruh memperbaik kegiatan programnya mba, yang

biasanya kita lakukakan evaluasi setahun sekali. Tapi emang kalau kaya gitu

balik lagi ke pasien sih mba, soalnyakan pengobatannya lama, jadi emang harus

dari pasiennya yang ambisius semangat untuk minum obat biar sembuh..

P : oogitu yaa bu, berarti memang harus ada dukungan terus ya bu pasiennya

biar bisa sembuh.. hmm itu ajasih bu yang saya ingin tanyakan. Makasih banyak

sebelumnya bu

Nakes : iya sama-sama mba..


Wawancara Kader Ciputat

P : Pewawancara

K : Kader

P : Ini bu, katanyakan ibu sendiri kader posyandu dan ngerangkep bantu pasien

TB juga. Nah saya ingin menanyakan bagaiman peran ibu sebagai kader dalam

membantu mengawasi pasien TB ?

K : iya neng, sebenarnya saya kader posyandu ngerangakap gitu, bisa untuk

mendampingi pasien TB. Karenakan kalau kita biasanya ada kasus ni TB,

keluarga ngelaporin cerita ke saya kalau ada tanda-tanda dari gejala TB, nanti

saya laporin ke puskesmas. ntar saya bawa tu dia pasiennya ke puskesmas supaya

biar dicek dahaknya.

P : oiya bu, kalau kaya gitu misal ada pasien yang positif TB, ibu ikut bantu

pasien itu juga ga ngedampingi atau mengawasi pasien tersebut selama menjalani

pengobatan ?

K : iya neng, kadang kita disuruh juga sama petugas puskesmas, disuruh ngawasi

pasien kalau ada yang obat pasien habis, pasien gabisa ni, saya bantu ambilin,

ngasi tau juga pasiennya obatnya diminum tiap hari gaboleh terlambat..

Atau pas posyandu juga saya sering nyampein sama ibu-ibu lain gimana gejala

TB, kalau ada apapa terlihat ada gejala lapor ke saya atau ke Puskesmas langsung

P : emm gitu, kalau gitu ibu kader diberikan pelatihan atau penyuluhan juga dong

sama puskesmas ?

K : yaa neng, kita lumayan lah sering ke puskesmas dapat undangan dari
puskesmas atau ke kelurahan dikasi penyuluhan gitu informasi penyakit ini itu,

termasuk TB..

P : oogitu ya bu, iya bu saya cuma pengen tahu gimana peran ibu sebagai kader

terhadap pasien TB di wilayah ibu saja..makasih banyak ya bu sebelumnya, maaf

mengganggu

K : iya sama-sama

Wawancara Responden Ciputat

P : Pewawancara

R : Responden

P : iya mba, saya ingin menanyakan kembali untuk yang sering mengingatkan

minum obat itu siapa ? dan pertama kali pengobatan di puskesmas itu seperti apa ?

apakah dijelasin harus ada pendamping atau gimana

R : kalau yang pertama kali berobat saya sendiri, ga ditemani siapasiapa. Cuma

dikasih tau pemeriksaa dahak, dikasi obat. Disuruh minum obat 6 bulan, yaudah..

kalau ngingetin itu biasanya mamah dan dokternyalah mba

P : itu mamanya ngasi informasi apa aja ? ada ga ngasi informasi efek samping

obat, suruh pemeriksaan dahak, risiko yang dialami kalau ga minum obat? Itu ada

aga mba

R : yah paling mama gitu aja ngingetin minum obat, makan, hal-hal kaya biasa

sih.

P : itu berarti kalau kaya gitu yang ngingetin pemeriksaan dahak, efek samping,
itu petuga kesehatannya ya mba atau giman ?

R : iya kalau hal-hal kaya gitu, sih lebih ke dokternya mba.

P :hemm gitu, berarti lebih ke dokternya ya ? bukan mama

R : ya waktu itu pernah sih, Cuma bilang yaudah sana periksa lagi. Udah gitu

ajasih

P : oo gitu, berarti lebih mengingatkan sehari hari aja ya mba mamanya, kaya

minum obat dan makan sehat. Kalau kaya hal-hal lain yang harus dipatuhi pasien

selama pengobatan gitu lebih ke petugas kesehatan atau seperi apa ? dan dari

petugas kesehatannya pernah ga melakukan kunjungan rumah gitu ?

R : iyaa mba kalau hal-hal lain biasanya dokternya. ya gaperna sih mba.. cuma

datang ke Puskemas saja saya ambil obat, udah gitu aja. Kadang juga ga ketemu

ibunya, diwakili sama bidan lain.

P : kalau untuk kadernya sendiri gimana mba ?

R : ya ada sih itu, karena saya tahu sakit ngomong sama mamah, suruh saya

berobat jangan lupa minum obat gitu mba..

P : oogituu ya mba, pernah mengalami efek samping obat gitu ga ?

R : ya pernah sih, awal-awal mual ga nafsu makan, pusing..

P : berarti pernah mengalami penurunan berat badan ?

R : iya pernah pas awal-awal

P : kalau kaya gitu, dari petugas kesehatannya sering ngingetin ga kalau berat

badan turun harus ginii, makan sehat minum susu gitu mba?

R : iya mba ngingetin petugasnya dokternya suruh minum susu, makan yang sehat

bergizi gitulah mba,


P : kalau begitu, petugas kesehatannya kan sering ngingetin itu, tapi menurut mba

petugasnya cuekkah atau tegas ?

R : ya biasa aja sih mba, standar-standar aja ga cuek biasa aja, tapi tegas yaa

lumayan mba.

P : oo gitu.. tapi mbanya dikasi taukan kaya risiko yang dialami kalau gak minum

obat itu kaya apa ?

R : iya paling dibilangin disuruh ngulang kalau ga minum obat..

P : emm, tapi mba maksudunya termotivasi ga, atau dapat motivasi ga dari

dokternya selama mba menjalani pengobatan ?

R : iyalah mba termotivasi, walaupun kadang juga jarang ketemu pas ngambil

obat. Tapikan yang sering mengingatkan saya untuk ini itu dari dokternya

P : oo gitu yaa, alhamdulillah ya mba sekarang sudah sembuh.. yaudah mba itu

aja, makasih banyak yaa telah meluangkan waktunya..

R : iya sama-sama mba...

Wawancara Pemegang Program TB Puskesmas Kampung Sawah

P : Pewawancara

Nakes : Petugas kesehatan

P : Bagaimana pemilihan PMO pada pasien, kenapa lebih banyak PMO

berasal dari keluarga?

Nakes : Untuk PMO sendiri dari keluarga,biar enak aja gitu soalnya kan selalu

dekat dengan pasien, saya tunjuk ni keluarganya untuk jadi PMO. Dikasi
informasi kalau harus minum obat terus, kalau habis ke puskesmas ambil obat,

pemeriksaan dahak dll...

P : kalau pasiennya ga ada keluarga gimana bu?

Nakes : yaa kalau pasiennya ga ada keluarga biasanya yang jadi PMO nya

tetangganya tu, saya tanya punya tetangga yg dekat ga ? kalau ada saya suruh ke

puskesmas, saya jelasin ke dia gimana cara ngawasi ni pasien, kalau ada apapa

lapor ke saya. Kaya itu ada pasien saya ditinggal istrinya karena sakit-sakitan,

untung ada tetangganya yg peduli datang ke puskesmas bawa kartu kontrol pasien,

minta obat karena katanya obatnya sudah habis pantesan berapa hari ni ga datang,

biasanya diambilin istrinya atau anaknya. Eh untung aja ada tetangganya yang

baik..kebetulan tetangganya juga dulunya pernah sakit TB, tapi udh sembuh jadi

tau neng..

P : oo gitu ya bu... berarti emang lebih ditekankan kekeluarga sendiri ya atau

tetangga si pasien ?

Nakes : iyaa, neng benar..soalnya kadang kan saya sendiri banyak tugas

dipuskesmas, jadi agak keribetan sendiri ntarnya. Paling kalau ada pasien mangkir

saya kunjungi atau ga saya telpon, kalau gabisa ditelpon baru datengi

kerumahnya.

P : oo gitu ya bu, emang dari hasil wawancara saya juga pas turun lapangan

katanya sebagaian besar PMO nya dari keluarga. Kalau begitu makasih banyak ya

bu sebelumnya

Nakes : oiya neng iya bener, samasama...


Wawancara Responden Kampung Sawah

P : Pewawancara

R : Responden

P : Ibu, saya ingin menanyakan terkait pendamping atau yang ngawasi ibu minum

obat itu siapa ? ada ga dari petugas kesehatan menyampaikan harus ada

pendamping ?

R : oo iya dari ibu haji ipad dulunya, sekarang bu niken.

P : iya bu, ada gak yang harus ngingetin ibu minum obat, dari keluarga atau siapa

gitu ?

R : iya ada.. oo itu anak ibu yang ngingetin

P : itu anak ibu nginngetin apa aja bu, kan minum obatnya setiap hari itu bu ?

R: iya diingetin harus minum obat jam 9, jangan telat ke puskesmas kan ada

jadwal-jadwalnya gitu kan neng.

P : kalau dari petugas kesehatannya itu ngingetin gitu ga bu ? ibu harus periksa

dahak, terus ngasi informasi apa lagi ?

R : harus minum obat 6 bulan, kalau udah sehat udah berhenti ya bu udah 6 bulan.

udah ga ada lagi...

P : Kalau selama pengobatan gimana bu, diingetin ga ? dan nyampein apa aja ?

R : iya neng diingetin minum obatnya jangan lupa sekalipun, ntar bakal ngulang

lagi...

P : terus ngasi tau ga kaya harus makan-makanan bergizi, minum susu gitu ga bu ?

R : iya disuruh minum susu, kaya susu beruang, saya pernah dikasi neng. Disuruh
makan enak bu, makan telur rebus. Diingetin sama bu niken.

P : tapi dari ibu sendiri pernah ga ngalamin sakit, efek samping obat lainnya ?

R : iya bu sendiri mah gapernah, tapi dari bu niken ngingetin gitu bilang ke saya

ni ibu mah obatnya keras, ada efek sampingnya kaya mual.

P : tapi anak ibu sering ga ngingetin datang ke puskesmas, atau dari bu niken atau

haji ipadanya yang ngomong ke anak ibu. Ni bu nya harus diingetin minum obat,

ntar kalau obatnya habis disuruh ambil ke puskesmas. pernah ga bu gitu ?

R : iya neng, pernah pertama kali sama kakak saya sama anak saya. ntar kalau

jadwalnya saya ke puskesmas, anak saya ngingetin. Mah waktunya ke puskesmas

gitu neng...

P : terus ibu nikennya pernah melakukan kunjungan ga ? dan ibunya pernah telat

ngambil obat ga ?

R : gapernah neng, iya saya gapernah telat ngambil obatnya.

P : terus kaya keluarga gitu, ngasi semangat atau motivasi gitu ga ke ibu selama

menjalani pengobatan ?

R : ya semuanya itu dukung neng, orang saya pertama meriksa dahak rontgen

kakak saya yang nganter ke RS UIN tadinya, terus disuruh pengobatan ke

puskesmas, dan obatnya gratis jugakan. Ya dukung lah neng, apalagi anak saya

yang pertama atau kakak saya sendiri tu, suaminya juga sama kaya saya sakit

paru-paru kaya saya, minum obat selama 6 bulan juga. Jadi sering diingetin.

P : tapi bu, yang lebih sering ngingetin itu anak ibu atau dari petugas kesehatan ?

R : iya keluarga neng, tetangga saya juga kalau mau kepuskesmas kadang ngajak

saya ayokk saya anterin ngambil obat, ngingetin gitu kalau sakit jangan dirasain
sendiri yaudah ayok ronsen...

P : tapi bu haji ipadnya atau bu nikennya tegas ga bu ?

R : iya neng, ya tegas sering bercanda juga ngingetin minum susu kaya tadi

P : tapi kalau kadernya sendiri ada ga ngingetin bu ?

R : ya kadernya juga keluarga ibu juga tu, tapi lebih sering ke posyandu atau

posbindu gitu sih neng, kan ada posbindu lansia tu.. ya paling itu aja neng

P : emm gitu ya bu,... tapi dari keluarga ada yang ngejauhin ibu ga ?

R : ya alhamdulillah sih neng, anak ibu keluarga ibu juga udah pada ngerti yaa ga

ngejauh, malah dukung saya terus biar sehat. Yaa paling tetangga taunya sakit

paru-paru gitu aja biasalah. Tapi yaa selebihnya kita baik-baik aja. Gapapa..

P : iyayabu.. kalau dari petugas kesehatan nanyak keluhan ga ?

R : ya kalau nanya keluhan sih iya neng, tapi kadang-kadang aja. cuma kalau

datang dikasi obat, timbang berat badan, kasi obat yaudah itu aja neng. Ga setiap

ibu datang ngambil obat, ditanyain keluhannya, cuma bilang kau sakit harus

diobatin jangan dirasain sendiri, biar sembuh.

P : oo gitu ya bu, tapi ibu tahukan sebelumnya kalau sakit paru-paru bisa

disembuhkan ?

R : iya neng tau, bu haji ipad ngomong kalau udah minum obat 6 bulan bisa

sembuh, terus tu anak saya juga kakak saya ngingetin kalau minum obat pasti

sembuh mah katanya gitu..

P : oo gitu ya bu, jadi selama pengobatan banyak dukungan dari keluarga nya ibu

ya biar bisa sembuh..

R : iya neng... alhamdulillah


P: oh iyaa bu, syukurlah sekarang sudah sembuh. Hemm udah sih ibu itu aja,

makasih banyak ya bu sebelumnya sudah meluangkan waktunya..

R : iya neng, samaasamaa.. amiinn

Anda mungkin juga menyukai