Anda di halaman 1dari 1

Tujuh Alasan untuk Tidak Membaca Novel

Javier Marías pernah menulis esai menarik mengenai tujuh alasannya untuk tidak menulis
novel. Sekarang izinkan saya setidaknya membuat daftar yang sama untuk tidak membaca novel.
1) Terlalu banyak bacaan yang barangkali lebih menarik daripada novel. Berita-berita di
koran lebih sering mencengangkan daripada fiksi paling gila yang ditulis para novelis. Membaca
apa yang ditulis teman di media sosial saya rasa lebih memberi keintiman daripada apa yang
ditulis para novelis yang sama sekali tidak dikenal, tentang dunia yang juga tidak kita kenali.
2) Pepatah mengatakan, tak ada yang baru di bawah langit, saya rasa itu juga berlaku
untuk novel. Kita pernah membaca beberapa novel, kenapa harus membaca lagi. Kenapa harus
membaca kisah-kisah percintaan yang mengharu biru jika kita pernah membacanya di karya Jane
Austen? Benar, seharusnya kopi yang dibuat di satu warung rasanya berbeda dengan kopi di
warung lain meskipun sama-sama kopi, tapi di dunia ini terlalu banyak kopi yang rasanya sama
saja: ini juga berlaku untuk novel. Seharusnya, ya seharusnya, kita merasakan kisah cinta,
dendam, kemarahan atau lainnya secara berbeda dari satu novel ke novel lain, tapi lebih banyak
kita merasakan hal yang sama serupa kopi yang diseduh alakadarnya.
3) Novel sendiri, tanpa memperhitungkan bacaan yang lain, diproduksi secara gila-gilaan
banyaknya. Kita tak perlu menghitung karya-karya klasik yang bertahan selama puluhan atau
ratusan tahun, yang konon sebaiknya dibaca, tapi lihatlah berapa novel yang diproduksi setiap
bulan? Tak perlu di dunia, cukup di negara kita? Kuantitas yang seperti air bah ini saya rasa
mengindikasikan bahwa novel tak lagi mengandung sesuatu yang mendalam yang layak
ditengok. Ia sudah seperti donat yang keluar dari penggorengan.
4) Membaca novel, tentu saja selain mengeluarkan biaya (jika kamu membelinya), juga
menyita waktu (yang bisa kamu pergunakan secara produktif untuk melakukan hal lain). Berbeda
dengan menonton film (yang bisa kamu perhitungkan sekitar 100 menit), dan mendengarkan
musik (satu lagu sekitar 3 menit, satu album sekitar 45 menit dan bisa kamu lakukan sambil
mengerjakan hal lain), membaca novel menyita waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan
berminggu-minggu. Dan kamu tak bisa melakukannya sambil melakukan hal lain (kecuali
mendengarkan musik, barangkali).
5) Membaca novel jelas tidak menghasilkan uang. Hanya editor, dan barangkali penulis
resensi novel, yang membaca novel dan menghasilkan uang, itu pun tak seberapa.
6) Membaca novel juga barangkali tidak membuatmu lebih pintar. Jika kamu perlu
membaca buku agar kamu mengetahui teknik tertentu, kamu lebih baik membaca buku-buku
“how to” dan bukan novel, bahkan termasuk jika kamu ingin tahu bagaimana caranya bercinta,
bagaimana caranya memahami kepribadian orang, atau sekadar ingin tahu bagaimana membuat
kursi. Jika kamu ingin memahami dunia lebih mendalam, barangkali sebaiknya membaca karya
filsafat. Ensiklopedia, kamus, buku referensi, barangkali memberi pengetahuan yang kamu
butuhkan melebihi yang bisa diberikan sebuah novel.
7) Pikirkan juga bahwa para novelis seringkali mencoba, kadang memaksa, menyodorkan
gagasan-gagasan mereka. Seringkali gagasan ini hanya membuat kita tambah sakit kepala,
beberapa bahkan memprovokasi kemarahan kita, yang lain membuat kita menjadi kelabu dan
frustasi, tanpa kita berkesempatan mendebatnya karena bukan hal yang umum pembaca
berhadapan langsung dengan penulis novel.
Demikianlah setidaknya saya memiliki tujuh alasan untuk tidak membaca novel. Tapi
seperti Marías memiliki satu alasan, cukup satu alasan saja, untuk menulis novel, saya pun
memiliki satu alasan, cukup satu alasan saja, untuk membaca novel. Membaca novel membawa
saya ke satu dunia dan kehidupan, yang saya sadar saya memasukinya, bahkan memilihnya. Dan
setiap orang saya rasa, hanya perlu satu alasan, yang bisa berbeda-beda, untuk tetap membaca
novel.

Anda mungkin juga menyukai