Ginjal merupakan salah satu organ manusia yang terletak retroperitoneal di depan tulang iga ke delapan dan kedua belas. Sebagai organ tubuh manusia, ginjal memiliki peranan yang sangat penting khususnya dalam sistem urinaria. Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan asam basa darah, mengatur cairan dalam tubuh manusia, mengatur konsentrasi garam dalam darah dan sebagai sekresi bahan buangan. Sekresi ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya cairan intra vena, nutrisi parenteral total, nutrisi enteral, kebutuhan aktivitas, lingkungan, usia, anatomi sistem perkemihan, dan penyakit (Brunner and Suddarth, 2002). Berbagai penyakit dapat merusak komponen yang membentuk ginjal, meliputi pembuluh darah, saluran penyaring darah, sel ginjal (nefron) dan saluran penampung air seni. Penyakit yang dapat merusak ginjal bermacam- macam, salah satunya penyakit yang berada di ginjal yaitu gagal ginjal. Gagal ginjal dapat diartikan sebagai kelainan ginjal yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Gagal ginjal terbagi menjadi 2 yaitu gagal ginjal akut (GGA) dan gagal ginjal kronik (GGK). Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit renal tahap akhir atau chronic kidney disease adalah penyakit gangguan fungsi ginjal untuk mengatur keseimbangan asam basa darah, mengatur cairan dalam tubuh manusia, mengatur konsentrasi garam dalam darah dan sekresi bahan buangan yang berada dalam tahap akhir dan bersifat sangat progresif serta irreversible (Smeltzer. C, Suzanne, dalam Padali, 2012). The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya didiagnosis sebagai hasil dari skrining pada orang yang dicurigai mempunyai risiko masalah ginjal, seperti orang dengan hipertensi atau diabetes mellitus. Gagal ginjal kronis tidak dapat disembuhkan secara total dan merupakan masalah kesehatan yang besar pada masyarakat diseluruh dunia yang kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut World Health Organization (WHO) secara global, peningkatan kasus gagal ginjal kronik (GGK) terus berlanjut hingga lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik (GGK) (Hidayanti, 2016). Di Amerika Serikat, prevalensi penyakit gagal ginjal kronik meningkat 20-25% setiap tahun, data menunjukkan bahwa tiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta orang Amerika adalah pasien dialysis (Nastiti, 2015). Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), di Indonesia akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal pada tahun 1995- 2025 sebesar 41,4% sedangkan data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PENEFRI) di perkirakan saat ini terdapat 70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Report Of Indonesian Renal Registery, diagnosa utama pasien gagal ginjal kronik (GGK) pada tahun 2015 di Indonesia sejumlah 18.613 orang, sedangkan jumlah pasien baru yang menjalani hemodialisa pada tahun 2015 sejumlah 21.050 pasien dan pasien aktif yang menjalani hemodialisa sejumlah 30.554 pasien. Menurut Riskesdas, 1-3 dari 10.000 penduduk Jawa Timur mengalami gagal ginjal kronik (GGK) dan Jawa Timur menempati urutan ke 11 pada prevalensi gagal ginjal kronik (GGK) (Hidayanti, 2016). Sedangkan di RSUD Dr. Hardjono Ponorogo prevalensi gagal ginjal kronik (GGK) terus meningkat dari sejumlah 200 orang pada tahun 2014 dengan kunjungan hemodialisa sebanyak 12.101 kali dan sejumlah 250 orang pada bulan Januari-Oktober 2015 dengan kunjungan hemodialisa sebanyak 12.573 kali. Terapi hemodialisa sangat penting dilakukan untuk mempertahankan kondisi pasien gagal ginjal kronis, meskipun sebenarnya hemodialisa tidak memulihkan penyakit ginjal sepenuhnya dan pasien akan mengalami berbagai macam komplikasi setelah di lakukan tindakan tersebut. Tindakan ini sangat penting untuk dilakukan karena kemampuan ginjal untuk menjalankan fungsinya semakin berkurang, sehingga zat sisa metabolisme tubuh seperti urea, asam urat, dan kreatinin tidak dapat diekskresikan (National Chronic Kidney Disease Fact Sheet, 2014). Berkurangnya fungsi ginjal di awali pada penyakit gagal ginjal kronik (GGK) stadium 1 dengan kondisi kerusakan nefron dan ditandai dengan albuminaria persisten namun glomerulus filtration rate (GFR) masih >90ml/menit/1,73 m2. Penyakit ginjal terus berlanjut seiring berjalannya waktu dan jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidak berubah. Ketika kuantitas nefron yang bertugas melakukan fungsinya menurun secara progresif, nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya. Meningkatnya kecepatan kerja ginjal berarti nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati (Elizabeth, 2014). Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi sebagai adaptasi yang dilakukan oleh ginjal terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Adaptasi yang dilakukan ginjal meningkatan kecepatan filtrasi beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron, meskipun glomerulus filtration rate (GFR) untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi yang dilakukan oleh ginjal cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Tetapi jika sekitar 75% masa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus- tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan (Price, 2006). Pada gagal ginjal kronilk (GGK) stadium 5, dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh sehingga akan terjadi uremia. Disebut uremia bila kadar ureum di dalam darah di atas 50 mg/dl (Alper, 2015). Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Bila sampai di kulit akan menyebabkan pruritus uremikum. Rasa gatal pada priritus uremikum setidaknya 3 periode dalam waktu 2 minggu yang menimbulkan gangguan, atau rasa gatal yang terjadi lebih dari 6 bulan secara teratur. Pruritus merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada pasien hemodialisis. Hampir 60-80% pasien gagal ginjal kronik yang menjalani dialisis (baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal) mengeluhkan pruritus. Pruritus bisa dikeluhkan setiap saat (konstan), atau hilang timbul (episodik). Beberapa pasien mengeluhkan pruritus di bagian tubuh tertentu (terlokalisasi), sementara yang lain di seluruh tubuh (menyeluruh) (Roswati, 2013). Menurut Riza tahun 2011, sebuah penelitian dilakukan oleh Widiana et al di RSCM Jakarta menunjukan bahwa 71,4 % pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis secara rutin ternyata mengalami pruritus sedangkan Patel et al menyatakan bahwa prevalensi dari pruritus yang berhubungan dengan hemodialisis berkisar antara 22%-90%. Dapat dilihat frekuensi hemodialisis juga mempengaruhi pruritus, hal tersebut berkaitan bahwa semakin sering pasien dilakukan hemodialisa, pasien jatuh dalam kondisi uremia yang semakin sering. Faktor hemodialisa yang berpengaruh terhadap pruritus diantaranya heparin, eritropoietin, formaldehid, atau asetat. Terapi definitif pasien dialisis dengan pruritus uremik yang berat adalah transplantasi ginjal. Bagi pasien yang tidak dapat melakukan transplantasi atau masih menunggu, pengobatan yang berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan prosedur dialisis dapat meringankan keluhan pruritus. Pengobatan tersebut di antaranya mengoptimalkan dosis dialisis (adekuasi hemodialisis), mengobati anemia penyakit kronik, memperbaiki kadar mineral, terutama mempertahankan serum kalsium dan fosfat <55mg/dl. Selain itu dapat diberikan emolient, antihistamin, capsaicin topikal, sinar ultra violet blue (UVB), dan atau antagonis opiat. Pengobatan dengan akupunktur dan electric needle stimulation akan menyembuhkan pruritus uremik setelah beberapa sesi terapi. Paratiroidektomi dapat dilakukan pada pasien dengan paratiroid sekunder dan akan mengurangi gatal dalam 24 - 48 jam pasca operasi, tetapi jika penderita menjadi hiperkalsemia setelah operasi maka pruritus akan terjadi kembali, meskipun ada penelitian yang mengatakan bahwa hiperkalsemia tidak menyebabkan gatal. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kejadian insomnia pada pasien gagal ginjal kronis yang mengalami pruritus dengan judul: “Hubungan Frekuensi Hemodialisa Terhadap Kejadian Pruritus Uremik Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah “Apakah ada hubungan frekuensi hemodialisa terhadap kejadian pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di ruang hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo? ” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan frekuensi hemodialisa terhadap kejadian pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di ruang hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mengidentifikasi frekuensi hemodialisa terhadap kejadian pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di ruang hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo. 1.3.2.2 Mengidentifikasi kejadian pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) yang menjalani terapi hemodialisa di ruang hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo. 1.3.2.3 Menganalisis hubungan frekuensi hemodialisa terhadap kejadian pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di ruang hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis 1.4.1.1 Bagi profesi keperawatan Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan asuhan keperawatan yang berhubungan dengan perawatan pasien gagal ginjal kronik. 1.4.1.2 Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan evaluasi yang dipergunakan dalam pelaksanaan praktek layanan keperawatan khususnya pada pasien gagal ginjal kronik. 1.4.1.3 Bagi pendidikan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam proses keperawatan di institusi pendidikan serta dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan materi perkuliahan yang bermanfaat. 1.4.1.4 Bagi klien Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan atau informasi dalam perawatan pada klien dengan gagal ginjal kronik. 1.4.2 Manfaat Teoritis 1.4.2.1 Bagi Peneliti Mendapat pengalaman nyata bagi penulis dalam melaksanakan penelitian tentang hubungan frekuensi terapi hemodialisa terhadap kejadian pruritus pada pasien gagal ginjal kronik (GGK). Menambah pengetahuan wawasan dan untuk pengembangan IPTEK serta menumbuhkan ilmuwan- ilmuwan baru dibidang kesehatan. 1.4.2.2 Bagi Perawat Sebagai bahan masukan dalam memberikan asuhan keperawatan langsung kepada pasien dan memberikan penyuluhan serta komunikasi terapeutik kepada pasien gagal ginjal kronis.