Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan salah satu organ manusia yang terletak
retroperitoneal di depan tulang iga ke delapan dan kedua belas. Sebagai
organ tubuh manusia, ginjal memiliki peranan yang sangat penting
khususnya dalam sistem urinaria. Ginjal berfungsi untuk mengatur
keseimbangan asam basa darah, mengatur cairan dalam tubuh manusia,
mengatur konsentrasi garam dalam darah dan sebagai sekresi bahan
buangan. Sekresi ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya cairan
intra vena, nutrisi parenteral total, nutrisi enteral, kebutuhan aktivitas,
lingkungan, usia, anatomi sistem perkemihan, dan penyakit (Brunner and
Suddarth, 2002).
Berbagai penyakit dapat merusak komponen yang membentuk ginjal,
meliputi pembuluh darah, saluran penyaring darah, sel ginjal (nefron) dan
saluran penampung air seni. Penyakit yang dapat merusak ginjal bermacam-
macam, salah satunya penyakit yang berada di ginjal yaitu gagal ginjal.
Gagal ginjal dapat diartikan sebagai kelainan ginjal yang tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Gagal ginjal terbagi menjadi 2 yaitu gagal ginjal
akut (GGA) dan gagal ginjal kronik (GGK). Gagal ginjal kronik (GGK) atau
penyakit renal tahap akhir atau chronic kidney disease adalah penyakit
gangguan fungsi ginjal untuk mengatur keseimbangan asam basa darah,
mengatur cairan dalam tubuh manusia, mengatur konsentrasi garam dalam
darah dan sekresi bahan buangan yang berada dalam tahap akhir dan bersifat
sangat progresif serta irreversible (Smeltzer. C, Suzanne, dalam Padali,
2012).
The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the
National Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi
apabila berlaku kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus
filtration rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau
lebih. Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya didiagnosis sebagai hasil dari
skrining pada orang yang dicurigai mempunyai risiko masalah ginjal, seperti
orang dengan hipertensi atau diabetes mellitus. Gagal ginjal kronis tidak
dapat disembuhkan secara total dan merupakan masalah kesehatan yang
besar pada masyarakat diseluruh dunia yang kejadiannya semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut World Health Organization (WHO) secara global,
peningkatan kasus gagal ginjal kronik (GGK) terus berlanjut hingga lebih
dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik (GGK)
(Hidayanti, 2016). Di Amerika Serikat, prevalensi penyakit gagal ginjal
kronik meningkat 20-25% setiap tahun, data menunjukkan bahwa tiap tahun
200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis karena gangguan ginjal
kronis artinya 1140 dalam satu juta orang Amerika adalah pasien dialysis
(Nastiti, 2015). Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), di
Indonesia akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal pada tahun 1995-
2025 sebesar 41,4% sedangkan data dari Persatuan Nefrologi Indonesia
(PENEFRI) di perkirakan saat ini terdapat 70.000 penderita gagal ginjal di
Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Report Of Indonesian Renal Registery, diagnosa
utama pasien gagal ginjal kronik (GGK) pada tahun 2015 di Indonesia
sejumlah 18.613 orang, sedangkan jumlah pasien baru yang menjalani
hemodialisa pada tahun 2015 sejumlah 21.050 pasien dan pasien aktif yang
menjalani hemodialisa sejumlah 30.554 pasien. Menurut Riskesdas, 1-3 dari
10.000 penduduk Jawa Timur mengalami gagal ginjal kronik (GGK) dan
Jawa Timur menempati urutan ke 11 pada prevalensi gagal ginjal kronik
(GGK) (Hidayanti, 2016). Sedangkan di RSUD Dr. Hardjono Ponorogo
prevalensi gagal ginjal kronik (GGK) terus meningkat dari sejumlah 200
orang pada tahun 2014 dengan kunjungan hemodialisa sebanyak 12.101 kali
dan sejumlah 250 orang pada bulan Januari-Oktober 2015 dengan
kunjungan hemodialisa sebanyak 12.573 kali.
Terapi hemodialisa sangat penting dilakukan untuk mempertahankan
kondisi pasien gagal ginjal kronis, meskipun sebenarnya hemodialisa tidak
memulihkan penyakit ginjal sepenuhnya dan pasien akan mengalami
berbagai macam komplikasi setelah di lakukan tindakan tersebut. Tindakan
ini sangat penting untuk dilakukan karena kemampuan ginjal untuk
menjalankan fungsinya semakin berkurang, sehingga zat sisa metabolisme
tubuh seperti urea, asam urat, dan kreatinin tidak dapat diekskresikan
(National Chronic Kidney Disease Fact Sheet, 2014).
Berkurangnya fungsi ginjal di awali pada penyakit gagal ginjal kronik
(GGK) stadium 1 dengan kondisi kerusakan nefron dan ditandai dengan
albuminaria persisten namun glomerulus filtration rate (GFR) masih
>90ml/menit/1,73 m2. Penyakit ginjal terus berlanjut seiring berjalannya
waktu dan jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk
mempertahankan homeostasis tidak berubah. Ketika kuantitas nefron yang
bertugas melakukan fungsinya menurun secara progresif, nefron yang
tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya.
Meningkatnya kecepatan kerja ginjal berarti nefron yang tersisa menghadapi
tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan
akhirnya mati (Elizabeth, 2014).
Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi sebagai adaptasi yang
dilakukan oleh ginjal terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Adaptasi yang
dilakukan ginjal meningkatan kecepatan filtrasi beban zat terlarut dan
reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron, meskipun glomerulus filtration rate
(GFR) untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di
bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi yang dilakukan oleh ginjal cukup
berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Tetapi jika sekitar 75%
masa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut
bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-
tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan
reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan (Price, 2006).
Pada gagal ginjal kronilk (GGK) stadium 5, dijumpai penurunan
ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh sehingga akan terjadi uremia. Disebut
uremia bila kadar ureum di dalam darah di atas 50 mg/dl (Alper, 2015).
Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan
ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat
menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan
sistem saraf pusat. Bila sampai di kulit akan menyebabkan pruritus
uremikum.
Rasa gatal pada priritus uremikum setidaknya 3 periode dalam waktu
2 minggu yang menimbulkan gangguan, atau rasa gatal yang terjadi lebih
dari 6 bulan secara teratur. Pruritus merupakan keluhan yang paling sering
terjadi pada pasien hemodialisis. Hampir 60-80% pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani dialisis (baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal)
mengeluhkan pruritus. Pruritus bisa dikeluhkan setiap saat (konstan), atau
hilang timbul (episodik). Beberapa pasien mengeluhkan pruritus di bagian
tubuh tertentu (terlokalisasi), sementara yang lain di seluruh tubuh
(menyeluruh) (Roswati, 2013).
Menurut Riza tahun 2011, sebuah penelitian dilakukan oleh Widiana
et al di RSCM Jakarta menunjukan bahwa 71,4 % pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis secara rutin ternyata mengalami pruritus
sedangkan Patel et al menyatakan bahwa prevalensi dari pruritus yang
berhubungan dengan hemodialisis berkisar antara 22%-90%. Dapat dilihat
frekuensi hemodialisis juga mempengaruhi pruritus, hal tersebut berkaitan
bahwa semakin sering pasien dilakukan hemodialisa, pasien jatuh dalam
kondisi uremia yang semakin sering. Faktor hemodialisa yang berpengaruh
terhadap pruritus diantaranya heparin, eritropoietin, formaldehid, atau
asetat.
Terapi definitif pasien dialisis dengan pruritus uremik yang berat
adalah transplantasi ginjal. Bagi pasien yang tidak dapat melakukan
transplantasi atau masih menunggu, pengobatan yang berhubungan ataupun
tidak berhubungan dengan prosedur dialisis dapat meringankan keluhan
pruritus. Pengobatan tersebut di antaranya mengoptimalkan dosis dialisis
(adekuasi hemodialisis), mengobati anemia penyakit kronik, memperbaiki
kadar mineral, terutama mempertahankan serum kalsium dan fosfat
<55mg/dl. Selain itu dapat diberikan emolient, antihistamin, capsaicin
topikal, sinar ultra violet blue (UVB), dan atau antagonis opiat. Pengobatan
dengan akupunktur dan electric needle stimulation akan menyembuhkan
pruritus uremik setelah beberapa sesi terapi. Paratiroidektomi dapat
dilakukan pada pasien dengan paratiroid sekunder dan akan mengurangi
gatal dalam 24 - 48 jam pasca operasi, tetapi jika penderita menjadi
hiperkalsemia setelah operasi maka pruritus akan terjadi kembali, meskipun
ada penelitian yang mengatakan bahwa hiperkalsemia tidak menyebabkan
gatal.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai kejadian insomnia pada pasien gagal ginjal
kronis yang mengalami pruritus dengan judul: “Hubungan Frekuensi
Hemodialisa Terhadap Kejadian Pruritus Uremik Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik (GGK) di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan
masalah “Apakah ada hubungan frekuensi hemodialisa terhadap kejadian
pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di ruang hemodialisa
RSUD Dr. Hardjono Ponorogo? ”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan frekuensi hemodialisa terhadap kejadian
pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di ruang
hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi frekuensi hemodialisa terhadap kejadian
pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di
ruang hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo.
1.3.2.2 Mengidentifikasi kejadian pruritus uremik pada pasien gagal
ginjal kronik (GGK) yang menjalani terapi hemodialisa di
ruang hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo.
1.3.2.3 Menganalisis hubungan frekuensi hemodialisa terhadap
kejadian pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik
(GGK) di ruang hemodialisa RSUD Dr. Hardjono Ponorogo.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Praktis
1.4.1.1 Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi
profesi keperawatan dalam mengembangkan asuhan
keperawatan yang berhubungan dengan perawatan pasien
gagal ginjal kronik.
1.4.1.2 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
masukan dan evaluasi yang dipergunakan dalam pelaksanaan
praktek layanan keperawatan khususnya pada pasien gagal
ginjal kronik.
1.4.1.3 Bagi pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan
dalam proses keperawatan di institusi pendidikan serta dapat
digunakan sebagai pedoman dalam memberikan materi
perkuliahan yang bermanfaat.
1.4.1.4 Bagi klien
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan
atau informasi dalam perawatan pada klien dengan gagal
ginjal kronik.
1.4.2 Manfaat Teoritis
1.4.2.1 Bagi Peneliti
Mendapat pengalaman nyata bagi penulis dalam
melaksanakan penelitian tentang hubungan frekuensi terapi
hemodialisa terhadap kejadian pruritus pada pasien gagal
ginjal kronik (GGK). Menambah pengetahuan wawasan dan
untuk pengembangan IPTEK serta menumbuhkan ilmuwan-
ilmuwan baru dibidang kesehatan.
1.4.2.2 Bagi Perawat
Sebagai bahan masukan dalam memberikan asuhan
keperawatan langsung kepada pasien dan memberikan
penyuluhan serta komunikasi terapeutik kepada pasien gagal
ginjal kronis.

Anda mungkin juga menyukai