Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1 / 11 / 2016
1
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
2
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN
HUTAN LINDUNG TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN
DAN LAHAN.
Pasal 1
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
ini.
3
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Pasal 2
Petunjuk Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijadikan acuan
dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pasal 3
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang telah
dilaksanakan sebelum diberlakukannya Peraturan Direktur Jenderal
ini, dinyatakan tetap berlaku dan untuk pelaksanaan selanjutnya harus
disesuaikan dengan Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial Nomor P.1/V-SET/2013 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 November 2016
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
4
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
DUDI ISKANDAR
5
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG
NOMOR P.
TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerusakan fungsi hutan dan lahan yang diidentifikasi sebagai lahan
kritis di Indonesia berdasarkan Penetapan Peta dan Data Hutan
dan Lahan Kritis Tahun 2013 yang ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial Nomor SK.4/V-DAS/2015 seluas 70.181.762
Ha yang terdiri dari 24.303.294 Ha kategori Sangat Kritis sampai
dengan Kritis dan 45.878.468 Ha kategori Agak Kritis.
Kerusakan hutan dan lahan sudah tersebar di semua fungsi
kawasan sehingga menjadi ancaman yang cukup serius bagi daya
dukung DAS baik fungsinya sebagai penyangga kehidupan
maupun peran hidroorologis DAS. Indikator adanya degradasi
fungsi DAS ditunjukkan dengan meningkatnya bencana alam
banjir, longsor dan kekeringan yang melanda di sebagian besar
wilayah Indonesia pada dekade ini.
Dalam upaya mengendalikan laju kerusakan hutan dan lahan
tersebut Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
yang mengatur penyelenggaraan rehabilitasi serta reklamasi hutan
pada semua fungsi hutan serta areal penggunaan lain, pembagian
6
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup peraturan ini meliputi :
1. penyusunan rancangan kegiatan;
2. penyediaan bibit;
7
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
3. reboisasi;
4. penghijauan;
5. rehabilitasi hutan dan lahan daerah pesisir/pantai;
6. rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut;
7. konservasi tanah dan air;
8. tatacara evaluasi RHL; dan
9. penghapusan tanaman gagal/rusak.
D. Pengertian
1. Areal Produksi Benih yang selanjutnya disingkat APB adalah
sumber benih yang dibangun khusus atau berasal dari
tegakan benih terseleksi (TBS) yang kemudian ditingkatkan
kualitasnya dengan penebangan pohon-pohon yang
fenotipenya tidak bagus (inferior).
2. Air Tanah adalah air yang terdapat di bawah permukaan
tanah pada lapisan batuan yang jenuh air, yang disebut
sebagai akuifer.
3. Bangunan pengendali jurang (gully plug) adalah bendungan
kecil yang lolos air yang dibuat pada parit-parit, melintang
alur parit dengan konstruksi batu, kayu atau bambu.
4. Banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung
sungai.
5. Bangunan terjunan air adalah bangunan terjunan yang dibuat
pada tiap jarak tertentu pada saluran pembuangan air
(tergantung kemiringan lahan) yang dibuat dari batu, kayu
atau bambu.
8
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
9
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
10
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
11
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
24. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar
kawasan hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur
produksi dan media pengatur tata air DAS.
25. Land Mapping Unit (LMU) Terpilih adalah satuan lahan
terkecil pada RTk RHL DAS yang mempunyai kesamaan
kondisi biofisik (kekritisan lahan, fungsi kawasan, morfologi
DAS serta prioritas DAS) dengan klas erosi Agak Kritis, Kritis
dan Sangat Kritis serta Agak Kritis.
26. Lubang resapan biopori adalah lubang yang dibuat di dalam
tanah agar terjadi berbagai aktivitas organisme di dalamnya,
seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah
lainnya.
27. Mata Air adalah tempat pemunculan air tanah pada lapisan
akuifer di bawah permukaan tanah ke permukaan tanah
secara alamiah. Selanjutnya, air yang keluar dari mata air
akan mengalir di permukaan tanah sebagai air permukaan
melalui alur-alur sungai.
28. Normal Density Value Index yang selanjutnya disingkat NDVI
yaitu suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra
satelit kanal inframerah dan kanal merah yang menunjukkan
tingkat kerapatan vegetasi setiap piksel secara relatif.
29. Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman
dan lingkungannya agar tanaman tumbuh sehat dan normal
melalui pendangiran, penyiangan, penyulaman, pemupukan
dan pemberantasan hama dan penyakit.
30. Penghijauan adalah upaya pemulihan lahan kritis di luar
kawasan hutan untuk mengembalikan fungsi lahan.
12
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
13
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
14
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
46. Sumur Resapan Air (SRA) adalah salah satu bentuk rekayasa
teknik konservasi air berupa bangunan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali
dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat
menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau
kedap air dan meresapkannya kembali ke dalam tanah.
47. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan
berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai
dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh
garis sempadan.
48. Tanaman serbaguna (multi purpose tree species/MPTS)
adalah jenis tanaman yang menghasilkan kayu dan bukan
kayu antara lain buah- buahan, getah, kulit.
49. Tanaman unggulan lokal yang selanjutnya disingkat TUL
adalah jenis-jenis tanaman asli atau eksotik yang disukai
masyarakat karena mempunyai keunggulan tertentu berupa
produk kayu, buah dan getah yang produknya mempunyai
nilai ekonomi tinggi.
50. Tegakan awal adalah tegakan berupa anakan, pancang, tiang
dan pohon sebelum dilaksanakan penanaman atau
pengayaan tanaman.
51. Teras adalah bangunan konservasi tanah berupa bidang
olah, guludan dan saluran air searah dengan kontur
lapangan.
52. Unit Terkecil Pengelolaan (UTP) RHL, adalah LMU Terpilih
yang berada dalam suatu DAS/catchment kecil (micro
watershed) seluas 300 s/d 1000 hektar yang dibatasi oleh
batas alam berupa punggung-punggung bukit. Satu UTP RHL
15
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
16
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB II
PENYUSUNAN RANCANGAN KEGIATAN
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
17
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
18
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
19
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
3. Identifikasi lokasi
Identifikasi lokasi RHL dilakukan dengan menggunakan Peta
RTk-RHL DAS dan/atau RP-RHL serta hasil orientasi
lapangan.
4. Identifikasi tegakan awal
Identifikasi tegakan awal dalam rangka memperoleh data
jumlah tegakan per hektar untuk menentukan sasaran lokasi
penanaman intensif dan pengayaan tanaman menggunakan
metode remote sensing dan/atau terestris.
a. Metode remote sensing
Metode yang digunakan adalah metode digital klasifikasi
citra satelit.
Penjabaran lebih lanjut mengenai Metode Remote Sensing
diatur dalam Manual Identifikasi Tegakan Awal Sasaran
Lokasi RHL menggunakan Metode Remote Sensing.
b. Terestris
Identifikasi tegakan awal menggunakan pedoman
inventarisasi tegakan yang berlaku.
Disamping itu, identifikasi tegakan awal untuk menentukan
sasaran lokasi penanaman intensif dan pengayaan tanaman
dapat menggunakan Peta Liputan Lahan Ditjen Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan terbaru. Kelas penutupan
lahan “Tanah Terbuka” pada umumnya mempunyai tegakan
per hektar paling banyak 200 batang, sehingga dapat
digunakan sebagai lokasi penanaman intensif. Data tegakan
per hektar pada kelas penutupan lahan lainnya diperoleh
melalui pendetailan.
20
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
21
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB III
PENYEDIAAN BIBIT
22
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
23
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
24
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB IV
REBOISASI
A. Umum
Reboisasi secara umum ditujukan untuk mengembalikan fungsi
hutan baik sebagai fungsi perlindungan, konservasi sumberdaya
alam maupun fungsi produksi. Keberadaannya yang tersebar
sebagian besar di morfologi DAS bagian hulu dan tengah
menyebabkan sebagian besar kawasan hutan mempunyai fungsi
hidroorologis sebagai wilayah resapan air (recharge area) bagi
DAS tersebut. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi hutan di semua
fungsi menempati prioritas utama dalam pengelolaan DAS.
Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan awal, maka reboisasi
dibedakan menjadi 2 (dua) kegiatan yaitu penanaman intensif dan
pengayaan tanaman. Penanaman intensif ditujukan untuk lokasi
yang populasi tegakan/anakan paling banyak 200 batang per ha,
sedangkan pengayaan tanaman untuk menambah populasi pada
hutan yang memiliki tegakan awal berupa anakan, pancang, tiang,
dan pohon sejumlah 200-400 batang per Ha, dan apabila populasi
lebih besar dari 400 batang per ha cukup diadakan pengamanan
sehingga diharapkan akan menjadi hutan kembali secara suksesi
alami.
Reboisasi dilaksanakan pada LMU Terpilih yang terbagi menjadi 2
(dua) prioritas yaitu Prioritas I dan Prioritas II. Prioritas I merupakan
LMU terpilih kategori Kritis-Sangat Kritis menurut Peta RTk RHL
DAS dan lahan kritis mikro/sasaran tanaman RHL dengan luasan
kurang dari 25 Ha yang ditetapkan dalam RP RHL dengan kondisi
lahan terbuka dengan topografi bergunung. Sementara Prioritas II
25
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
yaitu LMU terpilih kategori Agak Kritis menurut Peta RTk RHL DAS
dan lahan kritis mikro/sasaran tanaman RHL dengan luasan kurang
dari 25 Ha yang ditetapkan dalam RP RHL dengan kondisi lahan
identik dengan hutan sekunder atau kebun campuran dengan
topografi landai sampai bergelombang.
Persyaratan umum lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dilaksanakan
pada hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang
tidak dibebani hak atau tidak dalam proses perijinan/pencadangan
areal untuk Hutan Tanaman Industri (HTI)/Hutan Tanaman Rakyat
(HTR).
Rehabilitasi kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung
dilakukan dengan menanam berbagai jenis. Hal ini dimaksudkan
agar fungsi konservasi atau fungsi lindung dapat tercapai secara
optimal. Sedangkan rehabilitasi kawasan hutan produksi dapat
mengembangkan penanaman satu jenis.
B. Lokasi
1. Hutan Konservasi
a. Maksud dan Tujuan
Rehabilitasi pada hutan konservasi dimaksudkan untuk
mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman dan
kelestarian flora dan fauna serta p em bi na a n h ab i ta t.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan konservasi diutamakan
pada lahan kritis/LMU terpilih dan atau sasaran RHL yang
ditetapkan pada RP- RHL, diutamakan pada RHL Prioritas
I, serta pada morfologi DAS hulu dan tengah kecuali hutan
konservasi mangrove. Penetapan prioritas pelaksanaan
26
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
27
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
c. Jenis Tanaman
Pemilihan jenis tanaman rehabilitasi hutan lindung
diarahkan tanaman yang berdaur panjang, perakaran
dalam, evapotranspirasi rendah diutamakan menghasilkan
hasil hutan bukan kayu (getah/kulit/buah) melalui
pengembangan aneka usaha kehutanan.
3. Hutan Produksi
a. Maksud dan Tujuan
Rehabilitasi hutan produksi dimaksudkan untuk mengem-
balikan dan meningkatkan produktivitas hutan.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan produksi adalah semua
hutan produksi yang diutamakan lahan kritis/LMU Terpilih
dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL,
diutamakan pada RHL Prioritas I, serta pada morfologi
DAS hulu dan tengah. Penetapan prioritas pelaksanaan
RHL dapat memper-timbangkan kendala biofisik maupun
sosial ekonomi setempat.
c. Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan
produksi antara lain yang memenuhi kriteria berikut ini:
1) nilai komersialnya tinggi;
2) teknik silvikulturnya telah dikuasai;
3) mudah pengadaan benih dan bibit yang berkualitas;
dan
4) disesuaikan dengan kebutuhan pasar.
5) sesuai dengan agroklimat.
28
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
29
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
30
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
32
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
33
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
34
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
35
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB V
PENGHIJAUAN
A. Umum
Penghijauan bertujuan menjaga dan meningkatkan fungsi
perlindungan tata air dan pencegahan bencana alam banjir,
longsor dan/atau untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan pada kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Penghijauan meliputi
Pembangunan Hutan Rakyat, Pembangunan Hutan Kota, dan
Penghijauan Lingkungan.
Sasaran penghijauan diutamakan pada lahan kritis/LMU Terpilih
dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL diluar
kawasan hutan negara, yang berfungsi sebagai kawasan lindung
dan atau kawasan budidaya. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL
dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi
setempat.
Kaidah-kaidah umum rehabilitasi lahan adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Lindung
Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan lindung,
memperhatikan prinsip-prinsip:
a. fungsi perlindungan tata air dan pencegahan bencana
alam banjir dan longsor.
b. mengakomodir budaya usahatani masyarakat setempat.
c. mengembangkan pola-pola insentif RHL bagi masyarakat
sesuai peraturan perundangan yang ada.
2. Kawasan Budidaya
36
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
B. Lokasi
1. Hutan Rakyat
a. Maksud dan Tujuan
Maksud pembangunan hutan rakyat/pengayaan adalah
untuk mewujudkan tanaman hutan di luar kawasan hutan
negara (lahan milik rakyat) sebagai upaya rehabilitasi
lahan tidak produktif (lahan kosong/kritis) di DAS prioritas.
Adapun tujuannya untuk memulihkan fungsi dan
meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil
tanaman berupa kayu dan non kayu, memberikan peluang
kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan
pendapatan masyarakat, kemandirian kelompok tani, serta
memperbaiki kualitas lingkungan dan mengurangi tekanan
penebangan liar di dalam kawasan hutan negara (illegal
logging).
b. Sasaran lokasi
Sasaran kegiatan hutan rakyat berupa lahan kritis/LMU
terpilih pada kawasan lindung dan budidaya, diutamakan
pada kawasan lindung diluar kawasan hutan di daerah hulu
dan tengah DAS dan atau sasaran RHL yang ditetapkan
37
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
38
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
39
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
40
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
e) penanaman bibit;
Penanaman hutan rakyat dilaksanakan pada LMU
Prioritas I paling sedikit 625 batang/ha dan LMU
Prioritas II paling sedikit 500 batang/ha.
Pelaksanaan pengayaan hutan rakyat pada LMU
Terpilih paling sedikit 400 (empat ratus)
batang/hektar
f) pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi
penyiangan, pendangiran dan penyulaman. Jumlah
bibit untuk penyulaman paling sedikit 10 % dari
jumlah yang ditanam.
Persentase tumbuh tanaman pada saat penilaian dan
penyerahan pekerjaan penanaman (P0) paling sedikit
70% dari jumlah tanaman baru.
Penanaman hutan rakyat dapat dilakukan dengan 2
(dua) pola sebagai berikut :
a) Tumpangsari
Tumpangsari (interplanting, mixed planting)
merupakan suatu pola penanaman yang
dilaksanakan dengan menanam tanaman semusim
sebagai tanaman sela di antara larikan tanaman
pokok (kayu/MPTS). Pola ini biasanya
dilaksanakan di daerah yang pemilikan tanahnya
sempit dan berpenduduk padat, tanahnya masih
cukup subur dan topografi datar atau landai.
Pengolahan tanah dapat dilakukan secara intensif.
b) Tanaman Hutan
41
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Pola tanam ini merupakan pola tanaman kayu-
kayuan, yang mengutamakan produk tertentu, baik
Pola tanam ini merupakan pola tanaman kayu-
kayu maupun non kayu.
kayuan, yang mengutamakan produk tertentu, baik
Adapun teknik penanaman hutan rakyat dilakukan
kayu maupun non kayu.
pada lahan terbuka maupun kebun campuran.
Adapun teknik penanaman hutan rakyat dilakukan
Penanaman hutan rakyat - pada lahan terbuka dapat
pada
PERATURAN NO.lahan
P. 8 / terbuka
PDASHL /maupun kebun
- 31/ KUM.1
SET / 11 /campuran.
2016
dilakukan dengan teknik :
Penanaman hutan rakyat pada lahan terbuka dapat
a) baris dan larikan tanaman lurus
dilakukan
Adapun dengan
teknik teknik :
penanaman hutan rakyat dilakukan pada
lahan Pelaksanaan
terbuka teknik ini dilakukan pada lahan
a) baris dan maupun kebun lurus
larikan tanaman campuran.
Penanaman
dengan tingkathutan kelerengan
rakyat pada lahantanah
datar tetapi terbuka
peka dapat
Pelaksanaan teknik ini dilakukan pada lahan
dilakukan dengan teknik :
terhadap erosi. Larikan tanaman dibuat lurus
dengan tingkat kelerengan datar tetapi tanah peka
dengan
a) baris jarak tanam
dan larikan teratur.
terhadap erosi.tanaman
Larikan lurustanaman dibuat lurus
Pelaksanaan
Pengaturan teknik tanaman ini dengan
dilakukan pada
teknik ini lahan
seperti dengan
dengan jarak tanam teratur.
tingkat kelerengan datar tetapi tanah peka terhadap erosi.
pada Gambar 2.
Pengaturan
Larikan tanaman tanaman
dibuat dengan
lurusteknik ini seperti
dengan jarak tanam
teratur.
pada Gambar 2.
Pengaturan tanaman dengan teknik ini seperti pada
Gambar 1.
Keterangan :
: Jalur tanaman pangan (tanaman tumpangsari)
43
Keterangan :
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET :/ Jalur
KUM.1 / 11 tanaman
/ 2016
pangan (tanaman
tumpangsari)
: Tanaman Kayu-kayuan /MPTS
c) Penanaman searah garis kontur
Gambar 2. Contoh Tanam Jalur dengan Pola
Teknik penanaman ini sesuai untuk lahan dengan
Tumpangsari
kelerengan agak curam s/d curam. Penanaman
c) Penanaman searah garis kontur
Teknikdilakukan dengan
penanaman inisistim cemplongan.
sesuai untuk lahan dengan
kelerengan agak curam s/d curam.
Cara pengaturan tanaman dengan Penanaman
teknik dilakukan
ini adalah
dengan sistim cemplongan.
Cara seperti pada Gambar
pengaturan tanaman4 berikut
dengan initeknik
: ini adalah
seperti pada Gambar 3 berikut ini :
44
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
45
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
46
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
c. Jenis Tanaman
Sebagaimana jenis tanaman hutan rakyat, hutan kemitraan
umumnya mengembangkan jenis-jenis tanaman sebagai
berikut: cepat tumbuh (fast growing species), mempunyai
nilai ekonomis yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan
industri.
d. Teknik Penanaman dan Pemeliharaan
Teknik penanaman dan pemeliharaan hutan rakyat
kemitraan sama dengan yang diuraikan pada butir B.1.e.
2. Hutan Kota
Pembangunan hutan kota dimaksudkan sebagai upaya untuk
perbaikan lingkungan perkotaan dengan tujuan untuk mewu-
judkan lingkungan hidup wilayah perkotaan yang sehat, rapi
dan indah dalam suatu hamparan tertentu sehingga mampu
memperbaiki dan menjaga iklim mikro, estetika, resapan air
serta keseimbangan lingkungan perkotaan.
Pembangunan Hutan Kota dilaksanakan di wilayah perkotaan
yang lokasinya ditunjuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota, dengan
luas paling sedikit 0,25 hektar. Pelaksanaan penanaman hutan
kota paling sedikit 625 batang/ha dan saat penilaian dan
penyerahan pekerjaan penanaman persen tumbuh tanaman
paling sedikit 90%.
Pembangunan hutan kota secara teknis sebagaimana di atur
dalam peraturan perundangan tersendiri.
3. Penghijauan Lingkungan
a. Maksud dan tujuan
Pembuatan tanaman penghijauan lingkungan dimaksudkan
sebagai upaya perbaikan lingkungan pada lahan-lahan
47
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
48
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
49
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB VI
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
DAERAH PESISIR/PANTAI
A. Umum
Maksud dan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan daerah
pesisir/pantai adalah untuk mengembalikan keberadaan vegetasi
daerah pesisir/pantai sehingga mampu berfungsi sebagai wilayah
perlindungan pantai dari abrasi dan intrusi air laut serta bencana
alam seperti tsunami maupun bencana lainnya. Secara umum
kegiatan RHL di daerah pesisir/pantai dibagi menjadi dua yaitu
hutan mangrove dan sempadan pantai.
50
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
2. Penyediaan Bibit
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi
lokasi persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik
untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan,
maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pembuatan bibit :
1) Penyiapan benih
a) pengumpulan benih
Bahan yang diperlukan adalah buah atau benih
yang matang dan bermutu bagus.
Pengumpulan benih dengan cara mengambil buah
jatuhan atau memetik langsung dari pohon
induknya dan ekstraksi biji dari buah.
Pengumpulan dilakukan berulang dengan interval
waktu tertentu.
b) Seleksi dan penanganan benih
Buah atau biji yang dipilih adalah berasal dari buah
yang matang, sehat, segar dan bebas hama. Ciri
kematangan buah dapat dilihat dari warna
kotiledon, warna hipokotil, berat buah atau ciri
lainnya.
c) Penyimpanan benih
51
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
52
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
53
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
54
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Jenis Tanaman.
Gambar 5. Zonasi Ekosistem Mangrove berdasarkan
Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor
Jenis Tanaman.
lingkungan dapat diperiksa pada Tabel 2.
Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungan dapat diperiksa pada Tabel 2.
Tabel 2. Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove
dengan faktor lingkungan.
Tabel 2. Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove
dengan faktor lingkungan.
55
Jenis Tanaman.
Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungan
PERATURAN dapat/ SET
NO. P. 8 / PDASHL diperiksa
/ KUM.1 pada Tabel
/ 11 / 2016 2.
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET- 41 -
/ KUM.1 / 11 / 2016
Toleransi Toleransi
terhadap terhadap Toleransi
Frekuensi
Jenis Salinitas kekuatan kandungan terhadap
penggenangan
(o/oo) ombak & pasir Lumpur
angin
1 2 3 4 5 6
Rhizophora
10-30 S MD S 20 hr/bln
mucronata (bakau)
R. stylosa (tongke
10-30 MD S S 20 hr/bln
besar)
R. apiculata
10-30 MD MD S 20 hr/bln
(tinjang)
Bruguiera parvilofa
10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(bius)
B. sexangula
10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(tancang)
B.gymnorhiza
10-30 TS TS MD 10-19 hr/bln
(tancang merah)
Sonneratia alba
10-30 MD S S 20 hr/bln
(pedada bogem)
S.caseolaris
10-30 MD MD MD 20 hr/bln
(padada)
Xylocarpus
10-30 TS MD MD 9 hr/bln
granatum (nyirih)
Heritiera littoralis
10-30 STS MD MD 9 hr/bln
(bayur laut)
Lumnitzera
Beberapa
racemora 10-30 STS S MD
kali/ thn
(Tarumtum)
Cerbera manghas Tergenang
0-10 STS MD MD
(bintaro) musiman
Nypa fruticans
0-10 STS TS S 20 hr/bln
(nipah)
Avicenia spp. (api-
10-30 MD TS S
api)
Keterangan
Keterangan : S: =S Sesuai, MD = MD
= Sesuai, Moderat, TS = Tidak
= Moderat, TS Sesuai,
= Tidak Sesuai,
STS = SangatSTS = Tidak
SangatSesuai
Tidak Sesuai
c. Penanaman
1) pelaksanaan penanaman di dalam kawasan hutan dan di
luar kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan jenis
56
42
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
c. Penanaman
1) pelaksanaan penanaman di dalam kawasan hutan dan
di luar kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan
jenis tanaman dan pola tanam sebagaimana tertuang
dalam rancangan.
2) rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan pada LMU
Prioritas I paling sedikit 1.100 batang/ha dan LMU
Prioritas II paling sedikit 1.650 batang/ha, dengan
pertimbangan memperhatikan tingkat keberhasilan
tumbuh.
3) persen tumbuh saat penilaian dan penyerahan
pekerjaan penanaman tahun pertama paling sedikit
70%.
4) pelaksanaan penanaman menyesuaikan dengan
musim setempat dan dimulai dari garis terdekat
dengan darat.
5) cara penanaman :
a) penanaman dengan benih
Penanaman dapat dilakukan dengan benih jenis
propagul, pada areal berlumpur. Benih/buah
ditancapkan ke dalam lumpur dengan bakal
kecambah menghadap keatas. Untuk menjaga
agar buah tidak hanyut, bila perlu diikatkan pada
ajir.
b) penanaman dengan bibit
Penanaman dapat dilakukan dengan bibit jenis
mangrove dengan ketentuan bibit tersebut layak
tanam. Pada daerah yang langsung dipengaruhi
57
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
58
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
59
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
60
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
4. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman mangrove dilakukan
sebagaimana terurai pada BAB IV. Huruf C. dengan catatan
penyiangan hanya dilakukan pada areal yang kering saja.
Disamping itu, untuk pengendalian hama dan penyakit pada
tanaman mangrove dari serangan kepiting/ketam (Crustacea,
sp.), ulat daun dan batang, cendawan akar, tritip serta gulma
(biasanya lumut) dapat dilakukan dengan cara:
a. Benih/bibit mangrove ditanam lebih banyak atau lebih rapat
b. Membungkus benih/bibit dengan bambu atau botol plastik.
c. Menggunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.
5. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman mangrove pada akhir tahun ketiga yaitu paling
sedikit 90% (sembilan puluh perseratus) dari jumlah tanaman
baru.
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak
dilakukan pemeliharaan lanjutan
C. Rehabilitasi Sempadan Pantai
1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi sempadan pantai dapat
berupa kawasan hutan atau di luar kawasan hutan yang
diutamakan pada lahan kritis/LMU terpilih menurut RTk-RHL
DAS selebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat yang bukan termasuk habitat/ekosistem
mangrove, dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP
RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat
mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi
setempat.
61
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan kegiatan rehabilitasi
sempadan pantai dapat dilakukan dengan pembuatan atau
melalui pengadaan bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi
lokasi persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik
untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan,
maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui :
pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak
ketiga/perusahaan pengada bibit.
d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan mengurangi
resiko kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan
persemaian dan tempat pengumpulan sementara yang
sesuai kriteria dan standar mutu.
e. Rehabilitasi sempadan pantai pada lahan berpasir dapat
menggunakan bibit dengan media campuran contohnya
dengan sistem press-block.
3. Pembuatan Tanaman
Tahapan penanaman rehabilitasi sempadan pantai sebagai
berikut:
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan, prakondisi dilakukan
62
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
63
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
c. Penanaman
1) Pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi sempadan
pantai di luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan
dilakukan dengan menerapkan pola tanam sebagaimana
tertuang dalam rancangan. Penanaman dapat dilakukan
secara merata atau jalur/baris sepanjang pantai.
2) Rehabilitasi sempadan pantai dilaksanakan pada LMU
Prioritas I paling sedikit 1.650 batang/ha dan LMU Prioritas
II minimal 1.100 batang/ha.
3) Persen tumbuh saat penilaian dan penyerahan pekerjaan
64 penanaman tahun pertama (P0) paling sedikit 70%.
4) Komponen kegiatan penanaman meliputi :
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
c. Penanaman
1) Pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi
sempadan pantai di luar kawasan hutan dan di dalam
kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan pola
tanam sebagaimana tertuang dalam rancangan.
Penanaman dapat dilakukan secara merata atau
jalur/baris sepanjang pantai.
2) Rehabilitasi sempadan pantai dilaksanakan pada LMU
Prioritas I paling sedikit 1.650 batang/ha dan LMU
Prioritas II minimal 1.100 batang/ha.
3) Persen tumbuh saat penilaian dan penyerahan
pekerjaan penanaman tahun pertama (P0) paling
sedikit 70%.
4) Komponen kegiatan penanaman meliputi :
a) Pembuatan lubang tanam yang ukurannya
disesuaikan dengan jenis yang akan ditanam;
b) Pada lahan berpasir dapat dilakukan penambahan
media tumbuh yang memadai.
c) Penanaman dilakukan dengan memadatkan tanah
urugan di sekitar batang dan hindari kerusakan
akar.
4. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman sebagaimana uraian pada BAB IV.
Huruf C. Jenis hama tanaman yang sering ditemui dan
menyerang pada tanaman pantai adalah ulat daun dan batang,
cendawan akar dan upas (Cryptococcus neoformans,
Phytopthora palmivora) serta gulma. Pengendalian hama dan
65
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
66
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB VII
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
KAWASAN BERGAMBUT
A. Umum
Kawasan bergambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman
yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun yang belum lapuk.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi yang
terhambat oleh kondisi an-aerob dan di permukaan atasnya hidup
berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan dari tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon. Pembentukan kawasan bergambut
merupakan proses geogenik yang disebabkan oleh proses deposisi
dan transportasi, sedangkan proses pembentukan tanah mineral
pada umumnya merupakan proses pedogenik. Keberadaan kubah
gambut (peat dome) di bagian tengah pada bentang lahan gambut
menjadi ciri khas ekosistem bergambut. Sedangkan tingkat
kesuburan tanah bergambut secara gradual dipilah menjadi 3 (tiga)
jenis yaitu matang (saprist), sedang (hemist) dan mentah (fibrist).
Kawasan bergambut dipilah menjadi dua yaitu Kawasan
Bergambut Berfungsi Lindung dan Kawasan Bergambut Berfungsi
Budidaya. Kriteria kawasan bergambut berfungsi lindung yakni
apabila ketebalan gambut mencapai 3 (tiga) meter atau lebih
terdapat di hulu sungai atau rawa, sedangkan kriteria kawasan
bergambut berfungsi budidaya yakni apabila ketebalan gambutnya
kurang dari 3 (tiga) meter terdapat di hulu sungai atau rawa.
Kawasan bergambut memberikan manfaat yang sangat luas bagi
kehidupan di muka bumi karena merupakan habitat berbagai flora
fauna yang berperan penting dalam pengaturan tata air sehingga
67
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
daerah sekitarnya dapat terhindar dari intrusi air laut pada musim
kemarau dan banjir pada musim hujan. Kawasan bergambut
mampu menyimpan dan menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) dalam
jumlah besar sehingga secara tidak langsung berperan penting
dalam mengatur iklim lokal maupun global.
Maksud dan tujuan RHL kawasan bergambut untuk memulihkan
sumberdaya kawasan bergambut yang kritis sehingga berfungsi
optimal dalam memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial
kepada seluruh pihak yang berkepentingan, mengelola sumber
daya air, dan mengembangkan kelembagaan yang berbasis
sumberdaya kawasan bergambut.
68
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
69
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
- 51 -
Tabel
Variasi 4. Kondisi Areal dan Alternatif Jenis Tanaman RHL
kondisi areal dan alternatif jenis tanaman yang sesuai :
Tabel 4. Kondisi Areal dan Alternatif Jenis Tanaman RHL Rawa
Rawa Gambut
Gambut
No. Kondisi Lokasi Alternatif Jenis Tanaman
1 Areal yang : Jelutung rawa (Dyera lowii )
a. Bekas terbakar Perepat (Combretocarpus rotundatus )
ringan/sedang Belangiran (Shorea belangeran )
b. Bekas tebang habis Perupuk (Coccoceras borneense)
c. Areal terbuka Pulai rawa (Alstonia pneumatophora )
(vegetasi jarang) Rengas manuk (Melanorhoea wallicihi)
Terentang (Campnosperma macrophylla)
2 Areal yang : Meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea
a. Bekas terbakar yang tysmanniana, Shorea uliginosa)
telah mengalami Merapat (Combretocarpus rotundatus )
suksesi Durian (Durio carinatus)
b. Bekas tebang selektif Ramin (Gonystylus bancanus)
c. Penutupan vegetasi Punak (Tetramerista glabra)
sedang Kempas (Koompassia malaccensis )
Resak (Vatica rassak)
Sungkai (Peronema canescens)
Kapur Naga (Calophyllum macrocarpum)
Nyatoh (Palaquium spp.)
Bintangur (Calaphyllum spp.)
3 Areal yang : Meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea
a. Bekas tebang selektif tysmanniana, Shorea uliginosa)
b. Masih banyak Ramin (Gonystylus bancanus)
dijumpai pohon Punak (Tetramerista glabra )
c. Penutupan vegetasi Balam (Palaquium rostratum )
masih tinggi Medang (Litsea calophyllantha )
d. Telah kehilangan Kempas (Koompassia malaccensis)
jenis tanaman Rotan ( Calamus spp )
komersil (bernilai Gemor (Alseodhapne helophylla)
tinggi)
70
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
71
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
5. Persiapan bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan rehabilitasi rawa gambut
dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan
bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi
lokasi persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik
untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan,
maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui :
pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak
ketiga/perusahaan pengada bibit.
d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik dan mengurangi
resiko kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan
tempat pengumpulan sementara di areal tanam yang
sesuai kriteria dan standar mutu.
6. Penataan areal tanam
Kegiatan penataan areal tanam perlu dilakukan karena adanya
perilaku genangan air yang sulit diprediksi dan sering menjadi
permasalahan serius bagi tanaman muda/bibit yang baru
ditanam.
Pada persiapan areal tanam beberapa kegiatan yang dilakukan
meliputi:
72
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
73
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
74
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
75
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
76
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
77
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
78
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
8. Penanaman
Penaman dilakukan pada awal musim hujan. Sebaiknya bibit
ditanam pada pagi atau sore hari untuk mereduksi tingkat stres
bibit akibat sinar matahari.
Beberapa alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan yakni :
a. penanaman intensif/merata pada areal yang terbuka,
b. penanaman jalur atau pengayaan pada areal yang
penutupan vegetasinya sedang atau rapat.
Tahapan pekerjaan pada penanaman sebagai berikut.
a. Pembersihan piringan tanam atau gundukan dan
pembuatan lubang tanam.
Kegiatan pembersihan piringan tanam atau gundukan dan
pembuatan lubang tanam dilakukan pada saat akan
menanam bibit dimaksudkan untuk menghilangkan gulma
pada gundukan atau titik tanam. Sedangkan lubang tanam
dibuat disesuaikan dengan ukuran bibit yang akan
ditanam.
b. Penyiraman lubang tanam.
Bibit akan mengalami stres bila akarnya langsung
menyentuh tanah yang panas. Karenanya apabila cukup
tersedia air di areal tanam maka dapat terlebih dahulu
dilakukan penyiraman air secukupnya ke lubang tanam.
c. Penanaman bibit.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan bibit ke
lubang tanam. Perhatikan agar batang bibit tidak terbenam
karena lubang tanam terlalu dalam atau terdapatnya
bagian akar yang tidak tertimbun karena lubang terlalu
dangkal. Lubang yang telah ditanami bibit kemudian
79
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
80
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
81
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB VIII
KONSERVASI TANAH DAN AIR
A. Umum
Kegiatan konservasi tanah dan air bertujuan untuk melindungi
permukaan tanah dari pukulan air hujan, meningkatkan kapasitas
infiltrasi tanah, mencegah terjadinya konsentrasi aliran permukaan,
mengoptimalkan fungsi tanah dan meningkatkan daya dukung
DAS.
82
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
83
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) perencanaan
a) analisis penetapan lokasi kegiatan DPi melalui desk
analisis dan survey calon lokasi (ground check).
b) pengukuran dan penentuan rencana lokasi DPi.
2) penyiapan tim pelaksana
a) penyiapan tim administrasi
b) penyiapan tim penyusun rancangan, tim pengawas,
pendamping.
c) pelatihan tim penyusun rancangan, tim pengawas,
pendamping.
3) penyusunan rancangan kegiatan oleh tim penyusun
rancangan
a) unsur tim penyusun rancangan dapat terdiri dari
Dinas Kehutanan provinsi/KPH, PU Kabupaten/Kota
dan ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK)
Kepala BPDASHL.
b) rancangan disusun (Sun) oleh tim perancang, dinilai
(Lai) oleh Kepala Seksi Program BPDASHL, dan
disahkan (Sah) oleh Kepala BPDASHL.
4) persiapan
a) penyiapan kelembagaan
(1) pertemuan dengan masyarakat/kelompok
dalam rangka sosialisasi rencana pelaksanaan
pembuatan dam pengendali.
(2) pembentukan organisasi dan penyusunan
program kerja.
b) penyiapan ganti rugi lahan
84
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
85
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
86
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
87
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
- 65 -
88
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
89
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
f) pengikatan bronjong
8) pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan dam penahan meliputi :
a) pembersihan seresah
b) pemeliharaan bronjong
9) organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan dam penahan yaitu kelompok
masyarakat atau pihak ketiga didampingi Petugas
Lapangan Kehutanan atau petugas teknis dibawah
koordinasi Dinas provinsi/kabupaten/kota.
10) jadwal kegiatan
Tahapan pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
3. Pengendali Jurang (gully plug)
Gully Plug (GP) adalah upaya teknik konservasi tanah untuk
mencegah/ mengendalikan erosi jurang agar tidak meluas dan
berkembang sehingga merusak lingkungan sekitarnya.
a. Tujuan
Pembangunan gully plug bertujuan untuk memperbaiki
lahan yang rusak berupa jurang/parit akibat gerusan air
guna mencegah terjadinya jurang/parit yang semakin
besar.
b. Sasaran Lokasi
Secara teknis kriteria site lokasi gully plug sebagai berikut:
1) LMU Prioritas I dan II dan/atau dalam RP-RHL;
2) kemiringan DTA > 35 % dan terjadi erosi parit/alur;
3) pengelolaan lahan sangat intensif atau lahan terbuka;
4) kemiringan alur maksimal 10%;
90
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
91
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
92
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
4. Embung Air
a. Tujuan
Pembangunan embung air ditujukan untuk :
93
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
94
4) pembangunan embung air diprioritaskan di dekat lokasi
pemukiman dan lahan pertanian/perkebunan.
5) lokasi embung dapat dibangun pada hutan dan lahan yang
rawan kebakaran dan kekeringan.
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Keputusan untuk menetapkan lokasi pembuatan embung
dengan memperhatikan alur proses sebagai berikut :
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) persiapan
Penyiapan acuan dan kelembagaan :
a) mempelajari rancangan embung yang telah
disahkan,
b) pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi
c) pembentukan organisasi dan penyusunan program
kerja.
2) pengadaan dan pembuatan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis
peralatan dan bahan yang habis pakai, yang bertujuan
95
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
96
- 71 -
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Gambar 23.
Gambar 23. Embung
EmbungAir
Air
98
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
b) Tipe Tertutup
99
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
d. Mekanisme Pelaksanaan
1) perencanaan
a) analisis penetapan lokasi kegiatan SRA melalui
desk analisis dan survey calon lokasi
(groundcheck).
b) pengukuran dan penentuan rencana lokasi SRA.
2) penyiapan tim pelaksana
a) penyiapan Tim Administrasi
b) penyiapan Tim Penyusun Rancangan, Tim
Pengawas, Pendamping.
c) pelatihan Tim Penyusun Rancangan, Tim
Pengawas, Pendamping.
3) penyusunan rancangan kegiatan oleh Tim Penyusun
Rancangan
a) tim penyusun rancangan dapat terdiri dari unsur
Dinas Kehutanan provinsi/kabupaten/kota, PU
kabupaten/kota, dan ditetapkan dengan Surat
Keputusan (SK) Kepala BPDASHL.
b) rancangan disusun (Sun) oleh Tim Perancang,
dinilai (Lai) oleh Kepala Seksi Program BPDASHL,
dan di sahkan (Sah) oleh Kepala BPDASHL.
4) persiapan penyiapan kelembagaan
a) pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi.
b) pembentukan organisasi dan penyusunan program
kerja.
c) pelatihan pelaksana.
5) pembuatan sarana dan prasarana
100
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
101
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
102
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
103
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
7. Strip Rumput
a. Tujuan
Tujuan pelaksanaan pola penanaman dengan strip rumput
(grass barrier) yaitu untuk memperlambat aliran permukaan
dan menahan tanah/endapan yang tererosi/terbawa aliran
sehingga mengurangi laju erosi, menyediakan pakan
ternak dari hasil pemangkasan rumput serta terbentuknya
teras alami karena tanah yang terhanyut ditahan oleh strip
rumput di bawahnya.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi strip rumput merupakan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL
Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian tengah dan
hilir dengan kemiringan (8 – 25) % dan atau telah
ditetapkan dalam RP RHL, kondisi tanah miskin unsur hara
dan lahan usaha yang secara intensif diusahakan oleh
masyarakat.
104
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan lapangan
a) penyiapan rancangan teknis
b) pengukuran kembali
c) pematokan tanda letak larikan rumput
d) pengolahan/penggemburan tanah
e) pengadaan bahan dan alat
2) Pembuatan strip rumput
a) penanaman rumput searah kontur
b) pembuatan selokan teras/saluran di bagian atas
strip rumput.
d. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan berupa pemupukan, penyulaman
tanaman, pendangiran, penyemprotan hama dan penyakit
serta pembersihan saluran air.
e. Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan strip rumput adalah kelompok
masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan
(PKL) dan atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
f. Tahapan dan Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
105
masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL)
dan atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
f. Tahapan dan Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan
yang tertuang dalam rancangan.
106
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
107
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
108
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
109
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
110
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Gambar24.
Gambar 29. Bangunan
Bangunan Perlindungan
PerlindunganKananKanan
Kiri/Tebing
Kiri/Tebing
Sungai Sungai
112
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
113
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Gambar25.
Gambar 30. SPA
SPA dan
dan Bangunan
Bangunan Terjunan
Terjunan
10.10.
Teras
Teras
a. Tujuan
a. Tujuan
Pembangunan teras bertujuan untuk memperkecil aliran
Pembangunan
permukaan, menekanteraserosi,
bertujuan untuk memperkecil
meningkatkan peresapan aliran
air ke
dalam tanah serta
permukaan, menampung
menekan dan mengendalikan
erosi, meningkatkan aliran
peresapan air air
ke daerah yang lebih rendah secara aman.
ke dalam tanah serta menampung dan mengendalikan
b. Sasaran Lokasi
Secaraaliran air ke sasaran
umum, daerah yang lebihpembuatan
lokasi rendah secara aman.
teras adalah lahan
b. Sasaran
yang termasuk Lokasi
dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL
Prioritas I dan
Secara II serta
umum, morfologi
sasaran lokasi DAS bagian hulu
pembuatan teras dan tengah
adalah
atau telah ditetapkan dalam RP RHL dan dimanfaatkan secara
teruslahan yang untuk
menerus termasuk dalam LMU
budidaya Terpilih,
tanaman diutamakan
semusim dengan
pada RHL
kemiringan Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian
< 40%.
c. Jenis Teras
114 1) Jenis Teras
a) Teras datar
Teras datar adalah teknik konservasi tanah berupa tanggul
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
2) Teras Gulud
Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah
berupa guludan tanah dan saluran air.
a) Standar teknis
(1) kemiringan lereng 8-40 dan untuk tanaman
semusim < 15 %.
(2) guludan ditanami legum atau rumput dan
dipangkas secara reguler.
(3) guludan ditutup dengan mulsa hasil pangkasan
(4) beda tinggi antar guludan ± 1.25 m
(5) solum tanah dangkal dan berpasir
(6) kemiringan bidang olahan diusahakan tetap
(7) permeabilitas tanah cukup tinggi.
b) Manfaat
(1) pengendalian erosi dan aliran permukaan
(2) sumber pakan ternak
(3) gangguan pada struktur tanah sedikit.
- 88 -
3) Teras Kredit
Teras kredit merupakan teknik konservasi tanah
berupa guludan tanah atau batu sejajar kontur dan
Gambar
bidang olah tidak 27. dari
diubah Teras Gulud
kelerengan permukaan.
3) Terasa)Kredit
standar teknis
(1) untuk
Teras kredit tanah dangkal
merupakan teknik lereng 3 – 15 % tanah berupa
konservasi
guludan(2) tanah atau batu sejajar kontur
untuk tanah dalam lereng 3 – 40 % dan bidang olah
tidak diubah dari kelerengan permukaan.
a) standar(3) teknis
guludan ditanami tanaman penguat (misal :
rumput, legum dan ditanam secara rapat).
(1) untuk tanah dangkal lereng 3 – 15 %
(2) untuk tanah dalam
(4) jarak antar lereng53– –1240m%
guludan
(3) guludan ditanami tanaman penguat (misal : rumput,
(5) tidak cocok untuk tanaman peka longsor.
legum dan ditanam secara rapat).
(4) b) Manfaat
jarak antar guludan 5 – 12 m
(5) tidak cocok untuk tanaman
(1) pengendalian peka longsor.
erosi tanah
b) Manfaat
(2) pengurangan aliran permukaan.
(1) pengendalian erosi tanah
(2) pengurangan aliran permukaan.
117
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
4) Teras individu
Teras individu adalah teknis konservasi tanah berupa
teras yang dibuat
- 89 -
hanya pada tempat yang akan
ditanami tanaman pokok.
a) Standar teknis
4) Teras individu
(1) ukuran teras 1 x 1 m (segi empat)
Teras individu adalah teknis konservasi tanah berupa teras
(2) ukuran diameter 1 m (lingkaran)
yang dibuat hanya pada tempat yang akan ditanami
(3) hanya untuk tanaman berupa pohon
tanaman pokok.
a) Standar teknis
(4) kemiringan lereng 30 – 50 %
(1) ukuran(5)teras
pada1 xlokasi
1 m (segi empat)
dengan curah hujan rendah
(2) ukuran diameter 1 m (lingkaran)
(6) tanah di luar teras ditanami tanaman penutup
(3) hanya untuk tanaman berupa pohon
(4) kemiringantanah
lereng 30 – 50 %
(7) untuk
(5) pada lokasi dengan lereng yang
curah curam
hujan dapat
rendah
(6) tanah di luar teras ditanami tanaman penutup tanah
dikombinasikan dengan teknis konervasi tanah
(7) untuk lereng yang curam dapat dikombinasikan
lainnya.
dengan teknis konervasi tanah lainnya.
b) Manfaat
b) Manfaat
(1) pengendalian
(1) pengendalian erosi tanaherosi tanah
(2) pengurangan
(2) pengurangan aliran permukaan
aliran permukaan
(3) peningkatan air infiltrasi
(3) peningkatan air infiltrasi
Gambar29.
Gambar 34. Teras Individu
Teras Individu
5) Teras Kebun
118
Teras kebun merupakan teknik konservasi tanah berupa
teras yang hanya dibuat pada bidang tanah yang akan
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
5) Teras Kebun
Teras kebun merupakan teknik konservasi tanah
berupa teras yang hanya dibuat pada bidang tanah
yang akan ditanami dan searah kontur.
a) Standar teknis
(1) kemiringan lereng 10-3- %
(2) solum tanah > 30 cm
(3) lebar teras ± 1.5 m
(4) teras miring kedalam ± 1 %
(5) di luar teras ditanami tanaman penutup teras
(6) cocok untuk ditanami tanaman perkebunan/
- 90 -
tahunan
(7) cocok untuk tanah dengan daya serap lambat.
(7)b)cocok
Manfaat
untuk tanah dengan daya serap lambat.
b) Manfaat pengendalian erosi tanah
(1)
(2) peningkatan air infiltrasi
(1) pengendalian erosi tanah
(2) peningkatan air infiltrasi
(3) pengurangan aliran permukaan
(3) pengurangan aliran permukaan
Gambar
Gambar30.
35.Teras
TerasKebun
Kebun
d. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) penyiapan rancangan teknis
b) pengukuran kembali
c) pematokan tanda letak tanggul/guludan.
2) Pembuatan teras
a) pembuatan bangunan utama teras sejajar kontur
b) penanaman tanaman penguat teras sepanjang
kontur
c) pembuatan bangunan pelengkap (saluran
pembuangan air, saluran pengelak, bangunan
terjunan, dll).
e. Pemeliharaan
1) pengerukan tanah yang menimbun selokan kemudian
digunakan untuk memperbaiki guludan.
2) perbaikan guludan sepanjang larikan tanaman.
3) penyulaman dan pemangkasan tanaman penguat teras
dan tanaman gulud.
4) pembersihan jalur teras dari tanaman pengganggu.
f. Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan teras adalah kelompok masyarakat
didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) atau
petugas teknis di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.
11. Biofori
Biofori adalah lubang silindris yang dibuat ke dalam tanah
dengan diameter 10 cm, kedalaman ± 100 cm atau tidak
melebihi kedalaman muka air tanah.
120
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
a. Tujuan
Lubang Resapan Biopori merupakan teknologi tepat guna
dan ramah lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi
banjir dengan cara meningkatkan daya resapan air,
mengubah sampah organik menjadi kompos dan
mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan), dan
memanfaatkan peran aktivitas guna tanah dan akar
tanaman dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh
genangan air seperti penyakit demam berdarah dan
malaria.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi lobang biofori berupa lahan di perkotaan
2
dengan perhitungan untuk setiap 100 m lahan idealnya
Lubang Resapan Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik
dengan jarak antara 0,5 - 1 m. Dengan kedalam 100 cm
dan diameter 10 cm setiap lubang bisa menampung 7,8
liter sampah.
c. Mekanisme Pelaksanaaan
1) Pelaksanaan
a) pembuatan lubang dengan bor, untuk
memudahkan pembuatan lubang bisa dibantu
diberi air agar tanah lebih gembur.
b) alat bor dimasukkan dan setelah penuh tanah
(kurang lebih 10 cm kedalaman tanah) diangkat,
untuk dikeluarkan tanahnya, lalu kembali lagi
memperdalam lubang tersebut sampai sebelum
muka air tanah (30 cm sampai dengan 100 cm).
121
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
122
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
123
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB IX
TATA CARA EVALUASI RHL
124
atau 1:10.000, dan dihitung luasnya. Hasil perhitungan
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
selanjutnya direkapitulasi sebagaimana pada Tabel 6.
Keterangan :
Keterangan :
Persen realisasi luas tanaman (%) = Hasil Pengukuran x 100 %
Persen realisasi luas tanaman (%) = Hasil Pengukuran x 100 %
Rencana
Rencana
Keterangan
Evaluasi :
tanaman dilakukan melalui teknik sampling dengan
Evaluasi
metode
Persen tanaman
Systematic
realisasi dilakukan
luasSampling
tanaman with
(%) melalui
Random
= Hasil teknik
Start,
Pengukuran 100sampling
xyaitu %petak
ukur pertama dibuat secara acak dan petak ukur selanjutnya
Rencana
dengan metode Systematic Sampling with Random Start,
dibuat secara sistimatik. Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan
yaitu petak
ketersediaan ukur pertama
anggaran. dibuatpetak
Penempatan secaraukuracakseluas dan0,1 petak
Ha,
Evaluasi tanaman dilakukan melalui teknik sampling
berbentuk persegi panjang (40 m x 25
ukur selanjutnya dibuat secara sistimatik. Intensitas m) atau berbentuk
dengandengan
lingkaran metodediameter
Systematic17,8Sampling
m. Jarakwith antar Random Start,
titik pusat
Sampling
petak (IS) sesuai
ukur disesuaikan dengan
dengan ketersediaan
besarnya anggaran.
IS yang digunakan.
yaitu petak ukur pertama dibuat secara acak dan petak
Apabila IS 5 % maka
Penempatan petak jarak
ukur antar titik0,1
seluas pusat
Ha, petak ukur adalah
berbentuk persegi
100ukur
m arahselanjutnya
Utara - Selatan dibuatdansecara
200 m sistimatik.
arah Barat –Intensitas
Timur,
panjang untuk
sedangkan (40 m x 25 m) atau berbentuk lingkaran dengan
Sampling (IS)memperolehsesuai dengankualitas hasil pengukuran,
ketersediaan jarak
anggaran.
diameter
antara petak 17,8
ukur m. Jarak
terluar antar
dengan titik
batas pusat ditentukan
tanaman petak ukur
Penempatan
minimum 50 m dan petak ukur seluas
maksimum 100 m. 0,1 Dengan
Ha, berbentuk
demikianpersegi
hasil
disesuaikan dengan besarnya IS yang digunakan. Apabila
sampling
panjang yang(40 mdidapat
x 25 m)akan mampu memenuhi
atau berbentuk lingkaran dengan azas
IS 5 % maka
keterwakilan jarakIntensitas
dengan antar titik pusat petak
Sampling ukur adalah
(IS) sebesar 5 % atau100
diameter 17,8 m.
setiap petak ukur mewakili 2 ha. Jarak antar titik pusat petak ukur
m arah Utara - Selatan dan 200 m arah Barat – Timur,
disesuaikan
Jumlah petak ukur dengan
dapatbesarnya IS yang digunakan.
dihitung menggunakan rumus: Apabila
∑ PU =∑IS
PUxN= IS x N
n
n
Dimana:
Dimana:
∑ PU = Jumlah petak ukur
∑NPU ==Luas
Jumlah petak
petak ukur
(Ha)
Nn ==Luas
Luaspetak
petak ukur
(Ha) (Ha)
n = Luas petak ukur (Ha)
126
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
127
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
128
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
1 2 3 4 5 6 7
1 1. Fisiografi Lahan :
2 a. Datar
3 b. Landai
4 c. Agak Curam
5 d. Curam
6 2. Keadaan Tumbuhan
Bawah
7 a. Lebat/rapat
8 b. Sedang
9 c. Jarang
10 d. Tidak ada/bersih
11 3. Kondisi Tanah
12 a. Gembur/subur
13 b.Kurang gembur/subur
14 c. kurus
15 d. berbatu
16 4. Gangguan Tanaman
17 a. Penggembalaan
18 b. Kebakaran
19 c. Hama penyakit
dst
...
...
n.
Jumlah
1. Kayu
a. Jati
129
b. …….
c. ……..
12 a. Gembur/subur
13 b.Kurang gembur/subur
14 c. kurus
15 d. berbatu
PERATURAN
16 NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016 4. Gangguan Tanaman
17 a. Penggembalaan
18 b. Kebakaran
19 c. Hama penyakit
dst
...
...
n.
Jumlah
1. Kayu
a. Jati
b. …….
c. ……..
2. MPTS
a. Mangga
b. ……..
c. ……..
Petugas Penilaian,
(...........................)
b. Evaluasi tanaman
Evaluasi persentase tumbuh tanaman dilakukan dengan
metode penghitungan tanaman 100% (sensus).
Persentase tumbuh tanaman dihitung dengan cara
membandingkan jumlah tanaman yang tumbuh dengan
rencana jumlah tanaman yang seharusnya ada sesuai
dengan rancangan kegiatan.
c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup:
1) Wilayah administratif pemerintahan (Provinsi,
Kabupaten/ Kota, Kecamatan, Desa), dan jumlah
130 tanaman yang ditanam
2) Data pengamatan tanaman penghijauan lingkungan
Persentase tumbuh tanaman dihitung dengan cara
membandingkan jumlah tanaman yang tumbuh dengan
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
rencana jumlah tanaman yang seharusnya ada sesuai
dengan rancangan kegiatan.
c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup:
1) Wilayah administratif pemerintahan (Provinsi,
Kabupaten/ Kota, Kecamatan, Desa), dan jumlah
tanaman yang ditanam
2) Data pengamatan tanaman penghijauan lingkungan
meliputi jumlah jenis tanaman, tanaman yang hidup
dan kondisi tumbuh tanaman sehat.
3. Agroforestry/Wanatani
a. Evaluasi tanaman meliputi: pengukuran luas tanaman;
jumlah dan jenis tanaman (kayu-kayuan, MPTS);
keberhasilan tanaman semusim; penghitungan persentase
tumbuh tanaman pokok.
b. Evaluasi tanaman pokok dan semusim dilakukan di setiap
lokasi, di dalam kawasan hutan dilakukan pada setiap
petak tanaman sesuai dengan rancangan, sedangkan di
luar kawasan hutan dilakukan pada lahan pembuatan
tanaman setiap kelompok tani sesuai rancangan.
c. Untuk Evaluasi tanaman pokok dan semusim di dalam dan
di luar kawasan hutan, metode yang dipakai menggunakan
metode Systematic Sampling with Random Start dengan
Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan ketersediaan
anggaran.
d. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup :
1) di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif
pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,
Desa), nama DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan
hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan ditambah
nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani,
tenaga pendamping dan penyuluh.
131
2) data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis
Intensitas
PERATURAN NO. Sampling
P. 8 / PDASHL (IS)
/ SET / KUM.1 sesuai
/ 11 / 2016 dengan ketersediaan
anggaran.
d. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup :
1) di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif
pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,
Desa), nama DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan
hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan ditambah
nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani,
tenaga pendamping dan penyuluh.
2) data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis
tanaman, tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh
tanaman sehat.
4. Mangrove/Hutan Pantai
a. Satuan Lokasi Penilaian
Satuan unit evaluasi tanaman rehabilitasi hutan
mangrove/pantai di dalam kawasan hutan adalah petak
tanaman yang ditetapkan dalam rancangan kegiatan yang
telah disahkan, sedangkan di luar kawasan hutan adalah
pada lahan pembuatan tanaman setiap kelompok tani
sesuai rancangan kegiatan. Evaluasi tanaman meliputi
pengukuran luas lokasi penanaman, penghitungan jumlah
rumpun, jumlah tanaman per rumpun dan jarak antar
rumpun, penghitungan persentase tumbuh tanaman sehat.
b. Evaluasi tanaman
Untuk Evaluasi tanaman di dalam dan di luar kawasan
hutan, metode yang dipakai menggunakan metode sistem
jalur dengan Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan
ketersediaan anggaran. Sistem jalur merupakan cara
132
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
B. Pengolahan Data
1. Persen tumbuh tanaman
Persen tumbuh tanaman dihitung dengan cara
membandingkan jumlah tanaman yang ada pada suatu petak
ukur dengan jumlah tanaman yang seharusnya ada di dalam
petak ukur bersangkutan.
T = (Σ hi /Σ ni) x 100 %
= (h1 + h2 + .....+ hn) / (n1 + n2 + .... + nn) x 100 %
133
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
2. Tinggi Tanaman
Kerataan tinggi tanaman adalah rata-rata tinggi tanaman yang
diperoleh dengan merata-ratakan tinggi masing-masing individu
tanaman dibandingkan dengan jumlah tanamannya
Tinggi rata-rata per petak ukur dihitung sebagai berikut:
T = (Σ ti /Σ ni)
dimana:
T = Tinggi rata-rata tanaman dalam petak ukur
ti = Tinggi setiap individu tanaman dalam petak ukur ke i
ni = Jumlah tanaman pada petak ukur ke i
134
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
135
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB X
PENGHAPUSAN TANAMAN GAGAL
B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup tata cara penghapusan tanaman gagal hasil
kegiatan RHL meliputi:
1. Kriteria tanaman gagal;
2. Penetapan tanaman gagal; dan
3. Penghapusan tanaman gagal.
136
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
137
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
7. Prosedur klarifikasi
a. Pembentukan Tim Klarifikasi
Atas dasar usulan penetapan tanaman gagal maka
dibentuk Tim Klarifikasi dengan susunan Tim terdiri dari
Ketua merangkap anggota dan Anggota. Tim terdiri dari:
1) Tim Klarifikasi Pusat, ditetapkan oleh Direktur Jenderal
PDASHL, berdasarkan usulan dari Unit Pelaksana
Teknis Direktorat Jenderal PDASHL.
2) Tim Klarifikasi Provinsi, ditetapkan oleh Gubernur,
berdasarkan usulan dari Dinas Provinsi.
3) Tim Klarifikasi Kabupaten/Kota, ditetapkan oleh
Bupati/Walikota berdasarkan usulan dari Dinas
Kabupaten/Kota.
138
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
139
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
140
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
141
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
BAB XI
PENUTUP
DIREKTUR JENDERAL,
DUDI ISKANDAR
142