Anda di halaman 1dari 142

PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.

1 / 11 / 2016

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP


DAN KEHUTANAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL


PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
DAN HUTAN LINDUNG
NOMOR P.8/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN


DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal


Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
dan Perhutanan Sosial Nomor P.1/V-SET/2013
telah diatur petunjuk dan ketentuan teknis
dalam pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan (RHL);
b. bahwa untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas,
dan keberhasilan pelaksanaan kegiatan
rehablitasi hutan dan lahan, berdasarkan
hasil evaluasi perlu menerbitkan ketentuan
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan
lahan yang baru;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu

1
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

menetapkan Peraturan Direktur Jenderal


Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan
Lindung Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3888) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor
19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang-undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4412);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5059);
3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5609);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008
tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4947);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

2
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5259);
6.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/
Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan,
Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 173) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P.39/Menlhk/Setjen/
Kum.1/4/2016 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 580);
7.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.18/MenLHK-II/2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
713);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN
HUTAN LINDUNG TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN
DAN LAHAN.

Pasal 1
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
ini.

3
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Pasal 2
Petunjuk Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijadikan acuan
dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Pasal 3
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang telah
dilaksanakan sebelum diberlakukannya Peraturan Direktur Jenderal
ini, dinyatakan tetap berlaku dan untuk pelaksanaan selanjutnya harus
disesuaikan dengan Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 4
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial Nomor P.1/V-SET/2013 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 November 2016

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

Dr. Ir. HILMAN NUGROHO, M.P.


NIP. 195906151986031004

4
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Salinan Peraturan ini disampaikan kepada Yth.:


1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia;
2. Pejabat Eselon I Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan;
3. Pejabat Eselon II Lingkup Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah
Aliran Sungai dan Hutan Lindung;
4. Gubernur seluruh Indonesia;
5. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang kehutanan di seluruh Indonesia;
6. Kepala Unit Pelaksana Teknis Lingkup Direktorat Jenderal
Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung di seluruh
Indonesia.

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BAGIAN HUKUM DAN
KERJASAMA TEKNIK,

DUDI ISKANDAR

5
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG
NOMOR P.
TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kerusakan fungsi hutan dan lahan yang diidentifikasi sebagai lahan
kritis di Indonesia berdasarkan Penetapan Peta dan Data Hutan
dan Lahan Kritis Tahun 2013 yang ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial Nomor SK.4/V-DAS/2015 seluas 70.181.762
Ha yang terdiri dari 24.303.294 Ha kategori Sangat Kritis sampai
dengan Kritis dan 45.878.468 Ha kategori Agak Kritis.
Kerusakan hutan dan lahan sudah tersebar di semua fungsi
kawasan sehingga menjadi ancaman yang cukup serius bagi daya
dukung DAS baik fungsinya sebagai penyangga kehidupan
maupun peran hidroorologis DAS. Indikator adanya degradasi
fungsi DAS ditunjukkan dengan meningkatnya bencana alam
banjir, longsor dan kekeringan yang melanda di sebagian besar
wilayah Indonesia pada dekade ini.
Dalam upaya mengendalikan laju kerusakan hutan dan lahan
tersebut Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
yang mengatur penyelenggaraan rehabilitasi serta reklamasi hutan
pada semua fungsi hutan serta areal penggunaan lain, pembagian

6
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah, pemerintah daerah


serta pemegang ijin kawasan untuk melakukan penyelenggaraan
RHL yang mencakup perencanaan, pelaksanaan maupun
pengendalian. Kewajiban melakukan RHL pada lahan kritis di
semua fungsi kawasan mengharuskan pemerintah, pemerintah
daerah serta pemegang ijin kawasan mengalokasikan kegiatan
RHL dari berbagai sumber anggaran dengan berpedoman pada
ketentuan PP Nomor 76 Tahun 2008 ini.
Petunjuk Teknis kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini
merupakan penjabaran yang lebih teknis dan detil dari Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara
Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif
Kegiatan RHL sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri LHK Nomor P.39/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2016 sebagai
petunjuk teknis bagi para penyelenggara kegiatan RHL di daerah.

B. Maksud dan Tujuan


Petunjuk Teknis Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini
dimaksudkan untuk memberikan arahan teknis kepada semua
pihak dalam menyelenggarakan kegiatan RHL sehingga kegiatan
dapat terlaksana dengan baik.
Tujuannya adalah pulihnya daya dukung DAS dan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup peraturan ini meliputi :
1. penyusunan rancangan kegiatan;
2. penyediaan bibit;

7
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

3. reboisasi;
4. penghijauan;
5. rehabilitasi hutan dan lahan daerah pesisir/pantai;
6. rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut;
7. konservasi tanah dan air;
8. tatacara evaluasi RHL; dan
9. penghapusan tanaman gagal/rusak.

D. Pengertian
1. Areal Produksi Benih yang selanjutnya disingkat APB adalah
sumber benih yang dibangun khusus atau berasal dari
tegakan benih terseleksi (TBS) yang kemudian ditingkatkan
kualitasnya dengan penebangan pohon-pohon yang
fenotipenya tidak bagus (inferior).
2. Air Tanah adalah air yang terdapat di bawah permukaan
tanah pada lapisan batuan yang jenuh air, yang disebut
sebagai akuifer.
3. Bangunan pengendali jurang (gully plug) adalah bendungan
kecil yang lolos air yang dibuat pada parit-parit, melintang
alur parit dengan konstruksi batu, kayu atau bambu.
4. Banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung
sungai.
5. Bangunan terjunan air adalah bangunan terjunan yang dibuat
pada tiap jarak tertentu pada saluran pembuangan air
(tergantung kemiringan lahan) yang dibuat dari batu, kayu
atau bambu.

8
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

6. Bibit adalah bahan tanaman atau bagiannya yang digunakan


untuk memperbanyak dan atau mengembangkan tanaman
yang berasal dari bahan generatif atau bahan vegetatif.
7. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah
suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan.
8. Daerah Imbuhan Air Tanah adalah suatu wilayah peresapan
yang mampu menambah air tanah secara alamiah pada
suatu cekungan air tanah.
9. Dam penahan adalah bendungan kecil yang lolos air dengan
konstruksi bronjong batu atau trucuk bambu/kayu yang
dibuat pada alur sungai/ jurang dengan tinggi maksimal 4
meter yang berfungsi untuk mengendalikan/mengendapkan
sedimentasi/erosi tanah dan aliran permukaan (run-off).
10. Dam pengendali adalah bendungan kecil semi permanen
yang dapat menampung air (tidak lolos air) dengan
konstruksi urugan tanah homogen, lapisan kedap air dari
beton (tipe busur) untuk mengendalikan erosi tanah,
sedimentasi dan aliran permukaan yang dibangun pada alur
sungai/anak sungai dengan tinggi bendungan maksimal 8
(delapan) meter.

9
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

11. Danau adalah wadah air dan ekosistemnya yang terbentuk


secara alamiah termasuk situ dan wadah air sejenis dengan
sebutan istilah lokal.
12. Embung air adalah bangunan penampung air berbentuk
kolam yang berfungsi untuk menampung air hujan/air
limpasan atau air rembesan pada lahan tadah hujan yang
berguna sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan
pada musim kemarau.
13. Endemik adalah jenis tanaman asli yang tumbuh/pernah
tumbuh pada suatu daerah.
14. Gambut adalah material yang terbentuk dari bahan-bahan
organik (serasah), seperti dedaunan, batang dan cabang
serta akar tumbuhan yang terakumulasi dalam kondisi
lingkungan yang tergenang air, sedikit oksigen dan
keasaman tinggi serta terbentuk di suatu lokasi dalam jangka
waktu yang lama.
15. Garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung
sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
16. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan
pohon-pohonan yang kompak dan rapat di dalam wilayah
perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang
ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang
berwenang.
17. Hutan mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang
tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar
muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan
dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis Avicennia spp (Api-api),
Soneratia spp. (Pedada), Rhizophora spp (Bakau), Bruguiera

10
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

spp (Tanjang), Lumnitzera excoecaria (Tarumtum),


Xylocarpus spp (Nyirih), Anisoptera dan Nypa fruticans
(Nipah).
18. Hutan pantai adalah suatu formasi pohon-pohon yang
tumbuh di tepi pantai dan berada diatas garis pasang
tertinggi, antara lain : Casuarina equisetifolia (Cemara laut),
Terminalia catappa (Ketapang), Hibiscus filiaccus (Waru),
Cocos nucifera (Kelapa) dan Arthocarpus altilis (Cempedak).
19. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang
dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan
dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk
tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %.
20. Jenis kayu-kayuan adalah jenis-jenis tanaman hutan yang
menghasilkan kayu untuk konstruksi bangunan, meubel dan
peralatan rumah tangga.
21. Daerah sekitar mata air adalah kawasan sekeliling mata air
yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi tata air.
22. Konservasi tanah adalah upaya penempatan setiap bidang
tanah pada penggunaan yang sesuai dengan kemampuan
tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-
syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah
sehingga dapat mendukung kehidupan secara lestari.
23. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan,
pemulihan, peningkatan dan pemeliharaan Fungsi Tanah
pada Lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan
Lahan untuk medukung pembangunan yang berkelanjutan
dan kehidupan yang lestari.

11
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

24. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar
kawasan hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur
produksi dan media pengatur tata air DAS.
25. Land Mapping Unit (LMU) Terpilih adalah satuan lahan
terkecil pada RTk RHL DAS yang mempunyai kesamaan
kondisi biofisik (kekritisan lahan, fungsi kawasan, morfologi
DAS serta prioritas DAS) dengan klas erosi Agak Kritis, Kritis
dan Sangat Kritis serta Agak Kritis.
26. Lubang resapan biopori adalah lubang yang dibuat di dalam
tanah agar terjadi berbagai aktivitas organisme di dalamnya,
seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah
lainnya.
27. Mata Air adalah tempat pemunculan air tanah pada lapisan
akuifer di bawah permukaan tanah ke permukaan tanah
secara alamiah. Selanjutnya, air yang keluar dari mata air
akan mengalir di permukaan tanah sebagai air permukaan
melalui alur-alur sungai.
28. Normal Density Value Index yang selanjutnya disingkat NDVI
yaitu suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra
satelit kanal inframerah dan kanal merah yang menunjukkan
tingkat kerapatan vegetasi setiap piksel secara relatif.
29. Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman
dan lingkungannya agar tanaman tumbuh sehat dan normal
melalui pendangiran, penyiangan, penyulaman, pemupukan
dan pemberantasan hama dan penyakit.
30. Penghijauan adalah upaya pemulihan lahan kritis di luar
kawasan hutan untuk mengembalikan fungsi lahan.

12
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

31. Penghijauan lingkungan adalah penanaman pohon di luar


kawasan hutan untuk meningkatkan kualitas lingkungan
seperti pada areal fasilitas sosial/umum, ruang terbuka hijau,
jalur hijau, pemukiman, taman dll.
32. Perlindungan kanan kiri/tebing sungai adalah teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan/atau sipil teknis untuk
melindungi kanan kiri/tebing sungai.
33. Propagul adalah bentuk lain dari benih atau buah yang pada
tahap perkembangannya sudah terbentuk bakal batang
tanaman selagi buah/benih tersebut masih terdapat pada
pohon induknya.
34. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL
adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung,
produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga.
35. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Prioritas I adalah lahan
kritis sasaran rehabilitasi hutan dan lahan kategori Kritis dan
Sangat Kritis.
36. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Prioritas II adalah lahan
kritis sasaran rehabilitasi hutan dan lahan kategori Agak
Kritis.
37. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran
Sungai yang selanjutnya disingkat RTk-RHL DAS adalah
rencana RHL 15 (lima belas) tahunan yang memuat rencana
pemulihan hutan dan lahan, pengendalian erosi dan
sedimentasi, pengembangan sumberdaya air dan
pengembangan kelembagaan.

13
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

38. Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan


(RPRHL) adalah rencana RHL 5 (lima) tahunan yang disusun
berdasarkan RTk-RHL DAS memuat kebijakan dan strategi,
lokasi, jenis kegiatan, kelembagaan, pembiayaan dan tata
waktu.
39. Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTn-RHL)
adalah rencana tahunan RHL yang disusun berdasarkan RP-
RHL pada T-1.
40. Rancangan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RK-RHL)
adalah rancangan teknis kegiatan RHL yang memuat jenis
kegiatan tertentu, detil lokasi, volume, kebutuhan biaya, tata
waktu, peta situasi, gambar desain kegiatan RHL, yang
dilengkapi dengan kegiatan pendukung.
41. Rorak adalah saluran buntu yang berfungsi sebagai
tampungan sementara air dari aliran permukaan untuk
diresapkan ke dalam tanah.
42. Saluran Pembuangan Air (SPA) adalah saluran air yang
dibuat memotong kontur dapat diperkuat dengan bangunan
terjunan air dan/atau gebalan rumput.
43. Sempadan danau adalah luasan lahan yang mengelilingi dan
berjarak tertentu dari tepi badan danau yang berfungsi
sebagai kawasan pelindung danau.
44. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai
minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.
45. Strip rumput (grass barrier) adalah cara penanaman tanaman
pokok di antara strip rumput secara berselang seling yang
dilakukan pada bidang yang memotong lereng.

14
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

46. Sumur Resapan Air (SRA) adalah salah satu bentuk rekayasa
teknik konservasi air berupa bangunan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali
dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat
menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau
kedap air dan meresapkannya kembali ke dalam tanah.
47. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan
berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai
dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh
garis sempadan.
48. Tanaman serbaguna (multi purpose tree species/MPTS)
adalah jenis tanaman yang menghasilkan kayu dan bukan
kayu antara lain buah- buahan, getah, kulit.
49. Tanaman unggulan lokal yang selanjutnya disingkat TUL
adalah jenis-jenis tanaman asli atau eksotik yang disukai
masyarakat karena mempunyai keunggulan tertentu berupa
produk kayu, buah dan getah yang produknya mempunyai
nilai ekonomi tinggi.
50. Tegakan awal adalah tegakan berupa anakan, pancang, tiang
dan pohon sebelum dilaksanakan penanaman atau
pengayaan tanaman.
51. Teras adalah bangunan konservasi tanah berupa bidang
olah, guludan dan saluran air searah dengan kontur
lapangan.
52. Unit Terkecil Pengelolaan (UTP) RHL, adalah LMU Terpilih
yang berada dalam suatu DAS/catchment kecil (micro
watershed) seluas 300 s/d 1000 hektar yang dibatasi oleh
batas alam berupa punggung-punggung bukit. Satu UTP RHL

15
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

dapat berada dalam kawasan hutan atau di luar kawasan


hutan, atau campuran keduanya.
53. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
54. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung
jawab dibidang Pengendalian DAS dan Hutan Lindung.
55. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan
tanggung jawab di bidang kehutanan di daerah Provinsi.

16
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB II
PENYUSUNAN RANCANGAN KEGIATAN
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Hirarki perencanaan RHL meliputi RTk-RHL DAS, RP-RHL dan RTn-


RHL mengikuti ketentuan yang berlaku. Disamping perencanaan
tersebut, pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperlukan
rancangan kegiatan RHL (RK-RHL), yang merupakan desain teknis
kegiatan RHL yang memuat informasi detil jenis dan lokasi kegiatan,
peta, rincian kebutuhan bahan dan upah, gambar pola tanam dan/atau
konstruksi. Rancangan kegiatan RHL terdiri dari kegiatan vegetatif
(tanam-menanam) dan sipil teknik.

A. Komponen RK-RHL, terdiri dari:


1. Informasi lokasi kegiatan
a. Kampung/Blok, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi,
DAS, Wilayah BPDAS.
b. Identitas UTP RHL mengacu kepada RPRHL utamanya
untuk kegiatan yang luasnya lebih dari 100 ha.
c. Khusus untuk kegiatan tanam menanam (vegetatif) di luar
kawasan hutan seperti hutan rakyat dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat seperti penanaman bibit KBR
atau kegiatan lain sejenis harus dilengkapi dengan
identitas kelompok tani/masyarakat pelaksana kegiatan
RHL (nama dan alamat kelompok tani penerima kegiatan).
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat

17
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

melalui pemberian akses terhadap sumberdaya,


pendidikan, pelatihan dan pendampingan.
2. Peta Situasi dan Peta Lokasi
a. Peta situasi dengan skala 1:25.000 atau 1:50.000 adalah
peta yang menunjukkan posisi lokasi kegiatan RHL
terhadap wilayah administrasi sekitarnya.
b. Peta lokasi kegiatan vegetatif adalah peta poligon tertutup
lokasi tanaman yang diukur menggunakan GPS atau
theodolite atau alat-alat pemetaan lain dengan skala
1:1000 s/d 1:5000, dapat menggunakan peta dasar Google
Map atau peta citra satelit lainnya agar kondisi aktual
lokasi RHL dapat disajikan dengan lebih jelas.
Pada kegiatan reboisasi, penyiapan areal penanaman
melalui pembagian blok/petak dituangkan dalam peta
lokasi kegiatan.
Untuk kegiatan penanaman KBR dan lainnya dapat
dilakukan pemetaan sederhana yang dilengkapi informasi
nama kampung/blok, pemilik lahan, nama sungai, jalan dan
lain sebagainya.
c. Peta lokasi kegiatan sipil teknis adalah peta yang
menggambarkan letak bangunan sipil teknis yang disajikan
dalam peta/sket topografi skala 1:100 atau 1:1000.
d. Untuk kegiatan RHL dengan luas lebih dari 100 Ha, peta
lokasi kegiatan RHL diplot kedalam peta UTP RHL yang
sudah ada dalam peta RP RHL.
3. Gambar Pola Tanam
Pada rancangan kegiatan vegetatif dilengkapi gambar/sket
pola tanam berupa sebaran/letak jenis dan jarak tanam,

18
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

termasuk untuk wanatani (agroforestry) agar menggambarkan


sebaran tanaman pokok dan tanaman pengisi/sela/pinggir
mencakup tanaman semusim/setahun dan tanaman
keras/tahunan.
4. Gambar Konstruksi
Untuk bangunan pendukung kegiatan penanaman (gubug
kerja, papan nama lokasi kegiatan) dan bangunan konservasi
tanah berupa bangunan sipil teknis agar dilengkapi gambar
konstruksi yang jelas.
5. Rincian kebutuhan bahan dan upah
Analisis kebutuhan bahan dilakukan berdasarkan kondisi riil
lapangan dengan menggunakan jenis-jenis lokal, sedangkan
kebutuhan tenaga kerja dihitung sesuai standar setempat.
6. Lembar Pengesahan
Lembar pengesahan berisi tanda tangan penyusun, penilai dan
pengesah buku RK RHL.

B. Mekanisme Penyusunan RK-RHL


1. Pembentukan Tim Penyusun
Dibentuk oleh satuan kerja pelaksana RHL, jika diperlukan tim
penyusun dapat melibatkan unsur BPDASHL dan/atau
konsultan/perguruan tinggi.
2. Penyiapan bahan
Bahan-bahan berupa peta-peta RTk-RHL DAS dan/atau RP-
RHL, peta-peta pendukung lainnya termasuk citra satelit atau
google map (jika ada), tally sheet, serta peralataan pemetaan
di lapangan.

19
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

3. Identifikasi lokasi
Identifikasi lokasi RHL dilakukan dengan menggunakan Peta
RTk-RHL DAS dan/atau RP-RHL serta hasil orientasi
lapangan.
4. Identifikasi tegakan awal
Identifikasi tegakan awal dalam rangka memperoleh data
jumlah tegakan per hektar untuk menentukan sasaran lokasi
penanaman intensif dan pengayaan tanaman menggunakan
metode remote sensing dan/atau terestris.
a. Metode remote sensing
Metode yang digunakan adalah metode digital klasifikasi
citra satelit.
Penjabaran lebih lanjut mengenai Metode Remote Sensing
diatur dalam Manual Identifikasi Tegakan Awal Sasaran
Lokasi RHL menggunakan Metode Remote Sensing.
b. Terestris
Identifikasi tegakan awal menggunakan pedoman
inventarisasi tegakan yang berlaku.
Disamping itu, identifikasi tegakan awal untuk menentukan
sasaran lokasi penanaman intensif dan pengayaan tanaman
dapat menggunakan Peta Liputan Lahan Ditjen Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan terbaru. Kelas penutupan
lahan “Tanah Terbuka” pada umumnya mempunyai tegakan
per hektar paling banyak 200 batang, sehingga dapat
digunakan sebagai lokasi penanaman intensif. Data tegakan
per hektar pada kelas penutupan lahan lainnya diperoleh
melalui pendetailan.

20
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

5. Identifikasi lapangan dan pemetaan


Secara umum kegiatan RHL vegetatif maupun sipil teknis perlu
dilakukan identifikasi lapangan dan pemetaan. Identifikasi
lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data biofisik dan
sosial ekonomi, kelompok tani pelaksana, ketersediaan bahan-
bahan, dan data-data pendukung lainnya. Pengumpulan data
biofisik termasuk pendetilan terestris dalam rangka
memperoleh data jumlah tegakan per hektar sebagaimana butir
B.4.b. Sedangkan pemetaan lokasi dilakukan dengan
menetapkan titik-titik poligon terluar lokasi kegiatan
penanaman dan menentukan letak geografisnya.
Untuk kegiatan sipil teknis, identifikasi lapangan dan pemetaan
untuk menentukan letak dan mengukur bangunan konservasi
tanah antara lain dam pengendali, dam penahan, pengendali
jurang (gully plug), embung air, sumur resapan, biofori.
6. Pengolahan data
Data hasil identifikasi lapangan dan pemetaan lokasi diolah
dan dianalisa untuk menghitung kebutuhan bahan dan upah,
menentukan pola tanam serta membuat peta poligon tertutup
termasuk gambar konstruksi untuk bangunan pendukung
kegiatan penanaman dan bangunan sipil teknis.
7. Penyusunan naskah buku rancangan
Naskah buku RK RHL berisi informasi lokasi kegiatan, peta
lokasi dan peta situasi, gambar pola tanam, gambar konstruksi,
rincian kebutuhan bahan dan upah dan lembar pengesahan
yang disajikan dalam narasi, tabel maupun gambar mengacu
pada Manual Penyusunan Rancangan Kegiatan RHL.

21
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB III
PENYEDIAAN BIBIT

A. Kaidah Umum Pembibitan


1. Asal-Usul Bibit
Bibit berkualitas diperoleh dari benih berkualitas yang berasal
sumber benih bersertifikat yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang. Sumber benih yang bersertifikat memiliki klasifikasi
sebagai berikut :
a. Tegakan benih teridentifikasi;
b. Tegakan benih terseleksi;
c. Areal produksi benih;
d. Tegakan benih provenan;
e. Kebun benih semai;
f. Kebun benih Klon;
g. Kebun pangkas.
2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk kegiatan RHL dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu:
a. Pembuatan bibit melalui swakelola, Kebun Bibit Rakyat
atau Persemaian Permanen;
b. Pengadaan bibit melalui pengada dan/atau pengedar;
3. Kriteria dan Standar serta Sertifikasi Mutu Bibit
a. Kriteria dan Standar Mutu Bibit
Kriteria dan standar mutu bibit ditetapkan berdasarkan
beberapa faktor antara lain kualitas, penanganan/
perlakuan benih, teknik pembibitan dan tujuan
penggunaannya. Kriteria dan standar mutu bibit sebagai
berikut:

22
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Tabel 1. Kriteria dan Standar Mutu Bibit


Kelompok Tujuan
No Kriteria Standar
Jenis Penggunaan
1. Kayu-kayuan Reboisasi/ 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan normal
Hutan Rakyat (sehat, berbatang
tunggal/berkayu)
2. Media 2. Kompak
3. Tinggi 3. Tinggi minimal 30 cm
(kecuali jenis pinus 15 cm
dan sudah ada ekor
bajing)
Tanaman 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan normal
turus jalan, (sehat, berbatang
hutan kota, tunggal/berkayu)
penghijauan 2. Media 2. Kompak
lingkungan 3. Tinggi 3. Tinggi minimal 1 meter
2. Mangrove Reboisasi/ 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan normal
RHL a. Non propagul: sehat,
berbatang/ berkayu
b. Propagul: sehat,
jumlah daun minimal
4 helai
2. Kompak
3. Tidak dipersyaratkan
2. Media kecuali non propagul
3. Tinggi tinggi minimal 20 cm
3. Pantai RHL 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan normal
(sehat,
berbatang/berkayu)
2. Media 2. Kompak
3. Tinggi 3. Tinggi minimal 30 cm
4. MPTS Hutan 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan normal
Rakyat/ (sehat, berbatang
Reboisasi/ tunggal/berkayu)
Penghijauan 2. Media 2. Kompak
Lingkungan 3. Tinggi 3. Tinggi minimal 50 cm
kecuali bibit okulasi 30 cm
dihitung dari tempelan/
sambungan

23
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

b. Sertifikasi Mutu Bibit


Mutu bibit dinyatakan dalam bentuk sertifikat mutu bibit
atau surat keterangan mutu bibit. Bibit yang berasal dari
sumber benih bersertifikat dan memenuhi persyaratan fisik
fisiologis dinyatakan dengan sertifikat mutu bibit.
Sedangkan bibit yang memenuhi persyaratan fisik fisiologis
tetapi bukan berasal dari sumber benih bersertifikat
dinyatakan dengan surat keterangan mutu bibit.
B. Pembangunan Kebun Bibit Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH)
Yang dimaksud dengan Kebun Bibit KPH adalah kebun bibit yang
dikelola oleh KPH. Ketentuan tentang pembangunan kebun bibit
KPH diatur dalam peraturan perundangan-undangan tersendiri.
C. Pembangunan Kebun Bibit Rakyat
Kebun Bibit Rakyat yang selanjutnya disingkat KBR merupakan
kebun bibit yang dikelola oleh kelompok masyarakat melalui
pembuatan/pengadaan bibit berbagai jenis tanaman hutan
dan/atau tanaman serbaguna (MPTS) yang pembiayaannya dapat
bersumber dari dana pemerintah atau sumber lain yang tidak
mengikat.
D. Pembangunan Persemaian Permanen
Persemaian permanen adalah persemaian yang berada pada satu
lokasi dengan organisasi dan personil pelaksana yang tetap,
memiliki sarana, prasarana dan teknologi mutakhir untuk
memproduksi bibit tanaman hutan berkualitas dalam jumlah besar
dan berkesinambungan.
Ketentuan teknis persemaian permanen diatur sendiri dengan
Peraturan Direktur Jenderal.

24
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB IV
REBOISASI

A. Umum
Reboisasi secara umum ditujukan untuk mengembalikan fungsi
hutan baik sebagai fungsi perlindungan, konservasi sumberdaya
alam maupun fungsi produksi. Keberadaannya yang tersebar
sebagian besar di morfologi DAS bagian hulu dan tengah
menyebabkan sebagian besar kawasan hutan mempunyai fungsi
hidroorologis sebagai wilayah resapan air (recharge area) bagi
DAS tersebut. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi hutan di semua
fungsi menempati prioritas utama dalam pengelolaan DAS.
Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan awal, maka reboisasi
dibedakan menjadi 2 (dua) kegiatan yaitu penanaman intensif dan
pengayaan tanaman. Penanaman intensif ditujukan untuk lokasi
yang populasi tegakan/anakan paling banyak 200 batang per ha,
sedangkan pengayaan tanaman untuk menambah populasi pada
hutan yang memiliki tegakan awal berupa anakan, pancang, tiang,
dan pohon sejumlah 200-400 batang per Ha, dan apabila populasi
lebih besar dari 400 batang per ha cukup diadakan pengamanan
sehingga diharapkan akan menjadi hutan kembali secara suksesi
alami.
Reboisasi dilaksanakan pada LMU Terpilih yang terbagi menjadi 2
(dua) prioritas yaitu Prioritas I dan Prioritas II. Prioritas I merupakan
LMU terpilih kategori Kritis-Sangat Kritis menurut Peta RTk RHL
DAS dan lahan kritis mikro/sasaran tanaman RHL dengan luasan
kurang dari 25 Ha yang ditetapkan dalam RP RHL dengan kondisi
lahan terbuka dengan topografi bergunung. Sementara Prioritas II

25
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

yaitu LMU terpilih kategori Agak Kritis menurut Peta RTk RHL DAS
dan lahan kritis mikro/sasaran tanaman RHL dengan luasan kurang
dari 25 Ha yang ditetapkan dalam RP RHL dengan kondisi lahan
identik dengan hutan sekunder atau kebun campuran dengan
topografi landai sampai bergelombang.
Persyaratan umum lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dilaksanakan
pada hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang
tidak dibebani hak atau tidak dalam proses perijinan/pencadangan
areal untuk Hutan Tanaman Industri (HTI)/Hutan Tanaman Rakyat
(HTR).
Rehabilitasi kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung
dilakukan dengan menanam berbagai jenis. Hal ini dimaksudkan
agar fungsi konservasi atau fungsi lindung dapat tercapai secara
optimal. Sedangkan rehabilitasi kawasan hutan produksi dapat
mengembangkan penanaman satu jenis.

B. Lokasi
1. Hutan Konservasi
a. Maksud dan Tujuan
Rehabilitasi pada hutan konservasi dimaksudkan untuk
mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman dan
kelestarian flora dan fauna serta p em bi na a n h ab i ta t.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan konservasi diutamakan
pada lahan kritis/LMU terpilih dan atau sasaran RHL yang
ditetapkan pada RP- RHL, diutamakan pada RHL Prioritas
I, serta pada morfologi DAS hulu dan tengah kecuali hutan
konservasi mangrove. Penetapan prioritas pelaksanaan

26
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun


sosial ekonomi setempat.
c. Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan
konservasi antara lain yang memenuhi kriteria berikut ini:
1) berdaur panjang;
2) perakaran dalam;
3) evapotranspirasi rendah;
4) anakan/biji/stek berasal dari jenis endemik baik kayu-
kayuan maupun MPTS atau dari lokasi lain dengan
jenis yang sama.
2. Hutan Lindung
a. Maksud dan Tujuan
Reboisasi di dalam kawasan hutan lindung ditujukan
untuk memulihkan fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi
air laut dan memelihara kesuburan tanah.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan lindung diutamakan pada
lahan kritis/LMU Terpilih dan atau sasaran RHL yang
ditetapkan pada RP RHL diutamakan pada lahan kategori
RHL Prioritas I, serta pada morfologi DAS bagian hulu dan
tengah kecuali hutan lindung mangrove. Penetapan
prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan
kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.

27
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c. Jenis Tanaman
Pemilihan jenis tanaman rehabilitasi hutan lindung
diarahkan tanaman yang berdaur panjang, perakaran
dalam, evapotranspirasi rendah diutamakan menghasilkan
hasil hutan bukan kayu (getah/kulit/buah) melalui
pengembangan aneka usaha kehutanan.
3. Hutan Produksi
a. Maksud dan Tujuan
Rehabilitasi hutan produksi dimaksudkan untuk mengem-
balikan dan meningkatkan produktivitas hutan.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan produksi adalah semua
hutan produksi yang diutamakan lahan kritis/LMU Terpilih
dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL,
diutamakan pada RHL Prioritas I, serta pada morfologi
DAS hulu dan tengah. Penetapan prioritas pelaksanaan
RHL dapat memper-timbangkan kendala biofisik maupun
sosial ekonomi setempat.
c. Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan
produksi antara lain yang memenuhi kriteria berikut ini:
1) nilai komersialnya tinggi;
2) teknik silvikulturnya telah dikuasai;
3) mudah pengadaan benih dan bibit yang berkualitas;
dan
4) disesuaikan dengan kebutuhan pasar.
5) sesuai dengan agroklimat.

28
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

6) apabila pada lokasi tapak terdapat mata air atau


kondisi lahan bertopografi diatas 35% maka penetapan
jenis tanamannya disesuaikan dengan kaidah
rehabilitasi hutan lindung.
Komposisi tanaman dapat dilakukan pencampuran
tanaman antara jenis kayu-kayuan dan jenis MPTS
dengan komposisi sebagai berikut :
1) Paling sedikit 70% kayu-kayuan, dengan komposisi
20% tanaman kayu pertukangan dan 80% jenis
lainnya.
2) Paling banyak 30% MPTS (penghasil kayu/getah/
buah/kulit).
4. Sempadan Sungai
a. Maksud dan tujuan
Sungai sebagai salah satu komponen dalam perairan darat,
terdiri atas palung dan sempadan sungai. Palung menjadi
wadah air, sedangkan sempadan sungai merupakan ruang
penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, sebagai
satu kesatuan ekosistem dalam pengelolaan daerah aliran
sungai (DAS). Rehabilitasi Hutan sempadan sungai
diperlukan untuk pemulihan atau restorasi fungsi sungai.
Kegiatan Rehabilitasi Hutan sempadan sungai dilakukan
untuk melindungi wilayah sungai dari kegiatan yang
mengganggu kelestarian fungsi sungai, yang diharapkan
dapat bermanfaat untuk:
1) Mencegah terjadinya longsor
2) Mencegah erosi
3) Meningkatkan kualitas air sungai

29
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

4) Menekan terjadinya pendangkalan sungai


b. Sasaran dan ketentuan teknis lokasi
Lokasi penanaman sempadan sungai didalam kawasan
hutan merupakan hutan kritis yang terletak pada sempadan
sungai dengan ketentuan teknis sebagai berikut :
2
1) Sungai Besar dengan luas DAS > 500 km ditentukan
paling sedikit berjarak 100 meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai.
2
2) Sungai Kecil dengan luas DAS ≤ 500 Km ditentukan
paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai.
5. Sempadan Danau
a. Sasaran lokasi
Lokasi penanaman di daerah tangkapan air (DTA) dan
sempadan danau adalah sebagai berikut :
1) di daerah tangkapan air atau di sempadan danau
2) merupakan lahan kritis
3) kawasan hutan dan/atau areal penggunaan lain
4) memiliki fungsi lindung dan estetika
b. Penentuan sempadan danau:
1) Sempadan danau ditentukan mengelilingi danau paling
sedikit berjarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan
100 (seratus) meter dari tepi muka air tertinggi yang
pernah terjadi.
Yang dimaksud muka air tertinggi yang pernah terjadi
merupakan elevasi muka air danau tertinggi yang
diperoleh dari catatan muka air historis dan/atau
pengamatan beberapa penduduk setempat yang telah

30
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

dikonfirmasi melalui kesepakatan para warga


masyarakat. Dengan elevasi ini keberadaan suatu danau
tidak mungkin hilang selama ada catatan elevasi muka
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1
- 23 - / 11 / 2016
air dan/atau pengamatan warga masyarakat tentang
elevasi
Yang tersebut,
dimaksud mukameskipun danau
air tertinggi yang
yang bersangkutan
pernah terjadi
merupakan elevasi muka air danau tertinggi yang diperoleh
telah mati.
dari catatan muka air historis dan/atau pengamatan
2)beberapa
Dalam penduduk
hal terdapat pulau
setempat yang di tengah
telah danau,
dikonfirmasi seluruh
melalui
kesepakatan para warga masyarakat. Dengan elevasi ini
luasan pulau merupakan daerah tangkapan air danau
keberadaan suatu danau tidak mungkin hilang selama ada
denganelevasi
catatan sempadan
muka airdanau
dan/atau di pengamatan
dalamnya. wargaDaerah
masyarakat tentang elevasi tersebut, meskipun danau yang
tangkapan telah
bersangkutan air mati.
danau diartikan sebagai suatu wilayah
2) Dalam hal terdapat pulau di tengah danau, seluruh luasan
daratan yang menampung dan menyimpan air dari curah
pulau merupakan daerah tangkapan air danau dengan
hujan dan
sempadan mengalirkannya
danau ke danau
di dalamnya. Daerah secara
tangkapan langsung
air danau
diartikan sebagai suatu wilayah daratan yang menampung
atau melalui sungai yang bermuara ke danau.
dan menyimpan air dari curah hujan dan mengalirkannya ke
danau secara langsung atau melalui sungai yang bermuara ke
danau.

Gambar 6. Sempadan Danau


Gambar 1. Sempadan Danau
6. Daerah sekitar mata air dan daerah imbuhan air tanah
Lokasi mata air dapat berada dihulu sungai kawasan tangkapan
6. Daerah sekitar
air (catchment mata
area), air dantengah
dibagian daerah imbuhan
atau airsatu
hilir dari tanah
kesatuan
ekosistemmata
Lokasi DAS, kawasan
air dapat resapan air (watershed)
berada dan mata
dihulu sungai air
kawasan
dibawah laut. Secara fungsi disamping berfungsi strategis bagi
tangkapan
kelestarian air (catchment
ekosistem area), dibagian tengah atau hilir dari
tata air juga mempunyai fungsi
sosial/budaya/spiritual, disamping berpotensi ekonomi dari
satu kesatuan ekosistem DAS, kawasan resapan air
sumber daya airnya dan kepariwisataan. Untuk menghindari
kerusakan daerah sekitar mata air dan daerah imbuhan air tanah,
31
24
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

(watershed) dan mata air dibawah laut. Secara fungsi


disamping berfungsi strategis bagi kelestarian ekosistem tata
air juga mempunyai fungsi sosial/budaya/spiritual, disamping
berpotensi ekonomi dari sumber daya airnya dan
kepariwisataan. Untuk menghindari kerusakan daerah sekitar
mata air dan daerah imbuhan air tanah, salah satu upaya yang
dilakukan dengan melaksanakan kegiatan penanaman pohon
untuk peningkatan kapasitas imbuhan air tanah melalui
program rehabilitasi terhadap mata air.
Sasaran lokasi Rehabilitasi Hutan Daerah Sekitar Mata Air dan
Daerah Imbuhan Air Tanah sebagai berikut:
a) merupakan lahan kritis
b) tingkat ketergantungan masyarakat terhadap mata air tinggi.
c) pemanfaatan terhadap mata air beragam terutama untuk air
minum.
d) terdapat kelompok masyarakat yang peduli terhadap
pemeliharaan mata air.
C. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan
Pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan untuk menjamin
keberhasilannya pada prinsipnya dilakukan secara multiyears.
Tahapan pelaksanaan penanaman rehabilitasi hutan meliputi
kegiatan-kegiatan persiapan, penanaman dan pemeliharaan
tanaman.
1. Persiapan
a. Kelembagaan
Kegiatan ini meliputi penyiapan organisasi pelaksana dan
koordinasi dengan pihak terkait untuk penyiapan lokasi,
bibit dan tenaga kerja yang akan melakukan penanaman.

32
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

b. Sarana dan Prasarana.


1) Rancangan pembuatan tanaman untuk dipedomani
dalam pembuatan tanaman antara lain kesesuaian
lokasi/blok/ petak sasaran pembuatan tanaman
reboisasi.
2) Dokumen-dokumen pekerjaan yang diperlukan untuk
pembuatan tanaman.
3) Bahan dan alat (gubuk kerja, papan nama, patok
batas, ajir, GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter
dan lain-lain) dan perlengkapan kerja. Pembuatan
gubuk kerja dan pemacangan papan nama sesuai
tempat yang strategis.
4) Bibit tanaman.
c. Areal penanaman
1) Pembagian blok/petak
Untuk memudahkan pelaksanaan, lokasi dibagi
menjadi blok dan blok dibagi menjadi petak. Dalam
mendisain blok dan petak mempertimbangkan kondisi
fisik lapangan dan juga batas DAS mikro yang telah
dirancang saat menyusun UTP RHL.
Untuk mempermudah pengawasan areal penanaman
dibuat blok seluas sekitar 300 ha yang dibagi kedalam
beberapa petak seluas sekitar 25 ha yang batasnya
dimungkinkan batas alam. Untuk lokasi penanaman
yang luasnya kurang dari 300 Ha tetap dijadikan satu
blok. Tetapi apabila luas areal penanaman ≤50 ha
dijadikan satu petak dan bloknya digabung dengan
lokasi yang terdekat.

33
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Apabila batas antar petak berupa batas buatan,


sekaligus dapat difungsikan untuk jalur rintisan. Lokasi-
lokasi tertentu seperti jurang, sungai dan sebagainya
tidak termasuk dalam perhitungan luas efektif.
2) Pembuatan jalan pemeriksaan
Jalan pemeriksaan dibuat di antara blok satu dengan
lainnya. Jalan pemeriksaan selain dimanfaatkan untuk
pemeriksaan juga sekaligus untuk jalan pengangkutan
alat dan bahan-bahan yang diperlukan. Teknik
pembuatannya mengikuti ketentuan pembuatan jalan
yang berlaku dengan ukuran menyesuaikan kondisi
lapangan.
2. Pelaksanaan penanaman
Komponen pekerjaan penanaman meliputi :
a. pembersihan lahan
b. pembuatan/pengadaan dan pemancangan patok batas
c. pembuatan jalur tanaman
d. pembuatan dan pemasangan ajir
e. pembuatan lubang tanaman
f. distribusi bibit ke lubang tanaman
g. penanaman
Penanaman intensif dilaksanakan pada LMU Prioritas I
paling sedikit 1.650 batang/ha dan LMU Prioritas II paling
sedikit 1.100 batang/ha. Pelaksanaan pengayaan
tanaman pada LMU Terpilih paling sedikit 625
batang/hektar.
h. pemupukan (dasar dan lanjutan)
i. pembuatan gubuk kerja

34
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

j. pembuatan papan nama


k. pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi penyiangan,
pendangiran dan penyulaman. Jumlah bibit untuk
penyulaman paling sedikit 10 % dari jumlah yang ditanam.
Persentase tumbuh tanaman pada saat penilaian dan
penyerahan pekerjaan penanaman (P0) paling sedikit 70% dari
jumlah tanaman baru.
3. Pemeliharaan I dan II
Pemeliharaan I dilaksanakan pada tahun kedua, dengan
komponen pekerjaan penyiangan, pendangiran,
pemberantasan hama/penyakit, pemupukan dan penyulaman.
Jumlah bibit untuk penyulaman paling sedikit 20 % dari jumlah
yang ditanam. Pemeliharaan II dilaksanakan pada tahun
ketiga, dengan komponen pekerjaan penyiangan, pendangiran
dan pemberantasan hama/penyakit.
4. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga paling sedikit 90%
dari jumlah tanaman baru.
5. Pemeliharaan lanjutan
Pemeliharaan lanjutan dapat dilakukan apabila jumlah tanaman
pada akhir tahun ketiga tidak terpenuhi.

D. Reboisasi Pola Khusus


Reboisasi pada wilayah dengan karakteristik biofisik maupun
sosial, ekonomi, budaya khusus dan/atau wilayah yang mempunyai
jenis tanaman unggulan lokal tertentu yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal dapat dilaksanakan dengan pola khusus yang diatur
dengan manual tersendiri.

35
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB V
PENGHIJAUAN

A. Umum
Penghijauan bertujuan menjaga dan meningkatkan fungsi
perlindungan tata air dan pencegahan bencana alam banjir,
longsor dan/atau untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan pada kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Penghijauan meliputi
Pembangunan Hutan Rakyat, Pembangunan Hutan Kota, dan
Penghijauan Lingkungan.
Sasaran penghijauan diutamakan pada lahan kritis/LMU Terpilih
dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL diluar
kawasan hutan negara, yang berfungsi sebagai kawasan lindung
dan atau kawasan budidaya. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL
dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi
setempat.
Kaidah-kaidah umum rehabilitasi lahan adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Lindung
Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan lindung,
memperhatikan prinsip-prinsip:
a. fungsi perlindungan tata air dan pencegahan bencana
alam banjir dan longsor.
b. mengakomodir budaya usahatani masyarakat setempat.
c. mengembangkan pola-pola insentif RHL bagi masyarakat
sesuai peraturan perundangan yang ada.
2. Kawasan Budidaya

36
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan


budidaya, memperhatikan prinsip-prinsip:
a. meningkatkan produktivitas lahan.
b. menyesuaikan dengan kelas kemampuan lahan (land
capability) dan kesesuaian lahan (land suitability).
c. mengembangkan usaha masyarakat setempat.

B. Lokasi
1. Hutan Rakyat
a. Maksud dan Tujuan
Maksud pembangunan hutan rakyat/pengayaan adalah
untuk mewujudkan tanaman hutan di luar kawasan hutan
negara (lahan milik rakyat) sebagai upaya rehabilitasi
lahan tidak produktif (lahan kosong/kritis) di DAS prioritas.
Adapun tujuannya untuk memulihkan fungsi dan
meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil
tanaman berupa kayu dan non kayu, memberikan peluang
kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan
pendapatan masyarakat, kemandirian kelompok tani, serta
memperbaiki kualitas lingkungan dan mengurangi tekanan
penebangan liar di dalam kawasan hutan negara (illegal
logging).
b. Sasaran lokasi
Sasaran kegiatan hutan rakyat berupa lahan kritis/LMU
terpilih pada kawasan lindung dan budidaya, diutamakan
pada kawasan lindung diluar kawasan hutan di daerah hulu
dan tengah DAS dan atau sasaran RHL yang ditetapkan

37
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

pada RP RHL. Disamping kriteria diatas, ketentuan teknis


lokasi hutan rakyat adalah sebagai berikut:
1) tanah milik.
2) tanah terlantar.
3) tanah desa, tanah marga/adat.
4) luas areal hutan rakyat/pengayaan paling sedikit
seluas 0,25 Ha efektif.
c. Jenis kegiatan
Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan sebelumnya,
hutan rakyat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis kegiatan
yaitu pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan pada
areal terbuka/semak belukar/ bertegakan dengan jumlah
anakan paling banyak 200 (dua ratus) batang/hektar dan
pengayaan tanaman hutan rakyat dilaksanakan pada areal
kebun campuran atau agroforestri dengan jumlah tegakan
paling banyak 200 (dua ratus) batang/hektar.
d. Jenis Tanaman
Jenis tanaman untuk pembangunan hutan rakyat
didasarkan pada minat masyarakat dan sesuai agroklimat
serta permintaan pasar.
Tanaman yang dipilih dapat berupa jenis:
1) cepat tumbuh (fast growing species);
2) dapat menyuburkan tanah;
3) tanaman jenis pioner yang mudah tumbuh di lahan
kritis;
4) jenis tanaman unggulan setempat;
5) mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

38
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Komposisi tanaman dapat dilakukan pencampuran


tanaman antara jenis kayu-kayuan dan jenis MPTS
dengan komposisi:
1) Paling sedikit 70% kayu-kayuan, dengan komposisi
20% tanaman kayu pertukangan dan 80% jenis
lainnya.
2) Paling banyak 30 % MPTS (penghasil kayu/getah/
buah/kulit).
e. Teknik pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan
Tahapan pelaksanaan penanaman meliputi kegiatan-
kegiatan persiapan, penanaman dan pemeliharaan
tanaman.
1) Persiapan
a) Penyiapan kelembagaan
Kelompok tani diarahkan untuk melaksanakan
persiapan pembuatan tanaman hutan rakyat antara
lain :
(1) mengikuti sosialisasi penyuluhan dan
pelatihan.
(2) menyediakan lahan lokasi kegiatan pembuatan
tanaman.
(3) menyusun rancangan (RKRHL) bersama-sama
pendamping.
(4) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan
kelompok tani.
(5) menyiapkan administrasi kelompok tani.
(6) menyusun perangkat aturan/kesepakatan
internal kelompok tani.

39
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

b) Penataan areal tanaman


Kegiatan penataan areal tanaman dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut :
(1) pemancangan tanda batas dan pengukuran
lapangan, untuk menentukan luas serta letak
yang pasti sehingga memudahkan perhitungan
kebutuhan bibit.
(2) penentuan arah larikan.
(3) penentuan tempat penampungan sementara
bibit yang akan ditanam.
c) Pembuatan sarana dan prasarana
(1) pembuatan gubuk kerja dan papan pengenal di
lapangan yang memuat keterangan tentang
lokasi, luas, jenis tanaman, nama kelompok
tani dan jumlah peserta serta tahun
pembuatan tanaman hutan rakyat dan sumber
anggaran.
(2) pembuatan jalan inspeksi/setapak dan atau
jembatan di dalam lokasi tanaman hutan
rakyat, jika diperlukan.
2) Pelaksanaan penanaman
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan yang
meliputi kegiatan-kegiatan :
a) pembersihan lapangan, pengolahan tanah dan
pembuatan lubang tanam;
b) pembuatan dan pemasangan ajir;
c) pemberian pupuk dasar (pupuk kandang/bokasi);
d) distribusi bibit;

40
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

e) penanaman bibit;
Penanaman hutan rakyat dilaksanakan pada LMU
Prioritas I paling sedikit 625 batang/ha dan LMU
Prioritas II paling sedikit 500 batang/ha.
Pelaksanaan pengayaan hutan rakyat pada LMU
Terpilih paling sedikit 400 (empat ratus)
batang/hektar
f) pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi
penyiangan, pendangiran dan penyulaman. Jumlah
bibit untuk penyulaman paling sedikit 10 % dari
jumlah yang ditanam.
Persentase tumbuh tanaman pada saat penilaian dan
penyerahan pekerjaan penanaman (P0) paling sedikit
70% dari jumlah tanaman baru.
Penanaman hutan rakyat dapat dilakukan dengan 2
(dua) pola sebagai berikut :
a) Tumpangsari
Tumpangsari (interplanting, mixed planting)
merupakan suatu pola penanaman yang
dilaksanakan dengan menanam tanaman semusim
sebagai tanaman sela di antara larikan tanaman
pokok (kayu/MPTS). Pola ini biasanya
dilaksanakan di daerah yang pemilikan tanahnya
sempit dan berpenduduk padat, tanahnya masih
cukup subur dan topografi datar atau landai.
Pengolahan tanah dapat dilakukan secara intensif.
b) Tanaman Hutan

41
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Pola tanam ini merupakan pola tanaman kayu-
kayuan, yang mengutamakan produk tertentu, baik
Pola tanam ini merupakan pola tanaman kayu-
kayu maupun non kayu.
kayuan, yang mengutamakan produk tertentu, baik
Adapun teknik penanaman hutan rakyat dilakukan
kayu maupun non kayu.
pada lahan terbuka maupun kebun campuran.
Adapun teknik penanaman hutan rakyat dilakukan
Penanaman hutan rakyat - pada lahan terbuka dapat
pada
PERATURAN NO.lahan
P. 8 / terbuka
PDASHL /maupun kebun
- 31/ KUM.1
SET / 11 /campuran.
2016
dilakukan dengan teknik :
Penanaman hutan rakyat pada lahan terbuka dapat
a) baris dan larikan tanaman lurus
dilakukan
Adapun dengan
teknik teknik :
penanaman hutan rakyat dilakukan pada
lahan Pelaksanaan
terbuka teknik ini dilakukan pada lahan
a) baris dan maupun kebun lurus
larikan tanaman campuran.
Penanaman
dengan tingkathutan kelerengan
rakyat pada lahantanah
datar tetapi terbuka
peka dapat
Pelaksanaan teknik ini dilakukan pada lahan
dilakukan dengan teknik :
terhadap erosi. Larikan tanaman dibuat lurus
dengan tingkat kelerengan datar tetapi tanah peka
dengan
a) baris jarak tanam
dan larikan teratur.
terhadap erosi.tanaman
Larikan lurustanaman dibuat lurus
Pelaksanaan
Pengaturan teknik tanaman ini dengan
dilakukan pada
teknik ini lahan
seperti dengan
dengan jarak tanam teratur.
tingkat kelerengan datar tetapi tanah peka terhadap erosi.
pada Gambar 2.
Pengaturan
Larikan tanaman tanaman
dibuat dengan
lurusteknik ini seperti
dengan jarak tanam
teratur.
pada Gambar 2.
Pengaturan tanaman dengan teknik ini seperti pada
Gambar 1.

      

      

      

Keterangan:  = tanaman kayu-kayuan dan MPTS


Keterangan:  = tanaman kayu-kayuan dan MPTS
Gambar 1. Baris dan Larikan Tanaman Lurus
Keterangan:  = tanaman kayu-kayuan dan MPTS
b) Tanaman
Gambarjalur
2. dengan
Baris dansistem
Larikantumpangsari
Tanaman Lurus
Teknik tanam ini sesuai untuk lahan dengan tingkat
Gambar datar
kelerengan 2. Baris dans/d Larikan
landaiTanaman
dan tanahLurus tidak peka
terhadap erosi. Larikan tanaman dibuat lurus dengan
jarak tanam teratur.
Karena menggunakan pola tanam tumpangsari, maka
jarak tanaman antar jalur perlu lebih lebar. Diantara
42 tanaman pokok dapat dimanfaatkan untuk tumpangsari
tanaman semusim, dan atau tanaman sela.
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

b) Tanaman jalur dengan sistem tumpangsari


Teknik tanam ini sesuai untuk lahan dengan tingkat
kelerengan datar s/d landai dan tanah tidak peka
terhadap erosi. Larikan tanaman dibuat lurus
dengan jarak tanam teratur.
Karena menggunakan pola tanam tumpangsari,
maka jarak tanaman antar jalur perlu lebih lebar.
Diantara tanaman pokok dapat dimanfaatkan untuk
tumpangsari tanaman semusim, dan atau tanaman
sela.
Pengaturan tanaman dengan teknik ini seperti
pada Gambar 3.

Keterangan :
: Jalur tanaman pangan (tanaman tumpangsari)

 : Tanaman Kayu-kayuan /MPTS

Gambar 3. Contoh Tanam Jalur dengan Pola


Tumpangsari

43
Keterangan :
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET :/ Jalur
KUM.1 / 11 tanaman
/ 2016
pangan (tanaman
tumpangsari)
 : Tanaman Kayu-kayuan /MPTS
c) Penanaman searah garis kontur
Gambar 2. Contoh Tanam Jalur dengan Pola
Teknik penanaman ini sesuai untuk lahan dengan
Tumpangsari
kelerengan agak curam s/d curam. Penanaman
c) Penanaman searah garis kontur
Teknikdilakukan dengan
penanaman inisistim cemplongan.
sesuai untuk lahan dengan
kelerengan agak curam s/d curam.
Cara pengaturan tanaman dengan Penanaman
teknik dilakukan
ini adalah
dengan sistim cemplongan.
Cara seperti pada Gambar
pengaturan tanaman4 berikut
dengan initeknik
: ini adalah
seperti pada Gambar 3 berikut ini :




   


 
  

Keterangan:  = tanaman kayu-kayuan/MPTS


Gambar 3. Contoh
Keterangan: Penanaman
 = tanaman Searah Garis Kontur
kayu-kayuan/MPTS
Gambar 4. Contoh Penanaman Searah Garis Kontur
d) Sistim pot pada lahan yang berbatu
Teknik penanaman ini dilakukan dengan membuat
lubang tanam
d) Sistim potdiantara batu-batuan
pada lahan yang di isi dengan
yang berbatu
media tanah secukupnya.
Teknik penanaman ini dilakukan dengan membuat
lubang tanam diantara batu-batuan yang di isi
dengan media tanah secukupnya.
33
Penanaman hutan rakyat di kebun campuran dilakukan
pada umumnya berupa tanaman kayu-kayuan maupun
tanaman MPTS. Sistim penanaman hutan rakyat
dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu:
a) Sistim cemplongan.
Sistim cemplongan adalah teknik penanaman yang
dilaksanakan dengan pembuatan lubang tanam
dan piringan tanaman. Pengolahan tanah hanya

44
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

dilaksanakan pada piringan disekitar lobang


tanaman. Sistem cemplongan dilaksanakan pada
lahan-lahan yang miring dan peka terhadap erosi.
Sistem cemplongan merupakan cara penanaman
dengan pembersihan lahan di sekitar lubang
tanaman.
b) Sistim jalur.
Teknik ini dilaksanakan dengan pembuatan lubang
tanam dalam jalur larikan dengan pembersihan
lapangan sepanjang jalur tanaman. Teknik ini
dapat dipergunakan di lereng bukit dengan
tanaman sabuk gunung (countur planting).
c) Sistim tugal (zero tillage)
Teknik ini dilaksanakan dengan tanpa olah tanah
(zero tillage). Lubang tanaman dibuat dengan tugal
(batang kayu yang diruncingi ujungnya). Teknik ini
cocok untuk pembuatan tanaman dengan benih
langsung terutama pada areal dengan kemiringan
lereng yang cukup tinggi, namun tanahnya subur
dan peka erosi.
3) Pemeliharaan I dan II
Pemeliharaan I dilaksanakan pada tahun kedua,
dengan komponen pekerjaan penyiangan,
pendangiran, pemberantasan hama/penyakit,
pemupukan, dan penyulaman. Jumlah bibit untuk
penyulaman paling sedikit 20% dari jumlah yang
ditanam. Pemeliharaan II dilaksanakan pada tahun

45
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

ketiga, dengan komponen pekerjaan penyiangan,


pendangiran, dan pemberantasan hama/penyakit.
4) Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga paling sedikit
90% dari jumlah tanaman baru.
5) Pemeliharaan lanjutan
Dalam hal jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga
paling sedikit 90% dari jumlah tanaman baru telah
terpenuhi maka tidak dilakukan pemeliharaan lanjutan.
Dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dilakukan dengan cara
kemitraan, yang sering disebut Hutan Rakyat Kemitraan
dengan uraian sebagai berikut :
a. Maksud dan Tujuan
Hutan rakyat kemitraan dimaksudkan untuk membangun
hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat bersama-
sama industri/penampung kayu rakyat atas dasar
kemitraan yang saling menguntungkan. Dalam prosesnya,
kemitraan hutan rakyat ini dapat dibangun melalui fasilitasi
pemerintah.
Hutan rakyat kemitraan dikembangkan dengan tujuan
untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan
pendapatan masyarakat, penyediaan bahan baku bagi
industri, serta membangun pengelolaan hutan rakyat yang
lestari.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran pembangunan hutan rakyat kemitraan adalah
lahan kritis/ LMU Terpilih baik pada RHL Prioritas I maupun
II, diutamakan pada kawasan budidaya.

46
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c. Jenis Tanaman
Sebagaimana jenis tanaman hutan rakyat, hutan kemitraan
umumnya mengembangkan jenis-jenis tanaman sebagai
berikut: cepat tumbuh (fast growing species), mempunyai
nilai ekonomis yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan
industri.
d. Teknik Penanaman dan Pemeliharaan
Teknik penanaman dan pemeliharaan hutan rakyat
kemitraan sama dengan yang diuraikan pada butir B.1.e.
2. Hutan Kota
Pembangunan hutan kota dimaksudkan sebagai upaya untuk
perbaikan lingkungan perkotaan dengan tujuan untuk mewu-
judkan lingkungan hidup wilayah perkotaan yang sehat, rapi
dan indah dalam suatu hamparan tertentu sehingga mampu
memperbaiki dan menjaga iklim mikro, estetika, resapan air
serta keseimbangan lingkungan perkotaan.
Pembangunan Hutan Kota dilaksanakan di wilayah perkotaan
yang lokasinya ditunjuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota, dengan
luas paling sedikit 0,25 hektar. Pelaksanaan penanaman hutan
kota paling sedikit 625 batang/ha dan saat penilaian dan
penyerahan pekerjaan penanaman persen tumbuh tanaman
paling sedikit 90%.
Pembangunan hutan kota secara teknis sebagaimana di atur
dalam peraturan perundangan tersendiri.
3. Penghijauan Lingkungan
a. Maksud dan tujuan
Pembuatan tanaman penghijauan lingkungan dimaksudkan
sebagai upaya perbaikan lingkungan pada lahan-lahan

47
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

untuk fasilitas umum, fasilitas sosial untuk meningkatkan


kualitas iklim mikro dan kenyamanan lingkungan hidup di
sekitarnya serta wilayah-wilayah perlindungan setempat.
b. Sasaran lokasi
Sasaran lokasi penghijauan lingkungan yaitu ruang terbuka
hijau dan atau lahan kosong yang diperuntukan sebagai
fasilitas umum dan fasilitas sosial baik perkantoran, taman
pemukiman dan pemakaman umum, sekolah (umum,
pesantren, kampus universitas), halaman bangunan
peribadatan (masjid, gereja, pura, vihara dan lain-lain),
serta wilayah-wilayah perlindungan setempat seperti
sempadan sungai, tebing jalan, dan lain sebagainya.
c. Jenis tanaman
Jenis tanaman untuk penghijauan lingkungan disesuaikan
dengan peruntukan kawasannya dan juga sesuai dengan
agroklimatologi setempat serta diminati masyarakat.
Tanaman penghijauan lingkungan dapat berupa tanaman
kayu-kayuan dan tanaman serbaguna/MPTS.
d. Pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan
Pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan umumnya
sama dengan pembangunan hutan rakyat yaitu meliputi
kegiatan-kegiatan persiapan, penanaman dan pemeli-
haraan tanaman sebagaimana tertuang pada butir B.1.e.
4. Sempadan Sungai
a. Maksud dan tujuan
Maksud dan tujuan penghijauan sempadan sungai
mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam Bab
IV.B.4.a.

48
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

b. Sasaran dan ketentuan teknis lokasi


Lokasi penanaman sempadan sungai diluar kawasan hutan
merupakan lahan kritis yang terletak pada sempadan sungai
dengan ketentuan teknis sebagai berikut :
1) paling sedikit berjarak 10 meter (sepuluh meter) dari tepi
kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai
dengan kedalaman ≤ 3 meter.
2) paling sedikit berjarak 15 meter (lima belas meter) dari
tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai
dengan kedalaman 3 meter sampai dengan 20 meter.
3) paling sedikit berjarak 30 meter (tiga puluh meter) dari
tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai
dengan kedalaman > 20 meter.
5. Sempadan danau
Penghijauan sempadan danau mengikuti ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Bab IV.B.5.
6. Daerah sekitar mata air dan daerah imbuhan air tanah
Penghijauan daerah sekitar mata air dan daerah imbuhan air
tanah mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam Bab
IV.B.6.

C. Penghijauan Pola Khusus


Penghijauan pada wilayah dengan karakteristik biofisik maupun
sosial, ekonomi, budaya khusus dan/atau wilayah yang mempunyai
jenis tanaman unggulan lokal tertentu yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal dapat dilaksanakan dengan pola khusus yang diatur
dengan manual tersendiri.

49
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB VI
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
DAERAH PESISIR/PANTAI

A. Umum
Maksud dan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan daerah
pesisir/pantai adalah untuk mengembalikan keberadaan vegetasi
daerah pesisir/pantai sehingga mampu berfungsi sebagai wilayah
perlindungan pantai dari abrasi dan intrusi air laut serta bencana
alam seperti tsunami maupun bencana lainnya. Secara umum
kegiatan RHL di daerah pesisir/pantai dibagi menjadi dua yaitu
hutan mangrove dan sempadan pantai.

B. Rehabilitasi Hutan Mangrove


1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah
hutan dan lahan yang diutamakan pada lahan kritis/LMU
terpilih berdasarkan hasil penyusunan RTk-RHL DAS pada
ekosistem mangrove dan ekosistem pantai yang diidentifikasi
mempunyai vegetasi mangrove dengan kerapatan kurang
(NDVI -1,00 s/d 0,43) dan wilayah yang berdasarkan peta land
system termasuk KJP, KHY, PGO, LWW, TWH, dan PTG yang
kondisi vegetasinya telah terbuka dan/atau terdeforestasi,
dan/atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL.
Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat
mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi
setempat.

50
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

2. Penyediaan Bibit
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi
lokasi persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik
untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan,
maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pembuatan bibit :
1) Penyiapan benih
a) pengumpulan benih
Bahan yang diperlukan adalah buah atau benih
yang matang dan bermutu bagus.
Pengumpulan benih dengan cara mengambil buah
jatuhan atau memetik langsung dari pohon
induknya dan ekstraksi biji dari buah.
Pengumpulan dilakukan berulang dengan interval
waktu tertentu.
b) Seleksi dan penanganan benih
Buah atau biji yang dipilih adalah berasal dari buah
yang matang, sehat, segar dan bebas hama. Ciri
kematangan buah dapat dilihat dari warna
kotiledon, warna hipokotil, berat buah atau ciri
lainnya.
c) Penyimpanan benih

51
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Penyimpanan benih tidak dapat dilakukan untuk


jangka yang panjang. Direkomendasikan bahwa
penyimpanan benih tidak lebih dari 10 hari,
disimpan di tempat yang teduh di dalam ember
berisi air payau. Harus dijaga agar akar tidak
terlanjur tumbuh sehingga terpaksa dipotong saat
penyemaian.
2) Persemaian
a) Untuk memperoleh mutu bibit yang baik dan
mengurangi resiko kerusakan bibit ke lokasi
penanaman, diperlukan persemaian dan tempat
pengumpulan sementara yang sesuai kriteria dan
standar mutu.
b) Benih non propagul dari benih Sonneratia alba
dapat disemaikan secara langsung pada pot yang
sudah diatur di bedeng. Sedangkan Avicennia
marina dan Xylocarpus granatum harus disemai-
kan di bedeng di darat terlebih dahulu karena
benihnya mudah hanyut oleh pasang-surut air laut.
c) Benih yang telah disemai di pot-pot bedeng
persemaian dibiarkan terkena air laut pasang surut
satu kali dalam satu hari agar basah.
d) Bibit di persemaian sebaiknya dinaungi dengan
jaring atau daun yang hanya memberikan
kemungkinan masuknya cahaya matahari sebesar
50-70%. Lebih baik lagi bila naungan juga
dipasang sebagai dinding yang mengelilingi
barisan-barisan bedeng. Satu bulan sebelum bibit

52
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

siap tanam di lapangan, naungan tersebut harus


dibuka untuk pemantapan.
e) Penyiraman dilakukan satu kali sehari di bedeng
pasang surut pada saat pasang surut rendah,
sedangkan di bedeng darat dilakukan penyiraman
dua kali sehari.
3. Pembuatan Tanaman
Pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman mengacu pada
RTn-RHL dan RK-RHL.
Sebelum melakukan penanaman, harus diperhatikan beberapa
faktor fisik penunjang keberhasilan penanaman yakni : pasang
surut air laut, musim ombak dan kesesuaian jenis dengan
lingkungannya/zonasi serta keterlibatan masyarakat setempat.
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan/prakondisi dilakukan
terhadap masyarakat pantai setempat yang akan
terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
melalui kegiatan penyuluhan, pembentukan kelompok
tani dan pendampingan.
2) Pengadaan sarana dan prasarana
3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan
nama, patok batas, ajir dan penyiapan alat pengukuran
(GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter dan lain-
lain) serta perlengkapan kerja lainnya.
4) Penataan areal tanaman

53
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

a) berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan


lahan untuk kesesuaian lokasi dan areal tanam.
b) penyiapan areal tanam :
(1) pengukuran ulang batas-batas areal,
pemancangan patok batas luar areal tanam;
(2) pembuatan jalur tanaman dimulai dengan
penentuan arah larikan tanaman melintang
terhadap pasang surut sesuai pola tanam yang
telah dirancang pada lokasi dan areal tanam
yang bersangkutan;
(3) pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting
pohon dan potongan kayu serta tumbuhan liar;
(4) pemancangan ajir sesuai jarak tanam, dipa-
sang tegak lurus dan kuat pada areal tanam;
(5) penyiapan titik bagi bibit (di masing-masing
areal penanaman).
b. Pemilihan jenis tanaman
1) Jenis tanaman terpilih disesuaikan dengan hasil
analisis tapak dan dituangkan dalam rancangan.
2) Rehabilitasi pada ekosistem mangrove yang zonasi-
nya masih dapat diidentifikasi, jenis tanaman
mangrove disesuaikan dengan zonasi berbagai
tanaman, yakni dengan memperhatikan ketahanan
terhadap pasang surut dan tingkat ketinggian air,
antara lain : zona Avicennia, zona Rhizophora, zona
Bruguiera dan zona kering serta nipah.
Secara alami zonasi dalam ekosistem mangrove
berdasarkan jenis tanaman yang tumbuh adalah

54
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

sebagaimana gambar 5 berikut :

sebagaimana gambar 5 berikut :

Zonasi Hutan Mangrove. Dari kiri ke kanan: 1. Avicennia alba;


2. Rhizophora apiculata; 3. Bruguiera parviflora; 4. Bruguiera
gymnorhiza;
Zonasi Hutan 5. Nypa fruticans;
Mangrove. 6. Xylocarpus
Dari granatum;
kiri ke kanan: 7. Excoecaria
1. Avicennia alba;
agallocha;
2. 8. Pandanus
Rhizophora apiculata; 3. 9.Bruguiera
furentus; Bruguiera cylindrica.
parviflora; 4. Bruguiera
gymnorhiza; 5. Nypa fruticans; 6. Xylocarpus granatum; 7. Excoecaria
Gambar
agallocha; 8.5.Pandanus
Zonasifurentus;
Ekosistem Mangrove
9. Bruguiera cylindrica. berdasarkan

Jenis Tanaman.
Gambar 5. Zonasi Ekosistem Mangrove berdasarkan
Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor
Jenis Tanaman.
lingkungan dapat diperiksa pada Tabel 2.
Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungan dapat diperiksa pada Tabel 2.
Tabel 2. Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove
dengan faktor lingkungan.
Tabel 2. Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove
dengan faktor lingkungan.

55
Jenis Tanaman.
Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungan
PERATURAN dapat/ SET
NO. P. 8 / PDASHL diperiksa
/ KUM.1 pada Tabel
/ 11 / 2016 2.
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET- 41 -
/ KUM.1 / 11 / 2016

Tabel 2. Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove


Tabel 2. Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan
dengan faktor lingkungan.
faktor lingkungan.

Toleransi Toleransi
terhadap terhadap Toleransi
Frekuensi
Jenis Salinitas kekuatan kandungan terhadap
penggenangan
(o/oo) ombak & pasir Lumpur
angin
1 2 3 4 5 6
Rhizophora
10-30 S MD S 20 hr/bln
mucronata (bakau)
R. stylosa (tongke
10-30 MD S S 20 hr/bln
besar)
R. apiculata
10-30 MD MD S 20 hr/bln
(tinjang)
Bruguiera parvilofa
10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(bius)
B. sexangula
10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(tancang)
B.gymnorhiza
10-30 TS TS MD 10-19 hr/bln
(tancang merah)
Sonneratia alba
10-30 MD S S 20 hr/bln
(pedada bogem)
S.caseolaris
10-30 MD MD MD 20 hr/bln
(padada)
Xylocarpus
10-30 TS MD MD 9 hr/bln
granatum (nyirih)
Heritiera littoralis
10-30 STS MD MD 9 hr/bln
(bayur laut)
Lumnitzera
Beberapa
racemora 10-30 STS S MD
kali/ thn
(Tarumtum)
Cerbera manghas Tergenang
0-10 STS MD MD
(bintaro) musiman
Nypa fruticans
0-10 STS TS S 20 hr/bln
(nipah)
Avicenia spp. (api-
10-30 MD TS S
api)

Keterangan
Keterangan : S: =S Sesuai, MD = MD
= Sesuai, Moderat, TS = Tidak
= Moderat, TS Sesuai,
= Tidak Sesuai,
STS = SangatSTS = Tidak
SangatSesuai
Tidak Sesuai

c. Penanaman
1) pelaksanaan penanaman di dalam kawasan hutan dan di
luar kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan jenis

56
42
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c. Penanaman
1) pelaksanaan penanaman di dalam kawasan hutan dan
di luar kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan
jenis tanaman dan pola tanam sebagaimana tertuang
dalam rancangan.
2) rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan pada LMU
Prioritas I paling sedikit 1.100 batang/ha dan LMU
Prioritas II paling sedikit 1.650 batang/ha, dengan
pertimbangan memperhatikan tingkat keberhasilan
tumbuh.
3) persen tumbuh saat penilaian dan penyerahan
pekerjaan penanaman tahun pertama paling sedikit
70%.
4) pelaksanaan penanaman menyesuaikan dengan
musim setempat dan dimulai dari garis terdekat
dengan darat.
5) cara penanaman :
a) penanaman dengan benih
Penanaman dapat dilakukan dengan benih jenis
propagul, pada areal berlumpur. Benih/buah
ditancapkan ke dalam lumpur dengan bakal
kecambah menghadap keatas. Untuk menjaga
agar buah tidak hanyut, bila perlu diikatkan pada
ajir.
b) penanaman dengan bibit
Penanaman dapat dilakukan dengan bibit jenis
mangrove dengan ketentuan bibit tersebut layak
tanam. Pada daerah yang langsung dipengaruhi

57
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

pasang surut, penanaman dapat dilakukan dengan


pasang surut, penanaman dapat dilakukan dengan
teknik dan atau pada saat yang memungkinkan.
teknik dan atau pada saat yang memungkinkan.
6) beberapa alternatif pola tanaman yang dapat
6) beberapa alternatif pola tanaman yang dapat
diterapkan sebagai berikut :
diterapkan sebagai berikut :
a) pola tanam murni
a) pola tanam murni
( 1) penanaman murni meliputi penanaman merata
( 1) penanaman murni meliputi penanaman merata
dan/atau penanaman strip (jalur) pada areal
dan/atau penanaman strip (jalur) pada areal
tanam yang telah disiapkan sesuai rancangan.
tanam yang telah disiapkan sesuai rancangan.
Sebaran tanaman dapat dilihat sebagaimana
Sebaran tanaman dapat dilihat sebagaimana
pada gambar 5.
pada gambar 5.
( 2) cara penanaman dapat secara langsung
( 2) cara penanaman dapat secara langsung
dengan buah/benih atau menggunakan bibit
dengan buah/benih atau menggunakan bibit
yang telah disiapkan.
yang telah disiapkan.
( 3) untuk penanaman merata atau penanaman
( 3) untuk penanaman merata atau penanaman
strip (jalur) jarak tanam disesuaikan dengan
strip (jalur) jarak tanam disesuaikan dengan
kondisi di lapangan.
kondisi di lapangan.
( 4) Pada areal yang peka terhadap ombak, jika
( 4) Pada areal yang peka terhadap ombak, jika
diperlukan bibit diikat dengan ajir
diperlukan bibit diikat dengan ajir

a. Penanaman strip (jalur) b. Penanaman merata


a. Penanaman strip (jalur) b. Penanaman merata

Gambar 6. Alternatif Pola Tanam Murni


Gambar 6. Alternatif Pola Tanam Murni

58
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

b) Pola tanam tumpangsari tambak (Sylvofishery/


wanamina)
( 1) Penanaman tumpangsari tambak dilaksanakan
seperti halnya dengan penananam murni,
tetapi dikombinasikan dengan kegiatan
pertambakan. Penanaman selain pada tanggul
juga dilakukan di pelataran tambak sesuai
dengan rancangan;
( 2) Cara penanaman dapat secara langsung
dengan buah/benih atau menggunakan bibit
yang telah disiapkan. Jarak tanam disesuaikan
dengan kondisi lapangan;
( 3) Pola tumpangsari tambak (sylvofishery/
wanamina) terdiri dari 4 (empat) macam cara
yaitu : empang parit tradisional, komplangan,
empang parit terbuka dan kao-kao. Macam-
macam kombinasi seperti pada gambar 7
berikut :

Gambar 7. Macam-macam Teknik Tumpangsari

59
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c) Pola penanaman rumpun berjarak


( 1) Pola penanaman rumpun berjarak dimaksud-
kan untuk kekokohan, menjerat lumpur atau
hara dan sesuai dengan media pasir yang labil
akan ombak laut. Pola tanam ini lebih cocok
untuk ekosistem mangrove di pulau-pulau
kecil.
( 2) Penanaman rumpun berjarak dilaksanakan
seperti halnya dengan penanaman murni akan
tetapi anakan ditanam rapat membentuk
rumpun-rumpun. Jumlah dan jarak antar
rumpun per hektar dan jumlah anakan yang
ditanam di tiap rumpun disesuaikan dengan
kondisi tapak.
( 3) Pada saat menanam bibit, kantong plastik
(polybag) media tanam tidak perlu dilepas
tetapi cukup dirobek atau dilubangi bagian
dasarnya.
( 4) Penanaman pada areal yang rawan gerakan
air laut, jika diperlukan dapat dibuat pagar
pengaman.

Gambar 8. Cara penanaman rumpun berjarak

60
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

4. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman mangrove dilakukan
sebagaimana terurai pada BAB IV. Huruf C. dengan catatan
penyiangan hanya dilakukan pada areal yang kering saja.
Disamping itu, untuk pengendalian hama dan penyakit pada
tanaman mangrove dari serangan kepiting/ketam (Crustacea,
sp.), ulat daun dan batang, cendawan akar, tritip serta gulma
(biasanya lumut) dapat dilakukan dengan cara:
a. Benih/bibit mangrove ditanam lebih banyak atau lebih rapat
b. Membungkus benih/bibit dengan bambu atau botol plastik.
c. Menggunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.
5. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman mangrove pada akhir tahun ketiga yaitu paling
sedikit 90% (sembilan puluh perseratus) dari jumlah tanaman
baru.
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak
dilakukan pemeliharaan lanjutan
C. Rehabilitasi Sempadan Pantai
1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi sempadan pantai dapat
berupa kawasan hutan atau di luar kawasan hutan yang
diutamakan pada lahan kritis/LMU terpilih menurut RTk-RHL
DAS selebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat yang bukan termasuk habitat/ekosistem
mangrove, dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP
RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat
mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi
setempat.

61
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan kegiatan rehabilitasi
sempadan pantai dapat dilakukan dengan pembuatan atau
melalui pengadaan bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi
lokasi persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik
untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan,
maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui :
pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak
ketiga/perusahaan pengada bibit.
d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan mengurangi
resiko kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan
persemaian dan tempat pengumpulan sementara yang
sesuai kriteria dan standar mutu.
e. Rehabilitasi sempadan pantai pada lahan berpasir dapat
menggunakan bibit dengan media campuran contohnya
dengan sistem press-block.
3. Pembuatan Tanaman
Tahapan penanaman rehabilitasi sempadan pantai sebagai
berikut:
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan, prakondisi dilakukan

62
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

terhadap masyarakat pantai setempat yang akan


terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan pantai berupa
penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan
pendampingan.
2) Pengadaan sarana dan prasarana
3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan
nama, patok batas, ajir dan penyiapan alat peng-
ukuran (GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter dan
lain-lain) serta perlengkapan kerja lainnya.
4) Penataan areal tanaman
a) Berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan
lahan sesuai lokasi dan areal tanam.
b) Penyiapan areal tanam :
(1) Pengukuran ulang batas-batas areal,
pemancangan patok batas luar areal tanam;
(2) Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan
penentuan arah larikan tanaman sesuai pola
tanam yang telah dirancang pada lokasi dan
areal tanam yang bersangkutan;
(3) Pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting
pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan
liar;
(4) Pemancangan ajir sesuai jarak tanam;
(5) Bila diperlukan dilakukan penyiapan tempat
pengumpulan sementara bibit yang akan
ditanam.
b. Pemilihan jenis tanaman
1) Jenis tanaman dipilih yang paling cocok dan

63
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

disesuaikan dengan kondisi fisik lapangan, sosial


ekonomi dan budaya serta kesiapan masyarakat
setempat sebagaimana yang tertuang dalam
rancangan.
2) Sifat ekologis jenis pohon pantai antara lain :
- 47 -

Tabel 3. Sifat ekologis jenis pohon pantai dan cara


pembiakannya.
Tabel 3. Sifat ekologis jenis pohon pantai dan cara
pembiakannya.
No. Jenis Jenis Tanah Habitat Pembiakan
1 Cemara Laut Regosol/ Tanah liat Tunas akar
(Casuarina entisol berat, di atas dan biji
spp.) garis pasang,
tanah miskin
humus
2 Ketapang Regosol/ Tanah berpasir Biji, stek,
(Terminalia entisol dan berbatu grafting,
catapa) anakan alam
3 Waru Regosol/ Tanah tertier Stek dan Biji
(Hibiscus spp.) entisol yang periodik
kering
4 Nangka Regosol/ Tanah liat Stek akar,
(Artocarpus entisol berpasir stek batang
altilis)
5 Nyamplung Aluvial/ Tanah liat Biji
(Callophylum Regosol berpasir
innophylum)
6 Kelapa Regosol/ Tanah liat Buah/Biji
(Cocos spp.) entisol berpasir

c. Penanaman
1) Pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi sempadan
pantai di luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan
dilakukan dengan menerapkan pola tanam sebagaimana
tertuang dalam rancangan. Penanaman dapat dilakukan
secara merata atau jalur/baris sepanjang pantai.
2) Rehabilitasi sempadan pantai dilaksanakan pada LMU
Prioritas I paling sedikit 1.650 batang/ha dan LMU Prioritas
II minimal 1.100 batang/ha.
3) Persen tumbuh saat penilaian dan penyerahan pekerjaan
64 penanaman tahun pertama (P0) paling sedikit 70%.
4) Komponen kegiatan penanaman meliputi :
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c. Penanaman
1) Pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi
sempadan pantai di luar kawasan hutan dan di dalam
kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan pola
tanam sebagaimana tertuang dalam rancangan.
Penanaman dapat dilakukan secara merata atau
jalur/baris sepanjang pantai.
2) Rehabilitasi sempadan pantai dilaksanakan pada LMU
Prioritas I paling sedikit 1.650 batang/ha dan LMU
Prioritas II minimal 1.100 batang/ha.
3) Persen tumbuh saat penilaian dan penyerahan
pekerjaan penanaman tahun pertama (P0) paling
sedikit 70%.
4) Komponen kegiatan penanaman meliputi :
a) Pembuatan lubang tanam yang ukurannya
disesuaikan dengan jenis yang akan ditanam;
b) Pada lahan berpasir dapat dilakukan penambahan
media tumbuh yang memadai.
c) Penanaman dilakukan dengan memadatkan tanah
urugan di sekitar batang dan hindari kerusakan
akar.
4. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman sebagaimana uraian pada BAB IV.
Huruf C. Jenis hama tanaman yang sering ditemui dan
menyerang pada tanaman pantai adalah ulat daun dan batang,
cendawan akar dan upas (Cryptococcus neoformans,
Phytopthora palmivora) serta gulma. Pengendalian hama dan

65
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

gulma dapat dilakukan pada pemeliharaan tanaman tahun


berjalan, tahun pertama dan atau tahun kedua.
5. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman sempadan pantai pada akhir tahun ketiga
yaitu paling sedikit 90 % (sembilan puluh perseratus) dari
jumlah tanaman baru.
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak
dilakukan pemeliharaan lanjutan.

D. Rehabilitasi Pesisir/Pantai Pola Khusus


Rehabilitasi mangrove dan sempadan pantai dengan kondisi
biofisik atau sosial, ekonomi, budaya dan atau kepentingan
diseminasi teknologi rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan pola
khusus yang diatur dengan manual tersendiri.

66
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB VII
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
KAWASAN BERGAMBUT

A. Umum
Kawasan bergambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman
yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun yang belum lapuk.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi yang
terhambat oleh kondisi an-aerob dan di permukaan atasnya hidup
berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan dari tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon. Pembentukan kawasan bergambut
merupakan proses geogenik yang disebabkan oleh proses deposisi
dan transportasi, sedangkan proses pembentukan tanah mineral
pada umumnya merupakan proses pedogenik. Keberadaan kubah
gambut (peat dome) di bagian tengah pada bentang lahan gambut
menjadi ciri khas ekosistem bergambut. Sedangkan tingkat
kesuburan tanah bergambut secara gradual dipilah menjadi 3 (tiga)
jenis yaitu matang (saprist), sedang (hemist) dan mentah (fibrist).
Kawasan bergambut dipilah menjadi dua yaitu Kawasan
Bergambut Berfungsi Lindung dan Kawasan Bergambut Berfungsi
Budidaya. Kriteria kawasan bergambut berfungsi lindung yakni
apabila ketebalan gambut mencapai 3 (tiga) meter atau lebih
terdapat di hulu sungai atau rawa, sedangkan kriteria kawasan
bergambut berfungsi budidaya yakni apabila ketebalan gambutnya
kurang dari 3 (tiga) meter terdapat di hulu sungai atau rawa.
Kawasan bergambut memberikan manfaat yang sangat luas bagi
kehidupan di muka bumi karena merupakan habitat berbagai flora
fauna yang berperan penting dalam pengaturan tata air sehingga

67
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

daerah sekitarnya dapat terhindar dari intrusi air laut pada musim
kemarau dan banjir pada musim hujan. Kawasan bergambut
mampu menyimpan dan menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) dalam
jumlah besar sehingga secara tidak langsung berperan penting
dalam mengatur iklim lokal maupun global.
Maksud dan tujuan RHL kawasan bergambut untuk memulihkan
sumberdaya kawasan bergambut yang kritis sehingga berfungsi
optimal dalam memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial
kepada seluruh pihak yang berkepentingan, mengelola sumber
daya air, dan mengembangkan kelembagaan yang berbasis
sumberdaya kawasan bergambut.

B. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kawasan


Bergambut
1. Sasaran Lokasi
Secara umum sasaran lokasi rehabilitasi hutan dan lahan
kawasan bergambut yaitu kawasan yang diidentifikasi sebagai
areal kritis/rusak sedang dan sangat kritis/rusak berat pada
RTk RHL DAS Kawasan Bergambut. Apabila pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut tidak dapat
sekaligus mencakup seluruh areal maka dapat dilakukan
prioritas, misalnya prioritas RHL-G I berupa kawasan gambut
lindung dan budidaya sangat kritis dan/atau kritis yang terletak
dalam DAS prioritas dengan kondisi gambut matang/safrik dan
ketebalan tanah gambutnya dangkal, setelah dikurangi
peruntukan lain seperti pemukiman dan sarana umum lainnya.
Selanjutnya prioritas RHL-G II yaitu kawasan gambut sangat
kritis dan/atau kritis yang terletak dalam DAS prioritas dengan

68
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

kondisi gambut setengah matang/hemik dan ketebalan tanah


gambutnya dangkal, setelah dikurangi peruntukan lain seperti
pemukiman dan sarana umum lainnya.
Terhadap kegiatan penanaman dalam rangka rehabilitasi,
dapat dipilih pada areal yang terbatas kemampuannya untuk
pulih secara alami dan areal yang secara alami sulit dijangkau
oleh penyebaran benih. Lahan yang memiliki kemampuan
untuk pulih secara alami tidak diprioritaskan sebagai areal
penanaman.
Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan awal, maka RHL
kawasan bergambut dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu
penanaman intensif dan pengayaan tanaman. Penanaman
RHL kawasan bergambut dilaksanakan pada prioritas RHL-G I
dan Prioritas RHL-G II berdasarkan RTkRHL DAS Kawasan
Bergambut yang mempunyai tegakan asal paling banyak 200
(dua ratus) batang/hektar, sedangkan pengayaan tanaman
pada kawasan bergambut dilaksanakan pada prioritas RHL-G I
dan Prioritas RHL-G II berdasarkan RTkRHL DAS Kawasan
Bergambut yang mempunyai tegakan asal antara 200 (dua
ratus) sampai dengan 400 (empat ratus) batang/ hektar.
2. Penentuan Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi sebaiknya jenis
lokal/ endemik.
Proses pemilihan jenis dilakukan dengan memperhatikan :
a. keberadaan jenis dominan,
b. sifat dan karakteristik tiap jenis terutama respon terhadap
genangan dan cahaya,

69
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
- 51 -

c. kondisi areal (penutupan vegetasi, kondisi tanah dan


b. sifat dan karakteristik tiap jenis terutama respon terhadap
kondisi genangan).
genangan dan cahaya,
Variasi kondisi areal dan alternatif jenis tanaman yang sesuai :
c. kondisi areal (penutupan vegetasi, kondisi tanah dan kondisi
genangan).

Tabel
Variasi 4. Kondisi Areal dan Alternatif Jenis Tanaman RHL
kondisi areal dan alternatif jenis tanaman yang sesuai :
Tabel 4. Kondisi Areal dan Alternatif Jenis Tanaman RHL Rawa
Rawa Gambut
Gambut
No. Kondisi Lokasi Alternatif Jenis Tanaman
1 Areal yang :  Jelutung rawa (Dyera lowii )
a. Bekas terbakar  Perepat (Combretocarpus rotundatus )
ringan/sedang  Belangiran (Shorea belangeran )
b. Bekas tebang habis  Perupuk (Coccoceras borneense)
c. Areal terbuka  Pulai rawa (Alstonia pneumatophora )
(vegetasi jarang)  Rengas manuk (Melanorhoea wallicihi)
 Terentang (Campnosperma macrophylla)
2 Areal yang :  Meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea
a. Bekas terbakar yang tysmanniana, Shorea uliginosa)
telah mengalami  Merapat (Combretocarpus rotundatus )
suksesi  Durian (Durio carinatus)
b. Bekas tebang selektif  Ramin (Gonystylus bancanus)
c. Penutupan vegetasi  Punak (Tetramerista glabra)
sedang  Kempas (Koompassia malaccensis )
 Resak (Vatica rassak)
 Sungkai (Peronema canescens)
 Kapur Naga (Calophyllum macrocarpum)
 Nyatoh (Palaquium spp.)
 Bintangur (Calaphyllum spp.)
3 Areal yang :  Meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea
a. Bekas tebang selektif tysmanniana, Shorea uliginosa)
b. Masih banyak  Ramin (Gonystylus bancanus)
dijumpai pohon  Punak (Tetramerista glabra )
c. Penutupan vegetasi  Balam (Palaquium rostratum )
masih tinggi  Medang (Litsea calophyllantha )
d. Telah kehilangan  Kempas (Koompassia malaccensis)
jenis tanaman  Rotan ( Calamus spp )
komersil (bernilai  Gemor (Alseodhapne helophylla)
tinggi)

70
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Jenis tanaman semusim yang cocok untuk kawasan bergambut


antara lain:
a. Jahe-jaheaan (Zingiberaceae)
b. Lidah buaya (Aloevera)
Jenis tanaman perdu yang dapat ditanam di sela-sela tanaman
pokok dan cocok di kawasan bergambut antara lain tanaman
jarak (Jantropha sp.). Sedangkan jenis tanaman eksotis yang
dapat dikembangkan di kawasan bergambut antara lain :
a. Akasia (Acacia crassicarpa)
b. Ekaliptus (Eucalyptus spp.)
c. Melina (Gmelina sp.)
3. Jadwal kegiatan
Pengaturan jadwal kegiatan rehabilitasi perlu dilakukan secara
baik karena kegiatan rehabilitasi memiliki variasi waktu ideal
yang berlainan, misalnya penanaman pada musim hujan dan
pembuatan gundukan piringan tanam di musim kemarau.
4. Persiapan Pelaksana Penanaman
Sumberdaya Manusia memegang peranan yang sangat
penting dalam kegiatan rehabilitasi sehingga perlu
dipersiapkan. Persiapan SDM tidak hanya penyiapan tenaga
kerja dalam jumlah tertentu melainkan juga pembekalan
keterampilan yang memadai sehingga kegiatannya dapat
berupa penyiapan kelembagaan yaitu prakondisi terhadap
masyarakat setempat yang akan terlibat dalam kegiatan
rehabilitasi berupa penyuluhan, pembentukan kelompok tani
dan pendampingan.

71
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

5. Persiapan bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan rehabilitasi rawa gambut
dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan
bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi
lokasi persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik
untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan,
maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui :
pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak
ketiga/perusahaan pengada bibit.
d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik dan mengurangi
resiko kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan
tempat pengumpulan sementara di areal tanam yang
sesuai kriteria dan standar mutu.
6. Penataan areal tanam
Kegiatan penataan areal tanam perlu dilakukan karena adanya
perilaku genangan air yang sulit diprediksi dan sering menjadi
permasalahan serius bagi tanaman muda/bibit yang baru
ditanam.
Pada persiapan areal tanam beberapa kegiatan yang dilakukan
meliputi:

72
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

a. Pembuatan batas areal penanaman.


Pembuatan batas areal penanaman sebagaimana tertuang
pada BAB IV. Huruf C.
b. Pengaturan drainase
Keberhasilan rehabilitasi di kawasan bergambut juga
ditentukan oleh fluktuasi muka air tanah gambut. Hal ini
memerlukan pengaturan drainase (water management)
pada luasan areal tanam yang dimaksud. Adapun jenis
kegiatan pengaturan drainase dapat berupa 1) pembuatan
parit dengan dimensi tertentu 2) pembuatan kolam air
(beje), dan 3) pembangunan tabat/tebat dalam rangka
pengaturan laju drainase (canal blocking). Fungsi lain dari
parit, kolam air dan tabat tersebut dapat digunakan
sebagai tempat berkembang biaknya ikan lokal ekosistem
air hitam, baik berkembang biak secara alami maupun
budidaya.
Visualisasi posisi tabat secara melintang dan posisi dilihat
dari atas terhadap sebaran areal yang akan direhabilitasi
disajikan pada Gambar 9 dan 10 di bawah ini.

Gambar 9. Letak dan posisi tabat secara melintang

73
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Gambar 10. Letak dan posisi tabat terhadap areal yang


akan direhabilitasi

Posisi kolam air (beje) divisualisasikan pada Gambar 11 di


bawah ini yang disesuaikan dengan komposisi dan posisi
areal penanaman.

Gambar 11. Letak dan posisi kolam air (beje) terhadap


areal penanaman

74
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Bentuk bangunan tabat dapat berupa tabat papan satu


lapis atau tabat isi. Tabat papan satu lapis hanya terdiri
dari satu lapis penahan arus air yang terbuat dari susunan
papan/balok kayu atau terbuat dari plastik. Sedangkan
tabat isi dibuat dari dua lapis papan penahan arus air yang
diantara papan tersebut dapat diisi dengan media berupa
tanah gambut, tanah mineral, atau campuran tanah
gambut dan mineral. Permukaan atas media antara pada
tabat isi dapat digunakan sebagai sarana transportasi atau
sarana media tanam bagi vegetasi tertentu. Pada masing-
masing jenis bangunan tabat tersebut dibuat
lubang/rongga tempat aliran limpasan/luapan (spillway)
sehingga kontinyuitas aliran dari atas tetap terjaga dan
daya dorong aliran air dapat terukur. Bentuk bangunan
tabat disajikan pada Gambar 12, 13, dan 14.

Gambar 12. Bangunan tabat satu lapis terbuat dari


papan/balok kayu (tampak depan)

75
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Gambar 13. Bangunan tabat satu lapis terbuat dari papan


plastik tebal (tampak depan)

Gambar 14. Bangunan tabat isi (a) tampak samping


(b) tampak depan

76
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Perencanaan pengaturan drainase tersebut dilakukan


dengan seksama dikarenakan sifat lahan gambut yang
kering tidak balik (irreversible drying) dan gejala penurunan
lapisan gambut (subsidence). Kegiatan pengaturan
drainase tersebut masuk dalam ranah kegiatan sipil teknis
yang secara detil terdapat pada manual rehabilitasi hutan
dan lahan kawasan bergambut.
c. Pembuatan jalan pemeriksaan
Jalan pemeriksaan dibuat di antara blok satu dengan
lainnya. Jalan pemeriksaan selain dimanfaatkan untuk
pemeriksaan juga sekaligus untuk jalan pengangkutan alat
dan bahan-bahan yang diperlukan. Teknik pembuatannya
mengikuti ketentuan pembuatan jalan yang berlaku dengan
ukuran menyesuaikan kondisi lapangan.
d. Pembuatan jalur tanam
Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah
larikan tanaman sesuai pola tanam yang telah dirancang
pada lokasi dan areal tanam yang bersangkutan.
Selanjutnya penentuan jarak tanam juga disesuaikan
kondisi areal.
e. Pemasangan ajir
Pemasangan ajir sesuai jarak tanam yang ditentukan,
dipasang tegak lurus dan kuat pada areal tanam.
f. Pembuatan gundukan
Pada areal tanam yang kondisi penggenangan ringan
pembuatan gundukan tidak merupakan keharusan. Namun
pada areal tanam yang kondisi penggenangannya sedang
dan berat maka perlu dibuat gundukan pada titik tanam.

77
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Pembuatan gundukan sebaiknya dilakukan pada musim


kemarau/ kering sehingga pengambilan material gambut
menjadi lebih mudah. Waktu yang ideal adalah T-2 atau T-
3 bulan sebelum penanaman dengan maksud agar
gundukan dapat menjadi kompak dan kuat di musim
penghujan. Gundukan tidak boleh terlalu rendah sebab
bibit dapat tergenang air saat musim hujan dan jangan
terlalu tinggi sebab bibit dapat kekurangan air pada musim
kemarau. Untuk itu perlu dipelajari terlebih dahulu fluktuasi
dan rata-rata tinggi muka air tanah di lokasi rehabilitasi.
Tinggi gundukan dibuat lebih tinggi dari batas genangan
terendah. Selanjutnya karena sifat tanah gambut yang
remah maka disekeliling gundukan perlu dibuat
pembatas/penahan agar gundukan tidak mudah longsor
atau terkikis saat terjadi banjir. Pembatas dapat berupa
potongan cabang, batang atau material lain yang terdapat
di areal tanam.
g. Penyiapan titik bagi bibit sebagai tempat pengumpulan
sementara sebelum bibit di tanam (di masing-masing areal
penanaman).
7. Pengangkutan Bibit
Alat pengangkutan bibit dapat berupa : truk, lori, perahu atau
alat transport lainnya. Persiapan yang matang akan mampu
menjamin ketersediaan alat angkut dalam jumlah yang cukup
sesuai kondisi jalan atau parit, titik bagi bibit dan jumlah bibit
yang akan diangkut.

78
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

8. Penanaman
Penaman dilakukan pada awal musim hujan. Sebaiknya bibit
ditanam pada pagi atau sore hari untuk mereduksi tingkat stres
bibit akibat sinar matahari.
Beberapa alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan yakni :
a. penanaman intensif/merata pada areal yang terbuka,
b. penanaman jalur atau pengayaan pada areal yang
penutupan vegetasinya sedang atau rapat.
Tahapan pekerjaan pada penanaman sebagai berikut.
a. Pembersihan piringan tanam atau gundukan dan
pembuatan lubang tanam.
Kegiatan pembersihan piringan tanam atau gundukan dan
pembuatan lubang tanam dilakukan pada saat akan
menanam bibit dimaksudkan untuk menghilangkan gulma
pada gundukan atau titik tanam. Sedangkan lubang tanam
dibuat disesuaikan dengan ukuran bibit yang akan
ditanam.
b. Penyiraman lubang tanam.
Bibit akan mengalami stres bila akarnya langsung
menyentuh tanah yang panas. Karenanya apabila cukup
tersedia air di areal tanam maka dapat terlebih dahulu
dilakukan penyiraman air secukupnya ke lubang tanam.
c. Penanaman bibit.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan bibit ke
lubang tanam. Perhatikan agar batang bibit tidak terbenam
karena lubang tanam terlalu dalam atau terdapatnya
bagian akar yang tidak tertimbun karena lubang terlalu
dangkal. Lubang yang telah ditanami bibit kemudian

79
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

ditutup material tanah bekas galian, upayakan bibit tegak


dan tidak goyang. Tinggi bibit harus lebih tinggi dari
genangan tertinggi baik ditanamn sendiri maupun dengan
gundukan.
9. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi : penyiangan,
penyulaman dan pengendalian hama dan penyakit.
Pemeliharaan tanaman dilakukan sebagaimana terurai pada
BAB IV. Huruf C.
Dalam pengendalian hama, Jenis hama yang sering ditemui di
lahan dan hutan gambut adalah : babi hutan dan rayap
(Macrotermes gilvus). Untuk mengatasi serangan babi hutan
dapat dilakukan dengan cara membersihkan semak belukar di
sekitar areal lokasi tanam yang merupakan habitatnya. Apabila
serangan hama babi tidak dapat dielakkan maka dilakukan
upaya penyetruman, peracunan atau perburuan masal.
Untuk mengantisipasi gangguan rayap disarankan untuk
melakukan pembuatan lubang tanam 2-3 hari sebelum bibit
ditanam dimaksudkan agar rayap yang terganggu karena
pembuatan lubang tanam akan mencari tempat baru bagi
koloninya. Pada kondisi gangguan yang ekstrim dapat
digunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.
10. Perlindungan tanaman
Bahaya yang selalu mengancam pada kawasan bergambut
yang telah terbuka adalah kebakaran hutan dan lahan (forest
fire). Sifat api yang dapat tersimpan cukup lama (latent) dan
cenderung merambat melalui lapisan bawah gambut,
merupakan ancaman yang sulit diantisipasi dan dikendalikan.

80
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Namun demikian perlakuan yang selama ini ditempuh adalah :


a. Membuat parit-parit dan kanal saluran sebagai sekat bakar
yang cukup efektif untuk meredam laju rambatan api di
bawah permukaan
b. Membuat kolam air (beje) yang digunakan sebagai
cadangan air tatkala kebakaran hutan dan lahan terjadi
c. Pemilihan jenis tanaman lain tahan terhadap api yang
ditanam pada sekitar blok maupun petak tanam. Jenis
tanaman tahan api tersebut antara lain 1) pohon pisang 2)
pohon pinang, dan 3) pohon pepaya
d. Pemadaman manual yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat setempat, baik secara swadaya maupun ada
insentif dari pemerintah setempat
11. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman hasil penanaman RHL pada kawasan
bergambut pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun
tanaman baru paling sedikit 600 (enam ratus) batang/hektar.
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak
dilakukan pemeliharaan lanjutan.
C. Rehabilitasi Kawasan Bergambut Pola Khusus
Rehabilitasi kawasan bergambut dengan kondisi biofisik atau
sosial, ekonomi, budaya dan atau kepentingan diseminasi teknologi
rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan pola khusus yang diatur
dengan manual tersendiri.

81
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB VIII
KONSERVASI TANAH DAN AIR

A. Umum
Kegiatan konservasi tanah dan air bertujuan untuk melindungi
permukaan tanah dari pukulan air hujan, meningkatkan kapasitas
infiltrasi tanah, mencegah terjadinya konsentrasi aliran permukaan,
mengoptimalkan fungsi tanah dan meningkatkan daya dukung
DAS.

B. Teknik Konservasi Tanah dan Air


Teknik konservasi tanah dan air yang sering dilakukan dalam
kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah:
1. Dam Pengendali (DPi)
a. Tujuan
Tujuan pembangunan DPi yaitu :
1) Mengendalikan endapan sedimen dan aliran air
permukaan yang berasal dari daerah tangkapan air
dibagian hulunya.
2) Menaikkan permukaan air tanah sekitarnya.
3) Tempat persediaan air bagi masyarakat (rumah
tangga, irigasi, ternak dan lain-lain).
b. Sasaran Lokasi
Secara teknis persyaratan site lokasi Dam Pengendali
adalah sebagai berikut:
1) LMU Prioritas I dan II dan/atau dalam RP-RHL;

82
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

2) dapat diluar Prioritas I dan II dengan syarat lokasinya


mampu menampung sedimen dan aliran permukaan
yang besar;
3) luas DTA 50 - 250 ha;
4) struktur tanah stabil (badan bendung);
5) kemiringan rata-rata daerah tangkapan 15 - 35 %;
6) tinggi badan bendung maksimum 8 meter
7) kemiringan alur sungai <10%;
8) diutamakan pada ordo sungai 1 sampai dengan 3; dan
9) prioritas pengamanan bangunan vital.

Gambar 15. DPi Bentuk Lurus

Gambar 16. DPi Bentuk Busur

83
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c. Mekanisme Pelaksanaan
1) perencanaan
a) analisis penetapan lokasi kegiatan DPi melalui desk
analisis dan survey calon lokasi (ground check).
b) pengukuran dan penentuan rencana lokasi DPi.
2) penyiapan tim pelaksana
a) penyiapan tim administrasi
b) penyiapan tim penyusun rancangan, tim pengawas,
pendamping.
c) pelatihan tim penyusun rancangan, tim pengawas,
pendamping.
3) penyusunan rancangan kegiatan oleh tim penyusun
rancangan
a) unsur tim penyusun rancangan dapat terdiri dari
Dinas Kehutanan provinsi/KPH, PU Kabupaten/Kota
dan ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK)
Kepala BPDASHL.
b) rancangan disusun (Sun) oleh tim perancang, dinilai
(Lai) oleh Kepala Seksi Program BPDASHL, dan
disahkan (Sah) oleh Kepala BPDASHL.
4) persiapan
a) penyiapan kelembagaan
(1) pertemuan dengan masyarakat/kelompok
dalam rangka sosialisasi rencana pelaksanaan
pembuatan dam pengendali.
(2) pembentukan organisasi dan penyusunan
program kerja.
b) penyiapan ganti rugi lahan

84
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Lahan yang terpakai untuk badan bendung,


saluran air, bangunan pelimpah, jalan dan sarana
yang lain dapat diganti rugi sepanjang anggaran
tersedia.
c) pengadaan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sarpras diutamakan untuk
jenis peralatan dan bahan habis pakai, yang
bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan
pekerjaan di lapangan, antara lain :
(1) pembuatan jalan masuk.
(2) pembuatan gubuk kerja, gubuk material dan
papan nama.
5) persiapan lapangan
a) pembersihan lapangan
b) pengukuran kembali
c) pemasangan patok batas
6) pelaksanaan pembuatan
a) pembuatan profil bendungan
b) pengupasan, penggalian dan pondasi bangunan
c) pembuatan saluran pengelak
d) pembuatan/pemadatan badan bendung
e) pembuatan saluran pengambilan dan pintu air
f) pembuatan bangunan pelimpah (spillway)
g) pembuatan bangunan lain untuk sarana
pengelolaan: jalan inspeksi
h) pemasangan gebalan rumput
7) pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan DPi meliputi :

85
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

a) pemeliharaan badan bendung dan saluran


pelimpah serta saluran pembagi
b) perbaikan gebalan rumput
8) organisasi pelaksana
Pelaksana dalam pembuatan DPi yaitu kelompok
masyarakat atau pihak ketiga didampingi penyuluh
lapangan kehutanan atau petugas teknis di bawah
koordinasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
provinsi.
9) jadwal kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
2. Dam Penahan (DPn)
a. Tujuan
Pembuatan DPn bertujuan untuk mengendalikan
endapan/sedimentasi dan aliran air permukaan (run off)
dari daerah tangkapan air dibagian hulu.
b. Sasaran Lokasi
Secara teknis kriteria site lokasi DPn adalah sebagai
berikut:
1) LMU Prioritas I dan II atau dalam RP-RHL;
2) Luas DTA 10-30 ha;
3) Kemiringan alur 15-35 %;
4) tinggi maksimum 4 meter;
5) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan 15-35%;
6) Diutamakan pada ordo sungai 1 sampai dengan 3.
7) Untuk DPn yang dibuat secara seri, persyaratan luas
DTA mengikuti kondisi di lapangan.

86
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Gambar 17. DPn dengan Batu Bronjong

Gambar 18. DPn Batu Bronjong dengan Sayap

Gambar 19. Dam Penahan dengan konstruksi kayu/bambu

87
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
- 65 -

Gambar 19. Dam Penahan dengan konstruksi anyaman


Gambar 20. Dam Penahan
ranting, dengan konstruksi anyaman
kayu/bambu.
ranting, kayu/bambu.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) perencanaan
c. Mekanisme Pelaksanaan
a) analisis penetapan lokasi kegiatan DPn melalui desk
analisis dan survey calon lokasi (ground check).
1) perencanaan
b) pengukuran dan penentuan rencana lokasi DPn.
2)a) analisis tim
penyiapan penetapan
pelaksanalokasi kegiatan DPn melalui
a) penyiapan Tim Administrasi
desk analisis dan survey calon lokasi (ground
b) penyiapan Tim Penyusun Rancangan, Tim Pengawas,
check).
Pendamping.
b)c) pelatihan
pengukuranTim dan Penyusun Rancangan,
penentuan rencana lokasiTim
DPn.Pengawas,
Pendamping.
2)3)penyiapan
penyusunan tim pelaksana
rancangan kegiatan oleh Tim Penyusun
a)Rancangan
penyiapan Tim Administrasi
a) tim penyusun rancangan dapat terdiri dari unsur Dinas
b) Kehutanan
penyiapan provinsi/kabupaten/kota,
Tim Penyusun Rancangan, Tim
PU kabupaten/kota,
dan ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Kepala
Pengawas, Pendamping.
BPDASHL.
c) pelatihan Tim Penyusun Rancangan, Tim
b) rancangan disusun (Sun) oleh Tim Perancang, dinilai (Lai)
Pengawas, Pendamping.
oleh Kepala Seksi Program BPDASHL, dan di sahkan (Sah)
oleh Kepala BPDASHL.
3) penyusunan rancangan kegiatan oleh Tim Penyusun
4) persiapan
Rancangan
a) penyiapan Kelembagaan
b)
a) timpertemuan
penyusun dengan masyarakat/kelompok
rancangan dalam
dapat terdiri dari rangka
unsur
sosialisasi.
c) Dinas Kehutanan
pembentukan provinsi/kabupaten/kota,
organisasi dan penyusunan rencana PU
kerja.

88
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

kabupaten/kota, dan ditetapkan dengan Surat


Keputusan (SK) Kepala BPDASHL.
b) rancangan disusun (Sun) oleh Tim Perancang,
dinilai (Lai) oleh Kepala Seksi Program BPDASHL,
dan di sahkan (Sah) oleh Kepala BPDASHL.
4) persiapan
a) penyiapan Kelembagaan
b) pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi.
c) pembentukan organisasi dan penyusunan rencana
kerja.
5) pengadaan sarana dan prasarana
Pengadaan sarana dan prasaranan (sarpras)
diutamakan untuk jenis peralatan dan bahan habis
pakai. Pelaksanaan pekerjaan di lapangan antara lain :
a) pembuatan jalan masuk
b) pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan
nama
6) persiapan lapangan
a) pembersihan lapangan
b) pengukuran kembali
c) pemasangan patok batas
7) pelaksanaan pembuatan
a) pemasangan profil bangunan
b) penggalian pondasi bangunan
c) penganyaman/pembuatan bronjong
d) pemasangan bronjong
e) pengisian bronjong

89
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

f) pengikatan bronjong
8) pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan dam penahan meliputi :
a) pembersihan seresah
b) pemeliharaan bronjong
9) organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan dam penahan yaitu kelompok
masyarakat atau pihak ketiga didampingi Petugas
Lapangan Kehutanan atau petugas teknis dibawah
koordinasi Dinas provinsi/kabupaten/kota.
10) jadwal kegiatan
Tahapan pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
3. Pengendali Jurang (gully plug)
Gully Plug (GP) adalah upaya teknik konservasi tanah untuk
mencegah/ mengendalikan erosi jurang agar tidak meluas dan
berkembang sehingga merusak lingkungan sekitarnya.
a. Tujuan
Pembangunan gully plug bertujuan untuk memperbaiki
lahan yang rusak berupa jurang/parit akibat gerusan air
guna mencegah terjadinya jurang/parit yang semakin
besar.
b. Sasaran Lokasi
Secara teknis kriteria site lokasi gully plug sebagai berikut:
1) LMU Prioritas I dan II dan/atau dalam RP-RHL;
2) kemiringan DTA > 35 % dan terjadi erosi parit/alur;
3) pengelolaan lahan sangat intensif atau lahan terbuka;
4) kemiringan alur maksimal 10%;

90
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

5) luas DTA 3 – 5 ha;


6) diutamakan pada ordo sungai 1 sampai dengan 2.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) perencanaan
a) analisis penetapan lokasi kegiatan GP melalui desk
analisis dan survey calon lokasi (groundcheck).
b) pengukuran dan penentuan rencana lokasi GP.
2) penyiapan tim pelaksana
a) penyiapan Tim Administrasi
b) penyiapan Tim Penyusun Rancangan, Tim
Pengawas, Pendamping.
c) pelatihan Tim Penyusun Rancangan, Tim
Pengawas, Pendamping.
3) penyusunan rancangan kegiatan oleh Tim Penyusun
Rancangan
a) tim penyusun rancangan dapat terdiri dari unsur
Dinas Kehutanan provinsi/kabupaten/kota, PU
kabupaten/kota dan ditetapkan dengan Surat
Keputusan (SK) Kepala BPDASHL.
b) rancangan disusun oleh Tim Perancang, dinilai oleh
Kepala Seksi Program BPDASHL, dan di sahkan
oleh Kepala BPDASHL.
4) persiapan
a) penyiapan kelembagaan
b) pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi
c) pembentukan organisasi dan penyusunan rencana
kerja

91
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

5) pengadaan sarana dan prasarana


Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis
peralatan dan bahan yang habis pakai. Pembuatan
sarana dan prasarana pelaksanaan pekerjaan di
lapangan yaitu:
a) pembuatan jalan masuk
b) pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan
nama
6) penataan areal kerja
a) pembersihan lapangan
b) pengukuran kembali
c) pemasangan patok
d) pembuatan profil lapangan
7) pembuatan
a) stabilisasi ujung jurang dilakukan melalui :
(1) pembuatan teras-teras dan bangunan terjunan
air
(2) pelandaian lereng
(3) pembuatan saluran diversi mengelilingi bagian
atas
b) stabilisasi tebing jurang dilakukan melalui :
(1) pelandaian lereng/tebing
(2) penguatan lereng/tebing
c) stabilisasi dasar jurang terhadap bangunan
pengendali lolos air dan bangunan pengendali
tidak lolos air
d) pembuatan bangunan pengendali jurang
8) Pemeliharaan.

92
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Pemeliharaan bangunan pengendali jurang meliputi :


a) Pemeliharaan bangunan terjunan dan teras
b) Pemeliharaan saluran diversi
9) organisasi pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan pengendali jurang
adalah kelompok masyarakat, yang didampingi
Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) atau petugas
teknis pada satuan kerja Dinas provinsi/kabupaten/
kota.
10) tahapan dan jadwal kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.

Gambar 21. Pengendali jurang dengan bronjong

4. Embung Air
a. Tujuan
Pembangunan embung air ditujukan untuk :

93
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

1) menampung dan mengalirkan air pada kolam


penampung.
2) cadangan persediaan air untuk berbagai kebutuhan
pada musim kemarau.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi embung air adalah hutan dan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada Daerah
kritis dan kekurangan air (defisit), RHL Prioritas I dan II
serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah dan atau telah
ditetapkan dalam RP-RHL.
Secara teknis kriteria site lokasi embung air adalah
sebagai berikut:
1) topografi bergelombang dengan kemiringan <30%
2) air tanah sangat dalam
3) diutamakan tanah liat berlempung atau lempung
berdebu
4) pembangunan embung air diprioritaskan di dekat lokasi
pemukiman dan lahan pertanian/perkebunan.
5) lokasi embung dapat dibangun pada hutan dan lahan
yang rawan kebakaran dan kekeringan.
Keputusan untuk menetapkan lokasi pembuatan embung
dengan memperhatikan alur proses sebagai berikut :

94
4) pembangunan embung air diprioritaskan di dekat lokasi
pemukiman dan lahan pertanian/perkebunan.
5) lokasi embung dapat dibangun pada hutan dan lahan yang
rawan kebakaran dan kekeringan.
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
Keputusan untuk menetapkan lokasi pembuatan embung
dengan memperhatikan alur proses sebagai berikut :

Dalam > 30 m Pompa air tanah dalam

Air tanah Dangkal < 30 m Pompa sumur pantek

Tekstur ringan Drum


dan bak
Permeabel Penampung
Tidak ada

Tekstur liat/ Embung Air


Tidak permeabel

Gambar 19. Alur proses pengambilan keputusan untuk


Gambar 22.pembuatan
Alur proses pengambilan
embung air keputusan untuk
pembuatan embung air

c. Mekanisme Pelaksanaan
1) persiapan
Penyiapan acuan dan kelembagaan :
a) mempelajari rancangan embung yang telah
disahkan,
b) pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi
c) pembentukan organisasi dan penyusunan program
kerja.
2) pengadaan dan pembuatan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis
peralatan dan bahan yang habis pakai, yang bertujuan

95
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

untuk memperlancar pelaksanaan pekerjaan antara


lain :
a) pembuatan jalan masuk
b) pembuatan gubuk kerja/gubuk material
3) penataan areal kerja
a) pembersihan lapangan
b) pengukuran kembali
c) pemasangan patok /profil
d. Pelaksanaan Pembuatan
1) penggalian tanah (kemiringan galian 100%, kedalaman
2,5 - 3 m).
2) pembuatan saluran pelimpah dan saluran pembagi air
3) pemadatan/pelapisan badan embung air dengan tanah
liat, batu kapur, plastik atau dengan pasangan batu
4) pemasangan gebalan rumput
e. Pemeliharaan
1) pemeliharaan gebalan rumput
2) perbaikan/pemadatan dinding embung air
3) pengerukan lumpur
f. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan embung adalah kelompok
masyarakat setempat di bawah koordinasi Dinas
Kabupaten/ Kota.
g. Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.

96
- 71 -
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Gambar 23.
Gambar 23. Embung
EmbungAir
Air

5. Sumur Resapan Air (SRA)


5. Sumur Resapan Air (SRA)
Sumur resapan air adalah salah satu bentuk rekayasa teknik
Sumur resapan
konservasi air berupaair adalah salah satu
bangunan yangbentuk
dibuatrekayasa teknikrupa
sedemikian
konservasi
sehingga air berupa bentuk
menyerupai bangunan yang dibuat
sumur gali sedemikian rupa
dengan kedalaman
tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung
sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman air hujan
yang jatuh di atas atap rumah atau kedap air dan meresapkannya
tertentu
kembali yang berfungsi
ke dalam tanah. sebagai tempat menampung air hujan
yang jatuh di atas atap rumah atau kedap air dan
a. Tujuan
Tujuan pembangunan
meresapkannya SRA tanah.
kembali ke dalam untuk mengurangi aliran
permukaan dan meningkatkan air tanah sebagai upaya untuk
a. Tujuan
mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi sistem tata air
DaerahTujuan
Aliranpembangunan
Sungai (DAS) SRA
sesuaiuntuk
dengan mengurangi aliran
kapasitasnya.
b. Sasaran Lokasi dan meningkatkan air tanah sebagai upaya
permukaan
Sasaran lokasi sumur resapan air yaitu :
untuk mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi sistem
1) daerah pemukiman padat penduduk dengan curah hujan
tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) sesuai dengan
tinggi;
2) aliran permukaan (run off) tinggi;
kapasitasnya.
3) vegetasi penutup tanah <30 % ;
b. Sasaran Lokasi
4) struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai
Sasaran
nilai lokasi sumur
permebilitas resapan
tanah air yaitu :
≥ 2,0 cm/jam;
5) kedalaman
1) daerahairpemukiman
tanah minimum
padat 1,50 m padadengan
penduduk musimcurah
hujan;
6) diutamakan pada morfologi hulu dan tengah DAS; dan
hujan tinggi;
7) jarak penempatan SRA terhadap bangunan adalah:
a) 2)terhadap
aliran permukaan
sumur air(run
bersih tinggi;
off) 10 meter.
b) terhadap septic tank 10 meter.
c) terhadap pondasi bangunan 1 meter. 97
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

3) vegetasi penutup tanah <30 % ;


4) struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai
nilai permebilitas tanah ≥ 2,0 cm/jam;
5) kedalaman air tanah minimum 1,50 m pada musim
hujan;
6) diutamakan pada morfologi hulu dan tengah DAS; dan
7) jarak penempatan SRA terhadap bangunan adalah:
a) terhadap sumur air bersih 10 meter.
b) terhadap septic tank 10 meter.
c) terhadap pondasi bangunan 1 meter.

c. Gambar Teknis SRA


1) Tipe Pasangan Batu Bata Merah
a) Tipe Terbuka

Gambar 24. Gambar konstruksi pembuatan SRA


tipe terbuka

98
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

b) Tipe Tertutup

Gambar 25. Gambar konstruksi pembuatan SRA


tipe tertutup

2) Tipe Buis Beton

Gambar 26. Gambar konstruksi pembuatan SRA


tipe buis beton

99
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

d. Mekanisme Pelaksanaan
1) perencanaan
a) analisis penetapan lokasi kegiatan SRA melalui
desk analisis dan survey calon lokasi
(groundcheck).
b) pengukuran dan penentuan rencana lokasi SRA.
2) penyiapan tim pelaksana
a) penyiapan Tim Administrasi
b) penyiapan Tim Penyusun Rancangan, Tim
Pengawas, Pendamping.
c) pelatihan Tim Penyusun Rancangan, Tim
Pengawas, Pendamping.
3) penyusunan rancangan kegiatan oleh Tim Penyusun
Rancangan
a) tim penyusun rancangan dapat terdiri dari unsur
Dinas Kehutanan provinsi/kabupaten/kota, PU
kabupaten/kota, dan ditetapkan dengan Surat
Keputusan (SK) Kepala BPDASHL.
b) rancangan disusun (Sun) oleh Tim Perancang,
dinilai (Lai) oleh Kepala Seksi Program BPDASHL,
dan di sahkan (Sah) oleh Kepala BPDASHL.
4) persiapan penyiapan kelembagaan
a) pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi.
b) pembentukan organisasi dan penyusunan program
kerja.
c) pelatihan pelaksana.
5) pembuatan sarana dan prasarana

100
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Pengadaan peralataan/sapras diutamakan untuk jenis


peralatan dan bahan yang habis pakai.
6) penataan areal kerja
a) penentuan letak sumur.
b) pembersihan lokasi sumur.
c) pemasangan patok.
e. Pelaksanaan Pembuatan
1) penggalian tanah
2) pemasangan dinding sumur.
3) pembuatan saluran air.
4) pembuatan bak kontrol.
5) pemasangan talang air disesuaikan dengan
kebutuhan.
6) pembuatan saluran pelimpasan.
f. Pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan sumur resapan air meliputi :
1) pembersihan pipa saluran air/talang air, bak kontrol
dan saluran pelimpas
2) pengerukan lumpur
g. Organisasi pelaksana
Pelaksanaan pembuatan SRA dapat dilaksanakan dengan
pola kontraktual maupun swakelola dengan memper-
timbangkan kondisi sosial budaya lokasi pelaksanaan
kegiatan, apabila dikerjakan secara swakelola maka harus
didampingi oleh tenaga pendamping yang menguasai
pekerjaan sipil teknis atau Penyuluh Kehutanan Lapangan
(PKL).
h. Jadwal Kegiatan

101
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal


pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
6. Rorak
a. Maksud dan Tujuan
Maksud pembuatan rorak merupakan upaya konservasi air
dengan menampung air dan meresapkannya ke dalam
tanah sehingga mengurangi aliran permukaan dan
menampung sedimen/endapan akibat proses erosi.
Tujuan pembuatan rorak adalah yaitu :
1) mengurangi aliran air permukaan.
2) meningkatkan proses pengendapan sedimen agar
tidak terbawa aliran air permukaan ke daerah di
bawahnya.
3) menghasilkan kompos bila dikombinasikan dengan
mulsa.
4) meningkatkan air tanah.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rorak adalah lahan yang termasuk dalam
LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta
morfologi DAS bagian hulu dan tengah atau telah
ditetapkan dalam RP RHL.
Secara teknis kriteria site lokasi rorak yaitu:
1) Daerah/lokasi ini mempunyai aliran permukaan dan
tingkat sedimennya tinggi (lahan pertanian,
pekarangan, perkebunan, hutan, tepi jalan)
2) Kelerengan antara 8% - 25%.
c. Mekanisme pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan meliputi :

102
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

1) penyiapan rancangan teknis.


2) Penyiapan lahan.
3) pengukuran kembali.
4) pematokan tanda letak rorak.
5) pengadaan bahan dan alat.
d. Pembuatan Rorak
1) Rorak-rorak dibuat di antara tanaman pokok (tanaman
semusim/tahunan/keras).
2) Bentuk rorak dapat berupa lubang-lubang biasa
(dangkal atau dalam) atau berupa saluran buntu
(saluran memanjang tetapi tidak dihubungkan dengan
saluran lain atau saluran pembuangan air).
3) Ukuran rorak (lebar dan dalamnya) disesuaikan
dengan curah hujan, jenis tanaman dan keperluannya.
4) Rorak/saluran buntu yang sangat banyak berfungsi
juga seperti sumur peresapan.
e. Pemeliharaan
Memindahkan endapan/sedimentasi tanah pada rorak
kebidang olah/teras dan gulud.
f. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan rorak adalah kelompok
masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan
(PKL) setempat atau petugas teknis dibawah koordinasi
Dinas Kabupaten/Kota.

103
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Gambar 27. Rorak (saluran buntu)

7. Strip Rumput
a. Tujuan
Tujuan pelaksanaan pola penanaman dengan strip rumput
(grass barrier) yaitu untuk memperlambat aliran permukaan
dan menahan tanah/endapan yang tererosi/terbawa aliran
sehingga mengurangi laju erosi, menyediakan pakan
ternak dari hasil pemangkasan rumput serta terbentuknya
teras alami karena tanah yang terhanyut ditahan oleh strip
rumput di bawahnya.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi strip rumput merupakan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL
Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian tengah dan
hilir dengan kemiringan (8 – 25) % dan atau telah
ditetapkan dalam RP RHL, kondisi tanah miskin unsur hara
dan lahan usaha yang secara intensif diusahakan oleh
masyarakat.

104
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan lapangan
a) penyiapan rancangan teknis
b) pengukuran kembali
c) pematokan tanda letak larikan rumput
d) pengolahan/penggemburan tanah
e) pengadaan bahan dan alat
2) Pembuatan strip rumput
a) penanaman rumput searah kontur
b) pembuatan selokan teras/saluran di bagian atas
strip rumput.
d. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan berupa pemupukan, penyulaman
tanaman, pendangiran, penyemprotan hama dan penyakit
serta pembersihan saluran air.
e. Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan strip rumput adalah kelompok
masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan
(PKL) dan atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
f. Tahapan dan Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.

105
masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL)
dan atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
f. Tahapan dan Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan
yang tertuang dalam rancangan.

Gambar 23. Strip


Gambar rumput
28. Strip rumput

Tabel 5. Jenis Dan Manfaat Rumput-Rumputan Dalam


Rangka Usaha Konservasi Tanah

No Jenis Manfaat Ciri-ciri dan Syarat Tumbuh


1 Rumput Gajah a. Sebagai penutup a. Berumur panjang (6 th
(Pennisetum tanah produktif)
purpureum) b. Rumput potong. b. Tumbuh baik pada daerah
curah hujan > 1000 mm
c. Ditanam disela-sela tanaman
pokok.
d. Penanaman menggunakan stek
atau sobekan rumpun tua.
2 Rumput a. Sebagai penutup a. Bentuk mirip tanaman padi
Benggala tanah b. Tumbuh baik di dataran rendah
(Pannincum b. Rumput potong dengan curah hujan 100-875
maximum) mm.

3 Rumput Mexico Rumput potong a. Berdaun lebar mirip tanaman


(Euchlaena jagung.
maxicana) b. Tumbuh baik didataran rendah
(0-1200 dpl), curah hujan 2000
mm.
c. Pertumbuhan lambat jika curah
hujan rendah.

106
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

No Jenis Manfaat Ciri-ciri dan Syarat Tumbuh


4 Rumput Bede a. Sebagai penutup a. Menjalar membentuk stolon.
(Brachiaria tanah. b. Daya adaptasi rendah
decumbens) b. Rumput potong c. Dapat hidup didaerah berlereng
c. Penggembalaan terjal dan tanah miskin serta
jika tahan injakan.
dipertahankan d. Dapat ditanam ber sama-sama
tetap pendek. legume jarak tanam 40x40 cm.

5 Rumput a. Sebagai penutup a. Berumpun, daun lunak dan akar


Lampung tanah berbulu
(Setaria b. Rumput potong b. Tumbuh pd daerah ketinggian
sphacelata) c. Penggembalaan 200- 3000 m dgn curah hujan 760
mm atau lebih.
c. Dapat ditanam bersama dengan
Legume, Siratro, Desmodium dan
lain-lain
6 Rumput Makari- a. Sebagai penutup a. Berumpun tapi tak selebat Setaria
kari tanah sphacelata atau Pannicum
(Pannicum b. Rumput potong maximum
coloratum) c. Penggembalaan b. Tumbuh pada tanah struktur
berat, tidak tergenang, dgn curah
hujan 500-760 mm atau lebih.
c. Dapat ditanam bersama dengan
Legume, Siratro, Desmodium dan
lain-lain
7 Rumput Sudan a. Rumput potong a. Berumur panjang, membentuk
(Sorghum b. Bahan silase rumpun.
sudanense) (pengawetan b. Daun lebat dan kuat, halus dan
hijauan pakan bagian tepi kasar.
ternak) dan hay c. Tumbuh baik pada ketinggian
(rumput kering 0-1200 m dpl.
sebagai pakan d. Tumbuh pada curah hujan 500-
ternak) 900 mm
e. Dapat ditanam bersama
leguminosa
8 Rumput Sebagai pengendali a. Mempunyai sistem akar
vetiver/akar erosi/penutup tanah. berserabut yang kuat dan dalam.
wangi (Vetiveria b. Akarnya beraroma wangi
zizanioides) c. Tahan terhadap hama dan
penyakit.
d. Penanaman menggunakan
stek atau sobekan rumpun yang
tua.

107
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

No Jenis Manfaat Ciri-ciri dan Syarat Tumbuh


9 Rumput Signal Penggembalaan a. Umur panjang , tumbuh cepat
(Brachiaria Sebagai penutup b. Batang dan daun kaku serta
brizantha) tanah kasar
c. Tahan injak dan tahan kering
d. Responsive terhadap
pemupukan nitrogen
c. Hidup baik pada ketinggian 0-
1200 m
d. Curah hujan 1500 mm
10 Rumput Ruzi a. Penggembalaan a. Umur panjang, tumbuh vertical
(Brachiaria b. Rumput potong dan horizontal.
ruziziensis) untuk bahan b. Batang menjalar dan setiap
hay (rumput buku stolon tumbuh akar.
kering sebagai c. Daun lebar dan halus
pakan ternak) d. Tumbuh pada ketinggian 0-
1000 m
e. Curah hujan 1000 mm.
11 Rumput Para a. Penutup tanah a. Tanaman tahunan, tumbuh
(Brachiaria b. Penggembalaan menjalar.
mutica) ringan (domba, b. Setiap buku stolon tumbuh akar
kambing) dan cabang, batang dan daun
berbulu.
c. Tahan genangan air, tanah
masam dan tidak tahan tanah
asin.

12 Rumput a. Penggembalaan a. Tumbuh tegak, tinggi 60-150


Australia b. Rumput potong cm.
(Paspalum c. Penutup tanah b. Tahan diinjak, disukai ternak,
dilatatum) gizi tinggi.
c. Perakaran luas dan dalam,
tahan kering
d. Tumbuh pada ketinggian 0-
2000 m dengan curah hujan
900-1200 mm
e. Dapat ditanam bersama
leguminosa
13 Rumput Pangola a. Penggembalaan a. Pertumbuhan cepat dan
(Digitaria b. Rumput potong merayap, membentuk
decumbens) untuk bahan hay hamparan.
(pakan ternak) b. Tumbuh ditempat kering
c. Penutup tanah. ataupun tergenang
c. Tumbuh pada ke tinggian

108
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

No Jenis Manfaat Ciri-ciri dan Syarat Tumbuh


200-1500 m dan curah hujan
750–1000 mm atau lebih
d. Dapat ditanam bersama
Legumenosa.
14 Rumput Rhodes a. Penggembalaan a. Umur panjang, menjalar dan
(Chloris gayana) b. Penutup tanah berkembang dengan stolon
b. Tahan terhadap
penggembalaan berat dan
disukai ternak
c. Tahan keringtapi tak tahan
naungan.
d. Tumbuh pada ketinggian 0-
3000 m dengan curah hujan
762 –1300 mm
e. Dapat ditanam bersama
leguminosa
15 African Star a. Penggembala a. Tumbuh tegak dan menjalar
grass an membentuk hamparan
(Cynodon b. Sebagai b. Stolon rapat pada tanah dan
plectostachyru) pengendali tumbuh akar yang kuat
erosi/penutup c. Tahan injak
tanah d. Tumbuh pada dataran rendah
dengan curah hujan 500-800
mm

8. Perlindungan Kanan-Kiri Tebing Sungai


Yang dimaksud perlindungan kanan kiri/tebing sungai adalah
penerapan konservasi tanah baik secara vegetatif maupun sipil
teknis di kanan kiri/tebing sungai.
a. Tujuan
Pembuatan bangunan perlindungan kanan kiri/tebing
sungai bertujuan:
1) mencegah terjadinya longsor.
2) mencegah erosi masuk ke badan sungai.
3) menekan terjadinya banjir.
4) meningkatkan kualitas air sungai.

109
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

5) menekan terjadinya pendangkalan sungai.


b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi perlindungan kanan-kiri sungai merupakan
hutan dan lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih,
diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi
DAS bagian hulu dan tengah dan atau telah ditetapkan
dalam RP-RHL. Sungai yang kanan kiri/tebing sungainya
mudah longsor/erosi, bertebing curam, sempadan sungai
yang gundul dan curah hujan tinggi.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) penyiapan rancangan teknis
b) pengukuran kembali.
c) pematokan tanda letak bangunan kanan kiri/tebing
sungai.
d) pengadaan bahan dan alat.
e) pembuatan bangunan perlindungan kanan kiri
/tebing sungai melalui beberapa alternatif atau
kombinasi alternatif berikut sesuai kondisi
lapangan.
2) Penanaman rumput, perdu dan pohon yang memiliki
perakaran yang dalam dan tajuk pohon yang rimbun.
3) Pemasangan trucuk bambu; dapat menggunakan
potongan batang bambu, maupun langsung menanami
dengan bambu.
d. Pemeliharaan
1) penyulaman tanaman baik rumput, perdu maupun
pohon yang tidak tumbuh.

110
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

2) perbaikan terhadap trucuk apabila mengalami


kerusakan.
e. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan perlindungan kanan/kiri
sungai adalah kelompok masyarakat didampingi penyuluh
kehutanan lapangan
- 84 -
(PKL) atau petugas teknis dibawah
koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

Gambar24.
Gambar 29. Bangunan
Bangunan Perlindungan
PerlindunganKananKanan
Kiri/Tebing
Kiri/Tebing
Sungai Sungai

9. Saluran Pembuangan Air (SPA) dan Bangunan Terjunan Air


a. Tujuan9. Saluran Pembuangan Air (SPA) dan Bangunan Terjunan Air
a. Tujuan
Pembangunan SPA bertujuan untuk mengarahkan aliran air ke
tempat yangPembangunan
aman dari SPAerosibertujuan
jurang untuk
sekaligus meresapkan
mengarahkan aliran air
ke dalam tanah, sedangkan pembuatan bangunan terjunan air
air ke tempat yang aman dari erosi jurang sekaligus
bertujuan agar air yang jatuh pada SPA tidak menyebabkan
meresapkan airlongsor.
erosi dan menimbulkan ke dalam tanah, sedangkan pembuatan
b. Sasaran Lokasi
bangunan terjunan air bertujuan agar air yang jatuh pada
Sasaran lokasi SPA dan bangunan terjunan air diutamakan
SPA tidak menyebabkan erosi dan menimbulkan longsor.
pada lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, berada pada
b. Sasaran
RHL Prioritas Lokasi
I dan II serta morfologi DAS bagian tengah dan
hilir dengan tingkat kelerengan cukup curam dan jenis tanah
mudah tererosi dan longsor atau telah ditetapkan dalam RP-
RHL.
111
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Sasaran lokasi SPA dan bangunan terjunan air diutamakan


pada lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, berada
pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian
tengah dan hilir dengan tingkat kelerengan cukup curam
dan jenis tanah mudah tererosi dan longsor atau telah
ditetapkan dalam RP-RHL.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) Persiapan pembuatan SPA yang diperlukan
adalah:
(1) Penyiapan rancangan teknis
(2) Pemancangan patok induk tegak lurus kontur
yang merupakan as/poros SPA. Jarak
maksimum antara dua patok 5 m.
(3) Pemancangan patok pembantu di kanan/kiri
patok induk untuk menggambarkan lebar atas
SPA.
b) Persiapan pembuatan bangunan terjunan yang
dilakukan adalah:
(1) Pemancangan patok-patok disepanjang SPA
untuk menentukan letak terjunan, jarak antara
dua patok disesuaikan dengan lebar bidang
olah teras.
(2) Letak bangunan terjunan harus lebih ke dalam
dari pada talud teras dan pada tanah asli
(bukan tanah urugan).

112
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

(3) Penggalian tanah menurut patok yang telah


dipancang dengan arah tegak lurus ke bawah
sedalam 0,5-1,5 m diukur dari bidang olah.
d. Pembuatan
1) Pembuatan bangunan SPA
a) penggalian tanah sesuai profil yang terbentuk dari
patok-patok pembantu sedalam minimal 50 cm dari
bidang olah teras dan lebar dasar 50 cm sesuai
rancangan
b) dasar SPA pada teras bangku dibuat dengan
kemiringan 0,1-0,5% ke arah luar sehingga
perbedaan tinggi dasar saluran yang berjarak 5 m
adalah 0,5-2,5 cm
c) setiap jarak 1 m sepanjang SPA ditanami gebalan
rumput selebar 20 cm melintang SPA .
2) Pembuatan bangunan terjunan
a) dua atau tiga potong bambu bulat ditanam ke
dalam tanah 0,5 m, sedang yang berada
dipermukaan saluran dipasang setinggi bangunan
terjunan.
b) bambu belah dipasang melintang terjunan, kulit
bagian luar bambu diletakan di bagian luar.
c) pemasangan bambu disusun mulai dari bawah
dengan kedua ujungnya dimasukan ke dalam
bagian kanan kiri dinding SPA dan diikatkan pada
bambu bulat.
e. Pemeliharaan
1) pembersihan saluran dari endapan

113
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

2) perbaikan bambu apabila rusak baik karena sudah


lapuk atau karena akibat lain.
f. Organisasi Pelaksana
Pelaksana pembuatan saluran pembuangan air dan
terjunan adalah kelompok masyarakat didampingi
penyuluh kehutanan lapangan (PKL) atau petugas teknis
dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.
- 86 -

Gambar25.
Gambar 30. SPA
SPA dan
dan Bangunan
Bangunan Terjunan
Terjunan
10.10.
Teras
Teras
a. Tujuan
a. Tujuan
Pembangunan teras bertujuan untuk memperkecil aliran
Pembangunan
permukaan, menekanteraserosi,
bertujuan untuk memperkecil
meningkatkan peresapan aliran
air ke
dalam tanah serta
permukaan, menampung
menekan dan mengendalikan
erosi, meningkatkan aliran
peresapan air air
ke daerah yang lebih rendah secara aman.
ke dalam tanah serta menampung dan mengendalikan
b. Sasaran Lokasi
Secaraaliran air ke sasaran
umum, daerah yang lebihpembuatan
lokasi rendah secara aman.
teras adalah lahan
b. Sasaran
yang termasuk Lokasi
dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL
Prioritas I dan
Secara II serta
umum, morfologi
sasaran lokasi DAS bagian hulu
pembuatan teras dan tengah
adalah
atau telah ditetapkan dalam RP RHL dan dimanfaatkan secara
teruslahan yang untuk
menerus termasuk dalam LMU
budidaya Terpilih,
tanaman diutamakan
semusim dengan
pada RHL
kemiringan Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian
< 40%.
c. Jenis Teras
114 1) Jenis Teras
a) Teras datar
Teras datar adalah teknik konservasi tanah berupa tanggul
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

hulu dan tengah atau telah ditetapkan dalam RP RHL dan


dimanfaatkan secara terus menerus untuk budidaya
tanaman semusim dengan kemiringan < 40%.
c. Jenis Teras
1) Jenis Teras
a) Teras datar
Teras datar adalah teknik konservasi tanah berupa
tanggul tanah sejajar kontur yang dilengkapi saluran
di atas dan di bawah tanggul, bidang olah tidak
diubah dari kelerengan permukaan.
Standar teknis:
(1) kemiringan lereng < 5%.
(2) solum tanah dangkal < 30 cm.
(3) drainase baik.
(4) kemiringan tanah olahan tetap.
(5) tanggul tanah ditanami vegetasi/rumput.
b) Manfaat
Mengurangi aliran permukaan dan erosi
- 87 -

Gambar 26. Teras Datar


Gambar 31. Teras Datar
2) Teras Gulud
Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah berupa
guludan tanah dan saluran air.
115
a) Standar teknis
(1) kemiringan lereng 8-40 dan untuk tanaman semusim
< 15 %.
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

2) Teras Gulud
Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah
berupa guludan tanah dan saluran air.
a) Standar teknis
(1) kemiringan lereng 8-40 dan untuk tanaman
semusim < 15 %.
(2) guludan ditanami legum atau rumput dan
dipangkas secara reguler.
(3) guludan ditutup dengan mulsa hasil pangkasan
(4) beda tinggi antar guludan ± 1.25 m
(5) solum tanah dangkal dan berpasir
(6) kemiringan bidang olahan diusahakan tetap
(7) permeabilitas tanah cukup tinggi.
b) Manfaat
(1) pengendalian erosi dan aliran permukaan
(2) sumber pakan ternak
(3) gangguan pada struktur tanah sedikit.
- 88 -

Gambar 27. Teras Gulud


Gambar 32. Teras Gulud
3) Teras Kredit
116 Teras kredit merupakan teknik konservasi tanah berupa
guludan tanah atau batu sejajar kontur dan bidang olah
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

3) Teras Kredit
Teras kredit merupakan teknik konservasi tanah
berupa guludan tanah atau batu sejajar kontur dan
Gambar
bidang olah tidak 27. dari
diubah Teras Gulud
kelerengan permukaan.

3) Terasa)Kredit
standar teknis
(1) untuk
Teras kredit tanah dangkal
merupakan teknik lereng 3 – 15 % tanah berupa
konservasi
guludan(2) tanah atau batu sejajar kontur
untuk tanah dalam lereng 3 – 40 % dan bidang olah
tidak diubah dari kelerengan permukaan.
a) standar(3) teknis
guludan ditanami tanaman penguat (misal :
rumput, legum dan ditanam secara rapat).
(1) untuk tanah dangkal lereng 3 – 15 %
(2) untuk tanah dalam
(4) jarak antar lereng53– –1240m%
guludan
(3) guludan ditanami tanaman penguat (misal : rumput,
(5) tidak cocok untuk tanaman peka longsor.
legum dan ditanam secara rapat).
(4) b) Manfaat
jarak antar guludan 5 – 12 m
(5) tidak cocok untuk tanaman
(1) pengendalian peka longsor.
erosi tanah
b) Manfaat
(2) pengurangan aliran permukaan.
(1) pengendalian erosi tanah
(2) pengurangan aliran permukaan.

Gambar 28 Teras Kredit


Gambar 33. Teras Kredit

117
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

4) Teras individu
Teras individu adalah teknis konservasi tanah berupa
teras yang dibuat
- 89 -
hanya pada tempat yang akan
ditanami tanaman pokok.
a) Standar teknis
4) Teras individu
(1) ukuran teras 1 x 1 m (segi empat)
Teras individu adalah teknis konservasi tanah berupa teras
(2) ukuran diameter 1 m (lingkaran)
yang dibuat hanya pada tempat yang akan ditanami
(3) hanya untuk tanaman berupa pohon
tanaman pokok.
a) Standar teknis
(4) kemiringan lereng 30 – 50 %
(1) ukuran(5)teras
pada1 xlokasi
1 m (segi empat)
dengan curah hujan rendah
(2) ukuran diameter 1 m (lingkaran)
(6) tanah di luar teras ditanami tanaman penutup
(3) hanya untuk tanaman berupa pohon
(4) kemiringantanah
lereng 30 – 50 %
(7) untuk
(5) pada lokasi dengan lereng yang
curah curam
hujan dapat
rendah
(6) tanah di luar teras ditanami tanaman penutup tanah
dikombinasikan dengan teknis konervasi tanah
(7) untuk lereng yang curam dapat dikombinasikan
lainnya.
dengan teknis konervasi tanah lainnya.
b) Manfaat
b) Manfaat
(1) pengendalian
(1) pengendalian erosi tanaherosi tanah
(2) pengurangan
(2) pengurangan aliran permukaan
aliran permukaan
(3) peningkatan air infiltrasi
(3) peningkatan air infiltrasi

Gambar29.
Gambar 34. Teras Individu
Teras Individu

5) Teras Kebun
118
Teras kebun merupakan teknik konservasi tanah berupa
teras yang hanya dibuat pada bidang tanah yang akan
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

5) Teras Kebun
Teras kebun merupakan teknik konservasi tanah
berupa teras yang hanya dibuat pada bidang tanah
yang akan ditanami dan searah kontur.
a) Standar teknis
(1) kemiringan lereng 10-3- %
(2) solum tanah > 30 cm
(3) lebar teras ± 1.5 m
(4) teras miring kedalam ± 1 %
(5) di luar teras ditanami tanaman penutup teras
(6) cocok untuk ditanami tanaman perkebunan/
- 90 -
tahunan
(7) cocok untuk tanah dengan daya serap lambat.

(7)b)cocok
Manfaat
untuk tanah dengan daya serap lambat.
b) Manfaat pengendalian erosi tanah
(1)
(2) peningkatan air infiltrasi
(1) pengendalian erosi tanah
(2) peningkatan air infiltrasi
(3) pengurangan aliran permukaan
(3) pengurangan aliran permukaan

Gambar
Gambar30.
35.Teras
TerasKebun
Kebun

d. Mekanisme Pelaksanaan 119


1) Persiapan Lapangan
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

d. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) penyiapan rancangan teknis
b) pengukuran kembali
c) pematokan tanda letak tanggul/guludan.
2) Pembuatan teras
a) pembuatan bangunan utama teras sejajar kontur
b) penanaman tanaman penguat teras sepanjang
kontur
c) pembuatan bangunan pelengkap (saluran
pembuangan air, saluran pengelak, bangunan
terjunan, dll).
e. Pemeliharaan
1) pengerukan tanah yang menimbun selokan kemudian
digunakan untuk memperbaiki guludan.
2) perbaikan guludan sepanjang larikan tanaman.
3) penyulaman dan pemangkasan tanaman penguat teras
dan tanaman gulud.
4) pembersihan jalur teras dari tanaman pengganggu.
f. Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan teras adalah kelompok masyarakat
didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) atau
petugas teknis di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

11. Biofori
Biofori adalah lubang silindris yang dibuat ke dalam tanah
dengan diameter 10 cm, kedalaman ± 100 cm atau tidak
melebihi kedalaman muka air tanah.

120
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

a. Tujuan
Lubang Resapan Biopori merupakan teknologi tepat guna
dan ramah lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi
banjir dengan cara meningkatkan daya resapan air,
mengubah sampah organik menjadi kompos dan
mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan), dan
memanfaatkan peran aktivitas guna tanah dan akar
tanaman dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh
genangan air seperti penyakit demam berdarah dan
malaria.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi lobang biofori berupa lahan di perkotaan
2
dengan perhitungan untuk setiap 100 m lahan idealnya
Lubang Resapan Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik
dengan jarak antara 0,5 - 1 m. Dengan kedalam 100 cm
dan diameter 10 cm setiap lubang bisa menampung 7,8
liter sampah.
c. Mekanisme Pelaksanaaan
1) Pelaksanaan
a) pembuatan lubang dengan bor, untuk
memudahkan pembuatan lubang bisa dibantu
diberi air agar tanah lebih gembur.
b) alat bor dimasukkan dan setelah penuh tanah
(kurang lebih 10 cm kedalaman tanah) diangkat,
untuk dikeluarkan tanahnya, lalu kembali lagi
memperdalam lubang tersebut sampai sebelum
muka air tanah (30 cm sampai dengan 100 cm).

121
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c) LRB dalam alur lurus berjarak 0,5 - 1 m, sementara


untuk LRB pohon cukup dibuat 3 lubang dengan
posisi segitiga sama sisi.
d) pada bibir lubang dilakukan pengerasan dengan
semen, dan dapat digantikan dengan potongan
pendek pralon. Hal ini untuk mencegah terjadinya
erosi tanah.
e) kemudian di bagian atas diberi pengaman besi.
f) masukkan sampah organik (sisa dapur, sampah
kebun/taman) ke dalam LRB. Jangan memasukkan
sampah anorganik (seperti besi, plastik, baterai,
dll)
g) bila sampah tidak banyak cukup diletakkan di
mulut lubang, tapi bila sampah cukup banyak bisa
dibantu dimasukkan dengan tongkat tumpul, tetapi
tidak boleh terlalu padat karena akan mengganggu
proses peresapan air.
2) Pemeliharaan
a) lubang Resapan Biopori harus selalu terisi sampah
organik
b) sampah organik dapur bisa diambil sebagai
kompos setelah dua minggu, sementara sampah
kebun setelah dua bulan. Lama pembuatan
kompos juga tergantung jenis tanah tempat
pembuatan LRB, tanah lempung agak lebih lama
proses kehancurannya. Pengambilan dilakukan
dengan alat bor LRB.

122
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

c) bila tidak diambil maka kompos akan terserap oleh


tanah, LRB harus tetap dipantau supaya terisi
sampah organik.
d. Organisasi Pelaksana
Pelaksana pembuatan Lubang Resapan Biopori adalah
kelompok masyarakat/perorangan.

Gambar 36. Lubang Resapan Biopori

C. Konservasi tanah dan Air Pola Lainnya


Kegiatan konservasi tanah dan air diluar Petunjuk teknis ini dapat
dilaksanakan dengan manual tersendiri setelah ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang.

123
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB IX
TATA CARA EVALUASI RHL

A. Tata Cara Evaluasi Tanaman


Evaluasi tanaman dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pembuatan tanaman. Sedangkan tujuannya adalah
teridentifikasinya kondisi fisik tanaman sebagai dasar pengelolaan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) lebih lanjut.
1. Tanaman reboisasi, hutan rakyat, hutan kota dan rawa gambut
a. Satuan Unit Evaluasi
Satuan unit evaluasi tanaman di dalam kawasan hutan
adalah petak tanaman yang ditetapkan dalam rancangan
kegiatan, sedangkan di luar kawasan hutan adalah pada
lahan pembuatan tanaman setiap kelompok tani sesuai
rancangan kegiatan.
b. Evaluasi tanaman
Evaluasi tanaman meliputi : pengukuran luas tanaman;
jumlah dan jenis tanaman; serta penghitungan persentase
tumbuh tanaman sehat.
Pengukuran luas tanaman dilakukan terhadap realisasi
luas penamanan yang dinyatakan dalam luas areal yang
ditanam dalam satuan Ha dan dibandingkan terhadap
rencana luas tanaman sesuai rancangan.
Pengukuran luas tanaman dilakukan dengan cara
memetakan petak hasil penanaman menggunakan GPS,
theodolit atau alat ukur lain. Hasil pengukuran luas
tanaman dituangkan dalam peta dengan skala 1:5.000

124
atau 1:10.000, dan dihitung luasnya. Hasil perhitungan
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
selanjutnya direkapitulasi sebagaimana pada Tabel 6.

atau 1:10.000, dan dihitung luasnya. Hasil perhitungan


Tabel 6. Rekapitulasi Hasil Pengukuran Luas Tanaman
selanjutnya direkapitulasi sebagaimana pada Tabel 6.
pada setiap petak/Lokasi Tanam
- 94 -

Tabel 6. Rekapitulasi Hasil Pengukuran Luas Tanaman


Tabel 6. Rekapitulasi Hasil
pada setiap PengukuranTanam
petak/Lokasi Luas Tanaman pada
setiap petak/Lokasi Tanam
Luas Tanaman
Blok/Petak/Unit
No Rencana Realisasi
(Lokasi Tanam)
(Ha) (Ha) %
1 2 3 4 5

Keterangan :
Keterangan :
Persen realisasi luas tanaman (%) = Hasil Pengukuran x 100 %
Persen realisasi luas tanaman (%) = Hasil Pengukuran x 100 %
Rencana
Rencana
Keterangan
Evaluasi :
tanaman dilakukan melalui teknik sampling dengan
Evaluasi
metode
Persen tanaman
Systematic
realisasi dilakukan
luasSampling
tanaman with
(%) melalui
Random
= Hasil teknik
Start,
Pengukuran 100sampling
xyaitu %petak
ukur pertama dibuat secara acak dan petak ukur selanjutnya
Rencana
dengan metode Systematic Sampling with Random Start,
dibuat secara sistimatik. Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan
yaitu petak
ketersediaan ukur pertama
anggaran. dibuatpetak
Penempatan secaraukuracakseluas dan0,1 petak
Ha,
Evaluasi tanaman dilakukan melalui teknik sampling
berbentuk persegi panjang (40 m x 25
ukur selanjutnya dibuat secara sistimatik. Intensitas m) atau berbentuk
dengandengan
lingkaran metodediameter
Systematic17,8Sampling
m. Jarakwith antar Random Start,
titik pusat
Sampling
petak (IS) sesuai
ukur disesuaikan dengan
dengan ketersediaan
besarnya anggaran.
IS yang digunakan.
yaitu petak ukur pertama dibuat secara acak dan petak
Apabila IS 5 % maka
Penempatan petak jarak
ukur antar titik0,1
seluas pusat
Ha, petak ukur adalah
berbentuk persegi
100ukur
m arahselanjutnya
Utara - Selatan dibuatdansecara
200 m sistimatik.
arah Barat –Intensitas
Timur,
panjang untuk
sedangkan (40 m x 25 m) atau berbentuk lingkaran dengan
Sampling (IS)memperolehsesuai dengankualitas hasil pengukuran,
ketersediaan jarak
anggaran.
diameter
antara petak 17,8
ukur m. Jarak
terluar antar
dengan titik
batas pusat ditentukan
tanaman petak ukur
Penempatan
minimum 50 m dan petak ukur seluas
maksimum 100 m. 0,1 Dengan
Ha, berbentuk
demikianpersegi
hasil
disesuaikan dengan besarnya IS yang digunakan. Apabila
sampling
panjang yang(40 mdidapat
x 25 m)akan mampu memenuhi
atau berbentuk lingkaran dengan azas
IS 5 % maka
keterwakilan jarakIntensitas
dengan antar titik pusat petak
Sampling ukur adalah
(IS) sebesar 5 % atau100
diameter 17,8 m.
setiap petak ukur mewakili 2 ha. Jarak antar titik pusat petak ukur
m arah Utara - Selatan dan 200 m arah Barat – Timur,
disesuaikan
Jumlah petak ukur dengan
dapatbesarnya IS yang digunakan.
dihitung menggunakan rumus: Apabila

IS 5 % maka jarak antar titik pusat petak ukur adalah 100


∑ PU = IS x N
m arah Utara - Selatan
n dan 200 m arah Barat – Timur,
Dimana:
∑ PU = Jumlah petak ukur 125
N = Luas petak (Ha)
n = Luas petak ukur (Ha)
ukur pertama dibuat secara acak dan petak ukur selanjutnya
dibuat secara sistimatik. Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan
ketersediaan anggaran. Penempatan petak ukur seluas 0,1 Ha,
PERATURANberbentuk persegi
NO. P. 8 / PDASHL panjang
/ SET / KUM.1 (40 m x 25 m) atau berbentuk
/ 11 / 2016
lingkaran dengan diameter 17,8 m. Jarak antar titik pusat
petak ukur disesuaikan dengan besarnya IS yang digunakan.
sedangkan untuk memperoleh kualitas hasil pengukuran,
Apabila IS 5 % maka jarak antar titik pusat petak ukur adalah
100jarak
m antara petak - ukur
arah Utara Selatanterluar
dandengan
200 m batas
arah tanaman
Barat – Timur,
sedangkan
ditentukanuntuk
minimum memperoleh kualitas hasil
50 m dan maksimum 100 pengukuran,
m. Dengan jarak
antara petak ukur terluar dengan batas tanaman ditentukan
demikian hasil sampling yang didapat akan mampu
minimum 50 m dan maksimum 100 m. Dengan demikian hasil
memenuhiyang
sampling azas keterwakilan
didapat akan denganmampu
Intensitasmemenuhi
Sampling azas
(IS) sebesar dengan
keterwakilan 5 % atauIntensitas
setiap petak ukur mewakili
Sampling 2 ha. 5 % atau
(IS) sebesar
setiap petak ukur mewakili 2 ha.
Jumlah petak ukur dapat dihitung menggunakan rumus:
Jumlah petak ukur dapat dihitung menggunakan rumus:

∑ PU =∑IS
PUxN= IS x N
n
n
Dimana:
Dimana:
∑ PU = Jumlah petak ukur
∑NPU ==Luas
Jumlah petak
petak ukur
(Ha)
Nn ==Luas
Luaspetak
petak ukur
(Ha) (Ha)
n = Luas petak ukur (Ha)

Sebagai Petunjuk dalam pembuatan petak ukur


pelaksanaan penilaian tanaman, perlu dibuat diagram
skema penarikan petak ukur tanaman yang dipetakan
dengan skala 1:10.000. Diagram skema tersebut
mencantumkan koordinat geografis titik ikat yang mudah
ditemukan di lapangan. Contoh pembuatan diagram skema
penarikan petak ukur tanaman berbentuk persegi panjang
sebagai berikut :
1) siapkan peta hasil pengukuran luas tanaman skala 1 :
10.000
2) tentukan pada peta tersebut titik petak ukur pertama
secara acak.

126
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

3) buat garis transek melalui titik petak ukur pertama


tersebut, yaitu garis vertikal dan garis horizontal yang
berpotongan pada titik petak ukur pertama tersebut.
Garis vertikal memotong tegak lurus larikan tanaman
dan garis horisontal sejajar larikan tanaman.
4) buat garis transek berikutnya secara sistimatik ter-
hadap garis transek pertama dengan jarak antar garis
vertikal 2 cm dan jarak antar garis horisontal 1 cm.
5) buat petak ukur ukuran 4 mm x 2,5 mm pada garis
transek tersebut dengan titik potong garis transek
sebagai titik pusatnya, sehingga penyebaran letak
petak ukur tersebut dapat mewakili seluruh areal
tanaman yang dinilai. Untuk jelasnya sebagaimana
pada diagram skema berikut ini :

Gambar 37. Diagram skema penarikan petak ukur


tanaman

127
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

6) untuk tanaman pengayaan dilakukan dengan metode


purposive sampling (penarikan petak ukur disengaja),
dengan memilih petak ukur yang memiliki ciri tertentu
yang mewakili seluruh populasi.
7) penentuan tahapan dalam purposive sampling, pada
tahap awal dilakukan pengukuran luas tanaman
sekaligus menetapkan koordinat letak lokasi
penanaman. Selanjutnya tentukan dalam peta letak
petak ukur dengan memilih lokasi-lokasi yang dapat
mewakili.
8) bilamana dalam penilaian terdapat lokasi yang terkena
bencana alam, dan mengalami kerusakan dilakukan
pengukuran luas, jenis tanaman dan penyebab
kerusakan tanaman
9) untuk memudahkan pemeriksaan ulang (re-cheking)
hasil penilaian tanaman, di lapangan diberi tanda
berupa patok pengenal yang ujungnya dicat warna
merah dan diberi identitas nomor petak ukur dan
tanggal pengamatan pada semua titik sumbu petak
ukur.
10) data dan informasi petak tanaman yang dikumpulkan
mencakup:
a) wilayah administratif pemerintahan (Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa), DAS/Sub
DAS, luas, fungsi kawasan hutan, Nama register
Blok dan Petak Tanaman
b) data yang dicatat dan diukur pada setiap petak
ukur meliputi data tanaman (jenis tanaman, jumlah

128
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

tanaman yang hidup, tinggi tanaman dan kondisi


pertumbuhan tanaman dan data penunjang
(keadaan tumbuhan bawah, kondisi tanah dan
gangguan tanaman, dan fisiografi lahan).
Data tanaman yang hidup pada setiap petak ukur
dicatat pada Tally Sheet seperti pada tabel 7.

Tabel 7. Tally Sheet Evaluasi Tanaman

Provinsi : Nama Petugas :


Kabupaten : Nama Kel. Tani :
Kecamatan : Jml Anggota :
Desa : Penyuluh :
lapangan
Petak/lokasi : No. Petak Ukur :
DAS/Sub DAS : Intensitas :
Sampling
Koordinat : Lembar Ke :
Luas : ....... Ha
Jumlah bibit : ........ Btg
Jenis Kondisi Tanaman
Tinggi Keterangan
No Tanaman Sehat Kurang sehat Merana
(cm)

1 2 3 4 5 6 7
1 1. Fisiografi Lahan :
2 a. Datar
3 b. Landai
4 c. Agak Curam
5 d. Curam
6 2. Keadaan Tumbuhan
Bawah
7 a. Lebat/rapat
8 b. Sedang
9 c. Jarang
10 d. Tidak ada/bersih
11 3. Kondisi Tanah
12 a. Gembur/subur
13 b.Kurang gembur/subur
14 c. kurus
15 d. berbatu
16 4. Gangguan Tanaman
17 a. Penggembalaan
18 b. Kebakaran
19 c. Hama penyakit
dst
...
...
n.
Jumlah
1. Kayu
a. Jati
129
b. …….
c. ……..
12 a. Gembur/subur
13 b.Kurang gembur/subur
14 c. kurus
15 d. berbatu
PERATURAN
16 NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016 4. Gangguan Tanaman
17 a. Penggembalaan
18 b. Kebakaran
19 c. Hama penyakit
dst
...
...
n.
Jumlah
1. Kayu
a. Jati
b. …….
c. ……..
2. MPTS
a. Mangga
b. ……..
c. ……..

Petugas Penilaian,

(...........................)

2. Tanaman penghijauan lingkungan


a. Satuan Lokasi Evaluasi
Satuan unit evaluasi tanaman penghijauan adalah sasaran
lokasi yang ditanami yang ditetapkan dalam rancangan
kegiatan.

b. Evaluasi tanaman
Evaluasi persentase tumbuh tanaman dilakukan dengan
metode penghitungan tanaman 100% (sensus).
Persentase tumbuh tanaman dihitung dengan cara
membandingkan jumlah tanaman yang tumbuh dengan
rencana jumlah tanaman yang seharusnya ada sesuai
dengan rancangan kegiatan.
c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup:
1) Wilayah administratif pemerintahan (Provinsi,
Kabupaten/ Kota, Kecamatan, Desa), dan jumlah
130 tanaman yang ditanam
2) Data pengamatan tanaman penghijauan lingkungan
Persentase tumbuh tanaman dihitung dengan cara
membandingkan jumlah tanaman yang tumbuh dengan
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016
rencana jumlah tanaman yang seharusnya ada sesuai
dengan rancangan kegiatan.
c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup:
1) Wilayah administratif pemerintahan (Provinsi,
Kabupaten/ Kota, Kecamatan, Desa), dan jumlah
tanaman yang ditanam
2) Data pengamatan tanaman penghijauan lingkungan
meliputi jumlah jenis tanaman, tanaman yang hidup
dan kondisi tumbuh tanaman sehat.
3. Agroforestry/Wanatani
a. Evaluasi tanaman meliputi: pengukuran luas tanaman;
jumlah dan jenis tanaman (kayu-kayuan, MPTS);
keberhasilan tanaman semusim; penghitungan persentase
tumbuh tanaman pokok.
b. Evaluasi tanaman pokok dan semusim dilakukan di setiap
lokasi, di dalam kawasan hutan dilakukan pada setiap
petak tanaman sesuai dengan rancangan, sedangkan di
luar kawasan hutan dilakukan pada lahan pembuatan
tanaman setiap kelompok tani sesuai rancangan.
c. Untuk Evaluasi tanaman pokok dan semusim di dalam dan
di luar kawasan hutan, metode yang dipakai menggunakan
metode Systematic Sampling with Random Start dengan
Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan ketersediaan
anggaran.
d. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup :
1) di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif
pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,
Desa), nama DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan
hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan ditambah
nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani,
tenaga pendamping dan penyuluh.
131
2) data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis
Intensitas
PERATURAN NO. Sampling
P. 8 / PDASHL (IS)
/ SET / KUM.1 sesuai
/ 11 / 2016 dengan ketersediaan
anggaran.
d. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup :
1) di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif
pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,
Desa), nama DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan
hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan ditambah
nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani,
tenaga pendamping dan penyuluh.
2) data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis
tanaman, tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh
tanaman sehat.
4. Mangrove/Hutan Pantai
a. Satuan Lokasi Penilaian
Satuan unit evaluasi tanaman rehabilitasi hutan
mangrove/pantai di dalam kawasan hutan adalah petak
tanaman yang ditetapkan dalam rancangan kegiatan yang
telah disahkan, sedangkan di luar kawasan hutan adalah
pada lahan pembuatan tanaman setiap kelompok tani
sesuai rancangan kegiatan. Evaluasi tanaman meliputi
pengukuran luas lokasi penanaman, penghitungan jumlah
rumpun, jumlah tanaman per rumpun dan jarak antar
rumpun, penghitungan persentase tumbuh tanaman sehat.
b. Evaluasi tanaman
Untuk Evaluasi tanaman di dalam dan di luar kawasan
hutan, metode yang dipakai menggunakan metode sistem
jalur dengan Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan
ketersediaan anggaran. Sistem jalur merupakan cara

132
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

penanaman dengan pembersihan lahan sepanjang jalur


tanaman.
c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup :
1) di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif
pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,
Desa), nama DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan
hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan ditambah
nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani,
tenaga pendamping dan penyuluh.
2) data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis
tanaman, tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh
tanaman sehat.
Data tanaman yang hidup pada setiap jalur tanaman
mangrove dicatat sebagaimana pada pada Tally Sheet
seperti pada tabel 7, namun melihat karakteristik
ekosistem nya maka kondisi tanah dan fisiografi lahan
hanya sebagai data pendukung.

B. Pengolahan Data
1. Persen tumbuh tanaman
Persen tumbuh tanaman dihitung dengan cara
membandingkan jumlah tanaman yang ada pada suatu petak
ukur dengan jumlah tanaman yang seharusnya ada di dalam
petak ukur bersangkutan.

T = (Σ hi /Σ ni) x 100 %
= (h1 + h2 + .....+ hn) / (n1 + n2 + .... + nn) x 100 %

133
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

dimana : T = Persen (%) tumbuh tanaman


hi = Jumlah tanaman yang tumbuh terdapat pd
petak ukur ke i
ni = Jumlah tanaman yang seharusnya ada
pada petak ukur ke i

2. Tinggi Tanaman
Kerataan tinggi tanaman adalah rata-rata tinggi tanaman yang
diperoleh dengan merata-ratakan tinggi masing-masing individu
tanaman dibandingkan dengan jumlah tanamannya
Tinggi rata-rata per petak ukur dihitung sebagai berikut:

T = (Σ ti /Σ ni)

dimana:
T = Tinggi rata-rata tanaman dalam petak ukur
ti = Tinggi setiap individu tanaman dalam petak ukur ke i
ni = Jumlah tanaman pada petak ukur ke i

C. Tata cara evaluasi bangunan konservasi tanah/sipil teknis


1. Evaluasi dilakukan di seluruh lokasi bangunan konservasi
tanah yang dibuat dilakukan dengan cara sensus.
2. Data dan informasi yang dikumpulkan terhadap pembuatan
bangunan konservasi tanah mencakup data administratif
pemerintahan (Kabupaten, Kecamatan, Desa, Nama Lokasi),
nama DAS/Sub DAS, koordinat lokasi, jenis bangunan
konservasi tanah, kapasitas bangunan konservasi tanah.

134
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

3. Kriteria penilaian terhadap pembuatan bangunan konservasi


tanah adalah berfungsi, kurang berfungsi, tidak berfungsi
(gagal).
4. Sasaran penilaian bangunan konservasi tanah adalah dam
pengendali, dam penahan, sumur resapan, gully plug, embung,
dan lain-lain sesuai dengan lokasi dan jenis kegiatan yang
tercantum dalam rancangan pada setiap desa.
5. Evaluasi dilaksanakan dengan mengamati langsung bangunan
konservasi tanah sesui jenis kegiatannya, membandingkan
dengan rancangan
6. Melakukan pencatatan terhadap jumlah bangunan konservasi
tanah sesuai dengan jenis bangunan, kondisinya (baik, rusak)
dan sesuai fungsinya (berfungsi dan tidak berfungsi) dalam
wilayah desa tersebut.
7. Untuk mengetahui kondisi bangunan konservasi tanah
digunakan 3 kriteria, yaitu berfungsi, kurang berfungsi dan
tidak berfungsi.

135
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB X
PENGHAPUSAN TANAMAN GAGAL

A. Maksud dan Tujuan


Maksud penghapusan tanaman gagal adalah untuk memperoleh
kepastian hukum tentang hasil kegiatan penanaman RHL yang
dinyatakan gagal setelah dilakukan pemeriksaan. Sedangkan
tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hasil tanaman
kegiatan RHL yang menjadi tanggung jawab BPDASHL Cq
BPDASHL secara akurat, transparan dan akuntabel untuk
memudahkan perencanaan kegiatan RHL pada masa yang akan
datang.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup tata cara penghapusan tanaman gagal hasil
kegiatan RHL meliputi:
1. Kriteria tanaman gagal;
2. Penetapan tanaman gagal; dan
3. Penghapusan tanaman gagal.

C. Kriteria Tanaman Gagal


Kriteria tanaman gagal yaitu tanaman hasil rehabilitasi hutan dan
lahan yang mengalami kerusakan akibat faktor alam.

D. Penetapan Tanaman Gagal


Mekanisme penetapan tanaman gagal meliputi :
1. Laporan kerusakan tanaman yang dapat dibuat oleh aparat
pemerintah setempat, petugas lapangan atau masyarakat.

136
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

2. Pemeriksaan terhadap tanaman gagal dilakukan berdasarkan


adanya laporan kerusakan tanaman yang disampaikan kepada
satuan kerja yang antara lain :
a. Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PDASHL.
b. Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab
bidang Kehutanan.
3. Berdasarkan laporan yang diterima satuan kerja membentuk
Tim Pemeriksa.
4. Tim Pemeriksa mempunyai susunan keanggotaan yang terdiri
dari Ketua merangkap anggota dan anggota.
5. Tim Pemeriksa beranggotakan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Petugas teknis ditambah PPNS dan/atau Polisi Kehutanan
dan/atau Polisi Negara dalam hal laporan kerusakan
tanaman terjadi karena keadaan kahar, ketidakpatuhan,
kelalaian dan kesengajaan dalam kegagalan tanaman
diproses sesuai Peraturan Perundangan.
b. Pemeriksa mempunyai tugas:
1) mengevaluasi persentase tumbuh tanaman;
2) mengukur luas tanaman rusak; dan
3) melakukan pemetaan tanaman rusak dengan skala
1:10.000,
4) memeriksa penyebab terjadinya kerusakan tanaman dan
menghitung kerugian tanaman.
c. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara
Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Tim.
6. Pengusulan penetapan tanaman gagal
Berdasarkan hasil penilaian tim pemeriksa dan telah memenuhi
kriteria dan indikator sebagai tanaman gagal, maka Satuan

137
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

Kerja mengusulkan penetapan tanaman gagal. Usulan


penetapan tanaman gagal dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja
dengan didasarkan berita acara yang dibuat oleh Tim
pemeriksa.
Usulan penetapan tanaman gagal dilaksanakan oleh masing-
masing satuan kerja dengan prosedur sebagai berikut:
a. Usulan penetapan tanaman gagal kegiatan yang menjadi
tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
PDASHL diajukan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis yang
bersangkutan kepada Direktur Jenderal PDASHL sebagai
penanggung jawab program RHL.
b. Usulan penetapan tanaman gagal kegiatan yang menjadi
tanggung jawab Dinas Provinsi diajukan oleh Kepala Dinas
Provinsi yang bersangkutan kepada Gubernur.

7. Prosedur klarifikasi
a. Pembentukan Tim Klarifikasi
Atas dasar usulan penetapan tanaman gagal maka
dibentuk Tim Klarifikasi dengan susunan Tim terdiri dari
Ketua merangkap anggota dan Anggota. Tim terdiri dari:
1) Tim Klarifikasi Pusat, ditetapkan oleh Direktur Jenderal
PDASHL, berdasarkan usulan dari Unit Pelaksana
Teknis Direktorat Jenderal PDASHL.
2) Tim Klarifikasi Provinsi, ditetapkan oleh Gubernur,
berdasarkan usulan dari Dinas Provinsi.
3) Tim Klarifikasi Kabupaten/Kota, ditetapkan oleh
Bupati/Walikota berdasarkan usulan dari Dinas
Kabupaten/Kota.

138
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

b. Tim Klarifikasi bertugas :


1) memeriksa keabsahan data dan informasi yang
diajukan oleh pengusul baik secara administratif
maupun kondisi fisik lapangan;
2) membuat laporan berdasarkan hasil pemeriksaan; dan
3) memberikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal
PDASHL, Gubernur, atau Bupati/Walikota.

8. Penetapan tanaman gagal


a. Berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh Tim
Klarifikasi maka Direktur Jenderal PDASHL, Gubernur,
atau Bupati/Walikota dapat menerima atau menolak usulan
penetapan tanaman gagal.
b. Dalam hal usulan penghapusan tanaman gagal diterima,
Direktur Jenderal PDASHL, Gubernur, atau
Bupati/Walikota menetapkan tanaman yang diusulkan
menjadi tanaman gagal, dengan Surat Ketetapan.
c. Surat Ketetapan tanaman gagal yang diterbitkan Direktur
Jenderal PDASHL disampaikan kepada Unit Pelaksana
Teknis Direktorat Jenderal PDASHL dengan tembusan
Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan dan Sekretaris
Jenderal Kementerian Kehutanan.
1) Surat Ketetapan tanaman gagal yang diterbitkan oleh
Gubernur disampaikan kepada Dinas Provinsi dengan
tembusan Direktur Jenderal PDASHL, Inspektur
Jenderal Kementerian Kehutanan dan Sekretaris
Jenderal Kementerian Kehutanan.

139
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

2) Surat Ketetapan tanaman gagal yang diterbitkan oleh


Bupati disampaikan kepada Dinas Kabupaten/Kota
dengan tembusan Direktur Jenderal PDASHL,
Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan dan
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
3) Dalam hal usulan penetapan tanaman gagal ditolak,
Direktur Jenderal PDASHL, Gubernur, atau Bupati/
Walikota menyampaikan pemberitahuan penolakan
penetapan tanaman gagal kepada pengusul.

E. Mekanisme Penghapusan Tanaman Gagal


1. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal yang diterbitkan
oleh Direktur Jenderal PDASHL, Kepala BPDASHL
menindaklanjuti dengan melakukan penghapusan tanaman
pada daftar pelaksanaan kegiatan yang ada pada masing-
masing Unit Pelaksana Teknis. Tanaman gagal yang telah
dihapuskan oleh BPDASHL dilaporkan kepada Direktur
Jenderal PDASHL.
2. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal yang diterbitkan
oleh Gubernur, Kepala Dinas Provinsi menindaklanjuti dengan
melakukan penghapusan tanaman pada daftar pelaksanaan
kegiatan yang ada pada Dinas Provinsi. Tanaman gagal yang
telah dihapuskan oleh Kepala Dinas Provinsi dilaporkan
kepada Gubernur dengan tembusan Direktur Jenderal
PDASHL.
3. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal yang diterbitkan
oleh Bupati, Kepala Dinas Kabupaten/Kota menindaklanjuti
dengan melakukan penghapusan tanaman pada daftar

140
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

pelaksanaan kegiatan yang ada pada Dinas Kabupaten/Kota.


Tanaman gagal yang telah dihapuskan oleh Kepala Dinas
Kabupaten/Kota dilaporkan kepada Bupati dengan tembusan
Direktur Jenderal PDASHL.
4. Lokasi tanaman gagal yang telah dihapus selanjutnya dapat
dialokasikan kembali menjadi rencana kegiatan RHL pada
periode berikutnya.

141
PERATURAN NO. P. 8 / PDASHL / SET / KUM.1 / 11 / 2016

BAB XI
PENUTUP

Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan program strategis nasional


untuk menanggulangi degradasi sumberdaya hutan dan lahan serta
meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai.
Rehabilitasi hutan dan lahan merupakan bagian dari pengelolaan hutan
dan lahan yang keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
biofisik serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Oleh karena itu
penyelenggaraan kegiatan di lapangan dapat berupa kegiatan yang
sangat sederhana hingga sangat kompleks sehingga pelaksanaan
kegiatan RHL memerlukan dukungan berbagai bidang ilmu baik yang
digali dari disiplin akademik maupun pengalaman lapangan.
Merehabilitasi lahan kritis di dalam maupun diluar kawasan hutan perlu
melibatkan upaya berbagai pihak dengan pembiayaan dari berbagai
sumber anggaran baik pemerintah, swasta maupun swadaya
masyarakat. Petunjuk Teknis RHL ini selanjutnya agar dipergunakan
sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan RHL bagi seluruh
pelaksana untuk mewujudkan hasil kegiatan yang efisien dan efektif.

DIREKTUR JENDERAL,

Dr. Ir. HILMAN NUGROHO, M.P.


NIP. 19590615 198603 1 004
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN HUKUM DAN
KERJASAMA TEKNIK,

DUDI ISKANDAR

142

Anda mungkin juga menyukai