Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

BLOK 20 : KEGAWATDARURATAN BEDAH


MODUL 1 : INFLAMASI DAN INFEKSI

Disusun oleh : Kelompok 2

Bobby Chandra Kusuma 0808015019


M. Farlyzhar Yusuf 0808015016
Aris Novianto 0808015007
Rina Zubaidah 0808015020
Rahimatul Fadillah 0808015051
Helsa Eldatarina 0808015049
Melinda Payung Tasik 0808015045
Karolind Adriani D. 0808015001

Tutor : dr. Lely Hesti, M. Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2011
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan hidayah-Nyalah Laporan Modul 1 Blok 20 "Inflamasi dan Infeksi" ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan dengan
sistem PBL. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi
kelompok kecil (DKK) kami. Laporan ini secara menyeluruh membahas nyeri pada abdomen,
appendisitis, dan peritonitis.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Lely Hesti, M. Kes selaku tutor kelompok 2 yang telah membimbing kami dalam
melaksanakan diskusi kelompok kecil (DKK) dalam skenario modul 1 blok 20 ini.
2. Teman-teman kelompok 2 yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga
diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat
menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK).
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2008,
segala fasilitas yang telah kami gunakan untuk menambah pengetahuan tentang modul
kali ini, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Kami selaku penyusun mengharapkan agar laporan ini dapat berguna baik bagi
penyusun sendiri maupun bagi pembaca di kemudian hari.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tentunya laporan ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun kami harapkan demi tercapainya
kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini.

Samarinda, 22 Oktober 2011

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

Halaman judul ................................................................................................................ i


Kata pengantar ............................................................................................................... ii
Daftar isi ......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang .................................................................................................... 1
Tujuan pembelajaran .......................................................................................... 1

BAB II ISI
Step 1 .................................................................................................................. 2
Step 2 .................................................................................................................. 2
Step 3 .................................................................................................................. 2
Step 4 .................................................................................................................. 5
Step 5 .................................................................................................................. 5
Step 6 ................................................................................................................. 5
Step 7 ................................................................................................................. 6

BAB III Penutup


Kesimpulan ....................................................................................................... 43
Saran ................................................................................................................... 43

Daftar pustaka ................................................................................................................ 44

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nyeri abdomen adalah rasa tidak enak di dalam rongga perut, antara batas atas
paha dan batas bawah rusuk dada. Gejala yang menyertainya antara lain mual, muntah,
mulas dan bising usus serta flatus. Penyebab nyeri bagian bawah perut yang paling
sering ialah infeksi saluran kemih, infeksi pada appendiks, infeksi di ruang peritoneum,
dan lain-lain.
Appendiks (appendiks vermiformis) terletak posteromedial dari sekum pada
region perut kanan atas. Appendiks termasuk organ intraperitoneal, walaupun kadang
juga ditemukan retroperitoneal. Organ ini tidak mempunyai kedudukan menetap di
dalam rongga perut (rongga retroperitoneal). Panjangnya 5-10 cm dengan berbagai
posisi (retrosekal, pelvikal, dll). Bila dari hasil diagnosa positif appendisitis akut, maka
tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan appendikstomi.

1.2 Tujuan Pembelajaran


Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil yang kami lakukan dengan membahas
skenario “Sakit Perut dan Demam Tinggi” ini kami telah menentukan tujuan
pembelajaran kami, yaitu : memahami dan mengetahui pembagian nyeri pada abdomen
serta mengetahui dan mempelajari definisi, etiologi, patogenesis, gejala, diagnosis, dan
terapi dari appendisitis dan peritonitis.

1
BAB II
ISI

STEP 1
TERMINOLOGI SULIT
1. Nyeri Tekan : Nyeri yang dirasakan pasien pada saat pemeriksaan fisik palpasi pada
satu titik tertentu.

STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa yang menyebabkan pasien merasa sakit berat dan demam tinggi?
2. Mengapa nyeri awalnya dirasakan sekitar pusat dan ulu hati dan kemudian berpindah
ke perut kanan bawah?
3. Mengapa nyeri perut kanannya bertambah berat setelah diberi obat maag?
4. Jelaskan interpretasi pemeriksaan fisik!
5. Sebutkan apa saja pemeriksaan fisik lain yang perlu dilakukan serta pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosa?
6. Apa diagnosa kerja (sementara) dan diagnosa bandingnya?
7. Penatalaksanaan awal apa yang perlu dilakukan sebelum tindakan bedah?
8. Apakah indikasi pembedahan pada pasien?

STEP 3
ANALISIS MASALAH
1. Sakit berat didapat dari penilaian subjektif maupun objektif. Dari subjektif misalkan
pasien mengaku dia merasa sangat kesakitan dan tidak mampu bergerak banyak. Dari
subjektif dinilai berdasarkan keadaan umum pasien, GCS, kondisi pasien ketika
datang ke RS (datang sendiri atau dibawa oleh keluarga). Sakit berat disebabkan oleh
infeksi yang dialami oleh pasien.
Demam tinggi disebabkan oleh infeksi di saluran cerna yang belum mendapatkan
pengobatan yang tepat.
2. Nyeri abdomen dibedakan menjadi 2 yaitu nyeri visceral dan nyeri somatik. Nyeri
visceral biasanya tumpul, tidak bisa dilokalisir secara tepat, tidak diperberat aktivitas,
sering disebabkan iskemia saat jaringan yang mengalami radang/kolik teregang atau
kontraksi. Nyeri somatik sebaliknya, cenderung tajam, terlokalisir dengan baik,
2
dipengaruhi aktivitas, dan terjadi akibat adanya rangsang peritoneum parietal. Nyeri
dari periumbilikus yang menjalar ke perut kanan bawah biasanya khas pada
appendisitis. Perasaan nyeri pada appendisitis biasanya datang secara perlahan dan
makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya
kontraksi appendiks, distensi dari lumen appendiks ataupun karena tarikan dinding
appendiks yang mengalami peradangan. Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu
nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus
dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena appendiks dan
usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan
mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal. Secara klasik, nyeri di daerah
epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran
kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti
sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih
tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
3. Karena obat yang diberikan tidak sesuai dengan indikasi (penyakit yang sebenarnya).
Alasan lain adalah, obat maag tertentu seperti antasida mengandung senyawa Al(OH)3
yang dapat menyebabkan konstipasi. Hal ini bisa memperparah appendisitis.
4. Interpretasi dari pemeriksaan fisik, nyeri tekan seluruh lapangan perut adalah
kemungkinan sudah terjadi perforasi pada appendiks sehingga menyebabkan
peritonitis. Bisa juga terjadi appendisitis akut atau akibat gesekan peritoneum visceral
dan parietalnya.
5. Pemeriksaan lain
- Inspeksi : pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
- Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari appendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing ( Rovsing
Sign ). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri
pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg ( Blumberg Sign ).
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
3
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang.
Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap : melihat lekositosis
- Urin (hCG)
- USG
6. Diagnosa sementara : Appendisitis perforate; peritonitis
Diagnosa banding : Adneksitis, kista ovarium, KET, demam tifoid, demam berdarah
7. Penatalaksanaan awal :
- Rehidrasi
- Cairan garam fisiologis/infus
- Antibiotik spectrum luas
- Analgesic
- Antipiretik
- Pasang NGT
8. Nyeri tekan seluruh lapangan perut dan (+) pada appendisitis sign

4
STEP 4
SKEMA
Nyeri perut dan demam tinggi

Anamnesa Nyeri pindah

Pemeriksaan fisik Nyeri tekan seluruh


lapangan perut
Adneksitis,
KET, DBD, Diagnosa banding
Tifoid, Kista
ovarium
Pemeriksaan penunjang DL, urin,
USG

Appendisitis, Diagnosa
Peritonitis

Penatalaksanaan
Tata laksana awal dan bedah

STEP 5
Learning Objective
1. Mengetahui dan mempelajari pembagian nyeri pada abdomen
2. Mengetahui dan mempelajari definisi, etiologi, patogenesis, gejala, diagnosis, dan terapi
dari appendisitis dan peritonitis

STEP 6
Belajar Mandiri
Dalam step 6 ini, masing-masing dari kami melakukan proses belajar mandiri untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang sedang kami bahas. Adapun pedoman belajar
mandiri kami adalah mencari informasi mengenai jawaban-jawaban terhadap learning objectif
atau sasaran pembelajaran yang telah kami rumuskan bersama-sama. Hasil dari belajar
mandiri tersebut disampaikan pada diskusi kelompok kecil II (DKK II).

5
NYERI ABDOMEN

1. Jenis nyeri perut


Nyeri perut dibagi menjadi dua, yaitu nyeri visceral (nyeri sentral) dan nyeri somatik.
a. Nyeri Visceral
Terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam rongga perut.
Peritoneum yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak
peka terhadap rabaan, atau pemotongan. Dengan demikian, sayatan atau penjahitan pada usus
dapat dilakukan tanpa terasa oleh pasien. Akan tetapi, bila terjadi kontraksi yang berlebihan
pada otot yang menyebabkan iskemia, misalnya pada kolik atau radang.pasien yang
merasakan nyeri visceral tidak dapat menunjukan secara tepat letak nyeri.
Saluran cerna yang berasal dari usus depan (foregut), yaitu lambung, duodenum,
sistem hepatobilier, dan pancreas menyebabkan nyeri di ulu hati atau epigastrium. Saluran
cerna yang berasal dari usus tengan (midgut), yaitu usus halus dan usus besar sampai
pertengahan colon transversum menyebabkan nyeri di sekitar umbilicus. Saluran cerna yang
berasal dari usus belakang,(hindgut) yaitu pertengahan kolon transversum sampai dengan
kolon sigmoid menimbulkan nyeri perut bagian bawah termasuk buli-buli dan rektosigmoid.
Nyeri Visceral tidak disertai rangsangan peritoneum, sehingga pasien biasanya dapat aktif
bergerak.
b. Nyeri Somatik
Terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh saraf tepi. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk-tusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukan secara tepat letak
nyeri dengan jari. Setiap gerakan penderita, baik gerak tubuh maupun napas yang dalam atau
batuk, akan menambah rasa nyeri sehingga penderita gawat abdomen yang disertai
rangsangan peritoneum berusaha untuk tidak bergerak, bernapas dangkal dan menahan batuk.

2. Letak Nyeri Perut


Nyeri visceral dari suatu organ biasanya sesuai letak dengan organ tersebut pada masa
embrional, sedangkan letak nyeri somatik biasanya dekat dengan organ sumber nyeri somatik.

3. Sifat Nyeri
a. Nyeri alih
Nyeri ini terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu daerah.

6
Misalnya :
- Rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau peradangan akan dirasakan nyeri
dibahu
- Rangsangan pada kolesistitis akut dirasakan di ujung belikat.
- Abses dibawah diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada permukaan
limpa atau hati akan dirasakan nyeri dibahu.
- Kolik ureter atau kolik pielum, nyeri dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti
labium mayor pada wanita dan testis pada pria.

Persarafan sensorik organ perut.


Organ atau Struktur Saraf Tingkat persarafan
Bagian tengah diafragma : N.Frenikus C3 - 5
Tepi diafragma, lambung, pankreas, kandung empedu, usus halus : Pleksus Seliakus Th.
6-9
Appendiks, kolon proksimal dan organ panggul : Pleksus mesentrika Th.10 - 11
Kolon distal, rektum, ginjal, ureter dan testis : N.Spalnknikus kaudal Th.11 – L1
Buli-buli, rektosigmoid : Pleksus hipogastrikus S2 – S4

Letak Nyeri Somatik


Letak
Abdomen kanan atas : Kandung empedu*, hati, duodenum, pankreas, kolon, paru,
miokard
Epigastrium : Lambung*, pnkreas, duodenum, paru, kolon
Abdomen kiri atas : Limpa*, kolon, ginjal, pnkreas, paru
Abdomen kanan bawah : Appendiks*, adneksa*, sekum, elium, ureter
Abdomen kiri bawah : Kolon*, adneksa*, ureter
Suprapubik : Buli-buli*, uterus, usus halus
Periumbilikal : Usus halus
Pinggang/punggung : Pankreas*, aorta, ginjal
Bahu : Diafragma*
* Organ yang paling sering menimbulkan nyeri somatik

7
b. Nyeri Proyeksi
Adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensorik akibat cedera atau
radang saraf. Contoh: nyeri fantom setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat pada herpes
zooster.
c. Nyeri kontinu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus-menerus
karena berlangsung terus. Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat dan defence muscular untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari
gerakan atau tekanan setempat.
d. Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri visceral akibat spasme otot polos organ berongga dan biasanya
disebabkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus, batu ureter, batu
empedu, peningkatan intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia, dan dirasakan hilang
timbul, mual bahkan sampai muntah, dan dalam serangan penderita sangat gelisah, kadang
sampai berguling-guling di tempat tidur.
Nyeri kolik mempunyai trias yang khas, yaitu serangan nyeri perut yang kumatan,
disertai mual atau muntah, dan gerak paksa.
e. Nyeri Iskemik
Nyeri ini sangat hebat, menetap, dan tidak menyurut. Ini merupakan tanda jaringan
terancam nekrosis, lebih lanjut akan tampak tanda intosikasi umum.
f. Nyeri pindah
Nyeri berubah sesuai dengan perkembangan patologi, misalnya tahap awal
appendisitis, nyeri visceral dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual karena appendiks
termasuk usus tengah. Setelah di seluruh dinding termasuk peritoneum nyeri dirasakan pada
perut kanan bawah. Jika terjadi nekrosis dan gangren, nyeri berubah menjadi nyeri iskemik,
menetap dan tidak menyurut, dan dapat jatuh ke dalam toksis. Pada perforasi tukak nyeri
dirasakan di ulu hati pindah ke kanan bawah.

8
APPENDISITIS

Anatomi Appendiks
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal. Basis appendiks terletak pada bagian
postero medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis
appendiks.
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoappendiks (mesenteriolum) yang
bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminal. Mesenteriolum berisi
a. Appendiksularis (cabang a. Ileocolica). Orifisiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.
Mesoappendiksnya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur appendiks mirip dengan usus, mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.
Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan
peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum
dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan submukosa
terdapat limfonodi. Mukosa terdiri dari satu lapis epitel kolumnar dan terdiri dari kantong
yang disebut kripta Lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner
circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia
colli pada pertemuan caecum dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan
untuk mencari appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileosekal.
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendisitis pada
usia itu. Pada 65 % kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
9
sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
appendisitis ditentukan oleh letak appendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti a. Mesenterika
superior dan a. Appendiksularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. Torakalis X.
Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan
appendiks berasal dari a. appendiksularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.
Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan diseluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di appendiks dan
terjadi penghancuran lumen appendiks komplit.

APPENDISITIS AKUT

Definisi
Appendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalit (batu
feses), hiperplasia jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.

Etiologi dan Patogenesis


a. Peranan Lingkungan : diet dan higiene
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan
flora normal kolon.
10
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendisitis. Diet memainkan peran
utama pada pembentukan sifat feses, yang penting pada pembentukan fekalit. Kejadian
appendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, di mana diet dengan tinggi serat dan
konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit
yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan
konsistensi keras
b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam appendisitis akut. Fekalit
merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen appendiks pada 20% anak-anak dengan
appendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi
meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
appendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada appendisitis akut dengan gangren tanpa
ruptur terdapat 65% dan appendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa appendiks akan mengalami edema dan
hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem
respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen appendiks. Megakolon kongenital
terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen appendiks dan hal
ini merupakan salah satu alasan terjadinya appendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa
appendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut
di appendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk
menimbulkan risiko terjadinya perforasi
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya appendisitis adalah adanya obstruksi
lumen appendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul
selama adanya obstruksi lumen appendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan
terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta
iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh
lapisan dinding appendiks, lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk ke
dalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi
berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang
masuk ke dalam lumen appendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin
meningkat, sehingga desakan pada dinding appendiks akan bertambah besar menyebabkan
gangguan pada sistem vasa dinding appendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa
limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia
11
dari appendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut
di mana dinding appendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah ke dalam
rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietal. Hasil akhir
dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk
mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis
umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang
efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan appendiks cepat mengalami
komplikasi.
c. Peranan Flora Bakterial
Flora bakteri pada appendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam
bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam appendisitis sama dengan
penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap
appendisitis sederhana. Pada tahap appendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama
Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk
Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang
paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita appendisitis gangrenosa atau
appendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis.

Konstipasi Katup iliosekal kompeten

Flora kuman kolon ↑ Tekanan dalam sekum ↑

Appendisitis Mukosa

Erosi selaput lendir pengosongan isi appendiks terhambat


- stenosis
akibat E. hystolytica - pita adhesi
- mesoappendiks pendek

Appendisitis komplet
Patofisiologi
Appendisitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding
organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi mukosa
12
menjadi langkah awal terjadinya appendisitis. Obstruksi intraluminal appendiks menghambat
keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada
dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan
luka pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di
usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses
irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Appendisitis dimulai dengan proses
eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa
kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi
kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan
serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendisitis akut
supuratif. Edema dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi
ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua
dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan
pembuluh darah kongesti.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut
kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi.
Reaksi fase akut (Acute phase reaction)
Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses inflamasi
(innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan memori (adaptive
immune). Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan oleh stimulus yang dapat
berupa trauma mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan proses inflamasi adalah untuk
melawan agen pengrusak, awal proses perbaikan, dan mengembalikan fungsi jaringan yang
rusak. Proses inflamasi dapat berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan
oleh agen mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma, nekrosis jaringan oleh kanker,
arthritis rematiod, luka bakar, dan toksin yang disebabkan oleh obat atau radiasi.
Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon yang
berfungsi dalam regulasi hematopoiesis, sintesis protein, dan metabolisme. Sistem imun
dibagi menjadi dua, imun bawaan (innate immune) dan imun didapat (adaptive immune).
Imun bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein, bekerja tanpa
melalui proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan memacu

13
sintesis sitokin. Sitokin tidak hanya berfungsi dalam regulasi sistem imun bawaan, tetapi juga
sistem imun yang didapat.
Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu :
1) Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat)
Dilatasi vaskuler (permeabilitas membaran meningkat) adalah relaksasi muskulus
vaskuler yang menyebabkan jaringan hiperemis. Proses transudasi yang terjadi melalui
membran sel, diikuti lepasnya sel PMN (polimorfonuklear) ke jaringan. Jika fibrinogen
terekstravasasi ke dalam jaringan juga, maka terjadilah mekanisme pembekuan.
2) Emigrasi neutrofi
Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada permukaaan endotel. Sel
PMN tampak dominan menempel pada permukaan endotel. Emigrasi sel neutrofil pada area
inflamasi disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan proses immun-kompleks dalam
proses awal inflamasi, menyebabkan faktor kemotaktik mengaktivasi komplemen C5a.
Komplemen C5a ini kemudian menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi. Produk
bakteri juga bersifat kemotaktik terhadap sel PMN. Intensitas dan durasi emigrasi sel PMN
biasanya dalam 24-48 jam, tergantung faktor kemotaktik pada area inflamasi.
3) Eemigrasi sel mononuclea
Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai puncaknya 16-24 jam.
Pada keadaan awal respon seluler, sel mononuklear akan tampak dalam jumlah sedikit
bersama sel polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuklear ini distimulasi oleh proses
fagositosis debris, produk fagositosis neutrofil, dan sitokin. Proses terakhir inflamasi adalah
proliferasi seluler.
4) Proliferasi seluler.
Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai dalam 18 jam dan
mencapai puncaknya 48 sampai 72 jam. Fibroblas mengeluarkan acidic mukopolysaccharides
yang menetralisis afek beberapa mediator kimiawi. Pada akhir proses ini diharapkan
kembalinya fungsi area yang terkena inflamasi, namun dalam beberapa keadaan, proses ini
berakhir dengan terbentuknya abses dan granuloma

14
Perjalanan alami appendisitis akut :
Appendisitis mukosa
Sembuh
Appendisitis flegmenosa

Appendisitis dengan nekrosis setempat

Appendisitis supurativa Perforasi

Appendisitis gangrenosa

15
Klasifikasi
Adapun klasifikasi appendisitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut:
1. Appendisitis Akut
a. Appendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam
lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia,
malaise, dan demam ringan. Pada appendisitis kataral terjadi lekositosis dan appendiks terlihat
normal, hyperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendisitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini
memperberat iskemia dan edema pada appendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks
mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan
atau merah kehitaman. Pada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan
kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2. Appendisitis Infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
3. Appendisitis Abses
Appendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya
di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.

16
4. Appendisitis Perforasi
Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendisitis Kronis
Appendisitis kronis merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada
riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks
menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang
limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah
serosa tampak dilatasi.

Gejala Klinis
Merupakan kasus akut abdomen yang dimulai dengan ketidaknyamanan perut
dibagian atas, diikuti dengan mual dan penurunan nafsu makan. Nyeri menetap dan terus
menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang ringan di daerah epigastrium,
kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan
bawah. Nyeri menjadi terlokalisir, yang menyebabkan ketidakenakan waktu bergerak, jalan
atau batuk.Penderita kadang juga mengalami konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan
fungsi usus bisa mengakibatkan diare, dan hal ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis
acute. Penderita appendisitis acute biasanya ditemukan ditemukan terbaring di tempat tidur
serta memberkan penampilan kesakitan. Mudah tidaknya gerakan penderita untuk
menelentangkan diri merupakan tanda ada atau tidaknya rangsang peritoneum ( somatic pain).
Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama bila penderita
disuruh batuk. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah ini, akan teraba defans
musculer ringan. Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita sudah mengalami
iritasi peritoneum atau belum. Pada pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih dalam
batas normal, atau kadang sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 7,8oC, pada
kasus appendiks yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium kadang merupakan
awal dari appendisitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk appendiks yang terletak
retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak ada nyeri di abdomen
kanan bawah. Karena letak appendiks yang dekat dengan uretra pada lokasi retrocaecal ini,
17
sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan hematuria. Sedang pada
appendiks yang letaknya pelvical, kadang menimbulkan gejala seperti gastroenteritis acut.
Gambaran klinik apendisitis akut

 Tanda awal
o Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi
 Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di
titik mcburney
o Nyeri tekan
o Nyeri lepas
o Defans muskuler
 Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
o Nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (rovsing)
o Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (blumberg)
o Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,
batuk, mengedan

Untuk appendisitis acute yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi, peritonitis
dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini (Ellis, 1989).
Perforasi :
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan
mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3oC). Jumlah lekosit yang meninggi
merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.

Dikenal Alvarado Score, yaitu :


Skor
Symptom
Nyeri pindah ke kuadran kanan bawah 1
Mual, muntah 1
Anoreksia 1
Sign
Tenderness 2
Rebound tenderness 1
Demam 1

18
Pemeriksaan laboratorium
Lekositosis 2
Netrofil bergeser ke kiri 1
Total 10

Keterangan
1-4 : bukan appendisitis
5-6 : kemungkinan appendisitis akut, tapi tidak memerlukan operasi segera
7-8 : appendisitis akut
>9 : perlu operasi segera

Anamnesis
Nyeri / Sakit Perut
Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut ( tidak pin-point). Mula-
mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi
(> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik.
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Perasaan nyeri pada apendisitis
biasanya datang secara perlahan dan makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang
ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun
karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri
visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah
umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks
dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan
mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium
akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan bawah dan
pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada
peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih
hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
Muntah (rangsangan viseral), akibat aktivasi n. Vagus.
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada
pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis apendisitis akut

19
perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut
menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul
apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria
Obstipasi, karena penderita takut mengejan
Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks
pelvikal yang merangsang daerah rektum
Panas (infeksi akut), bila timbul komplikasi
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 0 – 38,50C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di
kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan
menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada
supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi
pada arteri spermatika dan ureter.

Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C.
Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler
terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan
perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirawakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal
atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat
membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari
(waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang
fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka
massa dapat diraba pada RT (Rectal Touche) sebagai massa yang hangat.

20
Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan
nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks
yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil.
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis
pelvika akan menimbulkan nyeri.
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan
kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul /
pangkal paha kanan (tanda bintang).
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam.
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan
otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.
Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung (+)
bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.
Pemeriksaan pada anak, perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja periksa. Anak
menunjukkan ekspresi muka yang tidak gembira. Anak tidur miring ke sisi yang sakit sambil
melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri .
Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik (-) pada ileus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik usus.
Perkusi, Nyeri ketok (+)
21
Palpasi
Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan tangan yang mempunyai
suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup dipanaskan dengan menggosok-
gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan yang dingin akan merangsang otot dinding
abdomen untuk berkontraksi sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal. Terkadang kita
perlu melakukan palpasi dengan tangan anak itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen
yang tidak tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding
abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh
dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara perlahan-lahan
mendekati daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-
ujung jari tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan,
ketegangan otot atau adanya tumor yang superfisial. Waktu melakukan palpasi pada abdomen
anak, diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau usaha yang lain, sambil
memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan yang cepat dan kasar karena hal ini akan
menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri tekan tidak mungkin dilakukan
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :
 Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney
dan ini merupakan tanda kunci diagnosis
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan
melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik
Mc Burney.
 Defens musculer (+) karena rangsangan m.Rektus abdominis
Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
 Rovsing sign (+)
Penekanan perut sebelah kiri terjadi nyeri sebelah kanan, karena tekanan merangsang
peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang
meradang (somatik pain). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan
22
 Psoas sign (+)
Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum. Psoas sign terjadi
karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada
apendiks
Ada 2 cara memeriksa :
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulatio coxae kanan nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, nyeri
perut kanan bawah
 Obturator Sign (+)
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi telentang terjadi
nyeri (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut
menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium
Rectal Toucher / Colok dubur , nyeri tekan pada jam 9-12
Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis
pada anak kecil karena biasanya menangis terus menerus.
Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa, maka anak
dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non narkotik ringan, seperti pentobarbital
(2,5 mg/kg) secara suppositoria rektal. Setelah anak tenang, biasanya setelah satu jam
dilakukan pemeriksaan abdomen kembali. Sedatif sangat membantu untuk melemaskan otot
dinding abdomen sehingga memudahkan penilaian keadaan intraperitoneal.
Tanda Peritonitis Umum (perforasi) :
1. Nyeri seluruh abdomen
2. Pekak hati hilang
3. Bising usus hilang
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala
sebagai berikut:
a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b. Demam tinggi lebih dari 38,50C
c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
d. Dehidrasi dan asidosis
e. Distensi
f. Menghilangnya bising usus
23
g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h. Rebound tenderness sign
i. Rovsing sign
j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih dari 50%, ini
berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis dan omentum mayus yang
berkembang belum sempurna dibanding anak yang lebih besar.
Dalam penelitiannya Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di bawah umur 8 tahun
mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar daripada anak yang lebih besar. Sedang
menurut Way (2003) insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 10 tahun sebesar
50%. Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang
tepi antimesenterium (Kozar dan Roslyn, 1999). Pada 2-6% penderita dengan apendisitis
menunjukkan adanya massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini
menunjukkan adanya inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang
mengalami inflamasi (Lally, 2001).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium, pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya
pada apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi.
Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan
eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan Radiologi :
 Foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik
meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan
mungkin terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-udara
disekum atau ileum). Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.
 USG atau CT Scan. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan
bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada
apendiks menyebabkan ukuran apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm).
Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease,
diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan pelvic Inflammatory
Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.

24
Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. Selain dapat
mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat
melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma colon. Tetapi untuk apendisitis akut
pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture
apendiks.

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal
keluhan nyeri kwadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada
pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan
meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis
terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit
dibedakan dengan apendisitis akut. Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu
diagnosis. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu
jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Fungsi
inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan membawa mereka
pada tempat yang terkena jejas dengan cara:
1. mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag) pada
tempat tersebut.
2. pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.
3. menetralisir dan mencairkan iritan.
4. membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya dinding
jaringan granulasi.
Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut,
akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan
pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit
lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis
(Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah
lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit
antara 20.000-30.000/mm3. Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi
antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan
diagnosa appendicitis acut.
25
Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga
kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk
appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70%
netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai
pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya adalah beberapa
penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal
(Nauts et al, 1986).
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis akut adalah
C-rective protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan
menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. Nilai senstifitas dan spesifisits
CRP cukup tinggi, yaitu 80 – 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap
Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada anak
dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi
saluran kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada ureter atau
vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan
pandang (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993).
Foto Polos Abdomen
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu.
Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan
lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993).
Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan
bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah
kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak
lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga
timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu,
1994). Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara
bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus
untuk melihatnya.
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus,
maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi
dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang,
pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada
26
beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya
obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya
fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang
menyumbat pembukaan appendik) yang dapat menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi
pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi
pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak
rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pada appendisitis
akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat
lonjong, sering berlapis.
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-
kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain
yang menyertai apendisitis
Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke
kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan
kolon di sekitar appendik dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon.
Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya
barium memasuki appendik (20% tak terisi) Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk
kalibernya tanda appendisitis akut,terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen
appendik yang paten menyingkirkan diagnosa appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung
appendik yang bundar dan ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang
berhubungan dengan tak terisinya appendik tanda abses appendik. Barium enema juga dapat
menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya
penyakit Chron’s, inverted appendicel stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.
Ultrasonografi
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun
apendisitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis apendisitis akut diperlukan keahlian,
ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang
tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler,
diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran
target pada penampakan transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut
ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 –
11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan,
penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi

27
ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses
tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan
pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 – 94%, dengan nilai sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85 dan 92% (Erik K, 2003). Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada
apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6
mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila
apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup
udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi.
Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang menggunakan
gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ dalam tubuh. Ultrasound dapat
mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya
dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak
terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Ultrasound
juga berguna pada wanita sebab dapat menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ
ovarium, tuba falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendisitis. Hasil usg dapat
dikatagorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau
kemungkinan appendik. Hasil usg yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara
bebas, atau ileus. Hasil usg dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga atau
jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, atau dimana usg di
konfermasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan appendisitis.
Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening ini.
Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat,
mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 – 100%. Ct-Scan
sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.

28
Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut:
Ultrasonografi CT-Scan
Sensitivitas 85% 90 – 100%
Spesifisitas 92% 95 - 97%
Akurasi 90 – 94% 94 – 100%
Keuntungan Aman Lebih akurat
Relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan flegmon
Dapat mendignosis lebih baik
kelainan lain pada Mengidentifikasi apendiks normal lebih
wanita baik
Kerugian Baik untuk anak-anak Mahal
Tergantung operator Radiasi ion
Sulit secara tehnik Kontras
Nyeri Sulit di RS daerah
Sulit di RS daerah

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk
mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya
penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendisitis.
Laparoskopi (Laparoscopy)
Meskipun laparoskopi mulai ada sejak awal abad 20, namun penggunaanya untuk
kelainan intraabdominal baru berkembang sejak tahun 1970-an. Dibidang bedah, laparoskopi
dapat berfungsi sebagai alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis
apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digenakan untuk melihat keadaan organ
intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada
apendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi
apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria
gambaran histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran
histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al, pernah

29
meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya
komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli bedahnya.

DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding:
a. Gastroenteritis. Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis sering ditemukan. Panas
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendiksitis akut.
b. Demam dengue (DHF). Demam dengue dapat dimulai dengan rasa sakit perut di
epigastrium mirip peritonitis, juga disertai mual muntah. Didapatkan hasil tes positif
untuk Rample leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat. Demamnya saddle
type, hal ini membedakannya dengan demam akibat appendisitis.
c. Demam Thyfoid. Gejalanya hampir mirip dengan appendisitis yaitu ada nyeri perut,
mual, muntah, demam tinggi intermitten. Perbedaannya, pada demam thyfoid lidah
penderita tampak kotor.
d. Limfadenitis mesenterika. Biasa didahului oleh enteritis atau gastrienteritis ditandai
dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut
samar, terutama kanan.
e. Kelainan ovulasi. Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri
perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama
pernah timbul lebih dulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasanya hilang dalam waktu
24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
f. Infeksi panggul. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendiksitis akut.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendiksitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada
colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat
dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding.
g. Kehamilan di luar kandungan. Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim
dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin
terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan
rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.

30
h. Kista ovarium terpuntir. Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan
teraba massa dalam atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG dapat
menentukan diagosis.
i. Endometriosis eksterna. Endometrium diluar rahim akan memberikan gejala nyeri di
tempat endometriosis tersebut berada, dan ada darah menstruasi terkumpul di tempat itu
karena tidak ada jalan keluar.
j. Urolitiasis pielum/ureter kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar
ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto
polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis
sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan,
dan piuria.
k. Penyakit saluran cerna lainnya. Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah
peradangan perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistisis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon,
demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks.

Penatalaksanaan
1. Sebelum operasi
a. Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali
masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien
diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan
bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan
abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang
secara periodik. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan
dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya
keluhan.
b. Intubasi (NGT) bila perlu
c. Rehidrasi
2. Operasi apendiktomi
Apendiktomi
Untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara teknik operatif mempunyai
keuntungan dan kerugian.

31
a. Insisi menurut Mc. Burney (grid incision atau muscle splitting incision). Sayatan
dilakukan pada haris yang tegak lrus pada garis yang menghubungkan spina iliaka
anterior superior (SIAS) dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik Mc.
Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot dinding perut
dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya setelah itu akan tampak
peritoneum perietal (mengkilat dan berwarna buru keabu-abuan) yang disayat
secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenal dari ukurannya yang besar,
mengkilat, lebih kelabu/ putih, mempunyai haustrae dan taenia kolo, sedangkan
ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae atau taenia koli.
Basis apendiks dicarai pada pertemuan ketiga taenia koli.
Teknik inilah yang paling sering dikerakan karena keuntungannya tidak terjadi
benjulan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-
alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena
penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi yang terbatas,
sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas
dengan memotong otot secara tajam.
b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision). Lokasi dan arah sayatans ama
dengan Mc Burnet, hanya sayatannya langsung menembus oot dinding perut tanpa
memperdulikan arah serabut sampai tampak peritoneum. Keuntungannya adalah
lapangan panda operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah.
Sedangkan kerugiannya adalh diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapt
dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga
perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena
adanya benjolan yag menganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi,
kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih
lama.
c. Insisi pararektal. Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. Rektus abdominis
dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm keuntungannya,
teknik ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau
perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan
ini secara tidak langsung mengarah ke apendiks dan caecum, kemungkinan
memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi
diperlukan jahitan penunjang

32
Setelah peritoneum dibuka dengan retraktor, maka basis apendiks dapat dicarai pada
pertemuan tiga taenia koli. Untuk membebaskannya dari meso-apendiks ada dua cara
yang dapat dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi ini, yaitu:
- Apendiktomi secara biasa; bila kita mulai dari apeks ke basis apendiks untuk
memotong mesoapendiks. Ini dilakukan pada apendiks yang tergantung bebas
pada sekum atau bila puncak apendiks mudah ditemukan.
- Apendiktomi secara retrograd; bila kita memotong mesoapendiks dari basis ke
arah puncak. Ini dilakukan pada apendiks yang letaknya sulit, misalnya retrosekal,
atau puncaknya sukar dicapai karena tersembunyi, misalnya karena telah terjadi
perlengketan dengan sekitarnya.
Teknik Apendiktomi Mc Burney
1. Pasien berbaring terlentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian
dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.
2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan otot-otot
dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya, berturut-turut m.
oblikus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m. transversus abdominis,
sampai akhirnya tampak peritoneum.
3. Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi.
4. Sekum beserta apendiks diluksasi keluar.
5. Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak ke
arah basis
6. Semua perdarahan dirawat
7. Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks
kemudian dijahit dengan catgut
8. Dilakukan pemotongan apendiks apikald ari jahitan tersebut
9. Puntung apendiks diolesi betadin
10. Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut.
Mesoapendiks diikat dengan sutera.
11. Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di dalamnya,
semua perdarahan dirawat.
12. Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.
13. Sebelum ditutup, peritoneum dijepit minimal 4 klem dan didekatkan untuk
memudahkan penutupannya. Peritoneum ini dijahit jelujur dengan chronic catgut
dan otot-otot dikembalikan.
33
14. Dinding perut ditutup/ dijahit lapis demi lapis, fasia dengan sutera, subkutis
dengan cat gut dan akhirnya kulit dengan sutera.
15. Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril.
3. Pasca operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di
dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Angkat sonde lambung bila pasien
telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam
posisi Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu
pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau
perforasi umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Kemudian berikan minum mulai 15 ml/ jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/ jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya diberikan
makanan lunak.
Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2x30 menit. Pada hari kedua apsien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Pada hari
ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
4. Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan seperti dalam peritonitis akut.
Dengan demikian, gejala apendisitis akut akan mereda, dan kemungkinan terjadinya
komplikasi akan berkurang.

PERIAPPENDISITIS INFILTRAT

Definisi
Periapendisistis infiltrat adalah suatu peradangan yang disertai adanya pembesaran
pada appendiks periformis yang merupakan asaserbasi dari proses peradangan akut, yang
belum tertangani secara adekuat. Appendiks periformis merupakan saluran kecil dengan
diameter kurang lebih sebesar pensil dengan panjang 2 - 6 inci. Lokasi appendiks pada daerah
illiaka kanan, di bawah katup iliacaecal, tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik Mc
Burney.

34
Insiden
Periappendisitis infiltrat sering terjadi pada usia tertentu dengan range 20-30 tahun.
Pada wanita dan laki-laki insidennya sama kecuali pada usia pubertas dan usia 25 tahun
wanita lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 3 : 2. Angka kematian berkisar 2-6 %,
19 % kematian jika terjadi pada wanita hamil, dan pada anak kurang dari 2 tahun meningkat
hingga 20 %.
Etiologi
- Ulserasi pada mukosa
- Hiperplasi limfoid
- Obstruksi pada kolon oleh fekalit (feses yang keras)
- Pemberian barium
- Berbagai macam penyakit cacing
- Tumor
- Striktur karena fibrosis pada dinding usus
- Variasi anatomik
Patofisiologi
Appendiks belum diketahui fungsinya, merupakan bagian dari sekum. Peradangan
pada appendiks dapat terjadi oleh adanya ulserasi dinding mukosa atau obstruksi lumen
(biasanya oleh fekalit/feses yang keras). Akibat penutupan lumen periformis, terjadi
peningkatan tekanan intraluminal, terjadi edema, iskemik, bakteri sehingga timbul
peradangan, di mana dalam waktu 24-36 jam jika daya tahan tubuh penderita bagus tidak
terjadi perforasi akan tetapi dapat terus berkembang semakin membesar sehingga tampak
adanya timbunan massa dalam lumen (infiltrat) dan bila proses ini berlangsung terus-menerus
organ di sekitar dinding appendiks terjadi perlengketan dan akan menjadi abses (kronik), di
mana pada kondisi ini tidak selalu menimbulkan nyeri di daerah abdomen. Peritonitis
merupakan komplikasi yang sangat serius.
Pencegahan
Pencegahan pada appendisitis infiltrat yaitu dengan menurunkan resiko obstruksi atau
peradangan pada lumen appendiks atau dengan penanganan secara tuntas pada penderita
appendisitis akut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat terjadi
karena tidak adekuatnya diit serat, diit tinggi serat. Perawatan dan pengobatan penyakit cacing
juga meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda appendisitis dan
appendisitis infiltrat meminimalkan resiko terjadinya gangren, perforasi, dan peritonitis.

35
PERITONITIS

Definisi
Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding
perut sebelah dalam.
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut.(peritoneum). Dalam istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di
antaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan
terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis.Peritoneum bereaksi terhadap
stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit yang
mendasarinya.

Etiologi
Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas penyebab primer
(peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau
penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat).Secara
umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infektif (umum) dan abses
abdomen (lokal).
Infeksi peritonitis relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang
mendasarinya.Penyebab utama peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hati yang kronik. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami
asites akan berakhir menjadi SBP. Penyebab lain yang menyebabkan peritonitis sekunder
ialah perforasi appendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat
divertikulitis, volvulus, atau kanker, dan strangulasi kolon asendens.
Area sumber Penyebab
Esofagus Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave
Lambung Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma,
tumor stroma gastrointestinal)

36
Trauma
Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu
empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan appendiks Iskemia kolon
Divertikulitis
Keganasan
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Appendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma

37
Penyebab iatrogenik umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas, termasuk
pankreas, saluran empedu, dan kolon.Kadang bisa juga berasal dari trauma endoskopi.Jahitan
operasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis.
Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis
sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi) seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk
penyakit inflamasi (misalnya appendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko
kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko ini dapat
meningkat hingga lebih dari 50% pada penyakit kolon gangren dan perforasi visceral. Setelah
operasi trauma abdomen juga dapat mengakibatkan peritonitis sekunder dan abses. Risiko
terjadinya peritonitis sekunder dan abses juga makin tinggi dengan adanya keterlibatan
duodenum, pankreas, perforasi kolon, kontaminasi peritoneal, syok perioperatif, dan transfusi
yang masif.
Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk peritonitis yang paling sering ialah
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena
infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati
kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi
translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang
terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien
dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi
karena ikatan opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang
paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7%
Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif lainnya sebesar
20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%, jenis
Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5%
kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung
infeksi campur beberapa mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan
inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya.
Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang
berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam
waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari
38
bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan
mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi
organisme gram negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan
mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik
untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan
peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis
dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini.
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan
terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal dari kelainan organ.
Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmon, dengan atau tanpa
fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya
dan pada pasien yang imunokompromais. Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal
tanpa komplikasi, insiden terjadi peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi
abdomen berat tergolong tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis
didahului dengan asites, dan lebih dari setengah pasien mengalami gejala klinis yang sangat
mirip asites. Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan
mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan bentuk
yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB.
Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril
atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan
empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ
dalam (misalnya Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda
dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak
berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.
Peritonitis biasanya disebabkan oleh :
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan peritonitis
adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu. Sebenarnya
peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus-
menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami
penyembuhan bila diobati.
2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual.
3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis kuman
(termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamydia).
39
4. Kelainan hati atau gagal jantung, di mana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan
mengalami infeksi.
5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu, ureter,
kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam
perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian
usus.
6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut.
7. Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak
pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.
Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intraabdomen (meningkatkan
aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan
jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem
pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak di
antara matriks fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh
yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk menciptakan
kondisi abdomen yang steril.Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak, tubuh sudah
tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan
membentuk kompartemen-kompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya bakteri
dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber. Yang paling sering ialah
kontaminasi bakteri transien akibat penyakit visceral atau intervensi bedah yang merusak
keadaan abdomen.
Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen,
peritonitis terjadi juga memang karena virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu
proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk jika
infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur, misalnya pada peritonitis
akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan bakteri gram negatif, terutama E. coli. Isolasi
peritoneum pada pasien peritonitis menunjukkan jumlah Candida albicans yang relatif tinggi,
sehingga dengan menggunakan skor APACHE II (Acute Physiology and Cronic Health
Evaluation) diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut. Saat ini peritonitis
juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multiple Organ Failure (MOF)
40
Gejala
a. Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya.
b. Biasanya penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di perutnya.
c. Terbentuk satu atau beberapa abses.
d. Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan,
adhesi) yang akhirnya bisa menyumbat usus.
e. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan
cepat.
f. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus
besar.
g. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi
dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit.
h. Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti kegagalan paru-paru, ginjal atau hati
dan bekuan darah yang menyebar.

Diagnosa
1. Foto rontgen diambil dalam posisi berbaring dan berdiri. Gas bebas yang terdapat
dalam perut dapat terlihat pada foto rontgen dan merupakan petunjuk adanya
perforasi.
2. Kadang-kadang sebuah jarum digunakan untuk mengeluarkan cairan dari rongga
perut, yang akan diperiksa di laboratorium, untuk mengidentifikasi kuman penyebab
infeksi dan memeriksa kepekaannya terhadap berbagai antibiotika.
3. Pembedahan eksplorasi merupakan teknik diagnostik yang paling dapat dipercaya.

Penatalaksanaan
1. Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama
bila terdapat appendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis
Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada
wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan.
2. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan
bersamaan.
3. Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui infus.
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan
radang di peritoneum. Secara noninvasif dapat dilakukan drainase abses dan endoskopi
41
perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi rongga peritoneum.
Rongga ini merupakan membran serosa yang kompleks dan terbesar di tubuh manusia.
Bentuknya menyerupai kantong yang meliputi organ-organ dalam perut sehingga membentuk
peritoneum parietal di dinding perut anterior dan lateral, diafragma, serta membentuk
peritoneum visceral di organ-organ dalam perut dan pelvis bagian inferior sehingga
membentuk rongga potensial di antara dua lapisan tersebut, dikenal sebagai rongga peritoneal.
Rongga inilah yang menjadi translokasi bakteri dan tempat terjadinya peritonitis
ataupun abses. Untuk menanganinya, sebenarnya bisa dilakukan terapi medikamentosa
nonoperatif dengan terapi antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi
dan metabolik, dan terapi modulasi respon peradangan. Terapi-terapi ini sebenarnya logis
dikerjakan, namun perkembangannya tidak terlalu signifikan, apalagi untuk kasus dengan
banyak komplikasi, sehingga dibutuhkan terapi lain berupa drainase atau pembedahan.
Akhir-akhir ini drainase dengan panduan CT-scan dan USG merupakan pilihan
tindakan nonoperatif yang mulai gencar dilakukan karena tidak terlalu invasif, namun terapi
ini lebih bersifat komplementer, bukan kompetitif dibanding laparoskopi, karena seringkali
letak luka atau abses tidak terlalu jelas sehingga hasilnya tidak optimal. Sebaliknya,
pembedahan memungkinkan lokalisasi peradangan yang jelas, kemudian dilakukan eliminasi
kuman dan inokulum peradangan tersebut, hingga rongga perut benar-benar bersih dari
kuman.
Komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi memang tidak sedikit.Secara
bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula enterokutan, kematian di meja operasi, atau
peritonitis berulang jika pembersihan kuman tidak adekuat. Namun secara medis, penderita
yang mengalami pembedahan laparotomi eksplorasi membutuhkan narkose dan perawatan
intensif yang lebih lama. Perawatan inilah yang sering menimbulkan komplikasi, bisa berupa
pneumonia akibat pemasangan ventilator, sepsis, hingga kegagalan reanimasi dari status
narkose penderita pascaoperasi. Dengan demikian, edukasi untuk menghindari keadaan atau
penyakit yang dapat menyebabkan peritonitis mutlak dilakukan, mengingat prosedur
diagnostik dan terapinya relatif tidak mudah dikerjakan.

42
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan inflamasi dan infeksi saluran cerna yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa masing-masing bentuk penyakit memiliki karakteristik manifestasi
klinisnya. Dengan memahami betul hal tersebut, diharapkan dapat dibedakan antara
appendisitis atau peritonitis serta mampu menyingkirkan diagnose banding lainnya.. Sebagai
dokter umum harus mengerti benar apa penyakitnya dan penanganan apa saja yang bisa
diberikan sesuai kompetensi.

B. Saran
Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca dapat termotivasi
untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya saat diklinik atau rotasi klinik
para mahasiswa dapat menerapkannya.Mengingat masih banyaknya kekurangan dari
kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya,
untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan angkatan 2008.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, R., & Jong, w. d. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah (2 ed.): EGC.
2. Schrock, T. (1991). Ilmu Bedah (7 ed.). Jakarta: EGC.
3. Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7 ed. Vol. 2).

44

Anda mungkin juga menyukai