Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN MODUL1 BLOK XX

“INFLAMASI DAN INFEKSI”

Disusun oleh : Kelompok V


Akhmad Fahrozy
Faaris Hario Wicaksono
Tanri Hadinata Wiranegara
Dessy Vinoricka Andriyana
Fitria Rimadhanty
Kristanti Andarini
Nadya Paramitha
Ratna Noor Mariyati
Saniyata Lawrensia

Tutor : dr. M. Buchori

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS MULAWARMAN
2011
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nyalah laporan dengan tema “Inflamasi dan Infeksi” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil
(DKK) kami.. Laporan ini secara garis besar berisikan tentang penjelasan mengenai kasus
kegawatdaruratan bedah yang disebabkan oleh adanya proses inflamasi dan infeksi, termasuk di
dalamnya akan dibahas mengenai peritonitis, appendicitis, dan diagnosis bandingnya.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. M. Buchori selaku tutor kelompok V yang telah membimbing kami dalam
melaksanakan diskusi kelompok kecil pada modul 1 mengenai “Inflamasi dan Infeksi” ini.
2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga
dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil diskusi kelompok kecil ini.
3. Teman-teman kelompok V yang telah mencurahkan pikiran, tenaga dan
waktunya sehingga diskusi sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan
laporan hasil diskusi ini.
4. Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2008
khususnya yang telah bersedia untuk berbagi bersama mengenai materi yang dibahas.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari
sempurna.Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan
demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini.
Hormat Kami,

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………… 2

Daftar Isi…………………………………………………………………. 3

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang……………………………………………… 4
B. Tujuan Modul ……………………………………………… 4

Bab II Isi

1. Terminologi istilah ………………………………………… 5


2. Identifikasi Masalah ……………………………………… 6
3. Analisis Masalah ……………………………………… 6
4. Strukturisasi ………………………………………………… 9
5. Learning Objective ……………………………………… 10
6. Belajar Mandiri …………………………………………… 10
7. Sintesis …………………………………………………… 10

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ……………………………………………… 45

Daftar Pustaka ………………………………………………………… 46


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peran dari dokter pada bagian emergency yaitu dapat mengidentifikasi adanya
acute abdomen, bukan untuk menentukan diagnosa spesifik. Identifikasi pasien tersebut
melalui postur yang signifikan; misalnya dapat berbaring terlentang
(perforasi/peritonitis),atau pasien terlihat sangat kesakitan sehingga selalu berubah posisi
(kolik usus besar/kolik ureter). Selalu pertimbangkan etiologi yang dapat mengancam nyawa.
Selalu pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur. Pasien pria
dengan nyeri daerah fossa iliaka kanan harus dicurigai apendisitis sampai terbukti lain.
Dengan mengetahui etiologi serta penyulit-penyulit yang ada pada nyeri abdomen,
diharapkan seorang klinisi dapat mengetahui manajemen perawatan atau penatalaksanaan
awal yang tepat sebelum memberikan rujukan perawatan untuk mencegah terjadinya
penyulit-penyulit yang lebih berat yang mengakibatkan kematian.

1.2 Tujuan Modul


Tujuan modul ini dapat diarahkan dengan baik.Skenario yang digunakan juga tidak
spesifik sehingga tidak bersifat diagnostik melainkan belajar dari kasus (Problem Based
Learning).Diagnostik yang luas juga memudahkan dalam mendapat diagnosis diferensial
dan menyingkirkannya.
Dengan kasus awal nyeri abdomen, skenario juga mengarahkan mahasiswa kepada
penyakit tertentu dengan karakteristik nyeri abdomen, seperti appendicitis dan peritonitis,
serta batasan kompetensi dokter umum dalam menghadapi kasus-kasus tersebut.
BAB II

ISI

Step 1

 Pembedahan: suatu tindakan operatif dimana dilakukan oleh tenaga medis dengan membuat
tenaga steril.
 Demam: terjadinya peningkatan suhu tubuh yang bisa disebabkan oleh infeksi yang
mengakibatkan aktivasinya interlukin 1 TNF yang menstimulasi pusat suhu.

Step 2

1. Apa penyebab nyeri disekitar ulu hati sampai pusat yang diderita oleh ibu ratih?
2. Mengapa nyeri yang dialami berpindah ke daerah kanan bawah?
3. Apakah ada kaitannya obat maag dengan bertambahnya keluhan ibu ratih?
4. Mengapa nyeri perut dan demam bertambah berat?
5. Apa yang menyebabkan nyeri seluruh lapang perut?
6. Apa saja diagnosa banding dari kasus ibu ratih?
7. Cara menegakkan diagnosa?
8. Tatalaksana awal yang di berikan ibu ratih?
9. Apakah indikasi rawat inap pada ibu ratih + indikasi pembedahan?

Step 3

1. Penyebab nyeri: Gaster= gastritis, ulkus; Esophagus= GERD; Pada aorta; Pankreas= Ca. Pankreas;
Duodenum

3 batasan nyeri:
Epigastrium (foregut): lambung, pancreas, hepatobilier, duodenum;
Pusat (midgut): usus besar, usus kecil, kolon ascenden, ½ kolon transversal;
Suprapubis (hindgut): ½ kolon transversal, kolon desenden, sigmoid.

3 Sifat nyeri:
Viseral: tidak bisa dijelaskan
Somatic: menusuk dan terlokalisasi
Alih: asal persyarafan yang sama

Tentukan kuadrannya
Tentukan penyebab
Tentukan nyeri

Inflamasi
Ggn. Vascular
Ggn. Obstruksi
Kanker
Ggn. Parese
2. Persyarafan sama
Awalnya visceral -> adanya peradangan -> nyeri somatic
Organ lain terkena infeksi -> kuadran kanan bawah
Luka awal yang bertambah parah -> peritoneum terkena
Infeksi -> nyeri visceral -> n. thoracalis -> reaksi region peritoneal -> dalam waktu yang lama ->
nyeri somatic -> radang menjalar
3. Obat yang diberikan salah, tidak tepat sasaran, tidak bekerja pada daerah yang sakit
Antasida menurunkan motilitas yang meningkatkan kerja usus yang nyebabkan nyeri dan
kembung
4. Adanya Inflamasi menginfeksi organ lain yang nyebabkan terganggunya lairan darah dan
rupturnya organ, demam.
5. Organ nya menjadi kronik sakitnya -> perforasi ke peritoneum ->nyeri tekan seluruh perut
6. Anamnesa: Riwayat nyeri (kapan, dimana, bagaimana nyerinya), demam, penyakit dahulu,
penyakit keluarga, penyakit sekarang
Pemeriksaan fisik: vital sign, pem fisik abdomen (inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi, RT
7. Diagnosa Banding:
Tukak peptikum
Apendisitis
Pankreatitis
Peritonitis
Salfingitis
Urolitiasis
Uretritis

Pem. Penunjang:
Lab: darah lengkap (lekositosis), urin
Foto polos abdomen
USG
8. Tatalaksana awal:
Antibiotik spectrum luas
Antipiretik
analgesik
9. Indikasi rawat inap:
Sakit berat
Diagnosa
Monitoring
Pengobatan
Pembedahan

Step 4
Nyeri perut
Nyeri pusat, kanan bawah, Pemeriksaan
demam Anamnesa
ulu hati Fisik
Antasida tidak , 10
Hari tidak
membaik

Diagnosa
Suspect app Pemeriksaan banding nyeri Nyeri tekan
perforasi Penunjang akut abdomen
abdomen

Pembedahan

Step 5
Mahasiswa mampu menjelaskankembali dari definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
penegakan diagnosa, penatalaksanaan, komplikasi, dan diagnosis dari:
1. Apendisitis akut dan perforasi
2. peritonitis

Step 6

Setelah melewati diskusi keolmpok kecil (DKK) 1, kami akan mencari referensi tentang
learning objective yang didapatkan. Kemudian bahan yang terkumpul akan dibahas dalam
diskusi kelompok kecil (DKK) yang kedua.

APPENDISITIS

I. Definisi

Appendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah
kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.Dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan
apendektomi yang terinfeksi.Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh
peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.
Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks).Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan.Bila infeksi bertambah parah, usus buntu
itu bisa pecah.Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari
bagian awal usus besar atau sekum (cecum).Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan
terletak di perut kanan bawah.Strukturnya seperti bagian usus lainnya.Namun, lendirnya banyak
mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir.

Klasifikasi
Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut:
a. Appendicitis Akut
 Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi
mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang
mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan.Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam
ringan.Pada appendicitis kataral teradi lekoitosis dan apendiks terlihat normal, hyperemia,
edema, dan tidak ada eksdat serosa.
 Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.Keadaan ini memperberat
iskemia dan edema pada apendiks.Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin.Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti
nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan
pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
 Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga
terjadi infrak dan ganggren.Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami
gangren pada bagian tertentu.Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman.Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.
b. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi
oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa
flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
c. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
d. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.Pada dinding
appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
e. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses radang
yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi
parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub
mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak
dilatasi.

II. Epidemiologi

Appendisitis merupakan keadaan bedah akut abdomen yang paling sering. Insiden
apendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sama, kecuali pada umur 20-30 tahun laki-
laki lebih sering. Appendisitis dapat mengenai semua umur tapi insiden pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan sedangkan insiden tertinggi ditemukan pada umur 20-30 tahun.
III. ANATOMI APPENDIKS VERMIFORMIS

Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analogdengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar dibagian distal.Basis appendiks terletakpada bagian postero
medial caecum, di bawah katup ileocaecal.Ketiga taenia caecum bertemu pada basis appendiks.
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung
dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.Mesenteriolum berisi a.
Apendikularis (cabang a.ileocolica).Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup
ileocecal.Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal
dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin tidak
terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar
dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.Lapisan
submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf,
pembuluh darah dan lymphe.Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes.Mukosa
terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding
luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan
caecum dan apendiks.Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks.
Gambar 1. Struktur appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian
ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang
berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal.
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada
65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal.Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak
dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon
asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.
Gambar 2. Posisi appendiks di rongga abdomen.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika


superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.Pendarahan apendiks
berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.
Gambar 3. Vaskularisasi appendiks
IV. FISIOLOGI

Apendiks menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai perlindungan
terhadap infeksi, tapi jumlah Ig A yang dihasilkan oleh apendiks sangat sedikit bila dibandingkan
dengan jumlah Ig A yang dihasilkan oleh organ saluran cerna yang lain. Jadi pengangkatan
apendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh, khususnya saluran cerna.
V. ETIOLOGI

a. Peranan Lingkungan: diet dan higiene


Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama
pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian
apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan
konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang
sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi
keras
b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit
merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan
apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi
meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis
sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65%
dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan
hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem
respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi
obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks
untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan
risiko terjadinya perforasi
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen
apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama
adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi
kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia.
Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan
dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam
submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa
peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam
lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga
desakan pada dinding apendiksakan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa
dinding apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan
terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya
melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan
mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat
terjadinya peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari proses peradangan tersebut
sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika
infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum
belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal
ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi .
c. Peranan Flora Bakterial
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri
aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit
kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis
sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak
ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella,
Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai
adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak
ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .

VI. PATOFISIOLOGI

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan.Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah
kanan bawah.Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.Pada anak-anak, kerena
omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan
terjadinyaperforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
Gambar 4. Patofisiologi apendisitis

VII. MANIFESTASI KLINIS

Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai
adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri
beralih kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat
juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.Pada permulaan timbulnya
penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen
kanan bawah akan semakin progresif.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak
apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum
lokal. Umunya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena
bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka
tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri
lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas
mayor yang menegang dari dorsal.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan
menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada
waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala
awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi
lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

Kelainan patologi Keluhan dan tanda

- Peradangan awal - Kurang enak ulu hati/daerah


pusat, mungkin kolik

- Apenditis mukosa - nyeri tekan kanan bawah


(rangsaganan automik)

- Radang di seluruh ketebalan - nyeri sentral pindah ke kanan


dinding bawah,mual dan muntah

- Apendisitis komplet radang - rangsangan peritoneum lokal


(somatik)

- Peritoneum parietale apendiks - nyeri pada gerak aktif dan


pasif,defans muskuler local

- Radang alat/jaringan yang - genitalia interna, ureter, m.psoas,


menempel pada apendiks kantung kemih, rectum

- Perforasi - demam sedang, takikardia, mulai


toksik, leukositosis
Pendindingan (Infiltrat)
Tidak berhasil - s.d.a + demam tinggi,
dehidrasi,syok, toksik
Berhasil
- massa perut kanan bawah,
Abses keadaanumum berangsur
membaik

- demam remiten, keadaan umum


toksik,keluhan dan tanda setempat
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang terlambat
diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang
perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah.
Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
Tanda awal
 nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi
 nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik McBurney
o nyeri tekan
o nyeri lepas
o defans muskuler
 nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
o nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
o nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
o nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas alam,
berjalan, batuk, mengedan
Gambar 5 : Gambaran klinik apendisitis akut
Manifestasi Klinis

Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan
nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut
sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual
hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini,
penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah
tajam.Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.

Gambaran klinik apendisitis akut

 Tanda awal

o nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi

 Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di
titik McBurney

o nyeri tekan

o nyeri lepas

o defans muskuler

 Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

o nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

o nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)

o nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
mengedan

Diagnosis
Anamnesia
- nyeri awal epigastrium

- mual dan muntah

- demam

- nyeri kanan bawah

Pemeriksaan
 Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung (+)
bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.
 Perkusi Nyeri ketok (+)
 Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus
 Palpasi

Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :


 Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan
ini merupakan tanda kunci diagnosis
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan
melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan
setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.
 Defens musculer (+) karena rangsangan m.Rektus abdominis
Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
 Rovsing sign (+)
Penekanan perut sebelah kiri terjadi nyeri sebelah kanan, karena tekanan merangsang
peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang
meradang (somatik pain). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah,
apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang
berlawanan
 Psoas sign (+)
Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum. Psoas sign terjadi
karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks
Ada 2 cara memeriksa :
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahanpemeriksa, pasien memfleksikan
articulatio coxaekanan nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikanpemeriksa, nyeri perut
kanan bawah
 Obturator Sign (+)
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi telentang terjadi nyeri
(+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan
kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan
peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

 Rectal Toucher / Colok dubur , nyeri tekan pada jam 9-12


Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis pada
anak kecil karena biasanya menangis terus menerus.
Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa, maka anak
dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non narkotik ringan, seperti pentobarbital (2,5
mg/kg) secara suppositoria rektal. Setelah anak tenang, biasanya setelah satu jam dilakukan
pemeriksaan abdomen kembali. Sedatif sangat membantu untuk melemaskan otot dinding
abdomen sehingga memudahkan penilaian keadaan intraperitoneal

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium, pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada
apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi.Tidak adanya
leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis.Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran
kekiri.Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari
normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.

Pemeriksaan Radiologi :

 Foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik
meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan
mungkin terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-udara disekum
atau ileum). Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.

 USG atau CT Scan. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan
bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada
apendiks menyebabkan ukuran apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm). Kondisi
penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease,
diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan pelvic Inflammatory
Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.

Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG.Selain dapat
mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat
melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.

Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk


menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma colon.Tetapi untuk apendisitis akut pemeriksaan
barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture apendiks.

Diagnosis Banding
- Limfadenitis mesenterica terutama pada anak-anak.
- Penyakit pelvis pada wanita : inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik, ruptur kista,
korpus luteum, endometriosis externa.
- Lebih jarang : penyakit Crohn, kolesistitis, perforasi ulkus duodenum, pneumonia kanan
bawah.
- Jarang : perforasi karsinoma caecum, diverkulitis sigmoid

Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas,tindakan yang paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan
yang baik adalah apendiktomi. Pada apendiks tanpa komplikasi biasanya tidak diperlukan
antibiotik, kecuali pada apendiksitis gangrenosa atau apendiksitis perforata.Penundaan tindakan
bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun cara laparoskopi.Bila apendiktomi terbuka,
insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.Pada penderita yang diagnosisnya tidak
jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa
dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.

Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan
gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran
membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera
dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-
rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah,
semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.

Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana
penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang apendiks
yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya,
dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat
operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang
pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang
masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah.Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan
untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta
luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit
normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan
terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks
dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa
perforasi.

Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan
akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk
lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan
penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya.

Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi,
apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :

1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.

2. Diet lunak bubur saring


3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan
bedah.

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja.Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala
akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus
dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi)
setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa
tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan
didrainase.

Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah
maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil,
lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas,
maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat
menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat
samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari,
drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi.Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari
penderita di RT.

Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :

 LED

 Jumlah leukosit

 Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :

1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen

2. Pemeriksaan fisik :

o Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal
dan aksiler)

o Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat

o Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil
dibanding semula.

o Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal

Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :

1. Bila LED telah menurun kurang dari 40

2. Tidak didapatkan leukositosis

3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil
lagi.

Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa

o Apakah penderita sudah bed rest total

o Pemberian makanan penderita

o Pemakaian antibiotik penderita

o Kemungkinan adanya sebab lain.


d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan,
operasi tetap dilakukan.

e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah
drainase.

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas
kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata.
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

 nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh

 Suhu tubuh naik tinggi sekali.

 Nadi semakin cepat.

 Defance Muskular yang menyeluruh

 Bising usus berkurang

 Perut distended

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :

1. Pelvic Abscess

2. Subphrenic absess

3. Intra peritoneal abses lokal.


Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat
menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini
sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi
komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.Terminologi apendisits
kronis sebenarnya tidak ada.

PERITONITIS

Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel – sel, dan pus,
biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi,
muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum.

Etiologi
Peritonitis di klasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Peritonitis primer : spontan, yang dikenal dengan peritonitis bacterial spontan. Terjadi
pada keadaan cirrhosis hepatis, asites, kerusakan ginjal, penyakit immuno supresif.

2. Peritonitis skunder : perforasi dari organ yang berada di cavum abdomen. Keterangan
lebih lanjut lihat tabel 1
3. Peritonitis tersier : infeksi rekuren akibat pengobatan yang tidak adekuat.

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Skunder

Organ Penyebab

Gaster Perforasi ulkus peptikum

Duodenum Perforasi ulkus peptikum


Cholecystitis
Biliary tract
Malignancy
Pancreas Pancreatitis (alkohol, obat-obatan, batu)
Iskemia usus
Usus halus
Hernia Inkarserata
Crohn disease
Ischemia usus

Colon dan appendix


Diverticulitis

Malignancy
Berdasarkan bakteri penyebab peritonitis dibagi menjadi 3, yaitu primer, skunder dan
tersier.sebagai berikut:
a. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Streptococus atau Pneumococus.Faktor resiko yang berperan pada peritonitis
ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau tractus
urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.Bakterii anaerob,
khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam
menimbulkan infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
c. Peritonitis non bakterial akut
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah
lambung, getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis bakterial kronik (tuberkulosa)
Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestinal atau tractus
urinarius.
e. Peritonitis non bakterial kronik (granulomatosa)
Peritoneum dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan granuloma,
dan sering menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa kronik dapat terjadi karena
talk (magnesium silicate) atau tepung yang terdapat disarung tangan dokter. Menyeka sarung
tangan sebelum insisi, akan mengurangi masalah ini.
Tabel 2.Bakteri Penyebab Peritonitis

Etiologi Organisme
peritonitis
Kelas Ripe Organisme
E coli (40%)
K pneumoniae (7%)
Primer Gram Negatif Pseudomonas species (5%)
Proteus species (5%)
Streptococcus species (15%)
Staphylococcus species (3%) Anaerobic
species (<5%)
E coli
Enterobacter species
Skunder Gram Negatif
Klebsiella species
Proteus species
Gram Positif Streptococcus species
Enterococcus species
Anaerobic Bacteroides fragilis
Other Bacteroides species

Eubacterium species
Clostridium species
Anaerobic Streptococcus species
Gram Negatif Enterobacter species
Pseudomonas species
Tersier Enterococcus species
Gram Positif Staphylococcus species
Fungi Candida species

Anatomi
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.Dibagian
belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah
pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis
kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ),
kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis
internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu
fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri
dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea
alba.
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.Integritas
lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia
bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan
juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh
perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat
a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior.Kekayaan
vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan
gangguan perdarahan.
Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n.
lumbalis I.

Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan
biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.Oedem
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem
seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha
untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang
tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya
terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,
batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan
umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung
dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami
perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.Nyeri ini timbul mendadak
terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri
seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa
mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara
sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama
mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial.Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi
gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24
jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.

Manifestasi Klinis
Gejala-gejala klinis yang dapat ditemukan pada penderita peritonitis antara lain:

1. Pasien tampak sakit, cemberut dan cenderung untuk berbaring diam di tempat tidur
dengan tungkai fleksi, pada stadium lanjut "Hypocratic Face".
2. Pernafasan thoracal cepat dan dangkal dengan peningkatan aktifitas otot
pernafasan atau otot intercostal.
3. Rasa sakit di abdomen yang datang tiba-tiba, dengan intensitas nyeri semakin hebat.
4. Anoreksi

5. Nausea

6 . Vom i ti ng

7. Tanda-tanda dehidrasi

8. Temperature meningkat
Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut yang membentuk perlengketan yang akhirnya
bisa menyumbat usus.Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa
berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di
usus halus dan di usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga
peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit.Selanjutnya bisa terjadi
komplikasi utama, seperti gagal ginjal akut (ARF).Pada peritonitis mekonium gejalanya berupa
abdomen yang membuncit sejak lahir, muntah, dan edema dinding abdomen kebiru – biruan.
Rasa sakit di abdomen yang datangnya bisa tiba-tiba sesuai penyebab, intensitas makin
bertambah, anorexia, nausea, vomiting, kehausan, suhu meningkat, rasa sakit paling nyata pd
regio peradangan. Rectal examination: Tonus sphincter melemah, nyeri pada semua arah.
Kadang-kadang perlu vaginal examination.

PERITONITIS

DIAGNOSA
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan pada palpasi, serta ditemukan tanda-
tanda dehidrasi.Pada pemeriksaan vital sign, ditemukan demam dan pengukuran tekanan
darah.
2. Foto Rontgen (X-Rays)
Foto Rontgen diambil dalam posisi berbaring dan berdiri.Gas bebas yang terdapat dalam
perut dapat terlihat pada foto rontgen dan merupakan petunjuk adanya perforasi.
3. Sampel Cairan Rongga Abdomen
Kadang-kadang sebuah jarum digunakan untuk mengeluarkan cairan dari rongga perut,
yang akan diperiksa di laboratorium, untuk mengidentifikasi kuman penyebab infeksi dan
memeriksa kepekaannya terhadap berbagai antibiotika.
4. Darah Lengkap
Dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan hematokrit.
5. CT Scan/MRI
Untuk melihat apakan ada cairan di rongga abdomen atau infeksi organ sekitar abdomen.
6. USG
7. Pembedahan eksplorasi merupakan teknik diagnostik yang paling dapat dipercaya.

PENATALAKSANAAN
1. Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila
terdapat appendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada
peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita,
pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan.
2. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan
bersamaan.
3. Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui infus.
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan
radang di peritoneum.Secara noninvasif dapat dilakukan drainase abses dan endoskopi perkutan,
namun yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi rongga peritoneum.Rongga ini
merupakan membran serosa yang kompleks dan terbesar di tubuh manusia. Bentuknya
menyerupai kantong yang meliputi organ-organ dalam perut sehingga membentuk peritoneum
parietal di dinding perut anterior dan lateral, diafragma, serta membentuk parietal visceral di
organ-organ dalam perut dan pelvis bagian inferior sehingga membentuk rongga potensial
diantara dua lapisan tersebut, dikenal sebagai rongga peritoneal.
Rongga inilah yang menjadi translokasi bakteri dan tempat terjadinya peritonitis maupun
abses.Untuk menanganinya, sebenarnya bisa dilakukan terapi medikamentosa nonoperatif
dengan terapi antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolik,
dan terapi modulasi respon peradangan. Terapi-terapi ini sebenarnya logis dikerjakan, namun
perkembangannya tidak terlalu signifikan, apalagi untuk kasus dengan banyak komplikasi,
sehingga dibutuhkan terapi lain berupa drainase atau pembedahan.
Akhir-akhir ini drainase dengan panduan CT-Scan dan USG merupakan pilihan tindakan
nonoperatif yang mulai gencar dilakukan karena tidak terlalu invasif, namun terapi ini lebih
bersifat komplementer, bukan kompetitif dibanding laparoskopi, karena sering kali letak luka
atau abses tidak terlalu jelas sehingga hasilnya tidak terlalu optimal. Sebaliknya, pembedahan
memungkinkan lokalisasi peradangan yang jelas, kemudian dilakukan eliminasi kuman dan
inokulum peradangan tersebut, hingga rongga perut benar-benar bersih dari kuman.

KOMPLIKASI
Komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi memang tidak sedikit.Secara
bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula enterokutan, kematian di meja operasi, atau
peritonitis berulang jika pembersihan kuman tidak adekuat.Namun secara medis, penderita yang
mengalami pembedahan laparotomi eksplorasi membutuhkan narkose dan perawatan intensif
yang lebih lama.Perawatan inilah yang sering menimbulkan komplikasi, bisa berupa pneumonia
akibat pemasangan ventilator, sepsis, hingga kegagalan reanimasi dari status narkose penderita
pascaoperasi.Dengan demikian, edukasi untuk menghindari keadaan atau penyakit yang dapat
menyebabkan peritonitis mutlak dilakukan, mengingat prosedur diagnostik dan terapinya relatif
tidak mudah dikerjakan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peran dari dokter pada bagian emergency yaitu dapat mengidentifikasi adanya acute
abdomen, bukan untuk menentukan diagnosa spesifik. Identifikasi pasien tersebut melalui postur
yang signifikan; misalnya dapat berbaring terlentang (perforasi/peritonitis),atau pasien terlihat
sangat kesakitan sehingga selalu berubah posisi (kolik usus besar/kolik ureter). Selalu
pertimbangkan etiologi yang dapat mengancam nyawa. Selalu pertimbangkan kemungkinan
kehamilan ektopik pada wanita usia subur. Pasien pria dengan nyeri daerah fossa iliaka kanan
harus dicurigai apendisitis sampai terbukti lain.
Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus.Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama appendicitis.Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
menyebabkan timbulnya peritonitis umum.Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria.

3.2 Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi
kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2008, dan dari berbagai pihak termasuk kakak tingkat di FK
UNMUL.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat R, wim de Jong. Buku ajar Ilmu Bedah edisi 2. EGC. 2005. hal 639-645

Anda mungkin juga menyukai