Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegawat daruratan di bidang Bedah merupakan kejadian yang cukup banyak

terjadi di bidang medis. Salah satunya adalah Appendisitis (peradangan pada apendiks).

Appendistis disebabkan oleh banyak faktor, baik karena infeksi ataupun sebab lain. Pada

penanganannya yang bersifat gawat darurat harus dilakukan secepatnya jika tidak akan

menyebabkan dampak yang buruk bagi kondisi pasien. Oleh karena itu, sebagai seorang

dokter umum dihaaruskan untuk mengetahui dan memahami apa saja penyebab dari

Appendisitis, bagaimana cara mendiagnosa, serta melakukan pananganan awal sesuai

kompetensi sebagai dokter umum dan juga harus mengetahui diagnosa banding dari

Appendisitis . Oleh sebab itu, dalam laporan ini dipaparkan mengenai Appendisitis dan

Peritonitis sebagai dampak lanjutnya secara keseluruhan sehingga kita tahu sampai

penanganan mana yang wajib diberikan oleh dokter umum sebelum dirujuk. Diharapkan,

mahasiswa yang berorientasi sebagai dokter umum dapat mengetahui bagaimana keadaan

appendisitis yang masuk ke dalam status gawat darurat, diagnosa banding dan mengetahui

manajemen awal dalam menangani kasus kegawatdaruratan di bidang Bedah ini.

B. Manfaat Modul

Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil yang kami lakukan dengan membahas

skenario “Sakit Perut dan Demam Tinggi” ini kami telah manentukan tujuan

pembelajaran kami, yaitu : memgetahui dan memahami tentang Appendisitis dan

Peritonitis secara keseluruhan dari definisi hingga tatalaksana dan penjelasan mengenai

diagnosa banding .

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 1


BAB II

PEMBAHASAN

Step 1. Terminologi Sulit

1. Nyeri Tekan : Suatu Pemeriksaan fisik yang melakukan penekanan pada bagian tubuh

yang ingin diperiksa dan didapatkan nyeri apabila terjadi keabnormalan.

2. Pembedahan : Suatu tata laksana dengan cara membuka tubuh secara luas/terlokalisir

untuk memperbaiki kondisi kesehatan yang tidak bisa dilakukan dengan

pemberian obat-obatan.

Step 2. Identifikasi Masalah

1. Mengapa terjadi keluhan nyeri di ulu hati dan di sekitar pusat, yang kemudian nyeri

tersebut berpindah ke perut sebelah kanan ?

2. Apa saja hal yang menyebabkan nyeri pada abdomen seperti pada kasus di skenario ?

3. Apa sajakah penyebab demam tinggi dan sakit perut yang semakin memberat ?

4. Apakah hasil interpretasi dari nyeri tekan seluruh lapangan perut ?

5. Apa sajakah pemeriksaan yang harus dilakukan pada pasien tersebut ?

6. Mengapa dengan pemberian obat maag keluhan pasien tidak membaik dan memberat ?

7. Apa sajakah tatalaksana awal yang dapat diberikan ?

8. Apa yang mendasari keputusan dokter untuk dilakukannya rawat inap dan pembedahan ?

9. Apakah komplikasi dari keluhan pasien apabila terla,bat dalam penatalaksanaan ?

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 2


Step 3. Analisa Masalah

1. Nyeri pada ulu hati dan daerah sekitar pusat disebabkan oleh terstimulasinya serabut saraf

afferen akibat adanya organ di sekitar lokasi tersebut mengalami gangguan. Nyeri ini

bersifat visceral, dimana nyeri tersebut tidak terlokalisir, sehingga tidak dapat

menjelaskan letak gangguannya pada lokasi tertentu.

Perpindahan nyeri dari ulu hati dan daerah sekitar pusat ke daerah perut kanan bawah

disebabkan oleh sudah berubahnya sifat nyeri menjadi nyeri somatik sehingga bisa di

spesifikasi organ apa yang mengalami gangguan.

2. Hal lain yang dapat menyebabkan nyeri pada abdomen seperti pada scenario adalah

appendisitis yang diikuti oleh perforasi, yang pada akhirnya menyebabkan peritonitis;

gastroenteritis; diverticulum meckel; kehamilan ektopik; PID (Pelvic Inflammatory

Disease); batu ginjal; dan lain-lain.

3. Demam tinggi terjadi sebagai akibat pelepasan mediator-mediator kimiawi yang diinduksi

oleh reaksi inflamasi sehingga secara otomatis mediator-mediator tersebut akan

merangsang hipotalamus untuk meningkatkan set point  demam.

Sakit perut memberat dikarenakan penyebab sebenarnya tidak ditangani sehingga menjadi

semakin parah.

4. Adapun hasil interpretasi dari pemeriksaan nyeri tekan pada seluruh lapangan perut

adalah terjadi peradangan menyeluruh pada peritoneum parietal.

5. Pemeriksaan dilakukan setelah anamnesis baik pada pasien/keluarga pasien dilakukan.

Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi pada seluruh lapang pandang perut, dilanjutkan

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 3


dengan palpasi (nyeri tekan pada titik Mc.Burney, nyeri tekan lepas, dan defense

muscular). Kemudian dapat dilakukan auskultasi untuk mendengar ada tidaknya bising

usus. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan laboratorium, yang utama ialah darah lengkap dan tes kehamilan. Sementara

itu, pemeriksaan penunjang lainnya meliputi USG dan foto polos abdomen.

6. Pemberian obat maag tidak memberikan perbaikan apapun karena obat tersebut tidak

sesuai dengan kausa/penyebab sebenarnya.

7. Tatalaksana awalnya ialah perbaiki keadaan umum pasien, pemberian antibiotic spectrum

luas, dan tindakan pembedahan.

8. Indikasi rawat inap serta dilakukannya tindakan pembedahan pada pasien adalah keadaan

umum yang memburuk (syok), leukositosis, nyeri tekan pada seluruh lapangan perut.

9. Komplikasi dari keadaan yang dialami pasien adalah appendisitis perforata, peritonitis,

periappendicular infiltrate.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 4


Step 4. Skema

Nyeri perut &


Demam tinggi

Anamnesis &
Pemerikasan fisik

Apendisitis Peritonitis

Perforasi

Pemeriksaan Penunjang

Manajemen Awal

Pembedahan TIDAK TERATASI Komplikasi

Step 5. Learning Objective

Mengetahui, memahami, dan menjelaskan kembali mengenai definisi, etiologi, patofisiologi,

gejala & tanda, penegakan diagnosa, tata laksana beserta indikasi rujukan, komplikasi, dari :

a. Appendisitis c. Peritonitis

b. Appendisitis Perforasi

Step 6. Belajar Mandiri

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 5


Step 7. Sintesis

APENDISITIS

Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab

abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun

perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,

2000). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), Apendisitis adalah penyebab paling

umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan

penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis

kronik (Sjamsuhidayat, 2005).

1) Apendisitis akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak

umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang

peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang

merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering

disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam

nyeri akan berpindah ketitik Mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas

letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

2) Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri

perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 6


mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding

apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus

lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

Etiologi dan Patogenesis

a. Peranan lingkungan: Diet dan Higiene

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah

serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan

tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya

pertumbuhan flora normal kolon.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran

utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian

apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan

konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit

yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan

konsistensi keras.

b. Peranan Obstruksi

Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit

merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan

apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi

meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus

apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur

terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%

Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan

hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 7


respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital

terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal

ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.

Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa

apendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut

di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk

menimbulkan risiko terjadinya perforasi.

Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi

lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul

selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan

terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta

iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh

lapisan dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk

kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi

berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang

masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin

meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan

gangguan pada sistem vasa dinding apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa

limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan

iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus

berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah

kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietal.

Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan

omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi

peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna,

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 8


sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks

cepat mengalami komplikasi .

c. Peranan Flora Bakterial

Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam

bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan

penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap

apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama

Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk

Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang

paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau

apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis.

Patofisiologi

Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ

tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi mukosa

menjadi langkah awal terjadinya appendicitis. Obstruksi intraluminal appendiks menghambat

keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada

dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan

luka pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di

usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses

irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Appendicitis dimulai dengan proses

eksudasi pada mukosa, submukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa

kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi

kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan

serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 9


supuratif. Edema dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi

ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua

dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan

pembuluh darah kongesti.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan

jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut

kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan

mengalami eksaserbasi.

Reaksi Fase Akut (Acute phase reaction)

Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses inflamasi

(innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan memori (adaptive

immune). Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan oleh stimulus yang dapat

berupa trauma mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan proses inflamasi adalah untuk

melawan agen pengrusak, awal proses perbaikan, dan mengembalikan fungsi jaringan yang

rusak. Proses inflamasi dapat berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan

oleh agen mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma, nekrosis jaringan oleh kanker,

arthritis rematiod, luka bakar, dan toksin yang disebabkan oleh obat atau radiasi.

Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon yang

berfungsi dalam regulasi haematopoesis, sintesis protein, dan metabolisme. Sistem immun

dibagi menjadi dua, immun bawaan (innate immune) dan immune didapat (adaptive immune)

Immun bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein, bekerja

tanpa melalui proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan

memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak hanya berfungsi dalam regulasi sistem immun bawaan,

tetapi juga sistem immun yang didapat.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 10


Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu:

 Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat)

Dilatasi vaskuler (permaebilitas membaran meningkat) adalah relaksasi muskulus vaskuler

yang menyebabkan jaringan hiperemis. Proses transudasi yang terjadi melalui membran

sel, diikuti lepasnya sel PMN (polimorfonuklear) ke jaringan. Jika fibrinogen

terekstravasasi ke dalam jaringan, maka terjadilah mekanisme pembekuaan.

 Emigrasi neutrofi

Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada permukaaan endotel. Sel

PMN tampak dominan menempel pada permukaan endotel. Emigrasi sel neutrofil pada

area inflamasi disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan proses immun-kompleks

dalam proses awal inflamasi, menyebabkan faktor kemotaktik mengaktivasi komplemen

C5a. Komplemen C5a ini kemudiaan menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi.

Produk bakteri juga bersifat kemotaktik terhadap sel PMN. Intensitas dan durasi emigrasi

sel PMN biasanya dalam 24-48 jam, tergantung faktor kemotaktik pada area inflamasi.

 Emigrasi sel mononuclear

Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai puncaknya 16-24 jam.

Pada keadaan awal respon seluler, sel mononuklear akan tampak dalam jumlah sedikit

bersama sel polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuclear ini distimulasi oleh proses

fagositosis debris, produk fagositosis neutrofil, dan sitokin . Proses terakhir inflamasi

adalah proliferasi seluler

 Proliferasi seluler

Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai dalam 18 jam dan mencapai

puncaknya 48 sampai 72 jam. Fibroblas mengeluarkan acidic mukopolysaccharides yang

menetralisis afek beberapa mediator kimiawi. Pada akhir proses ini diharapkan kembalinya

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 11


fungsi area yang terkena inflamasi. Namun dalam beberapa keadaan, proses ini berakhir

dengan terbentuknya abses dan granuloma.

Diagnosis Klinis

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis

akut. Apendisitis akut adalah diagnosis klinis. Penegakkan diagnosis terutama didasarkan

pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila

ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis. Kesalahan diagnosis lebih sering

terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, perempuan dua kali lebih banyak mempunyai

apendiks normal daripada laki-laki dalam kasus apendektomi, Primatesta (1994) melaporkan

bahwa perempuan tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki dalam insidensi kasus

apendektomi negatif. Hal ini dapat disadari mengingat perempuan yang masih sangat muda

sering timbul gejala mirip apendisitis akut terutama penyakit ginekologis. Hal-hal penting

yang dapat membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut adalah bahwa apendisitis

biasanya mempunyai perjalanan akut atau cepat. Dalam beberapa jam sudah timbul gejala

atau bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita biasanya cenderung mempertahankan

posisi untuk tidak bergerak. Penderita tampak apatis dan menahan nyeri. Oleh karena nyeri

yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah sakit.

a. Anamnesis

 Nyeri/Sakit perut

Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh

saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut ( tidak pin-point).

Mula2 daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi

inflamasi ( > 6 jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 12


Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak dengan gejala nyeri

abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya dicurigai menderita

apendisitis. Anak yang sudah besar dapat menerangkan dengan jelas permulaan gejala

nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Anak dapat menunjuk dengan

satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang dimana

yang nyeri.

Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti, misalnya:

a. Bagaimana hebatnya nyeri ?

b. Apakah nyerinya mengganggu anak sampai tidak mau main atau anak tinggal di

tempat tidur saja ?

c. Apakah nyerinya sampai menyebabkan anak tidak mau masuk sekolah ?

d. Apakah anak dapat tidur seperti biasa semalam ?

e. Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa ?

Beberapa anak dapat menentukan dengan tepat waktu mulainya nyeri yang dihubungkan

dengan peristiwa tertentu, umpamanya nyeri sesudah makan malam, sesudah berolah raga

atau sesudah bangun tidur. Anak dapat menunjukkan dan menceritakan perjalanan rasa

nyeri, kadang-kadang perlu juga bantuan informasi dari orang tuanya. Perlu diperhatikan

bahwa sebagian orang tua sering membesar-besarkan keluhan anaknya.

Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin lama makin

hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi apendiks, distensi

dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan

Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik

yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut

timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri

visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal Secara

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 13


klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan

menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik

yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang

lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.

 Muntah (rangsangan viseral), akibat aktivasi nervus vagus.

Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan

kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu

ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis apendisitis

akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang

berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria

juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.

 Obstipasi, karena penderita takut mengejan.

Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan

beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks

pelvikal yang merangsang daerah rectum.

 Panas (infeksi akut) , bila timbul komplikasi.

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi

bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam.

Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran

kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan

menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 14


supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi

pada arteri spermatika dan ureter.

b. Pemeriksaan Fisik

Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada tempat yang

bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. Kadang-kadang diagnosis salah pada

anak prasekolah, karena anak dengan anamnesis yang tidak karakteristik dan sekaligus sulit

diperiksa. Anak akan menangis terus-menerus dan tidak kooperatif.

 Inspeksi

Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung (+) bila

terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.

Pemeriksaan pada anak, perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja periksa. Anak

menunjukkan ekspresi muka yang tidak gembira. Anak tidur miring ke sisi yang sakit

sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri.

 Palpasi

Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan tangan yang mempunyai suhu

yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup dipanaskan dengan menggosok-

gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan yang dingin akan merangsang otot

dinding abdomen untuk berkontraksi sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal.

Terkadang kita perlu melakukan palpasi dengan tangan anak itu sendiri untuk

mendapatkan otot abdomen yang tidak tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau

sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit

tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas,

kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan

permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan tekanan yang ringan dapat

ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau adanya tumor yang superfisial. Waktu

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 15


melakukan palpasi pada abdomen anak, diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan

boneka atau usaha yang lain, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan

yang cepat dan kasar karena hal ini akan menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri

tekan tidak mungkin dilakukan

Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :

 Nyeri tekan (+) Mc.Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney

dan ini merupakan tanda kunci diagnosis

 Nyeri lepas (+), karena rangsangan peritoneum

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan

melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba

dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik

Mc Burney.

 Defens musculer (+) karena rangsangan m.Rektus abdominis

Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan

adanya rangsangan peritoneum parietale.

 Rovsing sign (+)

Penekanan perut sebelah kiri terjadi nyeri sebelah kanan, karena tekanan merangsang

peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang

meradang (somatik pain). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan

bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini

diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi

yang berlawanan.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 16


 Psoas sign (+)

Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum. Psoas sign terjadi

karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada

apendiks. Ada 2 cara memeriksa :

- Aktif  Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien

memfleksikan articulatio coxae kanan nyeri perut kanan bawah.

- Pasif  Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, nyeri

perut kanan bawah.

 Obturator Sign (+)

Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi telentang terjadi

nyeri (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut

difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut

menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium

 Perkusi, nyeri ketok (+)

 Auskultasi

Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat

appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis

apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik

usus.

 Rectal Toucher / Colok dubur , nyeri tekan pada jam 9-12

Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis pada

anak kecil karena biasanya menangis terus menerus.

Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa, maka anak

dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non narkotik ringan, seperti pentobarbital

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 17


(2,5 mg/kg) secara suppositoria rektal. Setelah anak tenang, biasanya setelah satu jam

dilakukan pemeriksaan abdomen kembali. Sedatif sangat membantu untuk melemaskan

otot dinding abdomen sehingga memudahkan penilaian keadaan intraperitoneal.

Diagnosis Banding

Beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding:

- limfadenitis mesenterica terutama pada anak-anak.

- penyakit pelvis pada wanita : inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik, ruptur kista,

korpus luteum, endometriosis externa.

- lebih jarang : penyakit Crohn, kolesistitis, perforasi ulkus duodenum, pneumonia kanan

bawah.

- jarang : perforasi karsinoma caecum, diverkulitis sigmoid.

Penatalaksanaan

1. Sebelum operasi

a. Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali

masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta

melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicuragai

adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainya. Pemeriksaan abdomen dan rektal

serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto

abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari keungkinan adanya penyulit lain.

Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan

bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

b. Intubasi (NGT) bila perlu

c. Rehidrasi

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 18


2. Apendektomi

Untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara teknik operatif mempunyai

keuntungan dan kerugian.

a. Insisi menurut Mc. Burney (grid incision atau muscle splitting incision). Sayatan

dilakukan pada haris yang tegak lrus pada garis yang menghubungkan spina iliaka

anterior superior (SIAS) dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik Mc.

Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot dinding perut dibelah

secara tumpul menurut arah serabutnya setelah itu akan tampak peritoneum perietal

(mengkilat dan berwarna buru keabu-abuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi

sekum. Sekum dikenal dari ukurannya yang besar, mengkilat, lebih kelabu/ putih,

mempunyai haustrae dan taenia kolo, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan

tidak mempunyai haustrae atau taenia koli. Basis apendiks dicarai pada pertemuan

ketiga taenia koli.

Teknik inilah yang paling sering dikerakan karena keuntungannya tidak terjadi benjulan

dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan

masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat.

Kerugiannya adalah lapangan operasi yang terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi

lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.

b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision). Lokasi dan arah sayatans ama dengan

Mc Burnet, hanya sayatannya langsung menembus oot dinding perut tanpa

memperdulikan arah serabut sampai tampak peritoneum. Keuntungannya adalah

lapangan panda operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah.

Sedangkan kerugiannya adalh diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapt

dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan

menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 19


yag menganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi, kadang-kadang ada

hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama.

c. Insisi pararektal. Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. Rektus abdominis

dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm keuntungannya, teknik

ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan

dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan ini secara tidak

langsung mengarah ke apendiks dan caecum, kemungkinan memotong saraf dan

pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan

penunjang.

3. Pasca Operasi

Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di

dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Angkat sonde lambung bila pasien

telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam

posisi Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu

pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau

perforasi umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.

Kemudian berikan minum mulai 15 ml/ jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/

jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan

lunak.

Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30

menit. Pada hari kedua apsien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Pada hari ketujuh

jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 20


4. Penatalaksanaan Gawat Darurat Non-Operasi

Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan seperti dalam peritonitis akut.

Dengan demikian, gejala apendisitis akut akan mereda, dan kemungkinan terjadinya

komplikasi akan berkurang.

Komplikasi

Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini

tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan mejadi progresif dan mengalami

perforasi.

Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut

kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus,

demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau

pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan

dengan pasti.

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk

menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebgai penunjang: tirah baring dalam posisi

Fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit,

pemberian penenang, pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian

antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan

syok septik secara insentif bila ada.

Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang

cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan

kombinasi antibiotik. Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang dan apendiktomi

dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 21


dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang meninjol ke arah rektum atau vagina dengan

fluktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi

yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali,

dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian

antibiotik kombinasi dengan drainase.

APENDISITIS PERFORATA

Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan keterlambatan

diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi apendiks.

Dilaporkan insiden perforasi 60% pada penderita di atas usia 60 tahun. Faktor yang

mempengaruhi tingginya insiden perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,

keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan

arterioskerosis. Insiden tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis,

anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendinginan

kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum

berkembang.

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan

demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan

kembung. Nyeri tekan dan defens muskuler di seluruh perut, mungkin dengan punctum

maksimum di regio iliaka kanan, peristalsis usus menurun sampai menghilang karena ileus

paralitik. Abses rongga peritonium bisa terjadi bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisasi

di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 22


intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai abses. Ultrasonografi dapat

membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan

abses hati, pneumonia basal atau efusi pleura. Ultrasonografi dan foto rontgen dada akan

membantu membedakannya.

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram

negatif dan positif serta kuman anaerob dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan

sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat

dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat

secara mudah, begitu pula pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini mulai banyak

dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi. Rongga

abdomen bisa dibilas dengan mudah. Dilaporkan hasilnya tidak berbeda dibanding dengan

laparotomi terbuka, tetapi keuntungannya lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih

baik. Karena ada kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan

penyalir subfasia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak

ada infeksi. Pada anak tidak usah dipasang penyalir intraperitonial karena justru

menyebabkan komplikasi infeksi lebih sering.

PERITONITIS

Definisi

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen

dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut

maupun kronis / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada

palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 23


Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang

melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering

disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti

rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang

steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung

dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Pada

wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba

falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat

fatal.

Etiologi

Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)

dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena ninfeksi intra abdomen,tetapi biasanya

terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehinggan

menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang

terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik.

Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan

abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites

pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%,

Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri

gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan

golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.

Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis

(infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama

disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 24


terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis

sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier

biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat

peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia,

misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural

dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).

Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat

fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang

menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.

Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-

pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami

kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat

menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat

memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari

kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi

cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya

meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami

oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut

meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta

oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 25


suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan

lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan

penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila

infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan

meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,

gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus

yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan

obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena

adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai

usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus

yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus

stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan

berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena

penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.

Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian

kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai

jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus

biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai

nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,

dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 26


Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di

epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi

lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang

mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul

mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam

lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut

menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang

fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan

peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi

keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami

bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,

dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi

infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks

sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun

general.

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen

dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga

intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga

tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.

Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 27


dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah

trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,

mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk

berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan

peritoneum.

Klasifikasi

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Peritonitis Bakterial Primer

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum

peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.

Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan

intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.

Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus

eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

B. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau

tractus urinarius. Pada umumnya organismE tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis

yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.

Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri

aerob dalam menimbulkan infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu

peritonitis. Kuman dapat berasal dari:

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 28


o Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum

peritoneal.

o Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan

kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.

o Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.

C. Peritonitis Tersier, misalnya:

 Peritonitis yang disebabkan oleh jamur

 Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.

 Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu,

getah lambung, getah pankreas, dan urine.

D. Peritonitis Bentuk Lain

 Aseptik/steril peritonitis

 Granulomatous peritonitis

 Hiperlipidemik peritonitis

 Talkum peritonitis

Tanda dan Gejala

Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau

pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.

Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai

sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita

secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi

peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri

akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu

pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 29


pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma

cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan

paraplegia dan penderita geriatric.

Pemeriksaan Penunjang

1. Test Laboratorium :

 Leukositosis

 Hematokrit meningkat

 Asidosis metabolik

2. X-Ray

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :

 Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.

 Usus halus dan usus besar dilatasi.

 Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

Penatalaksanaan

1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan kegagalan

sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk mengganti elektrolit

dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus

untuk mengurangi tekanan dalam usus.

2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan dapat

diupayakan.

3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi. Bila

perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase terhadap

abses.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 30


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari skenario di modul 1 blok 20 ini dan setelah menjalani proses diskusi, kami

dapat menyimpulkan bahwa Apendisitis, Perforasi dan Peritonitis bisa menjadi status

gawat darurat di bidang Bedah karena dapat menyebabkan komplikasi yang cukup berat

jika tidak ditangani secara cepat sehingga perlu diketahui semua penyebab yang dapat

menyebabkan hal di atas agar tata laksananya tepat sasaran.

B. Saran

Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca dapat

termotivasi untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya saat diklinik atau

rotasi klinik para mahasiswa dapat menerapkannya. Mengingat masih banyaknya

kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis

dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-

rekan angkatan 2008

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 31


DAFTAR PUSTAKA

Lawrence W., Surgical Diagnosis and Treatment, 10th edition, McGraw-Hill, 1994, p.610-
614

Sjamsuhidayat R., wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2, EGC, 2005, hal. 639-645.

Blok 20. Kegawatdaruratan Bedah – Angkatan 2008 32

Anda mungkin juga menyukai