Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidup sehat merupakan aspek yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Saat
ini banyak penyakit yang diderita tidak hanya disebabkan oleh kuman atau bakteri, tetapi
juga dapat disebabkan oleh kebiasaan atau pola hidup tidak sehat. Jantung korener,
kanker, stroke, diabetes, gigi kropos, dan tekanan darah tinggi merupakan contoh dari
penyakit-penyakit tersebut. Maka dari itu, salah satu strategi Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (Depkes RI) untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh
kebiasaan atau pola hidup tidak sehatadalah dengan cara menerapkan pembangunan
kesehatan yang berwawasan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan cara
mengkonsumsi makanan sehat dan gizi seimbang, melakukan aktifitas fisik dan olahraga,
serta hidup sehat tanpa rokok (Konferensi Nasional Promosi Kesehatan ke-4, 2006).
Dalam strategi tersebut dikemukakan bahwa hidup sehat tanpa rokok merupakan
salah satu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Tetapi, jumlah perokok di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun-ketahunnya yang dapat diketahui pada tahun 2002,
jumlah rokok yang dihisap oleh penduduk Indonesia mencapai 215 miliar batang. Sekitar
separuh dari jumlah perokok akan meninggal akibat rokok tersebut, karena rokok dapat
menimbulkan penyakit-penyakit seperti jantung koroner, gigi kropos, dan
masih banyak penyakit-penyakit lainnya terutama penyakit paru seperti kanker
paru.Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10-20 ml cairan yang berfungsi
sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernafas. Jumlah cairan
melebihi volume normal dan dapat menimbulkan gangguan, apabila cairan yang
diproduksi oleh pleura parietal atau visceral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfa.
Produksi cairan melebihi normal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa kelainan,
antara lain bisa disebabkan oleh kanker paru yang bermestatase ke rongga pleura. Efusi
atau penimbunan cairan melebihi normal di rongga pleura terjadi akibat peningkatan
permeabilitas pembuluh darah karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel
kanker pada pleura parietal atau visceral dan hal ini bisa disebut juga dengan efusi pleura
(Kurnia, 2002).

1
Peran fisioterapis dalam kasus ini sangat penting untuk memperbaiki status dan
fungsi respirasi dari pasien yang mengalami penyakit atau gangguan fungsi organ pernapasan
yang dikenal dengan nama efusi pleura.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja anatomi fisiologi Paru-paru?
2. Apa yang dimaksud dengan Efusi Pleura ?
3. Apa penyebab/etiologi terjadinya Efusi Pleura ?
4. Bagaimana patologi Efusi Pleura?
5. Bagaimana manifestasi klinis Efusi Pleura?
6. Bagaimana penatalaksanaan FT pada Efusi Pleura?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi sistem Paru-paru.
2. Untuk mengetahui pengertian dari Efusi Pleura.
3. Untuk mengetahui penyebab / etiologi terjadinya Efusi Pleura.
4. Untuk mengetahui patologi Efusi Pleura.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis Efusi Pleura.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan FT pada Efusi Pleura.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi Fisiologi
1) Anatomi saluran pernapasan

Saluran pernapasan terdiri dari saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan
bawah. Saluran pernapasan atas terdiri dari cavum nasalis, sinus paranasal, faring dan
laring, sedangkan saluran pernapasan bawah terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus dan
paru-paru yang berujung pada alveolus. Saluran napas bagian atas mempunyai fungsi
utama yaitu: (1) air condition, yaitu saluran yang meneruskan udara menuju saluran
napas bagian bawah untuk pertukaran gas, (2) protection, yaitu sebagai pelindung saluran
napas bagian bawah agar terhindar dari masuknya benda asing, dan (3) warming, filtrasi,
dan humidifikasi, yaitu sebagai bagian yang menghangatkan, menyaring, dan memberi
kelembapan udara yang dihirup.
Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran
mukosa yang bersilia, sehingga ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Partikel-partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel
yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus. Selanjutnya udara akan dilembabkan dan
dihangatkan dengan panas yang berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya akan
pembuluh darah, sehingga ketika udara udara mencapai saluran napas bawah hampir
bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembaban mencapai 100% (Soemantri,
2007).
Setelah itu udara mengalir turun melalui trakea, bronkus, dan bronkiolus, dan
sampai duktus alveolus. Trakea adalah sebuah tabung berdiameter 2,5 cm dengan
panjang 11,25 cm yang dimulai dari leher sebagai lanjutan dari laring pada batas bawah
kartilago cricoidea setinggi vertebra cervicalis VI (Snell, 2012). Trakea tersusun atas 16-
20 cincin kartilago hialin berbentuk huruf C yang melekat pada dinding trakea dan
berfungsi melindungi jalan udara dan mencegah terjadinya kolaps atau ekspansi
berlebihan akibat perubahan tekanan udara yang terjadi dalam sistem pernapasan. Pada
cincin ini terdapat epitel silia tegak yang mengandung banyak sel goblet yang
mensekresikan mukus. Trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan yang

3
tidak simetris. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar, terdiri dari 6-8 cincin
merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal dan mempunyai 3
cabang, sedangkan bronkus kiri lebih panjang dan lebih sempit, terdiri dari 9-12 cincin
dengan sudutnya lebih tajam dan memiliki 2 cabang. Bentuk anatomi yang khusus ini
memiliki implikasi klinis tersendiri seperti jika ada benda asing yang terinhalasi, maka
benda itu lebih memungkinkan berada di bronkus kanan dibandingkan bronkus kiri
karena arah dan lebarnya.
Percabangan antara bronkus utama kiri dan kanan disebut sebagai karina. Karina
memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika
dirangsang. Cabang yang lebih kecil dari bronkus disebut bronkiolus. Bronkiolus
memiliki struktur yang berbeda dari bronkus. Struktur bronkiolus tidak memiliki
kartilago, didominasi oleh otot polos dan serabut elastik serta memiliki jumlah sel goblet
dan glandula mukosa yang lebih sedikit. Disamping itu epitel pseudostratified diganti
dengan sel epitel cuboid yang bersilia. Semakin mendekati ke arah alveolus silianya
semakin berkurang (Soemantri, 2007).
Bronkiolus kemudian bercabang menjadi bronkiolus terminalis. Bronkiolus
terminalis memiliki diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin
tulang rawan, tetapi dikeliligi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh
saluran udara ke bawah sampai tingkat Bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar
udara ke tempat pertukaran gas paru-paru. Dibawah bronkiolus terminalis terdapat
asinus yang merupakan unit fungsional paru sebagai tempat pertukaran gas. Asinus terdiri
dari bronkiolus respiratorius dan duktus alveolus yang dibatasi oleh alveolus dan sakus
alveolus yang merupakan struktur akhir paru. Setiap paru terdiri dari 300 juta sakus
alveolus. Kepadatan sakus alveolus inilah yang memberi bentuk paru seperti spons
(Muttaqin, 2008).
Di alveolus, terdapat 2 tipe sel epithelial pneumocytes yaitu pneumocytes tipe I
dan tipe II. Sel tipe I merupakan sel yang sitoplasmanya besar dan merupakan sel utama
yang melapisi alveolus. Sel tipe II disebut granular pneumocytes, lebih tebal dan
mengandung sejumlah badan inklusi lamelar yang memproduksi surfaktan yaitu zat yang
membantu menurunkan tegangan permukaan alveolus. Tanpa surfaktan yang melapisi

4
permukaan alveolus maka akan terjadi gangguan mengembang dan mengempisnya
alveolus (Ikawati, 2011).

Trakea, bronkus,bronkiolus dan sakus alveolus (Sridianti, 2015 ).


2) Anatomi paru-paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada (mediastinum), dilindungi oleh struktur
dari os clavicula. Rongga dada dan perut dibatasi oleh diafragma. Masing-masing paru-
paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-
struktur lain di dalam rongga dada. Paru kanan lebih besar dari paru-paru kiri. Paru-paru
kanan dibagi menjadi 3 lobus yaitu lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior,
sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi 2 lobus yaitu lobus superior dan inferior. Setiap
lobus paru-paru ini dibagi lagi menjadi bagian-bagian yang disebut bronchopulmonary
segment (Snell, 2012).

5
Bronchopulmonary segment (Pokhrel, 2013).

Paru-paru dibungkus oleh selaput yang disebut pleura. Pleura terdiri dari dua
bagian yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura parietalis melingkupi
permukaan toraks yang menghadap diafragma dan aspek lateral dari mediastinum,
sedangkan pleura viseralis menutupi seluruh permukaan luar paru dan memanjang sampai
kedalam fissura interlobaris. Antara kedua pleura ini terdapat ronggga yang disebut
kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru
dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan yang berguna untuk
meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada
ketika bernafas (Snell, 2012).

Area pleura parietalis dan viseralis (Apriyani, 2010).

1. Volume dan Kapasitas Paru


Menurut Guyton (2007) yang dikutip oleh Syafrullah (2015) volume paru terbagi menjadi
4 bagian, yaitu:
a) Volume tidal
Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap kali
pernafasan normal. Besarnya ± 500 ml pada rata-rata orang dewasa.
b) Volume cadangan inspirasi
Volume cadangan inspirasi adalahvolume udara ekstra yang diinspirasi setelah volume
tidal, dan biasanya mencapai ± 3000 ml.

6
c) Volume cadangan ekspirasi
Volume cadangan ekspirasi adalah jumlah udara yang masih dapat dikeluarkan dengan
ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal, pada keadaan normal besarnya ± 1100
ml.
d) Volume residu
Volume residu adalah volume udara yang masih tetap berada dalam paru-paru setelah
ekspirasi kuat. Besarnya ± 1200 ml.

Sedangkan kapasitas paru dibagi menjadi enam bagian, yaitu:

a) Kapasitas inspirasi
Kapasitas inspirasi adalah penjumlahan antara volume tidal dan volume cadangan
inspirasi. Besarnya ± 3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang dapat dihirup
seseorang mulai pada tingkat ekspirasi normal dan mengembangkan parusampai jumlah
maksimum.
b) Kapasitas residu fungsional
Kapasitas residu fungsional adalahpenjumlahan antara volume cadangan inspirasidan
volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang tersisa dalam
paru pada akhir ekspirasi normal.
c) Kapasitas vital
Kapasitas vital adalahpenjumlahan antara volume cadangan inspirasi, volume tidal, dan
volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah udara maksimal
yang dapat dikeluarkan dari paru,setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal
dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-banyaknya.
d) Forced vital capacity (FVC)
Forced vital capacity (FVC) adalah volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-
paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Hasil ini
didapat setelah seseorang menginspirasi dengan usaha maksimal dan mengekspirasi
secara kuat dan cepat.
e) Forced expiratory volume in one second (FEV1)
Forced expiratory volume in one second (FEV1) adalah volume udara yang dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum per satuan detik.Hasil ini didapat setelah
seseorang terlebih dahulu melakukan pernafasan dalam dan inspirasi maksimal yang
7
kemudian diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya dan semaksimal mungkin, dengan
cara ini kapasitas vital seseorang tersebut dapat dihembuskan dalam satu detik.
f) Kapasitas paru total
Kapasitas paru total adalah penjumlahan antara kapasitas vital dan volume residu.
Besarnya ± 5800 ml adalah volume maksimal dimana paru dikembangkan sebesar
mungkin dengan inspirasi paksa.

Volume dan kapasitas paru (Tortora, 2012 dikutip oleh Syafrullah, 2015).

B. Tinjauan Kasus : Pengertian Efusi Pleura


Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleura, biasanya terjadi
karena akibat dari penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mingkin
merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah ataupun pus. Secara normal,
ruang pleuara mengandung sejumlah kecil cairan 5 sampai 15 ml dan cairan itu berfungsi
sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.
(Puspita, et al., 2017).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan pariental, dan proses penyakit prrimer jarang terjadi tetapi
biasanya merupakan penyakit sekunder.

8
C. Etiologi
Penyebab efusi pleura sendiri sangatlah beragam, di negara bagian barat efusi
pleura dapat disebabkan karena gagal jantung kongesti, sirosis hati, keganasan, dan
pneumonia bakteri, sedangkan dinegara berkembang seperti Indonesia banyak
disebabkan karena infeksi (Puspita et al., 2017).
Penyakit ganas menyumbang 41% dan tuberculosis menyumbang 33% dari kasus
efusi pleura eksudatif, 2 pasien (2%) memiliki konsistensi tuberculosisdan keganasan
yang dianalisis dengan kelompok ganas. Parapneumoni efusi ditemukan hanya6% kasus,
penyebab lain gagal jantung kongesti 3%, komplikasi dari operasi by pass coroner 2%,
rheumatoid atritis 2%, erythematous lupus sistemik 1%, kolesistitis aut 1%, etiologi tidak
diketahui 8% (Mattison et all, 2011).
Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk
melumasi permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan
membungkus paru-paru). Bisa terjadi 2 jenis efusi yang berbeda:
1. Efusi pleura transudativa, biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan
normal di dalam paru-paru. Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan
adalah gagal jantung kongestif.
2. Efusi pleura eksudativa terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali
disebabkan oleh penyakit paru-paru. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru
lainnya, reaksi obat, asbetosis dan sarkoidosis merupakan beberapa contoh
penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa.

9
D. Proses Patologi
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi
seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh
kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik
elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis,
sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga presentase
cairan disini mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat
inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena
(gagal jantung). Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat
pleura. Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai
peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid yang
menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar
langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini
juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah
sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.

E. Gambaran Klinis
Menurut Nettina, (1996 : 229) gambaran klinis efusi pleura adalah nyeri dada,
dispnea (nyari saat bernafas), batuk, dullness bila dilakukan perkusi pada area
penumpukan cairan, suara nafas melemah atau hilang, pada area penumpukan cairan.
Menurut Hudak dan Gallo (1998 : 560) adalah dispnea bervariasi nyeri pleuritik ruang
interkosta menonjol pada efusi yang berat, suara nafas berkurang, vokal fremitus
menurun.

F. Pemeriksaaan Diagnostik
Adapun beberapa pemeriksaan yang menunjang adanya efusi Plaura adalah :
1. Foto Rontgen Foto thorax dapat mengetahui adanya cairan dalam cavum plaura
walaupun cairan masih sedikit pada efusi plaura ringan.
2. Ultra Sonografi, untuk mengetahui lokasi cairan

10
3. Torakosintesis Suatu tindakan pengambilan cairan plaura untuk membedakan cairan
tersebut transudat, eksudat, atau pas.
4. Blood gas Analysis. Variabel tergantung dari derajat fungsi paru dipengaruhi oleh
gangguan mekanik pernafasan dan kemampuan mengkompensasi P4CO2 kadang
meningkat, P4CO2 mungkin normal atau menurun. Saturasi O2 biasanya menurun
(Tucker, 1998 : 265).

11
BAB III

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Anamnesis
1. Anamnesis Umum
Nama : Tn. A
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Pekerjaan : Buruh pabrik

2. Anamnesis khusus
Keluhan utama : Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah dada
disertai batuk dan sesak napas.
Lokasi keluhan : Daerah dada sebelah kanan
Lamanya keluhan : 2 bulan yang lalu
Kapan keluhan : Tidak terduga kadang – kadang muncul.
RPP Sekarang : Pasien datang disertai keluhan batuk yang
berlangsung sepanjang hari, kemudian memberat sejak munculnya keluhan
sesak nafas. Batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan, bila dahak keluar
biasanya berwarna kuning kental. Batuk darah disangkal oleh pasien. Namun
sebelum itu pasien mengeluhkan sempat demam selama seminggu namun
hanya meminum obat penurun panas biasa. Pasien dirujuk ke fisioterapi
setelah dilakukan operasi pemasangan WSD (Water Seal Drainage) untuk
mengeluarkan cairan pada rongga pleura.
Riwayat Terdahulu : Pasien tidak memiliki riwayat kelainan paru-paru
sebelumnya
Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan
penyakit yang sama
Riwayat Kebiasaan : Pasien mengaku merokok sudah lama dan bekerja
di lingkungan yang mayoritas pekerjanya merokok, selain itu pasien memiliki
kebiasaan tidur di lantai pada malam hari menggunakan kipas angin.

12
3. Pemeriksaan vital sign
Pernapasan : 27 kali / menit
Denyut nadi : 96 kali / menit
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Suhu : 38°C
B. Inspeksi
1. Inspeksi statis : wajah pasien nampak lesu, bila diperhatikan dada
pasien mengalami barrel chest (dada tong), bahu tidak simetris, adanya
luka bekas insisi pada dada sisi apical anterior.
2. Inspeksi dinamis : pasien nampak kesulitan saat bernapas, gerak dada
sisi sakit (kanan) tertinggal.
C. Pemeriksaan dan Pengukuran Fisioterapi
 Pemeriksaan Fungsi Dasar
1. Aktif
Fleksi – ekstensi thorakal shoulder
Protraksi – elevasi shoulder girdle
Abduksi – elevasi – depresi shoulder gridle
2. Pasif
Fleksi – ekstensi thorakal shoulder
Protraksi - retraksi shoulder gridle
Abduksi – elevasi shoulder gridle
3. TIMT
Fleksi – ekstensi thorakal shoulder
Protraksi - retraksi shoulder gridle
Abduksi – elevasi shoulder gridle
 Pemeriksaan Spesifik
1. Palpasi
a. Otot-otot asesoris pernapasan
Pasien mengalami spasme pada otot bantu pernapasan, terutama pada otot
sternocledomastoideus, upper trapezius, pectoralis major dan pectoralis
minor.

13
b. Mobilitas Thorax
Mobilitas thoraks adalah suatu pemeriksaan untuk mengetahui gerakan
simetris chest pasien dan pengembangan tiap bagian chest selama inspirasi
dan ekspirasi.
1) Expansi Upper Thoraks
- Pasien tidur terlentang
- Kedua thumb diletakkan di mid sternal line (sternal notch) pasien
dan Jari-jari ekstensi di atas kedua clavicula
- Instruksikan pasien untuk full ekspirasi lalu deep inspirasi. Lalu
merasakan apakah simetris atau tidak.
2) Expansi Middle Thoraks
- Pasien tidur terlentang
- Kedua ujung thumb diletakkan di processus Xyophoideus dan jari-
jari di ekstensikan ke lateral costa pasien lalu instruksikan pasien
unuk full ekspirasi lalu deep inspirasi. Lalu kita merasakan apakah
simetris atau tidak

3) Expansi Lower Thoraks


- Pasien dalam posisi duduk
- Kemudian kedua ujung thumb diletakkan di proc. Spinosus (sejajar
lower costa) dan jari-jari diekstensikan sejajar costa kemudian pasien
ekspirasi full lalu deep inspirasi dalam .kemudian kita merasakan
apakah simetris atau tidak.

Hasil Pemeriksaaan :
- Ketidaksimetrisan toraks (Upper thoraks, segmen apical anterior
bagian kanan)
- Terjadi penurunan ekspansi pada upper thoraks

c. Pengukuran Pengembangan Thoraks


Dilakukan menggunakan meteran maupun secara manual untuk mengetahui
kemampaun pengembangan thoraks.

14
2) Upper Chest Expansi (Axilla)
a. Pasien berdiri rileks, lalu lingkarkan meteran pada dada pasien tepat
pada axilla pasien.
b. Instruksikan pasien untuk menghembuskan nafas/mengosongkan paru-
paru , lalu sesuaikan meteran dengan ukuran pasien, catatlah hasilnya
setelah itu instruksikan pasien untuk menarik nafas dan hitung
perubahan ukuran yang terjadi.
3) Middle Chest Exspansi (Xyphoid)
a. Pasien berdiri rileks lalu lingkarkan meteran pada dada pasien tepat
sejajar dengan proc. Xyphoid pasien.
b. Instruksikan pasien untuk menghembuskan nafas/mengosongkan paru-
paru , lalu sesuaikan meteran dengan ukuran pasien. Catatlah hasilnya
setelah itu instruksikan pasien untuk menarik nafas dan hitung
perubahan ukuran yang terjadi.
4) Lower Chest Expansi (subcotal)
a. Pasien berdiri rileks, lalu lingkarkan meteran pada dada pasien tepat
sejajar dengan subcotal pasien.
b. Instruksikan pasien untuk menghembuskan/mengosongkan paru-paru,
lalu sesuaikan meteran dengan ukuran pasien. Catatlah hasilnya
setelah itu istruksikan pasien untuk menarik nafas dan hitung
perubahan ukuran yang terjadi.

Hasil pemeriksaan :

 Upper chest : ekspirasi: 75cm ; inspirasi: 76cm  selisih : 1cm (Tidak


Normal)
 Middle chest : ekspirasi: 74cm ; inspirasi: 78cm  selisih: 4cm (Normal)
 Lower chest : ekspirasi: 65cm ; inspirasi: 70  selisih: 5cm (Normal)

15
2. Auskultasi
Suatu tekhnik pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop. Untuk
mendengar suara khususnya suara nafas. Bunyi nafas normal dan abnormal
terjadi akibat gerakan udara di airway selama inspirasi dan expirasi.
Prosedur :
Posisi pasien duduk comfortable dan rileks , stetoskop diletakkan
sejajar dengan T-2 , T-6 , T-10 dinding dada kiri dan kanan thorax lalu
anjurkan pasien deep inspirasi dan ekspirasi dengan perlahan.

Hasil pemeriksaan :

Terdengar bunyi pernapasan abnormal yaitu terdengar bunyi Ronchi (paru


kanan,upper lobus anterior segmen apical)

3. Perkusi
Perkusi adalah tekhnik pemeriksaan ketukan atau pukulan dengan jari-
jari tangan yang dilakukan untuk memeriksa atau evaluasi penekanan paru-
paru khususnya ratio udara dalam paru-paru.
Prosedur :
 Tempatkan jari tengah lurus diantara space intercosta dan ujung jari
tengah tangan yang lain mengetuk pelan jari intercosta tersebut. Prosedur
atau ketukan diulang beberapa kali pada beberapa tempat di bagian area
kiri dan kanan pada anterior dan posterior dinding dada.
 Bunyi resonan adalah normal
 Bunyi dull dan datar bila ada cairan (sekresi) atau tumor dalam paru –
paru
 Bunyi Hyperresonan jumlah udara meningkat dalam thorax

Hasil pemeriksaan:

 Terdengar bunyi pernapasan abnormal, yaitu terdengar bunyi dull (paru


kanan,upper lobus anterior segmen apical)

16
4. Fremitus
Fremitus merupakan getaran pada dinding dada pasien yang dihasilkan
oleh pita suara melalui system broncho pulmonal. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk memeriksa kualitas jaringan dibawahnya.
 Posisi terapis : Dibelakang pasien
 Posisi pasien : Duduk
 Prosedur : Letakkan kedua telapak tangan terapis secara simetris
pada dinding dada bagian belakang pasien. Instruksikan pasien untuk
Tarik nafas dan tahan sebentar lalu mengucapkan “ninety nine” ,lakukan
pada bagian upper, middle dan lower.

Hasil pemeriksaan: Fremitus melemah khususnya pada bagian upper thoraks

5. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen
a. Jenis : Foto Thoraks PA
b. Deskripsi : Tampak perselubungan yang mengawan di daerah basal paru
kanan. Tampak Infiltrat di apex pulmo. Corakan Bronkovaskular meningkat
c. Kesan : Koch Pulmonale, Efusi Pleura Dextra

B. Diagnosa Fisioterapi
“Gangguan Aktifitas Fisik dan Fungsional et causa Efusi Pleura”

C. Problematik Fisioterapi
1. Anatomical functional / impairmet
a. Penurunan ekspansi thoraks
b. Pola pernapasan abnormal (sesak nafas)
c. Spasme otot bantu pernafasan
d. Nyeri akibat luka bekas pemasangan WSD

17
2. Activity limitation
a. Kesulitan merubah posisi dari baring ke duduk akibat sesak
b. Kesulitan untuk melakukan aktifitas sehari-hari
3. Participation restriction
a. Adanya keterbatasan dalam melakukan pekerjaan dan aktivitas sosial lainnya

D. Tujuan Intervensi Fisioterapi


1. Jangka pendek
a. Meningkatkan mobilitas thoraks
b. Mengurangi sesak nafas
c. Mengurangi spasme otot bantu pernafasan
2. Jangka panjang
Memperbaiki, Memelihara dan Meningkatkan aktivitas fisik dan fungsional
pasien.

E. Intervensi Fisioterapi
1. Mobilisasi sangkar thoraks
Persiapan pasien : tidur terlentang
Pelaksanaan : pasien diberi contoh oleh Terapis kemudian disuruh untuk
mengulanginya, pasien disuruh mengambil nafas panjang melalui hidung bersamaan
dengan itu pasien menggerakkan kedua lengannya ke atas kemudian disuruh untuk
menghembuskan nafasnya secara perlahan melalui mulut sambil kedua lengannya
diturunkan. Ulangi 1-8 kali.
2. Deep breathing exercise
Deep Breathing merupakan latihan pernapasan dengan teknik bernapas secara
perlahan dan dalam, menggunakan otot diafragma, sehingga memungkinkan abdomen
terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Smeltzer, et al., 2008).
Tujuan : untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk
meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan
ansietas, menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna, tidak
terkoordinasi serta mengurangi kerja bernafas (Brunner & Suddarth, 2002).

18
Teknik :
Fase 1: inspirasi, menarik udara masuk ke dalam paru melalui saluran hidung.
Fase 2: beri sedikit jeda sebelum mengeluarkan udara dari paru, selama 3 detik
berikutnya yang akan menimbulkan daya letting elastisitas dinding paru melalui
saluran masuknya udara tersebut
Fase 3: ekspirasi, mengeluarkan udara dari paru melalui saluran masuknya udara
tersebut.
Fase 4: beri jeda kembali selama 2 detik setelah mengeluarkan udara sebelum mulai
menghirup nafas kembali.
Pernafasan diafragma dilakukan selama 5 atau 15 menit setiap kali, satu atau dua
sehari selama dua minggu.
3. Apical breathing expansi
Apikal breathing ekspansi adalah suatu teknik untuk memelihara dan
meningkatkan pengembangan paru dan thoraks bagian apikal.
Prosedur :
- Posisikan pasien secomfortable mungkin
- Letakkan kedua tangan pada bagian upper thoraks
- Instruksikan pasien menarik nafas/inspirasi dan melawan tahanan yang
diberikan.
- Ulangi beberapa kali.
- Untuk teknik kontra lateral dan ipsi lateral dilakukan seperti instruksi di
atas hanya tangan fisioterapis di sesuaikan dengan daerah yang akan di
latih.
4. Stretching otot bantu pernapasan
Tujuan : untuk merileksasikan otot yang mengalami spasme
Teknik : lakukan kontraksi pada salah satu otot bantu pernapasan kemudian
setelahnya penguluran agar otot menjadi rileks.

5. Infra Red Rays (IRR)


Infra Red Rays (IRR) ini aktif dalam mengurangi spasme otot bantu pernafasan.
Karena infra red ini mempengaruhi suhu jaringan untuk mengurangi nyeri,

19
peradangan dan memungkinkan merilekskan pergerakan otot. Efek bilogis yang
menggunakan cahaya infra merah bergelombang panjang dikaitkan dengan
peningkatan suhu jaringan oleh energi kinetik dari molekul, sedangkan cahaya infra
merah bergelombang pendek dikaitkan untuk pemanasan selektif lapisan kulit yang
lebih dalam dan jaringan subkutan, dengan demikian menyebabkan efek terapeutik
positif.

F. Evaluasi
a. Pengembangan thoraks mulai meningkat.
b. Sesak nafas sedikit berkurang
c. Spasme otot bantu pernafasan mulai berkurang.

20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Efusi pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura yang diakibatkan
oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.Efusi pleura selalu
abnormal dan mengindikasikan terdapat penyakit yang mendasarinya.Efusi pleura dibedakan
menjadi eksudat dan transudat berdasarkan penyebabnya. Rongga pleura dibatasi oleh pleura
pareital dan pleura visceral.

Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan esudat, bergantung
pada mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi pleura tersebut. Cairan
transudat dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan onkotik,
sementara eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi pleura ataupun akibat berkurangnya
kemampuan drainase limfatik. Pada kasus-kasus tertentu cairan pleura dapat memiliki
karakteristik kombinasi dari transudat dan eksudat.Gambaran klinis efusi pleura adalah
Nyeri dada, dispnea (nyari saat bernafas), batuk, dullness bila dilakukan perkusi pada area
penumpukan cairan, suara nafas melemah atau hilang, pada area penumpukan cairan.

Pemeriksaan spesifik pada kasus efusi pleura terdiri atas palpasi, fremitus, perkusi,
auskultasi dan derajat sesak nafas menggunakan skala borg. Adapun penatalaksanaan
fisioterapi pada kasus ini adalah mobilitas thoraks, apical breathing expansi, batuk efektif,
postural drainage, dan Infra Red Rays (IRR).

b. Saran
Penulis menyarankan agar informasi mengenai efusi pleura lebih ditingkatkan baik dalam
bentuk buku maupun informasi melalui internet agar mahasiswa atau siapa saja dapat
dengan mudah mengakses informasi mengenai efusi pleura ini.

21
DAFTAR PUSTAKA

Jeremy, et al. Efusi Pleura.At a Glance Medicine Edisi kedua.EMS.Jakarta : 2008.

Jeremy, et al. Penyakit Pleura.At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua.EMS.Jakarta : 2008.

Khairani, R. (2012). Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. Jurnal Respirasi
Indo Vol.32 , 155-156.

Pryor, J. A., Webber, B. A. 1999. Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problems: Second

Edition, Churchil Livingston. London

Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Regio: Buku Kedokteran EGC. Jakarta

22

Anda mungkin juga menyukai