Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Makanan, obat-obatan, gigitan serangga, maupun kondisi


ekstrem dapat menimbulkan reaksi hipersensitifitas. Hipersensitifitas
merupakan respon imun yang berlebihan sehingga dapat merusak
jaringan tubuh. Gell dan Coombs dibagi menjadi reaksi tipe 1 atau tipe
cepat yaitu reaksi yang muncul segera setelah terpajan alergen, reaksi
tipe 2 atau reaski sitotoksik yang terjadi karena pembentukan IgG dan
IgM sehingga dapat mengaktifkan komplemen dan mengakibatkan lisis,
reaksi tipe 3 atau reaksi kompleks imun yang terjadi akibat
pembentukan kompleks antigen antibodi, dan reaksi tipe 4 atau reaksi
hipersensitivitas lambat yang timbul > 24 jam setelah terpajan antigen.
(Haryanto et.all, 2009: 367)

Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh


Charles Richet dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi
hipersensitifitas tipe cepat yang melibatkan lebih dari satu sistem organ.
Anafilaksis adalah reaksi alergi yang dapat menyebabkan kematian. Di
amerika serikat, setiap tahunnya diperkirakan terdapat 150 kematian
akibat reaksi alergi terhadap makanan. Sedangkan 400-800 kematian
setiap tahunnya karena alergi terhadap antbiotik. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP Sanglah pada tahun
2007-2010, baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang
sama untuk mengalami reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak
disebabkan oleh obat sebesar 63,9%. (Johannes Ring et.all, 2004: 257)

Pada pelayanan kesahatan, anafilaksis tidak dipertimbangkan


sebagai penyebab kematian. Kematian akibat anafilaksis sering tidak
terdiagnosis karena tidak adanya riwayat yang mendetail dari saksi
mata, pemeriksaan laboratorium yang sedikit, dan pemeriksaan post
mortem yang tidak spesifik. Reaksi anafilaktik dapat terjadi dimana
saja, di tempat praktek, di meja operasi, bahkan di rumah pasien sendiri
sehingga edukasi kepada pasien dan keluarga merupakan salah satu
upaya preventif dalam kasus ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah melalui kunjungan ke rumah pasien. (Estelle et.all 2011:13-37)

B.Rumusan Masalah

1.Mahasiswa dapat mengartikan definisi dari syok anafilaksis

2.Mahasiswa dapat mengklasifikasikan syok anafilaksis

3.Mahasiswa dapat mengerti epidemiologi syok anafilaksis

4.Mahasiswa dapat mengetahui etiologi dari syok anafilaksis

5.Mahasiswa dapat mengetahui patologis dari syok anafilaksis

6.Mahasiswa dapa mengetahui pemeriksaan penunjang dari syok


anafilaksis

7.Mahasiswa mengetahui penatalaksanaa dari syok anafilaksis

C.Tujuan Masalah

Agar mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang syok


antiafilaksis
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Syok Anafilaksis


Syok anafilaksis dinyatakan sebagai suatu reaksi
hipersensitivitas general atau sistemik yang serius dan mengancam
nyawa dan sebuah reaksi alergi yang serius dengan onset cepat dan
dapat menyebabkan kematian. (Suryana,Ketut et all. 2013: 577-588)
European Academy of Allergology and Clinical Immunology No
menclature Committee mendefinisikan bahwa anafilaksis adalah reaksi
hipersensitivitas yang berat, mengancam nyawa, bersifat general atau
sistemik dan dikarakteristikan oleh progresivitas perburukan yang cepat
dan mengancam pada jalan nafas disertain perubahan pada kulit dan
mukosa. (Suryana,Ketut et all. 2013: 577-588)
2. Klarifikasi
klasifikasi derajat klinis reaksi hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown
(2004) yaitu.
1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti:
eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
2. Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal)
seperti : sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre
syncope), rasa tidak enak di tenggorokan dan dada serta nyeri perut.
3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti:
sianosis (SpO2 ≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa),
kolaps, penurunan kesadaran dan inkontinensia. Reaksi dengan derajat
ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas akut, sedangkan untuk
derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis anafilaksis.
3. Epidemiologi Syok Anafilaksis
Imbawan (2010) mengatakan prevalensi reaksi anafilaksis
terhadap gigitan serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap
penggunaan obat-obatan berbedabeda tergantung dari jenis obatnya,
seperti penisilin dengan prevalensi sebesar 2%. Di RSUP tahun 2007-
2010 pencetus reaksi hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar
6,9% yang sebagian besar terjadi melalui jalur oral, diikuti oleh
makanan sebanyak 27,8%.
Menurut World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok
infantile, remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan
kerentanan terhadap anafilaksis. Penyakit concomitant seperti asma
berat yang tidak terkontrol, mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan
penggunaan medikasi seperti beta blocker terbukti meningkatkan risiko
anafilaksis fatal.

4. Etiologi Syok Anafilaksis


Estele (2013) Mengatakan faktor pemicu timbulnya anafilaktik
pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah sebagian besar oleh
makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu
timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua.
Sebagian besar pemicu spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat
universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa negara di Eropa dan
Asia, susu sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab
tersering.
Di beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor
pemicu tersering. Obat-obatan, seperti antivirus, antimikroba, anti jamur
adalah penyebab paling sering reaksi anafilaksis di dunia. Reaksi
anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen kemoterapi, seperti carboplatin,
doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain yang dapat menyebabkan
reaksi ini adalah radiocontrast media, latex yang biasa ditemukan di
sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter, kateter, torniket, udara yang
terlalu dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host, dosis, kecepatan,
cara, dan waktu paparan dapat mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana
paparan oral lebih jarang menimbulkan reaksi.
5. Patofisiologis Syok Anafilaksis
Estele (2013) mengatakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau
reaksi cepat dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen.
Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase
aktivasi, dan fase efektor. Fase sensitisasi dimulai dari masuknya
antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel imun non spesifik
kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan
merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah
antibodi IgE.
Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE
yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali
dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan
diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut
dengan fase aktivasi. Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada
permukaan sel mast dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan
kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel mast dan
basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang
menimbulkan aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan
granul-granul yang penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan sel.
Terjadilah eksositosis dan isi granul yang mengandung mediator
dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Adanya degranulasi sel mast
menimbulkan pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin, trptase,
kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan kemampuan
degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis
pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor
6. Tanda dan Gejala

Estelle et.all (2013) mengatakan tanda dan gejala dari anafilaksis dapat
berupa:

1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus) Kemerahan, gatal, urtikaria,


angioedema, pilor erection Gatal di periorbital, eritema dan edema,
eritema konjunctiva, mata berair Gatal pada bibir, lidah, palatum,
kanalis auditori eksternus, bengkak di bibir, lidah, dan uvula. Gatal di
genital, telapak tangan dan kaki.

2. Respirasi (70%) Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea,


pilek Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk
kering.dry staccato cough Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada
terasa terikat, wheezing, sianosis, gagal nafas.

3. Gastrointestinal (45%) Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.

4. Sistem kardiovaskuler (45%) Nyeri dada, takikardia, bradikardia


(jarang), palpitasi, hipotensi, merasa ingin jatuh, henti jantung.

Manifestasi primer pada jantung tampak dari perubahan EKG yaitu


Tmendatar, aritmia supraventrikular, AV block.

5. Sistem saraf pusat (15%) Perubahan mood mendadak seperti


iritabilitas, sakit kepala, perubahan status mental, kebingungan.

6. Lain-lain Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena


kontraksi uterus.

7. Penatalaksanaan
Estelle et.all (2013) mengatakan penatalaksanaan reaksi anafilaksis
sebagai berikut.
1. Evaluasi ABC
2. Posisikan pasien dengan posisi elevasi ekstremitas atas
3. Beri 02 100% 6-8 L/menit (distress nafas)
4. Adrenalin 1:1000 larutan (1mg/ml) disuntikkan 0,3-0,5 ml IM atau
0,01 mg/kgBB Akses infus (14atau 16 gauge) intravena dengan normal
salin
5. Bila tidak ada perbaikan, pemnerian adrenalin dapat diulang 10-15
menit kemudian dengan dosis maksimum 0,5 mg untuk dewasa dan 0,3
mg untuk anak-anak
6. Medikasi lini kedua yang dapat digunakan adalah H1 antihistamin
seperti intravena chlorpheniramine (10 mg) atau dipenhidramin (25-50
mg), cetirizine intra oral; β2 adrenergic agonists, seperti salbutamol
inhaler (2,5 mg/3 mL); glukokortikoid seperti hydrocortison 100-500
mg IM atau IV, metylprednisolon 125-250 mg IV, oral prednisone.
7. Observasi 2-3 kali dalam 24 jam dan hindari agen penyebab.

8. Pencegahan berulangnya reaksi anafilaksis


- Terapi terhadap penyakit yang mendasari seperti asma, penyakit
kardiovaskuler, mastocytosis dan penyakit lainnya yang dapat
memeperberat reaksi anafilaksis.
- Menghindari pemicu dan imunomodulasi Pasien yang alergi terhadap
makanan tertentu harus menghindari makanan yang dapat memicu
reaksi. WAO belum merekomendasikan penggunaan oral
immunotherapy food allergen atau imunomodulator lainnya. Sedangkan,
pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis terhadap gigitan serangga dapat
menggunakan imunoterapi subkutan untuk 3-5 tahun. Perlindungan
yang diberikan yaitu sebesar 80-90%. Pasien dengan riwayat pemakaian
obat-obatan tertentu kemudian menjadi alergi tidak boleh diberikan obat
tersebut sehingga dapat mencegah timbulnya reaksi anafilaksis. Pasien
dengan anafilaksis idiopatik yang sering muncul yaitu > 6 kali dalam 1
tahun atau >2 kali dalam 2 bulan dipertimbangkan untuk diberikan
terapi profilaksis yaitu glukokortikoid sistemik dan H1 antihistamin atau
injeksi omalizumab untuk 2-3 bulan.

9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan
adanya reaksi alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.
Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi.
Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80%
pasien.
IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap
alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo
Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked Imunnosorbent Assay). Tes
ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.
Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi
reaksi anafilaksis yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel
mast. Triptase merupakan protease yang berasal dari sel mast.
Tes kulit Tes kulit
Bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit
pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa
pada organ yang sakit. Tes kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick
test), scratch test, friction test, tes tempel (patch test), intradermal test.
Tes tusuk dilakukan dengan meneteskan alergen dan kontrol pada
tempat yang disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan
tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah diteteskan. Pembacaan
dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika dan eritema
yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada
kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen. Pembacaan dilakukan
setelah 48 jam dan 96 jam.
Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas akut yang
melibatkan dua organ atau lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan
bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem
gastrointestinal). Faktor pemicu timbulnya anafilaksis pada anak-anak,
remaja, dan dewasa muda adalah sebagian besar oleh makanan.
Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu timbulnya
reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua.
Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase
sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan penunjang digunakan
untuk memperkuat adanya alergi. Reaksi anafilaksis/hipersensitifitas
dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Penanganan utama anafilaksis
adalah dengan mengamankan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi serta
terapi adrenalin. Pemberian informasi mengenai alergi di masyarakat
sangat jarang sehingga kami menyarankan agar pemberian informasi
mengenai reaksi alergi, penyebab, gejala, dan bahaya reaksi alergi
diberikan secara lebih luas sehingga masyarakat dapat mengenali dan
melakukan tindakan yang tepat serta dapat mencegah timbulnya reaksi
anafilaksis melalui penghindaran terhadap alergen.
Daftar Pustaka
1. Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi
Klinik. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.
2. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management
of Anaphylaxis. 2011;4:13-37.
3. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi
Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.
4. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines:
2013 Update Of The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol
2013;162:193– 204.

Anda mungkin juga menyukai