Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ANESTESI

PENANGANAN KEGAGALAN ANESTESI


BLOK ALVEOLARIS INFERIOR

Oleh:
ARUM TRISNANINGTYAS SUGIYANTO PUTRI
14/362547/KG/9850

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anestesi merupakan suatu fase dimana terjadi hilang kesadaran dan memori, tidak

adanya sensasi nyeri, dan peregangan otot-otot, yang diinduksi oleh obat-obatan tertentu

sebelum melakukan suatu tindakan pembedahan atau operasi yang bersifat sementara.

Anestesi dibagi menjadi dua, yakni anestesi umum dan anestesi lokal, pada kasus-

kasus pembedahan gigi, biasanya digunakan anestesi lokal. Anestesi lokal sendiri dibagi

menjadi dua yakni dengan teknik blok atau infiltrasi. Anestesi infiltrasi adalah anestesi

yang bertujuan untuk menimbulkan rasa anestesi atau mati rasa pada ujung saraf melalui

injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan hilangnya

rasa dikulit dan jaringan yang terletak lebih dalam misalnya mukosa atau gingiva

(pencabutan gigi bagian anterior). Sedangkan teknik blok merupakan anestesi dimana

daerah yang dianestesi perlu cukup luas, seperti pada waktu pencabutan gigi posterior

rahang bawah atau pencabutan beberapa gigi pada satu kuadran. Anestesi blok

didefinisikan sebagai kehilangan sensasi pada area tertentu yang dipersarafi oleh nervus

tertentu pada tubuh akibat depresi eksitasi pada serabut saraf maupun akibat inhibisi pada

proses konduksi nervus perifer. Anestesi lokal timbul melalui penghambatan eksitasi

ujung-ujung saraf atau melalui pemblokiran konduksi saraf-saraf perifer.

Meskipun diperlukan dalam prosedur operasi, anestesi sendiri jika tidak dilakukan

dengan teliti dan hati-hati dapat menimbulkan beberapa komplikasi, misalnya adalah

cedera saraf, hematoma, infeksi, paralisis berkepanjangan dan lainnya.


B. Rumusan Masalah

1. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada anestesi blok alveolaris inferior?

2. Bagaimana cara penanganan komplikasi pada anestesi blok alveolaris inferior?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui komplikasi apa saja yang dapat timbul pada anestesi blok

alveolaris inferior.

2. Untuk mengetahui cara penanganan komplikasi pada anestesi blok alveolaris

inferior.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Blok Nervus Alveolaris Inferior

Teknik ini merupakan teknik yang paling sering dilakukan pada anestesi lokal

mandibula. Anestesi blok nervus inferior alveolar akan menganestesi gigi-gigi

mandibular di sekitar lokasi injeksi, palatum durum aspek buccal dan lingual. Teknik

ini sangat berguna ketika beberapa gigi pada satu kuadran memerlukan terapi. Meski

efektif, teknik ini juga memiliki tingkat kegagalan yang tinggi meskipun sudah

dilakukan sesuai protokol standar.

Tahapan penyuntikan anestesi blok Fischer’s adalah jari telunjuk diletakkan di

belakang gigi molar ketiga kemudian digeser ke lateral untuk mencar linea oblique

eksterna lalu digeser ke median untuk mencari linea oblique interna melalui trigonum

retromolar. Punggung jari harus menyentuh bucooklusal gigi yang terakhir, lalu jarum

dimasukkan kira- kira pada pertengahan lengkung kuku dari sisi rahang yang tidak
dianestesi yaitu region premolar sampai terasa kontak dengan tulang. Syringe

kemudian digeser ke arah sisi yang akan dianestesi, harus sejajar dataran oklusal,

jarum ditusukkan lebih lanjut sedalam 6mm lalu lakukan aspirasi. Bila aspirasi negatif,

larutan anestesi lokal dikeluarkan ½ cc untuk menganestesi N. Lingualis.

Syringe digeser lagi ke arah posisi pertama namun tidak penuh, sampai region

caninus, kemudian jarum ditusukkan lebih dalam menyusuri tulang kurang lebih 10-15

mm sampai terasa konta jarum dengan tulang terlepas. Lakukan kembali aspirasi, bila

negatif, larutan anestetikum dikeluarkan 1cc untuk menganestesi N. Alveolarius

inferior.

B. Komplikasi Anestesi

Pada pemberian anestesi lokal, terdapat komplikasi yang mungkin saja terjadi.

Komplikasi yang disebabkan pemberian anestesi lokal dibagi menjadi dua, komplikasi

lokal, dan komplikasi sistemik. Komplikasi lokal merupakan komplikasi yang terjadi

pada sekitar area injeksi, sedangkan komplikasi sistemik merupakan komplikasi yang

melibatkan respon sistemik tubuh terhadap pemberian anestesi lokal.

Komplikasi Lokal

1. Jarum Patah

Penyebab utama jarum patah adalah kondisi jarum yang fatig akibat

dibengkokkan. Jarum patah dapat pula disebabkan oleh kesalahan teknik saat

administrasi, kelainan anatomi pasien, serta jarum yang disterilkan berulang.

Apabila kondisi ini terjadi, pasien diinstruksikan untuk tidak bergerak dan tangan

operator jangan dilepaskan dari mulut pasien dan pasang bite block bila perlu. Jika

patahan dapat terlihat, patahan dapat dicoba diambil dengan arteri klem kecil.
Namun, apabila jarum tidak terlihat, insisi dan probing tidak boleh dilakukan dan

segera konsultasikan ke spesialis bedah mulut untuk diambil secara surgical .

2. Rasa Sakit

Rasa sakit saat administrasi anestesi lokal disebabkan oleh penggunaan jarum yang

tumpul, pengeluaran anestetikum dengan terlalu cepat, serta tidak menguasai

teknik anestesi lokal. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan anestesi topikal

sebelum insersi jarum dan mengeluarkan anestetikum secara perlahan, serta

anestetikum yang digunakan lebih baik jika suhunya sama dengan suhu tubuh.

3. Parestesi atau Anestesi Berkepanjangan

Parestesi atau anestesi yang berkepanjangan dapat terjadi akibat trauma saraf,

anestetikum bercampur alkohol, serta adanya perdarahan pada sekitar saraf.

Parestesi berkepanjangan dapat menyebabkan trauma pada bibir yang tergigit dan

apabila mengenai N. Lingualis dapat menyebabkan mati rasa kecap. Sebagai upaya

pencegahan, operator harus berhati- hati saat administrasi dan menggunakan spuit

sekali pakai sehingga tidak perlu mensterilkan dengan larutan alkohol.

Penanggulangan parestesi yang berkepanjangan dapat dilakukan dengan

penjelasan pada pasien bahwa hal tersebut akan terjadi dalam waktu lama, control

setiap dua bulan, dan apabila berlangsung lebih dari satu tahun maka konsultasi

neurologis diperlukan.

4. Paralisis Fasial

Paralisis fasial disebabkan oleh insersi jarum yang terlalu dalam saat blok N.

Alveolaris Inferior sehingga masuk ke kelenjar parotis dan mengenai cabang saraf

wajah, biasanya N. Orbicularis oculi. Penanggulangan hal tersebut dilakukan


dengan memberitahu pasien bahwa hal tersebut akan berlangsung selama beberapa

jam dan mata pasien harus dilindungi selama refleks berkedip belum kembali.

5. Trismus

Trismus merupakan salah satu komplikasi pemberian anestesi akibat adanya

trauma pada M. Mastikatorius atau pembuluh darah pada intra temporal fossa.

Trismus dapat pula disebabkan oleh anestesi lokal yang bercampur alkohol dan

berdifusi ke jaringan sehingga mengiritasi M. Mastikatorius. Penangulangan

trismus dilakukan dengan cara pemberian analgetik, kompes air panas selama 20

menit, latihan buka tutup mulut selama 5 menit setiap 3-4 jam, dapat pula

diberikan permen karet untuk melatih gerakan lateral. Bila trismus berlanjut lebih

dari 7 hari, maka konsulkan pada spesialis bedah mulut.

6. Hematom

Hematom sering terjadi pada komplikasi blok N. Alveolaris Inferior, N. Alveolaris

Superior Posterior, dan N. Mentalis/ Insisif. Pencegahan hematom dapat dilakukan

dengan mengetahui anatomi sehingga tidak terjadi penyebaran darah ke ronga

ekstravaskuler. Penggunaan jarum pendek pada anestesi N. Alveolaris superior

posterior juga dapat dilakukan sebagai upaya meminimalisasi hematom.

Penanggulangan hematom akibat administrasi anestesi lokal adalah dengan

menekan perdarahan dan jangan mengompres panas selama 4-6 jam setelah

kejadian, namun setelah satu hari dapat dikompres hangat 20 menit per jam.

Kompres dingin dapat dilakukan segera setelah terjadi hematom untuk mengurangi

perdarahan dan rasa sakit.

7. Infeksi
Infeksi terjadi akibat kontaminasi jarum dan dapat menyebabkan trismus. Bila

infeksi berlanjut sampai lebih dari hari ketiga, maka antibiotik diindikasikan untuk

pasien tersebut.

8. Edema

Edema disebabkan oleh trauma selama anestesi lokal, infeksi, alergi, perdarahan,

dan penyuntikan anestetikum yang terkontaminasi alkohol. Penanggulangan edema

dilakukan dengan observasi bila edema disebabkan oleh trauma injeksi atau iritasi

larutan, biasanya akan hilang 1- 3 hari tanpa terapi. Sedangkan bila lebih dari 3

hari dan disertai rasa sakit atau disfungsi mandibula, antibiotik sebaiknya

diberikan untuk pasien tersebut.

9. Trauma jaringan lunak

Pada pasien anak- anak, atau pasien dengan cacat mental, rasa baal setelah

pemberian anestesi lokal dapat menyebabkan pasien tersebut mengigit bibir

maupun jaringan lunak lainnya. Penanggulangan trauma jaringan lunak di sekitar

area yang dianestesi dilakukan dengan pemberian salep untuk mengurangi iritasi,

analgesic, serta antibiotik jika diperlukan.

10. Lesi intraoral

Lesi intraoral umumnya disebabkan oleh trauma jarum pada jaringan saat insersi.

Penanggulangan lesi ini dilakukan dengan pemberian topikal anestesi praanestesi,

pemberian obat kumur, dan pemberian antibiotik jika terjadi infeksi.

Komplikasi Sistemik
1. Reaksi psikis

Reaksi psikis yang sering terjadi sebagai komplikasi sistemik akibat pemberian

anestesi lokal adalah sinkop atau serangan vasovagal. Hal ini merupakan

gangguan emosional sebelum penyuntikan. Pada saat terjadi reaksi psikis,

arteri mengalami vasodilatasi sehingga menyebabkan volume darah ke jantung

berkurang sehingga menyebabkan penurunan umpan balik kardiak yang

menyebabkan hilang kesadaran mendadak. Tanda- tanda reaksi psikis ini

adalah pucat, mual, pusing, keringat dingin, dan jika tidak ditangani cepat

kesadaran akan hilang, pupil membesar, denyut nadi lemah dan tidak teratur.

Perawatan reaksi psikis ini adalah dengan penaganan emergensi sinkop.

2. Reaksi toksik

Reaksi toksik pada administrasi anestesi lokal jarang terjadi bila penyuntikan

dilakukan sesuai dengan prosedurnya. Apabila aspirasi tidak dilakukan

sebelum penyuntikan, maka anestetikum akan masuk ke dalam intravaskuler

sehingga menyebabkan overdosis. Tanda- tanda reaksi toksik adalah terjadi

konvulsi, gangguan pernafasan, dan syok.

3. Reaksi alergi

Riwayat alergi pasien harus ditanyakan praanestetikum sehingga

meminimalisasi terjadinya reaksi alergi. Reaksi alergi yang terjadi berbeda-

beda dengan tingkat keparahan yang juga berbeda. Tingkat reaksi alergi yang

paling ringan adalah localized skin reaction dengan gejala lokal eritema,

edema, dan pruritus. Untuk tingkatan lesi yang lebih parah yaitu reaksi pada

kulit yang tergeneralisasi, antihistamin perlu diberikan. Pada kasus alergi yang
melibatkan traktus respiratorius, diberikan epinefrin secara intramuscular

kemudian melakukan prosedur emergensi. Tingkat reaksi alergi yang paling

parah adalah syok anafilaktik yag perlu ditangani dengan segera dengan

pemberian epinefrin IM atau IV, serta penaganan emergensi syok.

4. Interaksi obat

Interaksi obat dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat sistemik. Secara

umum, interaksi obat dengan anestesi lokal sangat jarang. Namun, obat

anestesi yang mengandung adrenaline tidak dianjurkan pada pasien yang

mengonsumsi trisiklik antidepresan karena dapat menyebabkan hipertensi.

C. Penanganan Komplikasi

Pada umumnya penanganan dilakukan sesuai dengan komplikasi yang timbul

setelah dilakukannya prosedural anestesi. Jika komplikasi yang timbul adalah paralisis

nervus fasialis, cukup di informasikan kepada pasien bahwa kondisi ini hanya bersifat

sementara dan akan kembali normal. Pasien disarankan untuk melatih otot wajahnya

seperti membuka menutup mata, tersenyum, tertawa, dan berbagai ekspresi.

Jika pasien merasa parestesi setelah injeksi dilakukan, maka perlu observasi

pasien (lamanya parestesia), pemeriksaan ulang sampai gejala hilang, dan jika masih

bertahan maka perlu untuk dikonsulkan ke ahli bedah mulut atau neurologi. Apabila

gejala yang ditimbulkan pasien adalah trismus, maka harus dikompres selama 15-20

menit setiap jam, pemberian analgetik, obat relaksasi otot, fisioterapi dengan

membuka mulut selama 5-10 menit tiap 3 jam, dan bisa juga dengan mengunyah

permen karet.
Hematoma terjadi karena adanya robekan pembuluh darah arteri/vena akibat

penyutikan. Penanganan antara lain harus dilakukan penekanan pada pembuluh darah

yang terkena, pemberian analgetik bila nyeri dan aplikasi dapat dilakukan jika belum

mengalami perbaikan. Infeksi juga dapat menjadi salah satu komplikasi yang terjadi

akibat penyuntikan jarum yang tidak steril, infeksi mukosa ke dalam jaringan. Prinsip

tatalaksana dengan pemberian medikasi penurun demam, analgesik, dan antibiotik.

Edema dapat juga terjadi akibat trauma injeksi, infeksi, alergi, pendarahan,

iritasi akibat larutan analgesik. Jika edema timbul, maka harus dikurangi

pembengkakan tersebut dengan pemberian kortikosteroid, epinefrin 8.3mg IV/IM,

antihistamin, posisikan pasien supinasi, evaluasi jalan nafas, bila perlu trakeostomi

pada saat darurat. Kelanjutan daripada tindakan yang dilakukan dapat timbul lesi intra

oral seperti oral stomatitis aphtous rekuren atau herpes simpleks. Pengobatan bersifat

simtomatik, dengan obat kumur yang mengandung difenhidramin dan magnesium.

Komplikasi yang dikhawatirkan lainnya adalah sinkop atau pingsan sebagai akibat

shock neurogenik karena terjadi penurunan aliran darah ke otak. Penanganan dengan

memosisikan kepala pasien lebih rendah dari tubuh dengan elevasi kaki, dan rangsang

kesadaran dengan memanggil, respon nyeri, atau wangi-wangian.


BAB III

KESIMPULAN

Anestesi merupakan suatu fase dimana terjadi hilangnya sensasi nyeri, kesadaran dan

memori, yang diinduksi oleh obat-obatan tertentu sebelum melakukan suatu tindakan

pembedahan atau operasi yang bersifat sementara.

Anestesi dibagi menjadi dua, yakni anestesi umum dan anestesi lokal, pada kasus-

kasus pembedahan gigi, biasanya digunakan anestesi lokal. Anestesi lokal sendiri dibagi

menjadi dua yakni dengan teknik blok atau infiltrasi. Anestesi blok pada mandibula adalah

teknik anestesi yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk

melumpuhkan n. alveolaris inferior, n. lingualis, n. mentalis, dan n. insisivus. Anestesi ini

sering digunakan dokter gigi untuk pencabutan gigi posterior dan untuk pencabutan lebih dari

satu gigi di regio mandibula serta daerah anestesi yang dihasilkan cukup luas meliputi satu

kuadran. Akan tetapi, anestesi ini juga memiliki beberapa komplikasi walaupun dalam

melakukannya telah mengikuti petunjuk yang benar. Adapun komplikasi tersebut antara lain

parestesi berkepanjangan, kolaps, infeksi, efek toksik obat, trismus, hematoma dan lainnya.

Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain adalah tidak memakai jarum

anestesi lokal yang telah diberikan larutan disinfektan, penetrasi jarum seminimal mungkin

(tidak seluruhnya masuk), memakai anestetik lokal yang memiliki pH 5, memakai jarum yang

tajam dan hindari penyuntikan berulang.


DAFTAR PUSTAKA

Dym, Harry., dan Ogly, E.O., 2005, Local Anesthesia, Atlas of Minor Oral Surgery,

Philadelphia, New York.

Howe, L.G., dan Ivor, W., 1992, Perkembangan Anestesi Lokal pada Kedokteran Gigi, Teknik

Dasar, Komplikasi Anestesi, Hipokrates, Jakarta.

Hristina, L., dkk, 2005, Anesthesia in Dental Practice, Oral Surgery J, Vol 11(1): 233-247.

Robert, B Shira., 2009, The Periodontal Ligament Injection: an alternative to inferior alveolar

nerve block, Oral Surgery J, Vol 53(2): 112-120.

Anda mungkin juga menyukai