Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

“MYASTENIA GRAVIS”

PEMBIMBING:
dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S

DISUSUN OLEH:
Ray Praditya Putra Sugraha (2013730090)

KEPANITERAAN KLINIK STASE NEUROLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PERIODE 12 MARET – 14 APRIL 2018
1. IDENTITAS PASIEN

• Nama : Ny.R.M

• Jenis kelamin : Perempuan

• Umur : 39 tahun

• Alamat : Kemayoran

• Pekerjaan : Ibu rumah tangga

• Agama : Islam

• Status perkawinan : menikah

• Tanggal Masuk : 14 Maret 2018

2. KELUHAN UTAMA
• Sulit menelan

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


• Pasien datang ke IGD RSIJ CP dengan keluhan sulit menelan sejak 1 minggu SMRS. Pasien
sulit menelan makanan lunak seperti bubur, namun masih dapat menelan makanan cair.
Keluhan dirasakan fluktuatif. Keluhan muncul jika pasien merasa kelelahan dan banyak
beraktifitas. Keluhan dirasakan membaik di pagi hari, setelah bangun tidur dan setelah
beristirahat.
• Keluhan disertai dengan suara yang semakin lama semakin mengecil, terutama jika pasien
banyak berbicara.
• Kelopak mata dirasakan semakin bertambah berat dan tampak jatuh di sore hari. Akibat
keluhan ini pasien lebih banyak beristirahat.
• Pasien juga mengeluhkan sesak nafas ketika setelah beraktifitas
• Pandangan ganda disangkal.
• Kelemahan pada anggota gerak disangkal.
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
• OS belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya
• Hipertensi disangkal
• Diabetes Melitus disangkal
• Riwayat stroke disangkal
• Riwayat trauma disangkal
• Riwayat operasi disangkal

5. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


• Anggota keluarga OS tidak ada yang mengalami sakit seperti ini
• Hipertensi disangkal
• Diabetes Melitus disangkal
• Riwayat stroke disangkal

6. RIWAYAT PENGOBATAN
• OS belum pernah berobat kemanapun sebelumnya

7. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
• OS adalah seorang ibu rumah tangga, aktifitas fisik ringan-sedang
• Merokok disangkal
• Mengkonsumsi alkohol disangkal

8. RIWAYAT ALERGI
• OS tidak memiliki alergi terhadap makanan,obat-obatan, maupun udara

9. PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan Umum : Sakit sedang
• Kesadaran : Compos mentis cooperative
• Tekanan Darah : 120/80 mmHg
• Nadi : Teraba kuat, frekuensi 78 kali/menit, regular.
• Nafas : Abdomino thorakal, frekuensi 22 kali/menit.
• Suhu : 36,8 oC
• Tinggi Badan : 158 cm
• Berat Badan : 54 kg

10. STATUS GENERALISATA

Rambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut.


Kulit dan kuku : tidak ada kelainan

Kelenjer Getah Bening :


- Leher : tidak ditemukan pembesaran KGB.
- Aksila : tidak ditemukan pembesaran KGB.
- Inguinal : tidak ditemukan pembesaran KGB.
Kepala : tidak ditemukan kelainan.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,ptosis ODS(+)
Hidung : tidak ditemukan kelainan.
Telinga : tidak ditemukan kelainan.
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Paru
Inspeksi : simetris, kiri = kanan saat statis dan dinamis.
Palpasi : fremitus normal, kiri = kanan.
Perkusi : sonor.
Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-.
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial linea mid clavicula sinistra RIC VI.
Perkusi : batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : irama teratur, HR: 61kali/menit, regular, bising tidak ada.
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada.
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar.
Perkusi : timpani.
Auskultasi : bising usus (+) normal.
11. STATUS NEUROLOGIS

Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5).

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku Kuduk : -

Brudzinski I : -

Brudzinski II : -

Kanan Kiri

Laseque : >70˚ >70˚

Kernig : >135˚ >135˚

Peningkatan tekanan intrakranial

Penurunan kesadaran (-)

Pupil anisokor (-)

Trias cushing (-)

12. PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS

N. I (Olfaktorius)
Normosmia :+/+

N. II (Optikus)
Acies visus : Baik / baik
Visus campus : Baik / baik
Lihat warna : Baik / baik
Funduskopi : Tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Kedudukkan bola mata : Ortoposisi + / +
Pergerakkan bola mata : Baik ke segala arah
Oculi Dextra Oculi Sinistra

Lagofthalmus :-/-
Ptosis :+/+
Nystagmus :-/-
Pupil
Bentuk : Pupil Bulat, isokor, diameter 4mm/4mm
Reflek cahaya langsung :+/+
Reflek cahaya tidak langsung :+/+
N. V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Gerakan rahang : Baik
Menggigit : Baik
Cabang sensorik
Ophtalmicus : Baik / baik
Maksilaris : Baik / baik
Mandibularis : Baik / baik
Refleks
Kornea :+/+
Jaw reflex :-/-
N. VII (Fascialis)
Motorik
Sikap wajah : Kesan mencong tidak ada
Angkat alis : Baik / baik
Mengerutkan dahi : Baik / baik
Menutup mata : Baik / baik
Menyeringai : Baik / baik
Plika nasolabialis : Tidak ada bagian yang lebih mendatar
Sensorik
Pengecapan lidah 2/3 depan : Baik
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular
Vertigo :-
Nistagmus :-
Koklearis : Baik / baik
N. IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Motorik
Kedudukan uvula : Berada di tengah
Kedudukan arcus faring : Tidak ada deviasi
Menelan : Terganggu
Sensorik : Baik
N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : Baik / baik
Menoleh : Baik / baik
N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah : Baik
Menjulurkan lidah : Lurus ke depan
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus : normotonus
Kekuatan otot :
Ekstremitas superior : 5555/5555
Ekstremitas inferior : 5555/5555
Gerakkan involunter :
Tremor :-/-
Chorea :-/-
Atetose :-/-
Miokloni :-/-
Tics :-/-
Sistem Sensorik
Propioseptif
Getar : Tidak dilakukan
Sikap : Baik / baik
Eksteroseptif
Nyeri : Baik / baik
Suhu : Tidak dilakukan
Raba : Baik / baik
Refleks Fisiologis
Kornea :+
Biseps : ++/++
Triseps : ++/++
KPR : ++/++
APR : ++/++
Dinding perut : ++/++
Refleks Patologis
Hoffman Tromer : - / -
Babinsky :-/-
Chaddok :-/-
Gordon :-/-
Schaefer :-/-
Klonus patella :-/-
Klonus achilles :-/-
Fungsi Serebelar
Ataxia :-
Tes Romberg :-
Disdiadokokinesia :-
Jari-jari : Baik
Jari-hidung : Baik
Tumit-lutut : Baik
Rebound phenomenon : Baik
Hipotoni :-/-
Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi keringat : Baik

13. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Darah rutin:
- Hemoglobin : 11 gr/dl
- Hematokrit : 33%
- Leukosit : 12.700/mm3
- Trombosit : 205.000/mm3
Kimia klinik:
- Ureum : 25 mg/dl
- Kreatinin : 0,8 mg/dl
- Natrium : 138 mmol/L
- Kalium :3,8 mmol/L
- Chlorida : 105 mmol/L
- Kalsium : 9,7 mg/dl.

14. RESUME
• Pasien Ny. R.M wanita 39 tahun datang ke IGD RSIJ CP dengan keluhan sulit menelan sejak
1 minggu SMRS. Pasien sulit menelan makanan lunak seperti bubur, namun masih dapat
menelan makanan cair. Keluhan dirasakan fluktuatif. Keluhan muncul jika pasien merasa
kelelahan dan banyak beraktifitas. Keluhan dirasakan membaik di pagi hari, setelah
bangun tidur dan setelah beristirahat. Keluhan disertai dengan suara yang semakin lama
semakin mengecil, terutama jika pasien banyak berbicara. Kelopak mata dirasakan
semakin bertambah berat dan tampak jatuh di sore hari. Akibat keluhan ini pasien lebih
banyak beristirahat. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas ketika setelah beraktifitas.
• Pada pemeriksaan fisik ditemukan ptosis di kedua kelopak mata kanan dan kiri pasien.
• Pada hasil lab ditemukan leukositosis.
15. DIAGNOSIS
• Diagnosis Klinis : Disfagia, Ptosis dextra dan sinistra
• Diagnosis Topik : Neuromuscular junction (motor end plate)
• Diagnosis Etiologi : Suspek Myastenia Gravis
• Diagnosis Patologi : Autoimun

16. PENATALAKSANAAN
• Terapi umum:
- IVFD Ringer Laktat 500 CC 20 tpm
• Terapi khusus:
- Mestinon (Pyridostigmine) 4x60 mg (p.o)
- Metil prednisolone 4x125 mg (i.v)
- Ranitidin 2x50 mg (i.v)
- Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
- Pasang NGT

17. PROGNOSIS
• Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
• Quo Ad Functionam : ad bonam
• Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara
normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot
rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular
junction atau sambungan neuromuskular.1
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.1

Gambar 1 neuromuscular junction normal 6


Gambar 2 Reseptor asetilkolin 6
1.2. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis,
yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh
cairan ekstraselular secara difusi.1,2
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).1,2
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post
sinaptik.1,2
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:2
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim
kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut


vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.
Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran
presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul
transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara
spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah
akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini
akan membuka saluran Ca2+ yang sensitif terhadap voltase listrik sehingga
memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asetilkolin (isi
kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke
dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang
menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan
kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul
asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan
bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation
melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot
sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan
depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan
disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin


Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga
sinaps.
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana
protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang
akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein
subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma.
Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati
saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik.
Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat
otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila
pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada
membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.2
1.3 Miastenia Gravis
1.3.1 Definisi Miastenia Gravis
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit yang disebabkan oleh defek pada transmisi
neuromuscular yang dimediasi oleh antibodi (autoimun) pada reseptor nikotinik asetilkolin
(Ach) di neuromuscular junction. Penyakit ini ditandai dengan kelemahan yang fluktuatif.
Penyakit ini ditandai dengan kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan
aktivitas, dan akan pulih kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit
sampai beberapa jam.4
Kata miastenia gravis, menurut Bahasa latin dan Yunani berarti “grave muscle
weakness”. Tetapi jika diberikan terapi secara tepat, penderita miastenia gravis tidak
berakhir dengan kematian sesuai dengan implikasi namanya yaitu “kuburan”.5 Jolly (1895)
adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga yang
mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun tidak berlanjut. Kemudian
Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang
baik untuk miastenia gravis.4
1.3.2 Klasifikasi Miastenia Gravis
Miastenia Gravis Foundation of America Clinical mengklasifikasikan miastenia
gravis menjadi 5 yaitu:6
Tabel 1 Klasifikasi miastenia gravis menurut Miastenia Gravis Foundation of America
Clinical.6
Derajat Gejala

I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat


menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal

II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta


adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
okular

IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau


keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan

IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau


keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan
otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa

III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.


Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami
kelemahan tingkat sedang

IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,


atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan

IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan,


atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dalam derajat ringan

IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan


dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh


dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan
IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi

V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis


dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :4
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang
menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral. Bentuk ini
biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.4
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian
menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot- otot respirasi
biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi dalam dua tahun
pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.4
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot okular,
anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai reaksi yang
buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan akan
berkembang menjadi krisis miastenia.4
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot yang
menyeluruh disertai dengan paralisis otot pernafasan. Hal ini merupakan keadaan darurat
medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita golongan III yang kebal terhadap obat-
obat antikolinesterase yang pada saat yang sama menderita infeksi lain. Keadaan lain yang
berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan adalah disebabkan oleh banyaknya
dosis pengobatan dengan antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada
waktu menderita demam, pada golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia pada
waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita akan terjadi
peningkatan kelemahan pada saat menstruasi.4
1.3.3 Epidemiologi
Di Amerika serikat, miastenia gravis jarang ditemukan. Kejadiannya sekitar 2 dari
1.000.000 penduduk per tahun. Prevalensinya berkisar antara 0,5 – 14,2 kasus per 100.000
penduduk. Angka kejadian miastenia gravis meningkat sejak 2 dekade terakhir. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan umur pasien miastenia gravis dan karena diagnosis miastenia
gravis yang dilakukan lebih awal.6,7
Tingkat keparahan penyakit miastenia gravis dikelompokkan menjadi dua yaitu
miastenia gravis umum dan ocular. 20 – 25% pasien hanya mengalami kelemahan pada
otot ocular. Pada pasien miastenia gravis umum, 84,8% ditemukan antibody terhadap
reseptor asetilkolin (AchR) dan hanya 14,3% pada pasien yang hanya terkena otot ocular.7
Miastenia gravis dapat mengenai segala umur. Puncak kejadian pada perempuan pada usia
dekade ke 3 kehidupan, sedangkan pada laki-laki pada usia 6 – 7 dekade kehidupan. Usia
rata-rata adalah 28 tahun pada perempuan dan 42 tahun pada laki-laki.6
Dapat terjadi transient neonatal miastenia gravis pada bayi yang dilahirkan oleh
perempuan yang memiliki antibodi terhadap AchR. Sekitar 10-20% ditemukan kejadian
neonatus yang dilahirkan oleh ibu yang memiliki antibodi terhadap AchR yang mengalami
miastenia gravis.6
1.3.4 Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh autoimun. Penyakit
ini berhubungan dengan penyakit lain yaitu tirotoksikosis, miksedema, rheumatoid artritis
dan lupus eritematosus sistemik. Dulu, IgG merangsang pelepasan thymin, suatu hormone
dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin.
Sekarang, penyebab miastenia gravis adalah kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular
junction akibat penyakit autoimun.4
Antibodi yang menyebabkan terjadinya miastenia gravis dikenal sebagai
antiacetylcholine reseptor antibodi. Antibodi ini diproduksi oleh kelenjar timus. Hal
tersebut dibuktikan dengan adanya perbaikan pada pasien miastenia gravis yang dilakukan
pengangkatan kelenjar timus (timektomi). Selain itu, 80% pasien miastenia gravis
didapatkan mengalami pembesaran timus dan 10% diantaranya memperlihatkan gambaran
timoma. Sedangkan sisanya ditemukan adanya infiltrat limfosit pada pusat germinativa
kelenjar timus seperti halnya pada penderita lupus eritematosus sistemik, tirotoksikosis,
miksedema, penyakit Addison dan anemia hemolitik eksperimental pada tikus.8
Beberapa obat yang dapat menimbulkan kekambuhan gejala pada miastenia gravis
antara lain:6
1. Antibiotik, missal: golongan aminoglikosida, polimiksin, ciprofloxacin, eritromisin
dan ampisilin.
2. Penisilamin. Obat ini dapat menginduksi terjadinya miastenia gravis dengan
meningkatkan titer antibodi terhadap AChR pada 90% kasus. Bagaimanapun,
kelemahannya ringan. Gejalanya akan hilang setelah penghentian pemakaian obat
selama beberapa minggu hingga beberapa bulan.
3. Beta bloker, misal: propranolol.
4. Litium,
5. Magnesium,
6. Procainamid,
7. Verapamil
8. Quinidine
9. Klorokuin
10. Prednison
11. Timolol (beta bloker topikal yang digunakan pada glaukoma)
12. Antikolinergik, misal: triheksifenidil.
1.3.5 Patofisiologi
Kelemahan otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan otot pada saat
melakukan kegiatan fisik disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction. Pada orang normal waktu untuk kegiatan fisik lebih lama
dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat,
sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih
lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik.4
Gambar 3 Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran
autoantibodi terhadap AChR 9
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end
plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui neuromuscular
junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs) di membran
postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na+ dan kation lain untuk
masuk ke dalam serat otot dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus
terjadi akan berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar,
maka akan memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk
menghasilkan kontraksi.10
Pada miastenia gravis, ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor end
plate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan
pengurangan jumlah reseptor pada motor end plates, sehingga depolarisasi yang terjadi
pada motor end plate lebih sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Hasilnya
adalah sebuah transmisi neuromuskuler yang tidak efisien. Tiga mekanisme yang
didapatkan dari penelitian antara lain: auto antibodies terhadap reseptor AChR dan
menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik,
autoantibodi sendiri menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-situs
tempat terikatnya asetilkolin dan auto antibodi menyebabkan kerusakan pada motor
endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.10
Konsentrasi antibodi AChR tidak berkolerasi terhadap tingkat keparahan MG.
Miopati inflammatory dapat terjadi pada pasien miastenia gravis dan diassumsi disebabkan
oleh polimiositis.11 Antibodi poliklonal IgG terhadap AChR diproduksi oleh sel plasma di
organ limfoid perifer, sum-sum tulang dan timus.611,12 Sel ini berasal dari sel B yang telah
diaktivasi oleh sel T yang antigen spesifik. Sel T juga telah diaktivasikan, pada kasus ini
dengan berikatan dengan urutan peptide antigen AChR (epitop) yang terdapat di dalam
histocompatibility antigen pada permukaan sel antigen-presenting.12

1.3.6 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang
ringan sampai pada kelemahan tubuh secara menyeluruh yang fatal. 33% kasus hanya
terdapat gejala kelainan otot ocular disertai dengan kelemahan otot lainnya. Kelemahan
ekstremitas tanpa disertai dengan kelemahan otot ocular jarang terjadi, hanya sekitar
15%.selebihnya (sekitar 20% kasus) didapatkan mengalami kesulitan menelan dan
mengunyah.4
Gejala kelemahan miastenia gravis sangat khas dimana kelemahan tersebut bersifat
fluktuatif. Kelemahan akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat.13
Anamnesis yang klasik pada penderita miastenia gravis tipe ocular adalah adanya
gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu magrib dan menghilang pada
waktu pagi harinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot kelopak mata. Bila otot-otot bulbar
terkena, suaranya menjadi suara basal yang cenderung berfluktuasi dan suara akan
memburuk bila percakapan berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni
temporer. Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan penderita
sering kali menunjang rahangnya dengan tangan saat mengunyah. Keluhan lain adalah
adanya disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan.4
Gambar 1 pasien miastenia gravis yang mengalami ptosis13

1.3.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang seksama dan pemeriksaan fisik
sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah aktivitas ringan tertentu,
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan farmakologik yaitu tes endrofonium atau tes
neostigmin. dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti electromyography
(EMG) dan rontgen thoraks.4
1. Anamnesis
Perlu ditanyakan adanya gejala yang khas pada penderita miastenia gravis yaitu
berupa kelemahan otot yang bersifat fluktuatif. Kelemahan akan terasa pada saat
beraktivitas dan membaik setelah istirahat.11 Pada pasien dengan miastenia gravis ocular
penting ditanyakan mengenai gejala klasik pada pasien miastenia gravis tipe ocular yaitu
gejala diplopia saat sore hari dan menghilang pada pagi hari. Serta ptosis dan suara yang
semakin lama semakin mengecil jika pasien berbicara dalam waktu yang cukup lama.4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan pada kelelahan otot-otot yang terkena.
Caranya antara lain:4
a. Meminta pasien untuk melihat objek di atas level bola mata akan timbul ptosis pada
miastenia ocular.
b. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot bahu terkena.
c. Pada kasus-kasus bulbar, pasien diminta untuk menghitung dari angka 1 sampai 100,
maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.
d. Sulit menelan barium bila terdapat gejala disfagia.
3. Pemeriksaan farmakologi
Pemeriksaan farmakologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
miastenia gravis yaitu:

a. Uji Tensilon (edrophonium chloride),


Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas
tensilon sangat singkat.4
b. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini, disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular
(bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.4
c. Uji Kinin
Caranya adalah dengan memberikan 3 tablet kinin, masing-masing 200 mg. 3 jam
kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan
lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolinreseptor antibodi yang positif.
Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibodi. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor
antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut: 6

Tabel 2. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis.6

Osserman Class Mean antibodi Titer Percent Positive

R 0.79 24

I 2.17 55

IIA 49.8 80
Keterangan: R =
IIB 57.9 100

III 78.5 100

IV 205.3 89

remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate


generalized,III = acute severe, IV = chronic severe

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.6
b. Anti striated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes
ini menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun.Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari
40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkanhasil positif..6
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.6
d. Anti striational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada notot rangka dan
otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein
titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasienmuda
dengan miastenia gravis.6
5. Imaging
a. Chest x-ray
Foto rontgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada rontgen thorak, timoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
bagian anterior mediastinum.10 Hasil rontgen yang negatif belum tentu dapat
menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan
CT-scan thoraks untuk mengidentifikasi timoma pada semua kasus miastenia
gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. 6,10
b. MRI
Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak. 10
1.3.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari penyakit miastenia gravis antara lain:2
1. Tirotoksikosis.
2. Lupus eritematosus.
3. Sindrom Fischer.
4. Sindroma Eaton-Lambert, ditemukan gejala-gejala miastenia gravis. Disamping itu
akan tampak pula adanya suatu small cell bronchus carcinoma.14
5. Bila tampak ada ptosis atau strabismus maka hendaknyalah kita ingat akan
kemungkinan adanya lesi N.III yang dpat ditimbulkan oleh :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau leutika).
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus willisii.
d. Paralisis pasca difteri.
e. Pseudoptosis pada trakhoma.
1.3.9 Penatalaksanaan

Gambar 4 Alur penatalaksanaan Miastenia Gravis.10


Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase
misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat kolinesterase
yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan 1 tablet neostigmin
atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya ditingkatkan bergantung pada reaksi
penderita. Obat-obat antikolinesterase ini mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik.
Efek muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik
yaitu mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction. Efek muskarinik seperti
koli abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat diatasi dengan pemberian atropin.
Pada penderita usia tua atau penderita dengan kontraindikasi untuk dilakukan
timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek samping selam 2 minggu
pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit, terutama bila timbul gejala-gejala
bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan prednison diberikan serta ditingkatkan
perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai 100 mg perhari dan diberikan selang satu
hari, tergantung pada reaksi penderita. Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan
piridostigmin dapat diturunkan perlahan-lahan. Kombinasi baik piridostigmin dan
prednison yang diberikan selang 1 hari merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita
dengan timoma1.
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai
berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya diberikan 3x1 tab
sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk menghindari timbulnya nyeri
perut sebaiknya diberikan pula atropin atau ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu diberikan
0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5 mgr. Prostigmin secara
i.m).
3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mg per amp. (i.v).
4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mg per tab (per os).
5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mg per tab (per os).

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi
miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase inhibitor dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada psien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian
antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan
menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki
onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan.5
Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon
dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi
dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan
pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak
pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6
kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan
kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement.
Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10
minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat
menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor
pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan
suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian
fresh-frozen plasma tidak diperlukan
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara
klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek
dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG
diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini
memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa
penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus
menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1. Kortikosteroid
Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu
setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap
sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase
proliferasi dari sel B.
Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran
yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada
miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
mengganggu, yang tidak dapat dikontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering off pada
pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul
efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol
tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi
menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap
penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara
oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-
50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon
maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar
50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi
yang lain.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-
helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi.
Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine
dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
Terapi pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien miastenia gravis adalah
operasi timektomi. Tindakan ini diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda
dengan riwayat yang kurang dari 5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada
kelompok ini biasanya jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90%
penderita akan membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun.
Persiapan yang harus dilakukan sebelum tindakan timektomi antara lain:
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang optimal
dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka harus
dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan respirasi dapat
diberikan pada saat pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan dosis rendah dn
disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu
tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen
(tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi
setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang
dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya
prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.
1.3.10 Komplikasi dan Prognosis
Tanpa pengobatan angka kematian miastenia gravis adalah 25-31%. Miastenia
gravis yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%. Kasus yang hanya mengalami
gejala okuler sebesar 40%. miastenia gravis okuler >50% berkembang menjadi miastenia
gravis umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan
tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-
pasien ini disebut sebagai miastenia gravis okular. Sisanya mengembangkan kelemahan
umum dan disebut sebagai miastenia gravis generalisata. Sebuah studi dari 37 pasien
miastenia gravis dengan timoma memiliki gejala yang lebih buruk.6

Anda mungkin juga menyukai