Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Sinkop berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan koptein, yang
artinya memutuskan. Sehingga definisi sinkop (menurut European Society of
Cardiology: ESC), adalah suatu gejala dengan karakteristik klinik kehilangan kesadaran
yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dengan konsekuensi terjadi pemulihan spontan.
Onsetnya relatif cepat dan terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran
tersebut terjadi akibat penurunan aliran darah ke system aktivasi reticular yang berlokasi
di batang otak, dan akan membaik tanpa membutuhkan terapi kimiawi maupun elektrik
(Sudoyo, Setyohadi, & Simadibrata, 2007)
Syncope atau yang biasa dikenal dengan istilah pingsan merupakan kondisi
dimana terjadi penurunan bahkan kehilangan kesadaran yang terjadi secara tiba-tiba dan
bersifat sementara yang disebabkan oleh aliran darah di otak yang tidak tercukupi. Hal ini
disebabkan karena terjadinya vasodilatasi dan bradikardi secara mendadak sehingga
menimbulkan hipotensi (Logan, Kasper, Jameson, & Fausi, 2012).

2. Etiologi
Penyebab syncope dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Syncope yang
dimediasi oleh syaraf (2) Syncope akibat hipotensi ortostatik dan (3) Syncope
Kardiovaskular (Logan, Kasper, Jameson, & Fausi, 2012).
a. Syncope yang dimediasi oleh syaraf terdiri dari sekelompok heterogen gangguan
fungsional yang ditandai oleh perubahan sementara pada refleks yang bertanggung
jawab untuk mempertahankan homeostasis kardiovaskular. Kegagalan sementara
dalam pengontrolan tekanan darah disebabkan oleh vasodilatasi episodik dan
bradikardi yang terjadi pada berbagai kombinasi.
b. Syncope hipotensi ortostatik, homeostasis kardiovaskular kronik terganggu karena
kegagalan kontrol otonom.
c. syncope kardiovaskular mungkin disebabkan oleh aritmia atau penyakit jantung
struktural yang dapat menyebabkan penurunan curah jantung.

3. Patofisiologi
Syncope merupakan konsekuensi dari hipopefusi serebral secara global dan
dengan demikian merupakan suatu kegagalan mekanisme autoregulasi aliran darah otak.
Adapun faktor yang bertanggung jawab atau autoregulasi dari aliran darah otak antara
lain faktor myogenik, metabolit lokal, serta kontrol neurovaskular otonom. Dalam
keadaan normal, rentang aliran darah otak sekitar 50-60 ml/menit per 100 gram jaringan
otak dan tetap relatif konstan selama tekanan perfusi mmulai 50-150 mmHg. Jika terjadi
penghentian aliran darah selama 6-8 menit maka akan menyebabkan hilangnya kesadaran,
sedangkan penurunan kesadaran akan terjadi saat aliran darah menurun sampai 25
ml/menit per 100 gram jaringan otak.
Dari sudut pandang klinis, penurunan tekanan darah sistolik sistemik dibawah
50 mmHg akan menyebabkan syncope. Penurunan kardiak output dan atau resistansi
vaskuar sistemik (faktor penentu tekanan darah) merupaka hal yang mendasarai
patofisiologi dari syncope. Beberapa penyebab umum terjadinya gangguan curah jantung
yaitu penurunan efektif volum darah yang bersirkulasi, peningkatan tekanan dada, emboli
paru masif, bradikardi dan tachyaritmia, penyakit katup jantung, dan disfungsi miokardia.
Dalam posisi berdiri memberikan beban stres fisiologis yang unik pada manusia.
Posisi ini dapat dikatakan membebankan karena pada posisi berdiri akan terjadi
penumpukan sekitar 500-1000 ml darah pada ekstremitas bawah dan sirkulasi
splanknikus. Oleh karena hal inilah, umumnya periode syncope sering terjadi pada saat
berdiri. Pada saat terjadi penumpukan aliran darah pada ekstremitas bawah, akan terjadi
penurunan aliran balik vena ke jantung dan mengurangi pula pengisian ventrikel sehingga
menyebabkan curah jantung dan tekanan darah berkurang.
Perubahan hemodinamik yang terjadi dapat memicu refleks kompensasi yang
diprakarsai oleh baroreseptor di sinus karotis dan arkus aorta, sehingga menghasilkan
peningkatan aliran simpatis dan penurunan aktivitas nervus vagus. Refleks kompensasi
ini membuat peningkatan resistensi perifer, aliran darah dari vena kembali ke jantung dan
kardiak output, sehingga dapat membatasi penurunan tekanan darah. Namun, jika respon
kompensasi ini gagal maka hipoperfusi serebral akan terjadi, seperti pada neurally
mediated syncope dan orthostatic hypotension (Morag, 2017)
4. Gejala klinis
Tanda gejala syncope bisa dilihat dalam 3 fase yaitu fase pre syncope, fase
syncope dan fase post syncope.

1. Fase pre syncope


Pasien mungkin merasa mual, perasaan tidak nyaman, berkeringat dingin
dan lemah. Mungkin ada perasaan dizziness (kepeningan) atau vertigo (dengan kamar
yang berputar), hyperpnea (kedalaman nafas meningkat) penglihatan mungkin
memudar atau kabur, dan mungkin ada pendengaran yang meredam dan sensasi-
sensasi kesemutan dalam tubuh. Fase pre-syncope atau hampir pingsan, gejala-gejala
yang sama akan terjadi, namun pada fase ini tekanan darah dan nadi turun dan pasien
tidak sungguh kehilangan kesadaran.
2. Fase syncope
Fase syncope ditandai dengan hilangnya kesadaran pasien dengan gejala
klinis berupa:
a. Pernapasan pendek, dangkal, dan tidak teratur
b. Bradikardi dan hipotensi berlanjut
c. Nadi teraba lemah dan gerakan konvulsif pada otot lengan, tungkai dan wajah.
Pada fase ini pasien rentan mengalami obstruksi jalan napas karena terjadinya
relaksasi otot akibat hilangnya kesadaran.
3. Fase post syncope
Fase terakhir adalah fase post syncope yaitu periode pemulihan dimana
pasien kembali pada kesadarannya. Pada fase awal postsyncope pasien dapat
mengalami disorientasi, mual, dan berkeringat. Pada pemeriksaan klinis didapatkan
nadi mulai meningkat dan teraba lebih kuat dan tekanan darah mulai naik. Setelah
episode pingsan, pasien harus kembali ke fungsi mental yang normal, meskipun
mungkin ada tanda-tanda dan gejala-gejala lain tergantung pada penyebab yang
mendasari pingsan. Contohnya, jika pasien ada ditengah-tengah serangan jantung, ia
mungkin mengeluh nyeri dada atau tekanan dada.
5. Klasifikasi/Pentahapan Klinik (Clinical staging)
Penurunan aliran darah otak biasanya diakibatkan oleh 3 mekanisme umum,
yaitu:
1. gangguan tonus vaskular atau volum darah,
2. gangguan kardiovaskular termasuk lesi obstruktif dan cardiac arrhythmia, atau
3. penyakit cerebrovascular (Ooi & Peter, 2008; Morag, 2017)
Gangguan tonus otot vascular atau volume darah
a. Reflex Sinkop
Reflex Sinkop dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Sinkop Neurocardiogenik
Sinkop neurokardiogenik merupakan suatu istilah yang mencakup
vasovagal dan vasodepressor sinkop. Sinkop neurokardiogenik dicirikan dengan
pingsan berulang dan ditimbulkan pada suasana panas atau ramai, alcohol,
kelelahan, nyeri hebat, lapar, berdiri terlalu lama, dan keadaan emosi atau stress.
Sinkop diawali dengan keadaan presinkop yang berlangsung dalam detik atau
mmenit dan jarang terjadi pada posisi tidur terlentang. Orang tersebut
umumnya duduk atau berdiri kemudian mengalami kelemahan, mual,
berkeringat, kepala terasa melayang, pandangan kabur, dan palpitasi kemudian
akan mengalami penurunan denyut jantung dan penurunan tekanan darah serta
diikuti kehilangan kesadaran (Fauci, 2009; Ooi & Peter, 2008).
Sinkop kardiogenik terjadi akibat peningkatan aktivitas simpatis perifer
dan venous pooling. Pada kondisi ini, aliran darah balik menurun dan
kosongnya ventrikel kiri akan mengaktifkan mekanoreseptor otot jantung dan
nervus vagus afferent yang menginhibisi aktivitas simpatis dan meningkatkan
aktivitas parasimpatis. Hasil dari vasodilatasi dan bradikardi menginduksi
hipotensi dan sinkop. Mekanisme lain terjadi pada sinkop neurokardiogenik
akibat stimulus rasa takut, stress, dan nyeri dimana tidak berhubungan dengan
venous pooling pada ekstremitas bawah dan diduga terjadi pengaruh komponen
serebral (peningkatan kadar serotonin mendadak) (Fauci, 2009; Ooi & Peter,
2008).
2. Sinkop Situasional
Aktivitas seperti batuk, menelan, kencing, dan defekasi dapat memicu
sinkop pada beberapa orang. Sinkop jenis ini mekanisme kerja serupa dengan
sinkop neurokardiogenik, yaitu respons kardioinhibisi, respons vasodepressor,
atau keduanya. Batuk, kencing, dan defekasi dihubungkan dengan maneuver
(serupa dengan maneuver valsava) yang menurunkan venous return.
Peningkatan tekanan intracranial sekunder akibat peningkatan tekanan intratorakal
dapat menurunkan aliran darah serebral (Fauci, 2009; Ooi & Peter, 2008).

3. Hipersensitivitas Sinus Karotis


Sinkop dapat terjadi saat bercukur atau memakai kerah yang ketat. Hal
ini umum terjadi pada pria dengan usia lebih dari 50 tahun. Aktivasi dari
baroreseptor sinus karotis meningkatan impuls yang dibawa ke badan Hering
menuju medulla oblongata. Impuls afferen ini mengaktivkan saraf simpatik
efferen ke jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan sinus arrest atau
Atrioventricular block, vasodilatasi.
Pemijatan salah satu atau kedua sinus karotikus, khususnya pada
orang usia lanjut, dapat menyebabkan:
(a) perlambatan jantung yang bersifat refleks (sinus bradikardia, sinus arrest,
atau bahkan blok atrioventrikel), yang disebut respons tipe vagal, dan
(b) penurunan tekanan arterial tanpa perlambatan jantung yang disebut
respons tipe depressor. Kedua tipe respons sinus karotikus tersebut dapat
terjadi bersama-sama(Fauci, 2009; Morag, 2017; Ooi & Peter, 2008).

b. Hipotensi Orthostatik
Hipotensi Orthostatik adalah apabila terjadi penurunan tekanan darah
sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada posisi berdiri
selama 3 menit. Pada saat seseorang dalam posisi berdiri sejumla darah 500-800 ml
darah akan berpindah ke abdomen dan eksremitas bawah sehingga terjadi
penurunan besar volume darah balik vena secara tiba-tiba ke jantung. Penurunan ini
mencetuskan peningkatan refleks simpatis. Kondisi ini dapat asimptomatik tetapi
dapat pula menimbulkan gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, gangguan
penglihatan, lemah, berbedebar-debar, hingga sinkop(Fauci, 2009; Ooi & Peter,
2008).
Keadaan ini dapat diakibatkan karena beberapa keadaan (Fauci, 2009; Ooi & Peter,
2008).
1) Penggunaan bat-obatan (antihipertensi atau obat vasodilator).
2) Kegagalan autonomy ( hipotensi ortostatik idiopatic)
3) Atropi multiorgan
4) Neuropati perifer (diabetes, alcoholism, makanan, amyloid)
5) Keaadan Fisik
6) Sympatectomy
7) Penurunan volume darah
Gangguan Kardiovaskular
a. Gangguan structural dan obstruktif (Fauci, 2009; Ooi & Peter, 2008).
1) Emboli paru
2) Hipertensi pulmoner
3) Atrial myxoma
4) Stenosis Mitral
5) Penyakit Miokard ( Infark Miokard akut)
6) Left Ventricular myocardial restriksi atau konstriksi
7) Tamponade atau konstriksi Perikardial
8) Obstruksi Aorta
9) Stenosis Aorta
10) Obstruksi hipertrofi cardiomiopati
b. Aritmia Kardiak (Fauci, 2009; Sudoyo, Setyohadi, & Simadibrata, 2007).
1) Bradiaritmia: sinus bradikardi, sinoatrial blok, sinus aarest, sick sinus syndrome,
AV blok.
2) Takiaritmia: Supraventrikular Takikardi, Atrial Fibrilasi dengan sindrom
Wolf-Parkinson-White, Atrial Flutter, Ventrikular Takikardi.

Penyakit Cerebrovaskular (Fauci, 2009)


a. Insufisiensi Vertebrobasilar
b. Migraine arteri basilar

Gangguan lain yang dapat menyebabkan sinkop (Fauci, 2009)


a. Metabolik
1) Hypoxia
2) Anemia
3) Hiperventilasi
4) Hipoglikemi
b. Psikogenik
1) Gangguan cemas
2) Histeris berlebihan
c. Kejang

2. Pemeriksaan Penunjang
Mengetahui penyebab pasti dari sinkop seringkali merupakan sesuatu keadaan
sulit yang menantang. Hal ini disebabkan oleh karena kejadian sinkop tersebut
terjadi secara sporadic dan jarang, sehingga sulit untuk dapat melakukan
pemeriksaan fisik ataupun membuat rekaman jantung saat kejadiaan sinkop (Fauci, 2009;
Morag, 2017)
a. Laboratorium
Saat ini, tidak ada pengujian khusus memiliki kekuatan yang cukup untuk
benar-benar ditunjukkan untuk evaluasi sinkop. rekomendasi pedoman berbasis
penelitian dan konsensus tercantum di bawah ini. Pemeriksaan laboratorium harus
diarahkan oleh anamnesa dan pemeriksaan fisik, tetapi tidak semuanya.
Pemeriksaan darah rutin seperti elektrolit, enzim jantung, kadar gula darah
dan hematokrit memiliki nilai diagnostik yang rendah, sehingga pemeriksaan
tersebut tidak direkomendasikan pada pasien dengan sinkop kecuali terdapat
indikasi tertentu dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis, misalnya pemeriksaan
gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia dan kadar hematokrit
untuk mengetahui kemungkinan adanya perdarahan dan lain-lain. Pada keadaan
sindrom QT memanjang keadaan hipokalemia dan hipomagnesemia harus
disingkirkan terlebih dahulu. Tes kehamilan harus dilakukan pada wanita usia
reproduksi, terutama yang akan menjalani head-up tilt testing atau uji elektrofisiologi
b. Pemeriksaan Radiografi
1) Head CT Scan (noncontrast)
Head CT scan tidak diindikasikan pada pasien nonfocal setelah
peristiwa syncopal. Tes ini memiliki hasil diagnostic rendah sinkop. Dari 134
pasien prospektif dievaluasi untuk sinkop menggunakan CT scan, 39 pasien
temuan abnormal pada scan. Hanya 1 diagnostik CT scan kepala pada pasien
yang tidak diharapkan memiliki patologik intracranial. Dari scan yang tersisa, 5
menunjukkan hematoma subdural dianggap sekunder untuk sinkop. Head CT
scan mungkin secara klinis diindikasikan pada pasien dengan deficit neurologis
baru atau pada pasien dengan trauma kepala sekunder sinkop (Fauci, 2009;
Morag, 2017)
2) CT-scan Thoraks / Abdomen
Studi imaging ditunjukkan hanya dalam kasus-kasus pilih, seperti
kasus di mana diseksi aorta, ruptur aneurisma aorta abdominal, atau embolus
paru diduga.
3) Brain MRI / arteriografi resonansi magnetic (MRA)
Tes-tes ini mungkin diperlukan dalam kasus-kasus pilih untuk
mengevaluasi pembuluh vertebrobasilar dan yang lebih tepat dilakukan secara
rawat inap dengan konsultasi dengan ahli saraf atau seorang ahli bedah
saraf(Fauci, 2009; Morag, 2017).
4) Ventilasi Periver Scanning
Tes ini cocok untuk pasien yang diduga pulmonary embolus(Fauci,
2009; Morag, 2017).
5) Echocardiography
Pada pasien dengan penyakit jantung diketahui, fungsi ventrikel kiri dan
fraksi ejeksi telah ditunjukkan untuk mempunyai hubungan prediksi yang akurat
dengan kematian. Echocardiography merupakan ujian pilihan untuk
mengevaluasi penyebab yang dicurigai jantung mekanik sinkop(Fauci, 2009;
Morag, 2017).
c. Pemeriksaan Lain
1) Elektrokardiografi
Mendapatkan EKG 12-lead standar di sinkop. Ini adalah tingkat A
rekomendasi konsensus 2007 pedoman Acep untuk sinkop. EKG
digunakan di sebagian besar setiap aturan pengambilan keputusan klinis (Morag,
2017).

Tabel. Gambaran EKG yang menunjukan sinkop akibat aritmia.

 Blok bifasikular (didefinisikan sebagai blok berkas cabang kiri atau


blok berkas cabang kanan atau blok fasikular posterior kiri
 abnormal/kelainan konsuksi intraventrikular lain (durasi QRS > 0,12
detik)
 Blok atrioventrikular derajat dua mobitz I
 bradikardi sinus asimptomatik (< 50 derajat permenit) atau blok
sinoatrial
 komplek QRS praeksitasi
 interval QT memanjang
 pola blok berkas cabang kanan dengan elevasi ST pada sadapan V1-
V3 (sindrom Brugada)
 Gelombang T negative pada sadap prakordial kanan, gelombang
epsilon dan kelambatan ventricular yang berpotensi pada dugaan
dispasia ventricular kanan aritmogenik
 gelombang Q diduga infark miokard

Pada pasien dengan kelemahan atau sinkop yang ditandai dengan


bradikardia, seseorang harus membedakan yang disebabkan oleh
kegagalan refleks neurogenik atau kardiogenik (Stokes-Adam). EKG harus
bersifat menentukkan, tetapi meskipun tanpa EKG, serangan Stokes-Adam
dapat diketahui secara klinis dapat diketahui durasinya lebih lama, dan
sifat denyut jantung lambat yang menetap, adanya bunyi yang sinkron
yang dapat didengarkan dengan kontraksi atrial, dengan gelombang
kontraksi atrial pada pulsasi vena jugularis, dan dengan berbagai intensitas

bunyi jantung pertama yang nyata walaupun ritme teratur. 2,7

2) Holter Monitor / loop recorde acara


cara ini adalah tes rawat jalan. Di masa lalu,
semua pasien dengan sinkop dimonitor selama 24 jam di
rumah sakit.
3) Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) dapat dilakukan pada
kebijaksanaan ahli saraf jika kejang dianggap sebagai
diagnosis alternatif yang mungkin (Morag, 2017).

4) Stress test
Stress test studi elektrofisiologik / (EPS) memiliki hasil
diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan dengan monitor Holter dan harus
diperoleh untuk semua pasien dengan aritmia yang diduga sebagai penyebab
sinkop. Sebuah tes stres jantung sesuai untuk pasien yang diduga sinkop
jantung dan yang memiliki faktor risiko untuk aterosklerosis koroner. Tes
ini dapat membantu dengan stratifikasi risiko jantung dan dapat
membimbing terapi masa depan (Fauci, 2009; Morag, 2017).
3. Penatalaksanaan
Tatalaksana yang perlu dilakukan pada syncope yaitu pemeriksaan dan
penanganan cepat terhadap airway (jalur napas), breathing (pernapasan), circulation
(sirkulasi), dan status kesadaran. Pada syncope yang tidak berhubungan dengan kelainan
kardiovaskular, penanganannya dapat dilakukan dengan meletakan pasien dalam posisi
berbaring. Pada posisi ini dapat memperbaiki venous return ke jantung dan kemudian
dapat meningkatkan aliran darah otak. Jika pasien sudah tersadar, diharapkan untuk tidak
terburu-buru mendudukan posisi pasien, karena dapat menyebabkan syncope yang
berulang. Adapun terapi lainnya yang dibutuhkan jika pasien syncope tidak segera sadar
yaitu akses intravena, administrasi oksigen, pembukaan jalan napas, pemberian glukosa,
Pharmacologic circulatory support, dan Pharmacologic or mechanical restraints.
(McPhee, 2010).
Penanganan syncope sebenarnya cukup sederhana yaitu memastikan sirkulasi
udara di sekitarnya baik selanjutnya menempatkan pasien pada posisi supine atau posisi
shock ( shock position). Kedua posisi ini bisa memperbaiki venous return ke jantung dan
selanjutnya meningkat cerebral blood flow. Selain intervensi tersebut pasien dapat
diberikan oksigen murni 100% melalui face mask dengan kecepatan aliran 6-8 liter per
menit dan minuman manis. Bila intervensi dapat dilakukan segera maka biasanya
kesadaran pasien akan kembali dalam waktu relatif cepat. Pada pasien gangguan irama
jantung bisa diberikan obat-obatan arytmia seperti golongan beta blocker. Untuk
gangguan listrik jantung dan sumbatan bisa diberikan obat-obatan pacemaker (pacu
jantung).Tatalaksana kegawatdaruratan medis dilakukan yaitu penilaian tentang jalan
napas (airway), pernapasan (breathing), sirkulasi( circulation), kesadaran (disability).
Pada pasien yang mengalami syncope, perlu dimonitor kesadarannya secara berkala
dengan melakukan komunikasi verbal dengan pasien. Apabila pasien dapat merespon baik
secara verbal maupun non verbal berarti aspek airway dan breathing baik. Aspek
circulation dapat dinilai dengan memonitor nadi arteri radialis dan pengukuran tekanan
darah.
Adapun pencegahan yang bisa dilakukan pada pasien syncope bergantung pada
penyebabnya, mungkin ada kesempatan untuk mencegah serangan-serangan pingsan
seperti:
a. Pasien-pasien yang telah mempunyai episode vasovagal mungkin sadar atas tanda-
tanda peringatan dan mampu untuk duduk atau berbaring sebelum pingsan dan
mencegah episode pingsan.
b. Untuk pasien-pasien yang lebih tua dengan orthostatic hypotension, menunggu satu
detik setelah merubah posisi-posisi mungkin adalah segalanya yang diperlukan untuk
mengizinkan refleks-refleks tubuh untuk bereaksi.
c. Pemasukan cairan yang memadai mungkin cukup untuk mencegah dehidrasi sebagai
penyebab untuk pingsan atau syncope.

Penatalaksanaan sinkope menurut Kamadjaya, 2009:


a. Tatalaksana kegawatdaruratan medis :
1) Pada penderita yang mengalami syncope perlu dimonitor kesadarannya secara
berkala dengan melakukan komunikasi verbal dengan penderita. Apabila penderita
dapat merespon baik secara verbal maupun non-verbal berarti airway & breathing
penderita baik.
2) Circulation dapat dinilai dengan memonitor nadi arteri radialis dan pengukuran
tekanan darah. Tekanan darah sistolik, meskipun turun, pada umumnya masih
berada di atas 70 mmHg. Sebaliknya, pada penderita yang mengalami syok
tekanan darah dapat menurun secara drastis sampai di bawah 60 mmHg. Pada
hipotensi berat semacam itu dapat terjadi hilangnya kesadaran dimana pnderita
tidak memberikan respon dengan rangsang verbal. Hilangnya kesadaran dapat
dipastikan dengan tidak adanya respon motorik terhadap rangsang nyeri, misalnya
dengan cubitan, pada ekstremitas atas penderita.
3) Apabila terjadi penurunan atau kehilangan kesadaran yang disertai hipotensi maka
segera lakukan posisi supine, dimana kepala dan tungkai diletakkan lebih tinggi
daripada kepala.
4) Pada penderita yang hilang kesadarannya perlu dilakukan intervensi untuk
membebaskan jalan nafas yaitu dengan chin lift dan head tilt yang bertujuan untuk
mengangkat pangkal lidah ke anterior untuk membebaskan orofaring dan
mengevaluasi fungsi pernafasan dengan look-feel-listen. Diberikan oksigen
tambahan dengan sarana face mask dengan tetap mempertahankan terbukanya
jalan nafas.

b. Penanganan syncope sebenarnya cukup sederhana yaitu :


1) Menempatkan penderita pada posisi supine atau shock position. Kedua manufer
ini akan memperbaiki venous return ke jantung dan selanjutnya meningkatkan
cerebral blood flow. Selain intervensi tsb penderita dapat diberikan oksigen murni
100% melalui face mask dengan kecepatan aliran 6-8 liter per menit. Bila
intervensi dapat dilakukan segeran maka biasanya kesadaran penderita akan
kembali dalam waktu relatif cepat.
2) Setelah kesadaran pulih tetap pertahankan penderita pada posisi supine, jangan
tergesa-gesa mendudukkan penderita pada posisi tegak karena hal ini dapat
menyebabkan terulangnya kejadian syncope yang dapat berlangsung lebih berat
dan membutuhkan waktu pemulihan lebih lama.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
b. Riwayat penyakit sebelumnya
c. Pemeriksaan fisik
d. Aktivitas dan istirahat: kelemahan
e. Sirkulasi: Riwayat penyakit jantung, penyakit katup jantung, aritmia, gagal jantung dll
f. Eliminasi: Inkontinensia urin / alvi, Anuria
g. Nutrisi: Nausea, vomitus, disfagia
h. Sensori neural: Kesemutan/kebas, penglihatan berkurang, reaksi dan ukuran pupil
i. Nyeri / kenyamanan: Gelisah, pusing
j. Respirasi: Hyperpnea
k. Interaksi social: kelemahan dalam berkomunikasi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan aliran darah ke otot jantung
b. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian aliran
arteri-vena
c. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran oksigen ke serebral
3. Rencana/Intevensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan


Penurunan Curah NOC NIC
jantung  Cardiac pump effectiveness 1. Evaluasi adanya nyeri dada
Definisi:  Circulation status 2. monitor adanya dyspnea, fatigue, tekipneu dan
ketidakadekuatan darah  vital sign status ortopneu
Kriteria Hasil: 3. monitor vital sign
yang di pompa oleh
 Tanda vital dalam rentang normal 4. identifikasi penyebab dari peruhan vital sign
jantung untuk memenuhi  dapat mentoleransi aktivitas, tidak 5. atur priode latihan dan istirahat untuk menghindari
kebutuhan metabolic ada keletihan kelelahan
tubuh  tidak ada edema paru, perifer, dan 6. anjurkan untuk menurunkan stress
Batasan Karakteristik: tidak ada asites
1. perubahan  tida ada penurunan kesadaran
frekuensi/irama
jantung
a. Aritmia
b. Bradikardi
c. perubahan EKG
d. Palpitasi
2. perubahan preload
a. penurunan vena
central
b. penurunan tekanan
arteri paru
c. edema, keletihan
d. peningkatan CVP
e. Peningkatan
PAWP
f. distensi vena
jugularis
g. murmur
h. peningkatan berat
badan
Faktor yang
berhubungan
1. perubahan afterload
2. perubahan
kontraktilitas
3. perubahan frekuensi
jantung
4. perubahan preload
5. perubahan irama
6. perubahan volue
sekuncup
Ketidak efektifan perfusi NOC NIC
jaringan perifer  Circulation status 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka
 Tissue perfusion: Cerebral terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
Definisi: penurunan Kriteria hasil: 2. monitor adanya pretese
sirkulasi darah ke perifer 1. mendemostrasikan status sirkulasi yang 3. instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika
yang dapat mengganggu ditandai dengan: ada lesi atau laserasi
a. tekanan sistol dan diastole dalam 4. gunkaan sarung tangan untuk proteksi
kesehatan.
rentang yang diharapkan 5. batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
Batasan karakteristik: b. tidak ada ortostatik hipertensi 6. menitor kemampuan BAB
 tidak ada nadi c. tidak ada tanda tanda peningkatan 7. kolaborasi pemberian analgesic
 perubahan fungsi tekanan intrakranial 8. monitor adanya tromboplebitis
2. mendemonstrasikan kemampuan kognitif 9. diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi
motoric
 perubahan yang ditandai dengan:
karakteristik kulit a. berkomunikasi dengan dengan jelas
 indek ankle-brakhial dan sesuai dengan kemampuan
<0,90 b. menunjukkan perhatian, konsentrasi
 perubahan tekanan dan orientasi
darah di ekstermitas c. memproses inflamasi
 waktu pengisian d. membuatkeputusan dengan benar
kapiler > 3 detik 3. menunjukkan fungsi sensori motoric
 warna tidak kembali cranial yang utuh: tingkatkesadaran
ke tungkai saat membaik, tidak ada gerakan gerakan
tungkai di turunkan involunter.
 kelambatan
penyembuhan luka
perifer
 penurunan nadi
 edema
 nyeri ekstermitas
 bruit femoral
 warna kulit pucat saat
elevasi

Faktor yang
berhubungan
 kurang pengetahuan
tentang factor
pemberat
 kurang pengetahuan
tentang proses
penyakit
 diabetes mellitus
 hipertensi
 gaya hidup monoton
 merokok
Ketidakefektifan perfusi NOC : NIC :
jaringan serebral b.d  Circulation status  Monitor TTV
gangguan transport  Neurologic status  Monitor AGD, ukuran pupil,
oksigen.  Tissue Prefusion : cerebral ketajaman, kesimetrisan dan reaksi
DO : Setelah dilakukan asuhan keperawatan  Monitor adanya diplopia,
 Gangguan status selama beberapa hari diharapkan pandangan kabur, nyeri kepala
mental ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral  Monitor level kebingungan dan
 Perubahan perilaku teratasi dengan kriteria : orientasi
 Perubahan respon  Tekanan systole dan  Monitor tonus otot pergerakan
motoric diastole dalam rentang yang diharapkan  Monitor tekanan intrkranial dan
 Perubahan reaksi  Tidak ada ortostatikhipertensi respon nerologis
pupil  Komunikasi jelas  Catat perubahan pasien dalam
 Kesulitan menelan  Menunjukkan konsentrasi dan orientasi merespon stimulus
 Kelemahan atau  Pupil seimbang dan reaktif  Monitor status cairan
paralisis  Bebas dari aktivitas kejang  Pertahankan parameter
ekstrermitas  Tidak mengalami nyeri kepala hemodinamik
 Abnormalitas bicara  Tinggikan kepala 0-45o tergantung
pada kondisi pasien dan order medis
WEB OF CAUNTION (WOC)
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
interventions classification (NIC). Singapore pte Ltd: Elseiver.
Fauci, A. e. (2009). Harrison`s Principles of Manual Medicine 17th Edition. New York:
McGraw Hill Access Medicine.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2016). Diagnosa Keperawatan definisi dan klasifikasi
2015-2017 edisi 10. Jakarta: EGC.
Logan, D. L., Kasper, D. L., Jameson, D. L., & Fausi, A. S. (2012). Harrison's principles of
internal medicine edisi ke-18. United States: McGraw Hil Profesional.
moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing outcomes
classification. Singapore Pte Ltd: Elseiver.
Morag, R. (2017, Januari 13). Syncope. Retrieved Juni 1, 2017, from the heart.org medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/811669-overview
Ooi, S., & Peter, M. (2008). Guide To The essentials in emergency Medicine. National
University Hospital: mcGraw Hill.
Sudoyo, A. R., Setyohadi, B., & Simadibrata, M. (2007). Buku ajar ilmu penyakit dalam:
trombosis vena dalam dan emboli paru jilid II edisi IV. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai