Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli – buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami
pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urin keluar dari buli – buli. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. McNeal (1976) membagi
kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain : zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra. Sebagian
besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional.
Hiperplasi prostat benigna merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan pada usia yang kurang dari 40 tahun. Keadaan ini dialami oleh 50%
pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas. Pada waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang
kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa kelima, prostat dapat
mengalami perubahan hipertropi. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan
terganggunya aliran urin sehingga menimbulkan gangguan miksi.
Etiologi pasti hipertropi prostat benigna belum jelas, walaupun tampaknya
tidak terjadi pada pria yang dikastrasi sebelum pubertas, dan tidak berlanjut
setelah kastrasi. Kelainan ini bisa disertai dengan peningkatan dalam kandungan
dihidrotestoteron jaringan atau dengan perubahan rasio androgen terhadap
estrogen, yang diketahui berubah dengan penuaan. Sekitar 1 dalam 100 pria
akan memerlukan pembedahan untuk keadaan ini.

1
BAB II
HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA

ANATOMI KELENJAR PROSTAT

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli –
buli, di depan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah
kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram.
Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam
beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional,
zona prepostatik sfingter, dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar
prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri
atas otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yang
lain.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen
dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara
di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain
pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan ± 25% dari seluruh
volume ejakulat.
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari
pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus ( pleksus pelvikus ) menerima masukan
serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus
hipogastrikus ( T10-L2 ). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar
pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran
cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem
simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher
buli – buli. Di tempat – tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik – α.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron,
yang di dalam sel – sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi

2
metabolit aktif dihidrotestoteron ( DHT ) dengan bantuan enzim 5α – reduktase.
Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung memacu m – RNA di dalam sel –
sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat.
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker
ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih.

Aliran Urin normal

3
Aliran urin dengan BPH

ETIOLOGI

BPH terjadi karena proliferasi stroma dan epithelial dari glandula prostat
yang sering didapatkan gejala voiding.
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan testosteron estrogen
karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron ( DHT ) dan
proses aging ( menjadi tua ). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah :
1. Teori dihidrotestosteron
2. adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
3. interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
4. berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
5. teori stem sel

4
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel – sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosterone di dalam sel prostat oleh enzim 5α- reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen ( RA ) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya
terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5α- reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2. Ketidakseimbangan Antara Estrogen – testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel – sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan sensitifitas sel – sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah
kematian sel – sel prostat ( apoptosis ). Hasil akhir dari semua keadaan ini
adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel –sel baru akibat rangsangan
testosteron menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.

3. Interaksi Stroma – Epitel


Cunha ( 1973 ) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel – sel stroma melalui
suatu mediator ( growth factor ) tertentu. Setelah sel – sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel – sel stroma mensintesis

5
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel – sel epitel secara
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel – sel epitel
maupun sel stroma.

4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat


Program kematian sel ( apoptosis ) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel –sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel – sel di sekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada
prostat dewasa, penambahan jumlah sel – sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel – sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel – sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa
prostat.

5. Teori Sel Stem


Untuk mengganti sel – sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel – sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan
sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika
hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,
menyebabkan terjadinya apoptosis. terjadinya proliferasi sel – sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan sel stroma atau sel epitel.

6
PATOFISIOLOGI

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi serta iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan
hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia,
miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus – putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
pada saat miksi atau pembesaran miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun
belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan
klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas
pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi
kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi
urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin
sehingga tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi
menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
bila terjadi infeksi. pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga
lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks,
dapat terjadi pielonefritis.

7
Hiperplasia Prostat


Penyempitan lumen uretra posterior


Tekanan intravesikal ↑

Buli – buli Ginjal dan ureter


- Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
- Trabekulasi - Hidroureter
- selula - Hidronefrosis
- divertikel buli – buli - Pionefrosis pilonefritis
- Gagal ginjal

GEJALA KLINIS

Biasanya gejala – gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower


Urinary Tract Symptoms ( LUTS ), dan dapat dibedakan menjadi :
1. Gejala iritatif
• Frekuensi : sering miksi
Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena
hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan
uretra berkurang selama tidur.
• Nokturia : terbangun untuk miksi pada malam hari
Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak
lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
• Urgensi : perasaan miksi yang sangat mendesak

8
• Disuria : nyeri pada saat miksi
Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh
ketidaksatabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
2. Gejala obstuktif
• Pancaran melemah
• Rasa tidak lampias sehabis miksi
• Terminal dribbling : menetes setelah miksi
Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi
karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli – buli.
• Hesitancy : bila mau miksi harus menunggu lama
Terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk
dapat melawan resistensi uretra.
• Straining : harus mengedan jika miksi
• Intermittency: kencing terputus – putus
Terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra
sampai akhir miksi
• Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin
dan inkontinen karena overflow.

Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk score symptom. Terdapat


beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan
menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya adalah score internasional
gejala-gejala prostat WHO ( Internasional Prostate Symptom Score, IPSS) dan
score Madsen Iversen.

9
Skor Madsen – Iversen dalam bahasa Indonesia

Pertanyaan 0 1 2 3 4
Pancaran Normal Berubah – Lemah Menetes
ubah
Mengedan Tidak Ya
pada saat
berkemih
Harus Tidak Ya
menunggu
saat akan
miksi
BAK terputus Tidak Ya
– putus
Miksi tidak Tidak tahu Berubah – Tidak 1x retensi > 1x
lampias ubah lampias retensi
Inkontinensia Ya
BAK sulit Tidak ada Ringan Sedang Berat
ditunda
Miksi malam 0–1 2 3-4 >4
hari
BAK siang > 3 jam Setiap Setiap < 1 jam
hari sekali 2 – 3 jam 1 – 2 jam sekali
sekali sekali

Skor Internasional gejala – gejala prostat WHO


( Internasional Prostate Symptom Score, IPSS )

10
Keluhan pada bulan Tidak >5- 15x > 15x Hampir
terakhir sama < 1 - 5x < 15x selalu
sekali
Adakah anda merasa buli 0
– buli tidak kosong setelah
BAK
Berapa anda hendak BAK 0 1 2 3 4 5
lagi dalam waktu 2 jam
setelah BAK
Berapa kali terjadi air 0 1 2 3 4 5
kencing berhenti sewaktu
BAK
Berapa kali anda tidak 0 1 2 3 4 5
dapat menahan keinginan
BAK
Berapa kali arus air seni 0 1 2 3 4 5
lemah sekali sewaktu BAK
Berapa kali terjadi anda 0 1 2 3 4 5
mengalami kesulitan
memulai BAK (harus
mengejan)
Berapa kali anda bangun 0 1x 2x 3x 4x 5x
untuk BAK diwaktu malam

Andaikata hal yang anda Sangat Cukup Biasa Agak Tidak Sangat
alami sekarang akan tetap senang senang saja tidak menyen tidak
berlangsung seumur hidup, senang angkan menyen
bagaimana perasaan anda angkan
Jumlah nilai :
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk

11
5 = buruk sekali

Sistem skoring I-PSS terdiri dari tujuh pertanyaan yang berhubungan


dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan
kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan dihubungkan dengan keluhan miksi
diberi nilai dari 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut
kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 sampai 7.
Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu
(1) ringan : skor 0-7, (2) sedang : skor 8-19, (3) berat : skor 20-35.
Mild or No Symptoms. Skor IPSS 7 atau di bawah 7, pada umumnya
memilih watchfull waiting sekalipun prostat mereka membesar. Perlu diingat,
bagaimanapun obstruksi traktus urinaria dapat memperlihatkan pembesaran
prostat sekalipun tidak mempunyai gejala, maka ada beberapa resiko dengan
pilihan ini, walaupun itu kecil.

PEMERIKSAAN KLINIS

1. Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )


Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan
gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :
- Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
- Adakah asimetri
- Adakah nodul pada prostat
- Apakah batas atas dapat diraba dan apabila
batas atas masih dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <
60 gr.
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal atau
normal ( ingat tidak ada korelasi antara besar prostat dengan obstruksi
yang ditimbulkannya ), permukaan licin dan konsistensi kenyal.

12
Pada akut retensi, buli-buli penuh ( ditemukan massa supra pubis )
yang nyeri dan pekak pada perkusi.

Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis

Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin


I Penonjolan prostat, batas atas mudah < 50 ml
diraba
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat 50 – 100 ml
dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml
IV Retensi urin total

2. Derajat berat obstruksi


Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih
dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan
melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100
cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada
hipertrofi prostat.
Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin
pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri.
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran
maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun
antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau
kurang.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

13
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhatikan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi
saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar
dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen ( PSA ) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4 – 10 ng/ml,
hitunglah Prostate Spesifik Antigen Density ( PSAD ) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.

2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intra vena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah
untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli - buli
dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak dengan BPH.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli – buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai
tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal.
Dari pielografi intra vena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter
berbelok-belok di vesica ), indentansi pada dasar buli – buli, divertikel, residu
urin, atau filling defect di vesica.
Cara pencitraan yang lain ialah pemeriksaan USG. Cara pemeriksaan ini
untuk prostat hipertrofi dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh karena
ketepatannya dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak adanya bahaya
radiasi dan juga relatif murah. Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara

14
trans abdominal atau transrektal ( TRUS = Trans Rectal Ultrasonografi ).
TRUS dianggap lebih baik untuk pemeriksaan kelenjar prostat apalagi bila
menggunakan transducer yang ’biplane’. Selain untuk mengetahui adanya
pembesaran prostat pemeriksaan USG dapat pula mendeteksi volume buli,
mengukur sisa urin, dan patologi lain seperti divertikel, tumor buli yang besar,
batu buli. TRUS dapat pula mengukur besarnya prostat yang diperlukan
untuk menentukan jenis terapi yang tepat yaitu apabila besarnya lebih dari 60
gr digolongkan besar sehingga kalau akan dilakukan operasi dipilih operasi
buka. Perkiraan besarnya prostat dapat pula dilakukan dengan USG
suprapubik atau trans urethral tetapi cara transuretral dianggap terlalu invasif.
Pengukuran volume prostat sering disebut volumetri dan biasanya memakai
rumus volume = 0,52 x d1 x d2 x d3, bila kita anggap bahwa bentuk
prostatelipsoid dan d adalah jarak panjang, lebar ( pada potongan
transversal ), dan panjang prostat adalah potongan sagital. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu
urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli.

3. Sistoskopi
Sistoskopi sebaiknya dilakukan pada anamnesa ditemukan adanya
hematuri atau pada pemeriksaan urin ditemukan adanya mikrohematuri,
untuk mengetahui adanya kemungkinan tumor di dalam vesica atau sumber
perdarahan dari atas yang dapat dilihat apabila darah datang dari muara
ureter, atau adanya batu kecil yang radiolusent di dalam vesica. Selain itu
sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat
kedalam uretra.

4. CT – Scan atau MRI


Pencitraan dengan CT – Scaning dan Magnetic Resonance Imaging / MRI
dalam praktek jarang dipakai karena cara pemeriksaan ini mahal dan
keterangan yang diperoleh tidak terlalu banyak dibandingkan cara lain.

15
DIAGNOSIS BANDING

Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas


leher kandung kemih dengan tonus ototnya dan resistensi uretra. Setiap
kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.
Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf ( kandung kemih
neurologik ), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropatia diabetes, bedah
radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat
penenang, obat penghambat reseptor ganglion da parasimpatolitik. Kekakuan
leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi uretra
disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung
kemih, batu di uretra atau striktur uretra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan
sistokopi.

Kelemahan detrusor kandung kemih :


- Gangguan neurologik
o Kelainan medula spinalis
o neuropati diabetes mellitus
o pascabedah radikal di pelvis
o farmakologik ( obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik )

Diagnosis banding obstruksi saluran kemih karena hipertrofi prostat


- Kekakuan leher kandung kemih
o fibrosis

- Resistensi uretra
o hipertrofi prostat ganas atau jinak
o kalainan yang menyumbat uretra
o uretralitiasis
o uretritis akut atau kronik
16
PENATALAKSANAAN

Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat telah memberikan


keluhan klinis. Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin.
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi
yang disebut WHO PSS ( WHO Prostate Symptom Score ). Skor ini dihitung
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi.
Terapi nonbedah dilakukan jika WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk itu
dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah
dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I – IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan.

DERAJAT I
Belum memerlukan tindak bedah, diberikan tindakan konservatif, misalnya
dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin dan

17
terazosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat
sedikit pun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.

DERAJAT II
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi
endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection = TUR ). Mortalitas TUR
sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan
pengobatan konservatif.

DERAJAT III
Reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup
berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik
atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian
bawah menurut pfannenstiel ; kemudian prostat dienukleasi dari dalam
simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu
buli – buli atau divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar. Cara
pembedahan retropubik menurut milin dikerjakan melalui sayatan kulit
pfannenstiel dengan membuka kandung kemih, kemudian prostat dienukleasi.
Cara ini mempunyai keunggulan yaitu tanpa membuka kandung kemih sehingga
pemasangan kateter tidak lama seperti bila membuka vesika. Kerugiannya, cara
ini tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari
dalam kandung kemih. Kedua cara pembedahan terbuka tersebut masih kalah
dibandingkan dengan cara TUR, yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi
dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat
bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi.

DERAJAT IV

18
Tindakan yang pertama harus dikerjakan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif
dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini adalah gejala
hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi dan rasa lemah.
Pengobatan konservatif ialah dengan pemberian obat antiandrogen yang
menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif adalah menetukan
berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat.
Pengobatan lain yang invasif minimal adalah pemanasan prostat dengan
gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang
dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral micro
wave thermotherapy ( TUMT ) ini, diperoleh hasil perbaikan kira –kira 75 % untuk
gejala objektif.
Pada penanggulangan invasif minimal lain, yang disebut transurethral
ultrasound guided laser induced prostatectomy ( TULIP ) digunakan cahaya
laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.
Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan balon yang
dikembangkan didalamnya ( trans urethral ballon dilatation = TUBD ). TUBD ini
biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara.
KOMPLIKASI

Apabila buli – buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin.


Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli – buli tidak mapu
menampung urin sehingga tekanan intra vesika meningkat, dapat timbul
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli
– buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria.

19
Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan shingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery.


8th Edition. Singapore : The McGraw-Hill Companies,Inc;2005.

2. Mansjoer, Arif, Suprohaita, Wardhani, Wahyu Ika. Kapita Selekta


Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid Dua. Jakarta : Media Aesculapius; 2000.
3. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta :
Sagung Seto.

20
4. Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran ; 2002: 203-7
5. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.
EGC. 1994.
6. Samsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, 2003.
7. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

21

Anda mungkin juga menyukai