NPM : 0806334174
Tanda Tangan :
ii
Dewan Penguji
Ditetapkan di : Jakarta
iii
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-
Nya sehingga karya ilmiah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
risalah agung sehingga ummat manusia berada di jalan yang terang benderang
yaitu agama Islam.
Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners
di Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. Penulis menyadari adanya
banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Berkat semua itu, penulis
sangat terbantu selama proses penyusunan karya ilmiah ini. Oleh karena itu
penulis ingin menghaturkan rasa hormat dan mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Kuntarti, S.Kp., M.Biomed. selaku pembimbing karya ilmiah. Terima
kasih untuk motivasi dan bimbingan Ibu yang penuh kesabaran sehingga
penulis dapat mempelajari bagaimana menyusun karya ilmiah yang baik.
2. Bapak Ns. Muhammad Adam, M. Kep. Sp. Kep.M.B. selaku pembimbing
akademik dalam praktik klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan (KKMP) peminatan Keperawatan Medikal Bedah, yang telah
memberikan bimbingan selama menjalani praktik klinik.
3. Ibu Ns. Siti Anisah, S. Kep. ETN. selaku pembimbing klinik yang telah
memberikan bimbingan selama praktik klinik di RSPAD Gatot Soebroto.
4. Bapak Drs. Mulyanto dan Ibu Dra. Nuri Maratun selaku orang tua penulis.
Terima kasih untuk menjadi teladan yang baik serta telah memberikan kasih
sayang yang melimpah. Segala dukungan dan motivasi lewat telepon maupun
pesan singkat, sungguh itu sangat berharga untuk membangkitkan semangat
dan istoqomah yang terkadang mulai pudar.
5. Destiana, Aulia, Elda, Putri, Hesti, Pak Rohmad, teman-teman seperjuangan
di stase akhir profesi, terima kasih atas dukungan dan pengertian selama ini.
Kekompakan, canda tawa, dan air mata yang kita lewati bersama selama 7
minggu di stase peminatan KMB akan menjadi salah satu kenangan indah.
Sukses selalu dan selamat berkarya di ranah masing-masing selepas lulus dan
menjadi Ners nanti.
iv
Penulis
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti
Noneklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan karya ilmiah saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 3 Juli 2013
Yang Menyatakan
vi
Prevalensi Diabetes Mellitus (DM) di perkotaan masih cukup tinggi. Hal ini
berkaitan dengan berbagai faktor risiko DM akibat gaya hidup masyarakat
perkotaan. Pasien DM berisiko terkena komplikasi kronis, salah satunya neuropati
sehingga rentan mengalami luka akibat berkurangnya sensitifitas terhadap nyeri
dan suhu. Karya Ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis implementasi asuhan
keperawatan pada pasien diabetes mellitus tipe II yang mengalami luka bakar
derajat II akibat neuropati. Hasil Perawatan luka menggunakan madu secara
topikal untuk merawat luka bakar derajat II pada pasien DM tipe II terbukti
mengurangi pus dan menumbuhkan granulasi sebagai tanda proses penyembuhan
luka. Perawat diharapkan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
menerapkan inovasi di bidang keperawatan terutama dalam asuhan keperawatan
untuk pasien DM.
ABSTRACT
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................... 4
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................ 5
ix Universitas Indonesia
Tabel 2.2 Gambaran Lokasi Umum Luka pada Pasien Neuropati Diabetikum
dan Faktor Penyebabnya .................................................................. 25
x Universitas Indonesia
Gambar 4.1 Kondisi Luka Tn. S pada Tanggal 11 Juni 2013 .......................... 56
Gambar 4.2 Kondisi Luka Tn. S pada Tanggal 15 Juni 2013 .......................... 58
Gambar 4.3 Kondisi Luka Tn. S pada Tanggal 18 Juni 2013 .......................... 59
xi Universitas Indonesia
Masyarakat perkotaan dengan gaya hidupnya yang serba instan dan kurang
terkontrol memiliki beberapa faktor risiko untuk mengidap DM. Sebuah penelitian
di kota Pematangsiantar oleh Sinaga, Hiswani & Jewani (2011) menunjukkan
bahwa proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap tahun 2011,
sebanyak 99,2% adalah DM tipe 2, di mana DM tipe 2 merupakan jenis DM
dengan salah satu faktor risikonya adalah obesitas yang dapat terjadi karena gaya
hidup yang tidak sehat serta pola makan yang melebihi kebutuhan kalori tubuh.
Sedangkan di salah satu rumah sakit di kota Jakarta, yaitu RSPAD Gatot
Soebroto, berdasarkan data Instalasi Rawat Inap, dalam tiga bulan terakhir di
tahun 2013 (Februari-April) jumlah penderita DM yang dirawat juga selalu
1 Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil Riskesdas (2007), menunjukan pada saat ini prevalensi diabetes
mellitus secara nasional di wilayah perkotaan cukup tinggi. Prevalensi diabetes
mellitus secara nasional adalah 1,1% dan sebanyak 17 provinsi memiliki
prevalensi diatas nasional. Penderita diabetes mellitus di wilayah perkotaan juga
semakin muda dan berada pada usia produktif. Masih berdasarkan Riskesdas
(2007), prevalensi Diabetes Mellitus pada penduduk usia >15 tahun di wilayah
perkotaan mencapai 5,7% dan 13 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional.
Sebanyak 73,7% dari jumlah tersebut adalah pasien diabetes yang tidak
terdiagnosa dan tidak mengonsumsi obat. Sedangkan prevalensi TGT (Toleransi
Glukosa Terganggu) pada penduduk usia >15 tahun di perkotaan adalah 10.2%
dan sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional.
Proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di
daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM
menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Riskesdas, 2007).
Selain dari segi usia yang semakin muda, penderita DM di perkotaan juga
mengalami berbagai komplikasi. Komplikasi mikrovaskuler DM, salah satunya
adalah neuropati. Gejala neuropati dapat terbagi menjadi dua macam yaitu
neuropati perifer dan neuropati otonom. Neuropati perifer sering dirasakan pada
ekstremitas bagian bawah. Hal tersebut ditunjukkan dengan gejala rasa tertusuk-
tusuk, kesemutan, dan rasa seperti terbakar hingga semakin lama kaki akan terasa
baal (patirasa) serta penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu. Terjadinya
neuropati pada penderita DM meningkatkan risiko terjadinya cedera dan infeksi
pada kaki tanpa diketahui oleh penderita DM. Sehingga jika tidak segera ditangani
dapat berujung pada nekrosis jaringan dan amputasi (Smeltzer & Bare, 2008).
Universitas Indonesia
Salah satu metode perawatan luka dengan cara konvensional adalah dengan
menggunakan normal salin untuk membersihkan luka dan madu secara topikal.
Madu merupakan cairan yang dihasilkan oleh lebah (Apis mallifera) yang sudah
banyak dikenal khasiatnya, termasuk dalam proses penyembuhan luka. Secara
umum, manfaat madu dalam proses penyembuhan luka cukup luas. Madu dapat
digunakan untuk terapi topikal sebagai dressing pada luka ulkus kaki, luka
dekubitus, ulkus kaki diabet, infeksi akibat trauma dan pasca operasi, serta luka
bakar (Molan, 2001). Berdasarkan observasi klinik yang dilakukan oleh Molan
(2001) didapatkan bahwa pemberian madu secara topikal dapat secara aktif
mencegah infeksi serta membantu menyembuhkan luka bekas pembedahan. Madu
dapat mengurangi inflamasi, edema dan penumpukan eksudat serta memiliki efek
yang bagus apabila dipakai untuk perawatan luka secara umum dan luka bakar.
Khasiat ini didapatkan dari kandungan hydrogen peroxide dalam madu.
Universitas Indonesia
Berdasarkan latar belakang tersebut, karya ilmiah ini akan membahas mengenai
analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien
diabetes mellitus dengan komplikasi neuropati sehingga mengalami luka bakar
derajat II dan penerapan salah satu implementasi keperawatan yaitu perawatan
luka bakar menggunakan madu di RSPAD Gatot Soebroto.
Universitas Indonesia
1.4.Manfaat Penulisan
1. Pasien
Hasil penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan pasien untuk
melakukan perawatan luka secara mandiri dengan madu setelah dianjurkan
untuk pulang dari rumah sakit sehingga mempercepat penyembuhan luka.
2. Pelayanan Keperawatan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada para
perawat dalam menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan salah satu
masalah kesehatan khas perkotaan, yaitu diabetes mellitus. Khususnya dalam
memberikan intervensi keperawatan perawatan luka kepada pasien DM dengan
luka bakar dan dapat memberikan saran kepada dokter penanggung jawab
mengenai manfaat madu untuk penyembuhan luka bakar, sesuai penelitian
yang telah ada.
3. Pendidikan
Hasil penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran
dan mengembangkan ilmu keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan yang
berkaitan dengan penatalaksanaan pasien diabetes mellitus khususnya yang
mengalami komplikasi berupa luka sehingga diharapkan dapat menurunkan
angka terjadinya sepsis maupun amputasi pada pasien DM.
Universitas Indonesia
2.1.1 Pengertian
DM adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan adanya ketidakmampuan
tubuh untuk menggunakan glukosa, lemak dan protein akibat adanya defisiensi
insulin atau resistensi insulin yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar
glukosa darah dan glukosuria (Dunning, 2009). Menurut Black & Haws (2009)
DM adalah penyakit kronis yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk
melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang menyebabkan
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa darah). Definisi lain, DM merupakan
penyakit kronis yang membutuhkan perawatan medis secara berkelanjutan serta
manajemen diri pasien, pendidikan kesehatan dan dukungan lain agar tidak
menimbulkan komplikasi akut maupun komplikasi kronik (American Diabetes
Association [ADA], 2013). Menurut Price & Wilson (2006) DM adalah gangguan
metabolisme dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat,
perkembangannya dapat ditandai dengan hiperglikemia. Dari beberapa pengertian
tersebut, disimpulkan bahwa DM adalah penyakit kronis berupa gangguan
metabolisme oleh ketidakefektifan kerja insulin karena tidak normalnya sekresi
insulin maupun ketidakefektifan kerja insulin dengan manifestasi kadar glukosa
dalam darah yang tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi.
6 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Usia Umumnya terjadi pada usia < Umumnya terjadi pada usia >
30 tahun 30 tahun
Universitas Indonesia
Insulin mengaktifkan reseptor pada membran sel sehingga glukosa dapat masuk
ke dalam sel dan membantu menyimpan glukosa yang berlebihan ke dalam hati.
Ketika tubuh memerlukan glukosa karena asupan yang kurang, maka glukagon
mengeluarkan glikogen yang sudah tersimpan dengan melakukan gikolisis dan
glukoneogenesis. Ketika suatu saat simpanan glikogen dalam hati sudah habis
maka akan terjadi lipolisis (pemecahan lemak) dan protolisis (pemecahan protein).
Proses pemecahan protein dari otot menyebabkan pasien menjadi lemah (fatigue).
Kondisi hiperglikemia juga menyebabkan diuresis osmotik yang ditandai poliuri.
Kondisi ini membuat tubuh kehilangan banyak elektrolit. Selain itu, kondisi
hiperglikemia dan ketidakefektifan kerja insulin menyebabkan sel tidak memiliki
asupan glukosa yang adekuat dan menimbulkan polifagi.
DM tipe 1 disebabkan oleh kurangnya produksi insulin karena kerusakan sel beta
pankreas yang juga dipengaruhi oleh faktor genetik sehingga sel beta pankreas
lebih rentan terhadap virus yang menyebabkan kelainan autoimun yang berujung
pada kerusakan sel beta. Hal tersebut membuat pasien DM tipe 1 menjadi
tergantung terhadap insulin (Black & Hawks, 2009).
DM tipe 2 terjadi kelainan dasar yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Dalam keadaan normal, insulin akan terikat dalam suatu reseptor khusus
pada permukaan sel. Terikatnya insulin dengan resptor pada sel akan
menimbulkan reaksi metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin akan
menyebabkan insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan. Selain kondisi resistensi insulin, pankreas juga gagal dalam
mengkompensasi kondisi tersebut (defisiensi insulin). Kondisi ini ditandai dengan
Universitas Indonesia
berat badan yang meningkat hingga obesitas dan perasaan cepat lapar karena sel
tidak mendapat pasokan glukosa yang adekuat. Defisiensi insulin terjadi karena
sel beta terus menerus terpapar oleh kondisi hiperglikemia, sehingga kurang
berespon terhadap kenaikan glukosa. Defisiensi insulin ini juga berakibat pada
kurangnya kecepatan transpor glukosa ke jaringan lemak, hepar dan otot.
(Smeltzer& Bare, 2008; Black & Hawks, 2009).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Salah satu Komplikasi mikrovaskuler yang dapat dialami oleh pasien DM adalah
retinopati dengan manifestasi dini berupa mikroaneurisma (pelebaran vaskular
Universitas Indonesia
yang kecil) dari arteriola retina. Akibat yang ditimbulkan adalah adanya
perdarahan, neovasklurasasi dan munculnya jaringan parut pada retina sehingga
dapat menyebabkan kebutaan (Price & Wilson, 2006). Selain retinopati gangguan
lainnya adalah katarak.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Menurut Smeltzer & Bare (2008) tujuan utama intervensi DM adalah mencoba
menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah untuk mencegah
terjadinya kompliksai vaskuler, neuropatik dan hipoglikemia. Terdapat 5
komponen dalam penatalaksanaan DM yaitu diet, latihan, pemantauan, terapi
medis dan pendidikan kesehatan.
a. Penatalaksanaan Diet
Diet pada pasien DM ditujukan untuk mengatur jumlah kalori dan
karbohidrat yang masuk dalam sehari (Price & Wilson, 2006). Sedangkan
Smeltzer & Bare (2008) merumuskan tujuan penatalaksanaan nutrisi bagi
pasien DM adalah untuk memberikan semua unsur esensial makanan
(vitamin dan mineral), mencapai dan mempertahankan berat badan yang
sesuai, memenuhi kebutuhan energi, mencegah adanya fluktuasi kadar
glukosa dalam darah dan menjaga agar kadar glukosa darah mendekati
normal serta menurunkan kadar lemak darah jika meningkat. Bagi pasien
yang menggunakan insulin perlu diperhatikan jenis insulin yang diberikan
sehingga dapat mengatur interval waktu dengan jam makan untuk
menghindari kondisi hipoglikemia. Jika pasien mengalami obesitas maka
penatalaksanaan diet bertujuan untuk menurunkan berat badan mencapai
berat badan ideal karena penurunan berat badan sebesar 10% dapat
membantu memperbaiki kadar glukosa darah secara signifikan.
Kebutuhan kalori sehari bagi pasien DM terdiri dari karbohidrat sebanyak
50%-60%, lemak 20%-30% dengan 10% berasal dari lemak tak jenuh,
protein 10-20% protein (Black & Hawks, 2009). Makanan dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam
Universitas Indonesia
(25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar (Arifin,
2011).
b. Latihan Fisik
Latihan menjadi penting pada pasien DM karena dapat menurunkan kadar
glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan
menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler karena dapat memperbaiki
sirkulasi darah (Smeltzer & Bare, 2008). Latihan fisik juga dapat
meningkatkan rasa nyaman bagi penderita DM. Latihan yang dianjurkan
adalah melibatkan otot-otot besar yang disesuaikan frekuensi, intensitas,
durasi dan jenisnya. Dianjurkan untuk melakukan latihan pada saat yang
sama dan intensitas yang sama dibandingkan melakukan latihan secara
sporadis. Penderita DM dengan kadar glukosa darah >250 mg/dL dan
menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh melakukan latihan
hingga hasil pemeriksaan keton menunjukkan hasil negatif. Pasien yang
menggunakan terapi insulin juga berisiko mengalami hipoglikemia setelah
latihan. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut maka dianjurkan bagi
pasien tersebut untuk mengonsumsi camilan setelah latihan. Pada DM
dengan komplikasi juga harus diperhatikan jenis latihannya, karena
peningkatan tekanan darah setelah latihan dapat memperburuk retinopati
diabetes. Demikian pula pada lansia yang harus disesuaikan dengan
kemampuan fisiknya. Berjalan kaki merupakan bentuk latihan yang aman
dan bermanfaat serta dapat dilakukan di mana saja. Pedoman umum
latihan fisik pada DM yang ditetapkan oleh American Diabetes
Association (ADA, 1990) dalam Smeltzer & Bare (2008) adalah
penggunaan alas kaki yang tepat maupun alat pelindung kaki lainnya,
hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau sangat dingin, periksa
kaki setiap hari sesudah melakukan latihan dan menghindari latihan pada
saat pengendalian metabolik buruk.
Universitas Indonesia
d. Terapi antidiabetik
1) Insulin
Pada DM tipe 1 tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi
insulin, dengan demikian pasien DM tipe 1 mengalami ketergantungan
insulin. Pada DM tipe 2 insulin diperlukan untuk terapi jangka panjang
dalam pengendalian kadar glukosa darah jika diet dan obat
hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya ataupun jika
mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan dan kejadian stres
lainnya (Smeltzer & Bare, 2008).
Universitas Indonesia
2) Obat hipoglikemi
Obat hipoglikemia oral dapat diberikan pada pasien DM tipe 2 jika
pengaturan diet dan latihan fisik gagal mengontrol kadar glukosa
darah. Obat hipoglikemi oral di amerika meliputi sulfonylurea dan
binguanid. Prinsip kerja sulfonylurea dengan merangsang langsung
pankreas untuk memproduksi insulin sehingga syarat utama
pengguanaan obat jenis ini adalah pankreas yang masih berfungsi.
Hipoglikemia dapat terjadi bila sulfonylurea diberikan dalam dosis
yang berlebihan atau pasien lupa makan. Efek samping lainnya
Universitas Indonesia
e. Pendidikan Kesehatan
DM merupakan penyakit gangguan metabolisme yang memerlukan
perawatan dalam waktu yang lama dan memerlukan kepatuhan terkait pola
makan, aktivias fisik, pengobatan dan pengendalian kadar glukosa darah
(Arifin, 2011). Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada pasien DM
diharapkan dapat membuat pasien DM mampu merawat dirinya sendiri
dan melakukan upaya preventif untuk menghindari komplikasi DM.
Menurut Smeltzer & Bare (2008) informasi dan ketrampilan yang harus
diajarkan kepada pasien DM terbagi menjadi dua kategori yaitu:
Universitas Indonesia
Tahapan terakhir dari proses keperawatan pada pasien diabetes mellitus adalah
evaluasi. Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf
Universitas Indonesia
Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan mengenai lokasi luka yang umumnya
terjadi pada pasien diabetes mellitus dengan neuropati beserta kemungkinan
penyebabnya menurut panduan dari Wound, Ostomy, dan Continence Nursing
(2004) dalam Bryant & Nix (2007). Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa,
salah satu penyebab terjadinya luka di telapak kaki pada pasien DM dengan
neuropati adalah karena faktor eksternal, yaitu suhu panas. Hal ini disebabkan
kurang pekanya pasien DM dengan neuropati terhadap peningkatan suhu. Oleh
karena itu, Juliano (1998) menganjurkan penderita DM dengan neuropati untuk
berhati-hati ketika menyiapkan air hangat ketika mandi maupun memakai bantal
elektrik, karena dapat berisiko menyebabkan luka bakar.
Universitas Indonesia
Tabel 2.2 Gambaran Lokasi Umum Luka pada Pasien Neuropati Diabetikum
dan Faktor Penyebabnya
Lokasi Penyebab
Sendi interphalang pada jari kaki Keterbatasan fleksibilitas sendi interphalang.
Metatarsal Tekanan yang tinggi, keterbatasan gerak sendi.
Antar jari kaki Kelembaban yang meningkat, ujung sepatu
yang runcing, deformitas, sepatu yang terlalu
sesak.
Ibu jari kaki (Bunion: biasanya berupa ujung sepatu yang runcing, deformitas pada
bengkak yang dapat menyebabkan menjadi kaki.
radang)
Punggung kaki Tekanan pada jari kaki, alas kaki yang terlalu
dangkal.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pulasasi lemah atau hilang (Bryant & Nix, 2007). Pasien yang mengalami
neuropati sudomotorik mengalami berkurangnya produksi atau tidak
diprosuksinya keringat sehingga ekstremitas bawah menjadi kering, pecah-pecah,
rapuh sehingga rentan infeksi bakteri (Smeltzer & Bare, 2008)
Menurut Wagner (1981) dalam Bryant & Nix (2007) stadium luka pada diabetes
mellitus terbagi menjadi 5 stadium, sebagai berikut:
a. Stadium 0 (pre ulcer): tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik, namun
bentuk tulang kaki mengalami deformitas, kalus, atau selulitis.
b. Stadium 1 (superficial diabetic ulcer): hilangnya lapisan kulit hingga
dermis.
c. Stadium 2 ( full-thickness ulcer): lesi terbuka, penetrasi mencapai tendon,
kapsul sendi, tanpa abses maupun osteomyelitis.
d. Stadium 3 ( deep ulcer): penetrasi dalam dengan abses, osteomielitis,
maupun infeksi pada sendi.
e. Stadium 4 ( gangrene): gangren pada sebagian kaki, terlokalisasi pada jari
kaki, kaki depan atau tumit.
f. Stadium 5 (extensive gangrene): gangren dan nekrosis pada seluruh kaki.
Proses penyembuhan luka secara umum dibagi dalam empat fase sebagai berikut
(Stephen, Richard & Omaida, 2005 dalam Kristianto, 2010):
a. Fase Hemostatis/ koagulasi
Pada tahap ini platelet akan mensekresikan vasokonstriktor untuk
mencegah kerusakan kapiler lebih lanjut sehingga perdarahan berhenti.
Dibawah pengaruh Adenosin Difosfat (ADP) platelet diproduksi untuk
mencegah kerusakan jaringan dan mensekresi matriks kolagen. Selain itu,
juga mensekresi faktor pembekuan seperti thrombin yang menginisiasi
fibrin dan fibrinogen.
b. Fase Inflamasi
Pada fase inflamasi luka nampak merah, bengkak, hangat dan nyeri,
berlangsung hingga 4 hari pasca injuri. Fase ini melibatkan netrofil yang
akan memfagositosis debris dan mikroorganisme sebagai pertahanan akan
Universitas Indonesia
infeksi. Pada fase ini pembuluh darah akan berdilatasi melepaskan plasma
berisi makrofag untuk memfagosit bakteri dan pelepasan growth factor
yaitu Fibroblast Growth Factor, Epidermal Growth Factor, Transforming
Growth Factor dan Interleukin-1 .
c. Fase Proliferatif
Pada fase ini terjadi proses granulasi dalam waktu 4-21 hari yang
ditunjukkan dengan terbentuknya jaringan kemerahan dan kontraksi pada
luka. Fibroblas akan mensekresikan kolagen untuk regenerasi jaringan.
Pada fase ini terjadi angiogenesis untuk membentuk sel-sel endotel yang
merupakan awal terbentuknya kapiler darah yang baru. Sel-sel keratinosit
juga diproduksi dan bertanggung jawab pada proses epitelisasi. Sitokin
yang berperan utama dalam proses poliferatif adalah Transforming Growth
Factor (TGF) β. Ekstraseluler matriks yang berperan adalah kolagen dan
proteoglikan.
d. Fase Remodeling
Tahap ini dimulai pada hari ke 21 hingga 2 tahun yang melibatkan
fibroblast dan miofibroblast untuk struktur jaringan yang lebih kuat. Luka
akan nampak lebih berkontraksi sampai maturasi. Sitokin yang berperan
adalah TGF β dan ekstraseluler matriks yang berperan adalah kolagen.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Adapun prinsip penanganan luka pada diabetes mellitus menurut Moffat, Martin
& Smithdale (2007) dan Milne & Landry (2003) dalam Kristianto (2011) adalah
mengistirahatkan luka untuk mencegah kerusakan jaringan, menghilangkan
jaringan yang mati untuk mencegah infeksi, menjaga kondisi luka tetap lembab
untuk meningkatkan kemampuan jaringan dalam proses penyembuhan luka,
mencegah eksudat diproduksi secara berlebihan agar tidak menghambat proses
penyembuhan dan pendidikan kesehatan untuk penderita diabetes mellitus.
Prinsip perawatan luka bakar secara umum dan prinsip penanganan luka pada
diabetes mellitus secara umum hampir sama, sehingga kedua prinsip tersebut
dapat dipadukan untuk mencapai kesembuhan yang optimal bagi pasien diabetes
mellitus yang mengalami luka bakar.
Universitas Indonesia
Manfaat madu dalam membantu proses penyembuhan luka antara lain sebagai
berikut (Putri, 2012):
a. Madu memiliki osmolaritas yang tinggi (kadar air kurang dari 17%)
sehingga mampu menyerap cairan luka, mengurangi bengkak, mengurangi
nyeri, mengangkat jaringan mati dan memperbaiki sirkulasi dan
pertukaran udara disekitar luka. Apabila terjadi kontak dengan cairan luka
khususnya luka kronis, cairan luka akan terlarut akibat kandungan gula
yang tinggi pada madu, sehingga luka menjadi lembap dan hal ini
dianggap baik untuk proses penyembuhan dan tumbuhnya jaringan baru.
Hal ini sesuai dengan prinsip perawatan luka modern yaitu "Moisture
Balance".
b. Madu memiliki sifat anti bakteri dan antioksidan yang menghambat
radikal bebas dan mengurangi kerusakan jaringan. Bila madu dilarutkan
dengan cairan (eksudat) pada luka, hidrogen peroksida akan diproduksi.
Hal ini terjadi akibat adanya reaksi enzim glukosa oksidase yang
terkandung di dalam madu yang memiliki sifat antibakteri. Proses ini tidak
menyebabkan kerusakan pada jaringan luka dan juga akan mengurangi bau
yang tidak enak pada luka khususnya luka kronis. Hidrogen peroksida
dihasilkan dalam kadar rendah dan tidak panas sehingga tidak
membahayakan kondisi luka yaitu hanya mengandung 1mmol/L. Efek
Universitas Indonesia
yang dapat merusak jaringan dari hidrogen peroksida dapat diatasi oleh
sifat anti oksidan dari vitamin C pada madu dan enzim-enzim lain yang
terkandung dalam madu. Madu memiliki sifat antibakteri telah terbukti
secra klinis untuk mengobati berbagai macam jenis luka (Cooper, 2004).
Cooper (2004) juga mengungkapkan beberapa pengembangan teknik
perawatan luka yang mengandung madu untuk menekan pertumbuhan
mikroba yaiu berupa perban steril yang telah dioleskan madu maupun
madu yang disterilkan dalam tabung dan perpaduan alginat.
c. Sifat asam madu. Madu memiliki pH 3,2-4,5 cukup rendah untuk
menghambat pertumbuhan bakteri dan mencegah terjadinya penetrasi dan
kolonisasi kuman yang rata-rata berkembang pada pH 7,2-7,4. Majno
(1977) dalam Molan (2001) mengungkapkan bahwa pH madu dapat
membantu kerja makrofag dalam melawan bakteri.
d. Hasil penelitian Tonks, Cooper, Price, Molan, Jones (2001) dalam Molan
(2001) menunjukkan bahwa madu merangsang monosit dalam kultur sel
untuk melepaskan sitokin, tumor necrosis factor (TNF)-alpha, interleukin
(IL) -1 dan IL-6, yang mengaktifkan respon imun terhadap infeksi dengan
konsentrasi madu 0.1%
Universitas Indonesia
diberi madu dan kasa tulle. Menurut Pramana, Suryani & Supriyono (2012)
menggunaaan madu dan NaCl untuk merawat luka lebih efektif dibanding
menggunakan Nacl saja. Penelitian oleh Januarsih dan Atik (2008) bahwa efek
penyembuhan luka dengan madu memberikan pengaruh yang signifikan.
Aggregate adalah sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang yang memiliki
karakteristik yang sama (Nies & Mc Ewen, 2007). Kesamaan karakteristik
tersebut dapat disebabkan bertempat tinggal di daerah yang sama, mengikuti
organisasi keagamaan yang sama, atau memiliki demografi yang sama seperti
umur yang sama atau latar belakang budaya yang sama. Dalam sebuah komunitas
dapat terdiri dari berbagai aggregate dimana seorang anggota dapat masuk ke
dalam banyak aggregate.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pekerjaan klien adalah angkatan darat, aktivitas yang sering dilakukan klien untuk
mengisi waktu luang adalah dengan membaca koran serta menonton televisi.
Selama di rumah sakit klien mengatakan susah berjalan karena luka di kedua
telapak kakinya, sehingga aktivitasnya lebih banyak di tempat tidur, kecuali jika
ingin buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) maka klien akan pergi ke
toilet. Klien merasa bosan di rumah sakit. Klien berjalan dengan tertatih dan
berpegangan pada tembok untuk menuju kamar mandi. Klien biasa tidur di malam
hari pukul 21.00 WIB dan tidur siang pukul 14.00 WIB. Klien tidak memiliki
kebiasaan khusus sebelum tidur dan tidak mengalami insomnia. Oleh karena itu
klien selalu merasa segar saat bangun. Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital
pada tanggal 10 Juni 2013 didapatkan bahwa tekanan darah 140/90 mmHg,
frekuensi nadi 78 x/menit, irama teratur dan kuat, pernafasan 18 x/menit, teratur,
suhu 36,8 derajat celcius. Klien sadar penuh (Compos Mentis) namun nampak
lemah dan sakit sedang. Rentang gerak sendi klien maksimal dan tidak mengalami
deformitas maupun tremor. Tonus otot baik dengan kekuatan :
5 5 5 5 5 5 5 5
4 5 5 5 5 5 5 4
36 Universitas Indonesia
Klien dapat beraktifitas secara mandiri meliputi mandi, makan dan pergi ke toilet.
Klien tidak menggunakan alat bantu. Penampilan umum bersih, pakaian serasi dan
ganti baju setiap hari, rambut rapi, kulit kepala bersih dan tidak bau badan.
Pengkajian pada sistem eliminasi didapat hasil bahwa klien memiliki pola BAB
satu kali sehari dengan menggunakan laksatif (laxadine). Klien mengatakan
karakter fesesnya lunak, tidak mengalami diare maupun konstipasi, tidak
berwarna hitam dan tidak terdapat darah segar pada feses. Klien juga mengatakan
tidak memiliki hemoroid. Pola BAK klien cukup sering yaitu 8-10 kali perhari,
volume 1,5-2 liter sehari, warna kuning jernih cenderung bening. Klien
mengatakan ada perasaan tidak tuntas ketika BAK dan klien susah menahan
BAK-nya sehingga kadang keluar sedikit sebelum tiba di kamar mandi. Klien
tidak menggunakan diuretik, tidak merasa nyeri, tidak merasa terbakar ketika
buang air kecil dan tidak memiliki riwayat sakit ginjal. Hasil palpasi abdomen
menunjukkan bahwa perut lunak, tidak terdapat massa, tidak asites, dan tidak ada
nyeri tekan. Hasil auskultasi didapat bahwa bising usus normal di semua kuadran
perut, frekuensinya 8 x/menit.
Selama di rumah sakit, klien mendapatkan diet untuk DM sebesar 1700 kalori
dalam sehari. Klien makan makanan dari rumah sakit saja yaitu tiga kali makan
besar dengan menu ¾ nasi atau bubur, satu mangkuk sayur, telur/ ikan/ tempe/
tahu. Selain makan besar, klien juga mendapat makanan selingan dari rumah sakit
Universitas Indonesia
berupa buah atau kue basah. Klien minum dalam sehari 1,5 -2 liter dan lebih
sering minum air putih, terkadang teh atau susu dari rumah sakit. Klien
mengatakan selama di rumah sakit nafsu makannya baik, makan selalu habis,
namun terkadang klien merasakan mual dan muntah. Klien tidak merasakan nyeri
ulu hati. Klien tidak memiliki alergi terhadap jenis makanan tertentu dan tidak
memiliki masalah dalam mengunyah serta menelan. Gigi klien nampak bersih,
tidak ada karies. Berat badan klien 75-80 kg sebelum sakit. Saat dilakukan
pengkajian berat badan sekarang (10 Juni 2013) 74 kg, lingkar perut 85 cm,
tinggi badan 168 cm. bentuk tubuh nampak sedikit gemuk tidak ada perbesaran
kelenjar tiroid, tidak ada sariawan, tidak mengalami perdarahan gusi, lidah bersih
dan nampak kemerahan.
Klien tidak mengalami dispnea yang berhubungan dengan batuk maupun sputum,
tidak memiliki riwayat bronchitis, TB, emfisema maupun pneumonia. Klien tidak
merokok dan tidak terpajan udara yang berbahaya. Selama dirawat di rumah sakit,
klien tidak terpasang alat bantu nafas. Pergerakan dada selama bernafas simetris,
tidak ada penggunaan otot bantu, tidak ada nafas cuping hidung. Hasil auskultasi
terdengar bahwa suara nafas klien vesikuler. Klien juga tidak mengalami sianosis.
Universitas Indonesia
Klien tidak memiliki alergi terhadap obat maupun makanan, tidak pernah
mengalami cedera sebelumnya, tidak mengalami fraktur, tidak mengalami
arthritis, tidak mengalami masalah punggung, tidak terjadi perbesaran nodus dan
tidak menggunakan alat ambulatori. Terjadi kerusakan integritas kulit yang
berlokasi pada kedua telapak kaki, jaringan parut tidak terbentuk, terjadi
kemerahan pada luka, lepuh pada kedua telapak kaki, klien mengalami luka bakar
derajat II, produksi pus kurang lebih 50cc. Klien mengalami parestesia, cara
berjalan dengan tertatih dan berpegangan pada tembok. Klien juga merasakan
nyeri karena luka bakar di kedua telapak kakinya. Intensitasnya 4 saat klien
hanya berbaring dan meningkat menjadi 6 saat diganti balutan atau saat bergerak.
Frekuensi nyeri sering muncul, seperti berdenyut dan menusuk dengan durasi 5
detik namun tidak menjalar. Untuk mengurangi nyeri biasanya klien mengurangi
pergerakan dan berubah posisi dengan bertahap. Ekspresi nyeri yang teramati dari
klien adalah mengerutkan muka dan menjaga area yang sakit
Faktor stress yang dialami klien adalah karena sakit DM yang dialami membuat
kaki terasa baal sehingga klien pergi ke sauna dengan harapan kakinya tidak baal
lagi, namun ternyata hal tersebut semakin memperburuk masalah karena sekarang
kedua telapak kakinya melepuh. Klien mengatasi stres dengan cara berdoa dan
bersabar. Klien mengatakan masalah finansial tidak dirasakan karena biaya rumah
sakit ditanggung oleh angkatan darat. Ketika muda, klien senang makan apapun
dan tidak terkontrol, klien juga mengatakan bahwa sakit DM yang dialaminya
akibat gaya hidupnya. Namun, klien tidak berputus asa dengan kondisinya saat ini
dan tetap optimis dapat sembuh. Klien nampak tenang, tidak cemas, tidak mudah
marah, tidak menarik diri, mudah bergaul dengan pasien lain maupun dengan
perawat. Bahasa dominan yang digunakan klien adalah bahasa Indonesia dan klien
melek huruf. Klien membutuhkan pembelajaran mengenai diagnosis penyakit,
manajemen nyeri, diet dan nutrisi, perawatan luka di rumah, penggunaan alat
bantu berupa kruk dan tanggal kontrol. Sumber bantuan yang tersedia di rumah
adalah keluarga. Perubahan yang diantisipasi setelah pulang ke rumah adalah
waspada terhadap risiko jatuh dan cedera karena klien berjalan tertatih dan
berpegangan pada tembok, sebaiknya klien berjalan menggunakan kruk. Aktivitas
Universitas Indonesia
Berikut ini adalah tabel obat-obatan yang dikonsumsi oleh Tn S selama dirawat di
RSPAD Gatot Soebroto.
Tabel 3.1 Daftar Obat yang Dikonsumsi Tn S. Selama di RSPAD GAtot
Soebroto
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kerusakan integritas kulit dapat ditegakkan karena klien mengatakan telapak kaki
dan tangan merasa kebas dan merasa nyaman ketika diuap di sauna. Klien tidak
menyadari bahwa suhunya terlalu panas, setelah pulang ke rumaJh klien baru
merasakan kakiknya melepuh dan terasa nyeri. Klien mengatakan memiliki sakit
DM sejak 8 tahun lalu akibat pola makannya yang sembarangan. Adapun tanda
yang dapat teramati pada klien adalah terdapat luka bakar derajat II di kedua
telapak kakinya. Seluruh telapak kaki melepuh, kulit bengkak pada bagian bawah
berwarna putih, produksi cairan 50 cc, cairan bening, nampak sebagian kulit
mengelupas, luka 16cmx8cm, jaringan epitelisasi dan granulasi belum nampak,
kedalaman luka menembus dermis, rembesan (+), luka tidak bau. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukosit 8.400 (10 Juni 13) dan
procalcitonin 138, 44 µg/ml (19 Juni 2013).
Klien mengatakan kedua kakinya nyeri berdenyut, saat istirahat nyeri masih
dirasakan skala 4, saat digerakkan atau ganti balutan nyeri dirasakan skala 6.
Nyeri sering muncul, seperti berdenyut dan menusuk namun tidak menjalar,
durasi selama 5 detik. Selain itu, klien nampak mengerutkan muka, meringis,
melindungi area yang sakit, membatasi gerak, melaporkan nyeri secara verbal,
TD= 140/90 mmHg, N= 78x /menit, pernafasan= 18x/menit, suhu=36,8 C. Oleh
karena itu, diagnosis nyeri akut dapat diegakkan pada Tn. S.
Universitas Indonesia
mg/dL, Hb: 10,9 g/dL (10 jun 13), albumin 2,9 gr/dL, globulin 2,2 g/dl (19 Juni
2013), HBA1C 9,5%. Pengukuran antropometri menunjukkan bahwa TB= 168 cm,
BB=74 kg, IMT=26,42 (overwheight). Kadang merasa mual namun tetap
berusaha menghabiskan makan, makan selalu habis ¾-1 porsi makanan dari
rumah sakit. Hal tersebut dapat menjadi data penegakan diagnosis risiko
ketidakseimbangan kadar glukosa darah.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto merupakan
rumah sakit rujukan bagi seluruh tentara angkatan darat. Rumah sakit yang
berlokasi di jalan Abdul Rahman Saleh nomor 24 Jakarta Pusat ini sudah berdiri
sejak zaman belanda dengan nama groot militare hospital welterveden yang
merupakan rumah sakit tentara Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, tahun
1942 berpindah alih menjadi rumah sakit militer angkatan darat Jepang dengan
nama rikugun byoin. Rumah sakit ini pada akhirnya dikuasai oleh KNIL pada
masa kemerdekaan RI tahun 1945 dengan nama leger hospital Batavia. Pada
tanggal 26 Juli 1950 diserahkan kepada Djawatan Kesehatan Angkatan Darat dan
menjadi rumah sakit tentara pusat. Tanggal tersebut hingga kini diperingati
sebagai hari jadi RSPAD Gatot Soebroto (“Selayang Pandang”, n.d.).
Sejak 1977 RSPAD Gatot Soebroto ditkesad ditunjuk menjadi salah satu tempat
pemeriksaan dan perawatan pejabat tinggi sampai sekarang. Mengingat peran
serta rumah sakit terhadap pelayanan kesehatan masyarakat maka sejak tahun
1989, RSPAD Gatot Soebroto mulai membuka diri untuk pelayanan swasta
sampai sekarang, dikenal sebagai paviliun dr. R. Darmawan, PS untuk rawat inap.
Kemudian tahun 1991 didirikan bangunan 6 lantai di paviliun Kartika untuk rawat
jalan dan rawat inap. Selanjutnya diresmikan paviliun dr. Iman Sudjudi melayani
kesehatan ibu dan bayi, paviliun anak untuk perawatan anak serta non paviliun
untuk perawatan kelas tiga (“Selayang Pandang”, n.d.).
Visi RSPAD Gatot Soebroto adalah menjadi rumah sakit kebanggan prajurit. Visi
tersebut diturunkan ke dalam misi utama, misi khusus dan misi tambahan. Misi
Utama RSPAD Gatot Soebroto adalah menyelenggarakan fungsi perumahsakitan
tingkat pusat dan rujukan tertinggi bagi rumah sakit TNI AD dalam rangka
mendukung tugas pokok TNI AD. Misi khususnya adalah menyelenggarakan
dukungan dan pelayanan kesehatan yang professional dan bermutu serta
menyeluruh bagi prajurit/ PNS TNI AD dan keluarganya dalam rangka
45 Universitas Indonesia
Lantai 6 Perawatan Umum merupakan ruangan kelas III yang merawat pasien
dengan penyakit dalam. Lantai 6 perawatan umum memiliki 11 kamar dengan
kapasitas tempat tidur 4-6 bed perkamar. Pasien yang dirawat di lantai 6 PU
adalah pasien yang menderita sakit kanker yang memerlukan kemoterapi,
penyakit mata dan telinga, penyakit DM dan gangguan endokrin, penyakit stroke
dan gangguan saraf lainnya, penyakit gangguan pada hati dan ginjal HIV,
penyakit autoimun, penyakit tropis seperti DHF, malaria, thypoid. Dalam rentang
waktu empat bulan terakhir (Januari- April 2013) penyakit-penyakit yang menjadi
spesialisasi lantai 6 perawatan umum selalu menempati posisi 6 besar
Universitas Indonesia
yaitu diabetes mellitus, DHF, CKD, thypoid, gastritis, stroke dan hipertensi.
Penyakit yang selalu menempati posisi pertama pada bulan Februari hingga April
2013 adalah diabetes mellitus. Beragamnya jenis penyakit dalam yang ada di
lantai 6 perawatan umum mendukung pula iklim belajar bagi mahasiswa yang
sedang praktik, karena mahasiswa dapat lebih banyak terpapar variasi penyakit
dan asuhan keperawatan yang khas pada setiap penyakit. Mahasiswa dapat
merasakan pengalaman langsung berinteraksi dan menerapkan asuhan
keperawatan yang telah dipelajari di kampus untuk diterapkan kepada pasien-
pasien di lantai 6 perawatan umum dengan bimbingan dari pembimbing klinik dan
perawat ruangan. Lantai 6 perawatan umum juga digunakan sebagai tempat riset
untuk mengembangkan keilmuan khususnya di bidang kesehatan. Hal tersebut
sesuai dengan misi yang diemban oleh RSPAD Gatot Soebroto mengembangkan
keilmuan secara berkesinambungan, meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan
melalui pendidikan berkelanjutan dan memberikan lingkungan yang mendukung
proses pembelajaran dan penelitian bagi tenaga kesehatan
Universitas Indonesia
masyarakatnya. Salah satu penyakit yang umumnya terkait dengan gaya hidup
terutama gaya hidup masyarakat perkotaan adalah DM, terutama DM tipe 2.
Berdasarkan konsep KKMP, agregat adalah sebuah komunitas yang terdiri dari
orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama (Nies & Mc Eewen, 2007).
Persamaan tersebut dapat digolongkan berdasarkan tempat tinggal, demografi,
organisasi dan lainnya. Berdasarkan konsep agregat, maka penyakit DM dapat
diderita oleh agregat tertentu berdasarkan faktor risikonya. Penyakit DM tipe 2
sering diderita oleh agregat dewasa yang berusia > 45 tahun (Holt, Cockram,
Flyvbjerg & Goldstein, 2010). Menurut Smeltzer & Bare (2008) DM tipe 1 yang
disebabkan oleh autoimun dapat diderita pada pasien yang masih muda
(<30tahun), sehingga awitannya dapat ditemukan pada agregat anak sekolah
maupun agregat remaja. Agregat ibu hamil dapat terkena penyakit DM
gestasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyakit diabetes mellitus dapat
diderita oleh masyarakat perkotaan dengan rentang usia agregat yang luas.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tn. S berusia 50 tahun termasuk ke dalam agregat usia dewasa (>45 tahun) yang
berisiko mengalami DM tipe 2. Sebagai masyarakat perkotaan, Tn. S memiliki
faktor risiko untuk terkena DM tipe 2 yaitu dari riwayat keturunan keluarganya
yang juga mengalami DM dan faktor usia yang lebih dari 45 tahun. Dari segi gaya
hidup masyarakat perkotaan, Tn S juga tergolong jarang berolahraga, klien
mengatakan lebih senang menghabiskan waktu luang dengan membaca atau
menonton televisi. Tn S juga mengatakan bahwa dahulu makannya tidak
terkontrol dan cenderung berlebihan sehingga Tn S mengalami kelebihan berat
badan yaitu mencapai 80 kg dengan tinggi badan 168 cm dan IMT 28 yang
tergolong overweight meskipun belum mencapai obesitas. Dari segi kerentanan
terhadap masalah kesehatan, Tn S bukan termasuk individu yang rentan dari segi
ekonomi karena Tn. S mengatakan tidak memiliki masalah finansial. Dari segi
kerentanan usia, Tn S yang berusia 50 tahun, oleh karena itu Tn S. dapat
tergolong dalam kelompok usia yang rentan mengalami diabetes mellitus.
Penyakit DM yang dialami oleh Tn S juga dapat menjadikan Tn S rentan terhadap
berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh DM, salah satunya adalah neuropati.
Universitas Indonesia
Manifestasi klinis yang dialami klien berupa ketidakstabilan kadar glukosa darah
dapat disebabkan karena retensi insulin dan defisiensi insulin. Insulin berfungsi
menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati (berupa glikogen), meningkatkan
penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adipose, mempercepat
pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari protein makanan) ke dalam sel
dan menghambat pemecahan glukosa, protein dan lemak yang disimpan.
(Smeltzer& Bare, 2008). Resistensi insulin akan menyebabkan insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Selain
kondisi resistensi insulin, pankreas juga gagal dalam mengkompensasi kondisi
Universitas Indonesia
tersebut (defisiensi insulin). Defisiensi insulin terjadi karena sel beta terus
menerus terpapar oleh kondisi hiperglikemia, sehingga kurang berespon terhadap
kenaikan kadar glukosa (Smeltzer& Bare, 2008; Black & Hawks, 2009). Kondisi
ini menyebabkan perasaan cepat lapar karena sel tidak mendapat pasokan glukosa
yang adekuat seperti yang dialami oleh Tn S. Sel yang lapar tersebut membuat Tn
S makan dalam porsi besar melebihi kebutuhan kalori tubuh sehingga Tn S
mengalami kelebihan berat badan (overweight). Kondisi hiperglikemia yang
dialami oleh Tn S juga menyebabkan diuresis osmosis karena kadar glukosa darah
melewati ambang filtrasi glomerulus yaitu >200mg/dL yang ditandai adanya
poliuri dan glukosuria. Kondisi ini menbuat tubuh juga kehilangan banyak
elektroli dan menjadi cepat haus (polidipsi).
Universitas Indonesia
Tn S mengalami luka bakar derajat 2 pada kedua telapak kakinya. Hal tersebut
dikarenakan Tn. S tidak dapat merasakan suhu panas yang dipancarkan alat uap
pada kakinya. Sebelum pergi ke sauna dengan harapan dapat sembuh, Tn S sering
merasa kesemutan pada kedua kakinya dan terasa baal. Kondisi yang dialami Tn S
dapat disebabkan karena komplikasi kronis DM yaitu neuropati perifer yang
sering mengani saraf bagian bawah. Menurut Smeltzer & Bare (2008) hal ini
berkaitan dengan mekanisme metabolik dan vaskuler pada penderita DM sehingga
peningkatan kadar glukosa dalam darah menyebabkan demielinisasi saraf.
Kelainan pada selubung myelin menyebabkan hantaran saraf menjadi terganggu.
Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh secara simetris dan dapat meluas ke
bagian proksimal. Gejala awalnya yang dirasaan Tn. S adalah rasa parestesia (rasa
tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan), kemudian berlanjut kaki
terasa baal (patirasa), serta penurunan sensibilitas terhadap nyeri dan rangsangan
suhu yang membuat Tn. S berisiko mengalami cedera dan infeksi tanpa diketahui.
Rasa mual dan muntah yang terkadang dirasakan Tn S dapat terjadi karena
neuropati otonom pada sistem gastrointestinal, yaitu terjadi perlambatan
pengosongan lambung. Gejala khas berupa mual, kenyang, kembung hingga ingin
muntah. Pada sistem urinarius, penderita DM mengalami gangguan berupa retensi
urin sehingga rentan pula terhadap infeksi saluran kemih. Hal tersebut sesuai
dengan yang dirasakan oleh Tn. S yang sering merasa tidak tuntas ketika buang
air kecil.
4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait
Perawatan luka bakar derajat II dengan menggunakan madu secara topikal
merupakan intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat secara mandiri maupun
berkolaborasi dengan dokter. Luka bakar derajat II menurut Smeltzer & Bare
(2008) adalah luka bakar yang meliputi kerusakan epidermis serta lapisan atas
dermis dan cedera pada bagian dermis yang lebih dalam dengan karakter tampak
merah dan mengalami eksudasi cairan (edema), melepuh, epidermis retak,
permukaan luka basah. Hal ini sesuai dengan luka yang dialami oleh Tn. S,
karakteristiknya adalah seluruh telapak kaki melepuh, kulit bengkak pada bagian
bawah berwarna putih, produksi cairan 50 cc, cairan bening, nampak sebagian
Universitas Indonesia
kulit mengelupas, luka 16cm x 8cm, jaringan epitelisasi dan granulasi belum
nampak, kedalaman luka menembus dermis, terdapat rembesan dan luka tidak
bau.
Proses perawatan luka bakar yang diterapkan kepada Tn. S sesuai dengan metode
dalam Smeltzer & Bare (2008) yang dipadukan dengan prinsip dasar perawatan
luka pada pasien DM menurut Moffat, Martin & Smithdale (2007) dan Milne &
Landry (2003) dalam Kristianto (2011), yaitu sebagai berikut:
a. Pembersihan Luka
Pembersihan dilakukan dengan larutan normal salin. Daerah tubuh yang
tidak terbakar disekitar luka juga dibersihkan untuk mencegah kontaminasi
pada luka. Pada saat proses membersihkan luka, penulis melakukan inspeksi
kondisi luka yang meliputi tanda kemerahan, keretakan maupn tanda-tanda
infeksi. Cairan pada bula dikeluarkan begitu pula bila ada kulit yang lepas
juga harus diangkat dengan mempertahankan teknik aseptik. Hal tersebut
sesuai dengan prinsip perawatan luka DM yaitu menghilangkan jaringan yang
mati untuk mencegah infeksi. Pembersihan luka dilakukan sehari sekali
karena mempertimbangkan efisiensi, meskipun menurut penelitian Dewi,
Sanarto & Taqiyah (2012) menujukkan bahwa proses penggantian balutan
yang terbaik untuk mempercepat proses penyembuhan luka bakar derajat II
dalah 2-3 kali dalam sehari, dibandingkan dengan 2 hari sekali atau sehari
sekali karena kelembaban luka lebih terjamin dan terhindar dari risiko
Universitas Indonesia
infeksi. Sesuai dengan prinsip perawatan luka DM, menjaga kondisi luka
tetap lembab bertujuan juga untuk meningkatkan kemampuan jaringan dalam
proses penyembuhan luka.
b. Terapi Antibiotik Topikal
Terapi antibiotik luka bakar bertujuan untuk mengurangi jumlah bakteri.
Kriteria untuk memilih preparat topikal meliputi: preparat tersebut harus
efektif terhadap mikroorganisme gram negatif bahkan jamur, efektif secara
klinis, dapat menembus skar namun tidak bersifat toksik, cost-effective,
mudah diperoleh dan dapat diterima pasien serta mudah dipakai sehingga
tidak menghabiskan banyak waktu dalam aplikasinya. Preparat yang
diterapkan pada Tn S adalah dengan menggunakan madu, dimana madu juga
dapat memenuhi kriteria pemilihan preparat topikal yang telah disebutkan.
Preparat topikal lain yang sering digunakan adalah silver sulfazidin. Menurut
Handian (2006) madu nectar flora lebih efektif dalam mempercepat
penyembuhan luka bakar derajat II dibandingkan dengan silver sulfadiazine
Penelitian lain oleh Martyarini (2011) menyebutkan bahwa penyembuhan
luka bakar derajat dua dangkal yang diberi madu secara klinis berlangsung
lebih cepat dari yang diberi kasa tulle. Menurut Pramana, Suryani &
Supriyono (2012) menggunakan madu dan NaCl untuk merawat luka lebih
efektif dibanding menggunakan NaCl saja. Penelitian oleh Januarsih dan
Atik (2008) bahwa efek penyembuhan luka dengan madu memberikan
pengaruh yang signifikan. Penggunaan madu juga sejalan dengan prinsip
perawatan luka DM yaitu, mencegah eksudat diproduksi secara berlebihan
agar tidak menghambat proses penyembuhan
c. Proses Penggantian balutan
Balutan luar Tn. S dibuka dengan cara digunting dengan menggunakan
gunting verban. Kassa yang menempel pada luka dapat dilepas tanpa
menimbulkan rasa sakit dengan terlebih dahulu dibasahi dengan normal salin.
Balutan dilepas dengan hati-hati menggunakan sarung tangan steril atau
pinset steril. Langkah selanjutnya adalah pembersihan luka meliputi
debridemen untuk menghilangkan debris, preparat lokal yang tersisa, eksudat
dan kulit mati. Gunting dan pinset steril digunakan untuk memangkas eskar
Universitas Indonesia
dan kulit mati. Pengangkatan jaringan yang sudah mati sesuai dengan prinsip
perawatan luka DM. Selama proses penggantian balutan, kedaan luka
diinspeksi meliputi warna, bau, eksudat, ukuran, tanda reepitelisasi serta
eskar. Proses selanjutnya adalah mengoleskan kembali madu pada luka. Luka
tersebut kemudian ditutup kembali dengan kassa dan dibalut dengan verban
elastik dari sebelah distal ke proksimal. Selanjutnya Tn. S dianjurkan untuk
mengistirahatkan luka agar mencegah kerusakan jaringan.
Aplikasi madu secara topikal pada Tn S terbukti manfaatnya terutama dari segi
berkurangnya produksi pus dan munculnya granulasi. Pus masih diproduksi
hingga hari ke 4 perawatan karena berdasrkan proses penyembuhan luka, pada
masa tersebut sedang berlangsung proses inflamasi. Pada hari berikutnya
berlangsung fase poliferasi yaitu ditandai dengan mulai terbentuknya epitelisasi
dan granulasi. Perkembangan proses penyembuhan luka bakar derajat II pada Tn.
S sebagai berikut:
a. 11 Juni 2013
Berikut ini adalah gambar luka Tn. S pada tanggal 11 Juni 2013. Gambar
Luka di bawah adalah kondisi pada hari kedua setelah kejadian terpapar
suhu panas.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
e. 15 Juni 2013
Berikut ini adalah gambaran luka Tn. S pada tanggal 15 Juni 2013.
Kondisi luka dibawah ini adalah kondisi luka hari keenam setelah paparan
suhu panas yaitu memasuki tahapan proliferasi.
Universitas Indonesia
g. 18 Juni 2013
Nampak epitelisasi dan granulasi. Luas luka 16 cm x 8 cm, kedalaman
hingga dermis, tidak ada jaringan nekrotik,tidak rembes, bau minimal,
sensasi masih dirasakan klien dan kulit di sekitar luka masih nampak
lembab. Berikut ini adalah gambaran luka Tn. S pada tanggal 18 Juni
2013.
Universitas Indonesia
maupun mahasiswa lain agar dapat mempercepat proses penggantian balutan luka.
Terkadang penulis juga mengalami hambatan berupa keterbatasan set steril,
sehingga dengan set steril yang tersedia diaharapkan dapat dipertahankan
kesterilannya. Penulis juga tidak setiap hari melakukan perawatan luka, karena
pada waktu-waktu tertentu perawatan luka dilakukan oleh dokter bedah plastik,
namun perawat tetap menjadi asisten. Saat pertama kali mengaplikasikan madu
pada luka, penulis masih mengalami kesulitan karena madu masih berceceran dan
masih bingung untuk mengaplikasikan madu secara tepat, namun dengan
bimbingan perawat ruangan dan mengobservasi cara yang dilakukan dokter bedah
plastik, pada akhirnya penulis dapat mengaplikasikan madu dengan cukup baik
pada luka. Dalam memperkirakan jumlah eksudat awalnya penulis juga
mengalami hambatan.
Mengenai aplikasi madu secara topikal, beberapa cara yang dapat dipakai saat
merawat luka dengan terapi madu (Molan,2001) adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Untuk mencegah madu merembes keluar dari luka penulis menggunakan lapisan
kassa yang agak tebal, dan menutup seluruh telapak kaki dengan kassa gulung dan
elastic verban. Dengan cara seperti itu, diharapkan madu tidak merembes keluar,
Universitas Indonesia
balutan tidak terkontaminasi kotoran dari luar dan luka tidak didatangi oleh
serangga seperti semut. Namun, kelemahannya adalah penggunaan kassa juga
menjadi lebih boros.
Balutan diganti sehari sekali karena masih terdapat eksudat. Penggantian balutan
setiap hari pada luka yang masih terdapat eksudat diharapkan dapat mempercepat
proses penyembuhan luka, karena madu akan segera terlarut dengan eksudat dan
eksudat pun dapat terserap dengan baik pada kassa. Frekuensi penggantian balutan
pada luka yang menggunakan madu sebagai terapi topikal juga mempengaruhi
proses penyembuhan luka (Dewi, Sanarto & Taqiyah, 2012) dan tergantung dari
cepatnya madu terlarut pada eksudat (Molan, 2001). Selain itu, frekuensi
penggantian balutan juga dapat mempertimbangkan aspek efisiensi.
Universitas Indonesia
5.1 Simpulan
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan DM tipe
II dan luka bakar derajat II didapatkan hasil antara lain faktor risiko DM Tn S
meliputi keturunan, usia dan gaya hidup yang kurang olahraga serta pola makan
yang berlebihan. Luka bakar derajat II yang dialami oleh Tn S disebabkan karena
terpajan uap panas dalam waktu lama. Masalah keperawatan yang muncul pada
Tn S adalah kerusakan integritas kulit, nyeri akut dan risiko ketidakstabilan kadar
glukosa darah. Implementasi yang sudah dilakukan meliputi perawatan luka
dengan madu, manajemen nyeri dan penatalaksanaan diabetes mellitus yang
meliputi: diet, pemantauan kadar glukosa darah melalui kurva gula darah harian,
dan pendidikan kesehatan. Aplikasi madu secara topikal pada Tn S terbukti
manfaatnya terutama dari segi berkurangnya produksi pus dan munculnya
granulasi
1.2 Saran
Bagi Penulis diharapkan dapat:
a. Meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pemberian asuhan
keperawatan pada klien DM, terutama dengan luka.
b. Senantiasa meningkatkan semangat belajar dan critical thingking sehingga
dapat terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan menerapkan
inovasi di bidang keperawatan.
Bagi Masyarakat perkotaan diharapkan dapat:
a. Meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes mellitus meliputi definisi,
faktor risiko jenis, manifestasi klinis, dan komplikasinya
b. Menjauhkan diri dari kebiasaan hidup yang berisiko menimbulkan penyakit
DM, terutama DM tipe 2 seperti kurang berolahraga dan makan secara
berlebihan.
63 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Arifin, Zaenal. (2011). Hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah
pasien diabetes mellitus tipe 2 di rumah sakit umum proponsi nusa
tenggara barat. Tesis tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.
Basuki, E.(1999). Penyuluhan Diabetes Mellitus. Dalam Pusat Diabetes dan Lipid
RSUP Nasional Dr. Ciptomangunkusumo FK UI. Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus Terpadu. (cetakan Pertama, halaman 111-125). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Black, Joyce M. & Hawks, Jane H. 2009. Medical surgical nursing: Clinical
manajemen for positive outcomes. (8th edition). St.Louis Missouri:
Saunders.
Bryant, Ruth A & Nix, Denise P. ( 2007). Acute and chronic wound: Current
management concepts. (3rd edition). St. Louis Missouri: Mosby Elsevier.
Cooper, Rose. (2004). A review of the evidence for the use of topical
antimicrobial agents in wound care. 29 Juni 2013.
http://www.worldwidewounds.com/2004/february/Cooper/Topical-
Antimicrobial-Agents.html.
Dewi, D., Sanarto & Taqiyah, Barotut. (2012). Pengaruh frekuensi perawatan
luka bakar derajat II dengan madu nectar flora terhadap lama
penyembuhan luka. 26 Juni 2013.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/viewFile/628/648
_umm_scientific_journal.pdf.
65 Universitas Indonesia
Handayani. 2012. Modifikasi gaya hidup dan intervensi farmakologis dini untuk
pencegahan penyakit diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Media Gizi
Masyarakat Indonesia, Vol. 1, No. 2, Februari 2012: 65-70.
Herdman, T.H. (2012) (Ed.). Nanda Internasional nursing diagnoses: definition &
Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.
Holt, Richard, I.G., Cockram, Clive., Flyvbjerg, Allan & Goldstein, Barry
J.(2010). Textbook of diabetes. (Fourth edition). Chicester. West Sussex :
Wiley-Blackwel. A John eilwy & Sons, ltd.
Lewis, D.L., Heitkemper, M.M., O’Brien, P.G., & Bucher, L. (2007) . Medical
surgical nursing: Assesment and management of clinical problems.
Volume 2. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier.
Matyarini, Shazita Adiba. (2011). Efek madu dalam proses epitelisasi luka bakar
derajat II dangkal. Skripsi. 27 Juni 2013.
http://eprints.undip.ac.id/37300/1/Shazita.pdf .
Universitas Indonesia
Smeltzer, S & Bare, B.G. (2008). Brunner & suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. Philadelpia: Lippincot.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-
proses penyakit (Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari &
Dewi Asih Mahanani, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Universitas Indonesia
ANALISIS DATA
DO:
HBA1C 9,5%
dirasakan luka.
klien, tidak
ada jaringan f. Tinggikan tungkai 30 derajat: untuk
kehitaman. melancarkan aliran balik darah dan
Kulit mencegah edema tungkai
disekitar
luka terjaga g. Massase dan jaga kelembaban kulit
kelembabany di sekitar luka: untuk memperlancar
a sirkulasi
Kolaborasi
muntah,
poliuria,
kelemaha,
letargi,
takikardi,
nafas
kusmaull)
Klien
mematuhi
program diet
yang telah
ditentukan
Klien dapat
menyebutka
n tanda dan
gejala
hipoglikemia
dan
hiperglikemi
a
Klien
mematuhi
prosedur
pemeriksaan
gula darah
CATATAN PERKEMBANGAN
a. 11 juni 2013
Diagnosa Evaluasi
Waktu Implementasi
keperawatan
10.00 Kerusakan Integritas 1. Menganjurkan S : Klien mengatakan
kulit. klien untuk selalu menghabiskan
menjaga balutan makanan dari rumah
luka tetap kering
sakit, klien mengatakan
2. Mencuci tangan
sebelum akan menjaga luka
melakukan tetap kering
tindakan O : telapak kaki masih
3. Mengkaji kondisi menggembung,
luka terisi eksudat
4. Melakukan berwarna jernih
perawatan luka
50cc. Sebagian
dengan NaCl dan
madu. kulit mati telah
5. Meninggikan digunting dan
tungkai 30 nampak
derajat kemerahan di
6. Kolaborasi bawah kulit yang
antibiotic sudah digunting.
7. Kolaborasi ahli
Luas luka 16 cm x
gizi
8 cm, kedalaman
hingga dermis,
tidak ada jaringan
nekrotik, bau
minimal, sensasi
masih dirasakan
klien dan kulit di
sekitar luka masih
nampak lembab.
A : Masalah kerusakan
integritas kulit
belum teratasi
P : memastikan balutan
luka tidak basah dan
terkontaminasi,
mengkaji kondisi luka,
merawat luka dengan
madu, massase tungkai,
kolaborasi antibiotic,
kolaborasi ahli gizi.
P : - monitor TTV
- Pantau keluhan
nyeri
- ciptakan
lingkungan yang
aman bagi klien
- mengajarkan
distraksi pada
kegiatan.
12.00 Risiko 1. KGDH senin- S: klien mengatakan
ketidakseimbangan kamis makan habis 1 porsi
glukosa darah 2. Memberikan dana makana selingan
informasi
dari rumah sakit juga
mengenai
diabetes mellitus sudah dimakan, minum
3. Menganjurkan pagi ini 750cc, sudah
klein untuk BAK 2 kali
mematuhi diet di O: GDS 271 mg/dL
rumah sakit -novorapid 9 unit
4. Kolaborasi Diet DM 1700kalori
dengan ahli gizi
Tanda hipoglikemi
5. Kolaborasi
dnegan dokter> tidak terjadi
injeksi novorapid Tanda hiperglikemi
sleeding scale tidak terjadi
kelipatan 3 A: masalah risiko
ketidakseimbangan
b. 12 juni 2013
Diagnosa Evaluasi
Waktu Implementasi
keperawatan
16.00 Kerusakan Integritas 1. Mengecak S : Klien mengatakan
kulit. kembali kondisi tadi ke kamar mandi
baluta. sudah memakai sandal
2. Menganjurkan
dan ditutup plastic
klien untuk
menjaga balutan O: nampak luka
luka tetap kering combustion derajat II
3. Menganjurkan yang ditutup kassa dana
klien merubah perban elastic. Balutan
posisi secra kering, tidak ada
perlahan rembes , kulit sekitar
4. Member massase
luka nampak lembab.
5. Kolaborasi
ceftazidine Tadi pagi telah
dilakukan penggantian
balutan oleh perawat
dinas pagi. Kondisi
luka terdapat 2 insisi
untuk mengeluarkan
pus. Pus sebelah kanan
50 cc warna kuning
bening, pus sebelah kiri
warna kuning bening
10 cc, terdapat jaringan
granulasi kurang lebih
berdiameter 4 cm.
leukosit 15630
A : Masalah kerusakan
integritas kulit
belum teratasi
P : memastikan balutan
luka tidak basar dan
terkontaminasi,
mengkaji kondisi luka,
merawat luka dengan
madu, massase tungkai,
kolaborasi antibiotic,
kolaborasi ahli gizi.
P : - monitor TTV
- Pantau keluhan
nyeri
- ciptakan
lingkungan yang
aman bagi klien
- mengajarkan
distraksi
- anjurkan klien
melaporkan nyeri.
c.13juni 2013
Diagnosa Evaluasi
Waktu Implementasi
keperawatan
10.00 Kerusakan Integritas 1. Mencuci tangan S : klien mengatakan
kulit. sebelum akan menjaga luka tetap
melakukan kering
tindakan
O : telapak kaki masih
2. Mengkaji
kondisi luka menggembung,
3. Melakukan terisi eksudat
perawatan luka berwarna jernih
dengan 20cc. Sebagian
membersihkan kulit mati telah
dengan NaCL digunting dan
dan mengoleskan
nampak epitelisasi
madu.
4. Meninggikan dan granulasi. Luas
tungkai 30 luka 16 cm x 8 cm,
derajat kedalaman hingga
8. Kolaborasi dermis, tidak ada
antibiotic dan jaringan nekrotik,
rantin bau minimal,
9. Kolaborasi ahli
sensasi masih
gizi
dirasakan klien
dan kulit di sekitar
luka masih nampak
lembab. Leukosit
15630
A : Masalah kerusakan
integritas kulit
belum teratasi
P : memastikan balutan
luka tidak basah dan
terkontaminasi,
mengkaji kondisi luka,
merawat luka dengan
madu, massase tungkai,
kolaborasi antibiotic,
kolaborasi ahli gizi.
P : - monitor TTV
- Pantau keluhan
nyeri
- ciptakan
lingkungan yang
nyaman bagi klien
- menganjurkan
distraksi pada
kegiatan.
- Terapi kolaborasi
dilanjutkan
12.00 Risiko 1. Mengambil S: klien mengatakan
ketidakseimbangan sampel darah makan habis 1 porsi ,
glukosa darah vena untuk tidak makan makanan
KGDH senin-
d.14Juni 2013
Diagnosa Evaluasi
Waktu Implementasi
keperawatan
10.00 Kerusakan Integritas 1. Kolaborasi S : klien mengatakan
kulit. perawatan luka akan menjaga luka
dengan dokter tetap kering
bedah plastic
O : telapak kaki masih
2. Mengkaji kondisi
luka menggembung,
3. Meninggikan namun sudah
tungkai 30 derajat mulai
4. Kembali mengempis,
P : - monitor TTV
- Pantau keluhan
nyeri
- ciptakan
lingkungan yang
nyaman bagi
klien
- Terapi kolaborasi
dilanjutkan
12.00 Risiko 1. Mengajarkan S: klien mengatakan
ketidakseimbangan kepada klien cara makan habis 1 porsi
glukosa darah menyuntikkan tersissa 1-2 sendok
insulin
makan, tidak makan
2. Menganjurkan
klein untuk makanan dari luar
mematuhi diet di rumah sakit. Klien
rumah sakit dan belum berani
tidak makan memperagakan cara
makanan dari luar penyuntikan insulin
rumah sakit O:
3. Kolaborasi
Diet DM 1700kalori
dengan ahli gizi
4. Kolaborasi Tanda hipoglikemi
dengan dokter> tidak terjadi
injeksi novorapid Tanda hiperglikemi
18-16-18 unit tidak terjadi
A: masalah risiko
ketidakseimbangan
kadar glukosa darah
masih terjadi
P: memotivasi untuk
mematuhi diet dari
rumah sakit, KGDH
senin-kamis, monitor
tanda hipoglikemi dan
hiperglikemi,
memberikan
kolaborasi novorapid
segera sebelum
makan, memotivasi
klien untuk belajar
menyuntiikan insulin,
kolaborasi ahli gizi,
kolaborasi dokter.
Diagnosa Evaluasi
Waktu Implementasi
keperawatan
10.00 Kerusakan Integritas 1. Mencuci tangan S : klien mengatakan
kulit. sebelum akan menjaga luka
melakukan tetap kering
tindakan
O : telapak kaki masih
2. Mengkaji kondisi
luka menggembung,
3. Merawat luka namun sudah
dengan madu mulai
4. Meninggikan mengempis,
tungkai 30 derajat terisi eksudat
5. Kembali berwarna jernih 5
mengingatkan
cc di tungkai
klien untuk
menjaga balutan kanan, tungkai
tetap kering kiri tidak ada
7. Kolaborasi pus. nampak
antibiotic dan epitelisasi dan
rantin granulasi. Luas
8. Kolaborasi ahli luka 16 cm x 8
gizi
cm, kedalaman
hingga dermis,
tidak ada
jaringan
nekrotik, bau
minimal, sensasi
masih dirasakan
klien dan kulit di
sekitar luka
masih nampak
lembab.
A : Masalah kerusakan
integritas kulit
belum teratasi
P : memastikan
balutan luka tidak
basah dan
terkontaminasi,
mengkaji kondisi luka,
merawat luka dengan
madu dan mebo,
massase tungkai,
kolaborasi antibiotic,
kolaborasi ahli gizi.
P : - monitor TTV
- Pantau keluhan
nyeri
- ciptakan
lingkungan yang
nyaman bagi
klien
- terapi kolaborasi
dihentikan
12.00 Risiko 1. Mengajarkan S: klien mengatakan
ketidakseimbangan kembali kepada makan habis 1 porsi,
glukosa darah klien cara tidak makan makanan
menyuntikkan
dari luar rumah sakit.
insulin
Diagnosa Evaluasi
Waktu Implementasi
keperawatan
16.00 Kerusakan Integritas 1. Mencuci tangan S : klien mengatakan
kulit. sebelum akan menjaga luka
melakukan tetap kering
tindakan
O : telapak kaki sudah
2. Mengkaji kondisi
luka tidak
P : - monitor TTV
- Pantau keluhan
nyeri
- ciptakan
lingkungan yang
nyaman bagi
klien
- terapi kolaborasi
dihentikan
18.00 Risiko 1. Menganjurkan S: klien mengatakan
ketidakseimbangan klein untuk makan habis 1 porsi,
glukosa darah mematuhi diet di tidak makan makanan
rumah sakit dan
dari luar rumah sakit.
tidak makan
makanan dari luar O:
rumah sakit Diet DM 1700kalori
2. Kolaborasi dengan Tanda hipoglikemi
ahli gizi tidak terjadi
3. Kolaborasi dengan Tanda hiperglikemi
dokter> injeksi tidak terjadi
novorapid 18-16-
Klien dapat
18 unit
4. Timbang berat menyuntikkn sendiri
badan insulin dengan
diawasi perawat
BB=82 kg
KGDH : 252, 302,
183
Novorapid: 22-18-22
unit
A: masalah risiko
ketidakseimbangan
kadar glukosa darah
masih terjadi
P: memotivasi untuk
mematuhi diet dari
Diagnosa Evaluasi
Waktu Implementasi
keperawatan
16.00 Kerusakan Integritas 1. Merawat luka S:-
kulit. dengan madu di O : nampak epitelisasi
jaringan yang dan granulasi.
kemerahan dan
Luas luka 16 cm
mebo dijaringan
yang masih pucat x 8 cm,
telah dilakukan kedalaman
oleh perawat dinas hingga dermis,
pagi. tidak ada
2. Meninggikan jaringan
tungkai 30 derajat nekrotik,tidak
3. menjaga balutan
rembes, bau
tetap kering
4. Kolaborasi minimal, sensasi
antibiotic dan masih dirasakan
rantin klien dan kulit di
5. Kolaborasi ahli gizi sekitar luka
masih nampak
lembab.
Pukul 10.00 klien
menggigil, suhu
39,4 derajat
celcius. Leukosit
(15.710 pada 17
jun 13)
A : Masalah kerusakan
integritas kulit
belum teratasi,
muncul masalah
risiko infeksi
P : memastikan
balutan luka tidak
basah dan
terkontaminasi,
mengkaji kondisi luka,
merawat luka dengan
mebo dan supratule,
massase tungkai,
kolaborasi antibiotic,
kolaborasi
paracetamol 500mg
oral jika suhu lebih
dari 38 celcius.
kolaborasi ahli gizi.
P : - monitor TTV
- ciptakan
lingkungan yang
nyaman bagi
klien
- lanjutan kompres
- kolabolrasi
paracetamol jika
Biodata Penulis