Oleh:
dr.Cempaka Alvianika
Pendamping:
dr.Elis Sopiani
PUSKESMAS KARAWANG
SUKABUMI
2019
1
KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Umur : 1 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Laki- laki
Agama : Islam
Alamat : Kp. Kabandungan RT 04 RW 09
Tanggal pemeriksaan : 12 juni 2019
II. ANAMNESIS
Aloanamnesis pada tanggal 12 juni 2019, di pustu parungseah
A. Keluhan Utama
BAB cair sejak 3 bulan yang lalu
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh BAB cair sejak 3 bulan yang lalu, BAB cair menurut ibu paien
dirasakan sebayak 5x sehari cair tidak ada ampas,lendirdan darah diasangkal. Ibu pasien
mengakui pernah meminum obat diare yang diberikan di pustu namun keluhan belum membaik
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengakui pasien memilik penyakit TB dengan HIV. Keluhan BAB cair
tersebut di perparah semenjak obat TB pasien habis. Selain itu pasien mempunyai riwayat
penyakit HIV yang ditularkan oleh ibu pasien.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tingagal bersama ibu dan kedua kaka pasien, ayah pasien sudah menunggal
karena penyakit yang HIV. Ibu dan pasien positif HIV yang ditularkan oleh ayah pasien yang
disebabkan ole
h penyalahgunaan obat terlarang. Sedangkan kedua kaka pasien sehat karena berbeda
ayah. Ibu pasien sering menggambil obat TB dan HIV rutin ke puskesmas karawang atau ke
pustu parungseah secara teratur. Namun 1 bulan terakhir obat TB yang dikonsumsi pasien habis
ketika pasien pergi mudik.
2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
Nadi : 115 x/m
S: 36,5 c
RR: 24 x/m
Status gizi :
Berat badan : 7 kg
Tinggi badan : cm
Kepala : Normochepali, rambut hitam, lurus, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, deformitas (-)
Mata : edema palpebra (-/-), ptosis (-/-), sklera ikterik (-/-), conjunctiva
anemis (-/-), pupil bulat, isokor, tepi regular (+/+), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), enoftalmus (-),
eksolftalmus(-/-)
Telinga : Normotia, simetris kanan-kiri, nyeri tarik (-/-), nyeri tekan tragus dan
mastoid (-/-),serumen (+/+) minimal , sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Hidung : Normosepta, septum nasi di tengah, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Mulut-Tenggorok: Bibir kering (-), pucat (-), sianosis (-), lidah kotor (-), mukosa
warna merah jambu, gigi caries (-), uvula letak tengah,arcus faring
simetris,
faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, tenang, hiperemis (-)
Leher : KGB tidak teraba
Thorax :
Paru
a. Inspeksi : Gerakan dada simetris saat statis dan dinamis
b. Palpasi : Vocal fremitus kanan sama kanan dengan kiri
c. Perkusi : Sonor di lapang paru kanan dan kiri
d. Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : SI-II regular, murmur (-), gallop (-)
3
Abdomen :
Inspeksi : datar, lemas
Palpasi : Supel, hati dan limpa tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen, shifting dullnes (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Alat kelamin : tidak diperiksa
Anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
VI. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana medikamentosa
Ramolit 1 shacet tiap BAB
Zink sirup 1x ½ cth
2. Tatalaksana non medikamentosa
Merujuk pasien ke poli EDELWEIS RSUD SYAMSUDIN SUKABUMI
VII. PROGNOSIS
Ad vitam: dubia ad bonam
Ad fungtionam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad malam
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. HIV-AIDS
A. DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala
atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.3
Infeksi HIV primer menyebabkan penyakit menyerupai influenza pada sekitar 80%
kasus, dengan banyaknya virus pada darah tepi dan penurunan yang bermakna pada jumlah sel
T CD4+. Infeksi HIV tidak segera menyebabkan AIDS. Mekanisme terjadinya AIDS masih
belum diketahui dan apakah semua pasien terinfeksi HIV akan menjadi AIDS masih
kontroversial. Namun, bukti yang ada menunjukkan pertumbuhan virus dalam sel T CD4+ dan
respons imun terhadap virus HIV merupakan kunci utama terjadinya AIDS.1
B. ETIOLOGI
Acquired immune deficiency syndrome(AIDS)disebabkan oleh HIV. Dua jenis
virusHIV telah diidentifikasi, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah HIV yangpertama
diidentifikasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris, tahun 1983.Karakteristik virus
berhasil diketahui oleh Robert Gallo di Washington danJay Levy di San Francisco, pada tahun
1984. HIV-2 berhasil diisolasi pertama kali dari pasien di Afrika Barat pada tahun 1986.2,4
HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus,
karena memiliki enzim reverse transcriptase. Pada retrovirus, RNA virus mula-mula
ditranskripsikan menjadi DNA dengan menggunakan enzim reverse transcriptase. DNA
proviral ini kemudian dapat menggunakan kemampuan mensintesis protein yang dimilikinya
untuk menghasilkan virion baru.2,5
5
Gambar 1. Struktur HIV2
Secara morfologi, HIV berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti dan selubung.
Genom HIV terdiri ssRNA (dua untai RNA yang identik dengan ukuran masing-masing 9,2
kilobasa). RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2.000 kopi protein
virus p24, dikelilingi oleh selubung virus. Selubung virus terdiri atas dua lapis membran lipid.
Masing-masing subunit selubung virus terdiri atas dua rangkaian protein membran nonkovalen
gp120, protein membran luar, dan gp41. Protein gp120 memiliki afinitas tinggi terutama region
V3 terhadap reseptor CD (cluster of differentiation) sehingga bertanggung jawab pada awal
interaksi dengan sel target. Sedangkan gp41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi HIV
ke sel target.5
C. EPIDEMIOLOGI
Sejak pertama kalinya terjadi epidemi global HIV hingga tahun 2008, di seluruh dunia
telah terdapat lebih dari 60 juta orang terinfeksi virus ini, dengan 25 juta orang di antaranya
meninggal karena penyakit yang berkaitan dengan HIV. Selama tahun 2008, terdapat 33,4 juta
orang di seluruh dunia yang hidup dengan HIV, tercatat 2,7 juta kasus infeksi HIV baru, dan 2
juta kematian yang berkaitan dengan AIDS. Selama tahun tersebut juga sekitar 430.000 bayi
dilahirkan dengan infeksi HIV, menambah jumlah 2,1 juta anak berusia di bawah 15 tahun
yang terinfeksi HIV. Walaupun demikian, dengan meningkatnya kewaspadaan masyarakat,
jumlah infeksi baru di seluruh dunia telah berkurang sebesar 17% selama 8 tahun terakhir.3
Penyakit HIV/AIDS di Indonesia saat ini telah menjadi salahsatu masalah kesehatan
nasional. Jumlah kasus AIDS hingga akhir Juni 2009 adalah 17.699 kasus yang dilaporkan dari
33 propinsi di seluruh Indonesia.4
Tiga prevalensi terbanyak kasus AIDS per 100.000 penduduk terdapat di Papua
(133,07%), Bali (45,45%), dan DKI Jakarta (31,67%). Data kumulatif tahun 1987 sampai
sekarang mencatat terdapat 19.773 kasus AIDS dan jumlah kematian akibat AIDS sebanyak
6
3.846 kejadian. Berlawanan dengan data UNAIDS secara global, di Indonesia laki-laki lebih
banyak terinfeksi HIV dibanding perempuan dengan rasio 4,07:1.
Cara penularan kasus AIDS kumulatif di Indonesia yang dilaporkan melalui IDU adalah
49,5%, heteroseksual 42%, dan homoseksual 4%.Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi
dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (53,80%), disusul kelompok umur 30-39 tahun
(27,99%) dan kelompok umur 40-49 tahun (8,19%).Infeksi oportunistik yang terbanyak
dilaporkan adalahtuberkulosis sebanyak 5327 kasus, diikuti oleh diare kronis sebanyak 3301
kasus dan kandidiasis orofaringeal sebanyak 3097 kasus. Kasus keempat berupa dermatitis
generalisata sebanyak 872 kasusdan limfadenopati generalisata sebanyak 478 kasus.5
7
Gambar 2.Replikasi HIV8
Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaanreplikasi
yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi sel pejamu yang terinfeksi,
sampai suatu saat terjadi stimulasi yang dapatmemicu dan memacu terjadinya replikasi dengan
kecepatan yang tinggi. Hal inididuga terjadi karena pengaruh sitokin proinflamatori. Sitokin
memicu nuclearfactor κB (NF-κB) yang akan berikatan dengan 5’ LTR (long terminal repeat)
danmenginduksi terjadinya replikasi DNA. Tidak semua sitokin dapat memacu replikasi virus,
sebagian sitokin malah dapat menghambat replikasi.Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin
yang umumnya ikut serta mengaturrespons imun, seperti interleukin (IL)-1, IL-3, IL-6, tumor
necrosis factor α (TNF-α) dan TNF-β, interferon (IFN) γ, granulocyte- macrophage colony-
stimulatingfactor (G-CSF dan M-CSF) dan β macrophage colony stimulating factor.
Sitokinyang dapat menghambat adalah IL 4,10, transforming growth factor β (TGF-β),IFN-α
dan IFN-β.11
Berbagai kejadian saat infeksi HIV primer sangat menentukan perjalanan penyakit HIV
selanjutnya. Diseminasi awal virus ke organ limfoid, terutama gut-associated lymphoid tissue
(GALT), adalah faktor utama terjadinya infeksi kronik yang persisten.2
Virus yang masuk secara langsung ke pembuluh darah akibat produk darah terinfeksi
akan disingkirkan dari sirkulasi ke limpa dan organ limfoid lainnya, di mana infeksi fokal
primer akan dimulai, diikuti dengan diseminasi yang lebih luas ke jaringan limfoid lain
(terutama GALT) sehingga menyebabkan terjadinya viremia.2
Sel dendritik juga memegang peranan penting dalam inisiasi infeksi HIV. Sel ini
mengekspresikan reseptor lectin tipe C pada permukaannya,yang salah satu di antaranya dapat
berikatan dengan afinitas kuat dengan gp120 dan menahan partikel virus selama beberapa hari.
Dengan cara ini, sel dendritik dapat memediasi terjadinya transinfeksi ke sel T CD4+. Selain
8
itu, reseptor tersebut juga dapat memediasi terjadinya infeksi sel dendritik. Mekanisme tersebut
berperan apabila HIV masuk secara lokal, misalnya melalui mukosa.1,2
Infeksi HIV mempengaruhi sel-sel dalam sistem imun, menyebabkan defisiensi imun
yang berat. Defek dalam sistem imun ditandai dengan menurunnya jumlah limfosit
(limfopenia) sebagai akibat defisiensi CD4. Pada individu sehat, rasio CD4:CD8 adalah sekitar
2,0. Pada pasien AIDS, rasio ini menurun menjadi sekitar 0,5, yang artinya terdapat CD8 dua
kali lipat lebih banyak daripada CD4. Sel-T CD4 helper bertanggung jawab atas respons imun
yang baik. Defisiensi sel T CD4+ menyebabkan defek utama pada respons imun yang
dimediasi oleh sel.3,11
Pada saat masuk ke dalam tubuh, HIV akan dihadapi oleh berbagai
mekanismepertahanan tubuh termasuk pertahanan tubuh alamiah. Ada tiga
mekanismepertahanan untuk menghadang HIV agar tidak dapat mencapai sel target
yangmampu mengekspresikan CD4. Pertama, komplemen akan berusaha memusnahkan virus
melalui opsonisasi. Kedua, melalui peran IFN-α dan IFN-βyang berusaha mencegah upaya
replikasi HIV. Ketiga, mekanisme yang lebihkompleks terjadi pada sel target. Pada sel target
yang menjadi sasaran danterpapar HIV terdapat tiga mekanisme pertahanan tubuh untuk
menyikapikeberadaan HIV tersebut. Pertama, sel yang terpapar akan segera dimusnahkan oleh
sel NK, yang dihadapi sendiri maupun didukung oleh ADCC (antibodydependent cell
cytotoxic). Kedua, sel yang terpapar dimusnahkan secara pelahanmelalui proses apoptosis
patologis. Ketiga, sel yang terpapar HIV tetap bertahanhidup, menjelajahi tubuh dengan
mengikuti sirkulasi sistemik.3,11
Respons CD4 terjadi terutama pada infeksi akut, kemudian jumlah sel T CD4+ ini
berangsur-angsur menurun sejalan dengan perjalanan infeksi HIV yangcenderung berlangsung
progresif. Penurunan jumlah CD4 menyebabkan terjadidefisiensi sistem imun pada infeksi
HIV, yang membuka peluang munculnyainfeksi sekunder mikroorganisme yang berasal dari
dalam maupun luar tubuh.3,11
E. DIAGNOSIS
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi
HIV. Secara garis besar, dapat dibagi menjadi pemeriksan serologik untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi
adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi
antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.1
9
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi
HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent
assay), aglutinasi, atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di
Indonesia adalah dengan ELISA.1,3
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu
adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai
timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada
4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang
sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika
kecurigaan akan adanya resiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3
bulan kemudian.3
Jika pemeriksaan penyaring antibodi menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang
paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot (WB).Algoritma pemeriksaan dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.2
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan
konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar pasien mendapat informasi yang sejelas-jelasnya
mengenai infeksi HIV/AIDSsehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya
serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti.3
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif
maupun negatif. Jika hasilnya positif, akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk
10
memperpanjang masa tanpa gejala serta cara-cara pencegahan penularan. Jika hasilnya
negatif,konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana
mempertahankan perilaku yang tidak beresiko.3
11
Displasia serviks (sedang atau berat)/karsinoma serviks in situ
Oral hairy leukoplakia
Idiopathic thrombocytopenic purpura
Gejala konstitusional, seperti demam (>38,5°C) atau diare yang berlangsung >1 bulan
Neuropati perifer
Herpes zoster, meliputi ≥2 episode atau ≥1 dermatom
Sedangkan kondisi indikator-AIDS kategori C menurut sistem klasifikasi CDC:14,15
Pneumonia bakterial, rekurens (≥2 episode dalam 12 bulan)
Kandidiasis bronkial, trakeal, atau paru-paru
Kandidiasis esofageal
Karsinoma serviks, invasif, dikonfirmasi dengan biopsi
Coccidioidomycosis, diseminata atau ekstrapulmoner
Cryptococcosis, ekstrapulmoner
Cryptosporidiosis, chronic intestinal (berlangsung >1 bulan)
Penyakit sitomegalovirus (selain hepar, limpa, atau kelenjar getah bening)
Ensefalopati, berhubungan dengan HIV
Herpes simpleks: ulkus kronik (berlangsung >1 bulan), atau bronkitis,
pneumonitis, atau esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstrapulmoner
Isosporiasis, chronic intestinal (berlangsung >1 bulan)
Sarkoma Kaposi
Limfoma, Burkitt, imunoblastik, atau sistem saraf pusat
Mycobacterium avium complex (MAC) atau M. kansasii, diseminata atau
ekstrapulmoner
M. tuberculosis, pulmoner atau ekstrapulmoner
Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum teridentifikasi,diseminata atau
ekstrapulmoner
Pneumocystis jiroveci (dulu carinii) pneumonia (PCP)
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Septikemia Salmonella, rekurens (nontifoid)
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome akibat HIV (kehilangan berat badan involunter >10%berat badan
seharusnya) dengan diare kronik (≥2 feses lembek per hari selama ≥1 bulan) atau lemah
badan kronik dan demam ≥1 bulan
12
Klasifikasi WHO (direvisi tahun 2005) dapat digunakan pada daerah
denganketerbatasan alat untuk menghitung jumlah CD4 atau metode pemeriksaandiagnostik
dan laboratorium lainnya. Sistem WHO mengklasifikasikan HIVberdasarkan manifestasi klinis
dan laboratorium dan dapat dilakukan oleh klinisidengan tingkat pengetahuan dan pelatihan
HIV yang bervariasi.12
Stadium klinis dan definisi kasus HIV bagi daerah dengan keterbatasan alat
dikembangkan oleh WHO pada tahun 1990 dan direvisi pada tahun 2005. Stadium berdasarkan
pada temuan klinis yang menuju pada diagnosis, evaluasi, danpenanganan HIV/AIDS, dan
tidak membutuhkan jumlah CD4. Sistem stadium ini digunakan pada banyak negara untuk
menentukan terapi antiretroviral(ART–antiretroviral therapy), bilamana pemeriksaan
serologis dan virologis tidak memungkinkan. Stadium klinis dikategorikan sebagai stadium 1
sampai 4,dari infeksi HIV primer sampai HIV/AIDS.Klasifikasi selengkapnya dapat dilihat di
tabel di bawah ini. Stadium ini ditentukan oleh kondisi atau gejala klinis spesifik.14,16
13
Tabel 2.Sistem Klasifikasi WHO untukStadium Klinis HIV/AIDS14,16
Infeksi HIV Primer
· Asimtomatik
· Sindrom retroviral akut (Mononucleosis-like syndrome)
Stadium Klinis 1
· Asimtomatik
· Persistent generalized lymphadenopathy
· Performance scale 1: asimtomatik, aktivitas normal
Stadium Klinis 2
14
Stadium Klinis 4
Kondisi diagnosis presumptif dibuat berdasarkan gejala klinis :
· HIV wasting syndrome, seperti didefinisikan oleh CDC [involuntary weight loss >10%
of baseline body weight) associated with either chronic diarrhea (≥2 loose stools per
day ≥1 month) or chronic weakness and documented fever ≥1 month]
· Pneumonia Pneumocystis jiroveci (dulu carinii)
· Pneumonia bakterialis berat atau radiologik rekurens
· Infeksi herpes simpleks kronik (oral atau genital, atau anorektal) selama > 1 bulan
· Kandidiasis esofageal
· Tuberkulosis ekstrapulmoner
· Sarkoma Kaposi, Toksoplasmosis otak, Ensefalopati HIV
·
Kondisi diperlukan pemeriksaan diagnostik konfirmasi
· Cryptococcosis, ekstrapulmoner
· Infeksi Mycobacterium atipikal diseminata
· Progressive multifocal leukoencephalopathy
· Kandidiasis pada trakea, bronki, atau paru-paru
· Cryptosporidiosis, dengandiare > 1 bulan
· Isosporiasis
· Infeksi herpes simpleks viseralis atau mukokutaneus > 1 bulan
· Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau organ selain hepar, limpa atau KGB)
· Mikosis diseminata (misalnya histoplasmosis, coccidioidomycosis, penicilliosis)
15
· Septikemia Salmonella nontifoid rekurens
· Limfoma (serebral atau sel B non-Hodgkin)
· Karsinoma servikal invasif
· Leishmaniasis viseral
Dan/atau performance scale4: bed-ridden, >50% sehari selama bulan terakhir
Jumlah CD4 menunjukkan derajat kerusakan yang telah terjadi pada sistemimun akibat
infeksi HIV. Jumlah CD4 merupakan faktor prediktif progresivitaspenyakit yang tidak
tergantung pada viral load plasma dan menunjukkan seberapacepat kerusakan terjadi. Pada
saat pemantauan pasien, jumlah CD4 diukur bersamaan dengan viral load. Pada umumnya,
jumlah CD4 meningkat secarapelahan-lahan setelah terapi pendahuluan, dan jumlah CD4
mungkin meningkatlebih cepat setelah beberapa bulan atau tahun sementara viral load tetap
ditekan.13
Waktu untuk memulai terapi antiretroviral tergantung pada kombinasibeberapa faktor,
di antaranya jumlah limfosit CD4, viral load, dan gejala klinis.Pada umumnya, bila viral load
melebihi 5.000—10.000 kopi/mL dan jumlah CD4menurun atau kurang dari 500 sel/mL,
hampir setiap klinisi akan menyarankanuntuk memulai terapi.17
Metode baku untuk menghitung CD4 menggunakan flowcytometer, suatu alat dengan
prinsip pemeriksaan sel tertentu dalam spesimen darah dilabel dengan fluorescent monoclonal
antibodies dan melalui suatu single-cell column di depan sinar laser. Bila sinar laser mengenai
16
antibodi, sinar tersebut akan berpendardengan terang dan sel dihitung oleh sensor. Beberapa
antibodi yang berbedasecara khusus digunakan untuk mengidentifikasi masing-masing tipe
leukosit, salah satunya CD4. Komputer menghitung jumlah CD4 dengan menganalisis ukuran
sel yang dilabel oleh antibodi. Keseluruhan proses disebut fluorescence activated cell sorting
(FACS). Pemeriksaan jumlah CD4 harganya mahal karena mesin FACS harganya mahal,
antibodi juga harganya mahal, dan perlu petugas terlatih untuk melakukan pemeriksaan dan
merawat peralatan.14
Secara umum telah diketahui bahwa jumlah limfosit absolut (total lymphocyte count –
TLC) merupakan prediktor yang berguna untuk menilaimortalitas individu yang terinfeksi
HIV. Di negara dengan keterbatasan alat, harga dan infrastruktur menjadi rintangan yang
signifikan untuk pemberian antiretroviral. Pemeriksaan TLC yang berhubungan dengan
stadium klinis dapat menjadi alat yang berguna untuk mengidentifikasi pasien dewasa yang
membutuhkan terapi antiretroviral. Penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa TLC
mungkin merupakan alat yang berguna untuk mengukur respons terhadap terapi.18
G. MANIFESTASI KLINIS
Sindroma HIV Akut
Diperkirakan sekitar 50-70% individu dengan infeksi HIV akut mengalami sindroma
klinis akut sekitar 3-6 minggu setelah terjadinya infeksi primer. Berbagai tingkat keparahan
klinis telah dilaporkan, akan tetapi tidak terdapat korelasi antara tingkat viremia awal pada
infeksi HIV akut dengan perjalanan penyakitnya. Gejala yang terjadi dapat dilihat pada tabel
di bawah, gejala tersebut terjadi bersamaan dengan munculnya viremia plasma.2
Tabel 3.Temuan Klinis pada Sindroma HIV Akut
Umum Neurologis
Demam Meningitis
Faringitis Ensefalitis
Limfadenopati Neuropati Perifer
Nyeri kepala/nyeri retroorbital Myelopati
Artralgia/myalgia Dermatologis
Anorexia/kehilangan berat badan Ruam makulopapular eritematosa
Mual/muntah/diare Ulserasi mukokutaneus
17
Sindroma ini tipikal sindroma viral akut dan dilaporkan menyerupai infeksi
mononukleosis akut. Gejala dapat bertahan selama satu hingga beberapa minggu, dan mulai
menghilang secara bertahap seiring dengan munculnya respons imun terhadap HIV dan
berkurangnya viremia pada plasma.2
Sejumlah abnormalitas imunologis dapat menyertai sindroma HIV akut, termasuk
gangguan multifasik dari jumlah subset limfosit di dalam sirkulasi. Jumlah total limfosit dan
susbet sel T (CD4+ dan CD8+) pada awalnya akan menurun. Selanjutnya terdapat inversi dari
ratio sel T CD4+/CD8+ karena adanya peningkatan jumlah sel CD8+. Jumlah sel T CD8+ di
dalam sirkulasi dapat kembali ke normal ataupun tetap meningkat, akan tetapi jumlah sel T
CD4+ biasanya akan tetap rendah.2
Limfadenopati terjadi pada 70% pasien dengan infeksi primer HIV. Kebanyakan pasien
akan sembuh sempurna dari sindroma ini, dan gejala sisa yang ada hanyalah penurunan sel T
CD4+ yang tetap stabil selama periode tertentu hingga akhirnya terjadi penurunan yang
progresif. Bahkan pada beberapa individu, hitung sel T CD4+ dapat kembali normal.2
Pada kebanyakan pasien, infeksi HIV primer dengan ataupun tanda sindroma akut ini
akan diikuti dengan periode klinis laten dengan aktivitas penyakit sangat rendah. Sejumlah
kecil penderita yang terinfeksi HIV yang diterapi dengan obat-obatan antiretroviral selama
infeksi akut dapat kembali menghasilkan tes ELISA negatif selama mereka berada dalam
terapi. Apabila terapi dihentikan, mereka akan mengalami serokonversi menjadi positif
kembali.2
Tahapan Asimptomatik – Clinical Latency
Walaupun lama rentang waktu sejak infeksi HIV awal hingga munculnya gejala klinis
penyakit AIDS sangat bervariasi, median waktu bagi pasien yang tidak diterapi adalah sekitar
10 tahun. Perlu diperhatikan bahwa penyakit HIV dengan replikasi virus aktif terus berlanjut
dengan progresif selama periode asimtomatis ini. Progresi penyakit berkaitan erat dengan
tingkat HIV RNA. Pasien dengan tingkat HIV RNA plasma yang tinggi, akan mengalami
progresi menjadi simtomatis lebih cepat dibandingkan dengan pasien dengan HIV RNA plasma
yang rendah.2
Sejumlah pasien yang digolongkan sebagai long-term nonprogressors hanya
menunjukkan sedikit penurunan sel T CD4+ dalam kurun waktu yang lama. Bahkan sebagian
di antaranya, yang disebut dengan elite nonprogressors, hanya memiliki tingkat HIV RNA
plasma < 50 kopi/ml. Pada kelompok pasien lainnya, walaupun hitung sel T CD4+nya
menunjukkan penurunan progresif hingga kadarnya sangat rendah, dapat tetap asimtomatis.
Pada kelompok ini, munculnya penyakit oportunistik adalah gejala pertama yang muncul.2
18
Selama periode asimtomatis, rata-rata penurunan kadar sel T CD4+ adalah 50/µl per
tahun. Apabila kadar sel T CD4+ telah mencapai < 200/µl, imunodefisiensi yang terjadi telah
cukup parah untuk membuat pasien berada dalam resiko tinggi terkena infeksi oportunistik dan
neoplasma, sehingga gejala klinis penyakit akan muncul.2
Tahapan Simptomatis
Gejala penyakit HIV dapat muncul kapan saja pada perjalanan penyakitnya. Secara
umum, spektrum penyakit akan berubah seiring dengan penurunan jumlah hitung sel T CD4+.
Komplikasi yang berat dan mengancam nyawa umumnya terjadi pada hitung sel T CD4+ di
bawah 200 sel/µl. Walaupun agen penyebab infeksi sekunder pada penderita umumnya adalah
organisme oportunistik seperti Pneumocystis jiroveci, mikobakteria atipik, CMV, dan
organisme lainnya yang umumnya tidak menyebabkan penyakit pada pasien dengan sistem
imun yang baik, penyakit sekunder dapat pula disebabkan oleh bakteri dan mikobakteria
patogen yang umum.2
Saat ini, kurang dari 50% kematian pada pasien AIDS disebabkan langsung oleh
penyakit yang mendefinisikan AIDS, dengan rata-rata hitung sel T CD4+ pada pasien yang
terinfeksi HIV pada saat kematian adalah sekitar 300 sel/µl. Hal ini di antaranya karena
penggunaan terapi kombinasi antiretroviral yang cukup luas dan implementasi guideline untuk
pencegahan infeksi oportunistik, sehingga angka kejadian infeksi sekunder telah menurun
dengan dramatis.2
Secara umum, spektrum klinis penyakit HIV terus berubah dengan dinamis karena kini
pasien dapat hidup lebih lama dengan adanya pendekatan terapi dan profilaksis baru yang terus
dikembangkan. Selain penyakit yang mendefinisikan AIDS, pasien yang terinfeksi HIV juga
berada dalam bahaya terkena penyakit kardiovaskular, renal, dan hepatik.2
19
Gambar 4 . Perjalanan Alamiah Infeksi HIV yang Tidak Diterapi15
H. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini, HIV/AIDS belum dapat disembuhkan secara total. Namun, pengobatan
dengan kombinasi obat anti retroviraldilaporkan terbukti menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV.Manfaatantiretroviral dicapai melalui pulihnya sistem
kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan pasien terhadap infeksi oportunistik. Dengan
adanya antiretroviral, pasien menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal, dan produktif.16
Pasien yang baru didiagnosis terinfeksi HIV harus dianamnesis secara lengkap dan
menjalani pemeriksaan fisik untuk mencari manifestasi klinis adanya infeksi. Pemeriksaan
laboratoris yang dibutuhkan disesuaikan dengan masing-masing individu. Pemeriksaan hitung
sel T CD4+ dan viral load plasma HIV RNA sebaiknya dilakukan untuk menentukan prognosis
penyakit serta memutuskan apakah terapi antiretroviral akan dimulai. Pemeriksaan resistensi
obat antiretroviral juga dapat dipertimbangkan.17
Pada pasien yang telah terinfeksi HIV, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
hitung sel TCD4+ dan viral load secara rutin. Pemeriksaan hitung sel T CD4+ dilakukan saat
diagnosis dan setiap 3-6 bulan sekali, baik pasien mendapatkan terapi antiretroviral maupun
20
tidak. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih sering apabila pada pemeriksaan didapatkan
kecenderungan penurunan sel T CD4+.18
Pemeriksaan HIV RNA dalam serum atau plasma (viral load)sebaiknya dilakukan
setiap 3-6 bulan pada pasien yang belum mendapatkan terapi, dan pada pasien yang diterapi
dengan antiretroviral dimonitor setiap 3-4 bulan untuk memonitor terapi. Tujuan terapi adalah
menekan replikasi HIV hingga ke tingkat di mana virus tidak dapat berkembang dan resistensi
obat tidak muncul. Konsentrasi tepat agar kondisi tersebut tercapai masih belum diketahui
dengan pasti, namun diperkirakan berada di antara 50-200 kopi RNA per ml, sesuai dengan
batas bawah kebanyakan alat pemeriksaan viral load.22
Pemeriksaan laboratoris lainnya yang direkomendasikan pada pasien baru HIV positif
di antaranya adalah sebagai berikut :22
Pemeriksaan darah lengkap
Elektrolit, BUN, GDP
Bilirubin, Alkali fosfatase, AST,
ALT
CK
Amilase, lipase
Profil lipid
Tes serologis untuk sifilis
Tes serologis hepatitis A, B, C
Titer toxoplasmosis
Titer CMV
Papanicolau smear serviks uteri
Screening anal untuk HPV
Tes tuberkulin
EKG
Radiografi thoraks
21
Secara umum, penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri ataspengobatan untuk menekan
replikasi virus HIV dengan ARV, pengobatan mengatasi berbagai penyakit infeksi dan
kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS (seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasma, sarkoma Kaposi, limfoma, kanker serviks), serta pengobatan suportif,
termasuk nutrisi, suplemen, dukungan psikososial, agama, higiene, dan istirahat cukup.
Diharapkan, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik dapat berkurang secara bermakna. Tabel di bawah ini memaparkan berbagai
terapi profilaksis primer yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi
oportunistik pada penderita HIV.xix
TERAPI ANTIRETROVIRAL
Obat antiretroviral yang ada saat ini dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu :22
1. Golongan Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
2. Golongan Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NsRTI)
3. Golongan Protease Inhibitor (PI)
4. Golongan Entry Inhibitor
5. Golongan Integrase Inhibitor
Golongan Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Golongan NNRTI adalah obat yang poten, merupakan golongan kunci dari
antiretroviral, dan mekanisme kerjanya berupa penghambatan enzim reverse
transcriptase. NNRTI efavirenz dan nevirapin menunjukkkan efikasi klinis saat diberikan
dalam kombinasi dengan obat lain yang sesuai. Namun terdapat perbedaan dalam profil
toksisitas, interaksi dengan obat lain, dan biaya yang harus dipertimbangkan saat memilih
NNRTI.xx
Nevirapin (NVP) tersedia secara luas (termasuk dalam sediaankombinasi dosis
tetap) dan lebih murah dari efevirenz (EFV). Lebih lanjut,pengalaman dari negara dengan
sumber daya terbatas menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Namun, angka kejadian
ruam yangberhubungan dengan NVP lebih tinggi dibandingkan dengan EFV.Ruam akibat
NVP lebih berbahaya dan dapat terjadi SindromaStevens-Johnson. NVP juga dapat
menimbulkan hepatotoksisitas.Hal ini membuat NVP kurang sesuai untuk mengobati
pasien yangmendapat obat yang memiliki potensi hepatotoksisitas lainnyajuga.Memulai
terapi NVP bersamaan dengan obat baru lainnya jugadapat menyebabkan ruam (misalnya
22
kotrimoksasol) sehingga harusdihindari sedapat mungkin. Pada kasus reaksi kulit dan hati
yang berat, NVP harus dihentikan secara permanen dan tidak diulangpemberiannya. NVP
menjadi pilihan bagi perempuan jika terdapat potensi kehamilan atau selama trimester I
kehamilan, saat EFV tidak dapat digunakan kerena efek teratogeniknya. Dosis NVP yang
dianjurkan adalah 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam.24
Efavirens (EFV) dapat digunakan sehari sekali dan biasanyaditoleransi dengan
baik. Namun harganya sedikit lebih mahal danketersediaannya masih terbatas
dibandingkan dengan NVP.Toksisitas EFV berupa gangguan SSP, teratogenisitas dan
ruam kulit.Ruam akibat EFV biasanya ringan, sembuh spontan dan tidak sampai
menghentikan minum obat.Gejala SSP berkurang setelah 2-4 minggu pada mayoritas
pasien. EFV harus dihindari pada pasien dengan riwayat gejala psikiatriberat, potensi
adanya kehamilan (kecuali jika kontrasepsi yang efektif telah dilakukan) dan saat
trimester pertama kehamilan. Padakeadaan diatas, NVP adalah pilihan terbaik. EFV
adalah golonganNNRTI pilihan pada kasus koinfeksi TB/HIV yang mendapat OATyang
mengandung rifampisin. Dosis EFV yang dianjurkan adalah 600 mg sekali sehari.24
23
Zidovudin (AZT) termasuk dalam golongan NRTI lini pertama yang disukai.
Umumnya ditoleransi baik dan tersedia secara luasdalam bentuk FDC. Efek samping obat
adalah sakit kepala dan mual, dan juga anemia berat serta neutropenia. Pemantauan kadar
hemoglobin dianjurkan sebelum dan selama pengobatan dengan AZT. Hal ini khususnya
penting di wilayah dengan prevalensi tinggi malaria, dengan kejadian anemia yang
umum. AZT berhubungan dengan komplikasi metabolik seperti asidosis laktat dan
lipoatrofi, namun lebih ringan bila dibandingkan dengan stavudin. Dosis AZT yang
dianjurkan adalah 300 mg setiap 12 jam.24
Tenofovir (TDF) saat ini juga dimasukkan untuk NRTI linipertama, namun di
Indonesia masih digunakan untuk lini kedua.TDF memilliki efikasi yang baik, mudah
digunakan, dan keamanan yang baik. TDF memiliki waktu paruh intraselular yang
panjang dan dapat digunakan sebagai regimen satu kali sehari. TDF ditoleransidengan
baik dan beberapa studi mengatakan bahwa tidak seringberhubungan dengan disfungsi
ginjal dibandingkan dengan obatantiretroviral lainnya. Namun dosis TDF harus
diturunkan pada pasien dengan insufisiensi ginjal.Karena data yang terbatas dan perhatian
mengenai efek sampingpotensial pada tulang janin, beberapa ahli
mempertimbangkanpenggunaan TDF pada perempuan hamil harus hati -hati dan
dipertimbangkan untuk menggunakan alternatif lainnya.24
Abacavir (ABC) di negara dengan sumber daya terbatas saat ini masih kurang
tersedia, namun diharapkan dalam waktu dekat obat ini akan lebih mudahtersedia dan
dengan biaya yang terjangkau.Abacavir telah digunakan pada pedoman WHO terbaru
sebagai alternatif golongan NRTI lini pertama. Kombinasi antiretroviral dengan
NRTIyang mengandung ABC memberikan efektivitas NRTI dengan NNRTIatau sebagai
bagian dari regimen tripel nukleosida. Dari semua obatgolongan NRTI, ABC memiliki
efek paling sedikit terhadap deplesiDNA mitokondria (berhubungan dengan lipoatrofi,
neuropati periferdan asidosis laktat) dan menjadi salah satu pengganti untuk d4Tatau
AZT pada pasien yang mengalami asidosis laktat saat menerima regimen yang
mengandung d4T atau AZT.ABC juga dapat menjadi pengganti AZT pada keadaan
intoleransi.Namun ABC berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas beratpada kira-kira
2-5% dari pasien-pasien yang mendapat obat ini. Untuk medeteksi awal terjadinya reaksi
hipersensitivitas pada pasien, dapat dilakukan pemeriksaan HLA-B*5701 pada pasien
sebelum dimulainya terapi yang mengandung ABC. Pasien dengan haplotipe HLA-
24
B*5701 memiliki resiko lebih tinggi untuk sensitif terhadap ABC, sehingga tidak boleh
diberikan terapi tersebut.24
Stavudin (d4T) merupakan obat yang dikenal untuk menyelamatkan jiwa/life
saving, serta memiliki peranan penting dalam ART karena ketersediaannya dalam bentuk
kombinasi dosis tetapdengan harga yang terjangkau. Stavudin juga disukai daripada AZT
karena tidak memerlukan atau terbatas dalam pemantauan laboratoriumnya. Namun d4T
sering menimbulkan asidosis, lipoatrofi, dan neuropati perifer. Neuropati perifer bersifat
kumulatif dan seringkali ireversibel. Stigma yang timbul akibat lipoatrofi dapat berakibat
pasien mundur dari pengobatan atau menolak untuk mulai pengobatan. Maka dari itu,
diperlukan pengamatan yang ketat terhadap toksisitas d4T, mencakup pelatihan tenaga
kesehatan dan informasi yang adekuat bagi pasien mengenai tanda dan gejala asidosis
laktat, lipoatrofi dan neuropati perifer. Pengenalan dini dari efek samping d4T dan
mengubah/switchingke NRTI lainnya (seperti AZT) dapat mengurangi beratnya
toksisitasobat ini. Dosis harian stavudin adalah 40 mg setiap 12 jam. Dosis untuk
didanosin (ddI) adalah 250 mg sehari jika BB < 60 kg dan bila diberikanbersama tenovofir
(TDF) menjadi 300 mg sekali sehari.24
25
pemeriksaan tropisme koreseptor untuk memperkirakan apakah pasien tersebut akan
berespon terhadap terapi ini.2
Golongan Integrase Inhibitor
Golongan ini adalah kelas terbaru dari antiretroviral. Raltegravir adalah inhibitor
dari enzim integrase virus dan telah disetujui penggunaanya pada tahun 2007. Efek
samping golongan obat ini cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan golongan
antiretroviral lainnya.2
Regimen Terapi
Penentuan mulainya terapi antiretroviral dapat dilihat dari Guidelines WHO
tentang penatalaksaan terapi berdasarkan jumlah hitung sel T CD4+ dan berdasarkan
staging. Kadar virus di plasma tidak menentukan inisiasi regimen terapi bila kadar CD4
dan clinical staging tersedia. Kadar virus dalam plasma digunakan untuk menentukan
diagnosis pasti akan HIV pada anak-anak. Guideline Development Group (GDG)
menganjurkan 2 NRTI dan 1 NNRTI (terdapat dalam bentuk Fixed Cose Combination)
sebagai terapi line pertamaberdasarkan efikasi, kesediaan bentuk generik dan harganya.
Namun tidak semua antiretroviral yang ada telah tersedia di Indonesia. Kombinasi obat
antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi
zidovudin (ZDV), lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).3
Pada awal 2010, WHO telah mengeluarkan rekomendasi terbaru mengenai
pemberian terapi antiretroviral pada pasien yang terinfeksi HIV. Rekomendasi ini
merupakan revisi dari guidelines sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 2006.xxi
Mengenai kapan terapi antiretroviral dimulai, WHO merekomendasikan untuk
memulai terapi pada pasien dengan hitung sel T CD4+ ≤ 350 sel/mm3 tanpa melihat gejala
klinis pasien. Pasien dengan stadium klinis WHO 1 dan 2 memerlukan pemeriksaan
hitung sel T CD4+ untuk memutuskan apakah terapi akan diberikan, dan pasien dengan
stadium klinis WHO 3 atau 4 sebaiknya diberikan terapi tanpa melihat hitung sel T CD4+
nya.25
Pada pasien yang baru pertama kali mendapatkan terapi antiretroviral, regimen
terapi yang dianjurkan adalah satu dari beberapa pilihan berikut :
Zidovudine + lamivudine + efavirenz
Zidovudine + lamivudine + nevirapine
Tenofovir + lamivudine atau emtricitabine + efavirenz
26
Tenofovir + lamivudine atau emtricitabine + nevirapine
Di Indonesia masih digunakan pemberian stavudine sebagai pengganti zidovudine, akan
tetapi penggunaan obat ini mulai dibatasi karena toksisitasnya yang tinggi dan
ireversibel.25
Pada penderita HIV yang mengalami koinfeksi dengan tuberkulosis (TB), maka
terapi dimulai dengan pemberian regimen terapi TB, diikuti dengan terapi antiretroviral
sesegera mungkin setelah memulai terapi TB, tanpa mempertimbangkan hitung sel T
CD4+ nya. Efavirenz digunakan sebagai NNRTI terpilih pada kelompok pasien ini.
Nevirapine sebaiknya tidak digunakan, karena interaksi obat yang mungkin terjadi antara
nevirapine dengan rifampicin.25
Pada penderita HIV yang mengalami ko-infeksi dengan hepatitis B, maka terapi
dimulai dengan pemberian regimen terapi yang mengandung tenofovir + lamivudine atau
emtricitabine. Terapi antiretroviral juga diberikan tanpa mempertimbangkan hitung sel T
CD4+ nya. Pemilihan obat yang digunakan didasarkan pada aktivitas obat antiretroviral
melawan virus hepatitis B.25
Terapi antiretroviral lini kedua dapat diberikan apabila diperkirakan terdapat
kegagalan terapi. Regimen terapi yang dianjurkan adalah penggunaan golongan protease
inhibitor lopinavir/ritonavir disertai dengan tambahan obat golongan NRTI. Apabila
stavudine atau zidovudine telah digunakan pada lini pertamanya, maka terapi lini kedua
yang digunakan adalah tenofovir + lamivudine atau emtricitabine. Apabila tenofovir
telah digunakan pada lini pertamanya, maka terapi lini kedua yang digunakan adalah
zidovudine + lamivudine.25
27
Tabel 5. Obat Antiretroviral yang Tersedia di Indonesia3
28
II.2. TUBERKULOSIS
A. DEFINISI
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit kronik akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru.26
B. Epidemiologi
Tuberkulosis(TBC) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di
dunia ini, meskipun pengobatan TBC yang efektif sudah tersedia.
Pada tahun 1993, WHO mendeklarasikan TBC sebagai global health emergency.
Tuberkulosis dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih
kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, dan jumlah
terbesar kasus TBC terjadi di Asia Tenggara. Sebagian besar dari kasus TBC ini (95%)
dan kematiaannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.. Laporan
WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah kematian terbesar akibat TBC terdapat di
Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TBC yang muncul.26
29
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah
India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru dan sekitar 140.000 kematian
akibat TBC. Di Indonesia, tuberculosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit
menular dan dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.26
C. ETIOLOGI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosis complex
adalah: 1.M.tuberculosae, 2. Varian Asian, 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5.
M.bovis Bakteri ini berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6
um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu
disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar dinding kuman terdiri dari
asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan
asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Mycobacterium
30
tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat
dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. Dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi.27
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid.27
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apical paru-paru lebih tinggi dari bagian-bagian lain, sehingga bagian apical
ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.27
D. Faktor Risiko
Risiko timbulnya transmisi kuman akan lebih tinggi jika orang tersebut
mempunyai Basil Tahan Asam (BTA) sputum yang positif, terdapat infiltrasi luas pada
lobus atas atau kavitas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta
terdapat factor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang kurang
baik.Faktor lain yang menyebabkan seseorang lebih mudah menjadi penderita TBC
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk , HIV/AIDS,
Diabetes Melitus, penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang.27
31
E. Cara Penularan
Kita semua telah mengetahui bahwa penyakit tuberculosis disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang daya tahannnya luar biasa; dan bahwa infeksi terjadi
melalui penderita TBC yang menular. Penderita TBC yang menular adalah penderita
dengan basil-basil TBC di dalam dahaknya, dan bila mengadakan ekspirasi paksa berupa
batuk-batuk, bersin, tertawa keras-keras, dsb akan meghembus keluar percikan-percikan
dahak halus ( droplet nuclei) yang akan melayang-layang di udara. Droplet ini
mengandung kuman dan dapat bertahan pada suhu kamar selam beberapa jam.28
Apabila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan yang agak besar,
misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segera dikeluarkan oleh gerakan-
gerakan cilia selaput lender saluran pernapasan. Tetapi apabila droplet ini masuk ke
alveolus ataupun menempel pada mkosa bronkiolus, droplet nuclei akan menetap dan
basil-basil TBC akan berkembang biak.28
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi transmisi ini. Pertama-tama adalah
jumlah basil dan virulensinya. Makin banyak basil di dalam dahak seorang penderita,
makin besarlah bahaya penularan. Bila hasil pemeriksaan dahak negative, maka penderita
tersebut dianggap tidak menular. Faktor lain adalah cahaya matahari dan ventilasi. Karena
basil TBC tidak tahan cahaya matahari, kemungkinan penularan di bawah terik matahari
sangat kecil. Cara penularan lainnya seperti melalui kontak langsung luka di kulit,
kongenital jarang.28
F. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Pada seseorang yang belum pernah kemasukan basil TB, tes tuberculin akan
negative karena system imunitas belum mengenal basil TB. Bila orang ini mengalami
oleh basil TB walaupun segera difagositosis oleh makrofag, basil TB tidak akan mati,
bahkan makrofagnya dapat mati. Dengan demikian basil TB ini lalu dapat
berkembang biak secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru.27
32
Selama 2 minggu ini, sel-sel Limfosit T akan mulai berkenalan dengan basil TB
untuk pertama kalinya dan akan menjadi limfosit T yang tersensitisasi. Karena basil TB
akan sempat berkembang bebas, perkenalan ini juga akan berlangsung terus, sehingga
limfosit T yang sudah tersensitisasi ini akan mengeluarkan berbagai jenis Limfokin yang
masing-masing mempunyai khasiat yang khas. Beberapa limfokin mempunyai khasiat
untuk merangsang limfosit dan makrofag untuk membunuh basil TB (Macrophage
Activating Factor=MAF, Macrophage Inhibitory factor = MIF, Chemotactic Factor dll..)
Disamping itu juga terbentuk limfokin lain yaitu Skin Reactivity Factor (SRF) yang akan
menyebabkan timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit berupa indurasi
dengan diameter 10 mm atau lebih sedikit. Hal ini secara klinis dikenal dengan reaksi
tuberculin (sering juga disebut test mantoux).27
Makrofag tidak hanya membunuh basil TB, sehingga mungkin juga sel ini dapat
menimbulkan kerusakan-kerusakan jaringan dalam bentuk nekrosis, yang disebut pula
pengkejuan, yang kemudian diikuti dengan likuifikasi (pencairan).Pada tahap ini, bentuk
patologik klasik TB dapat ditemukan tuberkel-tuberkel yang terdiri atas pengkejuan,
dikelilingi epiteloid (yang berasl dari sel-sel makrofag), sel-sel Datia Langhans, sel
Limfosit. Basil TB dapat musnah perlahan atau tetap berkembang biak dalam makrofag-
makrofag, atau akan tetap dormant selama bertahun-tahun sampai berpuluh-puluh
tahun.27
Dalam waktu kurang dari satu jam setelah bakteri masuk dalam alveoli, basil-basil
TB sebagian akan terbawa aliran limfa ke dalam kelenjar-kelenjar limfa regional dan
sebagian masuk aliran darah dan tersebar ke organ lain. Kombinasi tuberkel dalam paru
33
dan lymphadenitis regional disebut juga kompleks primer. Biasanya suatu lesi primer TB
akan mengalami penyembuhan spontan dengan atau tanpa kalsifikasi, tetapi perlu diingat
bahwa basil TBC yang dikandung lesi primer ada yang dormant. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas antara lain berupa sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus.
3. Menyebar dengan cara :
- perkontinuitatum, yaitu menyebar ke area di sekitarnya
- penyebaran secara bronkogen, baik di paru yang bersangkuatan atau ke paru
sebelahnya atau tertelan.
- penyebaran secara hematogen dan limfogen
2. Tuberkulosis Sekunder
Tuberkulosis Sekunder adalah penyakit TB yang timbul setelah lewat 5 tahun sejak
terjadinya infeksi primer. Keadaan yang mendasari terjadinya tuberculosis sekunder
diantaranya adalah reinfeksi endogen dan reinfeksi eksogen. Reinfeksi endogen terjadi
apabila karena sebab-sebab tertentu system pertahanan tubuh melemah, sehingga basil-
basil TBC yang dormant dapat aktif kembali. Reinfeksi eksogen terjadi apabila terdapat
super infeksi basil-basil TB baru dari luar.27
Tuberkulosis sekunder dimulai dari dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apical lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk
sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut :
1. Diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis.
3. Sarang pneumoni akan meluas, membentuk jaringan kaseosa. Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan kaseosa.
34
G. Diagnosis
Untuk mendiagnosis tuberculosis dapat ditegakkan dari gejala klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
a. Gejala klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala local dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori. Gejala respiratori diantaranya batuk lebih dari 2 minggu, batuk dengan
atau tanpa dahak, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini
sangat bervariasi mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat
tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis saat medical check up. Bila
bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala
batuk. Gejala sistemik diantaranya demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun, keringat malam dll.Gejala malaise ini makin lama makin berat
dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Gejala tuberculosis ekstraparu
tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberculosis akan
terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada
meningitis tuberculosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberculosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.27
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada tuberculosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit
umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior(S1 dan S2), serta
daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara
lain suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.27
Bila proses infitratif ini makin meluas dan menebal, juga akan didapatkan fremitus
yang menguat dengan redup pada perkusi, suara nafas bronkial. Bila sudah terjadi
35
kavitas akan ditemukan gejala-gejala kavitas,berupa timpani pada perkusi disertai
suara nafas amforis. Bila terjadi atelektasis (pada destroyed lung), suara nafas
setempat akan melemah sampai hilang sama sekali. Bila tuberkulosis mengenai
pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam
pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara napas
yang lemah sampai tidak terdengar suara sama sekali. Dalam penampilan klinis, TB
paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan
radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.27
c. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, bilasan bronkoalveolar, urin, feses dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH).27
Diagnosis TBC paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannnya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Apabila memungkinkan, maka
dapat dilakukan pemeriksaan lain misalnya kultur (biakan) dan uji resitensi. Kriteria
sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan.27
d. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks posteroanterior, pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top lordotik, oblik, CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberikan gambaran bermacam-macam (multiform).27
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
36
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif antara lain fibotik, kalsifikasi
dan schwarte atau penebalan pleura. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk
kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA
negatif) :
Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas
tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrosternal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti.
Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
e. Tes tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
tuberkulosis terutama pada anak-anak. Biasanya digunakan tes Mantoux yakni
dengan menyuntikkan 0,1 cc Tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative)
intrakutan berkekuatan 5. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan.
Diukur diameter transversal dari indurasi yang terjadi.Uji tuberkulin positif bila
indurasi > 10 mm(pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin
positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak.
Namun, uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC berat dengan anergi (malnutrisi,
penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif dll).27
H. Klasifikasi Tuberkulosis
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah menentukan paduan
pengobatan yang sesuai, registrasi kasus secara benar, menentukan prioritas
pengobatan TB BTA positif, analisis kohort hasil pengobatan.27
37
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.27
Tuberkulosis ekstra paru.
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
38
- Pengobatan dapat positif atau negatif. 27,28,29
I. Komplikasi
Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
Komplikasi dini berupa pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus, Poncet`s
arthropathy. Komplikasi lanjut diantaranya obdtruksi jalan napas: SOFT (Sindrom
Obstruksi Paska Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat; SOPT , fibrosis paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering
terjadi pada Tb milier dan kavitas TB. 27,28,29
J. Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Obat yang digunakan
untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
39
1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,
Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang
masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan
obat-obat ini.
2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin.27,28,29
K. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
- OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) atau FDC (fixed Dose Combination)lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
- Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
- Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.27,28,29
40
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
41
III.3. HIV/AIDS Dengan TB PARU
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB_HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan
prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasikan pada
pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan
pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu
saja yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB/ TB kronik27,28,29
Pemeriksaan minimal perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah
pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan
CD4. Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihgat pada tabel berikut:
Infeksi dini Infeksi lanjut
(CD4>200/mm3) (CD4 <200/mm3)
Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstrapulmonal Jarang Umum/ banyak
Mikobakteremia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kaviti di Tipikal primer TB milier/
puncak interstisial
Adenopati hilus/ Tidak ada Ada
mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada
42
Pengobatan OAT pada TB-HIV:
1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis ser4ta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan toksik yang serius pada hati
4. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yant tidak memberi respons terhadap
pengobata, selain dipikirkan terdapat resitensi terhadap pbat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien dengan HIV/AIDS
tersapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan,
karenanya dosis setandar OAT yang diterima suboptimal sehin gga
konsentrasi oabt rendah dalam serum.
5. Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah
limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomnedasi yang ada27,28,29
43
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600
atau 800 mg/ hari) atau
-panduan yang mengandung NVP bila
paduan TB fase lanjutan tidak
menggunakan rifampisin (AZT atau
d4T) + 3TC+NVP
CD4>350mm3 Mulai terapi TB Tunda ART
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangan ART
mungkin diperiksa
Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan
dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus
diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4.
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2x/hari atau cgc
1600/200 1 x/hari). LPV/r (400/400 mg 2 x/ hari) dan ABC (300 mg 2x/hari)
c. NVP (200 mg/hari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 x/hari) sebagai
pengganti EFV vuika tudaj ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung NVP
adalah d4T/3TC/NVP atay ZDV/3TC/NVP
d. Panduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV/3TC/EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai.
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan
perbaikan setelah pemeberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB
diselesaikan.
Interaksi obat TB dengan ARV:
Pemakaian obat HIV/ AIDS misalnya zidovudin akan menngkatkan kemungkinan
terjadinya efek toksik OAT
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena
bersifat sebagai buffer antasida
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida dan
inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena
44
rifampisisn dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Tetapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomnedasikan.27,28,29
45
DAFTAR PUSTAKA
46
15. Castro KG, Ward JW, Slutsker L, Buehler JW, Jaffe HW, Berkelman RL. 1993
revised classification system for HIV infection and expanded surveillance case
definition for AIDS among adolescents and adults. 1992. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00018871.htm
16. World Health Organization. WHO Case Definitions of HIV for Surveillance and
Revised Clinical Staging and Immunological Classification of HIV-Related
Disease In Adults and Children. 2007. France: WHO Library Cataloguing-in-
Publication Data.
17. Crowe S, Mills J. AIDS & other virus infections of the immunesystem. In: Parslow
TG, Stites DP, Terr AI, et al., ed. Medical Immunology. Toronto: McGraw-Hill
Companies; 2001;636-648.
18. Huff B. CD4 monitoring in resource-limited settings: the state of the art at
Bangkok.2004. Diunduh dari:
http://www.thebodypro.com/content/treat/art13496.html
19. G Pantaleo, et al. Typical Course of an Untreated HIV-Infected Individual. N Engl
J Med 328(5):327. 1993
20. Palella F, Delaney K, Moorman A, et al. Declining Morbidity and Mortality
among Patients with Advanced Human Immunodeficiency Virus Infection. N Eng
J Med 1998;38:853-60.
21. Hammer SM. Management of Newly Diagnosed HIV Infection. N Engl J Med
2005;353:1702-10.
22. Volberding PA, Deeks SG. Antiretroviral Therapy and Management of HIV
Infection. Lancet 2010;376:49-62.
23. Kaplan JE, et al. Guidelines for Preventing Opportunistic Infections amog HIV-
infected Persons. 2002. Recommendations of the U.S. Public Health Service and
the Infectious Disease Society of America. MMWR Recomm Rep 51(RR-8):1,
2002.
24. Djauzi S, Djoerban Z, et al. Panduan Layanan Terapi Antiretroviral. Ikatan Dokter
Indonesia. 2010.
25. World Health Organization. Rapid Advice: Antiretroviral Therapy for HIV
Infection in Adults and Adolescents. 2009
26. Wold Health Organization. 2010. Global Tuberculosis Control 2010. .
47
27. Amin, Zulkifli. Tuberkulosis Paru dalam ILmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed.4.
Jakarta: FKUI. 2007. Hal : 988 – 1000.
28. Mangunnegoro, Hadiarto. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: FKUI. 2004.
29. Yunus, Faisal. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2007.
48
49
50