Anda di halaman 1dari 82

BAB I

PENDAHULUAN

Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang


menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan1. Anastesi adalah
istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu “an” dan “esthesia”, dan
bersama-sama berarti “hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Pada saat ini, bila
digunakan kata tunggal anastesi, berarti anastesi umum. Anastesi inhalasi, anastesi
intravena, anastesi intravaskular, anastesi perrektal adalah sub bagian dari anastesi
umum, dan kata “menerangkan” menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam
tubuh untuk menghasilkan anastesi umum. Rees & Grey membagi komponen
anestesi menjadi tiga yaitu hipnotika (pasien kehilangan kesadaran), Anestesia
(pasien bebas nyeri), Relaksasi (pasien mengalami kelumpuhan otot rangka).
Anastesi lokal menunjukkan anastesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
tanpa kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anastesi gabungan anastesi
umum dan anastesi local atau digunakan sedasi. Anastesi regional seringkali
digunakan sebagai sinonim anastesi lokal, lebih menunjukkan akibat blockade
saraf, pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah yang dibuat tidak peka2.

Anastesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara


menyuntikkan obat anastesi lokal pada lokasi serat yang menginervasi regio
tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat
temporer3. Anastesi regional terbagi atas blok sentral (blok neuroaksial), yaitu
meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan. Blok
perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena1. Indikasi blok subarachnoid adalah bedah abdominal bawah dan
inguinal, anorektal dan genitalia eksterna, dan ekstremitas inferior3.

Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan


melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim

1
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram4. WHO menetapkan
indikator persalinan caesaria 5–15% untuk setiap negara, jika tidak sesuai indikasi
operasi caesaria dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada ibu dan
bayi. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2010, tingkat persalinan caesar di
Indonesia 15,3% Sampel dari 20.591 ibu yang melahirkan dalam kurun waktu 5
tahun terakhir yang diwawancara di 33 provinsi.5
Anestesi obstetri sangat dibutuhkan dan merupakan bagian yang menarik
dari sub spesialisasi anestesi. Penggunaan dan penerimaan yang luas dari anestesi
persalinan telah menjadikan anestesi obstetri merupakan bagian yang penting
dari praktek anesthesia.Teknik anestesi spinal pada section caesaria mempunyai
banyak keuntungan seperti onset cepat, risiko terhadap bayi minimal, serta
pencegahan dan penyulit anestesi sudah diketahui dengan baik6.
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eritropoeietin, akibatnya volume plasma bertambah dan sel
darah merah meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam
proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga
terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.4.
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu
hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan dapat
memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih belum
memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.9

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


A. PENDAHULUAN
Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua
sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon
dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan
kompresi dari struktur sekitar uter us memegang peranan penting pada trimester
kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan
bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan
yang relevan meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi,
metabolik, dan gastrointestinal.5

B. Berat Badan dan Komposisi


Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira 17%
dari BB sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat badan adalah
akibat dari peningkatan ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan amnion 1
kg, fetus dan plasenta 4 kg), peningkatan volume darah dan cairan interstitial
(masing-masing 2 kg), dan lemak serta protein baru kira-kira 4 kg. Penambahan
BB normal selama trimester pertama adalah 1-2 kg dan masing-masing 5-6 kg
pada trimester 2 dan 3.5
Implikasi Klinisnya:
Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan oksigen sebelum
induksi anestesi umum. Penusukan spinal atau epidural anestesi menjadi lebih
sulit. Karena penambahan berat badan dan penambahan besar buah dada
kemungkinan menimbulkan kesulitan intubasi.6

3
C. Perubahan Kardiovaskular

Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadapa


beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular
terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular
berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang
lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang tidak hamil. Cardiac
output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai tingkat
maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit
peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar
50% peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan
kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya
peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting
adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih
banyak daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit
untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat pada
minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung tidak
berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen simpatis.5
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi
penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38,
setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis.
Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi
supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi
ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine,
yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang
mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan
kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini
mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya
asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan
posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua
dan ketiga dari kehamilan.5
4
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung
dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran
radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada
elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya
murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga
dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi perikardial kecil
dan asimptomatik.5
Implikasi Klinis:
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh wanita
hamil dengan penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta, stenosis mitral)
atau penyakit jantung koroner. Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24
minggu kehamilan, selama persalinan, dan segera setelah melahirkan.6

D. Perubahan Hematologi
Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan
sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin,
menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body
water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat sampai 45 %
dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan
peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam
kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%.
Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena
tubuh sang ibu memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung,
peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi
oxyhemoglobin.7
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang
memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat
proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya
faktor XI yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat
diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi,
leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja
terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat
5
dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak
terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi viral.7
Implikasi Klinis:
Peningkatan volume darah m empunyai beberapa fungsi penting yaitu
untuk memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta,
mengisi reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan
karena ibu menjadi hipercoagulabel selama proses kehamilan. Keadaan ini
berlangsung sampai 8 minggu setelah melahirkan.6

E. Perubahan Sistem Respirasi


Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan
oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari
janin ke ibu.5
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam
masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan
meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan meningkat sekitar 20-50% dan
ventilasi semenit meningkat hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg.
Alkalosis respiratorik dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan
konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2
secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek
hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen
dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen
meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan
peningkatan curah jantung memicu perfusi jaringan.7
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan
umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari
cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume, residual
volume,dan functional residual capacity menurun, mendekati akhir masa
kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak hamil.
Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga
6
kapasitas paru total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil,
penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi
mereka yang mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai
akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan
nafas awal dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver
tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal antara
closing volume dan functional residual capacity. Volume residual dan functional
residual capacity kembali normal setelah proses persalinan.8
Implikasi Klinisnya:

1. Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya penurunan


MAC akan menyebabkan paturien lebih sensitive terhadap anestetika
inhalasi daripada wanita yang tidak hamil.
2. Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas membran
mukosa, harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa endotrakhea
yang lebih kecil daripada untuk wanita yang tidak hamil.6

F. Perubahan Sistem Renal

Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada


awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal umumnya
membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone mengakibatkan terjadinya
retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerulus meningkat
sebanyak 50% selama trimester pertama dan laju filtrasi glomerulus menurun
menuju ke batas normal pada trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea
Nitrogen (BUN) mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL.
Penurunan threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan
sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300
mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg.5
Implikasi Klinis:

7
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari wanita
yang tidak hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama seperti wanita yang tidak
hamil menunjukkan adanya fungsi ginjal yang abnormal.6

G. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal

Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan


menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus
gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan
resiko terjadinya aspirasi yang berhubungan dengan anestesi general.5
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa
kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu
ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron
menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari
plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan
wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi
pulmonal. Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak
pendapat yang menyatakan mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa
persalinan. Di samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di
bawah 2.5 dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari
25mL. kedua faktor tersbut telah dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya
aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan antikolinergik menurunkan tekanan
sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi terjadinya refluks
gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung. Efek fisiologis ini
bersamaan dengan ingesti makanan terakhir sebelum proses persalinan dan
penundaan pengosongan lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan
faktor predisposisi pada ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual.5
Implikasi Klinis:
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa melihat lama
puasa prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari. Dianjurkan penggunaan

8
rutin antacid non-partikel. Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6
minggu postpartum.6

H. Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer

Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa


kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general.
Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca
kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan opioid endogen telah
dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis
farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa
aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara
signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan
dan kelahiran. Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap
kedua jenis anestesi baik regional maupun general.
Dari awal periode pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil
membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk
mencapai level dermatom sensorik yang diberikan. Minimum local analgesic
concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan
potensi relatif dari anestesi lokal dan MLAC didefinisikan sebagai median dari
konsentrasi analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam
periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran
uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan
volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan menghasilkan tiga
efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2) penurunan volume
potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek
awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal
dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam
insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.5,9

9
Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi
lokal yang digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam
postpartum.6

I. Perubahan Sistem Muskoloskeletal


Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan
kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan
relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan
peningkatan risiko terjadinya cedera punggung. Kemudian dapat berkontribusi
dalam insidensi nyeri punggung dalam kehamilan.5

Implikasi Klinis:
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis
merupakan sebab utama dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang
menyulitkan dilakukan spinal atau epidural analgesi.6

J. Sirkulasi Uteroplasental
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan
dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat
menjadi penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika
menjadi parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi
bergantung pada aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta.
Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai
nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.7
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki
resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa
gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh
darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat
bergantung pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang
mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek
berbahaya pada suplai darah fetus.9

10
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana
hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi
aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang
meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus
vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan
gangguan pada aliran darah.5,7

2.2 Hipertensi Kehamilan

A. Pendahuluan
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada
ibu hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan
dapat memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih
belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.9

B. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan


Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the
NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu : 9
1. Hipertensi gestasional9
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan
darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya
selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi
gestasional disebut juga transient hypertension jika preeklampsia tidak
berkembang dan tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu
postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama setengah
kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun
proteinuria tidak pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh
Chesley (1985), 10% eklamsi berkembang sebelum proteinuria yang
nyata diidentifikasi. Dengan demikian, jelas bahwa apabila tekanan
darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat.
11
Proteinuria adalah suatu tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk,
terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-menerus
meningkatkan risiko ibu dan janin. 9
2. Preeklampsi
preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan
Chesley (1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan
dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24
jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat
proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24
jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak
bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti. 9
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi
adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan
laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan
fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain
itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit
kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut. 9
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan
akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan
kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum
hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang
memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan
agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan
ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi
dan merupakan indikasi penyakit yang berat. Faktor lain yang
12
menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan
oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam
mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan
penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan.
Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3
dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan
kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg
tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan
diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang
persisten atau gangguan visual.

3. Eklampsi9
Eklampsi adalah kelainan akut pada preeklampsi dalam kehamilan,
persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan
atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat).
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi
secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama
nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum.
Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum
dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru
melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48
jam postpartum .

4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis


Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklampsi atau eklampsi
adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan
disebut juga Superimposed Preeclampsia.
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
13
- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang
belum ada sebelum kehamilan 20 minggu.
- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah
trombosit <100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.

5. Hipertensi kronis9
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah
ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur
kehamilan < 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pascasalin.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita
hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada
beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia
20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang
meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan
tanda awal terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan
dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial
merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil.
Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada
beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari
penyakit parenkim ginjal yang mendasari.

klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat pada tabel
2.1
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99

14
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Kronis

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah


dapat meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu.
Jika disertai oleh proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya dapat
didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering
berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan
hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi
sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk
menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut.

C. Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklampsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.

2. Faktor risiko medikal maternal :


- Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis
seperti hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma,
dan stenosis arteri renalis
- Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan
komplikasi mikrovaskular

15
- Penyakit ginjal
- Systemic Lupus Erythematosus
- Obesitas
- Trombofilia
- Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor >
trimester I.
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
- Kehamilan multipel
- Hidrops fetalis
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.

D. Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan11


Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah istirahat ≥
140/90 mmHg. Kriteria edema pada preeclampsia sudah tidak digunakan
lagi oleh karena selain subjektif dan juga tidak mempengaruhi “out-come”
perinatal.
Diagnosis Hipertensi Dalam Kehamilan
 Hipertensi Gestasional
 Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg terjadi pertama kali dalam
kehamilan.
 Tidak terdapat Proteinuria
 Tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12 minggu pasca
persalinan.
 Diagnosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan.
 Dapat disertai dengan gejala PE Berat : nyeri epgastrium atau
trombositopenia.
 PE-Preeclampsia
KRITERIA MINIMUM
 TD ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
16
 Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dispstick
PRE-EKLAMPSIA BERAT:
 TD ≥ 160/110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
 Proteinuria 2.0 g/24 jam ≥ 2+ (dispstick)
 Serum Creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila sebelumnya sudah
abnormal )
 Trombosit < 100.0000 / mm3
 Microangiopathic hemolysis ( increase LDH )
 Peningkatan ALT atau AST
 Nyeri kepala atau gangguan visual persisten
 Nyeri epigastrium
 Eklampsia
 Kejang yang tidak diakibatkan oleh sebab lain pada penderita
pre eklampsia.
 Superimposed Preeklampsia ( pada hipertensi kronik )
 Proteinuria “new onset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita
hipertensi yang tidak menunjukkan adanya proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu atau
 Peningkatan TD atau kadar proteinuria secara tiba tiba atau
trombositopenia < 100.000/mm3 pada penderita hipertensi dan
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
 Hipertensi Kronis
 TD ≥ 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum
kehamilan 20 minggu dan tidak terkait dengan penyakit
trofoblas gestasional
 HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan
menetap sampai > 12 minggu pasca persalinan. .

H. Pilihan obat anti hipertensi12


Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan
adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti
17
hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang
banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang
stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan
ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang
terpapar metil dopa saat dalam kandungan. 12
Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi
kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed
preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi
selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya.
Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi,
deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau
terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi
meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis
konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya.
Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi
sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan
pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan
simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi.
Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat
memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus
untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh
sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk
sejalan dengan waktu. 12
Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi
ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu.
Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat
janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi
berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah,
gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan
per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari
penambahan stress akibat operasi.
18
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal.
Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada
antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam
kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif
lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga
dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian
parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum
induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau
lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.Jenis-jenis
obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan
: 12
1. Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara
langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan
cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi
oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena
dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme
oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih
dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-
20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah
diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan
perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama
kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan
angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian
perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah
dalam 95% kasus preeklamsi.

19
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk
oral maupun intra vena. Labetalol diberikan secara intravena,
merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan digunakan juga
untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat
dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan
arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg
intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka
diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg,
selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal
kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol.
Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi
kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak
mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman
membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak
melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat
ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis
10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin
merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah
utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan,
menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang
20
cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini,
nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut
jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial,
obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan
dalam kehamilan.
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat
infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-
rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik
secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan
darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan
pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.
Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang
baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak
direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon
terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium
nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa
efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2
menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5
menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam
hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra
vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek
samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan
merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi
dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi
untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus
mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai
vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan
anti hipertensi potensi sedang.
4. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat
anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
21
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat
ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral
α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2
perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan
sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang
berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan
dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak
plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan
disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat
ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi
untuk memberhentikan obat ini.

5. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara
incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah
menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8
jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga,
tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan
fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian
klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi
dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada
penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metildopa.
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat
ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas
22
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung,
curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat
ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi
obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang.
Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit
pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak
dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan
pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak
ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat
sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.

7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan
resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel
otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume
intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat
preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu,
diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah
karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan
menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian
furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana
terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat
meningkatkan risiko defek janin.
8. Penghambat ACE

23
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim
yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2
(vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai
tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin
vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator
poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.

OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam
terapi hipertensi
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon
nitroprussid terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.2 Panduan Obat Anti Hipertensi

24
Pemberian obat antikejang(13)
MgSO4

Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif


dibanding fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik
yang melibatkan 897 penderita eklampsia.

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin


pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi
neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada
sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif
inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang
tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama
untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.

Cara pemberian MgSO4

- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam


10 cc)selama 15 menit

- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan


ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4

- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu


kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3
menit

- Refleks patella (+) kuat

- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda


distress nafas

25
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4

- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl

- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl

- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl

- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau


setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.
Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan
didapatkan 50 % dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)

Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu


diazepam atau fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium
amobarbital. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane
neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit
setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15
mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya
tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian fenitoin
di beberapa senter di dunia masih sedikit.

I. Efek Samping Obat


Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan
disfungsi ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan
anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner,
pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada
tulang tengkorak.15
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol

26
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan
dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang
tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan
penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena
beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena
ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari
patofisiologi ibu atau efek dari obat.15
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal
seperti hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi,
hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu
pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit,
trombositopeni, dan IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan
produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat
plasma yang rendah ditemukan pada janin.
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar
dalam susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama
terdapat pada ACE inhibitor.
-
2.3 Anemia Pada Kehamilan
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan
oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red
cell count).

27
Hemoglobin ( Hb ) yaitu komponen sel darah merah yang berfungsi
menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh
kekurangan oksigen. Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses
metabolisme. Zat besi merupakan bahan baku pembuat sel darah merah.
Ibu hamil mempunyai tingkat metabolisme yang tinggi misalnya untuk
membuat jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi organ dan juga
unt uk memproduksi energi agar ibu hamil bisa tetap beraktifitas normal
sehari – hari. Fungsi Hb merupakan komponen utama eritrosit yang
berfungsi membawa oksigen dan karbondioksida.

Warna merah pada darah disebabkan oleh kandungan Hb yang


merupakan susunan protein yang komplek yang terdiri dari protein,
globulin dan satu senyawa yang bukan protein yang disebut heme. Heme
tersusun dari suatu senyawa lingkar yang bernama porfirin yang bagian
pusatnya ditempati oleh logam besi (Fe). Jadi heme adalah senyawa-
senyawa porfirin- besi, sedangkan hemoglobin adalah senyawa komplek
antara globin dengan heme. Anemia pada kehamilan adalah suatu
keadaan ibu hamil apabila pada Trimester I & III kadar Hb <11 gr/dl
dan pada Trimester II kadar Hb < 10, 5 gr/dl dalam darah.

EPIDEMOLOGI

Frekuensi anemia dalam kehamilan di seluruh dunia cukup tinggi


yaitu berkisar antara10-20%. Menurut WHO, 40% kematian ibu di negara
berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan yang
penyebabnya merupakan defisiensi zat besi. Di Indonesia angka
anemia menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu 63,5%. Karena
defisiensi gizi memegang peranan yang sangat penting dalam timbulnya
anemia maka dapat dipahami bahwa frekuensi anemia dalam kehamilan
14
lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.

Dari keseluruhan anemia dalam kehamilan sekitar 95% merupakan


anemia defisiensi besi. Insidens wanita hamil yang menderita anemia
28
defisiensi besi meningkat. Hal ini enunjukkan keperluan zat besi
maternal yang bertambah pada saat kehamilan. Kematian maternal
meningkat oleh karena terjadinya pendarahan post partum yang banyak
pada wanita hamil yang sebelumnya memang sudah menderita anemia.

PATOFISIOLOGI

Kehamilan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang


berakibat peningkatan volume cairan dan sel darah merah serta penurunan
konsentrasi protein pengikat gizi dalam sirkulasi darah, begitu juga
dengan penurunan gizi mikro. Peningkatan produksi sel darah merah ini
terjadi sesuai dengan proses perkembangan dan pertumbuhan masa janin
yang ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang cepat dan penyempurnaan
susunan organ tubuh. Adanya kenaikan volume darah pada saat
kehamilan akan meningkatkan kebutuhan zat besi.

Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan


sedikit karena peningkatan produksi eritropoetin sedikit, oleh
karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat.
Sedangkan pada awal trimester kedua pertumbuhan janin sangat cepat
dan janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan menelan air ketuban
sehingga lebih banyak kebutuhan oksigen yang diperlukan. Akibatnya
kebutuhan zat besi semakin meningkat untuk mengimbangi peningkatan
produksi eritrosit dan rentan untuk terjadinya anemia, terutama anemia
defisiensi besi.14

Konsentrasi hemoglobin normal pada wanita hamil berbeda


dengan wanita yang tidak hamil. Hal ini disebabkan karena pada
kehamilan terjadi proses hemodilusi atau pengenceran darah, yaitu terjadi
peningkatan volume plasma dalam proporsi yang lebih besar jika
dibandingkan dengan peningkatan eritrosit. Perubahan hematologi
sehubungan dengan kehamilan, antara lain adalah oleh karena
peningkatan oksigen, perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap
29
plasenta dan janin, serta kebutuhan suplai darah untuk pembesaran uterus,
sehingga terjadi peningkatan volume darah yaitu peningkatan volume
plasma dan sel darah merah. Namun, peningkatan volume plasma terjadi
dalam proporsi yang lebih besar sekitar tiga kali lipat jika dibandingkan
dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin akibat hemodilusi. Hemodilusi berfungsi agar suplai
darah untuk pembesaran uterus terpenuhi, melindungi ibu dan janin dari
efek negatif penurunan venous return saat posisi terlentang, dan
melindungi ibu dari efek negatif kehilangan darah saat proses
melahirkan.15

Hemodilusi dianggap sebagai penyesuaian diri yang fisiologi


dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita untuk meringankan beban
jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena
sebagai akibat hypervolemia cardiac output meningkat. Kerja jantung
lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang,
sehingga tekanan darah tidak meningkat. Secara fisiologis, hemodilusi ini
membantu maternal mempertahankan sirkulasi normal dengan
mengurangi beban jantung. 15

Ekspansi volume plasma dimulai pada minggu ke-6 kehamilan


dan mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat
terus meningkat sampai minggu ke-37. Volume plasma meningkat 45-65
% dimulai pada trimester II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan
ke-9 yaitu meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm
serta kembali normal tiga bulan setelah partus. Stimulasi yang
meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang
menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron. 15

Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit,


konsentrasi hemoglobin darah, dan hitung eritrosit, tetapi tidak
menurunkan jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam sirkulasi. Penurunan

30
hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan hitung eritrosit biasanya
tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan, dan terus menurun
sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai.

Sebab itu, apabila ekspansi volume plasma yang terus-


menerus tidak diimbangi dengan peningkatan produksi eritropoetin
sehingga menurunkan kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di
bawah batas “normal”, timbullah anemia. Umumnya ibu hamil dianggap
anemia jika kadar hemoglobin di bawah 11 g/dl atau hematokrit kurang
dari 33 %.

TATALAKSANA

Pengobatan dapat dimulai dengan preparat besi per os. Biasanya


diberikan garam besi sebanyak 600 – 1000 mg sehari, seperti sulfas-
ferrosus atau glukonas ferrosus. Hb dapat dinaikan sampai 10 g/dl atau
lebih asal masih ada cukup waktu sampai janin lahir. Peranan vitamin C
dalam pengobatan mempunyai khasiat untuk mengubah ion ferri menjadi
ion ferro yang lebih mudah diserap oleh selaput usus.

Terapi parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan


akan obat besi per os, ada gangguan penyerapan, penyakit saluran
pencernaan, atau apabila kehamilannya sudah tua. Besi parenteral
diberikan dalam bentuk ferri. Secara intamuskulus dapat disuntikan
dekstran besi atau sorbitol besi. Hasilnya lebih cepat dicapai, hanya
penderita merasa nyeri di tempat suntikan.

Juga secara intravena perlahan – lahan besi dapat diberikan, seperti


ferrum oksidum sakkaratum, sodium diferat, dan dekstrat besi. Akhir-
akhir ini Imferon banyak pula diberikan dengan infuse dalam dosis total
antara 1000 – 2000 mg unsur besi sekaligus, dengan hasil yang sangat
memuaskan. Walaupun besi intravena dengan infus kadang – kadang
menimbulkan efek sampingan, namun apabila ada indikasi yang tepat, cara
ini dapat dipertanggungjawabkan.
31
2.4 Seksio Caesarea (SC)
A. Definisi Seksio Saesaria
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan
janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus
(histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum
abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan abdominal. Tindakan ini dilakukan
untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam15.

B. Klasifikasi Seksio Sesaria


Ada beberapa jenis seksio sesarea, yaitu15:
a. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan
dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir 99% dari
seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan
menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa keunggulan seperti
kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak menimbulkan perlekatan. Adapun
kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin sehingga
memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat menimbulkan
perdarahan. Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi memanjang
(secara Kronig).
b. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat
dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada vesika
urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada segmen
bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan kelainan
letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Teknik ini juga memiliki
beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit, kemungkinan
terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan kemungkinan
terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar.
c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus setelah
seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan tindakan

32
lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau pada ruptur
uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan .
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior ke
dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek
obstetri .
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung
kemih ke bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi
di segmen bawah .
C. Indikasi Seksio Sesaria15
Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan
suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power
(kekuatan ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada
salah satu faktor tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan
dengan lancar bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat
membahayakan ibu dan janin jika keadaan tersebut berlanjut (Manuaba,
1999).

Indikasi untuk sectio caesarea antara lain meliputi:

1. Indikasi Medis
Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage

2. Indikasi Ibu
a. Usia
b. Tulang Panggul
c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea
d. Faktor hambatan jalan lahir
e. Kelainan kontraksi rahim
f. Ketuban pecah dini
g. Rasa takut kesakitan

33
3. Indikasi Janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress)
b. Bayi besar (makrosemia)
c. Letak sungsang
d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accreta
e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat
Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang
lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu, atau bahkan
keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan
aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara maju
seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.1, di Norwegia diperoleh hasil bahwa
indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia 3,6%, diikuti oleh
presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio sesarea sebelumnya
1,4% dan lain-lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang terjadi.

Di Skotlandia diperoleh bahwa distosia sebagai indikasi seksio sesarea


terbanyak yaitu 4,0%, sedangkan riwayat seksio sesarea sebelumnya 3,1%, gawat
janin 2,4%, presentasi bokong 2,0% dan lain-lain 2,7% dalam 14,2% kasus seksio
sesarea. Riwayat seksio sesarea sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari
10,7% kasus seksio sesarea yang terjadi di Swedia yaitu 3,1%, diikuti oleh
distosia dan presentasi bokong yang masing-masing berkisar 1,8%, sedangkan
gawat janin hanya 1,6% dan lain-lain 2,4%. Di USA, riwayat seksio sesarea
sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari 23,6% kasus seksio sesarea yang
terjadi yaitu 8,5%, dan distosia berperan dalam 7,1%, presentasi bokong 2,6%,
gawat janin 2,2% dan lain-lain 3,2%. Sebaran indikasi seksio sesarea di negara-
negara maju tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

34
Tabel 2.3. Indikasi Seksio Caesaria di berbagai negara

Seksio Cesarea tiap 100 persalinan


Indikasi
Norwegia Skotlandia Swedia USA

Distosia 3,6 4,0 1,8 7,1

Riwayat SC 1,4 3,1 3,1 8,5


sebelumnya

Presentasi bokong 2,1 2,0 1,8 2,6

Gawat janin 2,0 2,4 1,6 2,2

Lainnya 3,7 2,7 2,4 3,2

Seksio Caesarea 12,8 14,2 10,7 23,6

Di negara-negara berkembang dilaporkan dari penelitian selama 15 tahun


terhadap indikasi seksio sesarea, ada empat faktor klinis utama yang menjadi
indikasi seksio sesarea yang tidak berubah, yakni gawat janin (22%), partus tidak
maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh Mahdi
(1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah gawat
janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %) .

D. Kontraindikasi Seksio sesaria

Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin
sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea.
Dalam hal ini adanya gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan

35
pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat seminimal
mungkin (Cunningham dkk, 2005).15

E. Komplikasi Seksio sesaria

Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya
(Bobak, 2004). Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan
dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani
seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan
tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada.15
Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai
38,50C. Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan sebuah
diagnosis yang menandakan adanya suatu komplikasi serius . Morbiditas febris
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca pembedahan seksio
seksarea.
Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai
kehilangan darah lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat
kegagalan mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun pada placental
bed akibat atoni uteri. Komplikasi pada bayi dapat menyebabkan hipoksia, depresi
pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan trauma persalinan .

F.Perawatan Pasca Seksio sesaria

Menurut Mochtar (1998) perawatan pasca bedah meliputi :15

1. Perawatan luka insisi

Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan


sebagainya, lalu ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik
pembalut luka diganti dan luka dibersihkan.

2. Tempat perawatan pasca bedah

36
Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke dalam
kamar rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin kamar udara
selama beberapa hari. Bila pasca bedah kondisi gawat segera pindahkan ke
ICU untuk perawatan bersama-sama dengan unit anastesi, karena di sini
peralatan untuk menyelamatkan pasien lebih lengkap. Setelah pulih
barulah di pindahkan ke tempat pasien semula dirawat.

3. Pemberian cairan

Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka


pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit
yang diperlukan, agar tidak terjadi dehidrasi.

4. Nyeri

Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang harus diderita oleh
mereka yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri
tersebut dapat disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat
operasi. Nyeri tersebut hampir tidak mungkin di hilangkan 100%, ibu akan
mengalami nyeri atau gangguan terutama bila aktivitas berlebih atau
melakukan gerakan-gerakan kasar yang tiba-tiba. Sejak pasien sadar dalam
24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah operasi. Untuk
mengurangi rasa nyeri tersebut dapat diberikan obat-obat anti nyeri dan
penenang seperti suntikan intramuskuler pethidin dengan dosis 100-150
mg atau morfin sebanyak 10-15 mg atau secara perinfus.

5. Mobilisasi

Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu


jalanya penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah
terjadinya thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat
dimulai sejak 6-10 jam setelah pasien sadar. Latihan pernafasan dapat
dilakukan pasien sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar.
37
Pada hari kedua pasies dapat didukukan selama 5 menit dan dan diminta
untuk bernafas dalam-dalam lalu menghembuskanya disertai batuk-batuk
kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus
menumbuhkan kepercayaan pada diri pasien bahwa ia mulai pulih.
Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk (semi
fowler).selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari
ke 3 sampai 5 pasca bedah.

2.5 Anastesi Blok Subaarachnoid Pada Sectio Caesarea8


2.5.1 Definisi Anestesi Blok Subarachnoid8,9

Anestesi spinal (blok subarachnoid) merupakan salah satu


teknik anestesi regional yang sering dipilih pada tindakan Sectio
Caesarea. Anestesi regional sendiri, yaitu suatu tindakan menekan
transmisi impulsnyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.
Anestesi spinal merupakan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal
ke dalam cairan serebrospinalis di dalam ruang subarachnoid melalui
tindakan pungsi lumbal untuk menimbulkan hilangnya sensasi dan
blok motorik setinggi dermatom tertentu sesuai yang diinginkan.
Anestesi spinal atau blok subarachnoid disebut juga sebagai analgesi
atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.8
Teknik ini sederhana, mudah dikerjakan dan paling efektif
untuk pasien Sectio Caesarea. Selain itu intubasi endotrakeal pada
penanganan anestesi ibu dengan preeklampsia dapat meningkatkan
keparahan hipertensi, oleh karena itu anestesi regional lebih menjadi
pilihan.9
Area tulang belakang manusia atau yang disebut kolumna
vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5
38
(lima) segmen yaitu 7 vertebra servikal, 12 vertebra torakal, 5
vertebra lumbal, 5 vertebra sakral dan 4 vertebra koksigeus menyatu
pada dewasa, yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-
kelompok saraf.9

Gambar 1. Penampang Kolumna Vertebralis Manusia

2.5.2 Indikasi Dan Kontraindikasi Anestesi Blok Subarachnoid8


Indikasi tindakan anestesi blok subarachnoid adalah pada
tindakan bedah daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah
(daerah papilla mammae kebawah), abdomen bawah, inguinal,
bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetrik-
ginekologi, bedah urologi, bedah ekstremitas bawah.Kontraindikasi
anestesi spinal ada dua macam yakni relatif dan absolut.
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis,
2. Infeksi pada tempat suntikan bakteremia)
3. Hipovolemia berat 2. Infeksi sekitar tempat suntikan
4. Koagulopati atau mendapat 3. Kelainan neurologis
terapi antikoagulan 4. Kelainan psikis
5. Tekanan intrakranial meninggi 5. Bedah lama
6. Fasilitas resusitasi minim 6. Penyakit jantung

39
7. Kurang pengalaman atau / 7. Hipovolemia ringan
tanpa didampingi konsultan 8. Nyeri punggung kronis
anestesi

2.5.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesi Blok Subarachnoid8


Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar,
sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara. Muntah dan aspirasi
bukan kondisi membahayakan pada anestesi regional. Obat
anestetik regional seperti bupivakain tidak terlalu toksik untuk
janin. Waktu prosedur analgesia spinal lebih singkat, relatif
mudah, efek analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik dan
sensorik yang baik), mula kerja danmasa pulih yang cepat.Pada
anestesi spinal ibu tetap sadar sehingga bisa melihat bayinya tepat
setelah lahir.
Kerugian pada anestesi spinal adalah hipotensi lebih cepat
terjadi dan berat, penderita takut, operasi belum selesai, obat
habis, perlu waktu lebih lama, tidak selalu 100% berhasil, tidak
bisa untuk lokasi tertentu, bisa timbul intoksikasi, mual dan
muntah, lama kerja terbatas (operasi belum selesai, masa kerja
obat habis). Kerugian anestesi pada pasien dengan preeklampsia
ialah meningkatkan resiko tidak stabilnya hemodinamik selama
operasi.
2.5.4 Persiapan Dan Peralatan Anestesi8
1. Persiapan Anestesi Blok Subarachnoid1
Pasien yang akan mengalami anestesi dan pembedahan
dapat dikategorikan dalam beberapa kelas status fisik yang
dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society
Of Anesthesiologist (ASA):
ASA I : Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik

40
maupun psikiatrik. Proses patologis yang akan dilakukan
operasi terbatas lokalisasinya dan tidak akan menyebabkan
gangguan sistemik.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang,
yang disebabkan baik oleh keadaan yang harus diobati
dengan jalan pembedahan maupun oleh proses
patofisiologis.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik yang berat, apapun
penyebabnya.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan
pembedahan. Contoh pasien dengan dekompensasi
jantung.
ASA V : Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk
hidup.

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti


persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan
diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak
teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-
hal di bawah ini:8
1. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT
(activated partial thromboplastine time).

41
2. Peralatan Anestesi Blok Subarachnoid:8
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point
whitecare).

Gambar 2. Jenis Jarum Spinal


2.1.5 Teknik Anestesi Blok Subarachnoid4
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan
tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan.
Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.

42
Gambar 3. Posisi Pasien Saat Dilakukan Spinal
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis
krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2
atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

Gambar 54 Tindakan Desinfeksi Daerah Tusukan Pada Anestesi Spinal

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan


lidokain 1-2% sebanyak 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk
yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (quincke
bacock)), irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas
atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat
berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
43
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor,
pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-
pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung
jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinu dapat dimasukan kateter.

Gambar 5. Tindakan Anestesi Spinal


Struktur yang dilalui oleh jarum spinal untuk mencapai cairan
serebrospinalis, yaitu jarum suntik akan menembus kulit, subkutis,
ligamentum Supraspinosum, ligamentum Interspinosum, ligamentum
Flavum, ruang epidural, duramater, ruang subarachnoid.
2.1.6 Obat-Obat Anestesi Blok Subarachnoid4,5
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 270C ialah
sebesar 1.003 - 1.008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama
dengan CSS disebut isobarik, sedangkan anestetik lokal dengan berat
jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik, sebaliknya anestetik
lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering dipakai adalah jenis hiperbarik yang
diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa, hal
ini membuat obat anestesi tersebut menjadi lebih berat dan lebih
pekat.Hiperbarik digunakan khusus untuk blok subarachnoid.4

44
Dua jenis golongan obat anestesi lokal yaitu: ester (cocain,
procain, chloroprocain, tetracain) dan amide (dibucain, lidocain,
mepivacain, prilocain, bupivacain, etidocain, ropivacain).Masing-
masing mempunyai sifat yang berbeda. Hidrolisa golongan ester
berjalan cepat sehingga daya kerjanya singkat, sedangkan hidrolisa
golongan amide berjalan lebih lambat dan memiliki waktu paruh 1,6
- 8 jam. Obat dengan durasi kerja paling panjang dan potensi tinggi
adalah obat bupivacaine. Obat anestesi spinal yang sering
dipergunakan ialah bupivakain 0,5% dalam dekstrosa 8,25% dengan
dosis 10-20 mg.Mula kerja bupivakain lambat dibanding lidokain,
tetapi lama kerja bisa sampai 8 jam. Bupivakain sering digunakan
karena ikatan dengan protein plasma lebih besar, sehingga dengan
pemberian dalam jumlah kecil pengaruhnya terhadap bayi sangat
kecil sekali (reaksi toksik dan transfer melalui plasenta jarang
dijumpai).10
Ruang subarachnoid lebih kecil pada wanita hamil dibanding
wanita tidak hamil, sehingga dengan dosis obat anestesi yang sama,
blokade jauh lebih tinggi pada ibu hamil dibanding wanita tidak
hamil, oleh karena itu diperlukan pengurangan dosis.10
Selama operasi berlangsung atau pasca operasi, pasien biasa
mengalami gemetaran yang tidak ada hubungannya dengan
hipotermi. Petidine cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran
tersebut. Petidine adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
hampir sama. Petidin lebih larut dalam lemak, metabolisme oleh
hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat,
dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang masih
aktif yang memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidine, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Dosis Petidine yang diberikan 20-
25 mg intravena.9

45
2.1.7 Terapi Cairan Pembedahan11
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti
milieu interiur dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid
(elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena.
Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan
sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk
mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,
mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang
pindah ke rongga peritoneum dan ke luar tubuh.Cairan kristaloid
(elektrolit) digunakan sebagai cairan pemeliharaan bertujuan untuk
mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat.6
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar
kecilnya pembedahan. Pembedahan besar: 6 - 8 ml/KgBB, 4 - 6
ml/KgBB untuk pembedahan sedang, dan 2 - 4 ml/KgBB untuk
pembedahan kecil.2
Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi,
untuk perdarahan di bawah 20% dari volume darah total cukup
diganti dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira - kira
sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan cairan
Ringer Laktat. Volume darah wanita dewasa ialah 65
ml/KgBB.Koloid atau plasma ekspander kalau diberikan secara
intravena dapat bertahan lama di sirkulasi, koloid dapat berupa
gelatin (gelofusin).6
Sebaliknya, total cairan tubuh meningkat karena kebocoran
kapiler akibat aktivasi sel endotel. Ketidakseimbangan ini timbul
sebagai gejala edema perifer patologik, proteinuria, asites dan total
cairan paru. Alasan-alasan ini yang membuat penggantian kebutuhan
cairan secara agresif meningkatkan resiko terjadinya edema paru,
terutama pada 72 jam pertama post partum. Resiko ini dapat
46
dihindari dengan pemberian cairan secara bijaksana, yaitu dengan
500 ml hingga 1000 ml cairan kristaloid. Suatu penilitian oleh Lucas,
dkk pada tahun 2001 melaporkan tidak adanya kejadian edema paru
diantara wanita yang diberikan cairan kristaloid terbatas, yaitu 500 cc
sebagai cairan pre operatif.

2.1.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketinggian Blok Analgesia


Spinal10,11
- Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah
analgesia
- Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah
analgesia
- Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang
meninggikan batas daerah analgetik
- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas
analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan
ialah 3 detik untuk 1 ml larutan.
- Manuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor
serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
- Tempat pungsi: pengaruhnya besar, obat hiperbarik pada L4-L5
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle block), obat hiperbarik
pada pungsi L2-L3 atau L3-L4 cenderung menyebar ke kranial.
- Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik.
- Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama
didapatkan batas analgesia yang lebih tinggi.
- Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis
makin besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak
berpengaruh terhadap dosis obat)

47
- Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya
larutan analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak
dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin
mungkin terjadi.

Tabel 1. Level Ketinggian Blok Segmen Untuk Operasi5


Tempat Operasi Level Blok
Ekstremitas Bawah T-12
Panggul T-10
Vagina, Uterus T-10
Vesica urinaria, Prostat T-10
Testis, Ovarium T-8
Intraabdomen bagian bawah T-6
Bagian intraabdomen lain T-4

2.1.9 Komplikasi Anestesi Blok Subarachnoid9,10


Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi
tindakan dan komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi Tindakan:
1. Hipotensi4
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya
adalah terjadinya hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan
anestesi spinal merupakan manifestasi fisiologis yang biasa
terjadi. Hal ini terjadi karena: (1) penurunan aliran darah balik,
penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif karena
vasodilatasi, dan penumpukan darah; (2) penurunan tahanan
pembuluh darah sistemik karena vasodilatasi; dan (3) penurunan

48
curah jantung karena penurunan kontraktilitas dan denyut
jantung.5
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi
spinal adalah blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan
vena. Dilatasi arteri menyebabkan penurunan tahanan perifer
total dan tekanan darah sistolik. Dilatasi vena dapat
menyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan
aliran balik vena dan curah jantung. Kondisi ini diperburuk oleh
penekanan dari aorta dan vena kava inferior oleh uterus yang
hamil ketika pasien dalam posisi terlentang.Tetapi sebetulnya hal
ini tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi
organ dan perfusi darah ke plasenta menjadi tidak adekuat
sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Dikatakan hipotensi jika
terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 mmHg atau
100 mmHg, atau penurunan lebih dari 30 mmHg dari tekanan
darah sebelum anestesi, atau penurunan persentase 20% atau
30% dari biasanya. Dan lamanya perubahan bervariasi dari 3
sampai 10 menit. Oleh karena itu kejadian hipotensi harus
dicegah.9
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi
hipotensi akibat anestesi spinal, yaitu dengan pemberian cairan
prahidrasi 500-1000 cc atau Ringer Laktat (RL) 1000-1500 cc.
Selain cairan prahidrasi sebagai pencegahan, selama operasi bila
tekanan sistolik mulai turun 10 mmHg, infus cairan kristaloid
dipercepat dan juga diberi obat efedrin. Efedrin merupakan
vasopressor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetrik untuk
mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin adalah obat
sintetik non katekolamin (simpatomimetik) yang mempunyai
aksi langsung dengan menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik
dan aksi tak langsung dengan melepaskan norepinefrin endogen.
Hal ini meningkatkan tekanan darah dengan cara meningkatkan
49
frekuensi detak jantung dan curah jantung dan meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan curah jantung,
denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi
meningkatkan aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin
dapat secara subkutan, intramuskular, bolus intravena, dan infus
kontinu. Pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus
intravena 5-10mg atau 10-20 mg intravena bila terjadi hipotensi
akibat anestesi spinal. Pemberian dapat diulang tiap 3-5 menit
hingga tekanan darah kembali normal atau mencapai tekanan
darah yang diinginkan.7
2. Bradikardia10
Efek samping kardiovaskuler, selain hipotensi ialah
bradikardi merupakan perubahan fisiologis yang paling penting
dan sering pada anestesi spinal. Pemahaman tentang mekanisme
homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan
denyut jantung penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler
terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu
tanda vital pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak
stabil dapat menyebabkan bradikardi. Karena itu pemilihan obat
anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat adanya
efek-efek yang ditimbulkan.Komplikasi brakikardi harus segera
diterapi dengan sulfas atropin. Sulfas atropin merupakan obat
parasimpatolitik yang menghambat pengaruh nervus vagus pada
SA Node. Dosis pada orang dewasa sebesar 0,5 mg intravena
dapat diulangi sampai 2 mg.
3. Hipoventilasi9
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas.
50
4. Mual-muntah9
Mual dan muntah pasca anestesi biasa terjadi setelah
anestesi umum terutama pada penggunaan opioid, bedah
intraabdomen, hipotensi dan pada analgesia regional.10 Mual-
muntah akibat anestesia selama Sectio Caesareaterjadi akibat
kompresi aortokaval dan akibat hipotensi sehingga hipoperfusi di
batang otak, oleh karena itu pasien diberi terapi oksigen untuk
mengatasi rendahnya perfusi aliran darah ke otak.
Obat mual-muntah yang sering digunakan pada
perianestesia ialah ondansetron 0,05 - 0,1 mg / KgBB intravena
atau metoklopramid 0,1 mg / KgBB intravena.10 Suatu
perbandingan antara metoklopramide dengan ondansetron oleh
Randomised Controlled Trial (RCTs) menunjukkan bahwa
ondansetron (antagonis 5HT3) lebih efektif daripada
metoklopramide dalam mengurangi keluhan mual-muntah.
National Sentinel Caesarean Section Audit (NSCSA)
melaporkan bahwa sekitar 98% unit pelayanan kesehatan di
Inggris menggunakan anti reseptor histamine H2 (ranitidin) untuk
mengurangi produksi asam lambung dengan cara melawan
histamine dalam meningkatkan sekresi cairan lambung yang
mengandung ion H tinggi. Obat ini memerlukan waktu 1 jam
setelah pemberian secara intravena untuk mencapai puncak
aktifitas kerjanya.
5. Trauma saraf
6. Gangguan pendengaran
7. Blok spinal tinggi atau spinal total

51
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. S.J
Umur : 24 tahun (13-06-1994)
Alamat : Sentani
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 81 kg
Tinggi Badan : 143 cm
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Status Maritas : Belum Menikah Sah
Ruangan : 30-05-2019
Tanggal MRS : 30-05-2019
Tanggal Operasi : 31-05-2019
No. RM : 46 01 30

3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 30 Mei 2019
a. Keluhan Utama
Mules-mules
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang mengaku hamil 9 bulan, datang dengan keluhan
mules-mules yang semakin sering dan bertambah kuat disertai keluar
lendir bercampur sedikit darah sejak ±16 jam SMRS. Kelaur air-air dari
jalan lahir (-). Gerak janin dirasakan aktif. Keputihan selama hamil (-),
gatal (-), bau (-) , demam (-), pasien mengaku tidak pernah mengontrol
tekanan darah, kehamilan sebelumnya, pasien juga mengaku tidak
pernah menglami tekanan darah tinggi.

52
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat diabetes mellitus, (-), asma (-), dan penyakit jantung (-).
Riwayat hipertensi (-). Riwayat gastritis (-). Riwayat asam urat tinggi (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), riwayat asma (-)
e. Riwayat Pengobatan dan Alergi
Pasien mengaku tidak ada riwayat alergi
f. Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya
Pasien belum perrnah dilakukan operasi
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6
Berat badan : 81 Kg
Tinggi badan : 143 cm

Tanda-tanda vital:
- Tekanan darah : 130/100 mmHg
- Nadi : 80 x/menit, reguler, kuat angkat, terisi penuh
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu Badan : 36 0C

Kepala Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),


Pupil: bulat, isokor, diameter ODS: 3 mm,
Refleks cahaya (+/+)
: Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)

Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)

Mulut : Deformitas (-)

53
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)

Thoraks Paru : Inspeksi : Gerak dinding dada simetris,


retraksi dinding dada (-), jejas (-),

Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), suara


rhonki (-/-), suara wheezing (-/-)
:
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Tidak dilakukan evaluasi

Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi

Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur


(-), gallop (-)

Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung, striae gravidarum (+)


Palpasi : Supel, nyeri tekn epigastrium (-), nyeri tekan
hipokandrium kanan (-), Fundus uteri 34cm
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+), 4-5 kali/menit
Ekstremit : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time< 2”,
as Edema (+) di ekstremitas inferior
Kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior: 5

54
1.4 Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin, Kimia darah dan Elektrolit darah
tanggal 30-05-2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hb 8,7 11,0 – 14,7 g/dl
Leukosit H 16,86 3,37-8,38 .103/uL
Trombosit 314 140-400 .103/uL
Hematokrit 28,9 35,2-46,7%
Eritrosit 4,47 3,69-5,46. 106/uL

Hasil pemeriksaan koagulasi tanggal 30-05-2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


PT 10,5 10,2-12,1 detik
APTT 26,4 24,8-34,4 detik

Hasil pemeriksaan urin 01-10-2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


pH 6.0 4.6-8.5
protein +2

55
Status Obstetri

Gravida 1, Partus 0, Abortus 0

Abdomen tampak membesar sesuai usia kehamilan, striae gravidarum (+)

Fundus uteri : 34cm

Letak Janin ; memanjang

Presentasi: kepala

Denyut jantung janin : BJA : 145 dpm

Inspekulo dan pemeriksaan dalam tidak dilakukan

DIAGNOSA
G1P0A0 hamil 40-41 minggu dengan PEB + Anemia

PENATALAKSANAAN

- Pro SC a.i PEB


- Ekstra Nifedipin Tab
- Pemberian dosis awal 4g MgSO4 40% dilarutkan kedalam 100cc ringer
laktat selama 15-20 menit ( ± 50gtt/m) dilanjutkan 6g MgSO4 40%
dilarutkan kedalam 500cc ringer laktat habis dalam 6 jam
- Informed consent
- Konsul anestesi

3.5 Konsultasi Terkait


Konsultasi Bagian Anestesi
31-05-2019
Advice : Siapkan untuk operasi
Puasa
SIO
Siapkan darah
56
Acc Operasi

3.6 Penentuan PS ASA / Status Anestesi


 PS. ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan-sedang, sehingga
aktivitas rutin terbatas

3.7 Persiapan Anestesi


Hari/Tanggal : 31-05-2019
Persiapan
: Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Operasi
Makan/Minum
: -
Terakhir
BB/TB : 81Kg/143 cm
TTV di Ruang
Operasi Tekanan darah:130/100 mmHg; nadi: 80x/m, reguler, kuat
:
(02-10-2018, angkat, terisi penuh; respirasi: 20x / menit; suhu badan:36oC
09.00 WIT)
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra G1P0A0 Parturien aterm kala I Fase Laten dengan PEB dan
:
Bedah Anemia

Indikasi Pra
:
Bedah Sectio secarea

Airway:

Look : Jalan napas bebas

Feel : Terasa hembusan nafas pasien di pipi pemeriksa.


B1 : Terdengar hembusan napas pasien,
Listen :
Pasien bicara spontan.
Breathing:
Inspeksi : Gerak dinding dada simetris, retraksi sela iga (-),

57
frekuensi napas: 20 kali/menit

Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.


Perkusi : Sonor.
Auskultasi Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
:
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering, warna: merah
Perfusi muda, Capillary Refill Time< 2”, TD:130/100
:
mmHg,
Nadi: 80x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh
Jantung:
B2 : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : tidak dilakukan evaluasi

Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi


Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-), gallop (-
Auskultasi :
)
Compos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
B3 : Kesadaran : Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
B4 : BAK (+), produksi urin pre operasi 1000 cc, warna kuning
Inspeksi : Perut tampak cembung
Supel, nyeri tekan epigastrium (+),
Palpasi :
B5 : nyeri tekan hipokondrium kanan (+)
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi

Auskultasi : Bising usus (+) 4-5 kali/menit

Edema (+) di ekstremitas inferior, Fraktur (-),kekuatan otot


B6 :
ekstremitas superior et inferior: 5

58
Medikasi Pra Nifedipin (23.30)
:
Bedah RL+ MgSO4 (23.30) (08.00)

3.8 Laporan Durante Operasi


Ahli Anestesiologi : dr. D.W,Sp.An. KIC
Ahli Bedah : dr. D.H.U Sp.OG
Jenis Pembedahan : Sectio sesarea
Jenis Anestesi : Regional Anastesi –SAB
Anestesi dengan : Bupivacain 0,5%
Pasien diposisikan duduk
Identifikasi L3-L4
Aseptik dengan betadin dan alkohol
Teknik Anestesi :
Pungsi dengan spinocain G-27
Induksi bupivacain
Block (+)
 Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic didaerah
abdomen dan seluruhnya
 Dilakukan insisi pfannestiel
 Setelah peritoneum dibuka tampak dinding anterior
uterus
 Plika vesika uterine di potong melintang lau disisihkan
kebawah dengan hak besar
Laporan Operasi
 Jam 09.07 lahir bayi laki-laki, BB 3100 gr, PB 48 cm,
APGAR 1:7 5:8. Disuntikkan oxytocin 1 amp + metergin
1 amp
 Dengan tarikan ringan pada tali pusat , plasenta lahir
lengkap pukul 09.09
 SBR dijahit 2
 Dijahit Lapis demi lapis

59
 Fascia dijahit engan vicril no 1

Pernafasan : Oksigen nasal


Posisi : Tidur terlentang (supine)
Pada tangan kiri terpasang IV line abocath 18 G dengan
Infus :
cairan Ringer Laktat 500 cc
Penyulit Pembedahan :
Obat yang digunakan :
Bupivacaine 0.5%
Efedrin 5 mg
Medikasi Durante
: Ranitidine 50 mg
Operasi
Ondansentron 4 mg
Antrain 1amp
Tanda-tanda vital
TD: 114/64 mmHg, Nadi 84x/m, reguler, kuat angkat,
pada akhir :
Suhu badan: 36,70C , Frekuensi napas: 22 x/m, SpO2: 100%
pembedahan

Observasi selama operasi


60
140

120

100

80
Sistolic
60 Diastolic
Nadi
40

20

0
08.45' 09.00' 09.15' 09.30' 09.45'

1.9 Terapi Cairan

Cairan yang Dibutuhkan Aktual


Pre BB: 81 Kg Input:
Operasi RL: 500 cc
- Kebutuhan cairan harian:

(40 – 50 cc /KgBB / hari) Output:


40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari - Urine : ± 1000 cc

50 ccx 85 kg = 4050 cc / hari

Kebutuhan cairan harian :

3240 cc – 4050 cc / hari

 Kebutuhan cairan per jam

3240 cc : 24 jam = 135 cc / jam

4050 cc : 24 jam = 168,75 cc / jam

Kebutuhan cairan per jam ;

61
135 cc – 168,75 cc / jam

2. Replacement :
 Kebutuhan cairan untuk pengganti 9 jam puasa
135 cc x 11 jam = 1.485cc
169cc x 11jam = 1.859 cc

jadi, total = 1485 –1859 cc adalah cairan pengganti


yang diperlukan pada saat pasien puasa selama 11 jam

Durante 1. Maintenance Input:


Operasi - RL: 500 cc
Kebutuhan cairan per jam 135 cc – 168,75 cc / jam
- Gelofusal: 500 cc
45
Untuk 45 menit = 135 – 168,75 cc/jam
60
Outut:
= 101,25 cc – 126,6 cc/45 menit - Urin: ± 100 cc
- Perdarahan: ± 460 cc
2. Replacment :
a. Resusitasi Perdarahan selama operasi
1. Estimate Blood Volume (EBV): 65 cc /
KgBB x BB = 65 cc/KgBB x 81Kg = 5265
cc
Estimate Blood Loss (EBL):
10 % =526,5cc
20% = 1053 cc
30% =1579,5cc

2. Pergantian kehilangan cairan karena


penguapan selama operasi ;
Operasi kecil :4-6 ml x BB
Operasi sedang : 6-8 ml x BB

62
Operasi Besar : 8-10 ml x BB
Operasi sedang : 6x81 =486 hingga 8x81 = 648cc

- Perdarahan 460 cc 10% termasuk dalam


perdarahan kelas I, dapat diganti dengan :
Kristaloid 2-4x EBL :
(2x460cc) s/d (4x460cc) = 920cc s/d 1840 cc
Koloid 1x EBL
(1x460cc) = 460 cc

Total kebutuhan cairan selama Durante operasi =


(101,25 cc – 126,6 cc)+ 460 cc+(486-648 cc) =
1047,25 cc- 1234,6 cc

Post
Kebutuhan cairan harian
Operasi

40-50 cc/kgBB/hari x BB (kg)

40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari

50 ccx 81kg = 4050 cc / hari

 Kebutuhan cairan per jam

3240 cc : 24 jam = 135 cc / jam

4050 cc : 24 jam = 168,75 cc / jam

Kebutuhan cairan per jam ;

135 cc – 168,75 cc / jam

Kebutuhan cairan post op selama 22 jam =

63
Kebutuhan cairan/jam x 22 jam

= 135 cc – 168,75 cc / jam x 22 jam

= 2970 cc- 3712,5 cc

3.10 Follow Up Post Operatif


Tanggal Pemeriksaan Planning
31-05- S : lemas (+), nyeri pada luka operasi - IVFD RL 500cc + piton 2amp
2019 (+) /12 jam
O: - Metronidazole 3x500mgr
B1 : airway bebas, nafas spontan, RR 20 - Injeksi ceftriaxone 2x1gr (IV)
x/mnt, suara nafas vesikuler, rhonki -/-, - Paracetamol 4x500mg
wheezing -/-. - Injeksi Tramadol 3x100 mg
B2 : perfusi hangat, kering, merah, CRT - Injeksi Vit C 1x1 amp
<2’, TD 116/68 mmHg, nadi 80 x/mnt, - Injeksi ranitidine 2x50 mg
kuat angkat, regular. - Lanjutkan protab pemberian
B3 : kesadaran compos mentis, GCS MgSO4 yang 6 gram
E4V5M6, pupil bulat isokor, diameter - Transfusi Prc ; 230cc
ODS 3 mm. - Observasi KU , TTV dan
B4 : terpasang DC, produksi urin (+), Perdarahan
warna kuning jernih.
B5 : abdomen datar, BU (+), supel, nyeri
tekan (+) nyeri tekan luka operasi (+)
B6 : Edema (+) di ekstremitas superior-
inferior, Fraktur (-),kekuatan otot
ekstremitas superior et inferior: 5
01-06- S : nyeri pada luka operasi, perdarahan - IVFD RL 500cc + pitan 2amp
2019 (-) /12 jam
O: - Metronidazole 3x500mgr
64
B1 : airway bebas, nafas spontan, RR 20 - Injeksi ceftriaxone 2x1gr (IV)
x/mnt, suara nafas vesikuler, rhonki -/-, - Paracetamol 4x500mg
wheezing -/-. - Injeksi Tramadol 3x100 mg
B2 : perfusi hangat, kering, merah, CRT - Injeksi Vit C 1x1 amp
<2’, TD 110/70 mmHg, nadi 98 x/mnt, - Injeksi ranitidine 2x50 mg
kuat angkat, regular. - Observasi KU , TTV dan
B3 : kesadaran compos mentis, GCS Perdarahan
E4V5M6, pupil bulat isokor, diameter
ODS 3 mm.
B4 : terpasang DC, produksi urin (+),
warna kuning jernih.
B5 : abdomen datar, BU (+), supel, nyeri
tekan (+) nyeri tekan luka operasi (+)
B6 : Edema (+) di ekstremitas superior-
inferior, Fraktur (-),kekuatan otot
ekstremitas superior et inferior: 5
02-06- S : nyeri pada luka operasi (+) - Co- Amoxiclav 3x 625 mg (p.o)
2019 O: - Metergin 3x1 tab (p.o)
B1 : airway bebas, nafas spontan, RR 20 - Sulfas ferosus 3x1 tab (p.o)
x/mnt, suara nafas vesikuler, rhonki -/-,
wheezing -/-.
B2 : perfusi hangat, kering, merah, CRT
<2’, TD 120/70mmHg, nadi 89x/mnt,
kuat angkat, regular.
B3 : kesadaran compos mentis, GCS
E4V5M6, pupil bulat isokor, diameter
ODS 3 mm.
B4 :, produksi urin (+), warna kuning
jernih.
B5 : abdomen datar, BU (+), supel, nyeri
tekan (+) nyeri tekan luka operasi (+)
65
B6 : Edema (-) di ekstremitas superior-
inferior, Fraktur (-),kekuatan otot
ekstremitas superior et inferior: 5

66
BAB IV

PEMBAHASAN
Pasien datang mengaku hamil 9 bulan, nyeri perut atas sampai tembus
tulang belakang, keluar lender dari kemaluan, darah (-), gerak rahim (+) orang
sakit mengaku hamil kembar, pusing (-), mual (-) , muntah (-).Riwayat penyakit
dahulu seperti asma, alergi obat, DM, hipertensi, penyakit jantung dan malaria
disangkal. Riwayat penyakit turunan pada keluarga seperti asma, alergi, DM dan
hipertensi disangkal.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium, didapatkan hasil,
perfusi akral hangat kering merah, TD 130/100 mmHg, nadi 80x/ menit, respirasi
20x/ menit, Suhu Badan 36,7 º C, dan dari hasil pemeriksaan fisik tidak
didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien
digolongkan dalam kategori Mallampati 1. Hasil laboratorium didapatkan HB 8,7
g/dl. Leukosit: 16,86, trombosit 314.000, Protein dalam urin +2. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses
anestesi, yaitu tekanan darah pasien meningkat. pasien digolongkan dalam
kategori Mallampati1.
Dari kasus tersebut pasien didiagnosis G1P0A0 hamil 40-41 minggu,
dengan Preeklamsi Berat dan anemia . Pada kasus ini PEB bisa didapatkan karena
salah satu faktor terjadinya adalah primigravida.

Penetapan PS ASA

Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan


fisik yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan
tindakan anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi
pada pasien tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal
tersebut.

67
Teori Kasus
Kelas I : Pasien sehat PS ASA ll
organik, fisiologik, psikiatrik, Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA III
biokimia. karena pasien memiliki penyakit sistemik
Kelas II : Pasien sedang- berat , dengan co-morbid obstetric ,
dengan penyakit sistemik ringan hipertensi dan anemia yang merupakan
atau sedang. penyakit sistemik sedang-berat .
Kelas III : Pasien
dengan penyakit sistemik berat,
sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien
dengan penyakit sitemik berat,
tidak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien
sekarat yang diperkirakan dengan
atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.

Hasil : Sudah tepat

68
 Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa Regional anastesi spinal?
Teori Kasus

Anestesi spinal Pada kasus diatas penggunaan jenis


(subaraknoid) adalah anestesi anastesi yang digunakan adalah regional
regional dengan tindakan anestesi dengan Sub Arachnoid Blok
penyuntikan obat anestetik lokal (SAB). Anestesi spinal lebih dipilih pada
ke dalam ruang subaraknoid. kasus ini karena daerah yang akan
Anestesi spinal/subaraknoid dioperasi adalah daerah abdomen bagian
disebut juga sebagai blok spinal bawah . Keuntungan dalam anestesi sub
intradural atau blok intratekal. arachnoid blok adalah onsetnya cepat,
Anestesi spinal dihasilkan bila obat anestesi yang digunakan lebih
kita menyuntikkan obat analgesic sedikit dengan masa pulih yang cepat,
lokal ke dalam ruang relatif mudah, sederhana, dan kualitas
subarachnoid di daerah antara blok motorik dan sensorik yang baik pada
vertebra L2-L3 atau L3- L4 atau SAB. Anestesi SAB juga memberikan
L4-L5. ). Anestesi spinal ini banyak manfaat dan kemudahan pada
digunakan pada hampir semua operasi seksio sesarea, termasuk
operasi abdomen bagian bawah berkurangnya angka morbiditas dan
(termasuk seksio sesaria), anstesi mortalitas pada maternal dibandingkan
general dapat di lakukan jika dengan anestesi umum karena tingginya
diantaranya ada penolakan pasien, risiko komplikasi jalan nafas pada
infeksi pada tempat suntikan, anestesi umum, aman untuk janin, pasien
hipovolemia, koagulopati, dan sadar sehingga dapat mengurangi
peningkatan tekanan intrakanial, kemungkinan terjadinya aspirasi,
pengaruh terhadap bayi sangat minimal,
dan tangisan bayi yang baru dilahirkan
merupakan kenikmatan yang ditunggu
oleh seorang ibu, disertai jalinan
psikologik berupa kontak mata antara ibu

69
dan anak dan penyembuhan rasa sakit
pasca operasi

Hasil : Sudah tepat

 Penentuan Obat Anestesi

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine yang


merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja
dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.
Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh,
bersifat reversibe. Berdasarkan teori lebih kuat dan lama kerjanya 2 – 3 x lebih
lama dibanding lidokain atau mepivakain. Onset anesthesi lebih lambat
dibanding lidokain, ikatan dengan HCl mudah larut dalam air, pada konsentrasi
rendah blok motorik kurang adekuat dan bupivakain tidak terlalu toksik untuk
janin. Pada pasien ini digunakan Bupivakain 0,5% dengan durasi pembedahan
± 45 menit.

Pada pasien ini juga diberikan efedrin yang merupakan golongan


simpatomimetik non katekolamin. Pemberian efek efedrin yaitu meningkatkan
tekanan darah, dikarenakan pada anastesi spinal dapat menyebabkan hipotensi
pada pasien. Pada pasien ini terjadi hipotensi, sehingga diberikan bolus
ephedrin sebanyak 5 mg secara intravena.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU
dan metergin 0,2 mg . Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit.
Selain oksitosin, juga diberi metergin 2 ml . Mekanisme kerjanya merangsang

70
kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor adrenergik
sehingga menghentikan perdarahan uterus.

 Critical Point
 Critical Point khusus pada kasus ini yaitu :
1. Obstetri
2. Preeklamsi Berat
3. Anemia
 Critical Point Umum pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan saat
preoperative, durante dan post operative?

Problem
Actual Potensial Planning
List

B1 Airway: bebas, Pre-operatif


Malampati score II,
gigi goyah (-) 1. Hipoksia 1. pemberian O2 yang adekuat
2. monitor tanda-tanda vital
3. evaluasi tanda klinis depresi
nafas
Breathing : thoraks
simetris, ikut gerak 2. Udem laring 1. pemberian O2 yang adekuat
napas, RR: 20 x/m, 2. monitor tanda-tanda vital
perkusi: sonor, 3. evaluasi tanda klinis depresi
suara napas nafas
vesikuler+/+, Durante Operatif
ronkhi-/-, wheezing
-/- 1. Hipoksia 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
2. Hiperkarbia 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
3. Depresi nafas 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
3. evaluasi klinis tanda-tanda
depresi nafas
4. evaluasi ketinggian blok anestesi
4. Apneu Persiapan alat resusitasi dan obat-
obat resusitasi

71
5. Cardiac arrest Persiapan alat resusitasi dan obat-
obat resusitasi

Post Operatif
1. Hipoksia 1. Pemberian O2 yang adekuat
2. Monitoring tanda-tanda vital

Problem
Actual Potensial Planning
List

B2 Perfusi: hangat, Pre-operatif


kering, merah,
Capilary Refill 1. Syok 1. Pemberian cairan pre operatif
Time< 2 detik hipovolemik adekuat
2. Loading cairan preoperasi 500-
Cor: BJ I-II murni, 1000cc
regular, murmur (-
), gallop (-) 2. Hipotensi 1. Posisikan ibu miring ke kiri
(aortocaval 2. Posisi head up
TD 130/100mmHg compression)

Nadi 80x/menit Durante Operatif


1. Hipotensi - Cari penyebab hipotensi
- monitoring tanda-tanda vital

- aortocaval compression:
1. Posisikan ibu miring ke kiri
2. Posisi head up
3. Monitoring tanda-tanda vital

- kurang cairan:
1. Rehidrasi cairan kristaloid

- akibat blok spinal:


1. Pemberian efedrin 5-10mg yang
sudah diencerkan

72
2. Perdarahan 1. Monitoring tanda-tanda vital
sampai syok 2. Menghitung EBV-EBL
hipovolemik 3. Observasi tanda-tanda syok dan
klasifikasi derajat syok
4. Penggantian kehilangan darah
dengan kristaloid (2-4 x EBL),
koloid (1 x EBL), atau produk
darah (1 x EBL)

3. Bradikardia 1. Pemberian Sulfas Atropin 0,5mg

4. Takikardia 1. menenangkan pasien


karena pasien 2. pemberian sedative setelah bayi
cemas lahir (contohnya midazolam)

Post Operatif
1.Perdarahan post 1. Observasi kontraksi uterus
partum 2. Observasi tanda-tanda
perdarahan pervaginam dan
hentikan perdarahan (hecting)
3. Pemberian Oxytocin setelah
operasi
4. Periksa Hb post operasi , jika Hb
rendah transfusi PRC

Problem
Actual Potensial Planning
List

B3 Kesadaran Compos Durante Operatif


Mentis, Riwayat
kejang (-), riwayat 1. Nyeri Kepala 1. Rehidrasi
pingsan (-) akibat hipotensi 2. pemberian O2 adekuat
3. Pemberian efedrin 5-10mg yang
sudah diencerkan
Post Operatif
1. Nyeri kepala 1. Head up 10-30o
2. O2 adekuat
3. Berikan anti nyeri (Metimazole)

Problem
Actual Potensial Planning
List

73
B4 Produksi urine Oliguria - rehidrasi, observasi produksi urin
dipantau melalui - evaluasi tand-tanda perdarahan
kateter , produksi
(+), warna kuning

Problem
Actual Potensial Planning
List

B5 Perut cembung Pre Operatif


sesuai usia
kehamilan, TFU : Mual, muntah - Pemberian Ranitidin dan
34 cm, peristaltik Ondansentron
usus (+), hepar/lien
sukar dievaluasi
Durante operatif
BAB (+), mual (-),
muntah (-). Risiko refluks - Pemberian Ranitidin dan
gastroesofageal Ondansentron
saat operasi

Post operatif

Kembung Evaluasi:
1. Gastritis: beri obat penghambat
histamin H2 (ranitidine) atau Proton
Pump Inhibitor (omeprazole)
2. peristaltik usus
3. jika perlu pasang NGT dan foto
polos abdomen 3 posisi

Problem
Actual Potensial Planning
List

74
B6 Akral hangat (+), Posisikan pasien dengan tepat
Edema ekstremitas
bawah (+/+)
Fraktur (-)

 Terapi cairan pada pasien dengan BB 81 kg

Cairan yang Dibutuhkan Aktual

Pre Operasi BB: 81 kg  Input:

 Kebutuhan cairan harian: RL 500 cc

(40 – 50 cc /KgBB / hari)  Urin:1000


cc
40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari

50 ccx 81 kg = 4050 cc / hari

Kebutuhan cairan harian :

3240 cc – 4050 cc / hari

 Kebutuhan cairan per jam

3240 cc : 24 jam = 135 cc / jam

4050 cc : 24 jam = 168,75 cc / jam

Kebutuhan cairan per jam ;

75
135 cc – 168,75 cc / jam

2. Replacement :
 Kebutuhan cairan untuk pengganti 9 jam puasa
135 cc x 11 jam = 1.485cc
169cc x 11jam = 1.859 cc

jadi, total = 1485 –1859 cc adalah cairan pengganti


yang diperlukan pada saat pasien puasa selama 11
jam

Durante Kebutuhan cairan durante operasi 45 menit  Input:


Operasi Maintanance
RL 500 cc
Kebutuhan cairan per jam 135 cc – 168,75 cc / jam
Gelofusal 500
45 cc
Untuk 45 menit = 135 – 168,75 cc/jam
60

 Output:
= 101,25 cc – 126,6 cc/45 menit

Urin 100 cc
 Replacement
Estimated Blood Volume (EBV): Perdarahan: ±
65xkgBb 460 cc
= 65x81 = 5265 cc

Estimated Blood Loss (EBL):

Volume perdarahan : EBV x 100%

10% = 526.5 cc

76
20% = 1053 cc

30 % = 1579,5 cc

Pengantian kehilangan cairan karena penguapan


selama operasi :
Operasi kecil : 4-6 ml x BB
Operasi sedang : 6 – 8 ml x BB
Operasi besar : 8 – 10 ml x BB

Pada kasus ini: Operasi sedang


6x 81 = 486 cc hingga 8x 81 = 648cc
Selama 1 jam operasi cairan yang hilang
486x1 jam – 648x1 jam
486-648 dalam 1 jam

Perdarahan 460 cc 10% termasuk dalam


perdarahan kelas I, dapat diganti dengan:
a. Kristaloid 2-4x EBL :
(2x460cc) s/d (4x460cc) = 920cc s/d 1840cc
b. Koloid 1x EBL

(1x460cc) = 460cc

Pemberian cairan selama Durante operasi =


Maintenance + Replecement (101,25 cc – 126,6
cc)+ 460 cc+(486-648 cc) = 1047,25 cc- 1234,6 cc

Post Operasi Kebutuhan cairan harian :

77
40-50 cc/kgBB/hari x BB (kg)

40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari

50 ccx 81 kg =4050 cc / hari

Kebutuhan cairan post op selama 22 jam =

Kebutuhan cairan/jam x 22 jam

= 135 cc – 168,75 cc / jam x 22 jam

= 2970 cc- 3712,5 cc

78
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang
akan digunakan
2. Pada pemeriksaan fisik pasien termasuk dalam PS ASA II, yaitu pasien
bedah dengan co-morbid obstetri hipertensi dengan anemia
3. Teknik anestesi yang baik pada pasien dinilai sudah tepat dengan
mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan pasien.
4. Critical point pada pasien adalah Aspirasi, hipotensi, mual muntah dan
resiko refluks gastroesofageal saat operasi.
5. Terapi cairan pre-operasi dan durante operasi di nilai belum tepat sesuai
dengan kebutuhan cairan pasien.

5.2 Saran
Pada penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari
persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutama menyangkut resusitasi cairan pada pasien dengan regional yang
memiliki efek samping berupa perdarahan dan hipotensi.

79
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R., 2007. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
2. Li G, Huang MS, Lena S. 2009. Epidemiology of Anesthesia-related Mortality
in the United State, 1999-2005. Anesthesiology 110 (40): 759-765
3. Hool A. 2010. Anaesthesia In Pregnancy For Non-Obstetric Surgery. World
Federation of Societies of Anesthesiologist 185: 1-9
4. Walton NKD, Melachuri VK. 2006. Anaesthesia for non-obstetric surgery
during pregnancy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 6 ( 2): 83-85
5. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan). Edisi 9.
Jakarta: EGC; 1996. 1063-76, 1203-37.
nd
6. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2 ed. Stamford:A

LANGE medical book; 1996. 834. 


7. World Health Organization. Managing complications in pregnancy and


childbirth. Didapat dari : URL, : http://www.who.int. 2003 (diakses tanggal 30
Mei 2019)
8. Soenarto dkk, 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
9. Wirjoatmodjo, Karjadi.2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar
Untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
10. Bisri Tatang, dkk. Anastesi Obstetri. 2013.Bandung: Komisi Pendidikan.
kolegium Anastesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
11. International Comitee of the Red Cross 19. 2017. Anaesthesia Handbook:
Special considerations in Obstetric.Geneva:ICRC. page:103-115
12. Sastrawinata, S.Martaadisoebrata,J.Wirakusumah,FW et al. Obstetri Patologi
ed 2. Bandung, bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr.
Hasan Sadikin.2005

80
13. Mose C., J., hipertensi dalam krehamilan., Obstetri Patologi . Bandung,
bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr. Hasan
Sadikin.2013
14. Wijanti RE, Rahmaningtyas I, dan Widari D. Hubungan pola makan
ibu hamil trimester III dengan kejadian anemia. Dalam: Tunas-tunas Riset
Kesehatan Volume II Nomor 2 bulan Mei 2012.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22128590_2089- 4686.pdf.
15. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan, edisi 3, Cetakan kelima, Jakarta,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999.

81
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil ............................................................... 3
2.2 Hipertensi Kehamilan ............................................................................. 11
2.3 Anemia Pada Kehamilan ........................................................................ 27
2.4 Seksio Caesarea (SC) ............................................................................. 32
2.5 Anastesi Blok Subaarachnoid Pada Sectio Caesarea8............................ 38
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 52
3.1 Identitas Pasien ............................................................................................ 52
3.2 Anamnesis ................................................................................................... 52
3.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................ 53
3.4 Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................... 55
3.5 Diagnosa ..................................................................................................... 56
3.6 Konsultasi Terkait ....................................................................................... 56
3.7 Penentuan PS ASA / Status Anestesi .......................................................... 57
3.8 Persiapan Anestesi ....................................................................................... 57
3.9 Laporan Durante Operasi ............................................................................ 59
3.10 Terapi Cairan ............................................................................................. 61
3.11 Follow Up Post Operatif ........................................................................... 64
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 67
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 79
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 79
5.2 Saran ....................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 80

82

Anda mungkin juga menyukai