PENDAHULUAN
1
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram4. WHO menetapkan
indikator persalinan caesaria 5–15% untuk setiap negara, jika tidak sesuai indikasi
operasi caesaria dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada ibu dan
bayi. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2010, tingkat persalinan caesar di
Indonesia 15,3% Sampel dari 20.591 ibu yang melahirkan dalam kurun waktu 5
tahun terakhir yang diwawancara di 33 provinsi.5
Anestesi obstetri sangat dibutuhkan dan merupakan bagian yang menarik
dari sub spesialisasi anestesi. Penggunaan dan penerimaan yang luas dari anestesi
persalinan telah menjadikan anestesi obstetri merupakan bagian yang penting
dari praktek anesthesia.Teknik anestesi spinal pada section caesaria mempunyai
banyak keuntungan seperti onset cepat, risiko terhadap bayi minimal, serta
pencegahan dan penyulit anestesi sudah diketahui dengan baik6.
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eritropoeietin, akibatnya volume plasma bertambah dan sel
darah merah meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam
proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga
terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.4.
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu
hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan dapat
memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih belum
memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.9
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
C. Perubahan Kardiovaskular
D. Perubahan Hematologi
Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan
sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin,
menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body
water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat sampai 45 %
dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan
peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam
kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%.
Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena
tubuh sang ibu memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung,
peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi
oxyhemoglobin.7
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang
memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat
proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya
faktor XI yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat
diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi,
leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja
terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat
5
dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak
terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi viral.7
Implikasi Klinis:
Peningkatan volume darah m empunyai beberapa fungsi penting yaitu
untuk memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta,
mengisi reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan
karena ibu menjadi hipercoagulabel selama proses kehamilan. Keadaan ini
berlangsung sampai 8 minggu setelah melahirkan.6
7
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari wanita
yang tidak hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama seperti wanita yang tidak
hamil menunjukkan adanya fungsi ginjal yang abnormal.6
8
rutin antacid non-partikel. Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6
minggu postpartum.6
9
Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi
lokal yang digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam
postpartum.6
Implikasi Klinis:
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis
merupakan sebab utama dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang
menyulitkan dilakukan spinal atau epidural analgesi.6
J. Sirkulasi Uteroplasental
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan
dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat
menjadi penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika
menjadi parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi
bergantung pada aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta.
Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai
nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.7
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki
resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa
gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh
darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat
bergantung pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang
mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek
berbahaya pada suplai darah fetus.9
10
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana
hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi
aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang
meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus
vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan
gangguan pada aliran darah.5,7
A. Pendahuluan
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada
ibu hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan
dapat memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih
belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.9
3. Eklampsi9
Eklampsi adalah kelainan akut pada preeklampsi dalam kehamilan,
persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan
atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat).
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi
secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama
nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum.
Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum
dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru
melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48
jam postpartum .
5. Hipertensi kronis9
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah
ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur
kehamilan < 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pascasalin.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita
hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada
beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia
20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang
meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan
tanda awal terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan
dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial
merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil.
Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada
beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari
penyakit parenkim ginjal yang mendasari.
klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat pada tabel
2.1
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
14
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Kronis
C. Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklampsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.
15
- Penyakit ginjal
- Systemic Lupus Erythematosus
- Obesitas
- Trombofilia
- Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor >
trimester I.
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
- Kehamilan multipel
- Hidrops fetalis
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.
19
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk
oral maupun intra vena. Labetalol diberikan secara intravena,
merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan digunakan juga
untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat
dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan
arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg
intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka
diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg,
selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal
kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol.
Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi
kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak
mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman
membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak
melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat
ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis
10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin
merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah
utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan,
menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang
20
cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini,
nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut
jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial,
obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan
dalam kehamilan.
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat
infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-
rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik
secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan
darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan
pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.
Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang
baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak
direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon
terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium
nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa
efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2
menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5
menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam
hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra
vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek
samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan
merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi
dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi
untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus
mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai
vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan
anti hipertensi potensi sedang.
4. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat
anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
21
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat
ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral
α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2
perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan
sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang
berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan
dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak
plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan
disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat
ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi
untuk memberhentikan obat ini.
5. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara
incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah
menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8
jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga,
tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan
fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian
klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi
dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada
penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metildopa.
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat
ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas
22
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung,
curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat
ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi
obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang.
Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit
pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak
dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan
pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak
ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat
sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.
7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan
resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel
otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume
intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat
preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu,
diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah
karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan
menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian
furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana
terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat
meningkatkan risiko defek janin.
8. Penghambat ACE
23
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim
yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2
(vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai
tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin
vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator
poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.
OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam
terapi hipertensi
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon
nitroprussid terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.2 Panduan Obat Anti Hipertensi
24
Pemberian obat antikejang(13)
MgSO4
25
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
26
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan
dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang
tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan
penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena
beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena
ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari
patofisiologi ibu atau efek dari obat.15
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal
seperti hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi,
hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu
pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit,
trombositopeni, dan IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan
produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat
plasma yang rendah ditemukan pada janin.
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar
dalam susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama
terdapat pada ACE inhibitor.
-
2.3 Anemia Pada Kehamilan
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan
oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red
cell count).
27
Hemoglobin ( Hb ) yaitu komponen sel darah merah yang berfungsi
menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh
kekurangan oksigen. Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses
metabolisme. Zat besi merupakan bahan baku pembuat sel darah merah.
Ibu hamil mempunyai tingkat metabolisme yang tinggi misalnya untuk
membuat jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi organ dan juga
unt uk memproduksi energi agar ibu hamil bisa tetap beraktifitas normal
sehari – hari. Fungsi Hb merupakan komponen utama eritrosit yang
berfungsi membawa oksigen dan karbondioksida.
EPIDEMOLOGI
PATOFISIOLOGI
30
hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan hitung eritrosit biasanya
tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan, dan terus menurun
sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai.
TATALAKSANA
32
lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau pada ruptur
uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan .
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior ke
dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek
obstetri .
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung
kemih ke bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi
di segmen bawah .
C. Indikasi Seksio Sesaria15
Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan
suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power
(kekuatan ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada
salah satu faktor tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan
dengan lancar bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat
membahayakan ibu dan janin jika keadaan tersebut berlanjut (Manuaba,
1999).
1. Indikasi Medis
Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage
2. Indikasi Ibu
a. Usia
b. Tulang Panggul
c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea
d. Faktor hambatan jalan lahir
e. Kelainan kontraksi rahim
f. Ketuban pecah dini
g. Rasa takut kesakitan
33
3. Indikasi Janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress)
b. Bayi besar (makrosemia)
c. Letak sungsang
d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accreta
e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat
Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang
lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu, atau bahkan
keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan
aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara maju
seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.1, di Norwegia diperoleh hasil bahwa
indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia 3,6%, diikuti oleh
presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio sesarea sebelumnya
1,4% dan lain-lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang terjadi.
34
Tabel 2.3. Indikasi Seksio Caesaria di berbagai negara
Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin
sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea.
Dalam hal ini adanya gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan
35
pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat seminimal
mungkin (Cunningham dkk, 2005).15
Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya
(Bobak, 2004). Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan
dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani
seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan
tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada.15
Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai
38,50C. Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan sebuah
diagnosis yang menandakan adanya suatu komplikasi serius . Morbiditas febris
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca pembedahan seksio
seksarea.
Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai
kehilangan darah lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat
kegagalan mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun pada placental
bed akibat atoni uteri. Komplikasi pada bayi dapat menyebabkan hipoksia, depresi
pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan trauma persalinan .
36
Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke dalam
kamar rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin kamar udara
selama beberapa hari. Bila pasca bedah kondisi gawat segera pindahkan ke
ICU untuk perawatan bersama-sama dengan unit anastesi, karena di sini
peralatan untuk menyelamatkan pasien lebih lengkap. Setelah pulih
barulah di pindahkan ke tempat pasien semula dirawat.
3. Pemberian cairan
4. Nyeri
Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang harus diderita oleh
mereka yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri
tersebut dapat disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat
operasi. Nyeri tersebut hampir tidak mungkin di hilangkan 100%, ibu akan
mengalami nyeri atau gangguan terutama bila aktivitas berlebih atau
melakukan gerakan-gerakan kasar yang tiba-tiba. Sejak pasien sadar dalam
24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah operasi. Untuk
mengurangi rasa nyeri tersebut dapat diberikan obat-obat anti nyeri dan
penenang seperti suntikan intramuskuler pethidin dengan dosis 100-150
mg atau morfin sebanyak 10-15 mg atau secara perinfus.
5. Mobilisasi
39
7. Kurang pengalaman atau / 7. Hipovolemia ringan
tanpa didampingi konsultan 8. Nyeri punggung kronis
anestesi
40
maupun psikiatrik. Proses patologis yang akan dilakukan
operasi terbatas lokalisasinya dan tidak akan menyebabkan
gangguan sistemik.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang,
yang disebabkan baik oleh keadaan yang harus diobati
dengan jalan pembedahan maupun oleh proses
patofisiologis.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik yang berat, apapun
penyebabnya.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan
pembedahan. Contoh pasien dengan dekompensasi
jantung.
ASA V : Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk
hidup.
41
2. Peralatan Anestesi Blok Subarachnoid:8
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point
whitecare).
42
Gambar 3. Posisi Pasien Saat Dilakukan Spinal
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis
krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2
atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
44
Dua jenis golongan obat anestesi lokal yaitu: ester (cocain,
procain, chloroprocain, tetracain) dan amide (dibucain, lidocain,
mepivacain, prilocain, bupivacain, etidocain, ropivacain).Masing-
masing mempunyai sifat yang berbeda. Hidrolisa golongan ester
berjalan cepat sehingga daya kerjanya singkat, sedangkan hidrolisa
golongan amide berjalan lebih lambat dan memiliki waktu paruh 1,6
- 8 jam. Obat dengan durasi kerja paling panjang dan potensi tinggi
adalah obat bupivacaine. Obat anestesi spinal yang sering
dipergunakan ialah bupivakain 0,5% dalam dekstrosa 8,25% dengan
dosis 10-20 mg.Mula kerja bupivakain lambat dibanding lidokain,
tetapi lama kerja bisa sampai 8 jam. Bupivakain sering digunakan
karena ikatan dengan protein plasma lebih besar, sehingga dengan
pemberian dalam jumlah kecil pengaruhnya terhadap bayi sangat
kecil sekali (reaksi toksik dan transfer melalui plasenta jarang
dijumpai).10
Ruang subarachnoid lebih kecil pada wanita hamil dibanding
wanita tidak hamil, sehingga dengan dosis obat anestesi yang sama,
blokade jauh lebih tinggi pada ibu hamil dibanding wanita tidak
hamil, oleh karena itu diperlukan pengurangan dosis.10
Selama operasi berlangsung atau pasca operasi, pasien biasa
mengalami gemetaran yang tidak ada hubungannya dengan
hipotermi. Petidine cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran
tersebut. Petidine adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
hampir sama. Petidin lebih larut dalam lemak, metabolisme oleh
hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat,
dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang masih
aktif yang memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidine, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Dosis Petidine yang diberikan 20-
25 mg intravena.9
45
2.1.7 Terapi Cairan Pembedahan11
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti
milieu interiur dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid
(elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena.
Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan
sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk
mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,
mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang
pindah ke rongga peritoneum dan ke luar tubuh.Cairan kristaloid
(elektrolit) digunakan sebagai cairan pemeliharaan bertujuan untuk
mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat.6
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar
kecilnya pembedahan. Pembedahan besar: 6 - 8 ml/KgBB, 4 - 6
ml/KgBB untuk pembedahan sedang, dan 2 - 4 ml/KgBB untuk
pembedahan kecil.2
Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi,
untuk perdarahan di bawah 20% dari volume darah total cukup
diganti dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira - kira
sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan cairan
Ringer Laktat. Volume darah wanita dewasa ialah 65
ml/KgBB.Koloid atau plasma ekspander kalau diberikan secara
intravena dapat bertahan lama di sirkulasi, koloid dapat berupa
gelatin (gelofusin).6
Sebaliknya, total cairan tubuh meningkat karena kebocoran
kapiler akibat aktivasi sel endotel. Ketidakseimbangan ini timbul
sebagai gejala edema perifer patologik, proteinuria, asites dan total
cairan paru. Alasan-alasan ini yang membuat penggantian kebutuhan
cairan secara agresif meningkatkan resiko terjadinya edema paru,
terutama pada 72 jam pertama post partum. Resiko ini dapat
46
dihindari dengan pemberian cairan secara bijaksana, yaitu dengan
500 ml hingga 1000 ml cairan kristaloid. Suatu penilitian oleh Lucas,
dkk pada tahun 2001 melaporkan tidak adanya kejadian edema paru
diantara wanita yang diberikan cairan kristaloid terbatas, yaitu 500 cc
sebagai cairan pre operatif.
47
- Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya
larutan analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak
dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin
mungkin terjadi.
48
curah jantung karena penurunan kontraktilitas dan denyut
jantung.5
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi
spinal adalah blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan
vena. Dilatasi arteri menyebabkan penurunan tahanan perifer
total dan tekanan darah sistolik. Dilatasi vena dapat
menyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan
aliran balik vena dan curah jantung. Kondisi ini diperburuk oleh
penekanan dari aorta dan vena kava inferior oleh uterus yang
hamil ketika pasien dalam posisi terlentang.Tetapi sebetulnya hal
ini tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi
organ dan perfusi darah ke plasenta menjadi tidak adekuat
sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Dikatakan hipotensi jika
terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 mmHg atau
100 mmHg, atau penurunan lebih dari 30 mmHg dari tekanan
darah sebelum anestesi, atau penurunan persentase 20% atau
30% dari biasanya. Dan lamanya perubahan bervariasi dari 3
sampai 10 menit. Oleh karena itu kejadian hipotensi harus
dicegah.9
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi
hipotensi akibat anestesi spinal, yaitu dengan pemberian cairan
prahidrasi 500-1000 cc atau Ringer Laktat (RL) 1000-1500 cc.
Selain cairan prahidrasi sebagai pencegahan, selama operasi bila
tekanan sistolik mulai turun 10 mmHg, infus cairan kristaloid
dipercepat dan juga diberi obat efedrin. Efedrin merupakan
vasopressor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetrik untuk
mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin adalah obat
sintetik non katekolamin (simpatomimetik) yang mempunyai
aksi langsung dengan menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik
dan aksi tak langsung dengan melepaskan norepinefrin endogen.
Hal ini meningkatkan tekanan darah dengan cara meningkatkan
49
frekuensi detak jantung dan curah jantung dan meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan curah jantung,
denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi
meningkatkan aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin
dapat secara subkutan, intramuskular, bolus intravena, dan infus
kontinu. Pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus
intravena 5-10mg atau 10-20 mg intravena bila terjadi hipotensi
akibat anestesi spinal. Pemberian dapat diulang tiap 3-5 menit
hingga tekanan darah kembali normal atau mencapai tekanan
darah yang diinginkan.7
2. Bradikardia10
Efek samping kardiovaskuler, selain hipotensi ialah
bradikardi merupakan perubahan fisiologis yang paling penting
dan sering pada anestesi spinal. Pemahaman tentang mekanisme
homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan
denyut jantung penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler
terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu
tanda vital pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak
stabil dapat menyebabkan bradikardi. Karena itu pemilihan obat
anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat adanya
efek-efek yang ditimbulkan.Komplikasi brakikardi harus segera
diterapi dengan sulfas atropin. Sulfas atropin merupakan obat
parasimpatolitik yang menghambat pengaruh nervus vagus pada
SA Node. Dosis pada orang dewasa sebesar 0,5 mg intravena
dapat diulangi sampai 2 mg.
3. Hipoventilasi9
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas.
50
4. Mual-muntah9
Mual dan muntah pasca anestesi biasa terjadi setelah
anestesi umum terutama pada penggunaan opioid, bedah
intraabdomen, hipotensi dan pada analgesia regional.10 Mual-
muntah akibat anestesia selama Sectio Caesareaterjadi akibat
kompresi aortokaval dan akibat hipotensi sehingga hipoperfusi di
batang otak, oleh karena itu pasien diberi terapi oksigen untuk
mengatasi rendahnya perfusi aliran darah ke otak.
Obat mual-muntah yang sering digunakan pada
perianestesia ialah ondansetron 0,05 - 0,1 mg / KgBB intravena
atau metoklopramid 0,1 mg / KgBB intravena.10 Suatu
perbandingan antara metoklopramide dengan ondansetron oleh
Randomised Controlled Trial (RCTs) menunjukkan bahwa
ondansetron (antagonis 5HT3) lebih efektif daripada
metoklopramide dalam mengurangi keluhan mual-muntah.
National Sentinel Caesarean Section Audit (NSCSA)
melaporkan bahwa sekitar 98% unit pelayanan kesehatan di
Inggris menggunakan anti reseptor histamine H2 (ranitidin) untuk
mengurangi produksi asam lambung dengan cara melawan
histamine dalam meningkatkan sekresi cairan lambung yang
mengandung ion H tinggi. Obat ini memerlukan waktu 1 jam
setelah pemberian secara intravena untuk mencapai puncak
aktifitas kerjanya.
5. Trauma saraf
6. Gangguan pendengaran
7. Blok spinal tinggi atau spinal total
51
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 30 Mei 2019
a. Keluhan Utama
Mules-mules
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang mengaku hamil 9 bulan, datang dengan keluhan
mules-mules yang semakin sering dan bertambah kuat disertai keluar
lendir bercampur sedikit darah sejak ±16 jam SMRS. Kelaur air-air dari
jalan lahir (-). Gerak janin dirasakan aktif. Keputihan selama hamil (-),
gatal (-), bau (-) , demam (-), pasien mengaku tidak pernah mengontrol
tekanan darah, kehamilan sebelumnya, pasien juga mengaku tidak
pernah menglami tekanan darah tinggi.
52
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat diabetes mellitus, (-), asma (-), dan penyakit jantung (-).
Riwayat hipertensi (-). Riwayat gastritis (-). Riwayat asam urat tinggi (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), riwayat asma (-)
e. Riwayat Pengobatan dan Alergi
Pasien mengaku tidak ada riwayat alergi
f. Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya
Pasien belum perrnah dilakukan operasi
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6
Berat badan : 81 Kg
Tinggi badan : 143 cm
Tanda-tanda vital:
- Tekanan darah : 130/100 mmHg
- Nadi : 80 x/menit, reguler, kuat angkat, terisi penuh
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu Badan : 36 0C
53
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)
Perkusi : Sonor
54
1.4 Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin, Kimia darah dan Elektrolit darah
tanggal 30-05-2019
55
Status Obstetri
Presentasi: kepala
DIAGNOSA
G1P0A0 hamil 40-41 minggu dengan PEB + Anemia
PENATALAKSANAAN
Indikasi Pra
:
Bedah Sectio secarea
Airway:
57
frekuensi napas: 20 kali/menit
58
Medikasi Pra Nifedipin (23.30)
:
Bedah RL+ MgSO4 (23.30) (08.00)
59
Fascia dijahit engan vicril no 1
120
100
80
Sistolic
60 Diastolic
Nadi
40
20
0
08.45' 09.00' 09.15' 09.30' 09.45'
61
135 cc – 168,75 cc / jam
2. Replacement :
Kebutuhan cairan untuk pengganti 9 jam puasa
135 cc x 11 jam = 1.485cc
169cc x 11jam = 1.859 cc
62
Operasi Besar : 8-10 ml x BB
Operasi sedang : 6x81 =486 hingga 8x81 = 648cc
Post
Kebutuhan cairan harian
Operasi
40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari
63
Kebutuhan cairan/jam x 22 jam
66
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang mengaku hamil 9 bulan, nyeri perut atas sampai tembus
tulang belakang, keluar lender dari kemaluan, darah (-), gerak rahim (+) orang
sakit mengaku hamil kembar, pusing (-), mual (-) , muntah (-).Riwayat penyakit
dahulu seperti asma, alergi obat, DM, hipertensi, penyakit jantung dan malaria
disangkal. Riwayat penyakit turunan pada keluarga seperti asma, alergi, DM dan
hipertensi disangkal.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium, didapatkan hasil,
perfusi akral hangat kering merah, TD 130/100 mmHg, nadi 80x/ menit, respirasi
20x/ menit, Suhu Badan 36,7 º C, dan dari hasil pemeriksaan fisik tidak
didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien
digolongkan dalam kategori Mallampati 1. Hasil laboratorium didapatkan HB 8,7
g/dl. Leukosit: 16,86, trombosit 314.000, Protein dalam urin +2. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses
anestesi, yaitu tekanan darah pasien meningkat. pasien digolongkan dalam
kategori Mallampati1.
Dari kasus tersebut pasien didiagnosis G1P0A0 hamil 40-41 minggu,
dengan Preeklamsi Berat dan anemia . Pada kasus ini PEB bisa didapatkan karena
salah satu faktor terjadinya adalah primigravida.
Penetapan PS ASA
67
Teori Kasus
Kelas I : Pasien sehat PS ASA ll
organik, fisiologik, psikiatrik, Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA III
biokimia. karena pasien memiliki penyakit sistemik
Kelas II : Pasien sedang- berat , dengan co-morbid obstetric ,
dengan penyakit sistemik ringan hipertensi dan anemia yang merupakan
atau sedang. penyakit sistemik sedang-berat .
Kelas III : Pasien
dengan penyakit sistemik berat,
sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien
dengan penyakit sitemik berat,
tidak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien
sekarat yang diperkirakan dengan
atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.
68
Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa Regional anastesi spinal?
Teori Kasus
69
dan anak dan penyembuhan rasa sakit
pasca operasi
70
kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor adrenergik
sehingga menghentikan perdarahan uterus.
Critical Point
Critical Point khusus pada kasus ini yaitu :
1. Obstetri
2. Preeklamsi Berat
3. Anemia
Critical Point Umum pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan saat
preoperative, durante dan post operative?
Problem
Actual Potensial Planning
List
71
5. Cardiac arrest Persiapan alat resusitasi dan obat-
obat resusitasi
Post Operatif
1. Hipoksia 1. Pemberian O2 yang adekuat
2. Monitoring tanda-tanda vital
Problem
Actual Potensial Planning
List
- aortocaval compression:
1. Posisikan ibu miring ke kiri
2. Posisi head up
3. Monitoring tanda-tanda vital
- kurang cairan:
1. Rehidrasi cairan kristaloid
72
2. Perdarahan 1. Monitoring tanda-tanda vital
sampai syok 2. Menghitung EBV-EBL
hipovolemik 3. Observasi tanda-tanda syok dan
klasifikasi derajat syok
4. Penggantian kehilangan darah
dengan kristaloid (2-4 x EBL),
koloid (1 x EBL), atau produk
darah (1 x EBL)
Post Operatif
1.Perdarahan post 1. Observasi kontraksi uterus
partum 2. Observasi tanda-tanda
perdarahan pervaginam dan
hentikan perdarahan (hecting)
3. Pemberian Oxytocin setelah
operasi
4. Periksa Hb post operasi , jika Hb
rendah transfusi PRC
Problem
Actual Potensial Planning
List
Problem
Actual Potensial Planning
List
73
B4 Produksi urine Oliguria - rehidrasi, observasi produksi urin
dipantau melalui - evaluasi tand-tanda perdarahan
kateter , produksi
(+), warna kuning
Problem
Actual Potensial Planning
List
Post operatif
Kembung Evaluasi:
1. Gastritis: beri obat penghambat
histamin H2 (ranitidine) atau Proton
Pump Inhibitor (omeprazole)
2. peristaltik usus
3. jika perlu pasang NGT dan foto
polos abdomen 3 posisi
Problem
Actual Potensial Planning
List
74
B6 Akral hangat (+), Posisikan pasien dengan tepat
Edema ekstremitas
bawah (+/+)
Fraktur (-)
75
135 cc – 168,75 cc / jam
2. Replacement :
Kebutuhan cairan untuk pengganti 9 jam puasa
135 cc x 11 jam = 1.485cc
169cc x 11jam = 1.859 cc
Output:
= 101,25 cc – 126,6 cc/45 menit
Urin 100 cc
Replacement
Estimated Blood Volume (EBV): Perdarahan: ±
65xkgBb 460 cc
= 65x81 = 5265 cc
10% = 526.5 cc
76
20% = 1053 cc
30 % = 1579,5 cc
(1x460cc) = 460cc
77
40-50 cc/kgBB/hari x BB (kg)
40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari
78
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang
akan digunakan
2. Pada pemeriksaan fisik pasien termasuk dalam PS ASA II, yaitu pasien
bedah dengan co-morbid obstetri hipertensi dengan anemia
3. Teknik anestesi yang baik pada pasien dinilai sudah tepat dengan
mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan pasien.
4. Critical point pada pasien adalah Aspirasi, hipotensi, mual muntah dan
resiko refluks gastroesofageal saat operasi.
5. Terapi cairan pre-operasi dan durante operasi di nilai belum tepat sesuai
dengan kebutuhan cairan pasien.
5.2 Saran
Pada penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari
persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutama menyangkut resusitasi cairan pada pasien dengan regional yang
memiliki efek samping berupa perdarahan dan hipotensi.
79
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R., 2007. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
2. Li G, Huang MS, Lena S. 2009. Epidemiology of Anesthesia-related Mortality
in the United State, 1999-2005. Anesthesiology 110 (40): 759-765
3. Hool A. 2010. Anaesthesia In Pregnancy For Non-Obstetric Surgery. World
Federation of Societies of Anesthesiologist 185: 1-9
4. Walton NKD, Melachuri VK. 2006. Anaesthesia for non-obstetric surgery
during pregnancy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 6 ( 2): 83-85
5. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan). Edisi 9.
Jakarta: EGC; 1996. 1063-76, 1203-37.
nd
6. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2 ed. Stamford:A
80
13. Mose C., J., hipertensi dalam krehamilan., Obstetri Patologi . Bandung,
bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr. Hasan
Sadikin.2013
14. Wijanti RE, Rahmaningtyas I, dan Widari D. Hubungan pola makan
ibu hamil trimester III dengan kejadian anemia. Dalam: Tunas-tunas Riset
Kesehatan Volume II Nomor 2 bulan Mei 2012.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22128590_2089- 4686.pdf.
15. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan, edisi 3, Cetakan kelima, Jakarta,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999.
81
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil ............................................................... 3
2.2 Hipertensi Kehamilan ............................................................................. 11
2.3 Anemia Pada Kehamilan ........................................................................ 27
2.4 Seksio Caesarea (SC) ............................................................................. 32
2.5 Anastesi Blok Subaarachnoid Pada Sectio Caesarea8............................ 38
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 52
3.1 Identitas Pasien ............................................................................................ 52
3.2 Anamnesis ................................................................................................... 52
3.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................ 53
3.4 Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................... 55
3.5 Diagnosa ..................................................................................................... 56
3.6 Konsultasi Terkait ....................................................................................... 56
3.7 Penentuan PS ASA / Status Anestesi .......................................................... 57
3.8 Persiapan Anestesi ....................................................................................... 57
3.9 Laporan Durante Operasi ............................................................................ 59
3.10 Terapi Cairan ............................................................................................. 61
3.11 Follow Up Post Operatif ........................................................................... 64
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 67
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 79
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 79
5.2 Saran ....................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 80
82