Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah.
Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan penanganan
yang seksama. Jumlah penderita diabetes di Indonesia setiap tahun meningkat. Menurut survei
yang dilakukan WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita Diabetes
Melitus (DM) terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Dengan prevalensi
8,6% dari total penduduk, diperkirakan pada tahun 2025 terdapat 12,4 juta pengidap diabetes.
Sedangkan dari data Departemen Kesehatan, jumlah pasien diabetes rawat inap maupun rawat
jalan di rumah sakit menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin.
Prevalensi DM dari tahun ke tahun semakin meningkat terutama pada kelompok yang
berisiko tinggi untuk mengalami penyakit DM diantaranya kelompok usia dewasa tua (lebih dari
40 tahun), kegemukan, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, dan dislipidemia. Gangguan
metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin, hilangnya
pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak terjadi pada
lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa
normal. Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling berperanan adalah resistensi insulin. Hal
ini ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah pembebanan
glukosa 75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula.
Telah diketahui diabetes melitus akan berhubungan dengan berbagai komplikasi baik
mikroangiopati maupun makroangiopati, terjadinya komplikasi ini sangat erat berhubungan
dengan kontrol glukosa darah, di mana sampai saat ini meskipun telah ditemukan insulin dan
obat hipoglikemik oral, tetapi untuk mengontrol kadar glukosa darah, diet masih merupakan lini
pertama upaya yang dilakukan secara berkepanjangan untuk mencapai target kadar glukosa
darah yang diharapkan, sehingga progresifitas penyakit bisa terkendali.
Perubahan pola makan menjurus ke sajian siap santap yang mengandung lemak, protein
dan garam tinggi tapi rendah serat pangan (dietary fiber), membawa konsekuensi terhadap
berkembangnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, DM, kanker, osteoporosis dan
hipertensi.
Prevalensi DM semakin tahun semakin meningkat terutama pada kelompok usia dewasa
tua (> 40 tahun), kegemukan, tekanan daarah tinggi, riwayat keluarga DM, dan dislipidemia.
Pengobatan DM meliputi minum obat, diet dan olahraga teratur. Jika masih dapat diatasi dengan
diet rendah karbohidrat dan olahraga teratur. Jika masih dapat diatasi dengan diet rendah
karbohidrat dan olahraga pasien dapat tidak menggunakan terapi obat.
Untuk mengurangi risiko kematian dan mengurangi biaya pengobatan DM, diperlukan
tindakan pencegahan yang dapat dilakukan secara primer maupun sekunder. Pencegahan
sekunder merupakan tindakan pencegahan terjadinya komplikasi akut maupun komplikasi jangka
panjang pada penderita DM. Pada pencegahan sekunder, penyuluhan kepada pasien dan
keluarganya tentang perilaku sehat dan berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan
komplikasi DM sangat diperlukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DIABETES MELITUS TIPE II


1. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM)
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes Melitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas dan atau
gangguan fungsi insulin (resistensi insulin).

2. ETIOLOGI
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Melitus Tergantung
Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β pulau langerhans akibat proses autoimun.
Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Mellitus
Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relatif sel β dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh
hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin desensitisasi terhadap glukosa.

3. EPIDEMIOLOGI
International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi Diabetes
Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian
urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes mellitus di
dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2
adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes melitus. Hasil Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan angka kejadian Diabetes Melitus di
Indonesia mencapai 57% sedangkan kejadian di dunia diabetes melitus tipe 2 adalah
95%. Faktor resiko dari Diabetes melitus tipe 2 yaitu usia, jenis kelamin, obesitas,
hipertensi, genetik, makanan, merokok, alkohol, kurang aktivitas, lingkar perut.
Penatalaksanaan dilakukan dengan cara penggunaan obat oral hiperglikemi dan insulin
serta modifikasi gaya hidup untuk mengurangi kejadian dan komplikasi mikrovaskular
maupun makrovaskular dari diabetes melitus tipe 2.

4. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi DM Tipe II terjadi sebagai akibat kombinasi beberapa aspek yang
berlangsung lama dapat bertahun-tahun secara subklinis. Aspek-aspek tersebut adalah
penurunan sekresi insulin, resistensi insulin dan ominous octet.
a) Penurunan Sekresi Insulin, terjadi akibat disfungsi sel-sel β pankreas. Suatu
penelitian menemukan bahwa gangguan fungsi sel pankreas ini terjadi secara dini
bahkan sebelumnya ada resistensi insulin
b) Resistensi Insulin, akan terjadi bila alur penyimpanan nutrisi yang bertugas
memaksimalkan efisiensi penggunaan energi terpapar terus menerus dengan surplus
energi. Surplus energi ini akan menurunkan sensitivitas insulin. Papapran surplus
energi dalam jangka panjang akan menyebabkan sensitivitas insulin semakin
menurun hingga terjadi resistensi insulin terutama pada jaringan otot, hepar dan
lemak. Resistensi insulin akan menyebabkan penurunan asupan glukosa perifer
diiringi dengan peningkatan endogen produksi glukosa oleh hepar melalui proses
glukoneogenesis. Selain itu, jaringan tubuh yang tidak mendapat energi juga akan
memecah lipid dalam jaringan sel lemak sehingga terjadi katabolisme lemak tubuh
atau lipolisis.
c) Ominous octet, menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Ominous octet adalah
gabungan dari kondisi sebagai berikut :
- Penurunan sekresi insulin pankreas
- Penurunan efek inkretin
- Peningkatan lipolisis
- Peningkatan reabsorpsi glukosa
- Penurunan uptake gluksa perifer
- Disfungsi neurotransmitter
- Peningkatan produksi glukosa oleh hepar
- Peningkatan sekresi glukagon dari sel-sel atau pulau Langerhans
Keadaan hipoglikemia yang terjadi karena ominous octet dapat berlangsung
selama bertahun-tahun secara subklinik gejala penyakit sebelum penyakit muncul,

5. MANIFESTASI KLINIS
Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia,
poliuria, polidipsia, lemas, dan berat badan turun tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang
mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria
serta pruritus vulva pada wanita.

6. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis
Pada anamnesis akan didapatkan keluhan khas yaitu polifagia, poliuria, polidipsi,
penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya. Selain itu juga ada keluhan yang
tidak khas seperti lemah, kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstermitas) gatal,
mata kabur, disfungsi ereksi pada wanita, pruritus vulvae pada wanita, luka yang sulit
sembuh. Faktor resiko dari DM Tipe 2 adalah berat badan lebih dan obesitas (IMT ≥
25 kg/m2, riwayat penyakit DM di keluarga, mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90
mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi), riwayat melahirkan bayi dengan BBL >
4000 gram atau pernah didiagnosis DM Gestasional, perempuan dengan riwayat
PCOS (Polycistic Ovary Syndrome), riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu) / TGT (Toleransi Glukosa Terganggu), serta aktivitas jasmani yang
kurang.
b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan penilaian tinggi badan, berat badan,
penurunan visus, lensa mata buram, serta uji sensitibilitas kulit dengan mikrofilamen.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Tabel 2. Kriteria Diagnosis DM

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi : Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam < 140
mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa < 100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%
Tabel 3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis
diabetes dan prediabetes
d) Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis
DM Tipe II melalui pemeriksaan :
 Profil lipid pada keadaan puasa : kolesterol total, High Density Lipoprotein
(HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
 Tes fungsi hati
 Tes fungsi ginjal : kreatinin serum dan estimasi-GFR
 Tes urin rutin
 Albumin urin kuantitatif
 Rasio albumin-kreatinin sewaktu
 Elektrokardiogram
 Foto rontgen thoraks (bila ada indikasi : TBC, penyakit jantung kongestif)
 Pemeriksaan kaki secara komprehensif

7. PENATALAKSANAAN
a) Farmakoterapi
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentukan suntikan.
 Obat Antihiperglikemia Oral
Dibagi menjadi 5 golongan :
 Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel β pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien
dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan
ginjal).

- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivate asam
benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.

 Peningkatan Sensitivitas terhadap Insulin


- Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM
Tipe II. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan
pada beberapa keadaan seperti : GFR < 30 ml/ menit/1,73 m2, adanya
gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,
gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
- Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara
lain di sel otot, lemak dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan
faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
Pioglitazone.
 Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorpsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat alfa glukosidase tidak digunakan pada keadaan : GFR ≤ 30 ml/
menit/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada
awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.
 Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose
dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
 Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain : Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Tabel 4. Profil Obat Antihiperglikemia Oral
yang Tersedia di Indonesia

 Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1.
 Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes Melitus Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis :
- Insulin kerja cepat
- Insulin kerja pendek
- Insulin kerja menengah
- Insulin kerja panjang
- Insulin kerja ultra panjang
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut
DM
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

Tabel 5. Farmakokinetik Insulin Berdasarkan Waktu Kerja


NPH : Neutral Protamine Hagedorn; NPL : Neutral Protamine Lispro. Nama
Obat disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia.
* Belum tersedia di Indonesia
 Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar penigkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel beta sehingga
terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat
badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek
penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi
menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Efek samping
yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat
yang termasuk golongan ini adalah Liraglitide, Exenatide, Albiglutide dan
Lixisenatide.

b) Non Farmakoterapi
Terapi nonfarmakologi pada dasarnya adalah perubahan gaya hidup yang
mencakup pengaturan pola makan yang sering disebut sebagai terapi nutrisi medis,
latihan fisik dan edukasi berbagai masalah yang terkait tentang penyakit diabetes
melitus. Terapi nonfarmakologi ini sebagai dasar, dilakukan terus menerus
mendampingi terapi farmakologi adalah memberikan obat-obatan baik oral maupun
dalam bentuk injeksi yaitu insulin.

8. KRITERIA PENGENDALIAN DM
Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa, HbA1c, dan
profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila kadar glukosa, lipid dan
HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, serta status gizi maupun tekanan darah sesuai
dengan yang telah menjadi target.
Tabel 6. Sasaran Pengendalian DM

Keterangan : KV = Kardiovaskular, PP = Post prandial


*The Asia-Pacific Perspective : Redefining Obesity and Its Treatment, 2000
**Standards of Medical Care in Diabetes, ADA 2015

9. KOMPLIKASI
Diabetes melitus dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti hipertensi,
retinopati, neuropati, nefropati dan penyakit pembuluh darah lainnya, mengingat kadar
gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol menyebabkan keadaan yang disebut
disfungsi endotel.

B. Ulkus Kaki Diabetik

1. Pengertian dan epidemiologi


Ulkus adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis.
Pengertian ulkus kaki diabetik termasuk nekrosis atau gangren. Gangren diabetikum adalah
kematian jaringan yang disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah (ischemic necrosis)
karena adanya mikroemboli aterotrombosis akibat penyakit vaskular perifir oklusi yang
menyertai penderita diabetes sebagai komplikasi menahun dari diabetes itu sendiri. Ulkus kaki
diabetik dapat diikuti oleh invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan, dapat terjadi
di setiap bagian tubuh terutama di bagian distal tungkai bawah (Gibbons dkk.,1995 ; Rutherford
dkk., 1995 ; Cavanagh dkk., 1999).

2. Patofisiologi ulkus kaki diabetik


Ada beberapa komponen penyebab sebagai pencetus timbulnya ulkus kaki diabetik pada pasien
diabetes, dapat dibagai dalam 2 faktor besar (Gibbons dkk., 1995 ; Singh dkk., 2005) yaitu :
A). Faktor kausatif
- Neuropati perifir (sensorik, motorik, autonom)
Merupakan Faktor kausatif utama dan terpenting. Neuropati sensorik biasanya derajatnya
cukup dalam (>50%) sebelum mengalami kehilangan sensasi proteksi yang berakibat pada
kerentanan terhadap trauma fisik dan termal sehingga meningkatkan resiko ulkus kaki. Tidak
hanya sensasi nyeri dan tekanan yang hilang, tetapi juga propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki
juga menghilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot-otot di kaki, mengakibatkan
penonjolan tulang-tulang abnormal, arsitektur normal kaki berubah, deformitas yang khas seperti
hammer toe dan hallux rigidus. Sedangkan neuropati autonom atau autosimpatektomi, ditandai
dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat
pintasan arteriovenous di kulit , hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit , semuanya
menjadikan kaki rentan terhadap trauma yang minimal

- Tekanan plantar kaki yang tinggi


Merupakan faktor kausatif kedua terpenting. Keadaan ini berkaitan dengan dua hal yaitu
keterbatasan mobilitas sendi ( ankle, subtalar, and first metatarsophalangeal joints ) dan
deformitas kaki. Pada pasien dengan neuropati perifir, 28% dengan tekanan plantar yang tinggi,
dalam 2,5 tahun kemudian timbul ulkus di kaki dibanding dengan pasien tanpa tekanan plantar
tinggi.

- Trauma
Terutama trauma yang berulang, 21% trauma akibat gesekan dari alas kaki, 11% karena cedera
kaki (kebanyakan karena jatuh), 4% selulitis akibat komplikasi tinea pedis, dan 4% karena
kesalahan memotong kuku jari kaki
b. Faktor kontributif
- Aterosklerosis
Aterosklerosis karena penyakit vaskuler perifir terutama mengenai pembuluh darah
femoropoplitea dan pembuluh darah kecil dibawah lutut, merupakan faktor kontributif
terpenting. Risiko ulkus, dua kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibanding dengan pasien non-
diabetes.
- Diabetes
Diabetes menyebabkan gangguan penyembuhan luka secara intrinsik, termasuk
diantaranya gangguan collagen cross-linking, gangguan fungsi matrik metalloproteinase, dan
gangguan imunologi terutama gangguan fungsi PMN. Disamping itu penderita diabetes memiliki
angka onikomikosis dan infeksi tinea yang lebih tinggi, sehingga kulit mudah mengelupas dan
mengalami infeksi. Pada DM, ditandai dengan hiperglikemia berkelanjutan serta peningkatan
mediator-mediator inflamasi, memicu respon inflamasi, menyebabkan inflamasi kronis, namun
keadaan ini dianggap sebagai inflamasi derajat rendah, karena hiperglikemia sendiri
menimbulkan ganggguan mekanisme pertahanan seluler. Inflamasi dan neovaskularisasi penting
dalam penyembuhan luka, tetapi harus sekuensial, self-limited, dan dikendalikan secara ketat
oleh interaksi sel-molekul. Pada DM respon inflamasi akut dianggap lemah dan angiogenesis
terganggu sehingga terjadi gangguan penyembuhan luka seperti terlihat pada gambar 2.1
(Tellechea dkk, 2010)

3. Penilaian, klasifikasi, dan derajat ulkus kaki diabetik


A) Jenis-jenis ulkus kaki diabetik
Ulkus kaki diabetik dibedakan atas 2 kelompok yaitu : (Edmon, 2006)
1. Ulkus neuropatik
Kaki teraba hangat dan perfusi masih baik dengan pulsasi masih teraba, keringat berkurang, kulit
kering dan retak.

2. Ulkus neuroiskemik
Kaki teraba lebih dingin, tidak teraba pulsasi, kulit tipis, halus dan tanpa rambut, ada atrofi
jaringan subkutan, klaudikasio intermiten dan rest pain mungkin tidak ada karena neuropati
B) Penilaian ulkus kaki diabetik
Untuk mencegah amputasi kaki dan penyembuhan ulkus berkepanjangan, maka perlu
mengetahui akar penyebabnya. Untuk mendapatkan data ulkus secara menyeluruh yang akan
bermanfaat didalam perencanan pengobatan, perlu dilakukan penilaian-penilaian ulkus meliputi :
(Van Baal, 2004 ; Khanolkar dkk., 2008)
1. Penilaian neuropati
Riwayat tentang gejala-gejala neuropati, pemeriksaan sensasi tekanan dengan Semmes-
Weinstein monofilament 10 g, pemeriksaan sensasi vibrasi dengan garpu tala 128 Hz

2. Penilaian struktur
Identifikasi kelainan-kelainan struktur atau deformitas seperti penonjolan tulang di
plantar pedis : claw toes, flat toe, hammer toe, callus, hallux rigidus, charcot foot.

3. Penilaian vaskuler
Riwayat klaudikasio intermiten, perubahan tropi kulit dan otot, pemeriksaan pulsasi
arteri, ABI, Doppler arteri, dilakukan secara sistematis. Iskemia berat atau kritis, apabila
ditemukan tanda infeksi, kaki teraba dingin, pucat, tidak ada pulsasi, adanya nekrosis, tekanan
darah ankle < 50 mmHg (Ankle Brachial Index < 0,5), TcPO2 < 30mmHg, tekanan darah jari <
30mmHg.

4. Penilaian ulkus
Pemeriksaan ulkus harus dilakukan secara cermat, teliti dan sistematis. Inspeksi harus
bisa menjawab pertanyaan, apakah ulkusnya superfisial atau dalam, apakah mengenai tulang,
sehingga bisa ditetapkan derajat ulkus secara akurat.

C) Klasifikasi dan derajat ulkus kaki diabetik


Ada beberapa klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik dikenal saat ini seperti, klasifikasi
Wagner, University of Texas wound classification system (UT), dan PEDIS ( Perfusion, Extent /
size, Depth / tissue loss, Infection, Sensation ). Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas,
menggambarkan derajat luas dan berat ulkus namun tidak menggambarkan keadaan iskemia dan
ikhtiar pengobatan (Oyibo dkk., 2001 ; Widatalla dkk., 2009 ). Kriteria diagnosa

infeksi pada ulkus kaki diabetik bila terdapat 2 atau lebih tanda-tanda berikut : bengkak,
indurasi, eritema sekitar lesi, nyeri lokal, teraba hangat lokal, adanya pus (Bernard, 2007 ;
Lipsky dkk.,2012). Infeksi dibagi dalam infeksi ringan (superficial, ukuran dan dalam
terbatas), sedang (lebih dalam dan luas), berat (disertai tanda-tanda sistemik atau gangguan
metabolik) (Lipsky dkk., 2012). Termasuk dalam infeksi berat seperti fasiitis nekrotikan, gas
gangren, selulitis asenden, terdapat sindroma kompartemen, infeksi dengan toksisitas
sistemik atau instabilitas metabolik yang mengancam kaki dan jiwa pasien (Zgonis dkk.,
2008). Klasifikasi Wagner ( dikutip dari Oyibo dkk., 2001).
 Grade 0 Tidak ada ulkus pada penderita kaki risiko tinggi
 Grade I Ulkus superfisial terlokalisir.
 Grade II Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi, belum
mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses
 Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi
osteomielitis, abses atau selulitis.
 Grade IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal. Grade V Gangren seluruh
kaki.
BAB III
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : Ny E.N
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kampung Harapan Sentani
Pekerjaan : Guru Paud
Agama : Advent
Tanggal MRS : 25 September 2018
Tanggal Pemeriksaan : 26 – 29 September 2018
No. RM : 45 48 74

2.2 Anamnesis
Aloanamnesa dilakukan pada pasien pada tanggal 27 September 2018 di Ruang Sakura V
Penyakit Dalam Wanita RSUD Abepura.

Keluhan Utama
Badan Lemas

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli penyakit dalam RSUD Abepura dengan keluhan utama badan
lemas yang di rasakan kurang lebih 2 hari SMRS .Lemas di sertai dengan keluhan lain
seperti pusing, sakit kepala (+) , sakit kepala seperti berputar (-), sering lapar (+)
pandangan kabur (+), sesak tidak ada, demam (-), BAK/BAB normal, makan/minum baik.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pada kaki kiri kurang lebih 1 minngu. .nyeri seperti
tertusuk-tusuk, disertai dengan demam yamg hilang timbul . riwayat minum obat DM juga
tidak terkontrol. Pasien juga kadang mengeluhkan nyeri uluh hati sebelum pasien makan.
Untuk riwayat jantung, hipertensi ,TB Paru disangkal oleh Pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit Gastritis (+)
- riwayat penyakit jantung (-)
- riwayat DM (+)
- riwayat penyakit paru (-)
- riwayat asma (-)
- riwayat alergi obat (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan di dalam keluarga yang menderita sakit DM adalah Orang tua pasien
(ibu).

Riwayat Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai guru Paud di Sentani

2.3 Pemeriksaan fisik


A. Status Generalis saat MRS
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : E4V5M6
4. Tanda-tanda Vital
 Tekanan darah : 100/70 mmhg
 Nadi : 80 x/m
 Respirasi : 20 x/m
 Suhu badan : 36,60 C
 Saturasi Oksigen : 98% tanpa O2
B. Status Interna
Kepala : Bentuk : Normocephali
Rambut : Hitam, lurus, tebal, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis : (-/-), sklera ikterik : (-/-),
eksoftalmus : (-/-), refleks cahaya : (+/+), mata
cowong (+)
Hidung : Sekret (-), perdarahan (-)
Telinga : Sekret (-), perdarahan (-)
Mulut : Oral candidiasis (-)
Leher : KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
Thoraks : Paru
I : simetris, ikut gerak napas
P : Vokal fremitus (Dextra = Sinistra)
P : sonor seluruh lapang paru
A : Suara napas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba, di ICS V, 2 cm ke arah medial
dari midklavicula line sinistra
P : Batas atas jantung : ICS II, Batas pinggang
Jantung : ICS III line parasternalis sinistra, Batas
kiri jantung sesuai ictus cordis, Batas kanan
jantung di line parasternal dextra
A : Bunyi jantung I – II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : I : Tampak datar, jejas (-)
A : Bising usus (+) normal : 3-4x/menit
P : Supel,nyeri tekan (-), Hepar : tidak teraba, Lien : tidak teraba
P : Tympani.
Ekstremitas : Akral hangat , CRT <2”, Edema (-/-)
C. Diagnosa Kerja Sementara

DM Tipe II

Ulkus Diabetik

D. Rencana Penatalaksanaan

- IVFD NACL 0.9 % 20 TPM

- IJ Cefriaxone 2x1

- IJ Ranitin 2x1

- IJ Metronidazole 3x1

- IJ Ketrolac 3X1

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan/ 26-09-18 Satuan Nilai rujukan


Tgl
Hematologi g/dL 11.0-14.7
Hb 8,5
. hematokrit 26,9 % 35.2-46.7
Leukosit 7,07 103/mm3 3.37-8.38
Trombosit 201 103/mm3 140-400
Eritrosit 4,00 106/mm3 3.69-5.46
DDR Negatif - -
Kimia Darah
GDS 428 mg/dL <=140
Kreatinin 1,0 Mg/Dl <=0,95

BUN 37 MgdL 7-18


Kalium 3.09 mEq/L 3,50-5,30
Natrium 127,90 mEq/L 135-148
CL 94,00 mEq/L 98-106

FOLLOW UP
26/09/2018 INTERNA Keterangan
Subjective Badan lemas (+),Pusing(+), mual (+), nyeri uluh hati
(+),nyeri uluh hati (+)
Objectives KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran: Compos Hasil laboratorium
Mentis Hb:8,5
0
TD: 100/60 mmHg, N:90x/m, R:23x/m, S:36 C, RBC: 4,0
SpO 2 : 90% O2 96-97% HCT: 26,9
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-), MCV: 83,8
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas MCH: 26,5
P : Vokal Fremitus D=S MCHC: 31,6
P : Sonor WBC: 17,1
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki PLT: 201.000
(-), Wheezing(-) DDR: Negatif
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak GDS: 184 mg/dL
P : Ictus cordis teraba
P : Pekak
A : Bunyi Jantung I-II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen  I : Cembung
A : Bising Usus (+)
P : Supel, NT: (+), H/L: tidak
teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, udem (+), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
Assessment - DM Tipe II
- Ulkus DM
- Gatrritis

Planning - IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm


- Ranitidin 50mg/12 jam (IV)
- Ondancentron 4mg/8 jam (IV)
- Ketorolac 1gr/8 jam (IV)
- Noperapid 16-16-16
- Levemir 0-0-16

27/09/2018 INTERNA Keterangan


Subjective Pusing(+), batuk (+) , nyeri pada kaki kiri (+)
Objectives KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran: Compos GDP : 190
Mentis GD2PP : 256
TD: 120/70mmHg, N:80x/m, R:22x/m, S:36,7 0 C,
SpO 2 : 98%
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-),
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Vokal Fremitus D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki
(-), Wheezing(-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba
P : Pekak
A : Bunyi Jantung I-II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen  I : Cembung
A : Bising Usus (+)
P : Supel, NT: (+), H/L: tidak
teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, udem (+), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
Assessment - DM Tipe II
- Ulkus DM
- Gatrritis

Planning GDP : 190


-IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm
GD2PP : 256
- Ranitidin 50mg/12 jam (IV)
- Ondancentron 4mg/8 jam (IV)

- Ketorolac 1gr/8 jam (IV)

- Ceftriaxone 2gr/12jam (IV)

- Metronidazole 3x1 (H1)

- Noperapid 18-18-18
- Levemir 0-0-18

28/09/2018 INTERNA Keterangan


Subjective Batuk (+), menggigil(+) nyei pada kaki berkurang(+)
Objectives KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran: Compos
Mentis
TD: 100/70mmHg, N:78x/m, R:21x/m, S:36 0 C,
SpO 2 : 98%
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-),
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Vokal Fremitus D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki
(-), Wheezing(-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba
P : Pekak
A : Bunyi Jantung I-II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen  I : Cembung
A : Bising Usus (+)
P : Supel, NT: (+), H/L: tidak
teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, udem (+), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
Assessment - DM Tipe 2
- Ulkus DM
- Gatritis

Planning - IVFD D10% : RL 20 tpm


- Ceftriaxone 2gr/12jam (IV)
- Ranitidine 50mg/12 jam (IV)
- Ondancentron 4mg/ 8 jam (IV)

- Ketorolac 1gr/8 jam (IV)

- Ceftriaxone 2gr/12jam (IV)

- Metronidazole 3x1 (H1)

- Noperapid 18-18-18
- Levemir 0-0-18
-
- Paracetamol 500mg/8 jam (po)

29/09/2018 INTERNA Keterangan


Subjective pusing (+), Nyeri pada kaki berkurang
Objectives KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran: Compos GDP : 222
Mentis
TD: 100/80mmHg, N:80x/m, R:21x/m, S:36 0 C,
SpO 2 : 97%
K/L: CA (-/-), SI (-/-), OC (-), P>KGB (-),
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Vokal Fremitus D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki
(-), Wheezing(-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba
P : Pekak
A : Bunyi Jantung I-II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen  I : Cembung
A : Bising Usus (+)
P : Supel, NT: (+), H/L: tidak
teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, udem (+), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
Assessment - DM Tipe II
- Ulkus Decubitus

Planning - IVFD D10% : RL 20 tpm GDP : 222


- Ceftriaxone 2gr/12jam (IV)
- Ranitidine 50mg/12 jam (IV)

- Ketorolac 1gr/8 jam (IV)

- Ceftriaxone 2gr/12jam (IV)

- Metronidazole 3x1 (H5)

- Noperapid 18-18-18
- Levemir 0-0-18
- Asetil sistein 3x200
- Paracetamol 500mg/8 jam (po)

Periksa:
Pro Debridement
-
2.5. Foto Klinis Pasien
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Apakah Diagnosis pada kasus ini sudah tepat ?

Pada Kasus Ny. E.N, umur 56 tahun datang dengan keluhan utama badan lemas
yang di rasakan kurang lebih 2 hari SMRS .Lemas di sertai dengan keluhan lain seperti
pusing, sakit kepala (+) , sakit kepala seperti berputar (-), sering lapar (+) pandangan
kabur (+), sesak tidak ada, demam (-), BAK/BAB normal, makan/minum baik. Pasien
juga mengeluhkan nyeri pada kaki kiri kurang lebih 1 minngu. .nyeri seperti tertusuk-
tusuk, disertai dengan demam yamg hilang timbul . riwayat minum obat DM juga tidak
terkontrol. Pasien juga kadang mengeluhkan nyeri uluh hati sebelum pasien makan.
Untuk riwayat jantung, hipertensi ,TB Paru disangkal oleh Pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 80 x/m, suhu badan
36,60C, respirasi 20x/m, , Pemeriksaan laboratorium tanggal 26/09/2018 : HB 8,5
(103/uL), Glukosa darah sewaktu 428 mg/dL.

Diagnosis pada kasus ini berdasarkan ananmnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang adalah:

- DM TIPE II

- Ulkus Diabetikum

Sedangkan pada teori untuk mendiagnosis DM Tipe II dan Ulkus Diabetikum

adalah Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia,

poliuria, polidipsia, lemas, dan berat badan turun tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang
mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria

serta pruritus vulva pada wanita. Dan juga di sertai dengan Anamnesis, Pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan Penunjang.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 80 x/m, suhu badan
36,60C, respirasi 20x/m, , Pemeriksaan laboratorium tanggal 26/09/2018 : HB 8,5 (103/uL),
Glukosa darah sewaktu 428 mg/dL.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang penderita


didiagnosis dengan DM Tipe II dan Ulkus Diabeticum.
Insulin yang didapatkan pada pasien ini adalah novorapid 3x8 iu (subkutan) untuk
insulin rapid acting dan lantus 1x 10 iu (subkutan) untuk insulin long acting.
Pasien ini diberikan insulin oleh karena, sesuai literature bahwa ketentuan pemberian
insulin diantaranya:
- DM tipe I
- Penurunan berat badan yang cepat
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan ADO dosis optimal : stress berat, hamil
2.) Mengapa DM Tipe II menyebabkan Ulkus Decubitum?

Pada Teori Salah satu komplikasi dari DM adalah neuropati, berupa


berkurangnya sensasi di kaki dan sering dikaitkan dengan luka pada kaki.
Neuropatiperifer menyebabkan hilangnya sensasi di daerah distal kaki yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki bahkan amputasi.
Neuropatisensori motorik kronik adalah jenis yang sering ditemukan dari
neuropati diabetikum. Seiring dengan lamanya waktu menderita diabetes dan
mikroangiopati, maka neuropati diabetikum dapat ulkus pada kaki, deformitas
bahkan amputasi.Ulkus kaki pada neuropati sering kali terjadi pada
permukaan plantar kaki yaitu di area yang mendapat tekanan tinggi, seperti
area yang melapisi kaput metatarsal maupun area lain yang melapisi
deformitas tulang. Ulkus kaki diabetic berkontribusi terhadap >50% ulkus
kaki penderita diabetes dan sering tidak menimbulkan rasa nyeri disertai
lebam Neuropati perifer merupakan penyebab ulserasi yang susah dikontrol
pada kaki penderita DM. Hilangnya sensasi mengakibatkan hilangnya nyeri
dan dapat disertai oleh kerusakan kulit baik karena trauma maupun tekanan
sandal dan sepatu yang sempit yang dipakai penderita sehingga dapat
berkembang menjadi lesi dan infeksi.
Ulkus adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full
thickness) dari dermis. Pengertian ulkus kaki diabetik termasuk nekrosis atau
gangren. Gangren diabetikum adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh
penyumbatan pembuluh darah (ischemic necrosis) karena adanya
mikroemboli aterotrombosis akibat penyakit vaskular perifir oklusi yang
menyertai penderita diabetes sebagai komplikasi menahun dari diabetes itu
sendiri. Ulkus kaki diabetik dapat diikuti oleh invasi bakteri sehingga terjadi
infeksi dan pembusukan, dapat terjadi di setiap bagian tubuh terutama di
bagian distal tungkai bawah.
1. Setiap pasien dengan diabetes perlu dilakukan pemeriksaan kaki secara lengkap, minimal
sekali setiap satu tahun meliputi: inspeksi, perabaan pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibialis
posterior, dan pemeriksaan neuropati sensorik.
2. Deteksi Dini Kelainan Kaki dengan Risiko Tinggi dapat dilakukan
melalui pemeriksaan karakteristik kelainan kaki:
- Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku.rambut kaki yang
menipis.
- Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh, ingrowing nail).
- Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.
- Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang
kaki yang menonjol.
- Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari.
- Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.
- Kaki yang terasa dingin.
- Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau
kehitaman).
3. Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus kaki
diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang meningkatkan
morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien.
4. Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer
(peripheral arterial disease), ataupun kombinasi keduanya.
5. Pemeriksaan neuropati sensorik dapat dilakukan dengan menggunakan monofilamen Semmes-
Weinstein 10g, serta ditambah dengan salah satu dari pemeriksaan : garpu tala frekuensi 128
Hz, tes refleks tumit dengan palu refleks, tes pinprick dengan jarum, atau tes ambang batas
persepsi getaran dengan biotensiometer.
Pada kasus ini pasien memiliki keluhan adanya luka pada kaki kiri sejak 1 bulan
yang lalu, luka dangkal, ada pus dan berbau busuk.. Luka tidak terasa nyeri, dengan
gambaran kulit kering, bersisik, hangat dan kehitaman.
Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin.
Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah :
1. Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan metabolik sebaik
mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin dan
sebagainya.
2. Kendali vaskular (vascular control): perbaikan asupan vaskular (dengan operasi
atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.
3. Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus
diberikan pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuhan
organisme pada hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan
infeksi).
4. Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara
teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME:
o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
o Moisture Balance (menjaga kelembaban)
o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
5. Kendali tekanan (pressure control): mengurangi tekanan pada kaki, karena tekanan
yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari. Mengurangi
tekanan merupakan hal sangat penting dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan
kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi
tekanan
6. Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik. Seluruh pasien dengan
diabetes perlu diberikan edukasi mengenai perawatan kaki secara mandiri.

Ada beberapa klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik dikenal saat ini seperti, klasifikasi
Wagner, University of Texas wound classification system (UT), dan PEDIS ( Perfusion, Extent /
size, Depth / tissue loss, Infection, Sensation ). Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas,
menggambarkan derajat luas dan berat ulkus namun tidak menggambarkan keadaan iskemia dan
ikhtiar pengobatan (Oyibo dkk., 2001 ; Widatalla dkk., 2009 ). 9
Kriteria diagnosa infeksi pada ulkus kaki diabetik bila terdapat 2 atau lebih tanda-tanda
berikut : bengkak, indurasi, eritema sekitar lesi, nyeri lokal, teraba hangat lokal, adanya pus
(Bernard, 2007 ; Lipsky dkk.,2012). 8
Infeksi dibagi dalam infeksi ringan (superficial, ukuran dan dalam terbatas), sedang
(lebih dalam dan luas), berat (disertai tanda-tanda sistemik atau gangguan metabolik) (Lipsky
dkk., 2012). Termasuk dalam infeksi berat seperti fasiitis nekrotikan, gas gangren, selulitis
asenden, terdapat sindroma kompartemen, infeksi dengan toksisitas sistemik atau instabilitas
metabolik yang mengancam kaki dan jiwa pasien (Zgonis dkk., 2008).
Klasifikasi Wagner ( dikutip dari Oyibo dkk., 2001).
1. Grade 0 Tidak ada ulkus pada penderita kaki risiko tinggi
2. Grade I Ulkus superfisial terlokalisir.
3. Grade II Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi, belum mengenai
tulang, tanpa selulitis atau abses
4. Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi osteomielitis,
abses atau selulitis.
5. Grade IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal. Grade V Gangren seluruh kaki

Berdasarkan anamnesis yaitu adanya luka yang lama tak sembuh sekitar 1 bulan
dengan pus, berbau busuk, terasa panas, tidak terasa nyeri dan riwayat diabetes melitus
yang dimiliki pasien, menegakkan diagnosis bahwa luka tersebut merupakan ulkus
diabetik.
Pada pasien ini derajat ulkus menurut Wagner ialah grade 1 yaitu ulkus yang
superficial, dengan infeksi ringan. Dan penatalaksanaan pada pasien ini yaitu dengan
- Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan metabolik
sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin,
hemoglobin dan sebagainya.
- Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi
harus diberikan pengobatan infeksi secara agresif
- (Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis
secara teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan
konsep TIME:

o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)


o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
o Moisture Balance (menjaga kelembaban)
o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel
3.) Bagaimana Penatalaksanaan pada kasus ini ?

Pada Teori ada 2 yaitu Farmakoterapi dan Non Farmakoterapi

A. Farmakoterapi

Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentukan suntikan.


 Obat Antihiperglikemia Oral
Dibagi menjadi 5 golongan :
 Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel β pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien
dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan
ginjal).

- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivate asam
benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.

 Peningkatan Sensitivitas terhadap Insulin


- Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM
Tipe II. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan
pada beberapa keadaan seperti : GFR < 30 ml/ menit/1,73 m2, adanya
gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,
gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
- Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara
lain di sel otot, lemak dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan
faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
Pioglitazone.

 Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan


Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorpsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat alfa glukosidase tidak digunakan pada keadaan : GFR ≤ 30 ml/
menit/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada
awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.
 Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose
dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
 Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain : Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Tabel 4. Profil Obat Antihiperglikemia Oral
yang Tersedia di Indonesia

 Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1.
 Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes Melitus Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis :
- Insulin kerja cepat
- Insulin kerja pendek
- Insulin kerja menengah
- Insulin kerja panjang
- Insulin kerja ultra panjang
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut
DM
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

Tabel 5. Farmakokinetik Insulin Berdasarkan Waktu Kerja


NPH : Neutral Protamine Hagedorn; NPL : Neutral Protamine Lispro. Nama
Obat disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia.
* Belum tersedia di Indonesia
 Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar penigkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel beta sehingga
terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat
badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek
penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi
menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Efek samping
yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat
yang termasuk golongan ini adalah Liraglitide, Exenatide, Albiglutide dan
Lixisenatide.

b. Non Farmakoterapi

Terapi nonfarmakologi pada dasarnya adalah perubahan gaya hidup yang


mencakup pengaturan pola makan yang sering disebut sebagai terapi nutrisi
medis, latihan fisik dan edukasi berbagai masalah yang terkait tentang penyakit
diabetes melitus. Terapi nonfarmakologi ini sebagai dasar, dilakukan terus
menerus mendampingi terapi farmakologi adalah memberikan obat-obatan baik
oral maupun dalam bentuk injeksi yaitu insulin.

Pada Kasus ini terapi yang di berikan selama di rawat yaitu :

- IVFD NACL 0.9 % 20 TPM

- IJ Cefriaxone 2x1

- IJ Ranitin 2x1

- IJ Metronidazole 3x1
- IJ Ketrolac 3X1
BAB V
KESIMPULAN

Diabetes Melitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan
gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas dan atau gangguan fungsi insulin
(resistensi insulin).
Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia, poliuria,
polidipsia, lemas, dan berat badan turun tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang mungkin
dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria serta pruritus
vulva pada wanita
Pada kasus DM terapi yang dapat diberikan yaitu obat antihiperglikemia oral dan obat
antihiperglikemia suntik.
Diabetes melitus dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti hipertensi, retinopati,
neuropati, nefropati dan penyakit pembuluh darah lainnya, mengingat kadar gula darah yang
tinggi dan tidak terkontrol menyebabkan keadaan yang disebut disfungsi endotel.
Diabetes yang terus-menerus dibiarkan tanpa pengobatan, lama-lama menyebabkan
kerusakan pembuluh darah dan penumpukkan lemak pada dinding pembuluh darah.
Penumpukkan lemak ini dapat meningkatkan risiko pembuluh darah menyempit karena
tersumbat hingga akhirnya mengeras. Aliran darah yang kencang dari jantung jadi terhambat
karena tidak semuanya bisa melewati pembuluh yang sempit. Akibatnya, jantung harus bekerja
lebih keras lagi untuk memompa darah. Inilah yang menyebabkan tekanan darah lama-lama
meningkat kalau memiliki riwayat diabetes. Efek resistensi insulin akibat diabetes dapat juga
menyebabkan hipertensi. Resistensi insulin membuat tubuh tidak merespon hormon insulin
dengan baik sehingga gagal menyerap gula dalam darah (glukosa) untuk dijadikan energi atau
simpanan lemak. Penumpukan lemak dalam tubuh bisa mengganggu kerja sistem saraf, termsauk
sinyal yang mengatur tekanan darah. Selain itu, resistensi insulin memicu ketidakseimbangan
kadar garam dan kalium yang menyebabkan peningkatan volume cairan tubuh. Hal ini juga dapat
menyebabkan penyempitan arteri, yang lama-lama menaikkan tekananan darah hingga berisiko
hipertensi.
Di sisi lain, orang yang punya tekanan darah tinggi juga dapat berisiko mengalami diabetes
karena peningkatan tekanan darah bisa mempengaruhi produksi insulin dari pankreas. Kerusakan
pankreas dan hormon insulin yang tidak bekerja dengan baik dapat membuat tubuh
menghasilkan lebih banyak gula darah. Peningkatan gula darah belebihan berisiko menimbulkan
gejala diabetes.
Hipertensi dan DM adalah dua penyakit yang memiliki kaitan sangat erat. Dua keadaan ini
adalah masalah yang membutuhkan pengelolaan yang tepat dan seksama. Hipertensi tidak hanya
menyebabkan serangan jantung, gagal jantung dan stroke, tetapi dalam banyak kasus sering
menimbulkan adanya penyakit DM baru. Untuk menghindari kemungkinan terkena diabetes,
para penderita hipertensi diminta menjaga tekanan darahnya dengan menjaga berat badan, kadar
gula darah, kadar trigliserid dalam darah, dan kadar HDL.
Diabetes melitus dan hipertensi adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup,
sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya dokter, perawat dan ahli gizi, akan
tetapi lebih penting lagi keikutsertaan pasien sendiri dan keluarganya. Penyuluhan kepada pasien
dan keluarganya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha
memperbaiki hasil pengelolaan DM dan hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aziztama, Rezandi . DM Type II and Grade I Hypertension Accompanied Obesity on Old


Woman. J Agromed Unila 2014; 1(2):174-179
2. Purnamasari, Dyah. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2015.
hlm.2325-2329
3. Harrison. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed.13. Jakarta : Penerbit Buku
kedokteran EGC; 2000.(3).h.1128-39.
4. Konsensu PERKENI 2015
5. Yogiantoro, M. Pendekatan Klinis Hipertensi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2015. hlm.2261-2285

Anda mungkin juga menyukai