Anda di halaman 1dari 12

BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA

Pendahuluan
Kelenjar prostat merupakan organ pria yang paling sering terkena tumor jinak
(benigna) maupun tumor ganas (maligna). McNeal et.al (1988) memperkenalkan
konsep zona anatomi dari organ prostat. Tiga zona yang berbeda sudah diidentifikasi.
Zona perifer menyumbang 70% volume pada organ prostat, sedangkan zona sentral
menyumbang 25% dan zona transisional menyumbang 5% volume pada organ prostat.
Sekitar 60-70% karsinoma prostat berasal dari zona perifer, 10-20% dari zona sentral,
dan 5-10% berasal dari zona transisional. Sebagian besar penyakit benign prostat
hyperplasia (BPH) terdapat pada zona transisional. BPH merupakan tumor jinak
akibat penambahan jumlah sel epitel dan stroma kelenjar prostat.

Insidensi dan Epidemiologi


BPH adalah tumor jinak paling umum yang terjadi pada laki-laki, serta
insidennya terkait dengan usia. Pada studi otopsi, prevalensi histologi BPH meningkat
dari sekitar 20% pada laki-laki berusia 41-50, menjadi 50% pada laki-laki berusia
51-60 tahun, dan > 90% pada laki-laki berusia lebih dari 80 tahun. Meskipun gejala
klinis penyakit jarang ditemukan, gejala obstruksi prostat juga berkaitan dengan usia.
Pada usia 55, sekitar 25% laki-laki melaporkan gejala obstruksi pada saat berkemih.
Pada usia 75, 50% laki-laki memiliki keluhan penurunan pancaran urin saat kencing.
Faktor risiko yang berkontribusi pada perkembangan BPH belum diketahui.
Beberapa penelitian mengatakan adanya kecenderungan genetik, dan penenitian
lainnya mengatakan adanya peran ras. Sekitar 50% laki-laki di bawah usia 60 tahun
yang telah menjalani operasi BPH memiliki kemungkinan adanya faktor genetik yang
berperan. Bentuk ini kemungkinan besar merupakan sifat dominan autosomal, dan
kerabat laki-laki tingkat pertama dari pasien tersebut memiliki risiko relatif sekitar
empat kali lipat lebih besar.

Etiologi
Etiologi BPH tidak sepenuhnya diketahui, tetapi kemungkinan disebabkan oleh
multifaktorial dan dipengaruhi oleh sistem endokrin. Prostat tersusun dari komponen
stroma dan epitel, dan baik keduanya maupun salah satunya, dapat menimbulkan
nodul hiperplastik dan gejala yang terkait dengan BPH. Setiap elemen dapat
ditargetkan dalam skema tatalaksana BPH.
Pengamatan dan studi klinis pada laki-laki dengan jelas menunjukkan bahwa BPH
berada di bawah kontrol endokrin. Kastrasi menghasilkan regresi BPH dan perbaikan
gejala berkemih. Penelitian tambahan telah menunjukkan korelasi positif antara kadar
testosteron bebas dan estrogen dengan volume BPH. Peningkatan kadar esterogen
mungkin berperan dalam hubungan antara penuaan dan BPH karena peningkatan
kadar estrogen dapat menyebabkan induksi reseptor androgen, yang selanjutnya
mensensitisasi prostat untuk membebaskan testosteron. Ada bukti bahwa estrogen
yang bekerja melalui reseptor estrogen stroma dan epitel dapat berkontribusi sebagian
pada penyakit prostat. Faktor genetik atau lingkungan yang mempengaruhi
5a-reduktase tampaknya juga berperan dalam perkembangan BPH (Alan et al, 2008;
Gail et al, 2008).

Patologi
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, BPH berkembang pada zona transisi. Hal
ini merupakan proses hiperplastik yang dihasilkan dari peningkatan jumlah sel.
Evaluasi mikroskopis mengungkapkan adanya pola pertumbuhan nodular yang
terbentuk dari berbagai jumlah stroma dan epitel. Stroma terbentuk dari kolagen dan
otot polos. Perbedaan komponen histologis BPH dapat menjelaskan potensi
responsivitasnya terhadap terapi. Oleh karena itu, terapi dengan a-blocker dapat
berhasil pada pasien BPH yang memiliki komponen otot polos yang signifikan,
sementara pada pasien dengan BPH yang sebagian besar terdiri dari epitel mungkin
memiliki respons lebih baik terhadap inhibitor 5a-reduktase. Pasien dengan komponen
kolagen yang signifikan pada stroma mungkin tidak merespon pada kedua terapi.
Namun, respons penyakit terhadap suatu terapi tidak dapat diprediksi.
Ketika nodul BPH di zona transisi membesar, mereka menekan zona luar prostat
membentuk surgical capsule. Batas ini memisahkan zona transisi dari zona perifer
dan berfungsi sebagai bidang pembelahan untuk enukleasi terbuka selama
prostatektomi terbuka sederhana yang dilakukan untuk BPH.

Patofisiologi
Gejala BPH berhubungan dengan komponen obstruktif prostat atau respons
sekunder kandung kemih terhadap resistensi leher kandung kemih (outlet resistance).
Komponen obstruktif dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan obstruksi dinamis.
Ketika pembesaran prostat terjadi, obstruksi mekanik dapat terjadi akibat adanya
intrusi ke dalam lumen uretra atau leher kandung kemih, yang menyebabkan resistensi
leher kandung kemih yang lebih tinggi (higher bladder outlet resistance). Sebelum
zona prostat diklasifikasikan dalam tiga lobus prostat, yaitu median dan dua lobus
lateral, ukuran prostat pada pemeriksaan digital rectal examination (DRE) berkorelasi
buruk dengan gejala klinis karena lobus median sulit teraba.
Komponen dinamik dalam obstruksi prostat menjelaskan sifat gejala klinis yang
dialami oleh pasien. Stroma prostat yang terdiri dari otot polos dan kolagen kaya akan
saraf adrenergik. Kekuatan stimulasi otonom menentukan tonus pada uretra prostatik.
Pengobatan dengan a-blocker mengurangi tonus tersebut, sehingga menurunkan
resistensi outlet yang terjadi.
Gejala iritatif BPH merupakan respons sekunder terhadap peningkatan resistensi
saluran kemih. Obstruksi saluran kemih menyebabkan otot detrusor mengalami
hipertrofi dan hiperplasia serta adanya deposisi kolagen. Deposisi kolagen
kemungkinan menyebabkan penurunan elastisitas kandung kemih, selain itu,
instabilitas detrusor juga beperan. Pada pemeriksaan sitoskopik, penebalan kumpulan
otot detrusor terlihat sebagai trabekulasi. Jika dibiarkan, akan terbentuk herniasi
mukosa diantara otot detrusor tersebut, membentuk divertikula (disebut juga
divertikula palsu karena hanya terbentuk dari mukosa dan serosa).

Gejala Klinis
a. Gejala - Symptoms
Gejala klinis BPH dan dibagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala
obstruktif yaitu, hesitansi, kurangnya pancaran kencing, tidak puas saat berkemih,
double voiding (kencing 2 jam setelah kencing terakhir), straining to urinate
(mengejan saat kencing) dan urin menetes setelah kencing (postvoid dribbling).
Gejala iritatif yaitu, urgensi, frekuensi dan nocturia.
American Urological Association (AUA) mengembangkan kuisioner yang valid
dan dapat diandalkan dalam mengidentifikasi tatalaksana untuk pasien dan memonitor
respons pasien terhadap pasien. AUA Symptoms Score Questionnaire sudah di validasi
dan diterjemahkan secara luas, dan sekarang lebih umum disebut the International
Prostate Symptoms Score (IPSS).
IPSS merupakan alat yang sangat penting dalam mengevaluasi pasien dengan
BPH dan direkomendasikan untuk pasien sebelum mereka menjalani pengobatan.
Penilaian ini berfokus pada 7 item yang meminta pasien untuk mengukur tingkat
keparahan gejala obstruksif atau iritatif menggunakan skala 0-5. Dengan demikian,
skor dapat berkisar dari 0 hingga 35. IPSS dari 0-7 dianggap ringan, 8-19 dianggap
sedang, dan 20-35 dianggap buruk. Distribusi skor relatif untuk pasien BPH dan
subyek kontrol adalah, masing-masing, 20% dan 83% pada pasien dengan skor ringan,
57% dan 15% pada pasien dengan skor sedang, dan 23% dan 2% pada pasien dengan
skor buruk (McConnell et al, 1994). Seperti survei kualitas hidup lainnya, tingkat
literacy dan numeracy diperlukan untuk hasil yang valid. Versi multimedia dari IPSS
telah diusulkan dan lebih dapat diandalkan untuk digunakan pada populasi
berpendidikan rendah (Bryant et al, 2009).
Anamnesis terinci yang fokus pada saluran kemih harus dilakukan untuk
mengeksklusi gejala yang tidak disebabkan oleh prostat, seperti infeksi saluran kemih,
gangguan neurologis (neurogenic bladder), striktur uretra, atau kanker prostat.

b. Tanda - Signs
Pemeriksaan fisik, DRE, dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada pasien.
Catat ukuran dan konsistensi prostat, walaupun ukuran prostat (diukur melalui DRE)
tidak berhubungan dengan keparahan gejala atau tingkat obstruksi yang terjadi. BPH
biasanya menghasilkan pembesaran prostat yang halus, keras, dan elastis. Indurasi,
jika terdeteksi, harus diperkirakan adanya kemungkinan kanker dan dibutuhkan
evaluasi lebih lanjut (yaitu, antigen spesifik prostat [PSA], USG transrektal [TRUS],
dan biopsi).

c. Laboratorium Findings
Urinalisis dilakukan untuk mengeksluksi infeksi atau hematuria dan pengecekan
serum kreatinin untuk menilai fungsi renal. Insufisiensi renal dapat terjadi pada 10%
pasien prostatisme dan perlu dilakukan pencitraan saluran atas. Pasien dengan
insufisiensi renal memiliki risiko lebih besar untuk mengalami komplikasi
post-operasi BPH. Pemeriksaan PSA tidak wajib, tapi kebanyakan dokter akan
melakukan pemeriksaan tersebut pada evaluasi awal. PSA, dibanding dengan DRE
saja, dapat meningkatkan kemampuan mendeteksi CaP, tetapi karena ada banyak
tumpang tindih antara kadar PSA yang terlihat pada BPH dan CaP, penggunaannya
sampai saat ini masih kontroversial.
d. Imaging
Pencitraan saluran atas (USG renal atau CT urogram) direkomendasikan jika
BPH disertai penyakit saluran kemih lainnya atau komplikasi dari BPH (seperti,
hematuria, infeksi saluran kemh, insufisiensi renal, riwayat penyakit batu).

e. Cytoscopy
Sitoskopi tidak direkomdasikan secara rutin untuk menentukan tatalaksana
namun dapat membantu dalam pemilihan tatalaksana pembedahan pada pasien yang
memilih terapi invasif. Jika gejala obstruktif parah ditemukan pada pembesaran
prostat yang minimal, maka sitoskopi dapat berguna untuk mengidentifikasi leher
kandung kemih atas (high bladder neck), striktur uretra, atau patologis lainnya. Jika
BPH diikuti dengan hematuria, maka sitoskopi wajib dilakukan untuk menyingkirkan
patologi lainnya.

f. Tes Tambahan
Pengukuran laju aliran (flow rate), penentuan urin sisa postvoid (postvoid
residual urine), dan aliran tekanan (pressure-flow) dianggap opsional.
Sistometrogram dan profil urodinamik dilakukan pada pasien dengan dugaan penyakit
neurologis atau pasien yang gagal dalam operasi prostat.

Diagnosis Banding
Kondisi obstruktif lain pada saluran kemih bagian bawah, seperti striktur uretra,
kontraktur leher kandung kemih, batu kandung kemih, atau CaP, harus
dipertimbangkan ketika mengevaluasi laki-laki dengan dugaan BPH. Riwayat
instrumentasi uretra, uretritis, atau trauma sebelumnya harus dipertimbangkan untuk
menyingkirkan kemungkinan striktur uretra atau kontraktur leher kandung kemih.
Hematuria dan nyeri umumnya dikaitkan dengan batu kandung kemih. CaP dapat
dideteksi dari kelainan pada DRE atau peningkatan PSA.
Infeksi saluran kemih memiliki gejala serupa dengan iritasi BPH, yang dapat
dengan mudah diidentifikasi dengan urinalisis dan kultur; Namun, infeksi saluran
kemih juga bisa menjadi komplikasi BPH. Meskipun gejala iritatif juga berkaitan
dengan karsinoma kandung kemih, terutama karsinoma in situ, urinalisis biasanya
menunjukkan bukti hematuria. Demikian juga, pasien dengan gangguan kandung
kemih neurogenik mungkin memiliki banyak tanda dan gejala BPH, tetapi riwayat
penyakit neurologis, stroke, diabetes mellitus, atau cedera punggung mungkin tampak
juga. Selain itu, pemeriksaan dapat menunjukkan berkurangnya sensasi perineum atau
ekstremitas bawah atau perubahan tonus sphincter rektal atau refleks bulbocavernosus.
Perubahan simultan dalam fungsi usus (konstipasi) juga dapat menunjukkan
kemungkinan gangguan berasal dari neurologis.

Tatalaksana
Setelah pasien dievaluasi, pasien harus diberitahu mengenai jenis tindakan medis
yang dapat dilakukan untuk menangani BPH. Dianjurkan bagi pasien untuk
berkonsultasi dengan dokternya untuk membentuk keputusan berdasarkan efek relatif
dan efek samping dari pengobatan.
Rekomendasi perawatan khusus dapat ditawarkan untuk kelompok pasien tertentu.
Pasien yang memiliki gejala ringan (skor IPSS, 0-7) disarankan untuk menunggu
dengan waspada (Watchful waiting). Di sisi lain spektrum terapeutik, indikasi bedah
dimulai dari refraktori retensi urin sampai manajemen medis dan upaya pengangkatan
kateter, infeksi saluran kemih berulang, gross hematuria berulang, batu kandung
kemih, insufisiensi ginjal, atau divertikula kandung kemih besar.

a. Watchful Waiting
Penelitian mengenai perjalanan alami BPH masih sangat sedikit. Risiko
terjadinya perburukan ataupun komplikasi masih tidak pasti. Namun, pada laki-laki
dengan gejala BPH, dapat dipastikan bahwa perburukan tidak pasti terjadi dan ada
kemungkinan mengalami perbaikan atau resolusi secara spontan.
Studi retrospektif mengenai perjalanan alami BPH seringkali mengalami bias,
biasanya berhubungan dengan pemilihan subjek dan seberapa jauh follow up
dilakukan. Sangat sedikit studi prospektif yang membahas perjalanan alami BPH.
Sebuah studi besar acak membandingkan finasteride dengan plasebo pada laki-laki
dengan gejala BPH sedang hingga berat dan perbesaran prostat pada DRE
(McConnell et al, 1998). Pasien dalam kelompok plasebo memiliki risiko 7%
mengalami retensi urin dalam 4 tahun kedepan.
Seperti disebutkan sebelumnya, penantian yang waspada (Watchful waiting)
adalah tatalaksana yang tepat untuk laki-laki dengan skor ringan (0-7). Tatalaksana ini
juga dapat dilakukan pada laki-laki dengan gejala sedang atau berat jika mereka
memilihnya. Interval optimal untuk follow up atau titik akhir spesifik untuk intervensi
belum ditentukan.

b. Terapi Medis – Medical Therapy


1. A-blockers
Prostat dan kandung kemih manusia memiliki a1-adrenoreseptor, dan prostat
menunjukkan respons kontraktil pada agonis yang sesuai. Sifat kontraktil dari prostat
dan leher kandung kemih tampaknya dimediasi terutama oleh subtipe a1a-reseptor.
Pada beberapa pasien, a-blokade telah terbukti menyebabkan perbaikan signs and
symptoms dari BPH. A-blocker dapat diklasifikasikan berdasarkan selektivitas
reseptornya dan juga waktu paruhnya (Tabel 23-2).
Penoksibenzamin dan prazosin merupakan prototype nonselektif dan selektif
a-bloker, namun sekarang, mereka jarang digunakan. Long acting a1-blocker
diberikan 1 kali sehari, namun titrasi dosis masih diperlukan. Terazosin diberikan
dengan dosis inisial 1mg/hari selama 3 hari dan ditingkatkan menjadi 2 mg/hari
selama 11 hari lalu 5mg/hari. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 10mg/hari jika
dibutuhkan. Terapi dengan doksazosin diberikan dengan dosis insisial 1mg/hari
selama 7 hari dan ditingkatkan menjadi 2mg/hari selama 7 hari, lalu 4mg/hari. Dosis
dapat ditingkatkan menjadi 8mg/hari jika diperlukan. Efek samping yang dapat timbul
yaitu, ortostatik hipotensi, pusing, lelah, ejakulasi retrogade, rinitis dan sakit kepala.
Blokade a1a-reseptor secara selektif (yang terletak pada prostat dan leher kandung
kemih) menghasilkan efek samping sistemik yang lebih sedikit (terutama
kardiovaskular). Hal ini menghindari perlunya titrasi dosis dengan tamsulosin,
alfuzosin dan sildosin. Efek samping lain seperti ejakulasi retrograde masih dapat
terjadi.
Beberapa uji coba random, tersamar ganda, terkotrol placebo, membandingkan
a-blocker dengan placebo terlah membuktikan keamanan dan kemanjuran semua obat
tersebut.

2. 5a-Reductase inhibitors
Finasteride merupakan 5a-reduktase inhibitor yang menghambat perubahan
testosterone menjadi dihidrotestosterone (DHT). Obat ini mempengaruhi komponen
epitel pada prostat, menyebabkan reduksi ukuran kelenjar dan perbaikan gejala.
Terapi selama 6 bulan dibutuhkan untuk mendapatkan efek maksimum pada ukuran
prostat (reduksi sebanyak 20%) dan perbaikan gejala.
Beberapa uji random, tersamar ganda, dan terkontrol placebo membandingan
finasteride dengan placebo. Efektivitas, keamanan dan daya tahan sudah terbukti.
Namun, perbaikan simpotomatis hanya terlihat pada laki-laki dengan perbesaran
prostat (>40cm3). Efek samping jarang terjadi, termasuk penurunan libido, penurunan
volum ejakulasi dan impotensi. Serum PSA berkurang setidaknya 50% pada pasien
yang diterapi dengan finasteride, namun dapat beragam pada tiap individu.
Dutasteride berbeda dengan finasteride, karena dutasteride menginhibisi kedua
isoenzim 5a-reduktase. Serupa dengan finasteride, dutasteride mengurangi kadar
serum PSA dan volum total prostate. Uji random, terkontrol placebo telah
menunjukkan efektivitas dutasteride dalam mengurangi gelaja, skor gejala, laju aliran
urin puncak dan penurunan risiko retensi urin akut dan kebutuhan akan pembedahan.
Efek samping jarang terjadi, termasuk disfungsi erektil, penurunan libido,
ginekomastia dan gangguan ejakulasi. Beberapa studi membandingkan finasteride dan
dutasteride head-to-head. Sebuah analisis retrospektif tahun 2000an pada >5000
laki-laki berusia >65 tahun yang ditatalaksana dengan 5a-reduktase inhibitor
menunjukkan perbedaan kecil namun signifikan, yaitu tingkat retensi urin 12% untuk
dutasteride dan 14,7% untuk finasteride (p = 0,0042) dan tingkat operasi prostat yaitu,
3,9% dan 5,1% (Fenter et al, 2008).

3. Terapi kombinasi
Penelitian random, tersamar ganda, terkontrol plasebo pertama yang menyelidiki
kombinasi α-blocker dan 5α-reductase inhibitor adalah uji yang membandingkan
plasebo, finasteride saja, terazosin saja, dan kombinasi finasteride dan terazosin
(Lepoer et al, 1996). Lebih dari 1,200 pasien berpartisipasi, dan penurunan signifikan
dalam IPSS dan peningkatan laju aliran urin terlihat hanya pada kelompok yang
mengandung terazosin. Namun, harus diketahui bahwa pembesaran prostat bukanlah
kriteria inklusi; pada kenyataannya, ukuran prostat dalam penelitian ini jauh lebih
kecil daripada dalam uji coba terkontrol sebelumnya yang menggunakan finasteride
(32 vs 52 cm3). McConnell dkk melakukan uji coba jangka panjang, tersamar ganda
yang melibatkan 3,047 laki-laki untuk membandingkan efek plasebo, doxazosin,
finasteride, dan terapi kombinasi untuk melihat perkembangan klinis BPH
(McConnell et al, 2003). Risiko perkembangan klinis keseluruhan (didefinisikan
sebagai peningkatan 4 poin dari baseline dalam IPSS, retensi urin akut, inkontinensia
urinary, insufisiensi ginjal, atau infeksi saluran kemih berulang) secara signifikan
dikurangi dengan doxazosin (pengurangan risiko 39%) dan finasteride (pengurangan
risiko 34%), dibandingkan dengan plasebo. Pengurangan risiko yang dengan terapi
kombinasi (pengurangan risiko 66%) secara signifikan lebih besar daripada dengan
doxazosin atau finasteride saja. Pasien yang paling mungkin mendapat manfaat dari
terapi kombinasi adalah mereka yang risiko progresivitasnya sangat tinggi, umumnya
pasien dengan kelenjar yang lebih besar dan nilai PSA yang lebih tinggi.

4. Fitoterapi
Fitoterapi mengacu pada penggunaan tanaman atau ekstrak tumbuhan untuk
tujuan pengobatan. Penggunaan fitoterapi di BPH telah populer di Eropa selama
bertahun-tahun, dan penggunaannya di Amerika tumbuh sebagai hasil antusiasme
pasien. Beberapa ekstrak tanaman telah dipopulerkan, termasuk saw palmetto berry
(Serenoa repens), kulit kayu Pygeum africanum, akar Echinacea purpurea dan
Hypoxis rooperi, ekstrak serbuk sari, dan daun poplar yang bergetar. S. repens
menjadi tumbuhan yang paling banyak dipelajari, biasanya dengan dosis 320mg/hari.
Mengingat regulasi industri suplemen gizi yang buruk, kandungan tablet yang
sebenarnya dapat sangat bervariasi dari dosis yang tercantum pada label produk
(Feifer et al, 2002). Sebuah percobaan klinis prospektif acak dari saw palmetto
menunjukkan tidak ada manfaat di luar plasebo, baik untuk peningkatan IPSS atau
laju aliran urin (Bent et al, 2006). Tinjauan sistematis yang diperbarui termasuk ini
dan uji coba lainnya mengkonfirmasi tidak adanya berbaikan dibandingkan dengan
plasebo untuk pendekatan ini (Wilt et al, 2009).

c. Terapi Operatif
1. Transurethral resection of the prostate (TURP)
Sebagian besar prostatektomi subtotal yang dilakukan untuk BPH dilakuakn
secara endoskopi. Sebagian besar prosedur ini melibatkan penggunaan anestesi spinal
atau umum dan biasanya memerlukan rawat inap semalam. Besar serta durabilitas
perbaikan IPSS dan flow rate setelah TURP lebih baik dibandingkan terapi invasif
minimal lainnya. Namun, durasi rawat inap setelah TURP jauh lebih lama. Risiko
setelah TURP termasuk ejakulasi retrogade (75%), impoten (5-10%), dan
inkontinensia (<1%). Komplikasi berupa perdarahan; striktur uretra atau kontraktur
leher kandung kemih; perforasi kapsul prostat dengan ekstravasasi; dan jika buruk,
terjadi transurethral resection (TUR) syndrome yang terjadi karena kondisi
hipervolemik, hiponatremik akibat absorbsi larutan irigasi hipotonik.
Manifestasi klinis dari sindrom TUR termasuk mual, muntah, kebingungan,
hipertensi, bradikardia, dan gangguan penglihatan. Risiko sindrom TUR meningkat
dengan waktu reseksi > 90 menit dan biasanya terlihat pada laki-laki yang lebih tua.
Perawatan termasuk diuresis dan, dalam kasus yang parah, pemberian saline
hipertonik. TURP sekarang dapat dilakukan dengan elektroda bipolar, memungkinkan
reseksi dilakukan dalam kondisi irigasi saline. Pendekatan ini menghilangkan
kemungkinan hiponatremia yang bertanggung jawab untuk sindrom TUR, meskipun
penyerapan volume cairan yang signifikan masih dapat terjadi pada reseksi yang
berkepanjangan.

2. Transurethral incision of the prostate


Laki-laki dengan gejala sedang sampai berat dan memiliki prostat yang kecil
seringkali memiliki posterior commissure hyperplasia (elevated bladder neck). Pasien
seperti ini lebih baik ditatalkasana dengan insisi pada prostat. Prosedur ini lebih cepat
di lakukan dan kurang membahayakan dibanding TURP. Pada pasien yang sesuai,
hasilnya sama baiknya dengan TURP, dengan kejadian ejakulasi retrogade yang lebih
rendah (25%). Teknik ini melibatkan dua sayatan menggunakan pisau Collins pada
posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai pada sisi distal lubang uretra dan diperluas kearah
luar menuju verumontanum.

3. Transurethral vaporization of the prostate (TUVP)


TUVP semakin populer dalam beberapa tahun takhir, teknik ablasi menggunakan
foto atau elektroevaporasi untuk mengablasi jaringan prostat penyebab obstruksi.
Dua alat yang paling umum digunakan yaitu neodymium-doped
yttrium-aluminium-garnet (Nd:YAG) KTP “GreenLight” laser (yang akan diserap
oleh hemoglobin) dan plasma vaporization “Button” electrode (bekerja dengan
generator bipolar kontemporer standar yang digunakan pada TURP bipolar).
Seperti halnya TURP modern, prosedur ini dilakukan dalam kondisi irigasi saline.
Tujuan prosedur ini yaitu membentuk defek pada prostat sentral serupa dengan yang
dibentuk oleh TURP tradisional, namun dengan perdarahan minimal dan risiko
perforasi yang lebih rendah. Kerugiannya adalah, prosedur ini memperburuk gejala
iritatif dalam jangka pendek dan memiliki durabilitas yang lebih rendah dibandingkan
TURP standar. Selain itu, prosedur ini menghancurkan jaringan sehingga tidak ada
specimen yang bisa dikirim ke bagian patologi untuk di review.

4. Holmium laser enucleation of the prostate (HoLEP)


Jika pada TURP dilakukan reseksi progresif dan ablasi jaringan dari utretra
kearah luar, HoLEP mendiseksi secara anatomi pada zona central dan perifer prostat.
Pendekatan ini lakukan untuk memberikan cacat terbesar dan durabilitas yang lebih
panjang, namun progresivitas penyembuhan lebih lambat dibanding TURP atau
TUVP.

5. Simple (subtotal) prostatectomy


Ketika prostat terlalu besar untuk diangkat secara endoskopi, maka dilakukan
enukleasi terbuka. Prostat yang “terlalu besar” bergantung pada setiap subjek dan
akan berbeda bergantung pada pada pengalaman dokter beda dengan TURP. Kelenjar
dengan volume >100g biasanya dipertimbangkan untuk enukleasi terbuka.
Prostatektomi terbuka juga dapat dilakukan jika terdapat divertikulum kandung kemih
atau batu ginjal besar atau jika litotomi dorsal tidak dapat dilakukan.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan dengan pendekatan suprapubic atau
retropubic. Suprapubic prostatektomy dilakukan secara trasversal dan merupakan
pembedahan pilihan jika terdapat penyakit kandung kemih lainnya. Setelah kandung
kemih dibuka, insisi semisirkular dibentuk di mukosa kandung kemih, sebelah distas
dari trigonum. Bidang diseksi dimulai secara tajam, selanjutnya secara tumpul dengan
jari menghilangkan adenoma. Diseksi pada sisi apeks harus dilakukan dengan tajam
untuk mencegah cedera pada spincter distal. Setelah adenoma diangkat, hemostasis di
pertahankan dengan pengikatan jahitan, dan kateter urethra serta suprapubic
dimasukkan sebelum penutupan. Pada prostatektomi retropubik sederhana, kandung
kemih tidak dimasukkan. Sebaliknya, sayatan melintang dibuat dalam kapsul bedah
prostat, dan adenoma dienukleasi seperti dijelaskan sebelumnya. Pada akhir prosedur,
hanya kateter uretra yang dibutuhkan. Prostatektomi sederhana dengan bantuan robot
telah dilaporkan dalam kasus belakangan ini (Sutherland et al, 2011).
6. Transurethral microwave thermotherapy
Gelombang mikro hipertermia paling sering diberikan dengan kateter transuretral.
Beberapa perangkat akan mendinginkan mukosa uretra untuk mengurangi risiko
cedera. Namun, jika suhu < 45 ° C, pendinginan tidak perlu dilakukan. Terdapat
peningkatan IPSS dan laju aliran setelah terapi, tetapi karena prosedur ini dilakukan
tanpa verifikasi visual ablasi jaringan, hasilnya pun beragam. Namun, insentif
keuangan yang kuat telah mendorong pemakaian yang sering dalam konteks klinis
tertentu.
Masih sedikit data prospektif yang tersedia untuk cukup membandingkan salah
satu dari prosedur di atas dengan TURP atau dengan satu sama lain. Sebuah
meta-analisis baru-baru ini menemukan beberapa perbedaan, tetapi studi tersebut
cenderung kecil dan dengan tindak lanjut yang terbatas (Ahyai et al, 2010). Semua
prosedur yang baru memiliki harga lebih mahal daripada TURP, dan studi efektivitas
biaya komparatif sangat diperlukan.

Daftar Pustaka
McAninch, JW, Lue, TF 2013. Neoplasms Of The Prostate Gland dalam Smith &
Tanagho’s General Urology. Edisi 18, United States: Lange. Pp 350-357

Nama Koass : M. Ilham Fadhlir Rahman S.


NIM :1820221161
Stase : Bedah RSUP Persahabatan
Periode : 17 Juni - 24 Agustus 2019
Intitusi : FK UPN Veteran Jakarta
Dokter Pembimbing : dr. Doddy W. Hami Seno, Sp.U

Anda mungkin juga menyukai