Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latarbelakang

Perjanjian menjadi instrument untuk mengakomodir atau mempertemukan kepentingan


yang berbeda antara 2 (dua) pihak atau lebih. Melalui perjanjian, perbedaan tersebut
diakomodasi dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para
pihak. Dalam kontrak bisnis pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan
tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodasi melalui mekanisme
hubungan kontraktual yang bekerja secara proposional.1

Asas kebebasan berkontrak yang merupakan dasar sebuah kontrak atau perjanjian, secara
implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai
kedudukan yang seimbang. Dengan demikian, diharapkan akan muncul perjanjian atau
kontrak yang adil dan seimbang pula bagi para pihak. Dalam perjanjian bisnis pertanyaan
mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di
antara para pihak terakomodasi melalui mekanisme hubungan kontraktual yang bekerja
secara proposional2. Namun demikian dalam praktik masih banyak ditemukan model
perjanjian atau kontrak baku yang cenderung dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan
tidak adil, dimana berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang, antara pihak yang
mempunyai bargaining position kuat (baik karena penguasaan modal/ dana, teknologi
maupun skill dengan pihak yang lemah bargaining position nya Perjanjian baku adalah suatu

Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian : Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial , Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2013, hlm 1.

Ibid, hlm 2
perjanjian dengan isi dan susunannya sudah baku. Perjanjian baku seringkali digunakan oleh
perusahaan dengan tujuan agar perjanjian dapat dilakukan secara cepat dan praktis3.

Penggunaan perjanjian baku dibatasi dan terdapat sejumlah larangan terhadap


pencantuman klausul baku seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang - Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pembatasan penggunaan terhadap perjanjian
baku dimaksudkan untuk mewujudkan asas proposionalitas. Merujuk kepada dalam pasal 18
ayat 1 huruf g undang- undang no 5 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Banyak sekali hal ini terjadi didalam
kehidupan nyata bahwa memang peraturan dan kenyataan tidak sama melainkan ada suatu
kesenjangan, apakah hal tersebut terjadi karena para pelaku usaha atau pun konsumen tidak
mengetahui tentang adanya aturan undang undang perlindungan konsumen tersebut.

Seperti halnya Saat ini di cluster perumahan kebanyakan diterapkan ‘sistem parkir’
(Boom Gate) seperti di area publik mall atau gedung perkantoran, sebagai penghuni
diwajibkan mendapatkan ‘smart card’ sebagai kartu akses dengan mendepositokan sejumlah
uang. Tanpa ‘smart card’ penghuni akan diperlakukan sama seperti tamu pada saat memasuki
cluster diwajibkan untuk menyerahkan identitas seperti KTP untuk kemudian diberikan
‘karcis parkir’, namun Apakah konsumen masih mempunyai hak untuk menolak
menyerahkan identitas mengingat si konsumen adalah penghuni dan sifatnya bukan
berkunjung ke suatu tempat, pada kenyataannya ada saja kemungkinan bahwa konsumen
membutuhkan identitas tersebut untuk suatu urusan saat berada di rumah. Jika menyerahkan
identitas pada malam hari lalu keluar pagi hari, terjadi pergantian shift petugas, bagaimana
kalau sampai terjadi identitas tersebut hilang.

Tanpa menunjukkan ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ saat hendak keluar cluster, lalu
konsumen tidak diperbolehkan untuk keluar oleh petugas tanpa adanya toleransi, pada
kenyataannya kadang-kadang ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ tersebut tertinggal ataupun

Gatot Supramono, Perjanjian Utang - Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm 19.
terselip Dikarenakan hal ini konsumen menjadi lebih takut untuk tidak membawa ataupun
kehilangan ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ dibandingkan KTP, SIM atau identitas lain.
Sebagai seorang penghuni sekaligus konsumen yang membayar iuran keamanan dan
lingkungan setiap bulannya konsumen ini tidak diperlakukan baik sebagaimana layaknya
seorang penghuni dengan aturan-aturan yang dibuat tanpa mengindahkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan konsumen dalam hal ini menandatangani
pengikatan jual beuli yang dimana konsumen telah menyetujui perjanjian perjanjian saat
membeli rumah tersebut.

2. Identifikasi Masalah

1.Apakah pelaku usaha cluster dapat dikatagorikan terhadap isi pasal 18 ayat (1) huruf g
undang undang perlindungan konsumen no 5 tahun 1999 ?

2. Bagaimana pertanggung jawaban pelaku usaha cluster apabila melakukan pelanggaran


pasal 18 ayat 1 hururf g?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian secara otentik yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-undang


sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih. Terhadap rumusan tersebut Badrulzaman, berpendapat bahwa walaupun
definisi perjanjian tersebut sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap
karena hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja dan di sisi lain terlalu luas karena
dapat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai perbuatan yang
terdapat dalam bidang hukum keluarga.4

Akibat dari pada tidak lengkap dan terlalu luasnya rumusan perjanjian
yang diberikan oleh pembentuk Undang-undang tersebut di atas akibatnya muncullah
berbagai pandangan sebagai doktrin tentang definisi yang diberikan oleh para penulis hukum.

Badrulzaman, Mariam Barus., Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar),
Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, BPHN, Jakarta : Bina Cipta, 1994) Hal 19
Subekti, berpendapat bahwa suatu persetujuan atau perjanjian itu adalah suatu peristiwa di
mana seorang, berjanji kepada seorang lain atau dimana dan orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.5

Dari definisi di atas intinya adalah persetujuan itu adalah sebuah janji antara dua
orang atau lebih yang melahirkan ikatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu demi
kepentingan para pihak. Kamus Hukum Indonesia, memberikan arti terhadap kontrak sebagai
persetujuan yang bersanksi hokum antara dua orang atau lebih untuk melakukan atau tidak
melakukan kegiatan.6

Dari berbagai definisi tersebut di atas menurut hemat kami bahwa perjanjian adalah
perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya dengan satu
orang atau lebih yang bertujuan untuk melahirkan, memodifikasi atau mengakhiri hubungan
hukum yang terletak dibidang harta kekayaan.

2. Asas-asas Hukum Perjanjian

Beberapa pemikiran mengenai sistem hukum nasional yang akan datang menyatakan
bahwa asas itu adalah suatu pemikiran yang luas yang dipakai sebagai asas melalui abstraksi
dari satu atau beberapa aturan hukum, abstraksi maksudnya adalah sesuatu yang telah
dilepaskan dari ciri-ciri khusus karena sifatnya khusus itu dipisahkan sehingga yang tinggal
hanyalah sesuatu yang sifatnya umum.

Ada berbagai asas yang paling menonjol serta diakui oleh para pakarhukum perdata yang
menjadi kerangka acuan dalam setiap membuat perjanjian pada umumnya yaitu :

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, PT. Intermasa,2001), hal. 1.

Sudarsono, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2002), hal. 228
a. Asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk membuat
perjanjian baik mengenai bentuk maupun isinya. Asas ini juga disebut asas
otonom yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum yang mereka
pilih di antara mereka. Asas kebebasan berkontrak ini berhubungan dengan isi
perjanjian (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata).

b. Asas konsensualisme adalah suatu persetujuan kehendak yang berhubungan


dengan lainnya suatu perjanjian (vide Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata).

c. Asas kekuatan mengikat / kepastian hukum adalah setiap perjanjian yang dibuat
secara sah sebagai Undang-undang artinya perjanjian itu dapat dipaksakan
bilamana salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Asas kekuatan mengikat
atau asas kepastian hokum ini berhubungan dengan akibat perjanjian (vide Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata).7

Ada beberapa asas selain di atas, :

a. Asas persamaan hukum adalah menempatkan para pihak dalam persamaan derajat
walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, dan lainnya. Kedua belah
pihak dalam perjanjian harus saling hormat menghormati dalam pemenuhan
perjanjian.

b. Asas keseimbangan adalah bahwa kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut


pelunasan prestasi namun kreditur dan debitur dibebankan untuk melaksanakan
perjanjian dengan itikad baik.

c. Asas moral adalah faktor-faktor yang memberi motivasi pada yang bersangkutan
untuk melakukan perbuatan hukum didasarkan padamoral (kesusilaan) sebagai
panggilan dari hati nuraninya.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hal.97.


d. Asas kepatuhan adalah asas yang berhubungan dengan isi perjanjian artinya
melalui asas ini ukuran adanya hubungan hokum ditentukan juga oleh rasa
keadilan dalam masyarakat.

e. Asas kebiasaan adalah asas bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang diatur secara tegas akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan
kebiasaan yang diikuti.

Semua asas di atas ternyata dapat dikembalikan pada tiga asas :

a. Yang berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian yaitu mencakup : asas


konsesualisme, asas persamaan hukum, asas keseimbangan dan asas kebiasaan.

b. Yang berhubungan dengan akibat perjanjian mencakup asas kekuatan


mengikat/kepastian hukum, asas moral dan asas kepatutan.

c. Yang berhubungan dengan isi dari perjanjian adalah mencakup asas kebebasan
untuk membuat perjanjian atau otonom.8

3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya perjanjian diperlukan4 syarat yaitu :

a. Adanya Kesepakatan

b. Cakap untuk Membuat Perjanjian

c. Suatu Hal Tertentu

d. Suatu Sebab yang Halal

4. Unsur-Unsur Perjanjian

Sudikno Mertokusumo, op. cit, hal. 24.


Sehubungan dengan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian sebagaimana dibedakan
beberapa bagian dari perjanjian menjadi bagian inti dan bagian yang tidak inti. Bagian inti
disebut dengan bagian essentialia dan bagian yang tidak inti terdiri dari bagian naturalia dan
aksidentialia. Bagian essentialia adalah bagian inti yang merupakan sifat yang harus ada
dalam setiap perjanjian misalnya adanya kesepakatan para pihak, kecakapan, obyek tertentu
dan kausa yang dibolehkan oleh hukum sebagaimana dirumuskan melalui Pasal 1320
KUHPerdata. Bagian naturalia adalah bagian yang merupakan sifat bawaan dari perjanjian
sehingga secara diam-diam dan tidak perlu diperjanjikan misalnya menanggung bahwa tidak
ada cacat yang tersembunyi dari benda yang dijadikan obyek dalam perjanjian. Bagian
aksidentialia adalah bagian yang merupakan sifat yang melekat dan baru ada9dalam perjanjian
bila secara tegas diperjanjikan oleh para pihak misalnya mengenai penetapan domisili, cara
dan tempat pembayaran atau cara dan tempat penyerahan barang.20

5. Perjanjian Baku

Pemerintah Indonesia secara resmi melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1999


menggunakan istilah klausula baku sebagaimana dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10
Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa klausula
baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Arti dan perjanjian standar itu perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausula dibakukan
oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan adalah beberapa hal
lainnya yang sifatnya sangat spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan demikian
perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh produsen/pelaku

Munir Fuady, op.cit, hal. 72.


usaha/penjual yang mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) sehingga pihak
konsumen hanya mempunyai 2 pilihan saja yaitu menyetujui atau menolaknya real estate.10

Ciri-ciri secara umum standard contract sebagai berikut : standard contracts disiapkan terlebih
dahulu secara massal, isinya ditentukan secara pihak oleh pihak yang kuat kedudukan
ekonominya, debitur selalu menerimanya karena terdesak oleh kebutuhannya, bentuknya
tertentu, konsumen tidak ikut menentukan isi perjanjian, konsumen hanya mempunyai pilihan
untuk menerima atau tidak menerima11.22

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa implikasinya dalam transaksi perjanjian


jual-beli perumahan adalah memenuhi ciri-ciri perjanjian baku yaitu :

a. Bentuk perjanjian tertulis Yang dimaksud dengan perjanjian disini adalah


perjanjian berupa naskah perjanjian secara keseluruhan dan dokumen bukti
perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata ataupun kalimat berupa
pernyataan kehendak yang dimuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis
berupa akte dibawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka perjanjian yang
memuat syarat-syarat baku tersebut selalu menggunakan kata-kata ataupun
susunan kalimat yang teratur dan sangat rapi.

b. . Format perjanjian dibakukan Sebuah format perjanjian meliputi model, rumusan


ataupun ukuran format ini dibakukan yaitu sudah ditentukan modelnya,
perumusannya maupun ukurannya sehingga tidak dapat diganti, diubah dibuat
dengan cara lain karena sudah tercetak. Model perjanjian dapat berupa naskah
perjanjian secara lengkap atau blangko formulir yang dilampiri dengan naskah
syarat-syarat perjanjian atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat

10

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000),120

11

Badrulzaman, KUHPerdata Buku II Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung:


Alumni, 1983), hal. 11
baku. Rumusan syarat-syarat perjanjian dibuatsecara rinci dengan menggunakan
nomor atau pasal-pasal atau dibuatsecara singkat berupa klausula-klausula tertentu
yang mengandung artitertentu yang hanya dipahami oleh pengusaha, sedangkan
bagi konsumen akan sulit memahami dalam waktu yang singkat.

c. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha Syarat-syarat perjanjian yang


merupakan wujud pernyataan kehendak ditentukan secara sepihak oleh pengusaha
ataupun organisasi pengusaha. Oleh karena syarat-syarat ini ditentukan sepihak
oleh pengusaha maka cenderung sifatnya akan lebih menguntungkan pengusaha
dari pada konsumen. Hal inipun dapat dilihat dari syarat-syarat eksonerasi berupa
pembebasan tanggung jawab pengusaha serta tanggung jawab itu dirumuskan
menjadi beban bagi konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat
diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, sedangkan konsumen
cukup menandatangani bila konsumen menyetujuinya.

d. Konsumen hanya menerima atau menolak Bilamana konsumen bersedia


menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya maka ia wajib
menandatanganinya. Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen
bersedia untukn memikul tanggung jawab walaupun ia sesungguhnya keberatan
dengan syarat-syarat yang ditetapkan secara sepihak tersebut. Jika konsumen tidak
setuju dengan syarat-syarat yang disodorkan itu iapun tidak boleh melakukan
perubahan terhadap syarat baku.

e. Perjanjian baku menguntungkan pengusaha Di dalam perjanjian tertulis yang


dibakukan, syarat-syarat bakunya dimuat secara lengkap dalam naskah perjanjian
atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah dari formulir perjanjian atau
ditulis dalam dokumen bukti perjanjian. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
perjanjian baku yang dirancang secara sepihak menguntungkan pengusaha dalam
hal : efisiensi biaya, waktu dan tenaga. Perjanjian yang dibakukan sangat praktis
karena sudah tersedia naskah siap pakai, penyelesaian transaksi relatif singkat,
homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
6. klausula baku

Dalam hukum perjanjian, istilah Klausula Baku disebut juga: “Klausula Eksonerasi”.
Dimana dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan klausa baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.

Klasula baku ini banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak, dan dalam
bahasa umum sering disebut sebagai: “disclamer”, yang bertujuan untuk melindungi pihak
yang memberikan suatu jasa tertentu. Seperti jasa penjualan pada supermarket/mall, bank,
jasa angkutan (kereta api, pesawat terbang, kapal laut), jasa delivery dan lain sebagainya.

Terdapat pula contoh-contoh klausula baku yaitu sebagai berikut :

a) Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau
disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa:

“​Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari
Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai ​mereka”

b) Kuitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :

“​Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” ;


“Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan​”
Diana tidak sendiri di dalam hal ini, banyak juga orang yang mengeluhkan masalah
kehilangan barang atau kendaraan di tempat parkir kepada Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI). menurut artikel di www.ylki.or.id ,selama ini, pengelola parkir terkesan
enggan mengganti kehilangan barang/ kendaraan di area parkir. Artinya, konsumen harus
menanggung sendiri resiko terjadinya kerusakan dan kehilangan atas kendaraan serta
barang-barang didalamnya. pengelola parkir nyaman berlindung dibawah Perda No.5 Tahun
1999 tentang Perparkiran, yang mencantumkan klausula baku di setiap tiket/karcis,
”​pengelola parkir tidak bertanggungjawab terhadap kehilangan kendaraan​”.

Selain itu terdapat pula klausula baku yang dikaji menurut undang-undang perlindungan
konsumen, yaitu :

Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menetapkan


bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang
bagi pelaku usaha, apabila :

1) Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;

3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas
barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli secara angsuran;

5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli konsumen;

6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan
atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8) Menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;

BAB III

PEMBAHASAN

1. Pelaku usaha cluster dapat dikatagorikan terhadap isi pasal 18 ayat (1) huruf g undang
undang perlindungan konsumen no 5 tahun 1999

Dalam pembahasan makalah ini, pelaku usaha cluster dasar pengaturan terhadap
pemberlakuan system parkir dengan smart card tersebut mengacu kepada perjanjian yang
dibuat antara developer dengan konsumen yang akan membeli rumah di daerah tersebut.
Maka perjanjian yang dianggap sah harus sesuai dengan ketetntuan pasal 1336 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Damana salah satu syarat sah adalah kesepakatan antara
para pihak, maka apabila perjanjian tersebut sudah memenuhi unsur syarat mengenai
kesepakatan antara pihak developer dengan pembeli rumah sudah melakukan kesepakatan
maka perjanjian tersebut sudah sah.

Selain melihat syarat sah mengenai kesepakatan antara pihak developer pengembang rumah
dengan pembeli rumah, developer juga harus memperhatikan ketentuan pasal 18
Umdnag-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen (UUPK), dalam
perjanjian antara developer dengnan pembeli rumah sebelumnya tidak ada kesepakatan
mengenai penggunaan “smart card” untuk masuk kekomplek rumah tersebut harus
menggunakan smart card tersebut, alasan yang digunakan oleh developer bahwa hal tersebut
sudah diperjanjikan dalam perjanjian juak-beli antara developer dengan pembeli, klausula
tersebut isinya adalah “pembeli akan tunduk kepada peraturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh developer”

Maka hal tersebut melanggar ketentuan pasal 18 nayat (1) huruf g UUPK yang berbunyi:

“ menyatkan tunduknya konsumen kepada peraturan yang beruapa aturan baru, tambajan
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”

Maka berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf g UUPK tersebut maka dapat dikategorikan
dengan kedalam klausula eksonerasi yang dilarang, karena developer dalam perjanjian
terdapat kalusula yang mengharuskan tunduknya konsumen terhadap aturan baru yang dibuat
oleh developer yang tidak pernah diperjanjian sebelumnya, maka pihak developer
menggunakan klausula eksonerasi yang dibuat dalam perjanjian jual-beli sebelumnya.

2. pertanggung jawaban pelaku usaha cluster apabila melakukan pelanggaran pasal 18 ayat 1
hururf g

Dalam hal ini developer yang mencantumkan klausula baku (eksonerasi) dalam perjanjian
jual-beli mengenai aturan tambahan yang belum diatur sebelumnya melanggar ketentuan
pasal 18 ayat (1) huruf g, maka klausula baku dalam perjanjian jual-beli antara developer
dengan pembeli tersebut harusnya batal demi hukum, hal ini diatur dalam pasal 18 ayat (3)
UUPK yang berbunyi:

“ Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hokum”

Selain itu developer tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut secara


pidana dengan dikenakan sanksi pidana yang diatur pada Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan
konsumen dengan pidana penjara paling lama (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
2.000.000.000 (dua miliyar rupiah).
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

jadi, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, pelaku usaha dalam hal ini developer
sudah terdapat indikasi melakukan klausula baku yang dimana isi dari perjanjian tersebut
dibuat sepihak tanpa ada pemberitahuan dan persetujuan terlebih dahulu sebelumnya kepada
pemilik rumah yang dalam hal ini disebut konsumen. Pemilik rumah yang dalam hal ini
adalah yang berkuasa atas rumah yang dia tinggali dan juga berkewajiban dalam membayaran
iuran keamanan dan kebersihan malah jusutru diperlakukan tidak sepantasnya oleh pihak
developer, yang dimana pemilik rumah diharuskan memakai kartu akses ketika hendak
memasuki komplek cluster perumahan mereka tersebut. Hal tersebut membuat
ketidaknyamanan bagi si pemilik rumah yang dimana mereka diharuskan untuk
meninggalkan kartu identitas berupa KTP atau SIM atau juga kartu identitas lainnya di pos
petugas keamanan cluster tersebut apabila si pemilik rumah tidak membawa kartu akses
tersebut. Padahal keharusan menggunakan kartu akses tersebut sebelum nya belum pernah
diberitahukan dan diperjanjikan pada saat pembuatan perjanjian jual beli rumah antara pihak
pembeli yaitu konsumen dan developer yaitu pelaku usaha. Hal tersebut jelas telah melanggar
ketentuan yang terkandung didalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999 yang
secara tegas melarang membuat atau mencantumkan klausula baku

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus. 1994. Perlindungan Terhadap Konsumen DilihatDari


Sudut Perjanjian Baku (Standar). Simposium Aspek-aspek Hukum. 2001. Komposisi Hukum
Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan I,Bandung.

Munir Fuady. 1994. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek. Citra Aditya Bakti,Bandung.

Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta.

Subekti. 1996. Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional. Alumni, Bandung.

Subekti. 2001. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa, Cet : XVIII, Jakarta.

Sudarsono. 2002. Kamus Hukum Edisi Baru, PT. Asdi Mahasatya, Cetakan 3,Jakarta.

Sudikno Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum. Leberty, Yogyakarta.


Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian : Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial ,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013

Gatot Supramono, Perjanjian Utang - Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013,

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Anda mungkin juga menyukai