PENDAHULUAN
1. Latarbelakang
Asas kebebasan berkontrak yang merupakan dasar sebuah kontrak atau perjanjian, secara
implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai
kedudukan yang seimbang. Dengan demikian, diharapkan akan muncul perjanjian atau
kontrak yang adil dan seimbang pula bagi para pihak. Dalam perjanjian bisnis pertanyaan
mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di
antara para pihak terakomodasi melalui mekanisme hubungan kontraktual yang bekerja
secara proposional2. Namun demikian dalam praktik masih banyak ditemukan model
perjanjian atau kontrak baku yang cenderung dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan
tidak adil, dimana berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang, antara pihak yang
mempunyai bargaining position kuat (baik karena penguasaan modal/ dana, teknologi
maupun skill dengan pihak yang lemah bargaining position nya Perjanjian baku adalah suatu
Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian : Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial , Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2013, hlm 1.
Ibid, hlm 2
perjanjian dengan isi dan susunannya sudah baku. Perjanjian baku seringkali digunakan oleh
perusahaan dengan tujuan agar perjanjian dapat dilakukan secara cepat dan praktis3.
Seperti halnya Saat ini di cluster perumahan kebanyakan diterapkan ‘sistem parkir’
(Boom Gate) seperti di area publik mall atau gedung perkantoran, sebagai penghuni
diwajibkan mendapatkan ‘smart card’ sebagai kartu akses dengan mendepositokan sejumlah
uang. Tanpa ‘smart card’ penghuni akan diperlakukan sama seperti tamu pada saat memasuki
cluster diwajibkan untuk menyerahkan identitas seperti KTP untuk kemudian diberikan
‘karcis parkir’, namun Apakah konsumen masih mempunyai hak untuk menolak
menyerahkan identitas mengingat si konsumen adalah penghuni dan sifatnya bukan
berkunjung ke suatu tempat, pada kenyataannya ada saja kemungkinan bahwa konsumen
membutuhkan identitas tersebut untuk suatu urusan saat berada di rumah. Jika menyerahkan
identitas pada malam hari lalu keluar pagi hari, terjadi pergantian shift petugas, bagaimana
kalau sampai terjadi identitas tersebut hilang.
Tanpa menunjukkan ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ saat hendak keluar cluster, lalu
konsumen tidak diperbolehkan untuk keluar oleh petugas tanpa adanya toleransi, pada
kenyataannya kadang-kadang ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ tersebut tertinggal ataupun
Gatot Supramono, Perjanjian Utang - Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm 19.
terselip Dikarenakan hal ini konsumen menjadi lebih takut untuk tidak membawa ataupun
kehilangan ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ dibandingkan KTP, SIM atau identitas lain.
Sebagai seorang penghuni sekaligus konsumen yang membayar iuran keamanan dan
lingkungan setiap bulannya konsumen ini tidak diperlakukan baik sebagaimana layaknya
seorang penghuni dengan aturan-aturan yang dibuat tanpa mengindahkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan konsumen dalam hal ini menandatangani
pengikatan jual beuli yang dimana konsumen telah menyetujui perjanjian perjanjian saat
membeli rumah tersebut.
2. Identifikasi Masalah
1.Apakah pelaku usaha cluster dapat dikatagorikan terhadap isi pasal 18 ayat (1) huruf g
undang undang perlindungan konsumen no 5 tahun 1999 ?
TINJAUAN PUSTAKA
1.Pengertian Perjanjian
Akibat dari pada tidak lengkap dan terlalu luasnya rumusan perjanjian
yang diberikan oleh pembentuk Undang-undang tersebut di atas akibatnya muncullah
berbagai pandangan sebagai doktrin tentang definisi yang diberikan oleh para penulis hukum.
Badrulzaman, Mariam Barus., Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar),
Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, BPHN, Jakarta : Bina Cipta, 1994) Hal 19
Subekti, berpendapat bahwa suatu persetujuan atau perjanjian itu adalah suatu peristiwa di
mana seorang, berjanji kepada seorang lain atau dimana dan orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.5
Dari definisi di atas intinya adalah persetujuan itu adalah sebuah janji antara dua
orang atau lebih yang melahirkan ikatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu demi
kepentingan para pihak. Kamus Hukum Indonesia, memberikan arti terhadap kontrak sebagai
persetujuan yang bersanksi hokum antara dua orang atau lebih untuk melakukan atau tidak
melakukan kegiatan.6
Dari berbagai definisi tersebut di atas menurut hemat kami bahwa perjanjian adalah
perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya dengan satu
orang atau lebih yang bertujuan untuk melahirkan, memodifikasi atau mengakhiri hubungan
hukum yang terletak dibidang harta kekayaan.
Beberapa pemikiran mengenai sistem hukum nasional yang akan datang menyatakan
bahwa asas itu adalah suatu pemikiran yang luas yang dipakai sebagai asas melalui abstraksi
dari satu atau beberapa aturan hukum, abstraksi maksudnya adalah sesuatu yang telah
dilepaskan dari ciri-ciri khusus karena sifatnya khusus itu dipisahkan sehingga yang tinggal
hanyalah sesuatu yang sifatnya umum.
Ada berbagai asas yang paling menonjol serta diakui oleh para pakarhukum perdata yang
menjadi kerangka acuan dalam setiap membuat perjanjian pada umumnya yaitu :
Sudarsono, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2002), hal. 228
a. Asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk membuat
perjanjian baik mengenai bentuk maupun isinya. Asas ini juga disebut asas
otonom yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum yang mereka
pilih di antara mereka. Asas kebebasan berkontrak ini berhubungan dengan isi
perjanjian (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata).
c. Asas kekuatan mengikat / kepastian hukum adalah setiap perjanjian yang dibuat
secara sah sebagai Undang-undang artinya perjanjian itu dapat dipaksakan
bilamana salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Asas kekuatan mengikat
atau asas kepastian hokum ini berhubungan dengan akibat perjanjian (vide Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata).7
a. Asas persamaan hukum adalah menempatkan para pihak dalam persamaan derajat
walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, dan lainnya. Kedua belah
pihak dalam perjanjian harus saling hormat menghormati dalam pemenuhan
perjanjian.
c. Asas moral adalah faktor-faktor yang memberi motivasi pada yang bersangkutan
untuk melakukan perbuatan hukum didasarkan padamoral (kesusilaan) sebagai
panggilan dari hati nuraninya.
e. Asas kebiasaan adalah asas bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang diatur secara tegas akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan
kebiasaan yang diikuti.
c. Yang berhubungan dengan isi dari perjanjian adalah mencakup asas kebebasan
untuk membuat perjanjian atau otonom.8
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya perjanjian diperlukan4 syarat yaitu :
a. Adanya Kesepakatan
4. Unsur-Unsur Perjanjian
5. Perjanjian Baku
Arti dan perjanjian standar itu perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausula dibakukan
oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan adalah beberapa hal
lainnya yang sifatnya sangat spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan demikian
perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh produsen/pelaku
Ciri-ciri secara umum standard contract sebagai berikut : standard contracts disiapkan terlebih
dahulu secara massal, isinya ditentukan secara pihak oleh pihak yang kuat kedudukan
ekonominya, debitur selalu menerimanya karena terdesak oleh kebutuhannya, bentuknya
tertentu, konsumen tidak ikut menentukan isi perjanjian, konsumen hanya mempunyai pilihan
untuk menerima atau tidak menerima11.22
10
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000),120
11
Dalam hukum perjanjian, istilah Klausula Baku disebut juga: “Klausula Eksonerasi”.
Dimana dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan klausa baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Klasula baku ini banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak, dan dalam
bahasa umum sering disebut sebagai: “disclamer”, yang bertujuan untuk melindungi pihak
yang memberikan suatu jasa tertentu. Seperti jasa penjualan pada supermarket/mall, bank,
jasa angkutan (kereta api, pesawat terbang, kapal laut), jasa delivery dan lain sebagainya.
a) Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau
disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa:
“Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari
Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai mereka”
Selain itu terdapat pula klausula baku yang dikaji menurut undang-undang perlindungan
konsumen, yaitu :
2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas
barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli secara angsuran;
5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli konsumen;
6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan
atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8) Menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pelaku usaha cluster dapat dikatagorikan terhadap isi pasal 18 ayat (1) huruf g undang
undang perlindungan konsumen no 5 tahun 1999
Dalam pembahasan makalah ini, pelaku usaha cluster dasar pengaturan terhadap
pemberlakuan system parkir dengan smart card tersebut mengacu kepada perjanjian yang
dibuat antara developer dengan konsumen yang akan membeli rumah di daerah tersebut.
Maka perjanjian yang dianggap sah harus sesuai dengan ketetntuan pasal 1336 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Damana salah satu syarat sah adalah kesepakatan antara
para pihak, maka apabila perjanjian tersebut sudah memenuhi unsur syarat mengenai
kesepakatan antara pihak developer dengan pembeli rumah sudah melakukan kesepakatan
maka perjanjian tersebut sudah sah.
Selain melihat syarat sah mengenai kesepakatan antara pihak developer pengembang rumah
dengan pembeli rumah, developer juga harus memperhatikan ketentuan pasal 18
Umdnag-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen (UUPK), dalam
perjanjian antara developer dengnan pembeli rumah sebelumnya tidak ada kesepakatan
mengenai penggunaan “smart card” untuk masuk kekomplek rumah tersebut harus
menggunakan smart card tersebut, alasan yang digunakan oleh developer bahwa hal tersebut
sudah diperjanjikan dalam perjanjian juak-beli antara developer dengan pembeli, klausula
tersebut isinya adalah “pembeli akan tunduk kepada peraturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh developer”
Maka hal tersebut melanggar ketentuan pasal 18 nayat (1) huruf g UUPK yang berbunyi:
“ menyatkan tunduknya konsumen kepada peraturan yang beruapa aturan baru, tambajan
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”
Maka berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf g UUPK tersebut maka dapat dikategorikan
dengan kedalam klausula eksonerasi yang dilarang, karena developer dalam perjanjian
terdapat kalusula yang mengharuskan tunduknya konsumen terhadap aturan baru yang dibuat
oleh developer yang tidak pernah diperjanjian sebelumnya, maka pihak developer
menggunakan klausula eksonerasi yang dibuat dalam perjanjian jual-beli sebelumnya.
2. pertanggung jawaban pelaku usaha cluster apabila melakukan pelanggaran pasal 18 ayat 1
hururf g
Dalam hal ini developer yang mencantumkan klausula baku (eksonerasi) dalam perjanjian
jual-beli mengenai aturan tambahan yang belum diatur sebelumnya melanggar ketentuan
pasal 18 ayat (1) huruf g, maka klausula baku dalam perjanjian jual-beli antara developer
dengan pembeli tersebut harusnya batal demi hukum, hal ini diatur dalam pasal 18 ayat (3)
UUPK yang berbunyi:
“ Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hokum”
PENUTUP
A. Kesimpulan
jadi, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, pelaku usaha dalam hal ini developer
sudah terdapat indikasi melakukan klausula baku yang dimana isi dari perjanjian tersebut
dibuat sepihak tanpa ada pemberitahuan dan persetujuan terlebih dahulu sebelumnya kepada
pemilik rumah yang dalam hal ini disebut konsumen. Pemilik rumah yang dalam hal ini
adalah yang berkuasa atas rumah yang dia tinggali dan juga berkewajiban dalam membayaran
iuran keamanan dan kebersihan malah jusutru diperlakukan tidak sepantasnya oleh pihak
developer, yang dimana pemilik rumah diharuskan memakai kartu akses ketika hendak
memasuki komplek cluster perumahan mereka tersebut. Hal tersebut membuat
ketidaknyamanan bagi si pemilik rumah yang dimana mereka diharuskan untuk
meninggalkan kartu identitas berupa KTP atau SIM atau juga kartu identitas lainnya di pos
petugas keamanan cluster tersebut apabila si pemilik rumah tidak membawa kartu akses
tersebut. Padahal keharusan menggunakan kartu akses tersebut sebelum nya belum pernah
diberitahukan dan diperjanjikan pada saat pembuatan perjanjian jual beli rumah antara pihak
pembeli yaitu konsumen dan developer yaitu pelaku usaha. Hal tersebut jelas telah melanggar
ketentuan yang terkandung didalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999 yang
secara tegas melarang membuat atau mencantumkan klausula baku
DAFTAR PUSTAKA
Munir Fuady. 1994. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek. Citra Aditya Bakti,Bandung.
Sudarsono. 2002. Kamus Hukum Edisi Baru, PT. Asdi Mahasatya, Cetakan 3,Jakarta.
Gatot Supramono, Perjanjian Utang - Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013,
Peraturan Perundang-undangan