Anda di halaman 1dari 4

OPINI ARTIKEL :

Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan
penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar besarnya kemakmuran rakyat yang
terbagi secara adil dan merata, maka untuk itu tanah diusahakan atau digunakan
bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Tanah merupakan kebutuhan yang hakiki
dan berfungsi sangat esensial bagi kehidupan dan penghidupan manusia.
Hubungan antara manusia dengan tanah merupakan hubungan yang hakiki dan
bersifat magis religious. Dimasyarakat Jawa hubungan tanah dengan manusia
digambarkan dalam suatu ungkapan sadumuk batuk sanyari bumi,den labuhi
lutahing ludiro lan ditohi pati.

Negara bahkan menjamin kemakmuran rakyat dengan meletakkan prinsip


dasar di bidang pertanahan dalam Undang Undang Dasar 1945 dalam pasal 33
ayat 3 yang berbunyi: Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat, dalam Undang Undang Pokok Agraria pasal 2 ayat 2 yang dimaksud
dengan hak menguasai dari negara berupa : 1. Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan,penggunaan persediaan dan pemeliharaan bumi,air dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara orang orang
dengan bumi,air dan ruang angkasa;

Reforma agraria selain merupakan bagian dari program pembangunan


ekonomi, juga bermakna sebagai “suatu program politik untuk merubah struktur
kekuasaan dalam lapangan agraria (penguasaan dan penggunaan sumber-sumber
agraria)”13. Di dalamnya, redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya
yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas maksimum yang
ditentukan, dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber agraria lainnya
yang diambil dari penguasaan rakyat sebelumnya, menjadi satu program penting
dalam rangka merombak struktur penguasaan tanah atau sumber-sumber agraria
tersebut.

Pembentukan Undang-Undang pertanahan dianggap perlu untuk


memajukan kemakmuran rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, yaitu tanah mempumyai nilai ekonomi, sosial, budaya, religius

1
dan ekologis bagi seluruh bangsa Indonesia. Sudah menjadi tanggung jawab
pemerintah untuk membuat pengaturan mengenai pertanahan, agar tanah yang
berada di wilayah negara Republik Indonesia dapat memberi manfaat untuk rakyat
Indonesia.

Dengan adanya amanat konstitusi yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
Pemerintah bersama-sama warga negara Indonesia dapat memanfaatkan dan
mengelola tanah yang berada di wilayah negara Republik Indonesia, sehingga
tanah yang berada wilayah negara Republik Indonesia dapat memiliki nilai
kemanfaatan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 memberikan himbauan kepada warga negara Indonesia untuk mencegah
terjadinya tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan atau digunakan.

Pembentukan undang-undang pertanahan memiliki tujuan untuk


melengkapkan dan bahkan menguatkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dapat dilihat dalam konsideran
Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang menyebutkan Undang-Undang No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, disamping UUD
1945 (Pasal 18B ayat (2), 20, 21, 28H ayat (4), 28I ayat (3) dan 33 ayat (3)) dan
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam sebagai konsideran RUU Pertanahan.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria dianggap belum mampu mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan karena masih terdapat banyak konflik pertanahan yang sering
ditemui. Dalam praktik pertanahan selama ini dapat dilihat bahwa masih terdapat
permasalahan tidak hanya dalam urusan administratif tapi juga dalam praktek di
lapangan, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan berbagai macam sengketa.

RUU Pertanahan dirancang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan


pertanahan, diantaranya hak-hak penguasaan atas tanah, terkait penerima hak atas
tanah, batas maksimal kepemilikian lahan dan jangka waktu atas HGU dan HGB,
sehingga pengaturan tersebut melalui RUU Pertanahan dapat menyelesaikan
sengketa permasalahan yang sudah ada dan yang akan ada.

2
Terkait kehutanan diatur dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999
tentang Kehutanan Undang-undang ini memberi kewenanangan pada pemerintah
melalui Departemen Kehutanan untuk menentukan dan mengelola Kawasan
Hutan Indonesia. Dalam undang-undang tersebut tidak tercantum kewenangan
Departemen Kehutanan atas penerbitan jenis-jenis hak penguasaan atas tanah
yang diatur oleh UUPA. Bahkan secara hukum dapat dikatakan tepat bahwa
“tanah hutan” tidak terdapat di Indonesia sebagai suatu definsi hukum. Istilah
tanah hutan bukanlah istilah resmi bahasa Indonesia juga bukan pernyataan yang
digunakan dalam perdebatan kehutanan dan pengelolaan hutan.

Istilah resmi yaitu kawasan hutan yang diterangkan sebagai “suatu


kawasan yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
sebagai hutan”. Maka secara hukum kawasan hutan dapat dibagi menjadi 2 bagian
yaitu:

a. Kawasan Hutan Negara, yaitu wilayah dimana pemerintah (Kementrian


Kehutanan) telah menetapkan bahwa tidak ada hak privat (private rights)
atas tanah tersebut dan
b. Hutan Hak, yaitu wilayah dimana tanahnya dan yang hutan diatasnya
dibebani hak privat lainnya (private rights).

Kawasan hutan (bentuknya bukan namanya) pertama kali diperkenalkan


pada masa kolonial ketika sebagian besar besar wilayah Jawa dan sebagian kecil
wilayah Sumatra ditatabas dan ditetapkan sebagai Kawasan Hutan . Usaha-usaha
pertama-tama dilakukan oleh Jawatan Kehutanan pada awal abad ke-19 dengan
tujuan mengontrol tanah, pohon-pohonan dan tenaga kerja hutan. Peraturan
perundang-undangan masa itu berusaha-usaha untuk memperluas kontrol atas
kawasan hutan ini tampak hingga hari ini, dimana hampir seperempat wilayah
Jawa ditetapkan sebagai kawasan hutan dan hamper seluruhnya berada di bawah
kontrol BUMN kehutanan Perum Perhutani.

Dasar hukum penguasaan atas tanah, termasuk kawasan hutan baik


kawasan hutan negara maupun kawasan hutan hak, tetap berada di bawah
kewenangan Kementrian ATR/BPN melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam RUU Pertanahan haruslah

3
mempunyai fungsi sosial dan fungsi ekologis, yaitu tanah merupakan unsur
penting dari alam untuk kelangsungan hidup manusia. Pengaturan pertanahan
hanya kepada satu kementrian yaitu Kementrian ATR/BPN.

Dalam RUU Pertanahan menteri yang dimaksud hanya Kementrian


ATR/BPN tidak mencantumkan Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan, hutan
merupakan tanggung jawab Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan. Peran
Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan adalah menjaga, mengelola dan
mengembangkan lahan hutan.

Pasal 73 dalam RUU Pertanahan bertentangan dengan Undang-Undang


No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
dimana kegiatan perkebunan dan pertambangan di dalam kawasan hutan harus
mendapat izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kehutanan (KLHK), sementara yang dimaksud dengan Kementrian yang
dimaksud di RUU Pertanahan adalah Kementrian ATR/BPN.

Penggunaan dan pengelolaan hutan secara keseluruhan merupakan


tanggung jawab dari Kementrian Kehutanan. Sedangkan kewenangan atas
penguasaan tanahnya bukan menjadi kewenangan Kementrian Kehutanan.

Anda mungkin juga menyukai