Anda di halaman 1dari 47

UJI SENSITIVITAS ANTIBIOTIK BEBERAPA BAKTERI

PENYEBAB MASTITIS

DAUD JULIUS DJARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Sensitivitas


Antibiotik Beberapa Bakteri Penyebab Mastitis adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2018

Daud Julius Djari


NIM B04130189
ABSTRAK
DAUD JULIUS DJARI. Uji Sensitivitas Antibiotik Beberapa Bakteri Penyebab
Mastitis. Dibimbing oleh TITIEK SUNARTATIE dan DORDIA ANINDITA
ROTINSULU.

Salah satu kesuksesan pengobatan mastitis pada sapi perah yaitu melalui
penggunaan antibiotik secara tepat. Penggunaan antibiotik secara tidak rasional
dan tidak sesuai prosedur menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik. Tujuan
penelitian ini adalah menguji sensitivitas beberapa bakteri yang diisolasi dari susu
sapi yang menderita mastitis klinis terhadap berbagai antibiotik. Bakteri-bakteri
yang terisolasi dan teridentifikasi yaitu Yersinia sp., Escherichia coli,
Pseudomonas sp., Pseudomonas diminuta, Enterobacter aerogenes, Alcaligenes
sp., Serratia sp., Staphylococcus aureus, S. epidermidis, dan Bacillus sp.. Bakteri
S. aureus, Pseudomonas sp., E. aerogenes, dan E. coli diuji sensitivitasnya
terhadap antibiotik ampisilin, karbenisilin, sefalotin, eritromisin, gentamisin,
tetrasiklin, dan trimetoprim dengan metode disk diffusion test Kirby-Bauer.
Berdasarkan hasil uji sensitivitas, semua bakteri yang diuji telah menjadi bakteri
yang multiresisten. Escherichia coli resisten terhadap semua antibiotik yang diuji;
S. aureus dan E. aerogenes masih sensitif terhadap gentamisin, tetrasiklin, dan
trimetoprim; sedangkan Pseudomonas sp. hanya sensitif terhadap gentamisin.

Kata kunci: bakteri, mastitis, resistensi antibiotik.

ABSTRACT

DAUD JULIUS DJARI. Antibiotics Sensitivity Test of Several Bacteria Causing


Mastitis. Supervised by TITIEK SUNARTATIE and DORDIA ANINDITA
ROTINSULU.

One of the successful treatment of mastitis in cattle is through the use of


antibiotics appropriately. The irrational and inappropriate use of antibiotics can
induce antibiotic resistance. The purpose of this research was to test the sensitivity
of several bacteria isolated from cow's milk that suffered from clinical mastitis
against several antibiotics. The isolated and identified bacteria were Yersinia sp.,
Escherichia coli, Pseudomonas sp., Psudomonas diminuta, Enterobacter
aerogenes, Alcaligenes sp., Serratia sp., S. aureus, S. epidermidis, and Bacillus
sp.. Staphylococcus aureus, Pseudomonas sp., E. aerogenes, and E. coli were
tested for their sensitivity to ampicillin, carbenicillin, cephalothin, erythromycin,
gentamicin, tetracycline, and trimethoprim by Kirby-Bauer disk diffusion test
method. Based on the sensitivity test results, all the bacteria tested have become
multiresisten bacteria. Escherichia coli was resistant to all antibiotics tested; S.
aureus and E. aerogenes were still sensitive to gentamicin, tetracycline, and
trimethoprim; mean while Pseudomonas sp. was only sensitive to gentamicin.

Key words: antibiotic resistance, bacteria, mastitis.


UJI SENSITIVITAS ANTIBIOTIK BEBERAPA BAKTERI
PENYEBAB MASTITIS

DAUD JULIUS DJARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia dan berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
karya ilmiah ini adalah Uji Sensitivitas Antibiotik Beberapa Bakteri Penyebab
Mastitis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu drh Titiek Sunartatie, MS dan ibu
drh Dordia Anindita Rotinsulu, MSi selaku pembimbing skripsi yang telah banyak
menolong, membantu, dan membimbing penulis dalam mengerjakan tugas akhir
ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Dr drh Risa Tiuria, MS
PhD selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama
empat tahun menempuh pendidikan sarjana. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada bapak Ismet dan ibu Esih selaku laboran Laboratorium
Mikrobiologi yang telah membantu selama penelitian. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi NTT yang telah memberikan
beasiswa kepada penulis.
Ungkapan terima kasih dan rasa syukur penulis sampaikan kepada kedua
orang tua tercinta, ayahanda Yonatan Djari dan ibunda Mariana Manno, saudara
kandung Ma Wele, Ina Tutu, Ina Para, Ina Lede, Ina Mega, nona Ilen, Ama Bryan,
dan Ama Verjil, serta Ibu angkat tercinta Orpa Djari yang selalu mendukung dan
mendoakan penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-
teman dari BUD NTT, Omda Gamanusratim, PA Oikumene, Komisi Pelayanan
Anak PMK IPB, dan teman-teman angkatan 50 FKH IPB, serta teman-teman yang
tidak sempat disebutkan.
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2018

Daud Julius Djari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Antibiotik 2
Resistensi Antibiotik 4
Uji Sensitivitas Antibiotik 6
Mastitis 6
METODE 7
Lokasi dan Waktu Penelitian 7
Bahan 8
Alat 8
Prosedur Penelitian 8
Analisis Data 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Bakteri yang Teridentifikasi dari Sampel 12
Uji Sensitivitas Antibiotik 15
SIMPULAN DAN SARAN 19
Simpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 26
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
1 Standar diameter zona hambat menurut CLSI (2012) 11
2 Hasil identifikasi bakteri 13
3 Hasil uji sensitivitas beberapa bakteri penyebab mastitis terhadap
berbagai antibiotik 15

DAFTAR GAMBAR
1 Bakteri resisten antibiotik 5
2 Uji sensitivitas antibiotik metode cakram Kirby-Bauer 6
3 Uji identifikasi bakteri Gram negatif 9
4 Uji identifikasi bakteri Gram positif 10
5 Hasil pewarnaan Gram: (a) bakteri Gram negatif, (b) bakteri Gram
positif 12
6 Hasil uji sensitivitas antibiotik (metode cakram Kirby-Bauer) 15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengamatan ciri koloni bakteri pada media agar (Mac Conkey
agar dan blood agar) dan morfologi bakteri 26
2 Hasil uji biokimiawi bakteri Gram negatif 27
3 Hasil identifikasi bakteri Gram positif 28
4 Diameter zona hambat dari bakteri yang diuji dengan tiga kali
pengulangan 28
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Penggunaan antibiotik sebagai terapi untuk penyakit infeksi oleh bakteri


pada ternak merupakan cara yang paling umum dilakukan pada peternakan
berskala kecil maupun berskala besar. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan menciptakan penemuan antibiotik baru, baik yang
bersifat sintetis maupun yang bersifat alami. Hal ini memberi kesempatan yang
lebih luas kepada para klinisi dalam pemakaiannya. Jenis antibiotik yang semakin
banyak memungkinkan terjadinya peningkatan kombinasi antibiotik dalam
penggunaannya. Menurut Jones (1996) pemberian antibiotik serta kombinasinya
menjadi salah satu faktor penunjang terjadinya perubahan pola bakteri penyebab
infeksi dan pola resistensi terhadap berbagai antibiotik.
Resistensi antibiotik merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan hewan
dan manusia. Permasalahan ini tidak hanya terjadi secara regional, melainkan
sudah menjadi tantangan global. Penggunaan antibiotik secara tidak terkontrol,
tidak rasional, dan tidak sesuai prosedur menyebabkan munculnya galur bakteri
yang kebal terhadap berbagai antibiotik. Pemberian antibiotik yang sering,
irasional, dan dalam jangka waktu lama semakin memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi mikroba (Setiabudy 2007). Hal ini menyebabkan pengobatan
penyakit infeksius dengan antibiotik tidak lagi efektif. Kemampuan
mikroorganisme untuk bertahan terhadap efek antibiotik di antaranya dengan
mekanisme mutasi atau perubahan dan pertukaran plasmid antar spesies bakteri
yang sama (Mulyani 2013).
Penggunaan antibiotik di antaranya adalah untuk pengobatan mastitis pada
sapi perah. Mastitis merupakan radang ambing yang umumnya terjadi pada sapi
perah di seluruh dunia. Mastitis sering dikaitkan dengan infeksi intramamari oleh
bakteri dan terbagi menjadi mastitis klinis dan mastitis subklinis (Lundberg 2015).
Mastitis menyebabkan banyak kerugian ekonomi, terutama karena penurunan
produksi susu, penurunan kualitas susu, dan berkurangnya keawetan susu
(Lakhsmi & Jayavaardhanan 2016). Penurunan produksi susu per kuartir yang
disebabkan oleh mastitis dapat mencapai 45 % dan kerugian yang disebabkan oleh
mastitis kronis dapat menyebabkan kerugian hingga 85 % (Casas & Morales
2012).
Adanya fakta-fakta tersebut melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini
untuk mengetahui sensitivitas beberapa bakteri penyebab mastitis terhadap
berbagai antibiotik. Bakteri yang diuji adalah bakteri yang diisolasi dari susu sapi
yang menderita mastitis klinis. Setelah diisolasi, bakteri diidentifikasi, kemudian
diuji sensitivitasnya terhadap antibiotik dengan menggunakan metode Kirby-
Bauer.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menguji sensitivitas beberapa bakteri yang


diisolasi dari susu sapi yang menderita mastitis klinis terhadap berbagai antibiotik.
2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai


sensitivitas beberapa bakteri penyebab mastitis terhadap berbagai antibiotik.

TINJAUAN PUSTAKA

Antibiotik

Antibiotik adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh berbagai spesies


mikroorganisme dan bersifat toksik terhadap mikroorganisme lain. Sifat toksik
senyawa-senyawa yang terbentuk mempunyai kemampuan menghambat
pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) dan membunuh bakteri (bakterisida) yang
kontak dengan antibiotik tersebut (Sumardjo 2009). Definisi ini harus diperluas
karena zat yang bersifat antibiotik ini dapat pula dibentuk oleh beberapa hewan
dan tanaman tingkat tinggi. Di samping itu, berdasarkan antibiotika alami, dapat
pula dibuat antibiotik baru secara sintetis parsial yang sebagian mempunyai sifat
yang lebih baik (Mutschler 1999). Antibiotik mempunyai sifat toksisitas selektif,
yaitu kemampuan membunuh kuman tanpa mengganggu sel hospes. Sifat ini tidak
mutlak, karena kadar antibiotik yang diberikan harus diatur sedemikian rupa
sehingga antibiotik dapat membunuh kuman tetapi masih dapat ditoleransi oleh
hospes (Arif et al. 2014).
Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda-beda dalam membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik dibuat
berdasarkan mekanisme kerja tersebut, yaitu: (1) menghambat sintesis dinding sel
bakteri; (2) merusak permeabilitas membran sel sehingga terjadi kebocoran
bahan-bahan dari intrasel; (3) menghambat sintesis protein mikroorganisme
(reversibel) dengan memengaruhi subunit ribosom 30S dan 50S; (4) mengikat
subunit ribosom 30S, sehingga sintesis protein terganggu dan menyebabkan
kematian sel; (5) menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba; dan (6)
menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme folat (Amin 2014).

Ampisilin
Ampisilin merupakan antibiotik golongan penisilin I yang digunakan untuk
mengatasi infeksi bakteri Gram positif dan Gram negatif (Akbar et al. 2016).
Ampisilin memiliki mekanisme yang sama dengan penghancuran dinding
peptidoglikan. Ampisilin mampu berpenetrasi pada dinding sel bakteri Gram
positif dan Gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada
ampisilin, yang membuatnya mampu menembus membran terluar pada bakteri
Gram negatif. Ampisilin bekerja menghambat enzim betalaktamase yang paling
aktif. Aktivitas dari ampisilin dapat berupa bakterisida atau bakteriostatik
tergantung strainnya dan diperantarai oleh ikatan penicillin binding protein
(Jawetz et al. 2001).
3

Karbenisilin
Karbenisilin merupakan antibiotik penisilin semisintetis yang termasuk
golongan betalaktam. Karbenisilin memiliki mekanisme kerja yaitu menghambat
sintesis dinding sel, dan secara in vitro memiliki aktivitas yang luas (Papich
2016). Karbenisilin dapat digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi
Staphylococcus, Escherichia, Proteus, Salmonella, Enterobacter, Citrobacter,
Pseudomonas, Serratia, Clostridium, Peptococcus, Peptostreptococcus,
Bacteroides, dan Fusobacterium. Aktivitas antibakteri karbenisilin terjadi melalui
penghambatan tahap akhir sintesis dinding sel bakteri yang rentan, yaitu dengan
menginaktivasi enzim transpeptidase dengan pembukaan cincin betalaktam.
Inaktivasi enzim ini mencegah pembentukan ikatan silang dari dua rantai
peptidoglikan linier, yang menghambat tahap ketiga dan terakhir dari sintesis
dinding sel bakteri. Lisis sel dimediasi oleh salah satu enzim autolitik seperti
autolisin (Drugbank 2005a)

Sefalotin
Sefalotin merupakan sefalosporin generasi pertama semisintetik yang
memiliki spektrum aktivitas yang luas dan bersifat bakterisida (Drugbank 2005b).
Mekanisme kerja sefalotin yaitu mengikat dan menginaktivasi protein pengikat
penisilin (PBP) yang terletak di membran dalam dinding sel bakteri. PBPs
berperan dalam tahap akhir perakitan dinding sel bakteri, dan dalam pembentukan
kembali dinding sel selama pembelahan sel. Inaktivasi PBP mengganggu ikatan
silang rantai peptidoglikan yang diperlukan untuk kekuatan dan kekakuan dinding
sel bakteri. Hal ini menyebabkan dinding sel bakteri menjadi rapuh dan lisis (NCI
2017).

Eritromisin
Eritromisin merupakan antibiotik yang termasuk dalam golongan makrolida,
yang bekerja menghambat sintesis protein. Secara in vitro eritromisin efektif
terhadap Mycoplasma, bakteri kokus Gram positif (Staphylococcus dan
Streptococcus), Neisseria, beberapa strain Haemophilus, Corynebacterium,
Listeria, Pasteurella multocida, Brucella, Rickettsiae, dan Treponema. Proteus,
Pseudomonas, dan E. coli cenderung resisten terhadap antibiotik ini. Mekanisme
kerja eritromisin dan makrolida lainnya yaitu melalui pengikatan subunit 50S
ribosom secara reversibel, sehingga menyebabkan terhalangnya reaksi
transpeptidasi atau translokasi, sintesis protein terhambat, dan akibatnya
pertumbuhan sel bakteri terhambat. Penggunaan antibiotik ini di bidang
kedokteran hewan antara lain untuk menangani mastitis klinis dan subklinis,
pengobatan terhadap infeksi bakteri yang sensitif dengan antibiotik ini (pada sapi,
domba, babi, dan unggas) dan untuk menangani Mycoplasma pada unggas (EMA
2000).

Gentamisin
Gentamisin merupakan prototipe golongan aminoglikosida. Aktivitas
gentamisin adalah bakterisida, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding sel
bakteri dan mengikat diri pada ribosom (partikel kecil dalam protoplasma sel yang
kaya akan RNA dan tempat terjadinya sintesis protein) di dalam sel. Proses
translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis protein dikacaukan.
4

Aminoglikosida yang bermuatan kation akan berikatan secara pasif dengan


membran luar dinding bakteri Gram negatif yang mengandung anion. Proses
inilah yang membuat antibiotik aminoglikosida mampu menembus dinding sel
bakteri untuk mencapai ribosom. Antibiotik ini mempunyai spektrum yang luas
terhadap bakteri aerob dan fakultatif basil Gram negatif. Aktivitasnya terutama
terhadap E. coli, P. mirabilis, Klebsiella sp., Morganella sp., Citrobacter sp.,
Serratia sp., Enterobacter sp., Pseudomonas sp., Actinobacter sp., dan
Haemophilus influenza (Madigan et al. 2000).

Trimetoprim
Trimetoprim adalah antibiotik yang bersifat bakteriostatik, berspektrum
luas, dan biasa digunakan pada infeksi saluran urinari (Pace & Serpell 2015).
Trimetoprim bekerja menghambat sintesis asam tetrahidrofolat, yang secara
fisiologis merupakan bentuk aktif asam folat dan kofaktor yang diperlukan dalam
sintesis timidin, purin, dan DNA bakteri. Antibiotik ini merupakan bentuk analog
struktural pteridin dari asam dihidrofolat, yang secara kompetitif menghambat
dihidrofolat reduktase, sehingga menghambat asam dihidrofolat menjadi asam
tetrahidrofolat (Masters et al. 2003). Meski tersedia dalam bentuk sediaan tunggal,
trimetoprim hampir selalu digunakan dalam bentuk kombinasi dengan
sulfametaksazol untuk menghasilkan efek sinergis. Trimetoprim dapat digunakan
untuk mengobati infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh E. coli, P. mirabilis,
K. pneumoniae, Enterobacter sp., dan Staphylococcus koagulase-negatif.
Antibiotik ini bersifat bakterisida bila dikombinasikan dengan sulfonamida
(Kester et al. 2012).

Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas pertama yang efektif
melawan bakteri Gram positif, Gram negatif, Mycobacterium, Rickettsia,
Spirochaeta, dan Chlamydia (Kee & Hayes 1996). Antibiotik ini bekerja
menghambat sintesis protein. Mekanisme kerjanya adalah berikatan dengan
subunit 30S rRibosom sehingga menghambat ikatan aminoasil tRNA pada sisi A
rRibosom dan mengganggu ikatan peptida. Ada tiga mekanisme resistensi
tetrasiklin yaitu: (1) peningkatan efluks tetrasiklin oleh transpor aktif pompa
protein; (2) bakteri resisten memproteksi ribosom yang memproduksi protein-
protein tertentu, yang dapat menghambat tetrasiklin berikatan dengan tRNA
aminoasil; dan (3) inaktivasi tetrasiklin secara enzimatik. Gen efluks ditemukan
baik pada bakteri Gram positif maupun Gram negatif, biasanya bakteri ini menjadi
bakteri yang multiresisten (Chopra & Roberts 2001).

Resistensi Antibiotik

Bakteri dapat menjadi sensitif atau resisten terhadap antibiotik tertentu.


Jika suatu bakteri sensitif terhadap suatu obat, maka organisme itu dihambat dan
dimatikan. Jika suatu bakteri resisten terhadap suatu antibiotik, maka organisme
itu terus tumbuh meskipun telah dilakukan pemberian obat antibakteri. Resistensi
bakteri dapat timbul secara alami (inheren) atau didapat (Kee & Hayes 1996).
Resistensi inheren terjadi secara kromosomal dan berlangsung melalui
multiplikasi sel yang dapat diturunkan pada turunan berikutnya. Resistensi
7

subklinis yang terjadi pada saat laktasi. Mastitis klinis selalu diikuti tanda klinis,
baik berupa pembengkakan, pengerasan ambing, rasa sakit, panas, serta
kemerahan, bahkan sampai terjadi penurunan fungsi ambing. Namun demikian,
kedua jenis mastitis baik subklinis maupun klinis dapat menyebabkan penurunan
produksi dan kualitas susu (Nurhayati & Martindah 2015). Perubahan yang
kelihatan dalam susu meliputi perubahan warna, terdapat gumpalan, dan
peningkatan leukosit dalam jumlah besar (Surjowardojo et al. 2008).
Perubahan fisik susu meliputi warna, bau, rasa, dan konsistensi. Warna
yang biasanya putih kekuningan berubah menjadi putih pucat atau kebiruan. Rasa
susu berubah menjadi getir atau asin. Bau yang harum dari susu dalam keadaan
radang ambing menjadi asam. Konsistensi yang biasanya cair dengan emulsi yang
merata berubah menjadi pecah, lebih cair, dan kadang disertai dengan jonjot atau
endapan fibrin dan gumpalan protein yang lain. Apabila dipanasi atau diuji dengan
uji alkohol 72 % susu dapat segera menggumpal atau pecah (Subronto 2008).
Mastitis menyebabkan berbagai masalah sebagai berikut: (1) sangat
infeksius karena sangat mudah menular dari satu sapi ke sapi yang lainnya; (2)
pengobatan mastitis yang disebabkan oleh beberapa jenis bakteri tertentu tidak
efektif lagi karena membentuk mikroabses sehingga mempersulit antibiotik untuk
mencapai daerah terinfeksi, dan sebagian besar sudah resisten terhadap beberapa
jenis antibiotik umum; (3) peningkatan jumlah sel somatis, serta penurunan
kualitas dan produksi susu secara signifikan; dan (4) masalah yang berhubungan
dengan keadaan masyarakat, yaitu beberapa bakteri bisa menghasilkan
enterotoksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Sugiri & Anri 2010).
Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab mastitis
antara lain adalah Streptococcus agalactiae, S. dysgalactiae, S. uberis, S.
zooepidemicus, S. aureus, E. coli, E. aerogenes, dan P. aeruginosa. Dalam
keadaan tertentu dijumpai pula penyebab mastitis oleh Mycoplasma sp., Nocardia
asteroides, dan Candida sp. (Ditjennak Keswan 2014).
Antibiotik yang telah terbukti berguna untuk pengobatan mastitis meliputi
penisilin (benzilpenisilin G, prokain penisilin G, benzatin penisilin, kloksasilin,
ampisilin, hetasilin), sefalosporin, eritromisin, neomisin, novobiosin,
oksitetrasiklin, dan streptomisin atau dihidrostreptomisin. Obat-obat kombinasi
yang dipakai meliputi prokain penisilin dengan novobiosin, prokain penisilin
dengan dihidrostreptomisin, dan prokain penisilin dengan furaltadon (Subronto
2008).

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan September 2017 di


Laboratorium Bakteriologi, Divisi Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
8

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel susu mastitis (dari dua ekor
sapi), isolat bakteri hasil isolasi dan identifikasi dari sampel, antibiotik (ampisilin,
karbenisilin, sefalotin, eritromisin, gentamisin, tetrasiklin, dan trimetoprim), satu
set pewarnaan Gram, satu set pewarnaan Ziehl Neelsen, reagen katalase (larutan
3 % H2O2), blood agar (BA), Mac Conkey agar (MCA), mannitol salt agar
(MSA), trypticase soy agar (TSA), triple sugar iron agar (TSIA), media untuk
uji indol, media untuk uji urea, media untuk uji sitrat, media dan reagen untuk uji
methyl red dan Voges-Proskauer (MR-VP), media untuk uji fermentasi
karbohidrat, Mueller Hinton agar (MHA), akuades steril, reagen Ehrlich, standar
McFarland 1, kapas, dan cotton swab steril.

Alat

Peralatan yang digunakan adalah alat tulis, mistar, gelas objek, mikroskop,
ose, tabung eppendorf, spatula, cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, korek
api, pembakar bunsen, spidol permanen, dan inkubator.

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan adalah susu sapi yang menderita mastitis klinis.
Susu diambil secara aseptis dan ditampung dalam tabung yang sudah disterilkan,
kemudian dimasukkan ke dalam cooler box. Sampel diambil dari wilayah Kebon
Pedes dan Kunak, lalu dikirim dalam rantai dingin ke laboratorium.

Isolasi dan Identifikasi Bakteri


Sampel-sampel yang telah dikoleksi diinokulasi pada media BA dan MCA,
lalu diinkubasi selama 24 jam. Setelah diinkubasi, sampel disubkultur pada media
TSA. Setelah 24 jam, dilakukan pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan
Gram sehingga diketahui morfologi dan sifat Gramnya. Proses uji identifikasi
bakteri yang dilakukan selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Identifikasi bakteri mengacu pada metode Bergey dan Breed (1994), Lay (1994),
dan Jang et al. (1986).
9

Sampel susu mastitis

Isolasi pada media MCA dan BA

Pengamatan ciri koloni

Subkultur pada media TSA

Pewarnaan Gram (pengamatan sifat Gram dan morfologi)

Bakteri Gram negatif (batang/kokoid)

Uji oksidase

(-) Enterobacteriaceae (+) Non Enterobacteriaceae

Uji biokimia

Uji Uji Uji Uji Uji Uji MR-


motilitas TSIA urea sitrat fermentasi VP
dan uji karbohidrat
indol

Gambar 3 Uji identifikasi bakteri Gram negatif


Sumber: Jang et al. (1986)
10

Bakteri Gram positif

Batang Kokus

Uji katalase
Aerob Anaerob

Pengamatan spora Clostridium

(+) (-)
Micrococcaceae Streptococcaceae
(+) (-) non- (lanjut uji glukosa
Bacillus spp. Bacillus spp. mikroaerofilik)

Pewarnaan Ziehl
Neelsen
(-) Micrococcus (+)
spp. Staphylococcus
spp.
Tidak tahan asam: Tahan asam:
Listeria Mycobacterium
Erisipelotrix
Uji MSA
Corynebacterium
koagulase
Lactobacillus

β-hemolitik γ-hemolitik α-hemolitik

Gambar 4 Uji identifikasi bakteri Gram positif


Sumber: Bergey dan Breed (1994); Lay (1994)
11

Uji Sensitivitas Antibiotik


Metode yang digunakan dalam uji ini adalah metode disk diffusion test
Kirby-Bauer, dengan cara membuat suspensi koloni bakteri langsung (direct
colony suspension). Kekeruhan suspensi uji distandarisasi sesuai dengan standar
0.5 McFarland 1 yang setara dengan konsentrasi bakteri 1.5 x 106 CFU/ml
(NCCLS 2005).
Isolat bakteri diremajakan ke media TSA dan diinkubasi pada temperatur
37 ºC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh pada TSA diambil dengan
menggunakan ose dan disuspensikan dalam akuades steril hingga kekeruhannya
sama dengan 0.5 McFarland 1. Kemudian cotton swab steril dicelupkan dalam
suspensi bakteri yang telah dibuat dan digoreskan pada seluruh permukaan MHA.
Untuk mendapatkan pertumbuhan yang merata, suspensi digores secara mendatar,
kemudian cawan petri diputar 90º dan dibuat goresan kedua, cawan petri diputar
45º dan dibuat goresan ketiga. Media dibiarkan mengering selama 5 menit.
Kemudian cakram antibiotik ditempelkan pada MHA dan ditekan secara perlahan,
selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 19-24 jam. Diameter zona hambat
pertumbuhan bakteri yang terbentuk di sekitar cakram antibiotik diukur dengan
penggaris dalam satuan milimeter. Pengujian dilakukan dengan pengulangan
sebanyak tiga kali.
Interpretasi hasil dilakukan dengan mengacu pada Clinical and Laboratory
Standards Institute (CLSI 2012). Kategori sensitivitas (sensitif, intermediet, dan
resisten) isolat bakteri terhadap antibiotik ditentukan melalui ukuran zona hambat
yang terbentuk berdasarkan rekomendasi standar CLSI. Adapun standar diameter
zona hambat oleh beberapa bakteri terhadap antibiotik yang diuji dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1 Standar diameter zona hambat menurut CLSI (2012)


Diameter zona hambat (mm)
Antibiotik Staphylococcus spp. Enterobacteriaceae P. aeruginosa
S (≥) I (-) R (≤) S (≥) I (-) R (≤) S (≥) I (-) R(≤)
Ampisilin 29 - 28 17 14-16 13 11 12-13 14
Karbenisilin 29 - 28 23 20-22 19 17 14-16 13
Sefalotin 18 15-17 14 18 15-17 14 18 15-17 14
Eritromisin 23 14-22 13 18 14-17 13 18 14-17 13
Gentamisin 15 13-14 12 15 13-14 12 15 13-14 12
Tetrasiklin 19 15-18 14 15 12-14 11 19 15-18 14
Trimetoprim 16 11-15 10 16 11-15 10 16 11-15 10
Keterangan: S: sensitif R: resisten I: intermediet

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif. Analisis dilakukan dengan


membandingkan diameter zona hambat yang terbentuk di sekeliling cakram
antibiotik dengan standar CLSI (2012).
13

Tabel 2 Hasil identifikasi bakteri


Kode sampel Bakteri
1A Yersinia sp.
Pseudomonas sp.
P. diminuta
Bacillus sp.
1B E. aerogenes
Alcaligenes sp.
Yersinia sp.
Serratia sp.
Bakteri batang Gram positif
1C Serratia sp.
Pseudomonas sp.
Yersinia sp.
S. epidermidis
2A E. coli
Pseudomonas sp.
Bacillus sp.
S. aureus

Spesies Staphylococcus lainnya yang teridentifikasi adalah S. aureus.


Bakteri ini merupakan salah satu agen utama penyebab mastitis di seluruh dunia,
serta berpotensi ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya (Peton & Loir
2014). Sugiri dan Anri (2010) melaporkan bahwa dari 19 peternakan di Pulau
Jawa yang diperiksa terdapat 8 (42 %) peternakan yang terinfeksi oleh S. aureus.
Bakteri S. aureus termasuk mikroorganisme komensal pada kulit dan mukosa, dan
juga ditemukan di lingkungan. Bakteri ini dapat menginfeksi melalui otot sfingter
puting yang terbuka setelah pemerahan, serta melalui puting dan ambing yang
mengalami perlukaan (Sugiri dan Anri 2010).
Berbeda dengan S. aureus, kejadian mastitis yang disebabkan oleh Bacillus
sp. jarang terjadi, seperti hasil penelitian Abera et al. (2012) yang menyatakan
bahwa presentase Bacillus sp. hanya 0.5 % dari 10 patogen penyebab mastitis
yang diidentifikasi. Menurut Salih (2015) Bacillus sp. tersebar luas di alam, dan
umumnya terdapat di tanah, air, debu, udara, tinja, dan tumbuh-tumbuhan.
Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa bakteri yang teridentifikasi dalam
penelitian ini didominasi oleh bakteri Gram negatif. Hal ini berbeda dengan
pernyataan Suwito et al. (2013) bahwa kebanyakan mastitis klinis disebabkan oleh
bakteri Gram positif, walaupun sering dijumpai bakteri Gram negatif tetapi sedikit
kejadiannya. Akan tetapi, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Perez et al.
(2015) yang menyatakan bahwa dari sampel yang positif mastitis 97.5 %
penyebabnya adalah bakteri Gram negatif. Hal ini dapat terjadi karena bakteri
Gram negatif penyebab mastitis umumnya terdapat di lingkungan sehingga
memudahkan terjadinya proses infeksi ke sapi bila sanitasi kandang kurang baik.
Bakteri Gram negatif yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah E. coli,
Pseudomonas sp., P. diminuta, E. aerogenes, Yersinia sp., Serratia sp., dan
Alcaligenes sp..
Bakteri E. coli merupakan salah satu bakteri koliform yang sering
ditemukan sebagai patogen penyebab mastitis. Prevalensi E. coli dalam penelitian
Iddris et al. (2014) mencapai 12 % dari 13 mikroorganisme patogen penyebab
14

mastitis yang diisolasi dari sampel. Menurut UMCVM (2014) E. coli dapat
ditemukan di berbagai bahan organik, alas kandang, dan feses. Sapi terinfeksi
melalui kontak langsung dengan reservoir di lingkungan atau saat pemerahan.
Bakteri lingkungan lainnya yang ditemukan dalam penelitian ini adalah
Pseudomonas sp. dan P.diminuta. Berdasarkan penelitian Banerjee et al. (2017)
terhadap 371 sampel dari susu sapi yang menderita mastitis, ditemukan 6.5 %
penyebabnya adalah Pseudomonas. Bakteri ini diketahui tumbuh dan berkembang
di dalam air atau lingkungan yang lembab dan basah. Selain itu, bakteri ini juga
dapat ditemukan di alas kandang yang basah, feses, dan urin. Sumber infeksi
utama Pseudomonas adalah air yang digunakan untuk mencuci ambing dan mesin
pemerah yang terkontaminasi. Sapi juga dapat terinfeksi saat rebahan pada alas
kandang yang kotor dan basah sesaat setelah pemerahan, karena otot sfingter
puting masih dalam keadaan terbuka (Suwito et al. 2013; Swartz & Petersson-
Wolfe 2016).
Bakteri lain yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah E. aerogenes.
Bakteri ini merupakan salah satu bakteri koliform yang sering dijumpai dalam
peternakan sebagai patogen penyebab mastitis. Menurut Harada et al. (2017)
sumber infeksi E. aerogenes dapat berasal dari air, limbah, dan tanah. Selain itu,
bakteri ini juga dapat ditemukan di dalam saluran pencernaan mamalia, sehingga
kemungkinan feses dapat menjadi sumber infeksi. Tingkat kejadian mastitis yang
disebabkan oleh bakteri ini dapat mencapai 12.5 % (Perez et al. 2015).
Hasil identifikasi juga menunjukkan bahwa Yersinia sp. dapat menyebabkan
mastitis. Hal yang sama pernah dilaporkan oleh Marimuthu et al. (2014) dengan
tingkat prevalensi mastitis pada sapi perah yang disebabkan oleh Yersinia sp.
sebesar 5 %. Menurut Darwish et al. (2015) pada umumnya bakteri Yersinia sp.
bersifat nonpatogen, akan tetapi salah satu spesies dari genus Yersinia pernah
dilaporkan sebagai penyebab mastitis yaitu Y. pseudotuberculosis. Sumber infeksi
bakteri Yersinia sp. sangat bervariasi. Infeksi Yersinia dapat berasal dari burung,
rodensia, sayuran, limbah, dan air (Guern et al. 2016).
Hasil isolasi juga menunjukkan adanya bakteri Serratia sp. dalam sampel.
Penelitian Kateete et al. (2013) terhadap 84 sampel yang diambil dari susu
mastitis menunjukkan 2 % kasus mastitis disebabkan oleh Serratia sp.. Sumber
infeksi Serratia sp. dapat berasal dari tanah, material yang berasal dari tumbuhan,
dan pakan. Oleh karena itu, sapi yang digembalakan atau yang dikandangkan pada
kandang yang beralaskan bahan organik memiliki resiko yang tinggi untuk
terinfeksi oleh bakteri ini. Selain itu, Serratia sp. juga dapat ditemukan dalam
traktus digestivus berbagai hewan (Abdullah et al. 2017; Petersson-Wolfe et al.
2011). Awal terjadinya infeksi adalah melalui mesin pemerah yang terkontaminasi
oleh bakteri ini (Abdullah et al. 2017).
Dari 23 isolat terdapat satu isolat yang teridentifikasi sebagai bakteri
Alcaligenes sp.. Menurut Fadhilah (2017) Alcaligenes sp. merupakan bakteri
pembusuk pangan asal hewan yang disimpan dalam suhu dingin serta penyebab
pembusukan pangan yang kaya protein. Mikroorganisme ini normal ditemukan di
air dan tanah, tetapi juga memiliki habitat normal pada saluran pencernaan
beberapa hewan serta sebagai mikroorganisme oportunis pada kasus infeksi
tertentu.
Penularan mikroorgnisme patogen mastitis dapat terjadi dari satu puting ke
puting lainnya pada satu ambing atau antar sapi pada saat pemerahan secara
16

Uji Sensitivitas S. aureus


Tabel 3 menunjukkan bahwa S. aureus resisten terhadap ampisilin,
karbenisilin, dan sefalotin, dengan diamater zona hambat dari masing-masing
antibiotik tersebut yaitu 6.0±0.00 mm, 6.2±0.29 mm, dan 6.0±0.00 mm. Bakteri S.
aureus sensitif terhadap gentamisin, trimetoprim, dan tetrasiklin, dengan diameter
zona hambat yang bervariasi yaitu 20±0.00 mm, 17.7±0.58 mm, dan 21.3±0.58
mm. Sementara sensitivitas S. aureus terhadap eritromisin bersifat intermediet
dengan diameter zona hambat sebesar 16.3±0.58 mm. Hal ini menunjukkan bahwa
S. aureus masih sensitif terhadap mayoritas antibiotik yang bekerja mempengaruhi
biosintesis protein dan asam nukleat bakteri (gentamisin, trimetoprim, tetrasiklin,
dan eritromisin) dibandingkan antibiotik golongan penisilin (karbenisilin dan
ampisilin) dan sefalosporin (sefalotin), dimana kedua golongan antibiotik tersebut
termasuk antibiotik betalaktam.
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Beyene
(2016), yaitu S. aureus masih sensitif terhadap gentamisin dan bersifat intermediet
terhadap eritromisin. Hamidi & Sylejmani (2016) pernah melaporkan hasil yang
sama dengan penelitian ini yaitu isolat S. aureus yang diisolasi dari susu sapi
mastitis masih sensitif terhadap tetrasiklin, gentamisin, dan trimetoprim, dan
resisten terhadap antibiotik golongan penisilin. Menurut Hamidi & Sylejmani
(2016) masih sensitifnya S. aureus terhadap ketiga antibiotik tersebut mungkin
karena penggunaannya untuk pengobatan mastitis yang masih rendah.
Interpretasi intermediet pada uji sensitivitas eritromisin terhadap S. aureus
menunjukkan kemungkinan aktivitas tidak optimal yang akan dicapai oleh
antibiotik tersebut dalam penggunaan klinis terhadap infeksi karena bakteri yang
sama. Penggunaan antibiotik dengan interpretasi intermediet sebaiknya dihindari
dan diganti dengan antibiotik lain dari golongan yang sama namun memiliki
potensi dan spektrum lebih baik. Penggunaan antibiotik interpretasi intermediet
dengan menaikkan dosis untuk memperoleh hasil yang optimal dapat
menyebabkan berkembangnya sifat resistensi bakteri terhadap antibiotik, terutama
untuk kepentingan terapi atau pengobatan (Krisnaningsih et al. 2005).
Resistensi S. aureus terhadap antibiotik tergantung pada strainnya. Strain S.
aureus merupakan salah satu aspek yang menentukan sifat resistensi terhadap
suatu antibiotik. Menurut Prawesthirini et al. (2012) ada berbagai macam strain S.
aureus, di antaranya adalah strain yang bisa menghasilkan penisilinase, dan
beberapa strain S. aureus yang mempunyai erythromycin-resistant methylase
genes (erm A, erm B, and erm C). Gen ini menyandi pemindahan dalam ribosom
RNA dengan fungsi mencegah pengikatan makrolida pada bakteri sehingga
menghasilkan resistensi tingkat tinggi.
Antibiotik golongan penisilin (karbenisilin dan ampisilin) dan sefalosporin
(sefalotin) termasuk antibiotik kelompok betalaktam. Yuwono (2010)
mengemukakan bahwa resistensi S. aureus terhadap kelompok antibiotik
betalaktam terjadi karena munculnya galur resisten yang mendapat plasmid yang
mengandung gen blaZ. Gen blaZ menyandi enzim betalaktamase, yaitu suatu
enzim yang mampu mendegradasi antibiotik golongan penisilin dan sefalosporin
dengan cara memecah cincin betalaktam. Triana (2014) menjelaskan ada dua
mekanisme enzim betalaktamase dalam menghancurkan cincin betalaktam.
Pertama, pada sisi aktif sebagian besar betalaktamase terdapat gugus serin yang
dapat berikatan secara ireversibel dengan gugus karbonil karbon pada cincin
17

betalaktam sehigga cincin akan terbuka (inaktif). Enzim betalaktamase ini efektif
dalam menghambat penisilin, sefalosporin, dan monobaktam. Kedua, sebagian
kecil betalaktamase mengandung gugus logam yang disebut mettalo-
betalaktamase. Enzim betalaktamase jenis ini efektif pada pensisilin, sefalosporin,
dan karbapenem.
Salah satu kemungkinan penyebab tingginya tingkat resistensi S. aureus
terhadap antibiotik penisilin dikarenakan adanya galur methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). MRSA merupakan galur multiresisten yaitu
bakteri ini resisten terhadap semua golongan betalaktam, dan terhadap lebih dari
dua antimikroba nonbetalaktam. Resistensi MRSA terhadap antimikroba golongan
betalaktam disebabkan bakteri ini memiliki protein mutan penicillin-binding
protein 2a (PBP2a atau PBP 2′) yang disandi oleh gen mecA. PBP merupakan
suatu kelompok enzim pada membran sel S. aureus yang mengkatalisis reaksi
transpeptidasi guna pembentukan anyaman (cross-linkage) rantai peptidoglikan.
Afinitas PBP2a terhadap antimikroba golongan betalaktam sangat rendah
sehingga MRSA tetap hidup meskipun terpapar antimikroba tersebut dalam
konsentrasi tinggi (Yuwono 2010).

Uji Sensitivitas Pseudomonas sp.


Hasil uji sensitivitas bakteri Pseudomonas sp. terhadap beberapa antibiotik
uji (Tabel 3), menunjukkan bahwa Pseudomonas sp. resisten terhadap ampisilin,
sefalotin, trimetoprim, karbenisilin, tetrasiklin, dan eritromisin. Antibiotik yang
resisten tersebut memiliki diamater zona hambat sebesar 6.0±0.00 mm, 6.3±0.58
mm, 6.0±0.00 mm, 6.3±0.58 mm, 14.7±1.15 mm, dan 6.2±0.29 mm. Pada
penelitian ini, Pseudomonas sp. hanya sensitif terhadap gentamisin, dengan
diameter zona hambat sebesar 19.3±1.15 mm. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rukmono (2013) dalam penelitiannya bahwa Pseudomonas sp. resisten terhadap
berbagai jenis antibiotik yang diuji di antaranya ampisilin, eritromisin, dan
trimetoprim.
Bakteri Pseudomonas memiliki mekanisme resistensi seperti pada beberapa
spesies Enterobacteriaceae. Beberapa spesies Pseudomonas memiliki Amp-C
betalaktamase yang dapat diinduksi oleh antibiotik golongan betalaktam misalnya
karbenisilin, ampisilin, dan sefalotin. Adanya produksi enzim tersebut
menyebabkan antibiotik betalaktam terhidrolisis. Selain itu, bakteri Pseudomonas
sp., memiliki kemampuan untuk melakukan efluks terhadap berbagai antibiotik di
antaranya antibiotik golongan betalaktam, makrolida, trimetoprim, sulfonamida,
aminoglikosida, tetrasiklin, fluorokuinolon, kloramfenikol, dan novobiosin.
Bakteri ini dapat membentuk porin secara luas, kemudian menjadi pori besar pada
membran luar. Mekanisme ini sering ditemukan pada spesies P. aeruginosa.
Resistensi pada Pseudomonas sp. diperparah oleh adanya hipermutasi, modifikasi
enzim yang luas, dan perubahan pada permeabilitas membran, yang menyebabkan
makin tingginya tingkat resistensi pada berbagai antibiotik yang sudah resisten
(Livermore 2002).

Uji Sensitivitas E. aerogenes


Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa isolat E. aerogenes sensitif terhadap
gentamisin, trimetoprim, dan tetrasiklin dengan diameter zona hambat yang
berbeda yaitu 18.7±1.15 mm, 27.0±1.00 mm, dan 15.7±0.58 mm. Sementara
18

E. aerogenes resisten terhadap antibiotik kelompok betalaktam (ampisilin,


karbenisilin, dan sefalotin), dan eritromisin, dengan diameter zona hambat yang
tidak berbeda secara signifikan yaitu 6.3±0.58 mm, 6.3±0.58 mm, 6.2±0.29 dan
6.2±0.29 mm. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Perez et al.
(2015) yang melakukan uji sensitivitas antibiotik terhadap bakteri penyebab
mastitis dan menemukan bahwa E. aerogenes resisten terhadap antibiotik
betalaktam (karbenisilin, ampisilin, dan sefalotin). Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Thiolas et al. (2005), bahwa E. aerogenes merupakan bakteri yang
sangat resisten terhadap antibiotik betalaktam. Selain itu, penelitian Philippe et al.
(2015) menemukan bahwa semua isolat E. aerogenes yang diuji resisten terhadap
eritromisin.
Produksi betalaktamase adalah mekanisme utama sebagai respon resisten
terhadap betalaktam pada sebagian besar spesies Enterobacter. Bakteri E.
aerogenes memiliki kemampuan yang luas untuk mengembangkan mekanisme
resistensi antibiotik. Bakteri ini secara alami mengekspresikan sebuah
kromosomal Amp-C betalaktamase tipe sefalosporinase dalam tingkat yang
rendah yang menginduksi resistensi terhadap sefalosporin generasi pertama
(termasuk sefalotin). Penggunaan sefalosporin generasi ketiga dan dengan adanya
mutasi pada reseptor mengakibatkan terjadinya produksi sefalosporinase yang
berlebihan, dan hal ini dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir semua
antibiotik betalaktam (Regli & Pages 2015). Resistensi terhadap eritromisin terjadi
karena adanya sistem pompa aktif dari dalam keluar sel (Efflux pump). Pompa
aktif ini berperan mengeluarkan antibiotik keluar sel bakteri. Umumnya pompa
aktif ini bersifat multidrug transporter. Efflux pump pada bakteri Enterobacter
disebut EmeA. Selain bekerja terhadap eritromisin, Efflux pump ini juga bekerja
pada novobiosin, norfloksasin, etidium bromida, dan klindamisin (Wibawa 2012).

Uji Sensitivitas E. coli


Isolat E. coli yang diisolasi dari susu sapi mastitis dalam penelitian ini
menunjukkan telah multiresiten terhadap antibiotik yang diuji, yaitu terhadap
ampisilin, karbenisilin, sefalotin, gentamisin, eritromisin, trimetoprim, dan
tetrasiklin. Diameter zona hambat semua antibiotik uji adalah 6.0±0.00 mm.
Barbeur et al. (2015) pernah melaporkan bahwa E. coli yang diisolasi dari susu
mastitis resisten terhadap sefalotin dan gentamisin dengan tingkat resistensi
masing-masing 100 % dan 77 %. Resistensi E. coli terhadap eritromisin pernah
dilaporkan oleh Vivianti (2017), di mana E. coli yang diuji diisolasi dari susu sapi
di peternakan di Surabaya dengan tingkat resistensi mencapai 100 %. Hasil
penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Bouari et al. (2016) yang
menyatakan bahwa E. coli resisten terhadap tetrasiklin. Bakteri E. coli yang
resisten terhadap ampisilin dan karbenisilin pernah diisolasi dari susu sapi yang
menderita mastitis di salah satu peternakan di Thailand (Hinthong et al. 2017).
Sementara data penelitian Mazurek et al. (2015) menunjukkan bahwa tingkat
resistensi E. coli terhadap trimetoprim mencapai 92 %.
Resistensi E. coli terhadap kelompok penisilin dan sefalosporin dikarenakan
E. coli memperoleh gen dalam plasmid faktor R yang mengkode betalaktamase
yang berperan dalam hidrolisis dan inaktivasi antibiotika tersebut (Wibowo et al.
2011). Akan tetapi, tidak semua gen resistensi berada pada plasmid. Beberapa gen
yang memberikan resistensi mungkin terletak pada kromosom (Nsofor 2013).
19

Menurut Krisnaningsih et al. (2005) mekanisme resistensi juga berhubungan


dengan permeabilitas membran, termasuk terjadinya mutasi membran terluar yang
umumnya disandi secara kromosomal sehingga lebih stabil dibandingkan dengan
sifat resistensi yang disandi oleh gen pada plasmid.
Resistensi E. coli terhadap eritromisin dapat terjadi dengan beberapa
mekanisme yang diperantarai oleh plasmid antara lain modifikasi reseptor atau
target obat yang melibatkan gen erythromycin resistance methylase dan inaktivasi
antibiotik (hidrolisis obat) oleh enzim esterase yang dihasilkan oleh
Enterobacteriaceae termasuk E. coli (Krisnaningsih et al. 2005). Sementara
resistensi E. coli terhadap tetrasiklin dikarenakan secara intrinsik atau secara
alami memang memiliki gen resisten terhadap tetrasiklin (Setiabudi et al. 2014).
Resistensi terhadap gentamisin muncul karena bakteri dapat memproduksi
enzim-enzim yang dapat menambah gugus fosfat dan asetat, menyebabkan
antibiotik tersebut tidak mampu terikat pada sub unit 30S ribosom, sehingga tidak
dapat menghambat sintesis protein (Widiyastutik et al. 2013). Resistensi E. coli
terhadap trimetoprim disebabkan oleh adanya modifikasi enzim target pada
bakteri yaitu dihidrofolat reduktase (dfr) yang dikodekan oleh dfr-gen. Gen ini
terintegrasi dalam integron dan transposon yang sebagian besar terletak dalam
plasmid, yang memungkinkan dapat menyatu ke dalam kromosom bakteri. Hal ini
menyebabkan penyebaran resistensi antibiotik horizontal yang efisien antar
bakteri (Brolund et al. 2010). Menurut Auer et al. (2010) antibiotik yang efektif
untuk pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri E. coli adalah
fosfomisin, nitrofurantoin, dan pivmesilinam.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Bakteri yang teridentifikasi dari sampel susu sapi mastitis klinis adalah
Yersinia sp., E. coli, Pseudomonas sp., P. diminuta, E. aerogenes, Alcaligenes sp.,
Serratia sp., S. aureus, S. epidermidis, dan Bacillus sp.. Berdasarkan hasil uji
sensitivitas terhadap beberapa antibiotik, semua bakteri yang diuji telah menjadi
bakteri yang multiresisten. Bakteri E. coli telah resisten terhadap semua antibiotik
yang diuji yaitu ampisilin, karbenisilin, sefalotin, eritromisin, gentamisin,
tetrasiklin, dan trimetoprim, tetapi S. aureus dan E. aerogenes masih sensitif
terhadap gentamisin, tetrasiklin, dan trimetoprim, sedangkan Pseudomonas sp.
hanya sensitif terhadap gentamisin.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut menggunakan sampel yang lebih banyak


dan dari berbagai wilayah untuk mengetahui pola resistensi dari bakteri penyebab
mastitis. Peternak perlu melakukan perbaikan manajemen pemeliharaan terutama
pada aspek sanitasi. Pemilihan antibiotik oleh dokter hewan dan para klinisi untuk
pengobatan penyakit infeksi pada hewan perlu memperhatikan pola resistensi,
sehingga antibiotik yang digunakan merupakan antibiotik yang tepat dan efektif.
20

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah AH, Nadhom BN, Al-Ammiri HH. 2017. Isolation and identification of
Serratia marcescens from bovine mastitis infections in Iraq and their
susceptibility to antibiotics. Journal of Entomology and Zoology Studies. 5
(2): 489-492.
Abera M, Elias B, Aragaw K, Denberga Y, Amenu K, Sheferaw D. 2012. Major
causes of mastitis and associated risk factor in smallholder dairy farms in
Shashemene, Southern Ethiopia African Journal of Agricultural Research. 7
(24): 3513-3518.
Akbar MRV, Budiarti LY, Edyson. 2016. Perbandingan efektivitas antibakteri
antara ekstrak metanol kulit batang katsuri dengan ampisilin terhadap
Staphylococcus aureus. Berkala Kedokteran. 12(1): 1-9.
Amin LZ. 2014. Pemilihan antibiotik yang rasional. Medicinus [Internet].
[diunduh 2017 Feb 11]; 27(3): 40-45. Tersedia pada:
http://cme.medicinus.co/file.php/1/MEDICAL_REVIEW_Pemilihan_Antibi
otik_yang_Rasional.pdf.
Arif A, Mirdhatillah S, Purwantyastuti, Sudrajat SE. 2014. Farmakologi. Jakarta
(ID): FKUI.
Auer S, Wojna A, Hell M. 2010. Oral treatment options for ambulatory patients
with urinary tract infections caused by extended-spectrum-β-lactamase-
producing Escherichia coli. Antimicrob Agents Chemother. 54 (9): 4006-
4008).
Banerjee S, Batabyal K, Joardar SN, Isore DP, Dey S, Samanta I, Samanta TK,
Murmu S. 2017. Detection and characterization of pathogenic Pseudomonas
aeruginosa from bovine subclinical mastitis in West Bengal, India.
Veterinary World [Internet]. [diunduh 2017 Nov 08]; 10 (7): 738-742.
Tersedia pada: www.veterinaryworld.org/Vol.10/July-2017/4.pdf.
Barbeur EK, Kassabian TJ, Shaib H, Kassaify Z, Iyer A, Azhar E, Harakeh S,
Kumosani T. 2015. The significance of Escherichia coli-induced mastitis in
cows associated with the presence of virulence genes and wide range-
resistance to twenty antimicrobials. Intern J Appl Res Vet Med. 13 (1): 51-
63.
Bergey DH. Breed RS. 1994. Identification flow chart Bergey’s manual of
determiniative bacteriology [Internet]. [diunduh 2017 Mei 13]. Tersedia
pada: http://mysite.science.uottawa.ca/jbasso/microlab/IDFlowcharts.pdf.
Beyene GF. 2016. Antimicrobial susceptibility of Staphylococcus aureus in cow
milk, Afar Etiopia. International Journal of Modern Chemistry and Applied
Science. 3 (1): 280-283.
Bjork S. 2013. Clinical and subclinical mastitis in dairy cattle in Kampala,
Uganda. Uganda: Sveriges Iantbruksuniversitet.
Bouari C, Nadas GC, Chirila F, Rapuntean S, Catoi C, Tabaran FA, Gal A,
Taulescu M, Fit NI. 2016. Prevalence and antimicrobial susceptibility
profiles of pathogen isolated from bovine mastitis milk in Transylvania,
Romania. 73 (2): 329-333.
Brolund A, Sundqvist M, Kahlmeter G, Grape M. 2010. Molecular
characterisation of trimethoprim resistance in Escherichia coli and
21

Klebsiella pneumonia during a two year intervetion on trimethoprim use.


Plos One. 5 (2): e9233. Doi: 10.1371/journal.pone.0009233.
Casas EMC, Morales REM. 2012. Bovine Mastitis pathogens: prevalence and
effects on somatic cell count. Intecs [Internet]. [diunduh 2017 Feb 6]; 17:
359-374. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.5772/51032.
Chopra I, Roberts M. 2001. Tetracycline antibiotics: mode of action, applications,
molecular biology, and epidemiology of bacterial resistance. American
Society for Microbioly: Microbiology and Molecular Biology Reviews. 65
(2): 232-260.
[CLSI] Clinical and Laboratory Standard Institute. 2012. Performance standards
for antimicrobial susceptibility testing; twenty-second informational
supplement. USA.
Darwish SF, Asfour HAE, Allam HA. 2015. Incidence of Yersinia enterocolitica
and Yersinia pseudotuberculosis in raw milk samples of different animal
species using conventional and molecular methods. Alexandria Journal of
Veterinary Sciences. 44: 174-185. Doi: 10.5455/ajvs.176360.
[Ditjennak Keswan] Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan.
Drugbank. 2005a. Carbenicillin [Internet]. [diunduh 2017 Okt 17]. Tersedia pada:
https://www.drugbank.ca/drugs/DB00578.
Drugbank. 2005b. Cephalothin [Internet]. [diunduh 2017 Okt 09]. Tersedia pada:
https://www.drugbank.ca/drugs/DB00456.
Dzidic S, Suskovic J, Kos B. 2007. Antibiotic resistance mechanisms in bacteria:
biochemical and genetic aspects. Biotechnol [Internet]. [diunduh 2017 Mei
23]; 46(1): 11-21. Tersedia pada: http://hrcak.srce.hr/file/34842.
[EMA] European Medicines Agency. The European Agency for the Evaluation of
Medicinal Products Veterinary Medicines and Information Technology
Unit. 2000. Erythromycin - erythromycin thiocyante – erythromycin stearate
[Internet]. [diunduh 2017 Okt 17]. Tersedia pada:
www.ema.europa.eu/ema/pages/includes/document/open_document.jsp?we
bContentId=WC500014182 - 15k - 2013-07-21.
Fadhilah D. 2017. Karakteristik dan habitat Alcaligenes spp. Ilmu Veteriner
[Internet]. [diunduh 2017 Nov 13]. Tersedia pada:
http://ilmuveteriner.com/karakteristik-dan-habitat-alcaligenes-spp/.
Guern ASL, Martin L, Savin C, Carniel E. 2016. Yersiniosis in France: overview
and potential sources of infection. International Journal of Infectious
Diseases. 46: 1-7. Doi: 10.1016/j.ijid.2016.03.008.
Hamidi A, Sylejmani D. 2016. Antimicrobial susceptibility of Staphylococci
isolated from clinical mastitis in dairy cows in Kosovo. Bulgarian Journal
of Agricultural Science. 22 (5): 836-839.
Harada et al. 2017. Phenotypic and molecular characterization of antimicrobial
resistance in Enterobacter spp. isolates from companion animals in Japan.
Plos One. 12 (3): e0174178. Doi: 10.1371/journal.pone.0174178.
Harmita, Radji M. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. July M, editor. Jakarta (ID):
EGC.
22

Herlina N, Afiati F, Cahyo AD, Herdiyani PD, Qurotunnada, Tappa B. 2015.


Isolasi dan identifikasi Staphylococcus aureus dari susu mastitis subklinis
di Tasikmalaya, Jawa Barat. Pros. Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1 (3): 413-
417.
Hinthong W, Pumipuntu N, Santajit S, Kulpeanprasit S, Buranasinsup S,
Sookrung N, Chaicumpa W, Aimurai P, Indrawattana N. 2017. Detection
and drug resistance profile of Escherichia coli from subclinical mastitis
cows and water supply in dairy farms in Saraburi Province, Thailand. PeerJ.
Doi: 10.7717/peerj.3431.
Iddris SHE, Tancin V, Kirchnerova K, Tancinova D, Zaujec K. 2014. Mastitis
pathogens and their resistance against antimicrobial agenst in dairy cows in
Nitra, Slovakia. Slovak. J. Anim. Sci. 47 (1):33-38.
Jang SS, Biberstein EL, Hirsh DC. 1986. A Manual of Veterinary Clinical
Bacteriology and Micology. Davis (US): Univ California.
Jawetz E, Melnick, Adelberg. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta (ID): EGC.
Jones RN. 1996. Impact of changing pathogens and antimicrobial susceptibility
patterns in the treatment of serious infections in hospitalized patients. The
American Journal of Medicine.100 (6A): 3S-12S).
Kateete PD, Kabugo, M Najjuka CF, Joloba ML. 2013. Prevalence and
antimicrobial susceptibility patterns of bacteria from milkmen and cows
with clinical mastitis in around Kampala, Uganda. Plos One [Internet].
[diunduh 2017 Nove 12]. Tersedia pada:
http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0063413.
Kee Jl, Hayes ER. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Peter A,
penerjemah; Yasmin A, editor. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari:
Pharmacology: A Nursing Process Approach.
Kester M, Karpa KD, Vrana KE. 2012. Elsevier's Integrated Review
Pharmacology. USA: Elsevier.
Krisnaningsih MMF, Asmara W, Wibowo MH. 2005. Uji sensitivitas isolat
Escherichia coli patogen pada ayam terhadap beberapa jenis antibiotik. J.
Sain Vet [Internet]. [diunduh: 2017 Des 05]; 1: 13-18 Tersedia pada:
https://jurnal.ugm.ac.id/jsv/article/download/361/214.
Lakhsmi R & Jayavardhanan KK. 2016. Isolation and identification of major
causing bacteria from bovine mastitis. International Journal of Applied and
Pure Science and Agriculture. 2(4): 45-47.
Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta (ID): Raja Grafindo
Persada.
Levy SB. 1998. The challenge of antibiotic resistance. Scientific American, Inc
[Internet]. [Diunduh 2017 Feb 12]; hal: 46-76. Tersedia pada:
http://www.micro.utexas.edu/courses/kalthoff/bio346/PDF/Readings/08Lev
y%20(1998).pdf.
Livermore DM. 2002. Multiple mechanisms of antimicrobial resistance in
Pseudomonas aeruginosa: our worst nightmare. Clinical Infectious Diseases
[Internet]. [diunduh 2017 Des 18]; 34: 634-640. Tersedia pada:
https://academic.oup.com/cid/article/34/5/634/317893.
Lundberg Å. 2015. Mastitis in dairy cows: genotypes, spread, and infection
outcome of three important udder pathogens. Acta Universitatis Agriculture
Sueciae. 28: 11-14.
23

Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock Biology of Microorganisms.


London (UK): Prentice- Hall.
Marimuthu M, Abdullah FFJ, Mohammed K, Poshpum SD/OS, Adamu L, Osman
AY, Abba Y, Tijjani A. 2014. Prevalence and antimicrobial resistance
assessment of subclinical mastitis in milk samples from selected dairy
farms. American Journal of Animal and Veterinary Sciences. 9 (1): 65-70.
Doi: 10.3844/ajavssp.2014.65.70.
Masters PA, O’Bryan TA, Zurlo J, Miller DQ, Joshi N. 2003. Trimethoprim-
sulfamethoxazole revisited. Arch Intern Media. 163: 402-410.
Mazurek J, Bok E, Stosik M, Baldy-Chudzik K. 2015. Antimicrobial Resistance in
Commensal Escherichia coli from pigs during metaphylactic trimethoprim
and sulfamethoxazole treatment and in the post-exposure period.
International Journal of Environmental Research and Public Health. 12:
2151-2160. Doi: 10.3390/ijerph120202150.
Mulyani S. 2013. Kimia dan Bioteknologi dalam Resistensi Antibiotik. Surakarta
(ID): PMIP FKIP UNS.
Mutschler E. 1999. Dinamika Obat. Ed ke-5. Mathilda BW, Anna SR,
penerjemah; Kosasih P, editor. Bandung (ID): ITB. Terjemahan dari:
Arzneimittelwirkungen, 5 volling neubearbeitete und erweiterte Auflage.
[NCCLS] National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2005. Manual
of Antimicrobial Susceptibility Testing. USA: American Society for
Microbiology.
[NCI] National Cancer Institute. 2017. Cephalothin (code C62021) [Internet].
[diunduh 2017 Okt 09]. Tersedia pada:
https://ncit.nci.nih.gov/ncitbrowser/pages/concept_details.jsf?dictionary=N
CI_Thesaurus&version=17.08d&code=C62021&ns=NCI_Thesaurus&type=
properties&key=null&b=1&n=0&vse=null.
Neal MJ. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Ed ke-5. Juwalitas S,
penerjemah; Amalia S, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari:
Medical Pharmacology at a Glance 5th Edition.
Neu HC, Gootz TD, 1996. Medical Microbiology. 4th ed. NCBI [Internet].
[diunduh 2017 Mei 26]. Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7986/.
Nsofor CA, Iroegbu CU. 2013. Plasmid profile of antibiotic resistent Escherichia
coli isolated from domestic animals in South-East Nigeria. Journal of Cell
and Animal Biology. 7 (9):109-115. Doi: 10.58897/JCAB2013.0390.
Nurhayati IS, Martindah E. 2015. Pengendalian mastitis subklinis melalui
pemberian antibiotik saat periode kering pada sapi perah. Wartazoa. 25(2):
65-74.
Pace N, Serpell M. 2015. Intensive Care Medicine: Prepare for the FRCA E-
Book: Key Articles from the Anaesthesia and intensive Care Medicine
Journal. USA: Elsevier Health Sciences.
Papich MG. 2016. Saunders Handbook of Veterinary Drugs: Small and Large
Animal, Fourth Edition. USA: Elsevier.
Perez JO et al. 2015. Prevalence of bovine subclinical mastitis, its etiology and
diagnosis of antibiotic resistance of dairy farms in four municipalities of a
tropical region of Mexico. Tropical Animal Health and Production. 47 (8):
1497-1504.
24

Petersson-Wolfe CS, Costello S, Currin J. 2011. Serratia spp.: a practical


summary for controlling mastitis. Virginia: Virginia Tech-Virginia State
University [Internet]. [diunduh 2017 Nov 11]. Tersedia pada:
https://pubs.ext.vt.edu/content/dam/pubs_ext_vt_edu/404/404-225/404-
225_pdf.pdf.
Peton V, Loir YL. 2014. Staphylococcus aureus in veterinary medicine. Infection,
Genetics and Evolution 21: 602-615. Doi: 10.1016/j.meegid.2013.08.011.
Philippe N, Maigre L, Santini S, Pinet E, Claverie JM, Regli AVD, Pages JM,
Masi M. 2015. In vivo evolution of bacterial resistance in two cases of
Enterobacter aerogenes infections during treatment with imipenem. Plos
One. 10 (9): e0138828. Doi: 10.1371/journal.pone.0138828.
Prawesthirini S, Ferianto A, Supranianondo K. 2012. Pola resistensi
Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu mastitis pada sapi perah di
Wilayah Kerja KUD Argopuro Krucil Probolinggo terhadap antibiotika.
Veterina Medika. 5 (3): 181-186.
Regli AD, Pages JM. 2015. Enterobacter aerogenes and Enterobacter cloacae;
versatile bacterial pathogens confronting antibiotic treatment. Frontiers in
Microbiology [Internet]. [diunduh: 2017 Des 8]; 6 (392): 1-10. Tersedia
pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4435039/pdf/fmicb-
06-00392.pdf.
Rukmono P, Zuraida R. 2013. Uji kepekaan antibiotik terhadap Pseudomonas
aeruginosa penyebab sepsis neonatorum. Sari Pediatri.14 (5): 332-336.
Salih RRM. 2015. Comparison between the percentage of incidence of mastitis
caused by Bacillus spp. and Staphylococcus spp. in winter season in
Khartoum State, Sudan. Online Journal of Animal and Feed Research. 5 (4):
112-116.
Setiabudi RJ, Kuntaman, Puspitasari I. 2014. Antibiotics quantity-based
Escherichia coli resistance pattern in patients at surgical and psychiatric
wards, dr. Soetomo Hospital, Surabaya. Folia Medica Indosiana. 50 (2):
104-109.
Setiabudy R. 2007. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-5. Jakarta (ID): Departemen
Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology: Bacterial and Fungal
Agents of Animal Disease. USA: Elsevier Saunders.
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak 1-a (Mamalia). Yogyakarta (ID): UGM
Press.
Sudigdoadi S. 2014. Mekanisme Timbulnya Resistensi Antibiotik pada Infeksi
Bakteri. Bandung (ID): Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran.
Sugiri YD, Anri A. 2010. Prevalensi patogen penyebab mastitis subklinis
(Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae) dan patogen
penyebab mastitis subklinis lainnya pada peternakan skala kecil dan
menengah di beberapa sentra peternakan sapi perah di Pulau Jawa. Dinas
Peternakan Jawa Barat [Internet]. [diunduh 2017 Mei 26]. Tersedia pada:
http://disnak.jabarprov.go.id/files_arsip/Prevalensi_Patogen_Penyebab_Mas
titis_Subklinis.pdf.
Sumardjo D. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksata. Jakarta (ID): EGC.
25

Surjowardojo P, Suyadi, Hakim L, Aulani’am. 2008. Ekspresi produksi susu pada


sapi perah mastitis. J. Ternak Tropika. 9(2):1-11.
Suwito W, Wahyuni AETH, Nugroho WS, Sumiarto B. 2013 Isolasi dan
Identifikasi bakteria mastitis klinis pada kambing peranakan ettawah. Jurnal
Sain Veteriner. 31 (1): 49-54.
Swartz T, Petersson-Wolfe CS. 2016. Pseudomonas spp.: A practical summary for
controlling Matitis. Virginia: Virginia Tech-Virginia State University,
Virginia Cooperative Extension [Internet]. [diunduh 2017 Nov 05]. Tersedia
pada: https://vtechworks.lib.vt.edu/bitstream/handle/10919/75565/DASC-
70.pdf?sequence=1.
Thiolas A, Bollet C, Scola BL, Raoult D, Pages JM. 2005. Successive emergence
of Enterobacter aerogenes strains resistant to imipenem and colistin in a
patient. American Society for Microbiology. 49 (4): 1354-1358. Doi:
10.1128/AAC.49.4.1354-1358.2005.
Thorberg BM. 2008. Coagulase-negative Staphylococci in bovine sub-clinical
mastitis [tesis]. Uppsala (Swedish): Swedish University of Agricultural
Sciences.
Tomazi T, Goncalves JL, Barreiro JR, de Campos Braga PA, e Silva LFP, Eberlin
MN, dos Santos MV. 2014. Identification of coagulase-negative
Staphylococci from bovine intramammary infection by matrix-assisted laser
desorption ionization-time of flight mass spectrometry. American Society
for Microbiology-Journal of Clinical Microbiology. 52 (5): 1658-1663. Doi:
10.1128/JCM.03032-13.
Triana D. 2014. Frekuensi β-Lactamase hasil Stapylococcus aureus secara
iodometri di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. Jurnal Gradien. 10 (2): 992-995.
[UMCVM] University of Minnesota College of Veterinary Medicine. 2014.
Matitis Pathogen Factsheet [Internet]. [diunduh 2017 Nov 05]. Tersedia
pada: https://www.vdl.umn.edu/sites/vdl.umn.edu/files/e-coli-coliform-
mastitis.pdf.
Vivianti A. 2017. Uji Resistensi Bakteri Escherichia Coli Dari Susu Segar Pada
Peternakan Sapi Perah Di Surabaya Terhadap Beberapa Antibiotika
[skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
Wibawa T. 2012. Mechanism of antibiotic resistance in bacteria. Department of
Microbiology, Faculty of Medicine, UGM [Internet]. [diunduh: 2017 Des
13]. Tersedia pada:
http://libmed.ugm.ac.id/download.php?file=psd^pdf^134^13351920161109.
Wibowo MH, Nugroho WS, Asmara W. 2011. Profil plasmid Escherichia coli
resisten terhadap beberapa antibiotika yang diisolasi dari peternakan ayam
komersial. J. Sain. Vet. 29 (1): 43-50.
Widiyastutik VS, Wurlina, Budiarto. 2013. Kepekaan Escherichia coli dari susu
kambing peranakan etawa terhadap antibiotika. Veterinaria medika. 6 (2):
103-106.
Yuwono H. 2010. Pandemi resistensi antimikroba: belajar dari MRSA.
Universitas Sriwijaya [Internet]. [diunduh: 2017 Nov 22] tersedia pada:
http://eprints.unsri.ac.id/1481/1/JKK_2011.pdf.
Lampiran 1 Hasil pengamatan ciri koloni bakteri pada media agar (Mac Conkey agar dan blood agar) dan morfologi bakteri

Kode
No Ciri koloni Morfologi bakteri
Isolat
1 1A1 MCA Bulat, sedang, halus, tepi rata, permukaan cembung, mengkilat, translusen, dan merah muda kokoid, bergerombol, merah
2 1A2 MCA Bulat, sedang, halus, tepi rata, permukaan cembung, mengkilat, translusen, dan jingga kokoid, tunggal, merah
Bentuk seperti kerang, sedang, halus, tepi rata, permukaan cembung, mengkilat, translusen, dan
3 1A3 MCA kokoid, tunggal, berpasangan, merah
pucat
4 1A4 MCA Bulat, besar, permukaan rata dan berbutir, tepi rata, translusen, dan putih Batang, tunggal, merah
5 1A1 BA Bulat, kecil, halus, tepi rata, mengkilat, translusen, kuning, dan hemolisis β Kokoid, bergerombol, berantai, merah
6 1A2 BA Bulat, kecil, halus, tepi rata, mengkilat, translusen, putih, dan tidak menghemolisis darah Kokoid, bergerombol, merah
7 1A3 BA Bulat, besar, halus, tepi tidak rata, tidak mengkilat, translusen, dan hemolisis β Batang, bergerombol, berspora, biru
8 1B1 MCA Bulat, kecil, halus, mengkilat, tepi rata, permukaan cembung, translusen, dan jingga Kokoid, bergerombol, berantai, merah
9 1B2 MCA Bulat, sedang, halus, tepi rata, permukaan cembung, mengkilat, translusen, dan merah muda Kokoid, bergerombol, merah
10 1B3 MCA Bulat, besar, permukaan rata dan berbutir, tepi rata, tidak mengkilat, opaque, dan putih. Kokoid, tunggal, merah
Bulat, sedang, tepi rata, permukaan halus dan cembung, mengkilat, translusen, putih, dan tidak
11 1B1 BA Kokoid, bergerombol merah
menghemolisis darah
Bulat, sedang, tepi rata, permukaan halus dan cembung, mengkilat, translusen, kuning, dan tidak
12 1B2 BA Kokoid, bergerombol merah
menghemolisis darah
13 1B3 BA Bulat, besar, tepi tidak rata, permukaan rata, translusen, mengkilat, dan hemolisis β Batang, berantai, tunggal, ungu
14 1C1 MCA Bulat, kecil, tepi rata, permukaan halus dan cembung, mengkilat, translusen, dan jingga Kokoid, bergerombol, merah
15 1C2 MCA Bulat, kecil, tepi rata, permukaan halus dan cembung, mengkilat, translusen, dan pucat Kokoid, bergerombol, merah
Bulat, sedang, tepi rata, permukaan halus dan cembung, mengkilat, translusen, putih, dan tidak
16 1C1 BA Kokoid, bergerombol, merah
menghemolisis darah
Bulat, sedang, tepi rata, permukaan halus dan cembung, mengkilat, translusen, kuning, dan tidak
17 1C2 BA Bulat, bergerombol, ungu
menghemolisis darah
18 1C3 BA Bulat, besar, tepi tidak rata, permukaan rata, translusen, mengkilat, dan hemolisis β Kokoid, bergerombol, merah
19 2A1 MCA Bulat, sedang, tepi tidak rata, mengkilat, permukaan halus dan cembung, translusen, dan merah muda Kokoid, tunggal, merah
20 2A2 MCA Oval, sedang, tepi rata, permukaan halus dan cembung, mengkilat, translusen, dan pucat Kokoid, tunggal,merah
21 2A1 BA Bulat, besar, permukaan rata, mengkilat, translusen, dan hemolisis α Batang, berantai, berspora, biru
22 2A2 BA Bulat, kecil, tepi rata, mengkilat, permukaan halus dan cembung, opaque, dan berwarna putih Batang, tunggal, merah
Keterangan: MCA: Mac Conkey agar
BA: Blood agar

26
Lampiran 2 Hasil uji biokimiawi bakteri Gram negatif

Kode
No Oksidase Motilitas Indol TSIA Urea Sitrat Glu Lak Mn Ml Suk VP MR Bakteri
isolat
1 1A1 MCA - M - A/A,-,- + - +/- -/- -/- +/- +/- + + Yersinia spp
2 1A2 MCA - M - N/N,-,- - - -/- -/- -/- -/- -/- - - Pseudomonas spp
3 1A3 MCA - M - A/A,-,- + D -/- -/- -/- D -/- - + Yersinia spp
4 1A4 MCA - M - A/A,-,- - D D -/- -/- -/- -/- - D Pseudomonas diminuta
5 1A1 BA + M - A/A,-,- - D +/- -/- +/- +/- -/- + + Yersinia spp
6 1A2 BA - NM - N/N,-,- - - -/- D -/- D -/- - + Pseudomonas spp
7 1B1 MCA - M - A/A,+,- D + +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ + + Enterobacter aerogenes
8 1B2 MCA - M - N/N,-,- - + -/- -/- -/- -/- -/- - + Alkaligenes spp
9 1B3 MCA - M - A/A,-,- + - +/- -/- D +/- -/- - - Yersinia spp
10 1B1 BA - M - A/A,+,- + + +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ + - Enterobacter aerogenes
11 1B2 BA + M - A/A,-,- - - D -/- -/- D +/- - + Serratia spp
12 1C1 MCA - M - A/A,-,- + - +/- +/- +/- +/- +/- - + Serratia spp
13 1C2 MCA - M - A/A,-,- + - -/- -/- -/- -/- -/- - - Pseudomonas spp
14 1C1 BA - M - A/A,-,- + - D -/- -/- -/- -/- - + Yersinia spp
15 1C3 BA - M - N/N,-,- - D -/- -/- -/- -/- -/- - - Pseudomonas spp
16 2A1 MCA + M + A/A,+,- D D +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ Escherichia coli
17 2A2 MCA + M - N/N,-,- D + -/- -/- -/- -/- -/- Pseudomonas spp
18 2A2 BA + M - N/N,-,- D + -/- -/- -/- -/- -/- Pseudomonas spp
Keterangan: - : negatif A/A,+,- : asam/asam, ada gas, tidak terbentuk H2S
+ : positif A/A,-,- : asam/asam, tidak terbentuk gas, tidak terbentuk H2S
D : dubius N/N,-,- : netral/netral, tidak terbentuk gas, tidak terbentuk H2S
M : motil +/+ : terjadi fermantasi karbohidrat/ada gas
NM : nonmotil +/- : terjadi fermentasi karbohidrat/tidak ada gas
MCA : Mac Conkey agar -/- : tidak terjadi fermentasi karbohidrat/ tidak ada gas
BA : blood agar

27
Lampiran 3 hasil identifikasi bakteri Gram positif

No Kode sampel Hasil uji Bakteri


1 1A3 BA Batang, berspora Bacillus spp
2 2A1 BA Batang, berspora Bacillus spp
3 1B3 BA Batang, tidak berspora, tidak tahan asam, katalase positif, motil Listeria spp
Kokus, katalase positif, memfermentasi glukosa dalam keaadan mikroaerofilik, tidak
4 1C2 BA Staphylococcus epidermidis
memfermentasi manitol

Lampiran 4 Diameter zona hambat dari bakteri yang diuji dengan tiga pengulangan

Diameter zona hambat (mm)


No Bakteri Sefalotin Karbanesilin Ampisilin Tetrasiklin Eritromisin Gentamisin Trimetoprim
1 2 3 x 1 2 3 x 1 2 3 x 1 2 3 x 1 2 3 x 1 2 3 x 1 2 3 x
Pseudomonas
1 7 6 6 6.3 7 6 6 6.3 6 6 6 6 16 14 14 14.7 6.5 6 6 6.2 18 20 20 19.3 6 6 6 6
spp
Enterobacter
2 6.5 6 6 6.2 6 6 7 6.3 6 6 7 6.3 16 16 15 15.7 6.5 6 6 6.2 18 20 18 18.7 28 27 26 27
aerogenes
Escherichia
3 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
coli
Staphylococcus
4 6 6 6 6 6.5 6 6 6.2 6 6 6 6 21 22 21 21.3 17 16 16 16.3 20 20 20 20 17 18 18 17.7
aureus

28
29

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sabu pada tanggal 21 Juli 1994 dari ibu Mariana
Manno dan ayah Yonatan Djari. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara.
Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD) di SD
GMIT Bebae selama enam tahun. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan di SMPN 1 Sabu Timur selama tiga tahun. Setelah itu, penulis
melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Sabu Timur dan lulus pada tahun 2012. Pada
tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Beasiswa Utusan Daerah dan mengikuti Program Prauniversitas (PPU)
selama satu tahun. Setelah mengikuti PPU, penulis diterima di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama perkuliahan, penulis aktif di
UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB sebagai pengajar responsi mata kuliah
Landasan Matematika dan Kimia (2013), serta menjadi wakil koordinator bidang
pelayanan Komisi Pelayanan Anak (2014-2015). Pada tahun 2016, penulis aktif
sebagai pengajar di Organisasi Sanggar Juara. Selain itu, penulis juga aktif di
berbagai kepanitiaan.

Anda mungkin juga menyukai