Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

WAWASAN KEMARITIMAN

“BATAS-BATAS DAN KEWENANGAN LAUT INDONESIA”

Oleh :

BOI HERMAN

G2S1 18 004

PROGRAM PASCASARJANA

GEOGRAFI

UNIVERSITAS HALUOLEO

2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita
ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Batas-batas dan Kewenangan Laut Indonesia” dengan lancar.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada
khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu
penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan.
Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.

Wassalam.

kendari, 4 Juli 2019

Penulis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal memiliki peran
strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah baik untuk kepentingan nasional maupun hubungan
antar negera (internasional). Posisi geografis Repulik Indonesia yang diapit oleh dua benua,
mempunyai batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga. Secara faktual, wilayah perbatasan
merupakan pagar NKRI yang wilayahnya harus dimodernisasi untuk dapat mengontrol dan menguasai
batas-batas wilayah kedaulatan negara. Modernisasi wilayah perbatasan tidak selalu diterjemahkan
dalam pengertian fiskal. Modernisasi wilayah perbatasan dapat dilakukan dengan pendekatan resources
karena tidak sedikit pulau-pulau perbatasan maupun daratan diperbatasan, memiliki potensi sumberdaya
kelautan yang dapat dikembangkan secara ekonomi perbatasan (Mukti, dalam Hadiwijoyo, 2009 “
Batas Wilayah Negara Indonesia”).

Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana
Pembanguan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014 disebutkan bahwa “Program
Pengembangan Wilayah Perbatasan bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui
penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional, serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta
keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga”.
Pembangunan kawasan perbatasan dilakukan dengan pendekatan ekonomi dan pertahanan. Berbagai
konflik didaerah perbatasan yang kesekian-kalinya mengganggu NKRI, yang disebabkan ketertinggalan
dari sisi ekonomi, sosial dan infrastruktur wilayah. Atas dasar ketertinggalan itu maka pengaruh
ekonomi dan sosial negara tetangga terhadap wilayah di perbatasan menjadi dominan. Dalam kaitannya
dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan, pemerintah dan bangsa Indonesia telah membuat
suatu kebijakan yang strategis dan antisipasif, yaitu dengan menjadikan matra laut sebagai sektor
tersendiri dalam RPJM Tahun 2010, yang sebelumnya merupakan bagian bagian dari berbagai sektor
pembangunan.

Berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982),
Indonesia diberi hak berdaulat memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2 yang
menyangkut eksplorasi, eksploitasi, dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian dan
juridiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Batas terluar dari ZEE adalah 200 mil dari garis
pangkal pada surut rendah. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keaneka
ragaman sumberdaya alamnya, baik dalam sumberdaya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan
mangrove, dan terumbu karang) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan
gas, serta mineral atau bahan tambang lainnya).

Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) dan memiliki luas perairan 2,8 x 10
juta km, dengan panjang garis pantai 80,791 km. Luas keseluruhan Indonesia terdiri atas luas daratan
seluas 1.919.000 km dan lautan seluas 5.800.000 km (Encarta; Boston dalam Dahuri, 2001). Pulau-pulau
yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi sumberdaya kelautan yang luar biasa
besarnya. Potensi sumberdaya kelautan ini merupakan peluang sekaligus tantangan dalam upaya
melaksanakan akselerasi, percepatan pembangunan sektor perikanan & kelautan, termasuk di dalamnya
pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan. Kondisi ini telah menghantar konsensus politik nasional
untuk mengembangkan sektor kelautan & perikanan sebagai salah satu andalan bagi Pemasukan Negara
(leading sector) dalam rangka mendukung dan mengembangkan pembangunan nasional secara
komprehensif yang berkelanjutan (sustainable development). Akan tetapi potensi tersebut tidaklah
berarti, bilamana wilayah perairannya tidak memiliki batas wilayah laut. Hal ini menunjukkan bahwa
batas wilayah memiliki nilai strategis yang sangat penting di sektor kelautan dalam rangka
pemanfaatan/eksplorasi sumberdaya yang terkandung di dalamnya, mengingat sebagian wilayah
perbatasan negara kita berada dilaut dan pulau-pulau kecil (terluar). Menurut Konvensi PBB Tentang
Hukum Laut No.17 Tahun 1985, Wilayah Perbatasan Negara Indonesia dilaut berupa batas Laut
Teritorial (LT), batas Landas Kontinen (LK) serta batas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Ruang laut dan pesisir sebagai wadah dari sumberdaya kelautan dan pesisir tersebut memiliki
tingkat kepekaan yang tinggi terhadap terhadap gangguan yang ditimbulkan oleh setiap kegiatan
pemanfaatan dan pengembangan di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain mengandung
beraneka ragam sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan
manusia, ruang laut dan pesisir menampilkan berbagai isu menyangkut keterbatasan dan konflik dalam
penggunaannya. Pengaturan ruang laut sebagai salah satu upaya pengelolaan sumberdaya nasional yang
tersedia di wilayah kabupaten/kota merupakan suatu kewenangan daerah, yang di dalamnya sekaligus
mencakup eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengaturan administratif dan penegakan hukum (Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Batas-batas dan Kewenangan Laut Indonesia?


C. Tujuan

Untuk Mengetahui Batas-batas dan Kewenangan Laut Indonesia.

II. PEMBAHASAN

A. Batas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Setiap wilayah pasti memiliki batas – batas untuk wilayahnya dengan wilayah lain. Hal serupa juga

dimiliki oleh wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia. Berikut batas – batas wilayah dari Indonesia

1. Sebelah Utara

Di sebelah utara, Indonesia berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Tepatnya untuk

Indonesia di sebelah utara Pulau Kalimantan. Sedangkan untuk wilayah perairan, Indonesia berbatasan

langsung dengan laut lima negara, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan Filipina.

2. Sebelah Barat

Di sebelah barat, Indonesia berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan perairan negara

India. Untuk wilayah daratan, Indonesia tidak berbatasan langsung dengan wilayah negara lain. Antara

Indonesia dengan India, ditandai dengan dua pulau yaitu, Pulau Ronde di Aceh dan Pulau Nicobar di

India.

3. Sebelah Timur

Di sebelah timur, Indonesia berbatasan langsung dengan daratan Papua Nugini dan perairan

Samudera Pasifik. Antara Indonesia dan Papua Nugini tidak hanya berbatasan daratan, tetapi juga

berbatasan dengan wilayah perairan dan telah disepakati hubungan bilateral antarkedua negara tentang

batas-batas wilayah tersebut. Wilayah Indonesia sebelah timur, yaitu Provinsi Papua berbatasan dengan

wilayah Papua Nugini sebelah barat, yaitu Provinsi Barat (Fly) dan Provinsi Sepik Barat (Sandaun).
4. Sebelah Selatan

Di sebelah selatan, Indonesia berbatasan langsung dengan wilayah darat Timor Leste, perairan

Australia dan Samudera Hindia.Daerah daratan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste adalah

Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Hal ini dikarenakan, pada awalnya Timor Leste adalah bagian

dari wilayah Indonesia yang memisahkan diri dengan NKRI (1999). Diawal tahun 1997, Indonesia dan

Australia telah menyepakati batas-batas wilayah negara keduanya yang meliputi Zona Ekonomi

Ekslusif (ZEE) dan batas landas kontinen.

Batas dibedakan dalam dua hal utama, yaitu fungsi batas, dan bentuk batas (fisik). Batas secara
fungsional merupakan manifestasi daripada suatu sistem yang berkaitan dengan adanya diferensiasi
antara hak dan kewajiban dalam suatu tatanan lingkungan. Diferensiasi hak dan kewajiban tersebut
dapat bersumber dari adanya berbagai pengelompokan sosial seperti kultur, demografi, bahasa, agama,
hukum, politik, adat, tradisi, administrasi, yurisdiksi, dan seterusnya. Pada dasarnya yang menjadi objek
dalam tatanan lingkungan yang menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban adalah wilayah. Secara
fungsional, pada umumnya garis batas dimaksudkan untuk memisahkan beberapa hak dan kewajiban
masyarakat, anggota masyarakat ataupun negara atas suatu wilayah. Garis batas merupakan identifikasi
adanya hak dan kewajiban itu. Hak dan kewajiban tersebut dapat timbul berdasarkan hubungan hukum
kelompok sosial masyarakat (adat) dengan wilayahnya, seperti misalnya lingkungan masyarakat hukum
adat.
Di laut tidak dikenal batas berkaitan dengan hak-hak hukum adat, meskipun hak-hak tradisional
menangkap ikan itu ada. Hal tersebut disebabkan karena selain batas konkrit tidak pernah jelas, juga
tidak pernah sesuai dengan batas yang di klaim masyarakat adat lainnya. Hak-hak tradisional diperairan
negara lain yang kemudian melibatkan hak dan kewajiban negara itu dapat diterima sebagai hak-hak
tradisional yang sah oleh negara tersebut, akan tetapi lingkungannya diberi batas-batas serta ketentuan-
ketentuan lainnya yang membatasi hak-hak tradisional tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada kedua
perjanjian RI-Australia Tahun 1974 di laut Timor dan RI-Malaysia Tahun 1983 di laut Natuna.
Dalam kehidupan sehari-hari, pemberian batas dapat terjadi untuk hal-hal yang elementer,
seperti pemberian batas yang dapat dilakukan sendiri, tanpa bantuan subjek hukum lain, sampai
penetapan batas yang harus dilakukan bersama-sama dengan pihak lain, melalui kesepakatan karena
batas tersebut merupakan batas yang menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Batas yang
memerlukan kesepakatan dari pihak lain, mempunyai fungsi sebagai milik bersama atau “res
communis”. Negara merupakan suatu entitas politik yang diakui keberadaannya oleh hukum
internasional. Diluar wilayah suatu negara, dapat berupa wilayah negara lain, ataupun wilayah entitas
lembaga masyarakat internasional.
Mengapa negara wajib memiliki wilayah yang jelas dan wajib memenuhi kepentingan
internasional. Pengertian “negara” secara umum, pada awalnya terdapat dalam Konvensi Montevideo
tahun 1933 mengenai hak dan kewajiban negara, yang menyebutkan beberapa unsur daripada suatu
negara sebagai subjek hukum Internasional (characteristic of State as a person of International Law) :
a) permanent population;
b) a defined territory;
c) a Government; and
d) a capacity to enter into relations with other States.

Pengertian mengenai negara sangatlah luas tergantung dari sudut mana pengertian tersebut akan
ditinjau. Dari ke-empat unsur yang disebut oleh konvensi tersebut diatas, yang banyak terkait dengan
pelaksanaan konvensi adalah unsur ke-dua, yaitu “a defined territory”, karena “defined territory” ini
memerlukan kejelasan dan kepastian hukum. Dalam Pasal 2 (1) Konvensi Hukum Laut terlihat bahwa
setiap negara memiliki “land territory” dan “internal waters”. Kepastian hukum bagi wilayah negara
antara lain dimaksudkan bahwa wilayah tersebut diperoleh secara sah, dan tidak menganggu
kepentingan masyarakat internasional.
Meskipun perwujudan batas itu sendiri secara fisik hanyalah merupakan persoalan tehnis
belaka, akan tetapi tata cara penetapannya memerlukan kesepakatan atau mengikuti prinsip- prinsip
yang diletakkan dalam hukum internasional. Batas-batas antara negara seperti terdapat didaratan Eropa,
Afrika, Amerika, umumnya terjadi di daratan, sehingga para negosiator dapat memilih sendiri bentuk
apa yang dikehendakinya, yang sesuai dengan tujuan penetapan batas. Ada yang memilih bentuk
“artifisial boundary” atau ada yang memilih bentuk “natural boundary”, seperti lingkungan geografi
terestrial/aquatik, flora atau fauna, sungai, thalweg, garis pantai, pemisah air (watershed) atau bentuk-
bentuk alam lainnya yang dianggap bahwa eksistensinya relatif permanen. Bagi negara- negara yang
berbatasan dengan laut, batas negara tersebut juga berfungsi sebagai “pemisah” hak dan kewajiban
antara kedaulatan negara bersangkutan dengan kedaulatan entitas masyarakat internasional.
Hubungan antara daratan dan perairan wilayah negara memang tidak terbebas dari hubungannya
dengan hukum internasional. Meskipun laut teritorial tumbuh dari kepentingan nasional seperti
keamanan, komunikasi dan sumber alam, tetapi penetapannya tetap dilakukan oleh masyarakat
internasional berdasarkan hukum internasional, berbeda dengan wilayah daratannya termasuk perairan
pedalamannya. Masyarakat bangsa-bangsa hanya dapat mengakui kedaulatan penuh suatu negara atas
daratan dan perairan pedalamannya. Dengan demikian masyarakat internasional, tentunya tidak dapat
mengatur hak dan kewajiban negara lain di wilayah daratan dan perairan pedalaman suatu negara.
Bentuk batas wilayah antar negara yang bersumber dari hukum internasional seperti Konvensi
Hukum Laut 1982, didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang dapat diterima oleh seluruh
masyarakat bangsa-bangsa. Banyak sengketa perbatasan antar negara yang masuk ke lembaga arbitrasi,
ataupun mahkamah internasional. Dari putusan-putusan lembaga peradilan inilah lahir prinsip-prinsip
keadilan dalam penetapan perbatasan yang kemudian sering dikukuhkan kembali oleh Konvensi
Multilateral.
Meskipun maksud tujuan naskah ini adalah untuk membahas perihal batas wilayah negara, akan
tetapi perlu diupayakan sedapatnya untuk menggali unsur-unsur pokok yang terkait dengan persoalan
batas, seperti pembentukannya, persyaratannya, pelembagaannya dan pembinaannya.
Garis batas harus dibuat menurut landasan hukum yang jelas, dan sebaliknya pembuatan garis
batas senantiasa akan menimbulkan akibat hukum, yaitu hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
Batas-batas wilayah negara merupakan disiplin ilmu hukum yang telah lama berkembang, setidaknya
sejak konperensi kodifikasi hukum laut di Den Haag pada tahun 1930. Pada saat itu sudah nampak
kecenderungan masyarakat bangsa-bangsa yang beritikad baik, yaitu untuk membatasi dirinya dalam
ekspansi wilayahnya ke laut. Garis pangkal Kepulauan yang terbentuk sejak Konvensi Hukum Laut
tahun 1982, bukanlah suatu bentuk produk hukum yang tumbuh secara mendadak dan eksklusif, tetapi
merupakan kumulasipertumbuhan hukum secara bertahap. Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban
tersebut (bukan pelanggaran batas itu an sich) dapat dikenai sanksi, mulai dari sanksi yang ringan
sampai kepada sanksi yang berat, sesuai dengan kedudukan garis batas tersebut serta bentuk
pelanggaran yang dibuatnya.
Batas wilayah negara tidak terpisah dengan status hukum wilayah negara itu sendiri. Wilayah
negara dalam konteks pembahasan tentang “batas wilayah negara” sebagaimana dimaksud oleh judul
naskah ini tentunya adalah wilayah negara dalam berbagai bentuknya seperti daratan dan perairan
pedalamannya (termasuk udara diatasnya), perairan teritorial, zona tambahan dan perairan kepulauan.
Secara fungsional batas antara negara akan membagi kawasan yang bersambungan, berdampingan atau
berhadapan dengan kedaulatan, hukum, atau yurisdiksi yang berbeda.
Batas-batas wilayah negara sangat diperlukan untuk melaksanakan hak dan kewajiban negara
baik berdasarkan hukum nasional maupun hukum internasional . Batas-batas wilayah negara ditetapkan
berdasarkan konvensi hukum laut 1982, yang sebelumnya ditetapkan oleh konvensi Geneva tahun 1958
tentang laut teritorial dan zona tambahan. Akan tetapi dalam konvensi Geneva tersebut perangkat
hukum bagi penetapan batas-batas wilayah negara kepulauan belum ada.

B. Kewenangan Negara Menetapkan Batas Negara

Setiap negara berwenang untuk menetapkan sendiri batas-batasnya. Akan tetapi karena batas

terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah atau perairan dibawah kedaulatan atau

yurisdiksi Otoritas Negara atau Badan Hukum lain, maka penetapan batas tersebut wajib

memperhatikan kewenangan Otoritas/Badan Hukum lainnya tersebut. Tidak ada sejengkal wilayahpun

didunia ini yang tidak ada pemiliknya. Ada adagium yang menyebutkan bahwa garis batas mempunyai

kedudukan sebagai hak bersama atau “res communis”. Bagaimana tata cara menetapkan batas wilayah

antara dua kesatuan hukum dilaut, antara lain telah diatur secara garis besar dalam hukum internasional,

khususnya hukum laut. Prosedur-prosedur tehnis lebih detail terdapat dalam praktek negara-negara.

Prosedur umum penetapan garis batas laut teritorial antara dua negara yang berhadapan atau

berdampingan misalnya terdapat dalam Ps.15 Konvensi Hukum Laut. Jadi meskipun setiap negara

memiliki wewenang untuk menetapkan sendiri batas negaranya, akan tetapi selalu harus diperhatikan

ketentuan hukum internasional. Dalam sidang International Court of Justice menyangkut sengketa

perikanan antara Norwegia dan Inggris tahun 1951, sidang berpendapat :

“The delimitation of sea areas has always an international aspect; it cannot be dependent merely

upon the will of the coastal State as expressed in its municipal law. Although it is true that the act of

delimitation is necessarily a unilateral act, because only the coastal State is competent to undertake it,

the validity of the delimitation with regard to other States depends upon international law.
Pada peta ilustratif diatas dapat dilihat lingkungan terluar wilayah territoir Indonesia.

Wilayah territoir Indonesia tersebut ada yang langsung berbatasan dengan wilayah territoir

negara lain, seperti di Selat Singapura dengan wilayah territoir Singapura, di Selat Malaka

bagian selatan dengan wilayah territoir Malaysia, di Kalimantan dengan wilayah territoir

Malaysia, di laut Sulawesi dengan Entitas Internasional, di Samodera Pasifik dengan Entitas

Internasional, di Papua (Irian) dengan wilayah territoir Papua New Guinea, dan di Samodera

Hindia dengan Entitas Internasional.

Terdapat perbedaan tentang cara penetapan batas wilayah negara dengan negara lain dan

cara penetapan batas wilayah negara dengan Entitas Internasional. Bentuk produk hukum yang

pertama (batas dengan negara lain) adalah treaty, yang kemudian diratifikasi dengan undang-

undang oleh kedua negara, sedangkan bentuk produk hukum yang kedua (dengan Entitas

Internasional) adalah undang-undang nasional yang sesuai dengan ketentuan Unclos.


Untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, batas wilayah negara dimaksudkan sebagai

batas wilayah territoir negara kesatuan yang berada dibawah kedaulatan negara Republik

Indonesia dengan wilayah territoir yang berada dibawah kedaulatan negara lain dan batas

wilayah territoir negara kesatuan yang berada dibawah kedaulatan negara Republik Indonesia

dengan wilayah yang berada dibawah yurisdiksi Entitas Masyarakat Internasional, sebagaimana

dimaksud dalam Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (Unclos). Yang dimaksud dengan

wilayah dibawah yurisdiksi entitas masyarakat internasional adalah wilayah perairan yang

mempunyai status sebagai laut bebas.

Secara fungsional, garis batas dimaksudkan untuk memisahkan beberapa hak dan

kewajiban masyarakat, anggota masyarakat ataupun negara atas suatu wilayah. Garis batas

merupakan identifikasi adanya hak dan kewajiban itu. Hak dan kewajiban tersebut dapat timbul

berdasarkan hubungan hukum kelompok sosial masyarakat dengan wilayahnya, seperti misalnya

lingkungan masyarakat suatu negara.Batas wilayah negara tidak dimaksudkan sebagai batas

wilayah yang menjadi wewenang internal negara seperti batas-daerah otonom.


Pada skema tersebut diatas, batas wilayah negara di laut terdiri dari batas dengan 3 (tiga)

negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste dan 1 (satu) entitas internasional

yaitu di laut bebas seperti Samodera Hindia, Samodera Pasifik, Selat Malaka, Laut Natuna, Laut

Cina Selatan, Laut Sulawesi, Laut Arafura, dan Laut Timor.

Batas territoir negara di darat dan laut : 3 negara yang berdampingan :

1. Batas dengan Malaysia ditetapkan oleh Perjanjian Belanda-Inggris 20 Juni 1891 (teritorial

darat dan laut belum tuntas), diratifikasi dengan Wet (UU) Stb.53 tahun 1892. Penetapan batas

laut teritorialnya belum dilakukan.

2. Batas dengan Papua New Guinea ditetapkan oleh Perjanjian Belanda- Inggris 16 Mei 1895

dan telah diganti dengan Perjanjian Indonesia- Australia 12 Februari 1973 (teritorial darat dan

laut telah tuntas), diratifikasi dengan UU No.6 tahun 1973

3. Batas dengan Timor Leste ditetapkan oleh Perjanjian Belanda- Portugal 1 October 1904

(teritorial darat dan laut belum tuntas), diratifikasi dengan Wet (UU) Stb.38 tahun 1905.

Batas wilayah negara baik di darat maupun di laut yang telah selesai secara tuntas adalah

dengan Papua New Guinea (butir 2).

Batas territoir negara di laut : 2 negara yang berhadapan :

1. Batas dengan Singapura di Selat Singapura. Batas ini sebagian diselesaikan dengan

Perjanjian 25 Mei 1973, dan diratifikasi dengan UU No.7 tahun 1973. Sisanya dibagian timur

dan barat Selat Singapura, pada saat ini belum ditetapkan.

2. Batas dengan Malaysia di Selat Singapura dan Selat Malaka. Batas ini dibagian Selat

Malaka telah diselesaikan dengan Perjanjian 17 Maret 1970, dan diratifikasi dengan UU No.2

tahun 1971.

Batas territoir negara dengan entitas masyarakat internasional penetapannya dilakukan berdasarkan
Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 6 ayat (2) UU No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Ketentuan Pasal 6

ayat (2) UU No.6 tahun 1996 tersebut menyebutkan bahwa : “daftar titik-titik koordinat geografis dari

garis-garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah”. Sedangkan Peraturan Pemerintah dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No.38

tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ketentuan-ketentuan hukum yang memuat azas-azas mengenai penetapan batas wilayah

yang menimbulkan hak dan kewajiban kewilayahan bersumber dari hukum nasional. Sedangkan

ketentuan hukum yang memuat azas-azas mengenai penetapan batas wilayah Negara yang

menimbulkan hak dan kewajiban kenegaraan pada umumnya bersumber dari berbagai produk

hukum Internasional.

2. Ketentuan mengenai perbatasan teritorial wilayah Negara di darat pada dasarnya

bersumber dari perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum Kemerdekaan, yang berlaku bagi

Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip peralihan kekuasaan atau “Succession of State”.

3. Ketentuan mengenai perbatasan teritorial wilayah Negara di laut yang berhadapan dengan

wilayah entitas internasional, bersumber dari Konvensi Hukum Laut Tahun 1982.

B. Saran

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untul itu saran dan kritik yang sifatnya

membangun sangat dibutuhkan.


Daftar Pustaka

Dahuri,R et al.2001.”Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Peisisir dan Lautan Secara


Terpadu.”Jakarta:PT.Pradnya Paramita.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti, 2009, Batas Wilayah Negara Indonesia: Dimensi Permasalahan dan
Strategi Penanganan, Gava Media, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai