Anda di halaman 1dari 24

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Distribusi
Distribusi merupakan suatu proses kegiatan aliran atau penyaluran
barang dari produsen sampai ke tangan konsumen. Distribusi memerlukan
perencanaan, dan pengendalian yang baik untuk menciptakan keuntungan
ataupun pengurangan biaya operasional bagi perusahaan.
Banyaknya lokasi pelanggan yang berada jauh dari pabrik
pembuatan barang, maka diperlukan sistem penyimpanan yang bertingkat
ganda (multi level warehousing) dengan persediaan yang bertingkat pula
(multi level inventory). Dipandang dari segi distribusi atau penjualan, hal
ini disebut sistem distribusi bertingkat ganda (multi level or multiechelon
distribution system). Persoalan- persoalan yang paling banyak ditemui
dalam sistem distribusi barang adalah: kebanyakan persediaan barang, atau

1. barang berada di tempat yang salah, atau


2. layanan pelanggan yang jelek, dan
3. kehilangan penjualan karena kehabisan persediaan.

MDC atau pusat induk distribusi adalah tingkat atau level tertinggi
dari sistem distribusi yang langsung berhubungan dengan pemasok atau
pabrik produk sedangkan LDC adalah tingkat atau level terendah dari
sistem distribusi yang langsung berhubungan dengan pelanggan atau
pemakai barang. Contoh pada gambar 2.1 adalah sistem distribusi dengan
3 tingkat. Kebanyakan, produk yang dimaksudkan di sini adalah produk
jadi atau barang jadi yang disalurkan dari pabrik ke para pelanggan.
Namun dalam praktek cukup banyak juga di mana pusat distribusi juga
melakukan pekerjaan penyelesaian seperti reparasi, perakitan, pengepakan,
dan pekerjaan sejenis itu.

6
Gambar 2. 1 Bagan Multi Tingkat Dalam Jaringan Distribusi

MDC = master (central) distribution center (pusat induk distribusi)


RDC = regional distribution center (pusat distribusi regional)
LDC = local distribution center (pusat distribusi lokal)

2.1.1 Sistem Distribusi ‘Dorong’ dan ‘Tarik’


Sistem distribusi ‘dorong’, pusat induk distribusi (MDC) menentukan apa
dan berapa yang perlu didistribusikan dan dikirim ke pusat distribusi regional atau
lokal (RDC & LDC), sedangkan dalam sistem distribusi ‘tarik’, masing-masing
pusat distribusi pada tingkat bawah menentukan apa yang diperlukan dan itu yang
dipesan ke pusat induk distribusi (MDC) untuk dikirim. Berikut penjelasan untuk
kedua sistem distribusi tersebut(Indrajit, Eko & Djokopranoto, Richardus, (2003):

A. Sistem Distribusi Tarik


Sistem ini, tiap pusat distribusi regional atau lokal bertindak sendiri-
sendiri secara otonomi, tidak tergantung dari pusat distribusi lokal atau regional
lainnya. Pusat ini menghitung perkiraan kebutuhan atau penjualan, persediaan di
tangan, persediaan pengaman, waktu pemesanan, dan semua komponen lain yang
ada dalam matriks. Atas dasar itu, pemesanan dilakukan pada waktu yang tepat

7
kepada pusat induk distribusi. Dengan demikian, pusat induk distribusi bersifat
pasif, hanya bertindak apabila ada pesanan dari pusat distribusi regional atau
lokal. Pusat induk tidak mengetahui berapa kebutuhan yang akan datang, sampai
datangnya pesanan dari pusat distribusi yang lebih bawah tersebut. Sering kali ini
menimbulkan kesulitan apabila tiba-tiba ada pesanan dalam jumlah besar sekali,
yang di atas rata-rata atau rutin, atau untuk beberapa waktu tidak ada pesanan
sama sekali. Yang pertama berpotensi menimbulkan kehabisan persediaan dan
yang kedua berpotensi menimbulkan persediaan lebih atau surplus.
Sistem ini, biasanya pusat distribusi lokal kurang memperdulikan
kebutuhan pusat induk distribusi mengenai perencanaan pengadaan persediaan
dan mengasumsikan, bahwa persediaan selalu ada. Jadi komunikasi hanya
berjalan satu arah, yaitu dari bawah ke atas. Pusat induk distribusi dapat berusaha
mengantisipasi kebutuhan pusat regional dan lokal dengan perhitungan kebutuhan
rata-rata per periode waktu, namun dalam praktek, sering kali tidak ekonomis,
apalagi bila permintaan atau kebutuhan bersifat sangat fluktuatif dan tidak tetap.

B. Sistem Distribusi Dorong


Seperti dijelaskan di atas, sistem ini adalah kebalikan dari sistem distribusi
‘tarik’. Pengiriman dari pusat induk distribusi ke pusat distribusi regional atau
lokal dihitung dan ditentukan oleh pusat induk distribusi. Perhitungan ini
didasarkan atas data yang ada di setiap pusat regional dan lokal, yang setiap waktu
dimonitor oleh pusat induk. Dengan demikian, pusat induk dapat mengantisipasi
kebutuhan yang akan datang, berdasarkan data dari pusat lokal, dan dapat proaktif
melakukan perencanaan pemesanan untuk mengisi persediaan kembali. Secara
fisik, sering kali tidak perlu pusat induk menimbun persediaan terlalu banyak,
karena produk dapat langsung dikirim dari pabrik ke pusat regional atau lokal.
Dalam sistem ini, komunikasi dilakukan secara dua arah, yaitu dari atas ke bawah
dan dari bawah ke atas.
Dapat disimpulkan bahwa dari kedua distribusi ini terlihat bahwa sistem
distribusi ‘dorong’ lebih baik digunakan untuk manufaktur yang menyediakan
produk secara terbatas dan memiliki pemakaian yang tidak teratur, sedangkan

8
sistem distribusi ‘tarik’ lebih baik digunakan untuk manufaktur yang
menyediakan produk dalam jumlah yang banyak dan memiliki pemakaian yang
relatif stabil.

2.2 Persediaan
Persediaan adalah segala sumber daya organisasi yang disimpan dalam
antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan. Persediaan adalah komponen
material, atau produk jadi yang tersedia di tangan, menunggu untuk digunakan
atau dijual.(Groebner, Introduction to Management Science, 1992)
Persediaan adalah bahan mentah, bahan dalam proses (work in process),
barang jadi, bahan pembantu, bahan pelengkap, komponen yang disimpan dalam
antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan.(Riggs, 1976)
Berdasarkan pengertian persediaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
persediaan dalam kegiatan distribusi adalah barang atau produk yang disimpan
dalam gudang atau tempat penyimpanan, dimana persediaan tersebut berguna
untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan konsumen, dan mengurangi
kemungkinan kekurangan stock barang untuk pemenuhan permintaan.

2.2.1 Penyebab dan Fungsi Persediaan


Persediaan merupakan suatu hal yang tak terhindarkan. Penyebab
timbulnya persediaan adalah sebagai berikut (Baroto, 2004):
1. Mekanisme pemenuhan atas permintaan.
2. Keinginan untuk meredam ketidakpastian.
3. Keinginan melakukan spekulasi yang bertujuan mendapatkan keuntungan
besar dari kenaikan harga di masa mendatang.
Beberapa fungsi persediaan adalah sebagai berikut (Baroto, 2004):
1. Fungsi independensi. Persediaan barang jadi diperlukan untuk memenuhi
permintaan konsumen yang tidak pasti. Permintaan pasar tidak dapat
diperkirakan secara tepat, begitu pula dengan pasokan dari pemasok,
sehingga dengan persediaan yang mencukupi, proses produksi atau
distribusi tetap dapat berjalan tanpa tergantung kedua hal tersebut.

9
2. Fungsi ekonomis. Dalam hal distribusi, memesan barang dengan jumlah
lot pemesanan tertentu akan lebih ekonomis dibandingkan pemesanan
barang berulang-ulang atau sesuai permintaan konsumen.
3. Fungsi antisipasi. Fungsi ini diperlukan untuk mengantisipasi fluktuasi
atau perubahan permintaan atau pasokan.
4. Fungsi fleksibilitas. Proses operasi mengalami gangguan karena kerusakan
mesin, membutuhkan waktu perbaikan yang membuat produksi tidak
dapat berjalan untuk sementara dalam waktu perbaikan, persediaan
digudang pusat atau pabrik dapat digunakan untuk penolong dalam hal ini.

2.2.2 Biaya Dalam Persediaan


Biaya persediaan adalah semua pengeluaran dan kerugian yang timbul
sebagai akibat persediaan. Biaya tersebut adalah harga pembelian, biaya
pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya kekurangan persediaan. Berikut
penjelasan untuk biaya-biaya tersebut (Baroto, 2004):
1. Harga pembelian adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang.
2. Biaya pemesanan adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan
pemesanan ke pemasok, yang besarnya biasanya tidak dipengaruhi oleh
jumlah pemesanan. Biaya pemesanan ini meliputi biaya pemrosesan
pesanan, upah pekerja, biaya telepon/fax, biaya dokumentasi/transaksi dan
biaya lainnya.
3. Biaya penyimpanan adalah biaya yang dikeluarkan dalam penanganan atau
penyimpanan material, semi finished product, sub assembly, atau pun
produk jadi.
4. Biaya kekurangan persediaan terjadi pada saat perusahaan tidak dapat
memenuhi permintaan konsumen karena kehabisan stock. Kehabisan stock
menimbulkan kerugian berupa biaya akibat kehilangan kesempatan
mendapatkan keuntungan atau kehilangan konsumen yang merasa tidak
puas.

10
2.3 Distribution Requirement Planning (DRP)
Distribution Requirement Planning (DRP) memiliki fungsi untuk
menentukan kebutuhan-kebutuhan untuk mengisi kembali inventori pada
distribution center. (Gasperz, Vincent, 2004)
Distribution Requirement Planning (DRP) merupakan aplikasi dari angka
logika Material Requirement Planning (MRP). Persediaan Bill of Material (BOM)
pada MRP diganti dengan Bill of Distribution (BOD) pada Distribution
Requirement Planning (DRP) menggunakan logika Time Phased On Point
(TPOP) untuk memerlukan pengadaan kebutuhan pada jaringan (Richard J.
Tersine, Principle Inventory and Material Management, 1998).
Tabel 2.1 dan tabel 2.2 merupakan persamaan dan perbedaan MRP dan
DRP sebagai berikut:
Tabel 2. 1 Persamaan MRP dan DRP
Persamaan : *Menggunakan cara perhitungan matematis yang sama.
*Mempunyai matriks komponen perhitungan yang sama.
*Membedakan permintaan bebas dan terikat.
*Metoda berlaku untuk permintaan terikat.
*Keduanya menggunakan cara pemesanan berdasarkan
waktu (time-phase order manner)

Tabel 2. 2 Perbedaan MRP dan DRP


MRP DRP
Perbedaan *Untuk kegiatan *Untuk kegiatan distribusi.
: manufaktur.
*Menghitung kebutuhan *Menghitung kebutuhan barang
tiap komponen barang. untuk tiap pusat distribusi.
*Cocok untuk pabrik jenis *Cocok untuk sistim distribusi
rakitan. multi-tingkat.
*Biasanya untuk bahan *Biasanya untuk produk
baku/penolong. jadi/komoditas.

11
MRP DRP

*MRP adalah proses dari *DRP adalah proses dari bawah


atas (explosion process) (implosion process), yaitu dari
yaitu dari jadwal produksi kebutuhan pusat lokal ke pusat
induk ke kebutuhan tiap regional dan pusat induk.
komponen.
*Semua kebutuhan *Kebutuhan pusat lokal bersifat
komponen bersifat terikat. bebas sedangkan kebuhan pusat
regional dan pusat induk
bersifat terikat.

(Indrajit, Eko & Djokopranoto, Richardus, (2003)

Berdasarkan tabel 2.2 dapat disimpulkan bahwa struktur MRP memiliki


proses dari atas yaitu dari jadwal produksi induk untuk menentukan kebutuhan
tiap komponen dibawahnya, sedangkan struktur DRP memiliki proses dari bawah
yaitu dari kebutuhan lokal ke pusat regional dan pusat induk.
Distribution Requirement Planning didasarkan pada peramalan kebutuhan
pada level terendah dalam jaringan tersebut yang akan menentukan kebutuhan
persediaan pada level yang lebih tinggi.

Gambar 2. 2 Distribution Requirement Planning


( Sumber : Principle Inventory and Material Management, Richard J. Tersine, 1998).

12
2.3.1 Konsep Distribution Requirement Planning
Distribution Requirement Planning adalah suatu metode untuk menangani
pengadaan persediaan dalam suatu jaringan distribusi pada pergudangan ganda.
Metode ini menggunakan demand independent, dimana dilakukan peramalan
untuk memenuhi struktur pengadaannya. Berapapun banyaknya level yang ada
dalam jaringan distribusi, semua merupakan variabel yang dependent kecuali level
yang langsung memenuhi customer.
Distribution Requirement Planning lebih menekankan pada aktivitas
penjadwalan daripada aktivitas pemesanan. DRP mengantisipasi kebutuhan
mendatang dengan perencanaan pada setiap level pada jaringan distribusi. Metode
ini dapat memprediksi masalah sebelum masalah-masalah tersebut terjadi
memberikan titik pandang terhadap jaringan distribusi. Empat langkah utama
yang harus diterapkan menurut Nasution & Prasetyawan (2008) adalah:
1. Explosion
Proses explosion adalah proses perhitungan kebutuhan kotor untuk tingkat
jaringan distribusi yang lebih rendah.
2. Netting
Netting merupakan proses untuk mencari jumlah kebutuhan bersih yang
didapat dari kebutuhan kotor dikurangi dengan Project on Hand (POH)
atau barang yang ada di gudang.
3. Lot Sizing
Lot sizing merupakan penentuan kapasitas lot atau jumlah pengadaan
barang. Dalam menggunakan metode lot sizing yang tepat, ada beberapa
paremeter yang digunakan, yaitu jarak pengangkutan dari central
warehouse ke masing-masing warehouse, ordering cost, dan holding cost.
4. Offsetting
Langkah ini bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan
rencana pemesanan dalam rangka memenuhi kebutuhan bersih. Rencana
pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan saat awal tersedianya
ukuran lot yang diinginkan dengan besarnya lead time.

13
2.3.2 Manfaat Distribution Requirement Planning (DRP)
Distribution Requirement Planning merupakan metode yang handal untuk
sistem distribusi manufaktur yang integrasi maupun sistem distribusi murni.
Dengan kebutuhan time phasing pada setiap tingkat dalam jaringan distribusi,
DRP memiliki kemampuan untuk memprediksi suatu permasalahan yang akan
terjadi. Sistem DRP bekerja berdasarkan penjadwalan yang telah dibuat untuk
permintaan di masa yang akan datang sehingga mampu mengantisipasi
perencanaan masa depan dengan perencanaan yang lebih dini pada setiap tingkat
distribusi. Untuk organisasi manufaktur, yang memproduksi untuk memenuhi
persediaan serta untuk dijual melalui jaringan distribusinya sendiri. Keuntungan
yang didapatkan dari penerapan metode DRP adalah (Green, 1987):
1. Melihat saling ketergantungan antara persediaan distribusi dan
manufaktur.
2. Sebuah jaringan distribusi yang lengkap dapat disusun, yang memberikan
gambaran yang jelas dari atas maupun dari bawah jaringan.
3. DRP menyusun kerangka kerja untuk pengendalian logistik total dari
distribusi ke manufaktur untuk pembelian.
4. DRP menyediakan masukan atau informasi untuk perencanaan
penjadwalan distribusi dari sumber penawaran ke titik distribusi.

2.3.3 Prosedur Perhitungan DRP


Perhitungan perencanaan kebutuhan distribusi dimulai dari peramalan
permintaan, ukuran lot pemesanan, persediaan pengaman, kemudian dihitung
kebutuhan bersih, sampai penentuan perencanaan pesanan dikirim. Tabel 2.3
merupakan contoh tabel perhitungan DRP:

14
Tabel 2. 3 Contoh Tabel Perhitungan DRP
Safety Stock :
Ukuran Lot : Periode
Lead Time : PD 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Gross Requirement
Scheduled Receipt
Projected On Hand
Net Requirement
Planned Order Receipt
Planned Order Release

Logika dasar DRP adalah sebagai berikut (Tersine, 2003):


1. Gross Requirement /Forecast Demand diperoleh dari hasil forecasting.
2. Dari hasil peramalan distribusi lokal, hitung Time Phased Net Requirement.
Net Requirement tersebut mengidentifikasikan kapan level persediaan
(Scheduled Receipt - Projected On Hand Periode sebelumnya) dipenuhi oleh
Gross Requirement. Untuk sebuah periode : Net Requirement = (Gross
Requirement + Safety Stock) – (Schedule Receipt + Projected On Hand
Periode sebelumnya). Nilai Net Requirement yang dicatat (recorded) adalah
nilai yang bernilai positif.
3. Setelah itu dihasilkan sebuah Planned Order Receipt sejumlah Net
Requirement tersebut (ukuran lot tertentu) pada periode tersebut.
4. Ditentukan hari dimana harus melakukan pemesanan tersebut (Planned Order
Release) dengan mengurangkan hari terjadwalnya Planned Order Receipt
dengan Lead Time.
5. Di hitung Projected On Hand pada periode tersebut: Projected On Hand =
(Projected On Hand Periode sebelumnya + Schedule Receipt + Planned
Order Receipt) - (Gross Requirement).
6. Besarnya Planned Order Release menjadi Gross Requirement pada periode
yang sama untuk level berikutnya dari jaringan distribusi.

15
2.4 Peramalan
Peramalan merupakan suatu proses penggunaan data historis untuk
melakukan perkiraan keadaan di masa yang akan datang. Peramalan menjadi
dasar bagi perusahaan untuk pengambilan keputusan untuk perencanaan jangka
panjang. Ramalan tentang besar pasar, jumlah pembeli potensial, dan lain-lain
merupakan masukan bagi pihak manajemen operasi untuk membuat perencanaan
produksi, mengelola persediaan, mengelola bahan baku, mengelola peralatan, dan
mengelola sumber daya manusia. Permintaan pasar akan produk atau jasa
besarnya dipengaruhi oleh keadaan di masa yang akan datang. Tabel 2.4
menunjukan faktor yang mempengaruhi permintaan (Baroto, 2004):
Tabel 2. 4 Faktor Perubahan Permintaan
Internal Eksternal (Pasar) Eksternal (Pemerintah)
 Selera & persepsi
 Daur hidup  Deregulasi
pelanggan
 Produk  Demografi  Ekonomi
 Layanan  Persaingan  Sektor swasta
 Kualitas  Siklus bisnis
 Disain
produk
 Harga

2.4.1 Karakteristik Peramalan


Peramalan permintaan memiliki karakteristik tertentu yang berlaku secara
umum. Karakteristik tersebut digunakan untuk menilai hasil suatu proses
peramalan permintaan dan metode peramalan yang digunakan. Karakteristik
peramalan permintaan adalah sebagai berikut (Baroto, 2004):
1. Faktor penyebab yang berlaku di masa lalu diasumsikan akan berfungsi
juga di masa yang akan datang
2. Peramalan tidak pernah sempurna, permintaan aktual selalu berbeda
dengan permintaan yang diramalkan.

16
3. Tingkat ketepatan ramalan akan berkurang dalam rentang waktu yang
semakin panjang.

2.4.2 Metode Peramalan


Peramalan permintaan membutuhkan suatu metode tertentu yang disebut
metode peramalan, pada dasarnya setiap metode peramalan memiliki kesamaan
yaitu penggunaan data masa lalu untuk memperkirakan atau memproyeksikan
data di masa yang akan datang. Berdasarkan tekniknya, metode peramalan dapat
dikategorikan ke dalam metode kualitatif dan metode kuantitatif.
Metode kualitatif biasanya digunakan bila tidak ada atau sedikit data masa
lalu. Dalam metode ini, pendapat pakar dan prediksi mereka dijadikan dasar untuk
menetapkan permintaan yang akan datang. Metode kualitatif yang banyak dikenal
adalah metode Delphi dan metode kelompok nominal.
Metode kuantitatif. Pada metode ini, suatu set data historis digunakan
untuk meramalkan permintaan masa depan. Ada dua kelompok besar metode
kuantitatif, yaitu : Metode Time Series dan metode Nontime Series
Metode time series adalah metode peramalan yang menggunakan waktu
sebagai dasar peramalan. Adapun metode time series adalah sebagai berikut
(Baroto, 2004):
1. Metode Simple Average,
2. Metode Moving Average,
3. Metode Weight Moving Average,
4. Metode Exponential Smoothing,
5. Metode Regresi Linear Sederhana,
6. Metode Winter,
7. dan lain-lain.
Termasuk dalam metode kuantitatif nontime series adalah metode-metode
ekonometrik, metode analisis input-output, metode regresi dengan variable bebas
bukan waktu.

17
A. Metode Time Series
Metode time series adalah metode peramalan secara kuantitatif dengan
menggunakan waktu sebagai dasar peramalan. Faktanya tidak ada suatu metode
peramalan yang ditetapkan terbaik untuk melakukan peramalan, karena suatu
metode peramalan baik untuk data tertentu, tetapi tidak untuk data lain.
Peramalan dengan time series memiliki prosedur yang harus dilaksanakan
secara utuh. Risiko yang mungkin muncul jika prosedur tidak dilaksanakan
dengan baik (Baroto, 2004):
1. Hasil peramalan tidak valid, sehingga tidak dapat diterapkan.
2. Kesulitan mendapatkan atau memilih metode peramalan yang akan
memberikan validitas ramalan tinggi.
3. Memerlukan waktu dalam melakukan analisis dan peramalan
Prosedur peramalan permintaan dengan metode time series adalah sebagai
berikut:
1. Tentukan pola data permintaan. Data diplot secara grafis, dan
menyimpulkan pola data tersebut.
2. Menggunakan beberapa metode time series yang sesuai dengan kriteria
pola data permintaan.
3. Mengevaluasi tingkat kesalahan masing-masing metode yang digunakan.
Tingkat kesalahan peramalan diukur dengan kriteria Mean Absolut
Deviation (MAD), Mean Square of Error (MSE), Mean Absolue
Procentage of Error (MAPE).
4. Memilih metode peramalan terbaik dari metode yang digunakan. Metode
peramalan terbaik adalah metode yang memberikan tingkat kesalahan
paling kecil dibandingkan metode lainnya.
5. Melakukan peramalan permintaan dengan metode peramalan yang terpilih.

Berdasarkan prosedur peramalan yang telah dijelaskan, langkah awal yang


dilakukan adalah pola permintaan time series. Pola permintaan dapat diketahui
dengan membuat scatter diagram yaitu pemplotan data historis selama interval
waktu tertentu. Dalam time series terdapat empat jenis pola permintaan, yaitu

18
trend, musiman, siklis dan konstan (horizontal). Pola permintaan tersebut akan
mempengaruhi metode peramalan yang akan digunakan. Setiap metode peramalan
memiliki karakteristik tertentu sehingga memerlukan persyaratan atau asumsi
tertentu pula (Baroto, 2004).
a. Pola Trend
Pola trend adalah bila data permintaan menunjukan pola kecenderungan
gerakan penurunan atau kenaikan jangka panjang. Data menunjukan
fluktuasi yang bila ditarik garis akan membentuk suatu garis trend. Pola
permintaan trend, metode peramalan yang sebaiknya digunakan adalah
metode regresi linear, exponential smoothing, dan double exponential
smoothing. Gambar 2.3 menunjukan pola permintaan trend

Gambar 2. 3 Pola Trend


Sumber : Makridakis, S., Mc. Gee, V.E., dan Wheelwright, S.C., 1999
b. Pola Musiman
Data permintaan yang berfluktuasi, fluktuasi tersebut memperlihatkan
pengulangan dalam suatu interval waktu tertentu, maka data tersebut
merupakan pola permintaan musiman. Disebut pola musiman karena
permintaan biasanya dipengaruhi oleh musim. Metode peramalan yang
sesuai untuk pola permintaan musiman adalah metode winter, dan moving
average atau weight moving average. Gambar 2.4 menunjukan pola
permintaan musiman

19
Gambar 2. 4 Pola Musiman
Sumber : Makridakis, S., Mc. Gee, V.E., dan Wheelwright, S.C., 1999
c. Pola Siklis
Pola siklis apabila fluktuasi permintaan secara jangka panjang membentuk
pola gelombang atau siklus. Pola siklis mirip dengan pola musiman, tetapi
pola musiman tidak harus berbentuk gelombang, bentuknya dapat
bervariasi, namun terjadi pengulangan setiap tahun. Metode yang sesuai
untuk pola permintaan siklis adalah metode moving average, weight
moving average, dan exponential smoothing. Gambar 2.5 menunjukan
pola permintaan siklis

Gambar 2. 5 Pola Siklis


Sumber : Makridakis, S., Mc. Gee, V.E., dan Wheelwright, S.C., 1999
d. Pola konstan
Pola data ini terjadi apabila nilai data berfluktuasi di sekitar nilai rata-rata
yang konstan. Suatu produk yang penjualannya tidak meningkat atau
menurun selama waktu tertentu termasuk ke dalam pola horisontal.
Metode peramalan yang sesuai untuk pola konstan adalah metode simple
average, moving average dan exponential smoothing. Gambar 2.6
menunjukan pola permintaan konstan

20
Gambar 2. 6 Pola Konstan
Sumber : Makridakis, S., Mc. Gee, V.E., dan Wheelwright, S.C., 1999

Berikut beberapa metode peramalan dalam metode time series yaitu:


1. Metode Simple Average
Metode Simple Average merupakan metode sederhana yang dapat
digunakan untuk menentukan hasil peramalan untuk periode selanjutnya dengan
menjumlahkan data historis dan kemudian dibagi dengan jumlah periode. Metode
Simple Average menggunakan rumus sebagai berikut:
d1 + d2 + d3 + … +dn ∑nt=1 dt
d′t = = (2.1)
n n
dimana:
d’t = nilai peramalan untuk periode t
dt = nilai permintaan aktual untuk periode t
n = jumlah periode waktu yang digunakan

2. Metode Moving Average


Metode rata-rata bergerak menggunakan sejumlah data aktual permintaan
yang baru untuk membangkitkan nilai ramalan untuk permintaan di masa yang
akan datang. Rumus metode Moving Average adalah:
∑n 1 dt–n
d + dt–2 + dt–3 + … + dt–n t=
(2.2)
d′t = t–1 =
n n
dimana:
d’t = nilai peramalan permintaan untuk periode t
dt = nilai permintaan aktual untuk periode t
n = jumlah periode waktu yang digunakan sebagai dasar peramalan (nilai n
ini bila minimal 2 dan maksimal tidak ada, ditentukan secara subjektif)

21
3. Metode Weight Moving Average
Data pada periode tertentu diberi bobot, semakin dekat dengan saat
sekarang semakin besar bobotnya. Bobot ditentukan berdasarkan pengalaman.
Rumus metode Weight Moving Average adalah sebagai berikut:
d′t = c1dt–1 + c2dt–2 + c3dt–3 + … + cndt–n (2.3)
dimana:
d’t = nilai peramalan permintaan untuk periode t
dt = nilai permintaan aktual untuk periode t
c = bobot masing-masing data yang digunakan ( ∑ ci = 1), ditentukan secara
subjektif
n = jumlah periode waktu yang digunakan untuk peramalan (subjektif)

4. Metode Exponential Smoothing


Beberapa metode yang dikelompokkan dalam metode exponential
smoothing yaitu:
a. Single Exponential Smoothing
b. Double Exponential Smoothing

a. Single Exponential Smoothing


Formula untuk metode Single Exponential Smoothing (SES) adalah:
d′t = α. dt + (1 — α). d′t–1 (2.4)
dimana:
d’t = nilai peramalan permintaan untuk periode t
dt = nilai permintaan aktual untuk periode t
d’t-1 = nilai peramalan permintaan untuk periode t-1
α = suatu nilai ( 0 < α < 1) yang ditentukan secara subjektif
Metode SES, sebagaimana metode SA, MA dan WMA, mengasumsikan
peramalan permintaan untuk setiap periode ke depan selalu sama.

22
b. Double Exponential Smoothing
Pada metode Double Exponential Smoothing, peramalan dimulai dengan
menentukan besarnya nilai alpha secara trial dan error. Tahapan-tahapan yang
harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Hitung eksponensial smoothing pertama dengan rumus:
S′t = α. dt + (1 — α). S′t–1 (2.5)
2. Hitung eksponensial smoothing kedua dengan rumus:
S"t = α. S′t + (1 — α). S"t–1 (2.6)
3. Hitung komponen at dengan rumus:
at = 2S′t — S"t (2.7)
4. Hitung komponen bt dengan rumus:
α ′
bt = (S ′t — S"t) (2.8)
1—α
5. Hitung peramalan untuk m periode ke depan setelah t dengan rumus:
Ft+m = at+bt(m) (2.9)
Inisialisasi diperlukan untuk nilai awal S’t dan S” t, yaitu nilainya sama
dengan d1.

5. Metode Regresi Linear


Regresi linear adalah suatu metode popular untuk berbagai macam
permasalahan. Untuk peramalan time series, formulasi regresi linear cocok
digunakan pada pola data trend. Formula regresi linear adalah:
Yx = a + b. x (2.10)
Rumus nilai a:
∑Y ∑x
a= —b (2.11)
n n
Rumus nilai b:
n ∑ xY — ∑ x ∑ y
b= (2.12)
n ∑ x2 — (∑ x)2

23
Keterangan :
Yx = nilai peramalan pada periode ke – x
x = waktu/periode
a = koefisien intersepsi
b = koefisien kemiringan

6. Metode Winter
Formula untuk metode Winter adalah:
t = (a0,1 + a1. t)Ct (2.13)
Dengan:
a0 = a0,2N — (2N)a1 (2.14)
f2 —f1 ∑N t=1 ft ∑2N
t=N+1 ft
a0 = , f1 = , f2̄ = (2.15)
N N N
N
∑t=1
ft Ct
Ct = , =1 (2.16)
a0 + a1t N
Metode peramalan Winter digunakan untuk suatu data yang berpola
musiman, sehingga metode Winter sering disebut Winter Seasonal Method.

2.4.3 Kriteria Pemilihan Metode Peramalan


Ketepatan atau ketelitian merupakan kriteria untuk menguji kinerja suatu
metode peramalan. Untuk menguji kinerja suatu peramalan digunakan ukuran
kesalahan peramalan. Metode peramalan terbaik adalah metode yang memberikan
tingkat kesalahan paling kecil dibandingkan metode lainnya. Berikut kriteria
pemilihan peramalan yang terbaik (Baroto, 2004):
1. Mean Absolute Deviation (MAD)
MAD adalah rata-rata kesalahan mutlak selama periode tertentu tanpa
memperhatikan apakah hasil peramalan lebih besar atau lebih kecil
dibandingkan kenyataannya.
∑n |dt — d′t|
MAD = t=1 (2.17)
n

24
dimana:
dt = permintaan aktual pada periode t
d’t = nilai permintaan untuk periode t
n = banyaknya periode waktu yang digunakan

2. Mean Square of Error (MSE)


MSE adalah jumlah kuadrat dari semua kesalahan peramalan pada setiap
periode dan membaginya dengan jumlah periode peramalan.
∑n |dt — d′t|2
MSE = t=1 (2.18)
n
dimana:
dt = permintaan aktual pada periode t
d’t = nilai permintaan untuk periode t
n = banyaknya periode waktu yang digunakan

3. Mean Absolute Procentage of Error (MAPE)


∑n [(|dt — d′t|/dt)x100%]
t=1
MAPE = (2.19)
n
dimana:
dt = permintaan aktual pada periode t
d’t = nilai permintaan untuk periode t
n = banyaknya periode waktu yang digunakan

2.5 Verifikasi Model Peramalan


Verifikasi terhadap hasil peramalan yang diperoleh dari metode peramalan
terpilih untuk memeriksa kesesuaian dengan kondisi nyata. Dua cara uji verifikasi
peramalan, yaitu (Oscar, 2010):

2.5.1 Uji Verifikasi Peramalan dengan Moving Range Chart


Uji verifikasi peramalan dengan menggunakan moving range chart atau
peta kendali peramalan merupakan uji verifikasi peramalan yang paling sering

25
digunakan. Moving range chart digunakan dengan membandingkan nilai
kesalahan antara nilai aktual dengan nilai peramalan. Rumus untuk moving range
chart sebagai berikut:
MR = |(d′t — dt) — (d′t–1 — dt–1)| (2.20)
MR
M̄¯R̄ = ) (2.21)
n—1
UCL = +2,66M̄¯R̄¯ (2.22)
¯R̄¯
LCL = —2,66M̄ (2.23)
Keterangan :
dt = demand aktual
d’t = demand forecast

Hasil uji verifikasi dikatakan out of control jika:


1. Ada titik di luar UCL/ LCL
2. Dari 3 titik berturut-turut ada 2 titik atau lebih berada di region A (±1,77 MR)
3. Dari 5 titik berturut-turut ada 4 titik atau lebih berada di region B (±0,89 MR)
4. Ada 8 titik berturut-turut di bagian atas atau bawah garis tengah region C.

Umumnya, data yang dibutuhkan untuk pengujian verifikasi peramalan


dengan metode moving range chart adalah minimal 20 data. Hasil peramalan yang
lulus uji verifikasi peramalan adalah semua titik berada dalam batas control, maka
peramalan tersebut dapat diterima sebagai hasil peramalan yang baik, tetapi jika
terdapat titik diluar batas kendali, maka harus dilakukan revisi. Perbaikan yang
dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi penyebab titik yang berada diluar
batas kendali tersebut, selanjutnya ditentukan apakah hasil peramalan dapat
diterima atau melakukan pengujian untuk metode peramalan berikutnya.

2.5.2 Uji Tracking Signal


Uji tracking signal merupakan suatu ukuran bagaimana baiknya suatu
ramalan memperkirakan nilai-nilai aktual. Tracking signal yang positif
menunjukkan bahwa nilai aktual permintaan lebih besar daripada hasil ramalan,

26
sedangkan nilai tracking signal yang negatif menunjukkan nilai aktual permintaan
lebih kecil daripada hasil ramalan.
Suatu tracking signal disebut baik bila memiliki RSFE (Running Sum of
the Forecast Errors) yang rendah, sehingga pusat dari tracking signal mendekati
nol. Terdapat dua macam uji tracking signal, yaitu tracking signal menurut
Brown dan tracking signal menurut Trigg. Kedua uji ini dibedakan atas nilai batas
atas dan batas bawah.
a. Uji Tracking Signal Brown
Batas-batas nilai tracking signal – Brown = ±4 sampai ±6
Yang sering dipakai: Batas atas = 4, batas bawah = -4
∑n |dt — d′t|
MAD = t=1 (2.24)
n
RSFE ∑n |dt — d′t|
Tracking Signal = t=1 (2.25)
MAD = MAD

b. Uji Tracking Signal Trigg


Batas-batas nilai tracking signal – Trigg = ±1
∑n |dt — d′t|
t=1
MAD = MAE = (2.26)
n
(dt — d′t)
Tracking Signal = (2.27)
MAD

2.6 Ukuran lot


Ukuran lot merupakan jumlah atau kuantitas barang yang akan dipesan
dari pemasok untuk memenuhi permintaan konsumen, atau secara internal dalam
manufaktur jumlah yang diproduksi untuk memenuhi permintaan. Berikut teknik
yang dapat digunakan untuk menentukan ukuran lot yaitu (Baroto, 2004):
1. Fixed Order Quantity (FOQ)
Dalam metode FOQ ukuran lot ditentukan secara subjektif. Ukuran lotnya
dapat ditentukan berdasarkan pengalaman produksi atau intuisi. Tidak ada
teknik yang dapat dikemukaan untuk menentukan berapa ukuran lot ini.
Kapasitas produksi selama lead time produksi dalam hal ini dapat

27
digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya lot. Sekali ukuran lot
ditetapkan, maka lot ini dapat digunakan untuk seluruh periode selanjutnya
dalam perencanaan. Metode ini dapat digunakan untuk produk yang biaya
pemesanannya sangat mahal.
2. Lot – for – lot (L-4-L)
Teknik penerapan ukuran lot dilakukan atas dasar pesanan diskrit.
Disamping itu teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua
teknik ukuran lot yang ada. Teknik ini selalu melakukan perhitungan
kembali (bersifat dinamis) terutama apabila terjadi perubahan pada
kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk meminimumkan
ongkos simpan, sehingga dengan teknik ini ongkos simpan menjadi nol.
Oleh karena itu, seringkali metode ini digunakan untuk barang yang
memiliki biaya simpan per unit yang sangat mahal. Apabila dilihat dari
pola kebutuhan yang mempunyai sifat diskontinyu atau tidak teratur, maka
teknik ini memiliki kemampuan yang baik.
3. Economic Order Quantity (EOQ)
Dalam teknik EOQ, ukuran lot pemesanan adalah tetap, Penentuan ukuran
lot dengan EOQ berdasarkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan.
Perhitungan EOQ menggunakan rumus:

2AD
EOQ = J (2.28)
h
Keterangan :
A = Biaya pemesanan(satu kali pemesanan)
D = Demand (permintaan)/tahun
h = Biaya simpan/unit/tahun

2.7 Persediaan Pengaman (Safety Stock)


Safety stock dalam pengertiannya adalah persediaan pengaman dimana
persediaan tersebut untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan dari konsumen,
ketika permintaan meningkat, perusahaan tetap dapat memenuhi permintaan
konsumen tersebut. Safety stock juga dapat mengurangi resiko kemungkinan

28
kehabisan barang sehingga perusahaan tidak kehilangan kesempatan untuk dapat
menjual barang karena kehabisan stock.
Safety stock dipengaruhi oleh tingkat pelayanan (service level) semakin
besar tingkat pelayanan perusahaan terhadap konsumen maka jumlah atau
kuantitas safety stock akan semakin besar, sedangkan bila semakin kecil tingkat
pelayanan perusahaan terhadap konsumen, maka jumlah atau kuantitas daripada
safety stock juga semakin kecil. Suatu perusahaan menetapkan tingkat pelayanan
perusahaan pada tingkat 95% dimana artinya perusahaan sanggup memenuhi
permintaan sebesar 95%, dan siap menanggung kehilangan sebesar 5% konsumen
yang tidak terpenuhi. Demikian pula, apabila suatu perusahaan menetapkan
tingkat pelayanan perusahaan pada tingkat 100% dimana artinya perusahaan
sanggup memenuhi permintaan sebesar 100%, dan tidak ada permintaan
konsumen yang tidak terpenuhi.
Adapun safety stock dapat dihitung dari Mean Absolut Deviation (MAD)
yang didapatkan dari hasil metode peramalan yang terpilih kemudian dikalikan
dengan faktor pengaman berdasarkan tingkat pelayanan yang ditetapkan, didalam
rumus dituliskan sebagai berikut:
SS = MAD * Faktor Pengaman
Keterangan :
SS = Safety Stock
Faktor pengaman = faktor keamanan yang dihitung untuk MAD, yang nilainya
tergantung dari tingkat service level.

29

Anda mungkin juga menyukai