Anda di halaman 1dari 8

PROSEDUR DAN SYARAT PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI

BADAN ARBITRASE INTERNASIONAL (SINGAPORE INTERNATIONAL


ARBITRATION CENTER)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis nasional dan


internasional semakin dibutuhkan. Arbitrase dianggap sebagai forum yang
reliable, efektif dan efisien dalam penyelesaian sengketa jika dibandingkan
dengan forum peradilan. Melalui arbitrase para pihak diberi kebebasan untuk
memilih hukum mana yang akan mereka terapkan dan juga menentukan arbiter
(wasit) yang biasanya merupakan para ahli yang memahami masalah yang
disengketakan, sehingga diharapkan para pihak akan mendapatkan keadilan
substansial. Di samping itu, pemilihan arbitrase oleh para pihak juga disebabkan
karena belum adanya pengadilan internasional yang dapat menyelesaikan
sengketa-sengketa perdagangan internasional sehingga pelaku bisnis mencarai
alternative penyelesaian lain dalam upaya untuk mendapatkan keadilan1.

Dewasa ini, perdagangan internasional semakin berkembang. Perdagangan


internasional melahirkan perjanjian-perjanjian internasional yang umumnya
memuat klausula arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Klausula
arbitrase dapat dirumuskan di dalam perjanjian pokok sebelum terjadinya
sengketa (pactum de compromittendo) atau diputuskan setelah terjadinya sengketa
(akta kompromis). 2 Akan tetapi kedua cara tersebut memiliki kekuatan yang
sama dimana para pihak wajib mematuhinya karena perjanjian tersebut dicapai
melalui kesepakatan bersama.
Dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional, tahapan yang
terpenting adalah eksekusi putusan. Indonesia sebagai negara yang telah
berkomitmen untuk ikut dalam perdagangan bebas, menjawab tantangan tersebut
dengan meratifikasi Konvensi New York 1958, tentang Convention on the
Recognition and enforcement of Foreign Arbitral Awards melalui Keputusan
Presiden (Kepres) Nomor 34 Tahun 1981. Keputusan presiden tersebut menjadi
dasar hukum bagi pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrasi internasional di
Indonesia dengan memenuhi syarat-syarta yang ditetapkan di dalam undang-
undang.

1
(PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL) Kanun Jurnal Ilmu Hukum Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp.
135-151.
Putusan arbitrase bersifat final dan binding. Final diartikan bahwa keputusan
arbitrase tersebut merupakan keputusan tingkat akhir dalam artian terhadapnya
tertutup upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Binding
diartikan bahwa keputusan arbitrase tersebut mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa oleh karena itu para pihak wajib untuk melaksanakan keputusan
arbitrase tersebut secara sukarela.3 Dengan kata lain, putusan arbitrase
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak. Apabila para
pihak mematuhi dan melaksanakan putusan secara sukarela maka tidak akan
terjadi permasalahan dalam eksekusi. Akan tetapi jika salah satu pihak (biasanya
pihak yang kalah) menolak untuk melaksanakan putusan tersebut maka
permasalahan akan timbul sehingga keterlibatan pengadilan diperlukan. Di
samping itu, peranan peradilan dalam eksekusi putusan arbitarse juga menjadi
amanah undang-undang sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 3 ayat 1
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kehakiman,
disebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi dari pengadilan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
putusan arbitrase nasional maupun internasional pada prinsipnya tetap
membutuhkan peradilan sebagai lembaga yang ditunjuk untuk mengakui dan
melaksanakan putusan tersebut. Berdasarkan uraian diatas, menarik untuk dikaji
bagaimana fungsi lembaga peradilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing
dan sejauh mana keterlibatan peradilan terhadap hasil putusan tersebut?
Tulisan ini akan memfokuskan pada pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase
inetrnasional oleh pengadilan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Bagian pertama akan menjelaskan tentang lembaga arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa dan bagian kedua akan diuraikan peranan
peradilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Arbitrase Internasional ?
2. Apa yang menjadi perbedaan antara Arbitrase Nasional dan Arbitrase
Internasional ?
3. Bagaimanakah Prosedur penyelesaian sengketa melalui Arbitrase
Internasional contohnya pada Singapore International Arbitration Center
(SIAC).

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ARBITRASE INTERNASIONAL


Apakah yang dimaksud dengan Arbitrase Internasional ?
Arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrase yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan
kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah satu kesan seolah-olah seorang arbiter
atau suatu majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak
mengindahkan norma-norma hukum lagi dan menyadarkan pemutusan sengketa
tersebut hanya pada kebijaksanaan saja. Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau
majelis tersebut juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim
atau pengadilan. Berdasarkan UU No 30 Tahun 1999, Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa melalui proses pemeriksaan
dan pengambilan putusan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter dari lembaga
arbitrase, baik oleh lembaga arbitrase yang berlingkup nasional maupun
internasional, demikian pula lembaga arbitrase yang bersifat permanent maupun
sementara (ad-hoc).21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Arbitrase menjadi pilihan cara penyelesaian sengketa
khususnya oleh pihak asing yang melakukan perjanjian karena beberapa alasan.
Pertama, pada umunya pihak asing kurang mengenal system tata hukum negara
lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektifitas pengadilan setempat dalam
memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terlibat unsur asing. Ketiga,
pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan pengadilan negara
berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala internasional.
Keempat, timbulnya dugaan dan kesan, penyelesaian sengketa melalui jalur formal
lembaga peradilan memakan waktu yang lama.23 Para pihak dalam sebuah
perjanjianjuga memilih arbitrase karena proses yang cepat, terjamin kerahasiaanya,
ditangani oleh arbiter atau wasit yang ahli di bidangnya, sehingga sengketanya
dapat diputuskan menurut keadilan dan kepatutan.
B. PERBEDAAN PENYELESAIAN SENGKETA OLEH BADAN ARBITRASE
INTERNATIONAL DAN ARBITRASE NASIONAL
Apa yang menjadi perbedaan antara Arbitrase Nasional dan Arbitrase
Internasional ?
Perbedaan Antara Putusan Arbitrase Nasional Dan Putusan Arbitrase
Internasional Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia dibedakan
berdasarkan jenis putusan tersebut, yaitu apakah putusan tersebut merupakan jenis
putusan arbitrase nasional atau putusan arbitrase internasional.UU No 30 Tahun
1999 tidak memberikan perbedaan yang jelas mengenai putusan arbitrase nasional
dan putusan arbitrase internasional. Namun demikian, perbedaan antara putusan
arbitrase nasional dan internasional dapat dilihat definisi putusan arbitrase
internasional yang diatur pada pasal 1 angka (9) UU No 30 Tahun 1999 berikut.5
Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum republik Indonesia, atau
putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan
hukum republik indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
Ketentuan ini tidak jauh berbeda dengan pengaturan mengenai apa yang dimaksud
dengan arbitrase internasional dalam article i paragraph (1) konvensi new york
1958 : This Convention shall apply to the recognition and enforcement of arbitral
awards made in the territory of a state other than the state where the regocnition
and enforcement of such awards are sought, and arising out of differences between
persons, whether physical or legal. It shall also apply to arbitral awards not
considered as domestic awards in the state where theis recognition and enforcement
are sought.
Peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis nasional dan
internasional semakin dibutuhkan. Arbitrase dianggap sebagai forum yang reliable,
efektif dan efisien dalam penyelesaian sengketa jika dibandingkan dengan forum
peradilan. Melalui arbitrase para pihak diberi kebebasan untuk memilih hukum
mana yang akan mereka terapkan dan juga menentukan arbiter (wasit) yang
biasanya merupakan para ahli yang memahami masalah yang disengketakan,
sehingga diharapkan para pihak akan mendapatkan keadilan substansial. Di
samping itu, pemilihan arbitrase oleh para pihak juga disebabkan karena belum
adanya pengadilan internasional yang dapat menyelesaikan sengketa-sengketa
perdagangan internasional sehingga pelaku bisnis mencarai alternative
penyelesaian lain dalam upaya untuk mendapatkan keadilan.
Arbitrase internasional merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang
paling banyak dirujuk dalam sebagain besar undang-undang penanaman modal
diikuti penyelesaian sengketa melalui pengadilan kemudian alternatif penyelesaian
sengketa seperti konsiliasi dan mediasi

C. PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA PADA SINGAPORE


INTERNATIONAL ARBITRATION CENTER
Bagaimanakah Prosedur penyelesaian sengketa melalui Arbitrase Internasional
contohnya pada Singapore International Arbitration Center (SIAC).

a. Prinsip pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing ditinjau dari


New York Convention 1958 Penyampingan putusan arbitrase asing juga
dimungkinkan menurut New York Convention 1958.
Penyampingan putusan arbitrase asing ini didasarkan jurisdiksi dan
ketentuan negara masing masing anggota. Article V New York Convention 1958
menyebutkan bahwa dasar yang dapat digunakan untuk menolak permohonan
pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase luar negeri adalah :
a) apabila para pihak menurut perjanjian arbitrase mereka dan hukum yang berlaku
untuk mereka sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk melangsungkannya.
b) Pihak terhadap siapa telah dimintakan pelaksanaan putusan arbitrase ini tidak
diberitahukan dengan pemberitahuan yang wajar tentang diangkatnya arbitrator
atau tentang adanya perkara arbitrase ini, hingga ia tidak dapat mengajukan
pembelaannya. Di sini kembali lagi, dilanggarnya asas “audi alteram partem”
membuat putusan arbitrase bersangkutan tidak dapat diakui atau dilaksanakan.
c) Bahwa putusan ini berkenaan dengan sesuatu sengketa yang tidak termasuk
dalam pengertian klausula arbitrase. Atau jika memuat hal-hal yang di luar ruang
lingkup daripada Perjanjian Arbitrase ini. Apabila dapat dipisahkan hal-hal yang
termasuk dalam perjanjian arbitrase daripada yang tidak termasuk, maka bagian
daripada putusan yang mengenai hal-hal yang termasuk arbitrase ini, dapat diakui
dan dilaksanakan.
d) Atau apabila komposisi daripada majelis arbitrase atau proses arbitrase tidak
sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh para pihak. Jika tidak ada perjanjian
semacam ini, acaranya tidak sejalan dengan hukum dari negara di mana arbitrase
ini telah berlangsung. e) Apabila putusan ini belum mengikat para pihak atau telah
dikesampingkan atau telah ditunda oleh suatu instansi yang berwenang di negara
mana putusan ini telah dibuat. f) Di samping itu menurut Article V. (2) New York
Convention 1958 pengakuan dan pelaksanaan putusan luar negeri ini dapat juga
ditolak apabila menurut instansi yang berwenang dalam negara di mana hendak
diakui atau dilaksanakan putusan ini, berpendapat bahwa : 1) Pokok daripada
sengketa tidak dapat dibawa kepada arbitrase, atau 2) Pengakuan atau pelaksanaan
putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum pada negara yang
dimintakan pelaksanaanya

b. Syarat-syarat eksekusi putusan arbitrase ditinjau dari Undang Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Adapun syarat-syarat putusan arbitrase internasional untuk dapat diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

a) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi Internasional.
b) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang
menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban
umum. d) Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e) Putusan
Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksankaan
setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, para pihak dapat


mengajukan pembatalan apabila putusan arbitrase diduga mengandung unsur-unsur antara
lain:8 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu dan/atau dinyatakan palsu; 2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau 3. Putusan diambil
dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis dalam waktu tiga puluh (30)9 hari
kepada pengadilan wilayah hukum di mana keputusan arbitrase diambil, hal ini didasarkan
pada syarat putusan arbitrase asing (internasional), yang apabila permohonan dikabulkan,
maka dalam waktu 30 hari ketua pengadilan negeri akan menentukan lebih lanjut akibat
pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.10 Untuk memberikan kepastian
hukum kepada pihak lawan, berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase
dinyatakan bahwa terhadap putusan pembatalan dari pengadilan negeri dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan
terakhir.11 Akan tetapi UU Arbitrase tidak mengatur tentang ketentuan mengenai batas
waktu pengajuan banding dan memori banding, maka hal ini harus didasarkan kepada
ketentuan hukum acara yang berlaku, yang menyatakan bahwa pengajuan memori banding
oleh pemohon banding wajib disampaikan dalam tenggang waktu 14 hari setelah
permohonan banding dicatat dalam buku daftar register. Sejak permohonan banding
diterima paling lama tiga puluh hari kemudian sudah harus diputus. Untuk putusan
arbitrase internasional, seperti disebutkan didalam pasal 70, pasal 71, pasal 72 UU
Arbitrase, hanya memberi wewenang kepada pengadilan Indonesia untuk melakukan
pembatalan putusan arbitrase yang dibuat di Indonesia.Hal ini dapat diartikan bahwa
ketentuanketentuan pembatalan tersebut bukan sebagai dasar bagi pengadilan Indonesia
untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase internasional.Hal ini terlihat dari
penggunaan kata putusan arbitrase internasional dalam pasal 65 sampai dengan pasal 69
UU Arbitrase yang dibedakan dengan kata putusan arbitrase seperti tercantum dalam pasal
70 UU Arbitrase. Jadi pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan putusan arbitrase
internasional, sedangkan putusan arbitrase yang dibuat di dalam negeri hanya dapat
dibatalkan dengan melihat persyaratan limitative dalam pasal 70 UU Arbitrase. Majelis
hakim pengadilan negeri Jakarta pusat berpendapat bahwa secara prinsip hanya Pasal VI
jo. V (1) (e)Konvensi New York 1958 hanya merujuk pada satu otoritas yang berwenang
(one competent authority).Hanya ada satu pengadilan yang berwenang dalam membatalkan
putusan arbitrase internasional, yaitu pengadilan di mana putusan arbitrase di buat. Commented [H1]: Cari JURNAL NYA !!(Hikmahanto
Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh
Pengadilan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21,
Jakarta, 2002, hlm. 71
Itu Singapore International Arbitration Centre atau SIAC adalah salah satu lembaga
arbitrase yang paling cepat berkembang di dunia dengan 452 kasus baru yang diterima di
2017. Para pihak dalam kontrak mungkin setuju untuk merujuk perselisihan mereka ke
arbitrase sesuai dengan SIAC Rules Arbitrase. Dengan melakukan itu, para pihak setuju
bahwa perselisihan mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan bahwa proses arbitrase
akan diatur oleh aturan prosedural dalam Peraturan Arbitrase SIAC, di samping aturan wajib
di kursi arbitrase. perjanjian para pihak biasanya disimpan di klausul arbitrase.
Sebuah klausul arbitrase disusun dengan baik dapat memastikan bahwa pihak
menghabiskan lebih sedikit waktu dan biaya harus sengketa timbul. Umumnya, bahasa yang
sederhana dan jelas lebih disukai. Berikut standar SIAC klausul arbitrase dapat digunakan
tergantung pada kebutuhan para pihak dan kekhasan kontrak.

The SIAC merekomendasikan bahwa pihak


untuk kontrak internasional termasuk yang berikut SIAC klausul arbitrase:
“Setiap perselisihan yang timbul dari atau sehubungan dengan kontrak ini, termasuk
pertanyaan mengenai keberadaannya, validitas atau penghentian, harus dirujuk ke dan
akhirnya diselesaikan oleh arbitrase dikelola oleh Singapore International Arbitration Centre
("SIAC") sesuai dengan Peraturan Arbitrase dari Singapore International Arbitration Centre
(“SIAC Rules”) untuk saat ini berlaku, yang aturan dianggap dimasukkan oleh referensi dalam
klausul ini.
Kursi arbitrase harus [kota, negara].
Pengadilan terdiri dari [satu atau tiga] wasit(s).
Bahasa arbitrase harus [tentukan bahasa, misalnya, Inggris].
Kontrak ini diatur oleh hukum [tentukan Negara, misalnya, Swiss].”
Kursi arbitrase tidak perlu menjadi Singapura dan dapat setiap kota di dunia. Ketika memilih
kursi arbitrase, pihak harus mempertimbangkan fakta bahwa aturan wajib hukum di kursi
arbitrase biasanya akan menjadi berlaku. Hukum kursi arbitrase juga akan mengatur proses
mengenai pembatalan penghargaan. Para pihak juga dapat menentukan bahwa dengar
pendapat berlangsung di kota yang berbeda untuk kenyamanan sidang arbitrase dan pihak-
pihak.
Jumlah arbiter akan berdampak pada biaya arbitrase. Jika jumlah dalam sengketa sangat
rendah, adalah lebih baik untuk memiliki pengadilan terdiri dari satu arbitrator, yaitu, arbiter
tunggal. Sebaliknya, jika sengketa adalah kompleks dengan jumlah tinggi dipertaruhkan,
memiliki pengadilan terdiri dari tiga arbiter dapat memberikan jaminan tambahan bahwa
pemikiran tambahan diberikan kepada keputusan. Apabila para pihak tidak menentukan
jumlah arbiter dalam Klausul SIAC Arbitration, aturan SIAC memberikan bahwa arbiter
tunggal akan ditunjuk. Tiga arbiter dapat ditunjuk jika muncul kepada Panitera bahwa
kompleksitas, kuantum yang terlibat atau keadaan lain yang relevan dari sengketa,
menjamin penunjukan tiga arbiter (Aturan 9.1).
Bahasa arbitrase biasanya harus bahasa di mana kontrak dirancang. Para pihak juga dapat
mempertimbangkan menentukan bukti yang mungkin terima dalam bahasa yang berbeda
tanpa terjemahan jika pelaksanaan kontrak melibatkan penggunaan bahasa yang berbeda.
tindakan pencegahan ini dapat menghindari biaya yang tidak perlu terkait dengan
terjemahan. Mungkin juga ada dua bahasa arbitrasi, namun, hal ini dapat menyebabkan
biaya tambahan untuk menafsirkan dan terjemahan.
Pilihan hukum yang mengatur kontrak memungkinkan para pihak untuk meramalkan yang
aturan akan mengatur perselisihan mereka. Para pihak tidak diwajibkan untuk memilih
hukum Negara dan hanya dapat merujuk kepada konvensi internasional, misalnya, Konvensi
PBB tentang Kontrak untuk Penjualan Barang Internasional. Namun, konvensi internasional
tidak mengatasi semua masalah yang mungkin timbul selama pelaksanaan kontrak. Karena
itu, pemilihan hukum yang berlaku di suatu Negara disarankan.
Dalam hal kesenjangan dalam sarana keuangan pihak, mereka mungkin setuju dalam
Klausul SIAC Arbitration bahwa pihak yang paling beruntung, yang harus diidentifikasi
dimuka, akan membayar uang muka biaya atau bagian terbesar dari muka biaya. Hal ini
mungkin memastikan bahwa pihak yang tidak mampu membayar uang muka pada biaya
arbitrase akan dapat mempresentasikan kasusnya.
Andrian Beregoi, Hukum Aceris

A. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai