Arin Setiyowati
Dosen FAI UMSurabaya dan Pegiat Kajian Gender
Abstraksi
Menyoal tentang tentu bukan sebatas kurva permintaan dan penawaran, bukan hanya perkara
angka pengangguran dan penyusunan anggaran yang efektif maupun hal-hal yang normatif
lainnya belaka. Namun, cakupannya luas dan mendalam, termasuk perihal tentang keterlibatan
setiap pelaku ekonomi (baik laki-laki dan perempuan), terlebih jaminan perlindungan terhadap
kelompok minoritas (dalam hal ini khususnya perempuan).
Celakanya, tidak di semua sektor ekonomi perempuan dan laki-laki mengalami kesetaraan, baik
dalam peluang maupun hasil ekonomi. Sedikit banyak memiliki celah di dalamnya. Seperti
halnya di ekonomi di unit terkecil rumah tangga, nyatanya masih ada kesenjangan gender.
Walaupun akhir dari semua peran ekonomi anggota keluarga adalah untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Sehingga melalui Tulisan ini penulis bermaksud menganalisis
sejauhmana relevansi Posisi dan Peran Gender Perempuan dalam mewujudkan kesejahteraan
ekonomi keluarga.
Pendahuluan
Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan hasil survei penduduk antar sensus (Supas) 2015
jumlah penduduk Indonesia pada 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa. Menurut jenis
kelamin, jumlah tersebut terdiri atas 134 juta jiwa laki-laki dan 132,89 juta jiwa perempuan.
Sedangkan jumlah penduduk kelompok umur 15-64 tahun (usia produktif) mencapai
183,36 juta jiwa atau sebesar 68,7% dari total populasi. Sehingga berdasarkan data tersebut,
Indonesia sedang menikmati masa bonus demografi di mana jumlah penduduk usia produktif
lebih banyak dari usia tidak produktif, yakni lebih dari 68% dari total populasi.1
Dalam perekonomian dua sector, maka keterkaitan unit ekonomi rumah tangga dan
perusahaan adalah pemanfaatan factor produksi baik secara material maupun skill dari
sumberdaya manusia yang dialirkan ke perusahaan, sedangkan rumah tangga memanfaatkan
hasil produksi perusahaan dan aliran keterkaitan lainnya. Artinya ketersediaan dan keterserapan
sumberdaya manusia dalam rumah tangga menentukan atas kualitas produksi perusahaan
khususnya dan kesejahteraan ekonomi dalam skala besar.
1
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/04/jumlah-penduduk-indonesia-2019-mencapai-267-juta-
jiwa, akses 29 Mei 2019
Dalam hal ini, BPS telah merilis bahwa penduduk yang telah bekerja pada Agustus 2018
mengalami peningkatan 2,99 juta orang, dari Agustus 2017 sebanyak 121,02 juta orang menjadi
124,01 juta orang. Hal ini menunjukkan realita bahwa adanya peningkatan tersebut beriringan
dengan melebarnya kesenjangan partisipasi kerja antara kaum laki-laki dan perempuan di
Indonesia. Yakni dengan rincian bahwa keterserapan penduduk laki-laki dalam dunia kerja
mencapai 82,69 persen, sedangkan perempuan hanya mencapai 51,88 persen.2 Kesenjangan ini
tentunya perlu menjadi perhatian bersama di saat arus emansipasi perempuan di segala bidang
sudah mendapatkan apresiasi.
Berbicara tentang sosok perempuan tak lepas dari dinamika para perempuan Indonesia
dalam mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Perempuan masa lampau yang cenderung
terbatas untuk bekerja di ranah pemerintahan, terbatas untuk berpendidikan tinggi. Hal itu seperti
yang dialami oleh tokoh pejuang perempuan kita yakni Ibunda Raden Ajeng Kartini. Semua
kesempatan kerja di luar, pendidikan tinggiseakan milik kuasa laki-laki, kondisi itu kini sudah
terkikis. Dari segi pendidikan, sekarang perempuan memiliki kesempatan yang tinggi untuk
menambah pengetahuan sebagaimana orang laki-laki yang berkesempatan. Banyak perempuan
yang memiliki yang memiliki karir yang tinggi karena pendidikan yang diperolehnya. Banyak
perempuan yang menjadi bisnis women yang mewarnai kehidupan.
Dilihat dari sejarah Islam, tokoh perempuan yang berjiwa bisnis, seorang yang kaya raya,
seorang saudagar yakni Siti Khadijah, istri Rasulullah SAW. Jika dibandingkan dengan kualitas
peran perempuan di dunia, dilihat dari Gender Inequality Index (GII) Indonesia tahun 2011 yaitu
0,505 menduduki peringkat 100. Pada tahun 2008 GII Indonesia sebesar 0.714 berada pada
urutan ke 108 dari 139 negara. Artinya indek kualitas peran perempuan mengalami peningkatan.
Harapannya ke depan kualitas perempuan Indonesia kian meningkat baik di sektor ekonomi,
sosial, politik maupuan budaya. Lebih jauh kita ingin melihat lebih jauh peran perempuan dalam
perekonomian di Negara Indonesia (Kompas, 2017).
Sejak terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan di luar peran rumah tangga,
perempuan menyesuaikan perannya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah.
Partisipasi kerja ini tidak saja menyebabkan penambahan penghasilan rumah tangga, tetapi
dengan meningkatkan peran perempuan dalam mengambil keputusan. Perempuan yang bekerja
merupakan salah satu bentuk mobilitas sosial perempuan. Mobilitas yang dilakukan berdasarkan
kemampuan dan potensi baik secara pendidikan maupun kemandirian belum mencapai prosentasi
2
https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1091306-angkatan-kerja-perempuan-ri-masih-jauh-tertinggal-dari-laki-laki,
diakses 29 Mei 2019
yang sama dengan laki-laki. Umumnya mobilitasi sosial permpuan masih mengikuti pola
tradisional, secara tradisional perempuan mengalami mobilitasi melalui perkawinan. Peran
perempuan setelah perkawinan adalah melahirkan, dimana peran ini dinamakan peran
reproduktif. Peran ini tidak bisa digantikan oleh laki-laki karena memang sifatnya kodrati dan
tidak bisa dihindari. Perempuan berperan sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi rumah tangga atau keluarga.
Peran gender adalah dimana peran laki-laki dan perempuan yang dirumuskan oleh
masyarakat berdasarkan tipe seksual maskulin dan feminitasnya. Misal peran laki-laki
ditempatkan sebagai pemimpin dan pencari nafkah karena dikaitkan dengan anggapan bahwa
laki-laki adalah makhluk yang lebih kuat, dan identik dengan sifat-sifatnya yang super
dibandingkan dengan perempuan. Di dalam undang-undang perkawinan ditetapkan bahwa peran
suami adalah sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. suami wajib
melindungi istri, dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan keperluannya, sedangkan
kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. dengan pembagian
peran tersebut, berarti peran perempuan yang resmi diakui yaitu peran mengatur urusan rumah
tangga seperti membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, merawat anak.
Pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan berdasarkan gender dapat dibagi
menjadi : 1) Pembedaan peran dalam hal pekerjaan, misalnya laki-laki dianggap pekerja yang
produktif yakni jenis pekerjaan yang menghasilkan uang (dibayar), sedangkan perempuan
disebut sebagai pekerja reproduktif yakni kerja yang menjamin pengelolaan seperti mengurusi
pekerjaan rumah tangga dan biasanya tidak menghasilkan uang; 2) Pembedaan wilayah kerja,
laki-laki berada diwilayah publi atau luar rumah dan perempuan hanya berada didalam rumah
atau ruang pribadi; 3) Pembedaan status, laki-laki disini berperan sebagai aktor utama dan
perempuan hanya sebagai pemain pelengkap; 4) Pembedaan sifat, perempuan dilekati dengan
sifat dan atribut feminin seperti halus, sopan, penakut, "cantik" memakai perhiasan dan cocoknya
memakai rok. dan laki-laki dilekati dengan sifat maskulinnya, keras, kuat, berani, dan memakai
pakaian yang praktis.
Perdebatan mengenai peran gender, khususnya peran gender dalam keluarga sendiri
nampak seperti sesuatu yang tidak ada habisnya. Bahasan mengenai peran gender dalam
keluarga dapat dilacak hingga awal tahun 1700-an. Pada masa itu, seorang bangsawan Jerman
Dorothea von Velen mengkritik, dan berhasil mengubah kebijakan kerajaan terkait pembatasan
peran perempuan pasca-pernikahan. Lebih lanjut, pada tahun 1970 Perancis membebaskan
perempuan dari otoritas laki-laki dalam keluarga. Hal ini membuktikan bahwa diskursus
mengenai peran gender dalam keluarga mengalami perkembangan dari tahun ke tahun
(Rahardian, 2015).
Relevansi Peran Gender dan Kontribusi Ekonomi Untuk Mencapai Falah dalam Rumah
Tangga
Keterlibatan perempuan memiliki peran yang besar dalam keluarga baik untuk kegiatan
rumah tangga maupun kegiatan ekonomi yang dapat menunjang pendapatan rumah tangga.
Perempuan secara langsung maupun tidak langsung ikut terlibat dan bertanggung jawab dalam
mengelola keuangan rumah tangga yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan
keluarga. Namun, umumnya perempuan dihargai dengan upah yang lebih rendah dibandingkan
dengan laki-laki. Seringkali upah yang dihasilkan istri untuk keluarga dianggap sebagai hasil
kontribusi suami terhadap pendapatan keluarga. Hal ini dikarenakan perempuan seringkali
dipandang sebagai orang kedua yang hanya membantu pasangan (subordinat), berpendidikan
rendah, dan memiliki keterbatasan keterampilan untuk menghasilkan kontribusi ekonomi bagi
keluarga.
Berdasarkan aspek ekonomi, suatu keluarga dapat mengelola kegiatan ekonomi keluarga,
pembagian kerja dan fungsi, yang menghasilkan pendapatan, jenis produksi dan jasa yang
dihasilkan. (Raharjo, 1989). Tujuan terbentuknya keluarga adalah untuk mewujudkan keadaan
kesejahteraan atau falah baik fisik, sosial, ekonomi, psikologis atau mental, dan spiritual.
Kesejahteraan atau falah keluarga akan tercapai dengan maksimal apabila kerja sama kemitraan
antara suami dan istri dalam keluarga tercipta secara optimal. Secara tradisional, peran gender
seorang istri adalah di sektor domestik yaitu debagai ibu rumah tangga dengan tugas mengurus
rumah dan mengasuh anak, sedangkan sami berperan sebagai kepala rumah tangga dengan tugas
mencari nafkah. Namun, pada kenyataannya saat ini sudah banyak istri yang bekerja di sektor
publik yang menghasilkan uang untuk menambah penghasilan keluarga. Hal ini dilakukan untuk
menghadapi tekanan ekonomi dan kebutuhan rumah tangga.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa berbagai macam perubahan
yang berdampak positif dan negatif. Hal ini berpengaruh juga dalam kehidupan perempuan yakni
bagaimana kaum perempuan berperan, baik selaku isteri dan ibu rumah tangga, bekerja mencari
nafkah dan fungsi sosial. Dihadapkan pada kenyataan tersebut, ternyata pandangan terhadap
peran perempuan adalah memberikan peluang kepadanya untuk memberi subyek bagi
tindakannya, memahami cita-cita perempuan yang mengembangkan diri, dan mengembangkan
sikap pembela hak-hak perempuan secara lebih tuntas (Pramono, 1989, hal. 40-41).
Kaitannya dengan pekerjaan perempuan ini Zakiah Daradjat menyatakan bahwa dalam
sebuah lapangan kerja yang cocok dengan kudratnya, perempuan juga dituntut untuk aktif
bekerja. Banyak lapangan pekerjaan yang cocok dengan perempuan, hanya saja perempuan harus
selalu ingat bahwa keperempuanannya itu tetap melekat pada dirinya. Artinya, kodrat fisik dan
ciri keperempuanannya tetap berbahaya bagi dirinya dan terhadap orang lain, jika ia tidak sadar
atau menjaga dirinya. Bahkan, untuk kepentingan keselamatan jiwanya, kaum perempuan harus
gesit bekerja. Jika seseorangtidak bekerja atau diam saja, maka ia akan melamun, berkhayal,
memikirkan atau mengenai hal-hal yang dalam kenyataan tidak dialami atau tidak dirasakan.
Kesimpulan
Dalam upaya mencapai hidup sejahtera (falah), perempuan dalam rumah tangganya
setiap hari berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan perannya dengan baik, baik sebagai
ibu rumah tangga maupun pencari nafkah. Untuk itu mereka mengatur waktu sedemikian rupa
sehingga semua peran yang disandangnya dapat dilaksanakan dengan seimbang. Kendati
demikian pasti ada kendala yang akan dialami dalam melaksanakan peran gandanya tersebut,
salah satu masalah penting jika perempuan memasuki sektor publik atau bekerja di luar rumah
tangga adalah pembinaan keluarga. Hal ini perlu adanya komunikasi dan kolaborasi parenting
dalam pengasuhan anak dan pengaturan kehidupan rumah tangga, khususnya atasnama unit
ekonomi rumah tangga.