Anda di halaman 1dari 13

Nama : Moh.

Naim

NPM : 1810101026

Mata kuliah : Teori Ekonomi Makro 1

Dosen pengampu : Dr. Hadi Sasana, S.E., M.Si

Artikel 1.
GDP/PDB Sebagai Alat Ukur Pertumbuhan Ekonomi Suatu
Negara

Bila berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi di suatu negara, maka GDP pun akan banyak
disangkutpautkan. Mankiw (2007: 16) mengartikan Gross Domestic Product (GDP) sebagai pendapatan
dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa. GDP sering dianggap sebagai ukuran terbaik
dari kinerja perekonomian. Hal ini dikarenakan GDP mengukur aliran uang dalam suatu perekonomian
(Mankiw, 2007: 18). Aliran yang dimaksud di sini adalah hubungan yang terjalin antara perusahaan dan
rumah tangga dalam memproduksi suatu barang. Contoh, kegiatan produksi roti. Rumah tangga menjual
tenaga kerja ke perusahaan, kemudian perusahaan menjual roti yang diproduksi ke rumah tangga dan
begitu seterusnya. Contoh tersebut menunjukkan bahwa GDP merupakan pengeluaran total atas roti dan
pendapatan total dari produksi roti.

Anggapan bahwa GDP merupakan sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian
sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, sejatinya juga berkaitan dengan fungsi penting GDP itu
sendiri bagi suatu negara yang terbagi menjadi tiga. Pertama, mengukur kualitas perekonomi. Kedua,
mengukur pertumbuhan kualitas pertumbuhan ekonomi. Ketiga, mengukur tingkat inflasi yang terjadi.
Sehingga dapat dikatakan, tujuan yang sesungguhnya adalah untuk meringkas aktivitas ekonomi dalam
suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu (Mankiw, 2007: 17).

Adapun unsur-unsur yang terdapat di dalam GDP. Unsur yang pertama adalah konsumsi, yaitu
pengeluaran rumah tangga untuk pembelian barang dan jasa, kecuali pembelian rumah baru. Barang yang
dimaksud di sini terbagi menjadi dua, yakni barang tahan lama dan barang tidak tahan lama. Barang tahan
lama adalah barang yang memiliki usia panjang, seperti mobil, TV, dan komputer. Sebaliknya, barang
tidak tahan lama adalah barang yang habis dipakai dalam waktu singkat, seperti makanan dan pakaian.
Sedangkan jasa yang dimaksud di sini meliputi pekerjaan yang dilakukan untuk konsumen, seperti potong
rambut (Mankiw, 2007: 26).

Kedua, investasi, yaitu pembelian barang yang akan digunakan di masa depan untuk
menghasilkan lebih banyak barang dan jasa. Investasi biasanya meliputi pembelian peralatan modal,
persediaan, struktur, dan rumah baru (Mankiw, 2007: 26). Ketiga, belanja pemerintah atau gorvernment
purchases, yakni pengeluaran untuk barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah, dan
negara bagian. Belanja pemerintah meliputi pengeluaran untuk peralatan militer, pembenahan
infrastruktur negara, dan pembayaran gaji pegawai pemerintah. Pembayaran tranfser seperti jaminan
sosial kepada individu tidak termasuk belanja pemerintah karena pendapatan yang direlokasikan tidak
memerlukan pertukaran barang dan jasa (Mankiw, 2007: 26-7).

Dan unsur terakhir, ekspor neto atau net exports, adalah perhitungan perdangan dengan negara
lain. Biasanya nilai ekspor neto merupakan hasil dari nilai ekspor dikurangi dengan nilai impor. Hal ini
yang kemudian menyebabkan bernilai positif, yakni ketikan nilai ekspor lebih besar dari nilai impor, dan
bernilai negatif ketika nilai ekspor lebih kecil dari pada nilai impor (Mankiw, 2007: 27).

Dalam penghitungannya, GDP kerap didefinisikan sebagai nilai pasar semua barang dan jasa
akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu (Mankiw, 2007: 19). GDP
mengkombinasikan nilai barang dan jasa menjadi sebuah ukuran tunggal. Dari definisi tersebut, dapat
dikatakan bahwa cara untuk menghitung nilai GDP (Y) adalah dengan menjumlahkan keempat unsur
yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), dan ekspot
neto (NX). Nilai dari masing-masing barang dan jasa yang ada dalam perhitungan tidak jarang memiliki
perbedaan. Artinya, keragaman perekonomian menyulitkan perhitungan GDP karena produk yang
berbeda mempunyai nilai yang berbeda. Bila harga atau jumlah produk meningkat, maka GDP pun akan
meningkat pula (Mankiw, 2007: 22).

Selain unsur-unsur, terdapat juga tiga konsep lain mengenai GDP. Pertama, GDP nominal
(GDPn), yaitu GDP yang dihitung berdasarkan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan,
termasuk inflasi. Cara menghitungnya pun terhitung sederhana, mengingat hanya menjumlahkan hasil
perkalian antara jumlah produk dengan harga yang berlaku (Mankiw, 2007: 22). Kedua, GDP riil (GDPr),
yaitu GDP yang dihitung berdasarkan harga konstan atau data dari tahun tertentu sebagai tahun patokan.
Berbeda dengan GDPn, inflasi tidak termasuk dalam GDPr karena harga yang digunakan dalam
perhitungan hanya terdiri dari satu harga konstan yang tidak mengalami perubahan maupun perbedaan
apapun. Cara penghitungannya sama dengan GDPn, hanya saja harga yang digunakan adalah harga yang
berlaku pada tahun patokan (Mankiw, 2007: 23). Dan konsep ketiga, GDP deflator (GDPd), yakni ukuran
tingkat harga yang dihitung sebagai rasio GDPn terhadap GDPr kali seratus. Sebelumnya telah disebutkan
bahwa GDP berfungsi untuk mengukur tingkat inflasi. Kaitan antara GDP dan inflasi ini sejatinya dapat
dilhat pada persamaan tersebut yang menunjukkan bahwa sesungguhnya GDPd digunakan untuk
mendeflasi atau menghilangkan inflasi dari GDPn untuk menghasilkan GDPr (Mankiw, 2007: 24).

Akhir-akhir ini banyak spekulasi yang mengatakan bahwa GDP Cina akan melampaui Amerika
Serikat (AS). Dengan pertumbuhan GDP tahunan 9-10% selama 30 tahun, Cina dengan cepat menjadi
perekonomian terbesar kedua di dunia. Tiap tahunnya, perekonomian Cina tumbuh sebanyak 7% (Yueh,
2014). Kondisi ini menunjukkan ekonomi Cina akan berlipat ganda dalam ukuran sekitar satu dekade dan
membawa perekonomian Cina menyamai AS. Dan dengan pertumbuhan ekonomi AS yang hanya sekitar
3% per tahun, World’s Bank International Comparisons Program (ICP) memprediksi pada tahun 2019
Cina akan menjadi pemegang ekonomi terbesar dunia (Ezell, 2014). Dampaknya, AS akan kehilangan
posisi utama ekonomi global, kurang mampu memfasilitasi sistem perdagangan global karena riset
teknologi dan penelitian AS menurun sehingga mendorong negara-negara lain untuk berinovasi. Dan
tentu saja titel AS sebagai pemilik militer terkuat di dunia juga akan meredup (Ezell, 2014).
Artikel 2.

Analisis Perkembangan PDB Indonesia


Antara tahun 1965 sampai dengan 1997 perekonomian Indonesia tumbuh dengan persentase rata-rata per
tahunnya hampir tujuh persen. Pencapaian ini memampukan perekonomian Indonesia bertumbuh dari
peringkat ‘negara berpendapatan rendah’ masuk ke dalam kategori ‘negara berpendapatan menengah ke
bawah’. Kendati begitu, Krisis Finansial Asia yang "meletus" pada akhir tahun 1990-an mengakibatkan
dampak sangat negatif untuk perekonomian Indonesia, menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto
(PDB) sebesar 13,6 persen pada tahun 1998 dan pertumbuhan yang sangat terbatas pada 0,3 persen pada
tahun 1999.

Fokus Analisis

Antara periode 2000-2004, pemulihan ekonomi Indonesia terjadi dengan rata-rata pertumbuhan PDB pada
4,6 persen per tahun. Setelah itu, pertumbuhan PDB berakselerasi (dengan pengecualian pada tahun 2009,
akibat guncangan dan ketidakjelasan finansial global, terjadinya arus modal keluar dari Indonesia maka
pertumbuhan PDB Indonesia jatuh menjadi 4,6 persen - sebuah angka yang sebenarnya masih
mengagumkan - pada tahun itu) dan kemudian memuncak pada 6,5 persen pada tahun 2011. Periode
pemulihan dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan antara tahun 2000 dan 2011 itu
terutama disebabkan oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga (di tengah menguatnya PDB per kapita
serta daya beli konsumen) dan ledakan harga komoditas pada tahun 2000-an (2000s commodities boom).

Namun, era boom komoditas pada tahun 2000-an juga merupakan sebuah peluang yang terlewatkan
karena pemerintah Indonesia gagal mengurangi ketergantungan negaranya terhadap ekspor komoditas
(mentah). Maka, ketika harga komoditas merosot setelah 2011 ekspansi ekonomi Indonesia mulai
melambat dengan cepat. Antara tahun 2011 dan 2015 suatu periode perlambatan ekonomi muncul; sebuah
perlambatan yang memprihatinkan.

Teks ini mendiskusikan performa perekonomian Indonesia, negara dengan perekonomian terbesar di Asia
Tenggara, sejak akhir 2000-an hingga saat ini dan menyorot dengan lebih spesifik pada dua topik: (1)
perlambatan perekonomian yang terjadi di periode 2011-2015 dan (2) lambatnya proses percepatan
pertumbuhan ekonomi yang mulai dari 2016.

Statistik Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB):

Rata-rata
Pertumbuhan PDB (%)
1998 – 1999 - 6.65
2000 – 2004 4.60
2005 – 2009 5.62
2010 – 2015 5.63
2016 – 2017 5.05
2007 2008 2009 2010 2011 2012
PDB
432.2 510.2 539.6 755.0 893.0 918.0
(dalam milyar USD)
PDB
6.3 6.0 4.6 6.2 6.2 6.0
(perubahan % tahunan)
PDB per Kapita
1,861 2,168 2,263 3,167 3,688 3,741
(dalam USD)

2013 2014 2015 2016 2017 2018


PDB
915.0 891.0 861.0 933.0
(dalam milyar USD)
PDB
5.6 5.0 4.9 5.0 5.1 5.17
(perubahan % tahunan)
PDB per Kapita
3,528 3,442 3,329 3,603
(dalam USD)

The base year for computing the economic growth rate shifted from 2000 to 2010 in 2014, previous years have been recalculated
Sumber: Bank Dunia

Tampak dalam tabel di atas bahwa penurunan perekonomian global yang disebabkan oleh krisis finansial
global di akhir 2000-an memiliki dampak yang relatif kecil pada perekonomian Indonesia dibandingkan
dengan dampak yang dialami negara-negara lain. Pada tahun 2009, pertumbuhan PDB Indonesia turun
menjadi 4,6 persen, yang berarti bahwa performa pertumbuhan PDB negara ini merupakan salah satu
yang terbaik di seluruh dunia (dan memiliki peringkat tertinggi ketiga di antara negara-negara dengan
perekonomian besar yang tergabung di dalam grup G-20).

Meskipun terjadi penurunan tajam harga-harga komoditi, turunnya pasar saham, yield (penghasilan)
obligasi domestik dan internasional yang lebih tinggi, dan melemahnya nilai tukar rupiah, perekonomian
Indonesia masih dapat tumbuh dengan layak. Kesuksesan ini terutama disebabkan oleh berlanjutnya
konsumsi domestik yang subur. Konsumsi domestik di Indonesia (terutama konsumsi pribadi/konsumsi
rumah tangga) berkontribusi untuk sekitar 55-58 persent dari total pertumbuhan ekonomi negara ini.
Dengan demikian konsumsi rumah tangga pada tahun 2009 itu merupakan sebuah alas bagi perekonomian
Indonesia yang mendorong pertumbuhan ekonomi saat situasi global berubah masam.

Pada tahun 2010, Bank Dunia melaporkan bahwa karena suburnya pertumbuhan ekonomi Indonesia,
setiap tahunnya sekitar 7 juta penduduk Indonesia masuk dalam kelas menengah negara ini. Meskipun
pertumbuhan penduduk kelas menengah sudah tidak secepat itu karena perlambatan perekonomian
Indonesia yang terjadi di antara tahun 2011-2015, Indonesia masih tetap memiliki kekuatan konsumen
yang mendorong perekonomian dan telah secara signifikan memicu pertumbuhan investasi domestik dan
asing sejak 2010 (yang jelas, banyak investor pasti ingin berinvestasi di sebuah negara yang memiliki
populasi 260 juta dan yang ditandai oleh kenaikan PDB per kapita yang kuat sehingga merupakan pasar
yang sangat menjanjikan untuk macam-macam produk dan layanan).
Menentukan jumlah orang Indonesia yang masuk kelas menengah adalah soal definisi. Pada akhir 2017
Bank Dunia mengatakan sekitar 52 juta orang Indonesia termasuk dalam kategori kelas menengah.
Namun, perusahaan riset seperti Boston Consulting Group (BCG) dan McKinsey menetapkan bar yang
rendah maka jumlah orang kelas menengah hitungan mereka lebih tinggi ditimbang kalkulasi Bank
Dunia. Namun, semua institusi tampaknya setuju bahwa kelas menengah di Indonesia kira-kira telah
berlipat ganda pada tahun 2030. Jumlah kelas menengah yang meningkat ini berpotensi besar untuk
pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kendati begitu, setelah memuncak di 2011, pertumbuhan PDB Indonesia mulai melambat di periode
2011-2015. Ada beberapa faktor yang menjelaskan perlambatan ekonomi ini:

• Pertumbuhan Ekonomi Global yang Lambat: Fokus pada Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

Setelah mengalami rebound dari resesi global yang besar (2007-2009), laju pertumbuhan ekonomi di
seluruh dunia menurun pada periode 2010-2014. Yang paling menyebabkan kekuatiran adalah semakin
menurunnya laju pertumbuhan perekonomian RRT. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia
ini bertumbuh 6,7 persen pada basis year-on-year (y/y) pada tahun 2016, level terendah dalam 26 tahun
terakhir. Menurunnya ekspansi perekonomian di RRT segera memberikan dampak pada Indonesia karena
kedua negara adalah mitra dagang yang penting (RRT berkontribusi untuk hampir sepersepuluh dari total
ekspor Indonesia). Diperkirakan bahwa untuk setiap penurunan 1 persen dari pertumbuhan PDB RRT,
ekspansi perekonomian Indonesia berkurang 0,5 persen. Meskipun ekonomi China
mengalami rebound dengan pertumbuhan ekonomi 6,9 persen (y/y) pada tahun 2017, laju pertumbuhan
ekonomi negara ini diperkirakan akan mereda di tahun-tahun depan karena ekonomi China sedang
mengalami beberapa perubahan struktural.

• Menurunnya Harga-Harga Komoditas

Perlambatan ekonomi global di periode 2010-2014 (dan terutama perlambatan ekonomi RRT)
menyebabkan penurunan harga-harga komoditas ke level yang rendah selama bertahun-tahun. Sebagai
negara eksportir komoditas yang besar (dan kekurangan industri hilir), kinerja ekspor Indonesia sangat
terpengaruhi saat harga komoditas (seperti batubara dan minyak sawit mentah) rendah. Rendahnya harga
komoditas-komiditas tidak hanya disebabkan oleh permintaan global yang rendah namun juga karena
kelebihan suplai. Pada era boom komoditas di tahun 2000-an dan juga setelah selesainya resesi global
yang besar yang terjadi di akhir 2000-an, institusi-institusi seperti Bank Dunia dan International Monetary
Fund menerbitkan proyeksi pertumbuhan global yang terlalu optimis, maka banyak perusahaan masuk ke
dalam sektor komoditas - atau perusahaan-perusahaan komoditi yang dari dulu aktif berinvestasi kembali
untuk meningkatkan kapasitas produksi - dan menyebabkan timbunan suplai sehingga menekan turun
harga komoditas pada paruh pertama tahun 2010-an.

Namun, pada tahun 2016 harga komoditas akhirnya berhasil menjadi stabil, bahkan sebuah rebound
terjadi dipimpin oleh harga minyak mentah yang sebelumnya sempat jatuh di bawah USD $30 per barel
pada awal tahun 2016. Jelas, rebound harga komoditas ini memiliki dampak positif terhadap ekonomi
global.
• Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia yang Tinggi

Tingkat suku bunga yang tinggi membatasi pertumbuhan kredit dan karenanya mengurangi pertumbuhan
ekonomi. Sejak pertengahan tahun 2013, bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) meningkatkan suku
bunga acuannya (BI rate) dari level terendah dalam sejarah pada 5,75 persen kemudian secara bertahap,
namun agresif, naik menjadi 7,75 persen di akhir 2014. Bank Indonesia mengetatkan kebijakan
moneternya dalam rangka melawan inflasi yang tinggi (yang meningkat tajam setelah beberapa reformasi
subsidi bahan bakar), mengurangi defisit transaksi berjalan yang lebar, dan mendukung rupiah yang
dibebani oleh tekanan-tekanan berat mulai tengah 2013 karena pengetatan moneter di Amerika Serikat.
Arus modal keluar (capital outflows) besar-besaran dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,
terjadi hampir sepanjang tahun 2013 karena ancaman penurunan program pembelian obligasi senilai 85
miliar dollar Amerika Serikat (AS) setiap bulannya (quantitative easing AS). Pada tahun 2015, capital
outflows dari negara-negara berkembang muncul kembali karena dunia sedang bersiap-siap untuk suku
bunga AS (Fed Funds Rate) yang lebih tinggi.

Pada Desember 2015 Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) menaikkan suku bunganya untuk
pertama kalinya dalam satu dekade (disusul kenaikan suku bunga pada Desember 2016). Namun, karena
inflasi Indonesia dan defisit transaksi berjalan membaik ke tingkat yang aman, sedangkan rupiah mulai
stabil terhadap dolar AS dari akhir-2015, Bank Indonesia akhirnya bisa melonggarkan kebijakan
moneternya. Sepanjang 2016 Bank sentral Indonesia mampu menurunkan suku bunga secara drastis dari
level 7,75 persen pada awal 2016 menjadi 4,75 persen pada akhir 2016 (ini juga termasuk perubahan dari
BI rate ke BI 7-day Reverse Repo Rate sebagai alat benchmark bank sentral), maka memungkinkan
aktivitas ekonomi yang lebih cepat. Namun, per awal 2018 pertumbuhan kredit tetap lemah di Indonesia.

• Perpolitikan di Indonesia

Tahun 2014 adalah ‘tahun politik’ untuk Indonesia karena adanya pemilu legislatif dan presiden. Pemilu
presiden ini menjadi pertarungan antara Joko Widodo yang didukung PDI-P (calon favorit para investor
karena Widodo bersifat reform-minded) dan Prabowo Subianto yang didukung Gerindra (mantan jenderal
angkatan bersenjata yang kontroversial dan juga mantan menantu Suharto). Meskipun pemilu ini
diprediksi akan memberikan kemenangan yang mudah untuk Widodo, pemilu ternyata berubah menjadi
pertarungan sengit (bahkan akhirnya membutuhkan keputusan Mahkamah Konstitusi untuk
mengkonfirmasi hasil dari Pemilihan presiden). Selama sekitar lima bulan pada tahun 2014 Indonesia
dilanda oleh ketidakjelasan politik akibat pemilu. Dengan demikian investasi di Indonesia dan ekspansi
ekonomi negara tersebut ikut melambat.

Karena Indonesia adalah negara demokrasi yang muda, mempunyai masyarakat yang sangat majemuk,
dan mempunyai banyak swing voters (yaitu orang yang tidak setia pada satu partai politik melainkan
cenderung memilih partai lain di pemilu yang berikut) hasil pemilu bisa saja jadi kejutan. Oleh karena itu,
pemilihan di Indonesia selalu menimbulkan tingkat ketidakpastian yang tinggi dan jika ada satu hal yang
dibenci investor itu ketidakpastian.
Ketidakpastian hukum atau ketidakpastian mengenai kebijakan (ekonomi) pemerintah juga merupakan
salah satu hambatan utama karena membuat investor berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk
berinvestasi di Indonesia (lihat juga bagian Risiko). Misalnya, sejalan dengan UU Pertambangan 2009,
Indonesia mengimplementasikan larangan ekspor biji-biji mineral pada Januari 2014. Meskipun larangan
ini tidak segera dilaksanakan sepenuhnya (beberapa penambang bisa melanjutkan ekspor biji-biji mineral
bila mereka berkomitmen untuk mendirikan fasilitas-fasilitas smelter domestik dan membayar pajak dan
royalti yang lebih tinggi) dan walau tujuan kebijakan baru ini baik (yaitu mengurangi ketergantungan
Indonesia pada harga-harga komoditas yang sangat tidak stabil), hal ini juga menyebabkan pengurangan
performa ekspor serta kekhawatiran tinggi tentang kepastian hukum (karena dengan tiba-tiba mengubah
peraturan, pemerintah sebenarnya melanggar banyak kontrak).

Isu politik lain yang menghambat ekspansi perekonomian Indonesia adalah belanja Pemerintah yang
lambat. Karena halangan pita merah (birokrasi berlebihan) dan koordinasi yang lemah antar institusi
pemerintahan (baik di level pusat maupun regional), belanja Pemerintah tetap kurang optimal.

• Konsumsi Rumah Tangga Yang Lemah

Sementara itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Indonesia melambat dan menjadi stagnan sejak
beberapa tahun yang lalu (lihat tabel di bawah). Dengan mempertimbangkan bahwa konsumsi rumah
tangga menyumbang sekitar 55-58 persen ke total pertumbuhan ekonomi Indonesia, pertumbuhan
konsumsi rumah tangga yang stagnan mengurangi pertumbuhan makroekonomi negaranya. Penyebab di
balik tren ini masih tetap sebuah misteri yang terus membingungkan para analis serta pembuat kebijakan.
Namun, mengingat bahwa dana pihak ketiga di sektor perbankan Indonesia meningkat tajam dalam
periode yang sama, bisa saja bahwa daya beli konsumen sebenarnya tidak melemah, melainkan konsumen
Indonesia lebih memilih untuk menghemat dana (dengan menyimpannya di tabungan bank) daripada
membelanjakannya. Ada yang berpendapat bahwa ini menunjukkan perubahan struktural: generasi muda
(para millennials) lebih sadar akan pentingnya menyimpan dana di rekening bank, sementara generasi tua
masyarakat Indonesia kurang memiliki kesadaran semacam itu. Dan seiring dengan berjalannya waktu,
peran generasi muda itu semakin besar di dalam ekonomi Indonesia, maka perubahan dalam
pembelanjaan ini sekarang dirasakan.

Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia 2013-2017:

2013 2014 2015 2016 2017


Pertumbuhan
5.43 5.16 4.96 5.01 4.95
(perubahan % tahunan)

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)


Pertumbuhan PDB Indonesia per Kuartal 2009–2018 (perubahan % tahunan):

Tahun Quarter I Quarter II Quarter III Quarter IV


2018 5.06 5.27 5.17 5.18
2017 5.01 5.01 5.06 5.19
2016 4.92 5.19 5.01 4.94
2015 4.71 4.66 4.74 5.04
2014 5.14 5.03 4.92 5.01
2013 6.03 5.81 5.62 5.72
2012 6.29 6.36 6.17 6.11
2011 6.45 6.52 6.49 6.50
2010 5.99 6.29 5.81 6.81
2009 4.60 4.37 4.31 4.58

Sumber: BPS

Proyeksi dan Pandangan untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap "positif" dalam arti bahwa sebagian besar - jika tidak
semua - lembaga internasional dan domestik yang relevan meramalkan percepatan pertumbuhan ekonomi
bagi Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Namun, lembaga-lembaga ini sudah tidak sepositif dulu
(awal 2010an) waktu pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan segera kembali ke tingkat di atas 6 persen
(y/y). Rupanya, pada waktu itu hanya tidak ada pengamat ekonomi yang mengerti bahwa ekonomi global
terkena ketidakpastian yang berkepanjangan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat sampai
dengan tahun 2016.

Bahkan baru-baru ini, lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia masih tetap terlalu
positif tentang laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Misalnya, Bank Dunia dan IMF memprediksi bahwa
ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5.3 persen (y/y) pada tahun 2017, sedangkan realisasi pertumbuhan pada
tahun itu hanya berada di 5,07 persen (y/y).

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (perubahan % per tahun):

Lembaga 2017 2018


Pemerintah Indonesia 5.1 5.4
Bank Dunia 5.3 5.2¹
International Monetary Fund (IMF) 5.3 5.3
Asian Development Bank (ADB) 5.1 5.3
Indonesia Investments 5.1 5.2
Realisasi 5.07 5.17

¹ direvisi dari 5.3% pada tanggal 6 Juni 2018


Berbagai sumber
Meskipun banyak anggapan bahwa ekonomi Indonesia sebagai ekonomi yang sehat dan dengan prospek
pertumbuhan yang sangat baik dalam jangka panjang, kami ingin menekankan di sini bahwa tanpa (secara
tiba-tiba) melonjaknya harga komoditas dan/atau lonjakan (yang tiba-tiba) dalam konsumsi rumah tangga,
akan membutuhkan banyak tahun bagi Indonesia untuk kembali pada tingat pertumbuhan di atas 6 persen
(y/y). Jika pertumbuhan tidak dapat terangkat oleh ekspor komoditas dan konsumsi rumah tangga, maka
pertumbuhan ekonomi itu perlu berasal dari perubahan struktural, yaitu (1) perkembangan industri
manufaktur yang berorientasi ekspor (dan ini akan membutuhkan iklim usaha dan investasi yang
kondusif), (2) pembangunan infrastruktur besar-besaran (yang menyebabkan efek multiplier dan
mengurangi biaya logistik), dan (3) secara signifikan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia.

Tentunya, ini adalah hal-hal yang membutuhkan bertahun-tahun atau bahkan dekade sebelum sepenuhnya
selesai (dan prosesnya harus didorong dan didukung oleh semua pemerintah yang terbentuk di sepanjang
jalan). Oleh karena itu, kami memprediksi bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan
mengakselerasi sedikit pada tahun-tahun mendatang sebelum berakselerasi lebih cepat setelah tahun 2020.

Pemerintahan Joko Widodo (2014-?) sangat menjanjikan karena telah memotong dengan drastis subsidi
energi, dan mengalokasikan dana yang tersedia kepada pembangunan infrastruktur dan sosial.
Pemerintahan Jokowi juga merilis serangkaian paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk menarik
investasi serta memperkuat usaha yang sudah ada dan memperkuat daya beli masyarakat. Namun, tidak
semua paket itu sukses (bahkan ada yang menambah kebingungan di antara golongan investor, misalnya
soal sistem pajak negara).

Pada tahun 2030 Indonesia seharusnya masuk di antara lima ekonomi terbesar dunia (setelah Cina, AS,
India, dan Jepang). Sebuah tanda yang menjanjikan adalah bahwa pada 2017 Indonesia menjadi anggota
terbaru dari "klub eksklusif triliun dolar" (yang terdiri dari negara-negara yang memiliki PDB nominal
melebihi USD $ 1 triliun).

PDB per kapita Indonesia dan Distribusi Pendapatan yang Tidak Setara

PDB per kapita Indonesia telah naik tajam selama satu dekade terakhir (walau sempat kena perlambatan
pertumbuhan di antara 2011 dan 2015). Meskipun begitu, bisa dipertanyakan apakah PDB per kapita
adalah alat ukur yang layak untuk Indonesia karena penduduk Indonesia memiliki karekteristik
ketidaksetaraan yang tinggi dalam hal distribusi pendapatan. Dengan kata lain, ada kesenjangan antara
statistik dan kenyataan karena kekayaan 43.000 orang terkaya di Indonesia (yang mewakili hanya 0,02%
dari total penduduk Indonesia) setara dengan 25% PDB Indonesia. Kekayaan 40 orang terkaya di
Indonesia setara dengan 10,3% PDB (yang merupakan jumlah yang sama dengan kombinasi harta milik
60 juta orang termiskin di Indonesia). Angka-angka ini mengindikasikan konsentrasi kekayaan yang besar
untuk kelompok elit yang kecil. Terlebih lagi, kesenjangan distribusi pendapatan ini diperkirakan akan
meningkat di masa mendatang.

PDB per kapita Indonesia telah meningkat secara cepat pada tahun 2000-an dan setelahnya. Pada
awalnya, Bank Dunia memproyeksikan Indonesia akan mencapai tingkat 3.000 dollar AS (per kapita)
pada tahun 2020 namun negara ini telah mencapai level ini satu dekade lebih awal. Mencapai level PDB
per kapita sebesar 3.000 dollar AS dianggap sebagai langkah yang penting sebab hal ini seharusnya
menyebabkan percepatan pengembangan di sejumlah sektor (seperti retail, otomotif, properti) karena
permintaan konsumen yang meningkat, dan karenanya menjadi katalis pertumbuhan ekonomi.
Komposisi PDB Indonesia: Pertanian, Industri dan Jasa

Tabel di bawah ini menunjukkan perkembangan luar biasa komposisi PDB Indonesia. Indonesia berubah
dari negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada pertanian menjadi negara yang
perekonomiannya lebih seimbang, di mana sektor manufaktur (sejenis industri) kini lebih dominan
daripada sektor pertanian. Hal ini juga menyiratkan bahwa Indonesia mengurangi ketergantungan
tradisionalnya pada sektor ekspor primer. Kendati begitu, perlu dicatat bahwa semua sektor utama ini
mengalamai ekspansi selama periode yang disebutkan.

1965 1980 1996 2010 2017


Pertanian 51% 24% 16% 15% 14%
Industri 13% 42% 43% 47% 40%
Jasa 36% 34% 41% 38% 46%

Sumber: Bank Dunia dan CIA World Factbook

Bertentangan dengan prediksi awal kami, sektor industri di Indonesia dikalahkan oleh sektor jasa dalam
hal kontribusi terhadap PDB (lihat tabel di atas). Sementara peran sektor industri berkembang sangat kuat
antara 1965 dan 2010 didukung oleh sektor manufaktur yang berkembang pesat, tiba-tiba sektor jasa
sempat rebound didukung oleh perkembangan pesat ekonomi digital dan kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi.

Salah satu karakteristik yang menonjol dari Indonesia adalah bahwa bagian barat negara ini memiliki
kontribusi pertumbuhan PDB yang secara signifikan lebih besar. Jawa (terutama area Jabodetabek) dan
Sumatra, bersama-sama, berkontribusi untuk lebih dari 80% total PDB Indonesia. Alasan utama untuk
situasi ini adalah bagian barat Indonesia berlokasi dekat dengan Singapura dan Malaysia. Ketiga negara
ini dalam perjalanan sejarah telah berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi di Asia Tenggara. Sementara
itu, bagian Timur Indonesia, terletak dalam jalur perekonomian yang lebih sepi dan berpenduduk jauh
lebih sedikit.

PDB Indonesia dalam Perspektif Global

Tabel di bawah ini menempatkan PDB per kapita Indonesia dan GDP riil dalam perspektif global dengan
membandingkannya dengan dua kekuatan ekonomi penting: Amerika Serikat (AS) dan Cina, serta dunia.

Pertumbuhan PDB Riil (%):

Negara 2012 2013 2014 2015 2016 2017


Amerika Serikat 2.2 1.7 2.6 2.9 1.5 2.3
Cina 7.9 7.8 7.3 6.9 6.7 6.8
Dunia 2.6 2.8 2.7 2.5 2.9
Indonesia 6.0 5.6 5.0 4.9 5.0 5.1

Berbagai sumber
PDB per Kapita (dalam Dollar Amerika Serikat):

Negara 2012 2013 2014 2015 2016 2017


Amerika Serikat 51,384 52,608 54,375 55,868 57,638
Cina 6,260 7,037 7,569 7,808 8,123
Dunia 10,552 10,719 10,874 10,164 10,191
Indonesia 3,764 3,685 3,541 3,379 3,570

Berbagai sumber

Sementara sebagian besar negara di dunia pasti iri melihat tingkat pertumbuhan PDB Indonesia, sedikit
dari mereka yang ingin memiliki angka PDB per kapita yang serendah Indonesia. Soalnya Indonesia
masih tetap berada di luar peringkat top 100 negara dengan PDB per kapita paling tinggi sedunia. Melalui
sejumlah rencana pembangunan Pemerintah, Pemerintah Indonesia bertujuan untuk meningkatkan angka
ini menjadi sekitar 14.250 - 15.500 dollar AS pada tahun 2025. Namun, tetap diragukan apakah target
ambisius ini akan dapat direalisasikan, apalagi - seperti yang disebutkan di atas - indikator ini tidak
merefleksikan distribusi (setara) dari pendapatan atau kekayaan dalam masyarakat Indonesia. Dibutuhkan
kebijakan Pemerintah yang efektif untuk menyediakan lebih banyak pendidikan untuk anak-anak
Indonesia dan lebih banyak kesempatan kerja untuk orang-orang dewasa Indonesia.
Ringkasan

Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP) adalah pendapatan dan pengeluaran
total nasional atas output barang dan jasa yang digunakan sebagai ukuran terbaik dari kinerja
perekonomian di suatu negara. Terdapat empat unsur GDP, yaitu konsumsi, investasi, belanja pemerintah,
dan ekspor neto dimana keempat unsur tersebut mempengaruhi penghitungan GDP.

Selain unsur-unsur, terdapat juga tiga konsep lain mengenai GDP. Pertama, GDP nominal
(GDPn), yaitu GDP yang dihitung berdasarkan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan,
termasuk harga saat terjadi inflasi. Kedua, GDP riil (GDPr), yaitu GDP yang dihitung berdasarkan harga
konstan atau data dari tahun tertentu sebagai tahun patokan. Berbeda dengan GDPn, inflasi tidak termasuk
dalam GDPr karena harga yang digunakan dalam perhitungan hanya terdiri dari satu harga konstan yang
tidak mengalami perubahan maupun perbedaan apapun. Dan konsep ketiga, GDP deflator (GDPd), yakni
ukuran tingkat harga yang dihitung sebagai rasio GDPn terhadap GDPr kali seratus.

Pada era orde baru tahun 1965 sampai dengan 1997 perekonomian Indonesia tumbuh dengan
persentase rata-rata per tahunnya mencapai hampir 7%. Kendati begitu, krisis finansial asia pada akhir
tahun 1990-an mengakibatkan dampak sangat negatif untuk perekonomian Indonesia, menyebabkan
penurunan PDB sebesar 13,6% tahun 1998 dan pertumbuhan yang sangat terbatas pada 0,3% tahun 1999.

Indonesia berubah dari negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada pertanian menjadi
negara yang perekonomiannya lebih seimbang, di mana sektor manufaktur kini lebih dominan daripada
sektor pertanian. Hal ini juga menyiratkan bahwa Indonesia mengurangi ketergantungan tradisionalnya
pada sektor ekspor primer. Kendati begitu, perlu dicatat bahwa semua sektor utama ini mengalamai
ekspansi selama periode yang disebutkan.

PDB per kapita Indonesia telah meningkat secara cepat pada tahun 2000-an dan setelahnya. Pada
awalnya, Bank Dunia memproyeksikan Indonesia akan mencapai tingkat 3.000 dollar AS (per kapita)
pada tahun 2020 namun tercapai satu dekade lebih awal. Ini merupakan langkah penting yang
menyebabkan percepatan pengembangan di sejumlah sektor (seperti retail, otomotif, properti) karena
permintaan konsumen yang meningkat, dan menjadi katalis pertumbuhan ekonomi.

Antara periode 2000-2004, pemulihan ekonomi Indonesia terjadi dengan rata-rata pertumbuhan
PDB pada 4,6 persen per tahun. Penurunan ekonomi global yang disebabkan krisis finansial global di
akhir 2000-an berdampak relatif kecil pada perekonomian Indonesia dibandingkan dengan dampak yang
dialami negara-negara lain. Pada tahun 2009, pertumbuhan PDB Indonesia juga mengalami penurunan,
akan tetapi tidak sedrastis negara-negara lain. Kesuksesan ini terutama disebabkan oleh berlanjutnya
konsumsi domestik yang subur dan berkontribusi sekitar 55-58% dari total pertumbuhan ekonomi.
Setelah itu, pertumbuhan PDB berakselerasi dan kemudian memuncak pada 6,5 persen pada tahun 2011.

Pada tahun 2010, Bank Dunia melaporkan bahwa karena suburnya pertumbuhan ekonomi
Indonesia, setiap tahunnya sekitar 7 juta penduduk Indonesia masuk dalam kelas menengah negara ini.
Meskipun pertumbuhan penduduk kelas menengah sudah tidak secepat itu karena perlambatan
perekonomian Indonesia yang terjadi di antara tahun 2011-2015, Indonesia masih tetap memiliki
kekuatan konsumen yang mendorong perekonomian dan telah secara signifikan memicu pertumbuhan
investasi domestik dan asing sejak 2010.
Faktor-faktor penyebab pertumbuhan PDB melambat periode 2011-2015 antara lain;
pertumbuhan ekonomi global yang lambat, menurunnya harga-harga komoditas, tingkat suku bunga bank
indonesia yang tinggi, perpolitikan di Indonesia, konsumsi rumah tangga yang lemah. Jika pertumbuhan
tidak dapat terangkat oleh ekspor komoditas dan konsumsi rumah tangga, maka diperlukan perubahan
struktural, yaitu; perkembangan industri manufaktur yang berorientasi, pembangunan infrastruktur besar-
besaran, dan secara signifikan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Gross Domestic Product memang menjadi salah satu tolak ukur pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Akan tetapi GDP tidak menjadi faktor utama pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena
meskipun dengan GDP tinggi namun jika yang merasakan hanya kaum elit minoritas sedangkan banyak
orang yang kesejahteraannya kurang dapat menyebabkan rakyat sengsara. Kesengsaraan rakyat dapat
memicu perekonomian menjadi lesu yang berakibat jatuhnya perekonomian nasional. Oleh karenanya,
dalam pembuatan, pelaksanaan, serta pengawasan di bidang ekonomi diperlukan adanya koordinasi yang
teratur dan berkesinambungan antara pemerintah, pemilik modal/swasta, serta masyarakat demi
mewujudkan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat, terorganisir dan berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai