Tatalaksana Dermatitis Seboroik Terkini: Tinjauan Pustaka
Tatalaksana Dermatitis Seboroik Terkini: Tinjauan Pustaka
Oleh:
Stefani Nurhadi
Pembimbing:
dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK
BAB I PENDAHULUAN………………………………………... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………… 2
2.1 Kelenjar Sebasea……………………………………………… 2
2.2 Dermatitis Seboroik……………………...…………………… 3
2.2.1 Epidemiologi……..………………...…………………… 3
2.2.2 Etiopatogenesis..………………………………………... 4
2.2.3 Manifestasi klinis……………………..………………… 5
2
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis seboroik (DS) yang juga disebut dengan eksema seboroik, adalah
penyakit yang sering terjadi yang ditandai oleh adanya sisik diatas dasar kulit
kemerahan. Penyakit peradangan kronis superfisial ini sering mengenai daerah
kulit yang memiliki produksi sebum yang tinggi dan daerah lipatan. Walaupun
patogenesisnya belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan terdapat hubungan
dengan produksi sebum yang berlebihan dan ragi komensal Malassezia.1
Dermatitis seboroik pertamakali dideskripsikan oleh Unna, yang menduga
Malassezia furfur (Pityrosporum ovale) sebagai faktor kausatif. Penggolongan
penyakit ini telah didiskusikan selama puluhan tahun, berfokus pada disfungsi
kelenjar sebasea dan tingginya jumlah Malassezia furfur yang ada pada sisik DS.
Pada tahun 1984, Shuster menyatakan bahwa DS dapat ditekan dengan
ketokonazol sistemik. Temuan ini berkaitan dengan studi baru-baru ini yang
menjelaskan bahwa DS berhubungan erat dengan ragi Pityrosporum.1
Prevalensi DS pada dewasa muda adalah 3-5% dan pada populasi umum
adalah 1-5%.2 Data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2000 sampai
2002 menunjukkan insidensi rata-rata DS sebesar 8,3% dari jumlah kunjungan
dan rasio laki-laki dibandingkan perempuan 1,5:1.3 Sedangkan di Rumah Sakit
Sanglah Denpasar pada tahun 2016 didapatkan 26 kunjungan pasien baru dengan
DS.4
Karena perjalanannya yang kronis dan kambuh-kambuhan, DS dapat
ditekan namun tidak dapat sembuh secara permanen. Sehingga kondisi ini
memerlukan pengobatan yang rutin selama bertahun-tahun.5 Pendekatan
tatalaksana DS sebaiknya dipilih berdasarkan tampilan klinis, perluasan dan lokasi
penyakit.6,7
Tinjauan pustaka ini membahas mengenai tatalaksana terkini DS.
Sehingga kita dapat lebih memahami konsep pengobatan DS meliputi pemilihan
terapi, cara kerja serta efikasinya dan mampu mengimplementasikannya dalam
penatalaksanaan DS.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
menurun hingga nol mendekati usia 6 bulan. Produksi sebum tetap inaktif hingga
dimulainya masa awal adrenarche, sekitar 7-8 tahun, ketika androgen adrenal
dehidroepiandrosteron (DHEA) menstimulasi produksi sebum kembali.
Peningkatan produksi sebum lebih lanjut dan signifikan oleh karena produksi
androgen adrenal dan gonad terjadi pada masa-masa awal pubertas menghasilkan
peningkatan ekskresi sebum. Peningkatan ekskresi sebum tampak pada pubertas
dan mencapai puncaknya pada usia 16-20 tahun. Penurunan secara bertahap
tampak mulai usia 40 tahun pada perempuan dan 50 tahun pada laki-laki.
Penurunan kadar androgen pada orang tua menyebabkan melambatnya turnover
sel-sel kelenjar sebasea, menghasilkan hiperplasia sel. 8
2.2.1 Epidemiologi
Dermatitis seboroik dibagi dalam dua kelompok usia, bentuk infantil yang dapat
sembuh sendiri terutama pada tiga bulan pertama kehidupan dan bentuk dewasa
yang kronis. Predominansi laki-laki tampak pada semua usia, tanpa predileksi ras,
atau transmisi horizontal.2 Karakteristik DS memiliki tren bimodal, dengan
frekuensi puncak pertama saat kelahiran dan yang kedua adalah pada dewasa usia
antara 30 sampai 60 tahun.9 Prevalensinya diperkirakan 5%, tetapi insiden seumur
hidup termasuk tinggi secara signifikan. Dermatitis seboroik yang ekstensif dan
resisten terhadap terapi adalah suatu tanda kulit yang penting untuk infeksi HIV,
penyakit Parkinson dan gangguan mood.1
6
2.2.2 Etiopatogenesis
Etiopatogenesis DS masih sebagian diketahui. Lipid kulit dan spesies Malassezia
adalah faktor etiologi yang paling banyak dipelajari. Kelenjar sebasea pasien DS
tidak lebih banyak dibandingkan dengan individu sehat. Selain itu tidak
didapatkan kelainan morfologi dan ukuran kelenjar pada penderita DS
dibandingkan dengan orang sehat.10
Tidak semua orang dengan hiperseborea mengalami DS, tetapi pasien
dengan DS dapat memiliki kuantitas sebum yang normal atau bahkan kulit yang
kering. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah sebum bukanlah faktor
penyebab terjadinya DS.10 Pada sebum pasien DS, trigliserida dan kolesterol
meningkat, sementara skualan dan asam lemak bebas berkurang. Asam lemak
bebas yang diketahui memiliki efek antimikroba dibentuk dari trigliserida oleh
lipase bakteri, diproduksi oleh Corynebacterium acne dan Malassezia yang
merupakan flora residen. Asam lemak bebas dan radikal oksigen reaktif dapat
mengubah keseimbangan flora normal kulit.1,2
Spesies Malassezia tidak dapat memproduksi asam lemak yang penting
untuk pertumbuhannya. Namun, ia menghasilkan lipase dan fosfolipase yang akan
memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Selanjutnya, spesies Malassezia
menggunakan asam lemak jenuh dan melepaskan asam lemak tak jenuh ke
permukaan kulit. Akhirnya, spesies ini menginduksi pelepasan sitokin
proinflamasi (IL6 dan 8 dan tumor necrosis factor α).10
Pada pasien AIDS, DS lebih sering terjadi dan berat. Pada pasien AIDS,
prevalensi DS berkisar antara 34% hingga 83% (pada populasi umum
prevalensinya hanya 3-5%). Pasien-pasien ini kebanyakan laki-laki homoseksual
atau biseksual dengan CD4+ <400/mm3. Mereka menderita DS dengan
peradangan dan deskuamasi yang lebih berat. Selanjutnya pada pasien AIDS,
beban Malassezia spp. lebih tinggi daripada pada subyek sehat. Hal ini dapat
terjadi karena pasien-pasien tersebut memiliki defisiensi seluler spesifik terhadap
Malassezia Spp. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Malassezia spp. Memiliki
peranan dalam patogenesis DS. Hal ini juga ditunjukkkan dari fakta bahwa
antimikotik oral efektif sebagai terapi DS. 10
7
obatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp. Sebuah studi
epidemiologi multisenter transversal yang dilakukan pada 2159 pasien dengan DS
pada wajah dan kulit kepala menunjukkan bahwa terapi yang paling sering
digunakan adalah steroid topikal (59,9%), anti jamur imidazol (35,1%), topikal
calcineurin inhibitor (TCI) (27,2%) bersamaan dengan penggunaan produk
pelembab atau emolien (30,7%).6
Asam salisilat adalah sejenis asam beta hidroksi yang dapat melepaskan
sisik keras dan tebal dari kulit kepala melalui aktivitas keratolitik sehingga efektif
untuk terapi DS.18
Tar memiliki sifat anti jamur dan anti inflamasi. Beberapa studi telah
menunjukkan kemampuannya mengurangi sebum. Aktivitas fungistatik in vitro
nampaknya sama dengan ketokonazol. Shampo tar digunakan secara luas
walaupun bukti yang menunjang efikasinya masih sangat minim. 20
Zinc pyrithione, anti jamur fungistatik yang bekerja dengan meningkatkan
kadar tembaga dalam sel jamur dan merusak ikatan protein besi sulfur sehingga
mengganggu metabolisme jamur. Malassezia yang menjadi target didapatkan
terutama pada infundibulum folikuler. Sementara agen ini bekerja pada
infundibulum folikuler kulit kepala serta bertahan pada folikel rambut hingga 10
hari.21
Kortikosteroid (KS) bersifat anti inflamasi, imunosupresif dan
antiproliferasi sehingga dapat menghambat proliferasi keratinosit dan fibroblas
dan menyebabkan vasokonstriksi.22 Pemilihan kortikosteroid berdasarkan tipe,
lokasi, keparahan dan perluasan penyakit serta usia pasien. Kortikosteroid
dianggap sebagai pendekatan terapi lini pertama dan kedua pada DS skalp/ kulit
kepala dan non skalp/ kulit tidak berambut. Tujuan utama pengobatan dengan
kortikosteroid adalah mengontrol dengan cepat tanda dan gejala DS, namun data
terbatas. Relaps terjadi lebih cepat dan lebih sering ketika menggunakan KS
daripada agen anti jamur dan terapi topikal non steroid lainnya. 15
Penyerapan, efikasi dan toksisitas KS topikal bervariasi tergantung area
yang diobati. Pada dewasa dengan DS skalp sedang – berat, dengan keterlibatan
yang difus, disertai rasa terbakar dan gatal, dapat digunakan KS potensi sedang
sampai kuat tunggal maupun kombinasi dengan agen non steroid.23 Dermatitis
seboroik pada wajah dapat diberikan KS potensi lemah sampai sedang.
Penggunaan zat pembawa yang tidak mengiritasi dan melembabkan sangat
disarankan.24 Setelah terjadi perbaikan, penggunaan KS dapat diturunkan secara
bertahap dan agen non steroid dapat ditambahkan untuk mencegah rekurensi dan
relaps (terapi pemeliharaan).25
12
2.3.2.1 Antijamur
Efek obat-obatan anti jamur adalah secara langsung melawan Malassezia dan anti
inflamasi. Anti jamur sistemik yang diindikasikan dalam terapi DS adalah
golongan triazol (itrakonazol dan flukonazol), diazol (ketokonazol) dan allilamin
(terbinafin). Azol dan terbinafin menghambat sintesis ergosterol (suatu
komponen kunci membran sel). Diazol dan triazol menghambat enzim 14 α sterol
dimetilase, yang menyebabkan akumulasi 14 α metil sterol menghasilkan
penghambatan pertumbuhan jamur. Terbinafin juga menghambat sintesis enzim
skualan 2,3 epoksidase yang mempengaruhi metabolisme ergosterol dan
akumulasi skualan yang menyebabkan kematian sel jamur. Terbinafin memiliki
mekanisme tambahan seperti modulasi neutrofil, efek scavenger pada reactive
oxygen species (ROS) dan modulasi sekresi sebum. 7
Ketokonazol adalah anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk
terapi DS, saat ini sudah tidak digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya.
Saat ini ketokonazol hanya digunakan secara topikal saja. Itrakonazol saat ini
dianggap sebagai pilihan pertama untuk terapi sistemik DS baik kasus akut
maupun relaps. Itrakonazol mengalami metabolisme sitokrom P450 pada hati. Ia
bersirkulasi di plasma sebagai metabolit aktif. Obat yang dimetabolisme oleh
14
Terbinafin memiliki profil farmakologi yang aman dan ditoleransi baik dengan
insiden efek samping yang rendah. Efek samping yang dapat terjadi antara lain
nyeri epigastrium, hepatotoksisitas, neutropenia, ruam dan sindrom Steven
Johnson.7 Scaparno dan kawan-kawan melakukan studi acak multisenter untuk
mengevaluasi efikasi terbinafin dibandingkan salep pelembab pada dosis 250
mg/hari selama periode 4 minggu. Terbinafin menyebabkan penurunan signifikan
gejala DS seperti eritema, skuama dan gatal (p<0.0001). 28
Percobaan acak multisenter telah mengevaluasi efikasi terbinafin
dibandingkan plasebo pada pengobatan DS. Pasien yang dimasukkan pada
percobaan dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan lokasi lesi yaitu area wajah
serta area tubuh dan kulit kepala. Kedua kelompok pasien mengkonsumsi obat
selama 6 minggu pada dosis harian 250 mg/hari. Perbaikan klinis dan subyektif
dilaporkan terjadi pada pasien yang diberikan pengobatan dan plasebo hanya pada
kelompok pasien dengan lokasi lesi pada daerah tertutup. 32
Pada suatu studi yang besar, dengan 661 pasien DS sedang-berat yang
tidak berespon dengan terapi konvensional diteliti oleh Cassano dan kawan-kawan
untuk mengkaji efektifitas terbinafin pada terapi DS. Perbaikan klinis signifikan
dan penurunan drastis pada relaps terjadi setelah penghentian obat didapatkan
pada kelompok yang menggunakan terbinafin dosis 250 mg/ hari untuk 12 hari
pertama dalam sebulan untuk tiga bulan berturut-turut. Rejimen intermiten
terbukti dapat ditoleransi dengan baik, meningkatkan kepatuhan dan
keterjangkauan biaya.33
BAB III
RINGKASAN
Dermatitis seboroik yang juga disebut dengan eksema seboroik, adalah penyakit
yang sering terjadi yang ditandai oleh adanya sisik diatas dasar kulit kemerahan.
Penyakit ini secara khas didapatkan pada daerah tubuh yang memiliki kelenjar
sebasea yang aktif seperti wajah, kulit kepala, telinga, tubuh bagian atas, dan
daerah lipatan (inguinal, inframammae dan aksila). Daerah yang lebih jarang
terkena termasuk interskapula, umbilikus, perineum dan lipatan anogenital.
Etiopatogenesis DS masih belum sepenuhnya diketahui. Faktor etiologi
yang banyak dipelajari antara lain perubahan komposisi sebum pasien DS
(berkurangnya asam lemak bebas) dan peran Malassezia spp. Beberapa penyakit
(antara lain penyakit parkinson, facial palsy dan AIDS) serta penggunaan obat-
obatan tertentu juga berkaitan dengan peningkatan kejadian DS. Selain itu
lingkungan panas dan lembab serta keringat diketahui dapat memperparah gejala
DS, terutama gatal pada kulit kepala.
Tujuan terapi DS tidak hanya untuk meredakan tanda dan gejalanya tetapi
juga untuk menghasilkan struktur dan fungsi kulit yang normal. Panduan
tatalaksana DS yang dikeluarkan oleh konsensus 12 ahli dermatologi pada tahun
2014 membagi tatalaksana DS menjadi tatalaksana untuk DS pada skalp dan DS
pada non skalp selain itu juga dibedakan berdasarkan kelompok usia dewasa dan
bayi. Terapi DS skalp biasa digunakan bentuk sediaan sampo dan krim, sementara
DS non skalp umumnya berupa krim dan salep. Sedangkan terapi DS pada bayi
lebih sederhana yaitu dengan keramas rutin dengan sampo bayi, menyikat lembut
maupun dengan petrolatum untuk melembutkan sisik. Jika belum berhasil baru
digunakan obat-obatan.
Terapi topikal digunakan untuk DS ringan-sedang dan sebagai pencegahan
dan pemeliharaan. Sedangkan terapi sistemik digunakan untuk menurunkan gejala
akut serta area keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan
kelainan neurologis. Agen topikal yang umumnya digunakan antara lain anti
jamur topikal, agen anti inflamasi non steroid yang memiliki sifat anti jamur,
keratolitik, kortikosteroid topikal dan kalsineurin inhibitor topikal. Sedangkan
18
agen sistemik yang digunakan adalah anti jamur sistemik. Sebaiknya pasien
diberikan informasi bahwa perjalanan penyakit ini kronis dan kambuh-kambuhan,
sehingga penyakit ini dapat ditekan namun tidak dapat sembuh secara permanen.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Reider N, Fritsch PO. Other eczematous eruptions. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV. Dermatology 3rd Ed. United States: Elsevier Saunders. 2009: 219-220.
2. Collins CD, Hivnor C. Seborrheic Dermatitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th Ed. New York: McGraw-Hill. 2012:259-265.
3. Kurniati DD. Dermatitis seboroik: gambaran klinis. In: Tjarta A, Sularsito SA,
Kurniati DD, Rihatmaja r. Editor. Metode Diagnostik dan Penatalaksanaan Psoriasis
dan Dermatitis Seboroik. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007:53-59.
4. Anonim. Buku Register Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. 2016.
5. Berth-Jones J. Eczema, lichenification, prurigo and erythroderma. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology 8th. Ed. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd. 2010. 23:23.29-23.34.
6. Lacarrubba F, Nasca MR, Benintende C, Micali G. Topical treatment. In: Seborrheic
dermatitis. Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:41-50.
7. Barbareschi M, Benardon S, Veraldi S. Systemic treatment. In: Seborrheic dermatitis.
Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:51-53.
8. Bettoli V, Zauli S, Ruina G, Ricci M, Borghi A, Toni G, Virgili A. The Sebaceous
gland. In: Seborrheic dermatitis. Gurgaon: Macmilllan Medical communications.
2015: 3-6.
9. Monfrecola G, Marasca C. Epidemiology. In: Seborrheic dermatitis. Gurgaon:
Macmilllan Medical communications. 2015: 9-11.
10. Veraldi S, Raia DD, Barbareschi. Etiopathogenesis. In: Seborrheic dermatitis.
Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015: 13-18.
11. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S, Azizan
NZ, Gabriel MT, Tran HK, Chong WS, Shih I-H, Dall’Oglio F, Micali G. Treatment
of seborrhoeic dermatitis in Asia: A consensus Guide. Skin Appendage Disord.
2015;1:187-196.
12. Schwartz JR, Messenger AG, Tosti A, Todd G, Hordinsky M, Hay RJ, Wang X,
Zacharie C, Kerr KM, Henry JP, Rust RC, Robinson MK. A comprehensive
pathophysiology of dandruff and seborrheic dermatitis – Towards a more precise
definition of scalp health. Acta Derm Venereol. 2013;93:131-137.
13. Pierard-Franchimont C, Pierard GE, Arrese JE, De Doncker P. Effect of ketoconazol
1% and 2% shampoos on severe dandruff and seborrhoeic dermatitis: clinical,
squamometric and mycologycal assesments. Dermatology. 2001; 202:171-176.
14. Picardo M, Carneli N. Seborrheic dermatitis. Evidence-Based Dermatology (2nd ed).
Maiden, MA: Blackwell Publishing; 2008:164-170.
15. Del Rosso JQ. Adult seborrheic dermatitis: A status report on practical topical
management. J Clin Aesthet Dermatol. 2011; 4:32-38.
16. Ortonne JP, Nikkels AF, Reich K. Efficacious and safe management of moderate to
severe scalp seborrhoeic dermatitis using clobetasol propionate shampo 0,05%
combined with ketoconazol shampoo 2%: A randomized, control study. Br J
Dermatol. 2011; 165: 171-176.
17. Aly R, Katz HI, Kempers SE. Ciclopyrox gel for seborrheic dermatitis of the scalp.
Int J Dermatol. 2003; 42:19-22.
18. Ashtiani HA, Rastegar H, Aghaei M, Ehsani A, Barikbin B, Salout MH. Clinical
efficacy of natural formulated shampoo in subject with dandruff and seborrheic
dermatitis. American Journal of Research Communication. 2013;1(8):63-80.
19. Bhatia N. Treating Seborrheic dermatitis. The dermatologist. 2011;7:1-4.
20
Lampiran 1
Tabel produk untuk terapi DS skalp dan area berambut 11
22
Lampiran 2
Tabel produk untuk terapi DS non skalp11
23
Lampiran 3
Algoritma terapi untuk pasien dewasa dengan DS pada skalp dan area berambut.
AIAFp= Nonsteroidal anti-inflammatory agent with antifungal properties. 11
24
Lampiran 4
Algoritma terapi untuk pasien dewasa dengan DS pada non skalp. AIAFp=
Nonsteroidal anti-inflammatory agent with antifungal properties. TCI= topical
calcineurin inhibitors. *penggunaan off-label.11
25
Lampiran 5