Anda di halaman 1dari 10

Adat Dugderan dan Suronan Jawa Tengah

Alissa Riama Anggraeni 3301418082

alisariama21@gmail.com

Abstraksi

Bangsa Indonesia merupakan negara dengan banyak penduduk lebih dari 23 juta
orang yang dimana terbagi dalam berbagai wilayah, dalam setiap wilayah di
Indonesia terdapat kebudayaan yang beragam dari suatu daerah ke daerah yang
lain. Namun saat ini banyak yang kurang tahu akan makna dari kebudayaan dari
daerahnya sendiri, seperti di kota semarang, setiap mendekati bulan ramadhan di
kota semarang diadakan kirab budaya dugderan yang sudah berkembang sejak
zaman kolonial, namun saat ini banyak warga semarang yang tidak tahu akan
makna dari kebudayaan tersebut.

Kata kunci : dugderan, suronan

Pendahuluan

Kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2 Antrkeseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya;- agraris kebudayaan
yang hidup dalam masyarakat yang mempunyai pertanian sebagai mata pencaharian
pokok; - asing Antrkebudayaan yang berkembang dalam suatu wilayah atau negara
yang berasal dari luar wilayah atau dari negara lain; - barat keseluruhan cara hidup,
cara berpikir, dan pandangan hidup bangsa-bangsa di belahan bumi bagian barat
(Eropa dan Amerika); - daerah kebudayaan yang hidup dalam suatu wilayah bagian
suatu negara yang merupakan daerah suatu suku bangsa tertentu; -
nasional kebudayaan yang dianut oleh semua warga dalam suatu negara; -
rakyat unsur kebudayaan tradisional yang hidup dalam golongan orang biasa dan
yang dibedakan dari unsur kebudayaan yang timbul lebih kemudian dan yang
dianggap lebih maju; - timur keseluruhan cara hidup, cara berpikir, dan pandangan
hidup bangsa-bangsa di belahan bumi bagian timur (Asia).
Di jawa tengah sendiri terdapat banyak kebudayaan khas, khususnya ibu kotanya
yaitu kota semarang. Secara geografis kota semarang bersebelahan dengan
kabupaten kendal di sebelah barat dan kabupaten ungaran disebelah selatan. Karena
luasnya kota semarang dan juga karena banyaknya penduduk yang asli, maupun
pendatang mengingat semarang merupakan kota metropolis dengan kepadatan ke
empat di Indonesia menjadikan kota semarang dengan berbagai kebudayaan dan
suku yang beragam. Di kota semarang sendiri begitu banyak kebudayaan yang
terdapat di berbagai daerahnya, diantara kebudayaan itu terdapat kebudayaan
dugderan, suronan, aqiaqah, dan yang lainnya. Kebudayaan itu harus kita lestarikan,
agar anak cucu kita juga dapat menikmatinya.

Metode

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di laksanakan di Masjid Agung Jawa Tengah dan Puri Dinar elok
Meteseh Tembalang Semarang. Memlih kedua tempat ini karena disana sedang
berlangsung acara dugderan dan juga suronan.

B. Waktu Penelitian

Metode observasi ini dilaksanakan pada tanggal 21 April 2019 bertempat di Masjid
Agung Jawa Tengah, dan di Meteseh Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Metode observasi dengan melihat dan mengamati secara langsung tradisi tersebut.

C. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yaitu penelitian


yang menghasilkan data-data deskriptif berua kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang atau perilaku yang diamati. Metode penelitian ini dimaksud untuk
mendeskripsikan tentang rangkaian prosesi, makna simbol dan fungsi dilakukannya
ruwatan masal. Tujuan dari penelitian ini yaitu memahami subjek penelitian
berdasarkan pandangan subjek itu sendiri bukan pandangan peneliti.
Pembahasan

Hasil Penelitian

DUGDERAN

Bulan puasa adalah bulan penuh dengan berkah. Karena penuh dengan
keberkahan itu, al-Qur`an menggambarkan nilai kemuliaan bulan suci Ramadhan
tersebut sebanding dengan seribu bulan. Tidak salah, kalau umat Islam selalu
disergap rasa rindu menyambut kedatangan bulan suci itu dengan penuh
kegembiraan yang biasa dirayakan dalam bentuk tradisi, apalagi mengingat bulan
puasa itu hanya datang setahun sekali.

Salah satu tradisi menyambut puasa itu adalah tradisi dugderan. Tradisi
ini adalah tradisi umat Islam Semarang dalam rangka menyambut kedatangan bulan
suci Ramadhan yang biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa dimulai.
Karena sudah berlangsung lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam
pesta rakyat. Meski sudah jadi semacam pesta rakyat berupa tari japin, arak-arakan
(karnaval) hingga tabuh bedug oleh Walikota Semarang, tetapi proses ritual
(pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak dugderan.

Memang sebelum acara tabuh bedug, biasanya ada karnaval diawali


pemberangkatan peserta dari Balai Kota dan berakhir di masjid Kauman (masjid
Agung), dekat Pasar Johar. Tapi dalam dua tahun terakhir ini, rute karnaval
diperpanjang; dari Balai Kota menuju masjid Kauman lalu ke masjid Agung Jawa
Tengah yang terletak di Gayamsari.

Salah satu kebudayaan di semarang adalah Dugderan, “dug” berarti bedug


yang di gunakan untuk sholat maghrib, “deran” menrupakan bunyi petasan yang di
nyalakan untuk sebagai pengingat bahwa besok adalah hari pertama puasa.

Dugderan merupakan festival warga semarang untuk menandai di


mualainya ibadah puasa di bulan ramadhan. Dugderan di buka oleh wali kota
semarang dengan iringan kembang api, perayaan ini telah terlaksana sejak zaman
kolonial belanda dan di pusatkan di daerah masjid agung kauman johar semarang.

Acara ini di mulai pukul 13.00 WIB dengan kirab budaya dari
balaikota,masjid agung kauman, jolotundo, dan berakhir di masjid agung jawa
tengah. Dalam kirab terdapat ribuan peserta mulai dari pasukan merah putih,
pasukan alap alap, pasukan berkuda, dan rombongan bupati serta jajaran yang
menggunakan kereta kencana, dan lain sebagainya.

Selanjutnya pasukan tersebut pawai menuju masjid agung kauman, dimana


dulu masjid tersebut menjadi satu satunya tempat prosesi dugderan. Walikota
semarang mendapat suhufur dari ulama kota semarang yang selanjutnya suhufur
ramadhan tersebut di bawa ke masjid agung jawa tengah. Pemain drum band dari
AMNI menandakan bahwa rombongan bupati telah sampai di Masjid Agung Jawa
Tengah sekitar pukul 16. 30 WIB .

Selanjutnya gubenur menerima suhufur dari ulama semarang yang di bawa


oleh walikota dari masjid agung kauman, dan kemudian di bacakan setelah di
bacakan dipukulah bedug di ikuti dengan tembakan meriam sebanyak sembilan
kali. Dalam kirab budaya terdapat banyak kebudayaan yang di tampilkan oleh
setiap kecamatan yang ada di semarang dan juga terdapat maskot khas yang selalu
ada dalam acara dugderan yaitu warag ngendog. Warag ngendhog merupakan
mainan khas anak anak yang dulu merupakan mainan yang sangat populer di kota
semarang dan biasa di jual saat magengan atau pasar malam menjelang bulan suci
ramadhan. Bentuknya adalah hewan berkaki empat dengan leher panjang berbulu
kriting dengan berbagai macam warna terutama merah, putih, hijau, kuning, dengan
sudut tubuh dan kepala yang lurus. Lalu mengapa di di beri nama ngendhok atau
bertelur karena selalu ada atau di taruh telur di sela sela kakinya, nah karena
bentuknya yang aneh terbentuklah imajinasi mengenai hewan yang satu ini ada
yang mengira naga, kerbau, kambing, atau yang lain sebagainya. Itulah mengapa
banyak yang berpendapat sendiri sendiri mengenai hewan yang satu ini.

Warag ngendhok mewakili suku suku yang ada di kota semarang ada unsur
jawa yang terwakili oleh postur warak yang mirip kambing, cina yang mewakili
kepala yang seperti naga, dan arab di postur bulunya yang kriting. Mainan warag
ngendhok ini hanya dapat di jual atau di temui saat menjelang hari puasa saja, atau
saat dugderan. Dugderan diharapkan bisa menarik wisatawan baik lokal maupun
mancanegara.

Pesan di Balik Dugderan

Meski dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat dan sudah menjadi
tradisi yang cukup kuat dengan adanya perlombaan, karnaval,dan tarian, tetap saja
dugderan tidak lepas dari puncak ritualnya berupa tabuh bedug dan halaqah yang
menjadi akhir dari tradisi yang sudah bertahan seabad lebih itu. Karena itu, puncak
ritual ini bukan semata-mata sekedar sebagai tradisi (kesenian rakyat), tapi salah
satu budaya Islam Semarang yang punya pesan.

Pertama, salah satu pesan yang cukup kuat digelarnya tradisi (atau budaya)
dugderan ini adalah pengumunan dimulainya bulan suci Ramadhan. Pengumunan
itu dilambangkan dengan ditabuhnya bedug yang menjadi satu “tetenger”. Juga,
pemukulan bedug itu jadi konsensus yang meneguhkan atau memberikan justifikasi
ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan pada esok hari, apalagi umat Islam
tidak hanya di Semarang kerapkali memiliki perbedaan dalam menjalankan ibadah
puasa di bulan suci Ramadhan.

Selain itu, tradisi dugderan juga punya "unsur pendidikan" buat anak agar
melaksakan ibadah puasa. Bentuk pendidikan itu dilambangkan dengan adanya
warak ngendok yang dapat diartikan suatu lambang yang sarat dengan makna.
Karena arti keseluruhan warak ngendog itu adalah seseorang haruslah suci, bersih
dan memantapkan ketaqwaan kepada Allah dalam menjalani puasa. Karena itu, ini
bisa menjadi pembelajaran bagi anak dalam mengenal ibadah puasa.

SURONAN

Satu Suro adalah hari pertama di kalender jawa di bulan sura dimana
bertepatan dengan satu muharram dalam kalender hijriah. Satu suro biasanya di
peringati pada malamnya setelah maghrib di hari sebelumnya, karena dalam budaya
jawab pergantian hari terdapat pada malamnya.

Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung sekitar tahun
1613-1645. Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka
yang diwarisi dari tradisi Hindu. Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan
Agung yang menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam.

Sultan Agung kemudian berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah


Jawa dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam.

Sebagai dampak perpaduan tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1


Muharam yang kemudian ditetapkan sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini,
setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa.

Satu suro mendapat banyak pandangan dari masyarakat jawa, malam ini di
anggap keramat, dan biasanya orang saat malam satu suro tidak boleh keluar rumah
karena di takuttkan akan terjadi hal hal yang tidak di inginkan. Pada malam ini di
anjurkan untuk di rumah dan berdoa ataupun melakukan ibadah lainnya.

Entah kebetulan atau tidak, tradisi suronan di berbagai wilayah di


Nusantara ini memang secara setting sejarah bertepatan dengan beberapa peristiwa
dan kemuliaan agung. Nabi Muhammad Saw juga menyebut Muharram
sebagai syahrullah (bulan Allah). Sangat wajar, jika umat Islam khususnya di
Nusantara melestarikan beberapa tradisi di bulan Muharam sebagai wujud
menghormati salah satu bulan sakral.

Di semarang sendiri biasanya suronan di peringati pada malam hari sebelum


satu suro dan warga mengadakan doa bersama, dengan makan nasi gudhangan, atau
yang lainnya dengan berkumpul bersama.

Sebenarnya acara suronan di semarang cukup sederhana dengan hanya


menggelar makan malam serta doa bersama memohon kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar di tahun baru di beri kemudahan, dan di jauhi segala musibah.

Namun hal ini lah yang membuat warga semakin lebih guyub dan rukun
karena berkumpul dan makan bersama walaupun sederhana tapi acara suronan
sangat membuat suasana menjadi tenang dan sejahtera.
Peristiwa Besar

Ada beberapa peristiwa besar yang bertepatan dengan bulan Muharam atau
Suro. Pertama, Nabi Yunus selamat karena keluar dari perut ikan paus. Kedua, Nabi
Adam mendapat ampunan dari Allah. Ketiga, kemenangan Nabi Musa atas Fir’aun
yang dulu memusuhinya. Keempat, keselamatan Nabi Yusuf yang bisa keluar dari
sumur pembuangan.

Kelima, kenaikan Nabi Idris menuju langit tinggi. Keenam, kelahiran Nabi
Isa. Ketujuh, mendaratnya kapal Nabi Nuh usai misteri ditenggelamkan selama
enam bulan. Kedelapan, kesembuhan Nabi Ayub dari penyakit judzam (kusta atau
lepra). Kesembilan, pengangkatan Nabi Sulaiman menjadi raja.

Kesepuluh, Nabi Dawud diberi ampunan Allah. Kesebelas, pemberian


ampunan Allah untuk Nabi Muhammad, baik kesalahan masa lampau maupun
mendatang. Keduabelas, kelahiran Nabi Ibrahim. Ketigabelas, Nabi Ya’qub bisa
melihat kembali.

Di Nusantara sendiri, suronan tidak hanya dilatarbelakangi peristiwa besar


di atas. Namun, suronan khususnya ritual malam Satu Suro dimulai ketika era
Sultan Agung (1613-1645) yang menjadi pemimpin Kesultanan Mataram. Kala itu,
Sultan Agung resah, karena masyarakat menerapkan sistem penanggalan tahun
Saka yang merupakan warisan Hindu. Maka Sultan Agung melakukan ijtihad agar
masyarakat menerapkan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam.

Hasil dari ijtihad itu, Sultan Agung memperluas ajaran Islam di tanah Jawa
dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. Maka
jadilah beberapa tradisi di bulan Suro yang bertepatan dengan Muharam itu sendiri.
Salah satu wujud nyatanya berupa penanggalan 1 Muharam (1 Suro) yang
bermanifestasi menjadi beberapa tradisi.

Apa yang dilakukan Sultan Agung sangat islami, humanis, dan mampu
mengomparasikan kebenaran beragama tanpa mencerabut kebenaran berbudaya
dan bernegara. Hal seperti ini harus didukung dan dilestarikan, agar Islam benar-
benar menjadi agama rahmat bagi seluruh alam meskipun manusia dititahkan Allah
hidup di bumi.
Simpulan

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara banyak sekali kebudayaan yang


melekat pada setiap daerah, kebudayaan itu umumnya akan turun temurun dalam
lintas generasi. Di kota semarang budaya dugderan adalah salah satu kebudayaan
yang sangat di tunggu oleh masyarakat kota semarang karena disana terdapat
berbagai macam budaya yang berasal dari kecamatan yang ada di semarang.
Bulan puasa adalah bulan penuh dengan berkah. Karena penuh dengan
keberkahan itu, al-Qur`an menggambarkan nilai kemuliaan bulan suci Ramadhan
tersebut sebanding dengan seribu bulan. Tidak salah, kalau umat Islam selalu
disergap rasa rindu menyambut kedatangan bulan suci itu dengan penuh
kegembiraan yang biasa dirayakan dalam bentuk tradisi, apalagi mengingat bulan
puasa itu hanya datang setahun sekali.

Salah satu tradisi menyambut puasa itu adalah tradisi dugderan. Tradisi ini
adalah tradisi umat Islam Semarang dalam rangka menyambut kedatangan bulan
suci Ramadhan yang biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa
dimulai. Karena sudah berlangsung lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi
semacam pesta rakyat. Meski sudah jadi semacam pesta rakyat berupa tari japin,
arak-arakan (karnaval) hingga tabuh bedug oleh Walikota Semarang, tetapi proses
ritual (pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak dugderan.

Meski dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat dan sudah menjadi tradisi
yang cukup kuat dengan adanya perlombaan, karnaval,dan tarian. Tetap saja
dugderan tidak lepas dari puncak ritualnya berupa tabuh bedug dan kholaqoh yang
menjadi akhir dari tradisi yang sudah bertahan seabad lebih itu. Karena itu,
puncak ritual ini bukan semata-mata sekedar sebagai tradisi (kesenian rakyat).
Namun salah satu budaya Islam Semarang yang punya pesan. Pertama, salah satu
pesan yang cukup kuat digelarnya tradisi (atau budaya) dugderan ini adalah
pengumunan dimulainya bulan suci Ramadhan. Pengumunan itu dilambangkan
dengan ditabuhnya bedug yang menjadi satu “tetenger”. Juga, pemukulan bedug
itu jadi konsensus yang meneguhkan atau memberikan justifikasi ketetapan
jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan pada esok hari, apalagi umat Islam tidak
hanya di Semarang. Sehingga kerapkali memiliki perbedaan dalam menjalankan
ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
Satu Suro adalah hari pertama di kalender jawa di bulan sura dimana bertepatan
dengan satu muharram dalam kalender hijriah. Satu suro biasanya di peringati
pada malamnya setelah maghrib di hari sebelumnya, karena dalam budaya jawab
pergantian hari terdapat pada malamnya.
Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung sekitar tahun 1613-
1645. Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang
diwarisi dari tradisi Hindu. Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan
Agung yang menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam.

Namun banyak masyarakat yang kurang mengerti arti dari di laksanakannya acara
tersebut, maka dari itu dengan adanya makalah ini di harapkan agar pemahaman
masyarakat mengenai arti, prosesi, dan juga tahapan dari kebudayaan dugderan
dan suronan. Pentingnya memahami budaya sendiri agar budaya yang sudah
dijalani sejak nenek moyang kita yang dahulu tidak diklaim oleh negara lain.
Maka banggalah sengan budaya kita sendiri karena kita adalah satu kesatuan
Republik Indonesia.
Besar harapan agar kita generasi penerus bangsa mengerti akan pentingnya
menjaga dan melestarikan budaya kita sendiri jika tidak kita yang melestarikan
siapa lagi. Saya selaku penulis meminta maaf bila ada banyak kesalahan yang
terdapat dalam makalah ini, karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik
Allah SWT.
Daftar Rujukan
https://id.wikipedia.org/wiki/Dugderan (diakses 23.02 20 mei 2019)
https://id.wikipedia.org/wiki/Festival_Suronan (diakses 21.00 20 mei 2019)

Anda mungkin juga menyukai