Anda di halaman 1dari 3

Oppo, Industri Ponsel Kamera, dan Narsisisme yang Menggenggam Dunia

Keputusan Oppo berganti fokus ke pasar ponsel kamera sudahlah tepat, terutama di era narsisisme. tirto.id - Di
awal pendiriannya, medio 2004, Oppo hanyalah perusahaan kecil yang berbasis di Provinsi Guangdong, Cina.
Produknya berupa ponsel dan beberapa produk elektronik lain. Mula-mula mereka menjual ponsel musik.
Memasuki periode keemasan Android, Oppo mulai menjajaki pasar ponsel kamera. Usia teknologi ponsel
kamera saat itu juga belum ada satu dekade. Orang selalu mengasosiasikannya dengan Phillipe Kahn, pebisnis
asal Perancis yang tercatat dalam sejarah sebagai penemu ponsel kamera. Oppo dan Kahn punya visi yang
cenderung serupa: sama-sama ingin membantu orang-orang dalam mengabadikan sekaligus membagikan
momen berharga. Oppo merealisasikannya melalui riset yang tekun, analisis kebutuhan calon konsumen,
hingga pengawalan standar kualitas produksi. Sementara Kahn melakukan hal yang boleh dibilang lebih
manis: memberi kejutan kepada keluarga, teman, dan kolega atas kelahiran putri pertama. Pada 11 Juni 1997
istri Kahn melahirkan anak pertama yang dinamai Sophie, di sebuah rumah sakit di Santa Cruz, California,
Amerika Serikat. Setelah mengambil foto Sophie, Kahn menghubungkan kamera digital dengan ponsel, lalu
membagikannya melalui jaringan tanpa kabel (wireless) ke lebih dari 2.000 orang. Foto tersebut kini tercatat
sebagai gambar yang pertama kali dibagikan melalui ponsel. Pada tahun 2016 Majalah Time memasukannya
ke dalam daftar “100 Foto Paling Berpengaruh Sepanjang Masa”. Kahn lalu mendirikan Lightsurf, perusahaan
yang berfokus pada pengembangan teknologi nirkabel, internet, dan media digital. Oppo turut berkembang.
Memasuki tahun 2008, ketika Lightsurf resmi dibeli dan dikembangkan oleh oleh korporasi infrastruktur
jaringan VeriSign, Oppo mulai meraih kesuksesan di pasar Cina. Mereka mulai menunjukkan gigi untuk
bersaing dengan vendor lokal lain yang lebih senior seperti Huawei. Baca juga: Promosi Gila-gilaan OPPO x
Vivo di Pasar Ponsel Indonesia Setelah mulai sukses di dalam negeri, 2011 menjadi tahun permulaan bagi
Oppo untuk melebarkan sayap ke pangsa pasar internasional. Pertama-tama mereka menuju Thailand. Setelah
sukses, Oppo lanjut mencengkeram pasar Vietnam, lalu ke Indonesia, Malaysia, Filipina, dan negara-negara
berkembang lain. Tiga tahun berselang, yakni pada 2014, Oppo kian menunjukkan kemampuan yang tidak
bisa dianggap remeh oleh vendor lain. Mereka berhasil masuk ke Amerika Serikat, Australia, dan negara-
negara lain di Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Setelah beberapa tahun fokus mengerjakan ponsel
pintar, pada awal tahun 2016 Oppo menjajal strategi baru dengan fokus membuat ponsel kamera. Jargon pun
diganti dari “Oppo Smartphone” menjadi “Oppo Camera Phone”. Dasarnya mengacu pada survei konsumen
Oppo, dan pertimbangannya sebenarnya sudah berlangsung lama. PR Manager Oppo Indonesia Aryo
Meidianto menjelaskan bahwa pengembangan kamera depan Oppo dikerjakan sejak 2012 saat merilis jenis
Oppo Find Way. Resolusinya sebesar 5 megapiksel dan saat itu menjadi yang pertama di dunia. “Sejak saat itu
konsumen mulai merespon soal kamera dalam ponsel, sementara kami juga melakukan pengembangan
teknologinya.” Oppo pertama-tama mengembangkan teknologi Pure Image, mesin pengolah gambar yang
memadukan perangkat keras dan lunak. Melalui rilis ponsel kamera versi terbaru, di tahun-tahun setelahnya,
teknologi ini terbukti mampu meningkatkan kualitas foto yang ditangkap oleh kamera belakang. “Lalu kami
mulai masuk ke pengembangan kamera depan, pada akhir 2015, melalui Oppo R7 Series yang membawa
kamera depan 8 megapiksel. Ini juga untuk menanggapi tren kemunculan para youtuber” lanjut Aryo.
“Responnya bagus, sampai pada 2016 kita ganti strategi dan jargon itu. Kami mengembangkan kamera
swafoto dengan algoritma khusus sampai penambahan fitur Artificial Intelligent.” Baca juga: Branding Mahal
si Pencuri Pasar Langkah Oppo terbilang cukup masuk akal. Data InfoTrends menunjukkan ada 1,2 triliun foto
yang diambil manusia di seluruh dunia pada 2017 dan 85 persennya diambil melalui ponsel kamera.
Jumlahnya meningkat beberapa juta dari tahun sebelumnya dan melebihi yang diambil melalui kamera digital
(19,3 persen) atau tablet (4,7 persen). James Abbott, kolumnis teknologi Techradar, pada Apil lalu menyebut
teknologi kamera di ponsel telah “meloncat menuju kesempurnaan di tahun-tahun terakhir ini.” “Jika prestasi
ini bisa dipertahankan, katakanlah 10 tahun ke depan, kamera dalam ponsel pintar diprediksi akan memiliki
kemampuan yang setara dengan kamera profesional high-end hari ini,” jelas Abbott. Situasi ini didukung oleh
kenaikan tren swafoto alias selfie. Pada tahun 2013 selfie menjadi kata tahunan Kamus Oxford. Sementara di
Instagram tagar #me menjadi yang terpopuler ketiga, menempel di keterangan 184 juta foto. Ini belum
menghitung jumlah foto yang dipublikasikan di kanal-kanal media sosial lain. Pendeknya: warga dunia ramai-
ramai bergerak menuju pemenuhan hasrat narsisisme, dan kamera ponsel punya andil terhadapnya. Namun
situasi ini bukan mengemuka dalam nada sumbing belaka, sebab keberadaan ponsel kamera memiliki fungsi-
fungsi positif lainnya. Ponsel kamera adalah jembatan komunikasi yang lebih intim untuk warga dunia—atau
dalam lingkup yang terkecil, antar dua orang manusia. Ia kerap dipakai untuk merekam dan menyebarluaskan
peristiwa sosial, hingga dimanfaatkan sebagai alat perjuangan kala harus berhadapan dengan rezim tiran di
sebuah negara. Ponsel kamera memanjakan sineas film, fotografer atau vlogger (video blogger) dalam
berkreasi membuat konten khas. Ponsel ini juga memudahkan jurnalis saat merekam konflik karena terbantu
oleh ukurannya yang lebih kecil, sehingga merekam peristiwa di lapangan jadi lebih mudah. Dalam fungsinya
yang luas, dan berkaca pada kemajuan teknologi yang begitu pesat, konsumen ponsel kamera menuntut
peningkatan kualitas secara berkala. Baca juga: Ponsel Berkamera adalah Kunci di Abad Selfie Pada awal
hingga pertengahan Februari 2018 Huawei bekerja sama dengan Lightspeed Researsh untuk mengadakan
penelitian terkait topik tersebut. Mereka menyurvei 1.000 konsumen ponsel kamera di 10 negara di Eropa
dengan pertanyaan seputar performa ponsel kamera. Hasilnya menunjukkan responden menginginkan ponsel
kamera untuk bisa menghasilkan jepretan bagus tanpa kerepotan berarti (77 persen), yang mampu memotret
dengan sempurna dalam berbagai kondisi pencahayaan (81 persen), punya bidikan supercepat (77 persen), dan
mampu zoom in tanpa hilang ketajaman (84 persen). Ada banyak vendor asal Cina lain yang berkompetisi
untuk berinovasi atas produk ponsel kamera mereka. Oppo berhadapan dengan pemain-pemain besar seperti
Huawei, Vivo, Xiaomi, juga pemain-pemain kecil lain yang belum lama ini juga bermunculan. Pada akhir
Oktober 2018, Tirto dan sejumlah awak media asal Indonesia lain berkesempatan mengunjungi pusat
perakitan dan pengembangan ponsel Oppo di Dongguan, Provinsi Guangdong, Republik Rakyat Cina. Awak
media juga diajak ke gerai flagship kedua Oppo di Kota Shenzhen—calon Sillicon Valey selanjutnya.
Infografik Persaingan ponsel kamera Dalam sesi pertemuan bersama manajer dan humas Oppo, disampaikan
visi-misi terkait produk terbaru sekaligus yang paling mereka unggulkan. Dua di antaranya, yang juga
dipinjamkan ke awak media untuk sesi foto panorama malam, adalah Oppo Find X dan Oppo R17 Pro. Clarity
(kejernihan), nature beauty (keindahan alam), dan fun (kegembiraan) adalah tiga filosofi yang Oppo berupaya
sajikan dalam teknologi kamera mereka. Khusus untuk seri Find X, mereka memberi penekanan pada tiga
jargon yang amat “milenial”: leading (memimpin), young (muda), dan beautiful (cantik). Semangat “muda”
yang Oppo usung diupayakan untuk tidak berakhir sebagai hal klise. Perwakilan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Oppo Jin Haiso berkata bahwa vendornya diisi oleh banyak talenta muda, bahkan hingga level elite.
Baca juga: Asa Kamera Smartphone Menguasai Dunia Fotografi Di Indonesia citra “muda” hingga “cantik”
yang melekat pada ponsel kamera Oppo “dijual” dengan cara menggaet para pesohor berwajah rupawan. Sebut
saja Chelsea Olivia, Raline Shah, Chelsea Islan, Vanesha Prescilla, dan Isyana Sarasvati. Ada pula Reza
Rahadian, Robby Purba, dan Rio Haryanto. Pertimbangan soal popularitas penting. Ketika meluncurkan seri
F1 dan F1 Plus, Oppo menggaet Rio dan Isyana yang memang sedang naik daun. Rio sedang menjadi
pembicaraan usai mampu menembus Formula F1, sedangkan Isyana mulai jadi idola baru di kancah musik
pop tanah air. Pertimbangan kedua, kata Aryo, adalah perkara loyalitas penggemar. Oppo ia nyatakan berbeda
dari korporasi lain yang mencari “brand ambassador” karena artis cantik atau tampan saja. “Kalo kami justru
mencari kedekatan antara artis dan penggemar, karena penjualan produk kami sangat dipengaruhi oleh faktor
tersebut. Penggemar yang loyal akan mengikuti apa yang digunakan artis idola mereka, termasuk ponselnya.
Ini strategi yang tergolong efektif,” jelasnya. Dalam laporan Tirto sebelumnya, branding besar-besaran yang
dilakukan Oppo adalah bagian dari upaya untuk melepaskan stereotip “produk asal Cina tidak berkualitas”.
Oppo memang sempat kena sindiran pedas itu pada 2010, ketika baru masuk ke pasar internasional. Lima
tahun berselang, Oppo mulai mampu menutup mulut para pengkritiknya. Pada 2015, Oppo mampu menjual 50
juta ponsel di seluruh dunia, plus merangsek ke dalam daftar lima vendor penjual ponsel terbesar. Angkanya
terus menanjak. Asa untuk berinovasi juga masih ada, dan berlipat ganda. Baca juga artikel terkait OPPO atau
tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan (tirto.id - Marketing) Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf

Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul "Oppo, Industri Ponsel Kamera, dan Narsisisme yang
Menggenggam Dunia", https://tirto.id/oppo-industri-ponsel-kamera-dan-narsisisme-yang-menggenggam-
dunia-c9pf.

Follow kami di Instagram: tirtoid | Twitter: tirto.id

Anda mungkin juga menyukai