“MENINGITIS”
Disusun Oleh:
Livia Giovanni (130112170603)
Sofia Salsabila (130112170654)
Octavianus Giovani (130112170564)
Preseptor:
dr. Siti Aminah, Sp.S (K), Msi, Med
Pendahuluan
Meningitis merupakan masalah kesehatan besar di Indonesia yang meningkatkan angka
kematian bayi dan balita. Meningitis sangat berbahaya bagi anak yang dapat menyebabkan
kecacatan seperti tuli, lumpuh, keterbelakangan mental, dan kematian.
Meningitis adalah suatu infeksi yang mengenai arakhnoid, piameter, dan cairan
serebrospinal di dalam sistem ventrikel yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Hal ini
bisa disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau fungi, dan pathogen spesifik yang terlibat
dalam proses infeksi ini bergantung pada banyak faktor, khususnya umur dan status imun
tubuh. Namun, secara keseluruhan meningitis viral lebih banyak ditemukan daripada
meningitis bakterialis. Meningitis fungal sudah jarang terjadi, terutama menyerang orang yang
imunokompromis yang tidak mendapat terapi. Saat ini, jenis meningitis pada pasien dengan
imunokompromis yang banyak terjadi adalah meningitis TB.
I. Anatomi Meningen
Meningen adalah selaput atau membran yang terdiri dari jaringan ikat yang melapisi
dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu:
1. Duramater
Duramater dibentuk dari jaringan ikat fibrosa. Durameter terdiri dari dua lapis, yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan
periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan
lapisan durameter yang sebenarnya, sering disebut dengan cranial duramater. Terdiri dari
jaringan fibrosa yang padat dan kuat yang membungkus otak dan menjadi durameter spinalis
setelah melewati foramen magnum yang berakhir sampai segmen kedua dari os sacrum.
Lapisan meningeal membentuk empat septum ke dalam, membagi rongga kranium
menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian
otak. Fungsi septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak.
• Falks cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang terletak pada garis
tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung bagian anterior melekat pada crista galli.
Bagian posterior melebar, menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli.
1
• Tentorium cerebeli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang menutupi fossa
cranii posterior. Septum ini menutupi permukaan atas cerebellum dan menopang lobus
occipitalis cerebri.
• Falks cerebelli adalah lipatan duramater kecil yang melekat pada protuberantia occipitalis
interna.
• Diafragma sella adalah lipatan sirkuler kecil dari duramater, yang menutupi sella turcica
dan fossa pituitary pada os sphenoidais. Diapragma ini memisahkan pituitary gland dari
hypothalamus dan chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat lubang yang dilalui oleh
tangkai hypophyse.
Pada pemisahan dua lapisan duramater ini, diantaranya terdapat sinus duramater yang
berisi darah vena. Sinus venosus/duramater ini menerima darah dari drainase vena pada otak
dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh
endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus
transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis cranii antara lain adalah sinus occipitalis,
sinus sphenoparietal, sinus cavernosus, sinus petrosus.
Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang
berasal dari arteri carotis interna, a.maxillaris,a. pharyngeus ascendens, a.occipitalis dan a.
vertebralis. Pada duramater terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadap
regangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala
yang hebat.
2. Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membrane impermeabel yang menutupi otak dan terletak
diantara piamater dan duramater. Membran ini dipisahkan dari duramater oleh ruang subdurale,
dan dari piamater oleh ruang subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum
subarachnoid (subarachnoid space) merupakan suatu rongga/ ruangan yang dibatasi oleh
arachnoid di bagian luar dan piamater pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini
ditutupi oleh mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam
sinus venosus membentuk villi arachnoidales. Agregasi villi arachnoid disebut sebagai
granulasi arachnoidales. Arachnoid berhubungan dengan piamater melalui untaian jaringan
fibrosa halus yang melintasi cairan dalam ruang subarachnoid.
3. Piamater
Lapisan piamater melekat pada otak dan sumsum tulang belakang, mengikuti tiap
sulkus dan gyrus. Piamater ini merupakan lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri
2
dari jaringan penyambung yang halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada
jaringan saraf. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir sebagai end
feet dalam piamater untuk membentuk selaput pia-glia. Selaput ini berfungsi untuk mencegah
masuknya bahan-bahan yang merugkan kedalam susunan saraf pusat. Piamater membentuk
tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus, dan menyatu dengan ependymal
membentuk plexus choroideus dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus.
3
Rongga serebral yang melingkupi otak dan sumsum tulang belakang memiliki kapasitas
1600-1700 ml, dan 150 ml dari kapasitas tersebut diisi oleh cairan serebrospinalis. Cairan
serebrospinalis terdapat di ventrikel otak, sisterna di luar otak, dan di ruang subarachnoid yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang. Seluruh ruangan ini berhubungan satu dan
yang lainnya dan tekanannya dijaga dalam level yang tetap. Fungsi dari cairan serebrospinal
adalah untuk memberi bandalan otak terhadap dindingnya yang padat. Otak dan cairan
serebrospinal memiliki berat jenis yang mirip, sehingga otak dapat mengapung di dalam cairan
serebrospinal. Cairan serebrospinal dibentuk dalam kecepatan 500 mililiter per harinya. Sekitar
2/3 cairan ini berasal dari sekresi pleksus koroideus di keempat ventrikel, terutama di kedua
ventrikel lateral. Sebagian kecil tambahan cairan juga disekresikan oleh permukaan ependymal
dari keseluruh ventrikel dan oleh membrane arachnoidal, dan sebagian kecil lainnya dihasilkan
dari otak melalui ruang perivaskuler yang mengelilingi pembuluh darah otak.
Sistem ventrikular otak dibentuk terutama oleh empat ventrikulus, terdiri dari dua
ventrikel lateral dan ventrikel ketiga serta keempat yang tidak berpasangan. Ventrikel lateral
adalah bagian terbesar sistem ventrikular dan menempati bagian luas hemispherium cerebri.
Masing-masing ventrikel lateral mempunyai kornu anterior, sela media, kornu posterior, dan
kornu inferior atau temporal. Kedua ventrikel tersebut berhubungan dengan ventrikel ketiga
melalui foremen Monro atau foramen interventrikularis. Ventrikel ketiga berupa celah yang
sempit antara bagian diencephalon dextrum dan sinistrum yang dihubungkan dengan ventrikel
keempat melaului akuaduktus Sylvii (aquaductus cerebri). Ventrikulus keempat dalam bagian
posterior pons dan dalam medulla oblongata meluas ke arah postero-inferior, lalu beralih
menjadi canalis sentralis dalam bagian inferior medulla oblongata dan seluruh medulla spinalis.
Ventrikel keempat berhubungan dengan rongga subarachnoid melalui tiga foramen:
dua foramen Luschka dan satu foramen Magendie. Foramen Luschka terletak pada atap resesus
lateralis ventrikel keempat, sedangkan foramen Magendie terletak pada garis tengah dari atap
ventrikel keempat. CSS mengalir dari tempat dibentuknya di ventrikel melalui lengkungan
cerebrum menuju tempat absobsinya di ganulasi arakhnoid pada sinus sagitalis.
Aliran cairan serebrospinalis mulai dari ventrikel lateral yang menuju ventrikel ketiga,
kemudian setelah penambahan sejumlah kecil cairan di ventrikel ketiga, cairan serebrospinalis
mengalir ke bawah melalui aqueduct of Sylvius menuju ventrikel keempat, dan ditambahkan
sebagian kecil cairan. Akhirnya, cairan berpindah dari ventrikel keempat menuju sisterna
magna, ruang cairan yang terdapat di belakang medulla dibawah serebelum, melalui foramen
Luschka dan foramen Magendie. Cisterna magna berhubungan dengan ruang subarachnoid
yang melingkupi seluruh otak dan sumsum tulang belakang. Hampir seluruh cairan
4
serebrospinal mengalir ke atas melalui ruang subarachnoid yang mengelilingi serebrum. Dari
sini, cairan mengallir melalui banyak vili arachnoidal menuju sinus venosus sagittal besar,
sehingga caira n dapat berpindah ke darah vena melalui vili tersebut.
Pleksus koroideus adalah pembuluh darah mirip bunga kol yang ditutupi oleh lapisan
tipis sel epitel. Pleksus ini terdapat pada tanduk temporal dari setiap ventrikel lateral, bagian
posterior dari ventrikel ketiga, dan langit-langit ventrikel keempat. Sekresi cairan ke ventrikel
oleh pleksus koroideus tergantung pada transport aktif dari ion natrium melalui sel epitel yang
melapisi pleksus. Ion natrium kemudian akan menarik ion klorida sehingga ion tersebut
bergabung dan meningkatkan kadar perpindahan air melalui membrane secara osmosis. Proses
perpindahan lain memindahkan sejumlah kecil glukosa menuju cairan serebrospinal dan ion
kalium dan bikarbonat keluar dari cairan serebrospinal.
Vili arachnoidal adalah proyeksi mikroskopis dari membrane arachnoidal menuju sinus
venosus. Penggabungan vili ini membentuk struktur makroskopis yang disebut sebagai
granulasi arachnoidal. Sel endothelial yang menutupi vili memiliki jalur vesikuler langsung
melalui badan sel yang memungkinkan pergerakan cairan serebrospinal, molekul protein
terlarut dan partikel besar seperti sel darah merah dan putih menuju darah vena.
Pada normalnya, vili arachnoidal berfungsi sebagai katup yang mengatur perpindahan
cairan dan tekanan dari cairan serebrospinal. Vili memungkinkan perpindahan cairan
serebrospinal ke darah bila tekanan cairan serebrospinal 1.5 mmHg lebih tinggi disbanding
tekanan darah di sinus venosus. Pada keadaan normal, sangat jarang tekanan cairan
serebrospinal meningkat lebih dari beberapa mmHg lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan
5
darah di sinus venosus. Pada kondisi penyakit, vili terkadang tersumbat oleh partikel besar,
fibrosis, atau sel darah yang masuk ke cairan serebrospinal, sehingga dapat menyebabkan
kenaikan tekanan cairan serebrospinal. Pada kondisi infeksi atau perdarahan, sejumlah besar
sel darah putih atau merah dapat muncul di cairan serebrospinal dan menyebabkan
penyumbatan jalur absorpsi melalui vili arachnoidal, sehingga tekanan cairan serebrospinal
meningkat hingga 400 sampai 600 cmH2O.
III. Meningitis
6
pneumoniae, Haemophilus influenza, Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, E.
coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.
• Meningitis purulenta akut
Etiologi:
• Streptococcus pneumonia (50%)
Faktor risiko:
• Infeksi pneumonia pneumokokus
• Infeksi pneumokokus lainnya (sinusitis, otitis medis)
• Alkoholisme
• Diabetes
• Splenektomi
• Hipogammaglobulinemia
• Trauma kepala dengan fraktur basis cranii dan rnorhea cairan serebrospinal
• Neisseria meningitides (25%)
Faktor risiko: tidak vaksinasi meningitis
• Streptococcus grup B (15%)
Faktor risiko:
• Otitis
• Mastoiditis
• Sinusitis akibat streptococcus sp
• Listeria monocytogenes (10%)
Faktor risiko:
• Usia nenonatus (<1 bulan)
• Perempuan hamil
• Dewasa usia >60 tahun
• Individu dengan imunokompromis
• H. influenza
Faktor risiko: usia anak-anak
• Mengingitis serosa (sub akut)
Etiologi:
• Mycobacterium tuberculosis
Faktor risiko: penyebaran hematogen dari infeksi TB primer
• Meningitis fungal (C. neoformans)
7
Faktor risiko:
Terdapat infeksi jamur pada paru sebelumnya (penularan spora jamur melalui udara)
• Treponema pallidum
Faktor risiko: terdapat infeksi menular seksal sifilis
• Meningitis aseptik
Etiologi:
• Enterovirus: coxsackieviruses, echoviruses, human enteroviruses
• Virus herpes simpleks 2
• Arthropod-borne viruses
Pada umumnya, berdasarkan etiologinya meningitis dapat dibagi menjadi meningitis
bakterialis, meningitis viral, meningitis tuberkulosa, dan meningitis kriptokokus. Perbedaan
meningitis bakterialis dan meningitis viral adalah sebagai berikut.
8
Kultur darah Positif pada 30-80% kasus Positif pada beberapa jenis
infeksi virus, namun harus
dikonfirmasi dengan
pemeriksaan serologi
(didapatkan IgM dan/atau
kenaikan titer IgG>=4 kali lipat
dalam jangka waktu 4 minggu)
Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Opening pressure 200-500 <=250
(mmH2O)
Jumlah Leukosit Leukositosis (sampai puluhan 50-500 sel/µL
(sel/µL) ribu)
Diff count (sel Neutrofil, >60% PMN Limfosit (predominansi MN)
dominan)
Glukosa (mg/dL) <40mg/dL atau <30% kadar gula >40 mg/dL atau kurang lebih 2/3
darah sewaktu dari kadar glukosa darah sewaktu
Protein (mg/dL) >200 mg/dL <100 mg/dL
Pewarnaan Gram Positif pada 80% kasus Negatif
Kultur bakteri Positif pada >90% kasus Negatif, bisa dilakukan kultur
virus dan PCR (positif pada 40-
70% kasus) tapi tidak tersedia di
Indonesia
Komplikasi Segera: edema otak, hidrosefalus, Biasanya tidak berat dan
vasculitis, thrombosis sinus otak, seringkali sembuh sempurna
abses/efusi subdural, gangguan tanpa komplikasi
pendengaran
Jangka panjang: gangguan
pertumuhan dan perkembangan
pada pasien anak, epilepsi
9
• Stadium I: tanda meningitis (nyeri kepala, gelisah, anoreksia, demam, gangguan tingkah
laku), tidak ada penurunan kesadaran/defisit neurologis fokal
• Stadium II: penurunan kesadarah ringan / defisit neurologis fokal
• Stadium III: stupor-koma/ hemiplegia atau paraplegia
Tanda dan gejala meningitis tuberkulosa adalah sebagai berikut:
Gejala Tanda
Prodromal Adenopati (paling sering servikal)
Anorexia Suara tambahan pada auskultasi paru (apices)
Penurunan berat badan Tuberkel koroidal
Batuk Demam (paling tinggi pada sore hari)
Keringat malam hari Rigiditas nuchal
Papil edema
CNS Defisit neurologis fokal
Nyeri kepala tuberculin skin test (+)
Meningismus
Perubahan tingkat kesadaran
10
2. Diagnosis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi,
muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) melalui pungsi lumbal. Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal
yang jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Meningitis bakteri biasanya didahului
oleh gejala gangguan alat pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus
terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang,
nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella
yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus
influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumoniae, 21% oleh Streptococcus, dan 10% oleh
infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan
saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri
kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur,
keruh atau purulen
Meningitis akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku
kuduk; tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan
Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifi kansi klinik yang sama dengan kaku kuduk,
namun sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat menjadi sulit jika
manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku kuduk tidak selalu ditemukan
pada pasien sopor, koma, atau pada lansia.
Diagnosis meningitis ditegakkan melalui analisis CSS, kultur darah, pewarnaan CSS,
dan biakan CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan peningkatan
leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia, serta
gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak harus dilakukan secepatnya
untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema serebri yang merupakan
kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal
harus dihindari pada pasien dengan gangguan kesadaran, keadaan immunocompromised
(AIDS, terapi imunosupresan, pasca-transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi
massa, stroke, infeksi fokal), defisit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema
yang memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi. Kultur darah dapat membantu, namun tak
selalu bisa diandalkan.
11
Skoring Meningitis
- Marais’ Case Definition Criteria:
o Probable MTB: skor ≥12 (bila pencitraan tersedia), atau skor ≥10 (bila
pencitraan tidak tersedia)
o Possible MTB: skor 6-11 (bila pencitraan tersedia), atau skor 6-9 (bila
pencitraan tidak tersedia)
12
Penampakan jernih 1
Sel 10-500/ uL 1
Predominansi limfosit (>50%) 1
Konsentrasi protein lebih dari 1 g/L 1
Rasio glukosa CSF terhadap plasma < 50%, atau konsentrasi glukosa 1
CSF absolut < 2.2 mmol/L
Kriteria pencitraan serebral Skor maks:
6
Hidrosefalus 1
Basal meningeal enhancement 2
Tuberkuloma 2
Infark 1
Pre-contrast basal hyperdensity 2
Bukti adanya TB lain Skor maks:
4
Radiografi toraks sugestif terhadap TB aktif (TB: 2, TB milier: 4) 2/4
Bukti CT/ MRI/ ultrasound adanya TB diluar sistem saraf pusat 2
BTA teridentifikasi atau M. Tuberculosis dikultur dari sumber lain 4
(sputum, nodus limfatik, kuras lambung, urin, darah)
M. Tuberculosis Nucleic Acid Amplification Test positif dari specimen 4
ekstraneural
Eksklusi diagnosis alternative lain
Diagnosis alternative harus dikonfirmasi secara mikrobiologis (dengan pewarnaan,
kultur, NAAT), serologis (co: sifilis), atau secara histopatologis (co: limfoma).
Daftar diagnosis alternative yang harus dipertimbangkan: meningitis pyogenic
bakteria, meningitis kriptokokal, meningitis sifilitik, meningoensefalitis viral,
malaria serebral, meningitis parasitic/ eosinofilik (Angiostrongylus cantonesis,
Gnathostoma spinigerum, toxocariasis, sistiserkosis), toksoplasmosis serebral, dan
abses otak bacterial, dan keganasan (co: limfoma).
- Thwaites’ Scoring
Parameter Skor
Usia
≥35 tahun 2
13
<35 tahun 0
Leukosit darah
≥15000 x 103/ml 4
<15000 x 103/ml 0
Riwayat sakit
≥6 hari -5
<6 hari 0
Leukosit total CSF
≥900 x 103/ml 3
<900 x 103/ml 0
Neutrofil CSF
≥75% 4
<75% 0
Skor ≤4 = Meningitis TB
Skor >4 = Meningitis Bakterial
3. Prognosis
Prognosis pasien dengan meningitis bakterialis karena infeksi S. pneumoniae dan
pasien yang datang dengan penurunan kesadaran umumnya buruk atau berakhir dengan
kematian, sedangkan pada meningitis viral pasien seringkali sembuh sempurna tanpa
pemberian obat-obatan/antiviral, biasanya dapat sembuh dalam 3-5 hari. Pasien dengan
meningitis kriptokokus memiliki angka kematian 6-20% tergantung keberhasilan terapi. Pasien
dengan meningitis tuberkulosa memiliki prognosis yang buruk karena menyebabkan banyak
komplikasi. Prognosis pasien dengan HIV-associated meningitis tergantung pada etiologi dan
14
stadium infeksi HIV. Angka kematian lebih tinggi terdapat pada pasien dengan status mental
yang buruk, manifestasi di luar sistem saraf pusat, dan cytomegalovirus ventriculoencephalitis.
2. Arteritis
15
Infiltrasi eksudat pada pembuluh darah kortikal atau meningel menyebabkan proses
inflamasi yang terutama mengenai arteri kecil dan sedang sehingga menimbulkan vaskulitis.
Secara mikroskopis, tunika adventitia pembuluh darah mengalami perubahan dimana dapat
ditemukan sel-sel radang tuberkulosis dan nekrosis perkejuan, kadang juga dapat ditemukan
bakteri tuberkulosis. Tunika intima juga dapat mengalami transformasi serupa atau mengalami
erosi akibat degenerasi fibrinoid-hialin, diikuti proliferasi sel sub endotel reaktif yang dapat
sedemikian tebal sehingga menimbulkan oklusi lumen. Vaskulitis dapat menyebabkan
timbulnya spasme pada pembuluh darah, terbentuknya thrombus dengan oklusi vascular dan
emboli yang menyertainya, dilatasi aneurisma mikotik dengan rupture serta perdarahan fokal.
Vaskulitis yang terjadi menimbulkan infark serebri dengan lokasi tersering pada distribusi a.
serebri media dan a. striata lateral.
3. Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dari meningitis
tuberkulosa dan dapat saja terjadi walaupun telah mendapat terapi dengan respon yang baik.
Hampir selalu terjadi pada penderita yang bertahan hidup lebih dari 4-6 minggu. Hidrosefalus
sering menimbulkan kebutaan dan dapat menjadi penyebab kematian yang lambat. Perluasan
inflamasi pada sisterna basal menyebabkan gangguan absorpsi CSS sehingga menyebabkan
hidrosefalus komunikans dan dapat pula terjadi hidrosefalus obstruksi (hidrosefalus non
komunikans) akibat dari oklusi aquaduktus oleh eksudat yang mengelilingi batang otak, edema
pada mesensefalon atau adanya tuberkuloma pada batang otak atau akibat oklusi foramen
Luschka oleh eksudat.
Hidrosefalus komunikans dan non komunikans dapat terjadi pada meningitis
tuberkulosa. Adanya blok pada sisterna basalis terutama pada sisterna pontis dan
interpedunkularis oleh eksudat tuberkulosis yang kental menyebabkan gangguan penyerapan
CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans. Gejalanya antara lain ialah ataksia,
inkontinensia urin dan demensia. Dapat juga terjadi hidrosefalus non komunikans (obstruktif)
akibat penyumbatan akuaduktus atau foramen Luschka oleh eksudat yang kental. Gejala
klinisnya ialah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial seperti penurunan
kesadaran, nyeri kepala, muntah, papiledema, refleks patologis (+) dan parese N VI bilateral.
4. Arakhnoiditis
Adalah suatu proses peradangan kronik dan fibrous dari leptomeningen (arakhnoid dan
pia mater). Biasanya terjadi pada kanalis spinalis. Arakhnoiditis spinal dapat terjadi karena
16
tuberkulosa, terjadi sebelum maupun sesudah munculnya gejala klinis meningitis tuberkulosis.
Bila tuberkel submeningeal pecah ke dalam rongga subarakhnoid, akan menyebabkan
penimbunan eksudat dan jaringan fibrosa sehingga terjadi perlengketan di leptomeningen
medulla spinalis. Gejala klinis timbul akibat adanya kompresi local pada medulla spinalis atau
terkenanya radiks secara difus.
Arakhnoiditis spinal paling sering mengenai pertengahan vertebra thorakalis, diikuti
oleh vertebra lumbalis dan vertebra servikalis. Biasanya perlekatan dimulai dari dorsal medulla
spinalis. Gejala pertama biasanya berupa nyeri spontan bersifat radikuler, diikuti oleh
gangguan motorik berupa paraplegi atau tetraplegi. Gangguan sensorik dapat bersifat
segmental di bawah level penjepitan. Kemudian dapat terjadi retensi kandung kemih.
Pemeriksaan penunjang untuk arakhnoiditis dapat dengan mielografi. Bisa didapatkan blok
parsial atau total, dapat juga memberikan gambaran tetesan lilin.
6. Sekuele
17
Dapat terjadi sekuele hemiparesis spastik, ataksia, dan paresis saraf cranial persisten.
Pada 50 % anak dengan kejang pada saat meningitis dapat meninggalkan sekuele gangguan
kejang. Atrofi N Optikus dapat terjadi dengan gangguan visual yang bervariasi sampai buta
total. Syringomielia dapat terjadi komplikasi pada masa konvalesen sebagai akibat dari
vaskulitis pembuluh darah medulla spinalis karena mielomalasia iskemik. Berbagai gangguan
endokrin dapat terjadi sebagai akibat dari arteritis atau kalsifikasi dan infark selanjutnya pada
proksimal hipotalamus dan kelenjar pituitary.
V. Patomekanisme Meningitis
1. Patogenesis
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:
• Hematogen, oleh karena infeksi dari tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis,
pneumonia, dan infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan positif pada darah,
yang sesuai dengan kuman yang ada di dalam cairan otak
• Perkontinuitatum, perluasan dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus
paranasalis, mastoid, dan abses otak
• Implantasi langsung trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal
• Infeksi bakteria transplasental
Sebagian besar infeksi SSP terjadi akibat penyebaran secara hematogen. Saluran napas
merupakan port d’entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya
meningitis bakterial melalui jalur hematogen diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel
mukosa nasofaring, mengadakan kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan
memperbanyak diri dalam aliran darah, dan menimbulkan bakteremia. Selanjutnya bakteri
masuk kedalam CSS dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri ini menimbulkan
peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subarakhnoid masih belum diketahui.
Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah.
Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri ke dalam
SSP. Pelepasan lipopolisakarida dari N. meningitidis merupakan salah satu faktor yang
menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi ke dalam ruang subarakhnoid,
bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supuratif lokal dalam SSP.
18
Pada meningitis tuberkulosa penyakit tidak berkembang secara akut dari penyebaran
tuberkel bacilli ke meningen secara hematogen, melainkan merupakan hasil dari pelepasan
tuberkel bacilli ke dalam rongga subarakhnoid dari lesi kaseosa subependimal. Selama fase
inisial dari infeksi, sejumlah kecil tuberkel berukuran seperti biji tersebar di dalam substansi
otak dan meningen. Tuberkel-tuberkel ini cenderung membesar dengan bersatu dan tumbuh
besar, dan biasanya caseating, lembut dan membentuk eksudat. Kemungkinan lesi kaseosa
untuk menyebabkan meningitis ditentukan dari kedekatan jarak lesi dengan rongga
subarakhnoid dan kecepatan enkapsulasi fibrosa berkembang akibat resistensi imun dapatan.
Foci caseosa subependymal dapat terus tak bergejala selama berbulan-bulan bahkan tahunan
tetapi kemudian dapat menyebabkan meningitis melalui pelepasan bacilli dan antigen tuberkel
ke dalam rongga subarakhnoid.
Pada meningitis viral, terjadi infeksi virus seperti Enterovirus (echovirus dab Coxsackie
virus), HSV 2, HIV, Mumps, dan adenovirus, atau virus lain seperti EBV, CMV, Leptospira,
dan HSV. Virus masuk ke dalam tubuh manusia dengan berbagai macam cara sebelum mereka
mencapai pembuluh darah. Virus mumps, measles, dan VZV adalah virus yang masuk melalui
jalur pernafasan. Polio virus dan enterovirus masuk melalui rute Oral-Intestinal dimana mereka
bereplikasi terlebih dahulu di sistem limfatik pada sistem pencernaan yaitu Payer’s Patches
sebelum masuk ke dalam aliran darah. HSV merupakan virus yang masuk melalui rute
oral/genital mucosa. Selain itu ada beberapa virus yang masuk ke dalam tubuh manusia secara
transplacentally seperti CMV, HIV, dan rubella. Selain melalui aliran darah, infeksi pada
meningen ini dapat terjadi karena infeksi secara retrograde axoplasmic transport system
infection sepanjang saraf perifer dan akhirnya sampai pada meningen. Hal ini seperti yang
dilakukan oleh HSV, VZV, dan rabies virus.
Ketika virus berhasil masuk ke pembuluh darah maka akan terjadi systemic illness yang
ditandai dengan migraine dan sakit kepala ataupun demam. Sebelum virus tersebut dapat
membuat reaksi inflamasi di meninges virus tersebut harus dapat menempel (attached) pada
spesifik reseptor yang dimiliki oleh membrane sitoplasma host lalu virus harus dapat penetrasi
cell dengan endositosis dan mengeluarkan protective nucleoprotein coating. Selanjutnya virus
akan bereplikasi dengan memakai bahan bahan metabolic yang dimiliki oleh sel host baik.
Setelah mencapai infecting dose, reaksi inflamasi akan muncul dan selanjutnya diikuti dengan
keluarnya sitokin IL-1 dan TNF. Terjadinya iritasi pada meninges menyebabkan timbulnya
gejala klinis meningitis yaitu demam, sakit kepala, tanda-tanda iritasi meningeal yaitu kaku
kuduk, Babinski, dan tanda lainnya.
19
2. Patofisiologi
a) Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoid
Jika bakteri meningen patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, maka berarti
mekanisme pertahanan tubuh tidak adekuat. Pada umumnya didalam CSS yang normal, kadar
dari beberapa komplemen adalah negatif atau minimal. Inflamasi meningen mengakibatkan
sedikit peningkatan konsentrasi komplemen. Konsentrasi komplemen ini memegang peranan
penting dalam opsonisasi dari patogen meningen tidak berkapsul, suatu proses yang penting
untuk terjadinya fagositosis. Aktivitas opsonik dan bakterisidal tidak didapatkan atau hampir
tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis.
b) Induksi inflamasi ruang subarakhnoid.
Lipopolisakarida menyebabkan inflamasi melalui perannya dalam pelepasan mediator
inflamasi seperti IL-1 dan TNF ke dalam CSS.
c) Perubahan dari sawar darah otak
Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari vasogenic
cerebral edema, peningkatan volume CSS, peningkatan tekanan intrakranial dan kebocoran
protein plasma ke dalam CSS.
d) Peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi keadaan edema
cerebri, peningkatan volume CSS dan peningkatan dari volume darah cerebral
e) Perubahan dari cerebral blood flow
Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian tekanan intra
kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari arteri, vena dan sinus cerebri
1. Meningitis Bakterialis
Antibiotika yang diberikan sesuai dengan panduan yang ada :
Pasien Bakteri penyebab yang sering Antibiotika
Neonatus Streptokokus grup B, Listeria Ampisilin plus sefotaksim
monocytogens, E. Coli
20
2 bulan-18 tahun N. meningitides, Streptococcus Seftriakson atau
pneumoniae, H. influenza sefotaksim, dapat
ditambahkan vankomisin
18-50 tahun S. pneumoniae, N. Seftriakson, dapat
meningitides ditambahkan vankomisin
>50 tahun S. pneumonia, L. Vankomisin ditambah
monocytogens, bakteri gram ampisilin, ditambah
negatif seftriakson.
Dosis:
• Neonatus : dosis sesuai umur, berat dan prematuritas
• Seftriakson :
▪ Anak : 100mg/kgBB/hari/IV atau IM dalam dosis terbagi q12h, dosis
maksimum 2 gram/hari.
▪ Dewasa : 2 gram IV atau IM q12 h, dosis maksimum 4 gram sehari.
• Sefotaksim :
▪ Anak : 200 mg/kgBB/hari IV dibagi q6h.
▪ Dewasa: 2 gram/hari q4-6h. Dosis maksimum 12g/ hari.
• Vankomisin :
▪ Anak : 60 mg/kgBB/hari dibagi q6h.
▪ Dewasa : 1 gram IV q12h.
• Ampisilin :
▪ Anak: 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi q4h.
▪ Dewasa: 2 gram IV q4h. Dosis maksimum 12 g/ hari.
21
4. Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika diperkirakan penyebabnya
adalah H. influenza atau N. meningitides.
5. Pada kecurigaan infeksi N. meningitides diberikan kemoprofilaksis kepada
a. Orang yang tinggal serumah.
b. Orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan pasien .
c. Orang yang menggunakan sarana umum bersama dengan pasien dalam 7 hari
terakhir.
d. Murid sekolah yang sekelas dengan pasien.
e. Petugas kesehatan yang ada kontak langsung dengan secret mulut dan hidung
pasien dalam 7 hari terakhir.
Rejimen profilaksis pada infeksi N. meningitides
Nama Obat Dosis sesuai umur
Rifampisin ≤ 1 bulan: 5 mg/kgBB p.o > I bulan : 10mg/kgBB
(jangan diberikan pada q12h untuk 2 hari (maksimum 600mg) p.o
ibu hamil, hati-hati pada q12h untuk 2 hari
ibu yang minum obat
KB)
Seftriakson ≤ 12 tahun: 125 mg IM >12 tahun: 250 mg IM
dosis tunggal dosis tunggal
Siprofloksasin <18 tahun: tidak ≥ 18 tahun: 500 mg p.o
(jangan diberikan pada direkomendasikan dosis tunggal
ibu hamil dan menyusui)
2. Meningitis TB :
Rejimen pengobatan meningitis TB:
Nama obat Dosis Catatan
Isoniazid (INH) 2 bulan pertama : 5 mg/kg p.o Berikan Piridoksin 50
(maksimum 450 mg) plus 7 mg/hari untuk mencegah
bulan : 450 mg p.o neropati perifer
Rifampisin (R) dosis 2 bulan pertama : 10 Paling sering
mg/kg p.o (maksimum 600 menyebabkan hepatitis
mg) plus 7 bulan: 600 mg p.o
22
Pirazinamid (Z) dosis 2 bulan pertama : 25
mg/kg p.o (maksimum 2 g/
hari)
Etambutol (E) dosis 2 bulan pertama :
20mg/kg p.o (maksimum 1,2
g/hari)
Streptomisisn ( S) dosis 20 mg/kg i.m ( Hanya diberikan pada
maksimum 1 g/hari) pasien yang mempunyai
riwayat pengobatan TB
sebelumnya.
Kortikosteroid dianjurkan untuk diberikan pada setiap kecurigaan meningitis TB, tanpa
memperhatikan stadium penyakit. Berikut cara pemberian steroid :
Kortikosteroid ( deksametason)
▪ Grade I <dimulai dari 3 x 1 ampul (5mg/ml) pada minggu I kemudian diturunkan>
Minggu 1: 0,3 mg/kg BB/hari i.v
Minggu 2: 0,2 mg/kg BB/hari i.v
Minggu 3: 0,1 mg/kg BB/hari i.v
Minggu 4: 3 mg/hari p.o
Minggu 5: 2 mg/hari p.o
Minggu 6: 1 mg/hari p.o
▪ Grade II atau III <dimulai dari 4 x 1 ampul (5mg/ml) pada minggu I kemudian diturunkan>
Minggu 1: 0,4 mg/kg BB/hari i.v
Minggu 2: 0,3 mg/kg BB/hari i.v
Minggu 3: 0,2 mg/kg BB/hari i.v
Minggu 4: 0,1 mg/kg BB/hari i.v
Minggu 5: 4 mg/hari p.o
Minggu 6: 3 mghari p.o
Minggu 7: 2 mg/hari p.o
Minggu 8: 1 mg/hari p.o
Pemberian dengan metoda ini terbukti menurunkan angka kematian, namun tidak
mengurangi sekuele meningitis jika sudah sempat terbentuk defisit neurologi pada perjalanan
klinisnya. Efektivitas steroid pada pasien HIV belum terbukti.
23
Pemberian ARV pada pasien HIV dengan infeksi meningitis TB mengikuti petunjuk :
1. Jika meningitis TB didiagnosis lebih dahulu dari diagnosis HIV, maka terapi TB
didahulukan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Jika CD4 > 100: ART dapat ditunda hingga selesai fase intensif pengobatan TB ( setelah
2 bulan pemberian OAT)
b. Jika CD4 < 100: ART dimulai lebih awal, umumnya dianjurkan minimal 2 minggu setelah
OAT diberikan.
Meskipun penelitian yang lebih baru menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang terlalu
nyata antara kelompok pasien yang menunda ARV dengan yang menyegerakan ARV,
sampai saat ini guidelines yang dipakai adalah seperti yang disebutkan di atas.
2. Jika ada pasien yang diketahui menderita HIV didapatkan tanda meningitis T, maka terapi
TB dapat dimulai kapan saja.
o Non-farmakologis
▪ Penderita sebaiknya dirawat di perawatan intensif
▪ Perawatan penderita meliputi kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi, posisi
penderita, perawatan kandung kemih, dan defekasi.
3. Meningitis Kriptokokus
Terapi antijamur yang dianjurkan :
a) Fase induksi : amfoterisin B deoksikolat IV dengan dosis 0,7-1 mg/kgBB/hari ditambah
flusitosin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis PO selama 14 hari
b) Fase maintenance : Flukonazol 400 mg/hari slama minimal 8 minggu
c) Selanjutnya dapat diberikan flukonazol 200 mg/hari seumur hidup atau sampai CD4
mencapai >200 selama 6 bulan berturut-turut
Terapi alternatif yang berdasarkan bukti ilmiah adalah berturut-turut:
a) Amfoterisin deoksikolat (0,7-1,0 mg/kg per hari IV), amfoterisin B liposomal (3-4 mg/kg
per hari IV), atau amfoterisin B lipid complex/ABLC (5 mg/kg per day IV) selama 4-6
minggu. Pada kasus kegagalan terapi atau jumlah jamur yang terlalu banyak dapat
diberikan amfoterisin liposomal 6 mg/kgBB.
b) Amfoterisin B deoksikolat (0,7 mg/kg per hari IV) plus flukonazol (800 mg per hari) untuk
2 minggu diikuti dengan pemberian flukonazol oral (800 mg perhari) untuk minimal 8
minggu.
24
c) Flukonazol (>800 mg per hari PO; lebih dianjurkan dosis 1200 mg per hari) plus flusitosin
(1100 mg/kg per hari PO) untuk 6 minggu
d) Flukonazol (800-2000 mg/kg per hari PO) untuk 10-12 minggu; jika flukonazol digunakan
tanpa flusitosin, dianjurkan pemberian > 1200 mg/hari
Terapi maintenance yang dianjurkan:
a) Flukonazol (200 mg per hari PO)
b) Itrakonazol (200 mg 2 kali sehari PO); kadar obat harus terus dipantau
c) Amfoterisin B deoksikolat (1 mg/kg per hari IV); kurang efektif dianding golongan azol
dan seringkali menyebabkan infeksi/fleitis; digunakan untuk pasien yang tidak tahan
golongan azol
Rejimen yang biasa digunakan di Bandung adalah :
a) Fase awal : flukonazol 800mg/hari selama sekurangnya 12 minggu
b) Selajutnya diberikan flukonazol 200mg/hari seumur hidup atau sampai angka CD4 > 200
selama 6 bulan berturut-turut
ARV diberikan setelah 2-10 minggu pemberian terapi anti jamur. Pemberian terlalu cepat
dapat menyebabkan IRIS. Terapi supresi atau maintenance dapat dipertimbangkan untuk
dihentikan apabila CD4 sudah > 100, namun jika CD4 menurun < 100 berikan terapi kembali.
4. Meningitis Viral
Seringkali sembuh dengan sendirinya pengobatan hanya ditujukan kepada pengobatan
simptomatik. Manfaat obat antiviral tidak diketahui secara pasti. Kenaikan tekanan intrakranial
yang simtomatik dapat diterapi dengan tindakan LP (kalau perlu dilakukan berulang)
25