Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber dari hewan telah banyak mewabah
di dunia.Istilah zoonisis telah dikenal untuk menggambarkan suatu kejadian penyakit infeksi pada
manusia yang ditularkan dari hewan vertebrata. Hal inilah yang dewasa ini menjadi sorotan publik
dan menjadi objek berbagai studi untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan wabah tersebut
yang diharapkan nantinya akan diperoleh suatu sistem terpadu untuk pemberantasan dan
penanggulangannya. Kemunculan dari suatu penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat
membawa dampak yang menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang
kesehatan masyarakat dan veteriner.

Dari sejumlah 1.415 mikroba patogen pada manusia yang diketahui, 61,6% bersumber dari
hewan. Sejumlah 616 mikroba patogen yang ditemukan pada hewan ternak, 77,3% diantaranya
merupakan multiple spesies atau spesies yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi lebih dari satu
jenis hewan. Pada karnivora domestik, dari 374 mikroba patogen,90% diantaranya diklasifikasikan
sebagai multiple spesies. Emerging zoonosis dapat dilihat secara operasional sebagai proses dua
tahap. Tahap pertama adalah pemaparan suatu agen penyakit ke suatu populasi host yang baru. Tahap
kedua adalah proses penyebaran lebih lanjut dari agen penyakit dalam populasi host baru tersebut.
Sebagian besar dari kemunculan suatu wabah penyakit berasal dari agen yang sudah berada di
lingkungan dimana agen tersebut mendapatkan kesempatan atau waktu dan kondisi yang tepat untuk
kembali menginfeksi host atau populasi yang baru. Beberapa contoh kasus emerging zoonosis dewasa
yang menjadi sorotan dunia antara lain antraks.

Kejadian antraks bersifat universal dimana dapat terjadi di seluruh wilayah dunia mulai dari
negara yang beriklim dingin, subtropis dan tropis, pada negara yang miskin, negara berkembang
hingga negara maju sekalipun. Kejadian antraks pada manusia di Indonesia hampir selalu
berhubungan dengan wabah penyakit antraks pada hewan. Di Indonesia, sepanjang tahun 2001-2004,
kasus antraks pada manusia dilaporkan terjadi setiap tahun.

1
B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:

1. Bagaimana sejarah penyakit antraks?


2. Apa definisi penyakit antraks?
3. Bagaimana etiologi penyakit antraks?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit antraks?
5. Bagaimana epidemiologi penyakit antraks?
6. Bagaimana gejala klinis penyakit antraks?
7. Bagaimana perilaku sehat sakit pada ternak?
8. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan penyakit antraks?
9. Bagaimana pemeliharaan kandang sapi?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah penyakit antraks.
2. Mengetahui definisi antraks.
3. Mengetahui tentang patofisiolohi penyakit antraks.
4. Mengetahui gejala klinis antraks.
5. Mengetahui pencegahan dan penanggulangan penyakit antraks.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Antraks adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan
bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas. Antraks bermakna “
batubara” dalam bahasa yunani dan istilah ini digunakan karena kulit para korban
akan berubah hitam. Antraks paling sering menyerang herbivore – herbivore liar dan
yang telah dijinakkan. Penyakitini bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari
hewan ke manusia namun tidak dapat ditularkan antara sesama manusia.
Penyakit Antraks atau disebut juga Radang Lymphha, Malignant pustule,
Maglinanjt edema, Woolsorters disease, Rag pickersdisease, Charbon. Penyakit
Antraks merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah
sesuai dengan undang-undang Nonor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular
dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1501 tahun 2010. Spora Bacillus Anthrax tahan
pada suhu panas di atas 43 derajat celcius. Di dalam tanah diketahui spora mampu
bertahan sampai dengan 40 tahun. Apabila lingkungan memungkinkan yaitu panas
dan lembab maka spora dapat menjadi bentuk bakteri biasa, (vegetative) yang mampu
berkembang biak (membelah diri) dengan sangat cepat. Itulah sebabnya penyakit ini
cenderung berjangkit pada musim kemarau. Penyakit antraks merupakan salah satu
penyakit dengan prevalensi yang tinggi di Benua Asia dengan sifat serangan sporadik.
Kawasan endemik antraks di Indonesia meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Tenggara. Penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan,
oleh karena itu yang diserang padaumumnya pekerja peternakan, petani, pekerja
tempat pemotongan hewan, dokter hewan, pekerja pabrik yang menangani produk-
produk hewan yang terkontaminasi oleh spora antrak, misalnya pabrik tekstil,
makanan ternak, pupuk, dan sebagainya. Antraks adalah penyakit yang disebabkan
bakteri Bacillus anthracis, yang hidup ditanah. Sel bakteri tersebut seperti spora untuk
bertahan dari ganasnya kondisi. Spora tumbuh subur secara berkoloni dalam tubuh
binatang atau manusia. Antraks terkadang menyerang hewan ternak yang jauh dari
manusia, tetapi sebagaimana diketahui pada 2001 antraks menyerang Amerika Serikat

3
antraks ditakutkan sebagai senjata biologi modern. Penularan atraks melalui daging
atau kulit binatang yang terkena antraks dimakan manusia.
B. SEJARAH
Penyakit Anthrax disebut juga Radang Limpa adalah penyakit yang
disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis dapat menyerang semua hewan berdarah
panas termasuk unggas dan manusia (bersifat zoonosis). Satwa liar yang pernah
terserang penyakit ini antara lain red deer Cervus elaphus, wapiti (Cervus elaphus
spp), moose (Alces alces) dan fallow deer (Dama dama). Secara sporadik penyakit
Anthrax pernah terjadi pada bison liar Bison bison maupun white-tailed deer
(Odocsileus virginamus). Anthrax telah dikenal sejak zaman Nabi Musa. Penyakit ini
menyerang keledai, kuda, unta, sapi dan domba. Pada tahun 1613 di Eropa 60.000
orang meninggal diduga akibat Anthrax dan tahun 1923 di Afrika Selatan dilaporkan
kematian 30.000 - 60.000 ekor hewan. Penyakit Anthrax bersifat universal karena
secara geografis tersebar di seluruh dunia, baik negara yang beriklim tropis maupun
sub tropis. Daerah Anthrax di benua Asia antara lain negara Saudi Arabia, Tiongkok,
Iran, Irak, Indonesia, Jepang, Pakistan, Siberia dan Tibet; di benua Afrika hampir
seluruh negara merupakan Daerah Anthrax; di benua Eropa antara lain negara Inggris,
Jerman dan Perancis; di benua Amerika meliputi negara-negara di Amerika Selatan
dan Amerika Utara; dan di benua Australia beberapa daerahnya merupakan sumber
penularan. Penyakit timbul secara enzootis pada saat-saat tertentu sepanjang tahun,
namun lokasi terbatas hanya pada daerah tertentu yang disebut Daerah Anthrax.

Kuman Anthrax apabila jatuh ke tanah atau mengalami kekeringan ataupun


dalam lingkungan yang kurang baik lainnya akan berubah menjadi bentuk spora.
Spora Anthrax ini tahan hidup sampai 40 tahun lebih, dapat menjadi sumber
penularan penyakit baik kepada manusia maupun hewan ternak. Oleh karena itu
penyakit Anthrax dapat disebut “penyakit tanah” dan berpotensi menimbulkan
kejadian luar biasa/wabah, meskipun kejadian biasanya terlokalisir di sekitar wilayah
tersebut saja. Kewaspadaan terhadap penyakit Anthrax hendaknya lebih ditingkatkan
pada Daerah Bebas Anthrax yang memiliki perbatasan darat dengan daerah tertular,
baik perbatasan kabupaten/kota maupun provinsi. Apabila telah diketahui sumber
infeksi, segera musnahkan sumber infeksi tersebut dan putuskan seluruh rantai
penularan diikuti dengan pencegahan penyakit dan pengobatan hewan yang berisiko
tinggi. Jika tidak dilaksanakan pengawasan lalu lintas ternak, pemberantasan dan
4
pengendalian penyakit serta pemberantasan vektor lalat penghisap darah secara ketat
maka kerugian ekonomi yang ditimbulkan penyakit sangat besar.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/


Kpts./OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis,
penyakit Anthrax merupakan salah satu dari 25 penyakit yang menimbulkan kerugian
ekonomi, keresahan masyarakat, dan kematian hewan yang tinggi.

Menutut OIE, penyakit Anthrax juga merupakan salah satu penyakit yang
masuk dalam daftar penyakit penting terkait importasi dalam perdagangan
internasional. Berdasarkan laporan OIE (WAHIS Interface OIE 2016), tercatat 94 dari
180 negara anggota (52,2%) telah melaporkan kejadian penyakit Anthrax dalam 5
tahun terakhir.

Di Indonesia berita tentang suatu penyakit menyerupai Anthrax yang


menyerang ternak kerbau di daerah Teluk Betung (Lampung) pernah dimuat dalam
“Javasche Courant” tahun 1884. Kemudian diberitakan lebih jelas berjangkitnya
Anthrax oleh “Kolonial Veslag“ sebagai berikut: Tahun 1885 terjadi kasus Anthrax di
Buleleng (Bali), Palembang (Sumatera Selatan) dan Lampung. Pada tahun 1886
penyakit berjangkit di Banten, Padang (Sumatera Barat), Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur dan Pulau Rote (NTT) dengan wabah berkali-kali di Karawang
(Jawa Barat), Madura (Jawa Timur), Tapanuli (Sumatera Utara), Palembang dan
Bengkulu sedangkan wabah di Probolinggo (Jawa Timur) dan Banten terpencar di
beberapa daerah. Laporan kejadian penyakit tersebut menunjukkan bahwa sampai
dengan tahun 1886 sebaran penyakit telah mencapai sejumlah 12 dari 34 provinsi.
Diduga penyakit Anthrax di Indonesia berasal dari sapi perah asal Eropa dan sapi
Ongole asal Asia Selatan yang didatangkan pada pertengahan abad 19. Selama tahun
1906 s/d 1921 kejadian wabah Anthrax dicatat dalam buku tahunan Departement van
Landbouw, Nijverheiden Handel, kemudian untuk tahun 1922 s/d 1957 dicatat dalam
laporan tahunan di Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst (sejak tahun 1942
dinamakan Pusat Jawatan Kehewanan). Selama kedua kurun waktu tersebut letupan
wabah terjadi di seluruh Pulau Sumatera yaitu pada tahun 1910 di Jambi dan
Palembang; Tahun 1914 di Padang, Bengkulu dan Palembang; Tahun 1927/28 di
Padang, Bukittinggi, Palembang dan Jambi; Dan Tahun 1930 di Palembang, Sibolga
dan Medan. Catatan kejadian Anthrax era tahun 1906 s/d 1957 tersebut menunjukkan
5
bahwa kasus penyakit terjadi hanya di sejumlah 5 provinsi dan tidak ada laporan
kasus ulang dari provinsi Bali, Banten, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Jawa Timur dan P. Rote NTT. Hal ini agak berbeda menurut catatan
Sumanegara (1958) bahwa sebaran Anthrax antara tahun 1906 s/d 1957 terjadi di
sejumlah 14 provinsi.

Menurut Sumanegara kejadian Anthrax di Indonesia yang menyerang ternak


sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi dalam kurun tahun 1906-1957 terdapat
di daerah -- daerah Sumatera (Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Bukittinggi,
Sibolga dan Medan); Kalimantan; P. Jawa dan Madura (Jakarta, Purwakarta, Bogor,
Parahiangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Madiun dan
Bojonegoro); Nusa Tenggara (di semua pulau di NTB dan NTT); dan Sulawesi
(Sulawesi Selatan, Manado, Donggala dan Palu). Pada daerah-daerah tersebut yang
sering terjadi wabah terutama di NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Jambi.

Setelah tahun 1957 beberapa daerah yang pernah tertular Anthrax tetapi
dilaporkan tidak pernah terjadi kasus lagi adalah Sumatera Utara (wabah pertama
tahun 1886, terakhir 1957), Bengkulu (pertama tahun 1886, terakhir 1957), Sumatera
Selatan (pertama tahun 1885, terakhir 1914), Lampung (pertama tahun 1884, terakhir
tahun 1885), Kalimantan (pertama tahun 1886) dan Sulawesi Utara.

Pada tahun 1975 kejadian Anthrax di Jambi tercatat mempunyai morbiditas


tertinggi yaitu 53 per 100.000 ternak (wabah pertama tahun 1910, kemudian tahun
1975, kembali tahun 1979 dan 1984/1985 tetapi sejak tahun 1989 sampai saat ini tidak
muncul kasus), sedangkan di Sulsel, Sultra, NTB, NTT dan Jawa Barat morbiditas
lebih rendah yaitu 15 tiap 100.000 (derajat sakit di Jawa Barat adalah terkecil yaitu
0,1 tiap 100.000). Pada tahun 1980 ketika musim kering di NTT, ternak di Sumba
Timur memakan rumput sampai ke akar yang ternyata mengandung spora Anthrax
sehingga terjadi wabah dengan urutan korban ternak terbanyak adalah kuda, sapi,
kerbau, babi dan anjing. Pada tahun 1990 terjadi wabah di Jawa Tengah (Boyolali,
Salatiga dan Semarang) yang berasal dari sapi perah eks impor Amerika Serikat.
Kemudian tahun 1999 kasus Anthrax terjadi di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat,
sejumlah 32 orang terkena Anthrax dan sembuh diobati. Sumber penularan adalah dari
burung unta (Struthio camelus) yang positif Anthrax 150 ekor dan telah dilakukan

6
pemusnahan terhadap 3.324 ekor di Desa Ciparung Sari/ Kecamatan
Cempaka/Kabupaten Purwakarta.

Saat ini yang merupakan daerah endemis Anthrax di Indonesia adalah 14


provinsi (37 kabupaten/kota) yaitu Sumatera Barat (kasus terakhir tahun 1986 di Desa
Sagulube, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai), Jambi (kasus terakhir
tahun 1989), Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Di
Yogyakarta (2003), Jawa Timur (2014), Sulawesi Barat (2016) dan Gorontalo (2016).

Tahun 2016, wabah Anthrax telah terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan


(Kecamatan Kulo Kabupaten Sidrap, Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa, dan
Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang, Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros),
Provinsi Sulawesi Barat ( Kecamatan Campalagian dan Kecamatan Wonomulyo
Kabupaten Poliwali Mandar), Provinsi Gorontalo (Kecamatan Telaga Biru Kabupaten
Gorontalo, Kecamatan Kota Selatan Kota Gorontalo daN Kecamatan Bolango Selatan
Kabupaten Bone Bolango), dan Provinsi Jawa Timur (Kecamatan Donorojo, Punung
dan Pringkuku Kabupaten Pacitan).

Wabah Anthrax yang terjadi di Provinsi Gorontalo merupakan kasus pertama


di provinsi ini. Sampai dengan bulan Oktober tahun 2016 apabila dilihat seluruh
kejadian Anthrax di 34 provinsi di Indonesia, maka kasus Anthrax telah terjadi di 22
provinsi dan hanya 7 provinsi yang tidak pernah dilaporkan terjadi kasus yaitu Aceh,
Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, Maluku, Papua dan Papua Barat.

C. ETIOLOGI
Bacillus anthracis, kuman berbentuk batang ujungnya persegi dengan sudut-
sudut tersusun berderet sehingga nampak seperti bambu atau susunan bata,
membentuk spora yang bersifat gram positif.
Basil berbentuk vegetatif bukan merupakan organisme yang kuat, tidak tahan hidup
untuk berkompetisi dengan organisme saprofit. Basil antraks tidak tahan terhadap
oksigen, oleh karena itu apabila sudah dikeluarkan dari badan ternak dan jatuh di
tempat terbuka, kuman menjadi tidak aktif lagi, kemudian melindungi diri dalam
bentuk spora.

7
Apabila hewan mati karena Antraks dan suhu badannya antara 28-30°C, hasil
antraks tidak akan didapatkan dalam waktu 3-4 hari, tetapi kalau suhu antara 5-10°C
pembusukan tidak terjadi, basil antraks masih ada selama 3-4 minggu. Basil Antraks
dapat keluar dari bangkai hewan dan suhu luar diatas 20°C, kelembaan tinggi hasil
tersebut cepat berubah menjadi spora dan akan hidup. Bila suhu rendah maka basil
antraks akan membentuk spora secara perlahan-lahan. (Christie 1983)
Bacilus antracis penyebab penyakit antraks mempunyai dua bentuk siklus hidup, yaitu
fase vegetatif dan fase spora.
1. Fase Vegetatif
Berbentuk batang panjang 1-8 mikrometer, lebar 1-1,5 mikrometer. Jika spora
antraks memasuki tubuh inang (manusia atau hewan menambah biak) atau keadaan
lingkungan yang memungkinkan spora segera berubah menjadi bentuk vegetatif,
kemudian memasuki fase berkembang biak. Sebelum inangnya mati, sejumlah besar
bentuk vegetatif bakteri antraks memenuhi darah. Bentuk vegetatif biasa keluar dari
dalam tubuh melalui pendarahan di hidung, mulut, anus, atau pendarahan lainnya.
Ketika inangnya mati dan oksigen tidak tersedia lagi di darah bentuk vegetatif itu
memasuki fase tertidur (dorman/tidak aktif). Jika kemampuan dalam fase tertidur itu
terjadi kontak dengan oksigen di udara bebas, bakteri antraks membentuk spora
(prosesnya disebut aporulasi). Pada fase ini juga dikaitkan dengan penyebaran antraks
melalui serangga, yang akan membawa bakteri dari satu inang ke inang lainnya
sehingga terjadi penularan antraks lainnya sehingga terjadi penularan antraks kulit,
akan tetapi hal tersebut masih harus diteliti lebih lanjut.
2. Fase Spora
Berbentuk seperti bola golf, berukuran 1-1,5 mikrometer. Selama fase ini
bakteri dalam keadaan tidak aktif (dorman), menunggu hingga dapat berubah kembali
menjadi bentuk vegetatif dan memasuki inangnya. Hal ini dapat terjadi karena daya
tahan spora antraks yang tinggi untuk melewati kondisi tak ramah termasuk panas,
radiasi ultraviolet dan ionisasi, tekanan tinggi, dan sterilisasi dengan senyawa kimia.
Hal itu terjadi ketika spora menempel pada kulit inang yang terluka, termakan, atau
karena ukurannya yang sangat keci terhirup. Begitu spora antraks memasuki tubuh
inang, spora itu beubah ke bentuk vegetatif.
D. MORFOLOGI

8
Bacillus anthracis adalah bakterium Gram-positif berbentuk tangkai yang
berukuran sekitar 1x6 mikrometer dan merupakan penyebab penyakit antraks.B.
anthracis adalah bakterium pertama yang ditunjukkan dapat menyebabkan penyakit.
Hal ini diperlihatkan oleh Robert Koch pada tahun 1877. Nama anthracis berasal dari
bahasa Yunani anthrax (ἄνθραξ), yang berarti batu bara, merujuk kepada penghitaman
kulit pada korban.Bakteria ini umumnya terdapat di tanah dalam bentuk spora, dan
dapat hidup selama beberapa dekade dalam bentuk ini. Jika memasuki sejenis
herbivora, bakteria ini akan mulai berkembang biak dalam hewan tersebut dan
akhirnya membunuhnya, dan lalu terus berkembang biak di bangkai hewan tersebut.
Saat gizi-gizi hewan tersebut telah habis diserap, mereka berubah bentuk kembali ke
bentuk spora.Bacillus anthracis mempunyai gen dan ciri-ciri yang menyerupai
Bacillus cereus, sejenis bakterium yang biasa ditemukan dalam tanah di seluruh
dunia, dan juga menyerupai Bacillus thuringiensis, pantogen kepada larva
Lepidoptera.
Klasifikasi ilmiah

Kingdom : Bacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Bacillaceae

Genus :Bacillus

Spesies : B. Anthracis

E. JENIS-JENIS ANTRAKS

1. Antraks kulit ( Cutaneus Anthrax )

9
Kejadian antraks kulit mencapai 90% dari keseluruhan kejadian antraks di
Indonesia. Masa inkubasi antara 1- 5 hari ditandai dengan adanya papula pada
inokulasi, rasa gatal tanpa disertai rasa sakit yang dalam waktu 2-3 hari membesar
menjadi vesikel berisi cairan kemerahan kemudian haemoragik dan menjadi jaringan
nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi kerak berwarna hitam, kering yang disebut
Eschar ( patognomonik ) Selain itu ditandai juga dengan demam, sakit kepala dan
dapat terjadi pembengkakan lunak pada kelenjar limfe regional. Apabila tidak
mendapat pengobata , angka kematian berkisar 5 – 20 %.
2. Antraks saluran Pencernaan ( Gastrointestinal Anthax)
Masa inkubasi 2-5 hari. Penularan melalui makanan yang tercemar kuman
atau spora misal daging, jerohan dari hewan, sayur - sayuran dan sebagainya, yang
tidak dimasak dengan sempurna atau pekerja peternakan makan dengan tengan yang
kurang bersih yang tercemar kuman atau spora antraks. Penyakit ini dapat
berkembang menjadi tingkat yang berat dan berakhir dengan kematian
dalam waktu kurang dari 2 hari. Angka kematian tipe ini berkisar 25 – 75 %.
Gejala antraks saluran pencernaan adalah timbulnya rasa sakit perut hebat, mual,
muntah, tidak nafsu makan, demam, konstipasi gastroenteritis akut yang kadang-
kadang disertai darah, hematemesis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran
kelenjar limfe daerah inguinal ( lipat paha) , perut membesar dan keras,
kemudian berkembang menjadi aseites dan oedem scrotum serta sering dijumpai
pendarahan gastrointestinal.
3. Antraks Paru- paru ( Pulmonary Anthrax )
Masa inkubasi 1 -5 hari ,biasanya 3-4 hari. Gejala klinis antraks paru- paru
sesuai dengan tanda- tanda bronkhitis. Dalam waktu 2-4 hari gejala semakin
berkembang dengan gangguan respirasi berat, demam, sianosis, dispneu, stridor,
keringat berlebihan, detak jantung meningkat, nadi lemah dan cepat. Kematian
biasanya terjadi 2 -3 hari setelah gejala klinis timbul.
4. Antraks meningitis ( Meningitis Anthrax)
Terjadi karena komplikasi bentuk antraks yang lain, dimulai dengan adanya
lesi primer yang berkembang menjadi meningitis hemoragik dan kematian dapat
terjadi antara 1 – 6 hari. Gambaran klinisnya mirip dengan meningitis purulenta akut
yaitu demam, nyeri kepala hebat, kejang - kejang umum, penurunan kesadaran dan
kaku kuduk.
F. MEKANISME TERJADINYA PAPARAN

10
Sumber penyakit antraks adalah hewan ternak herbivore. Manusia terinfeksi
antraks melalui kontak dengan tanah, hewan, produk hewan yang tercemar spora
antraks. Penularan juga bisa terjadi bila menghirup spora dari produk hewan yang
sakit seperti kulit dan bulu. Manusia dapat terinfeksi bila kontak dengan hewan yang
terkena anthraks, dapat melalui daging, tulang, kulit, maupun kotoran. Meskipun
begitu, hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau kontak
dengan orang yang mengidap antraks Antraks biasa ditularkan kepada manusia
disebabkan pengeksposan kepada hewan yang sakit atau hasil ternakan seperti kulit
dan daging, atau memakan daging hewan yang tertular antraks. Selain itu, penularan
juga dapat terjadi bila seseorang menghirup spora dari produk hewan yang sakit
misalnya kulit atau bulu yang dikeringkan. Pekerja yang tertular kepada hewan yang
mati dan produk hewan dari negara di mana antraks biasa ditemukan dapat tertular B.
anthracis, dan antraks dalam ternakan liar dapat ditemukan di Amerika Serikat.
Walaupun banyak pekerja sering tertular kepada jumlah spora antraks yang banyak,
kebanyakan tidak menunjukkan simptom.

Antraks dapat memasuki tubuh manusia melalui usus, paru-paru (dihirup),


atau kulit (melalui luka). Antraks tidak mungkin tersebar melalui manusia kepada
manusia. Bakteri B. anthracis ini termasuk bakteri gram positif, berbentuk basil, dan
dapat membentuk spora. Endospora yang dibentuk oleh B. anthracis akan bertahan
dan akan terus berdormansi hingga beberapa tahun di tanah. Di dalam tubuh hewan
yang saat ini menjadi inangnya tersebut, spora akan bergerminasi menjadi sel
vegatatif dan akan terus membelah di dalam tubuh. Setelah itu, sel vegetatif akan
masuk ke dalam peredaran darah inangnya. Proses masuknya spora anthrax dapat
dengan tiga cara, yaitu :
1. inhaled anthrax, di mana spora anthrax terhirup dan masuk ke dalam saluran
pernapasan.
2. cutaneous anthrax, di mana spora anthrax masuk melalui kulit yang terluka. Proses
masukkanya spora ke dalam manusia sebagian besar merupakan cutaneous anthrax
(95% kasus).
3. gastrointestinal anthrax, di mana daging dari hewan yang dikonsumsi tidak dimasak
dengan baik, sehingga masih megandung spora dan termakan.

11
Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit, inhalasi
(ruang alveolar) atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan difagosit oleh
makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada anthraks kutaneus dan
gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi primer yang menimbulkan
edema lokak dan nekrosis. Endospora akan mengalami germinasi di dalam makrofag
menjadi bentuk vegetative. Bentuk vegetatif akan keluar dari makrofag, berkembang
biak di dalam sistem limfatik dan mengakibatkan limfadenitis hemoragik regional,
kemudian ke dalam sirkulasi dan menyebabkan septikemia.
Faktor virulensi utama B.anthracis dicirikan (encoded) pada dua plasmid virulen yaitu
pXO1 dan pXO2. Plasmid pXO1 mengandung gen yang memproduksi kompleks
toksin antraks berupa faktor letal, faktor edema, dan antigen protektif. Antigen
protektif merupakan komponen yang berguna untuk berikatan dengan reseptor toksin
antraks (ATR = Anthrax Toxin Receptor) di permukaan sel. Setelah berikatan dengan
reseptor maka oleh furin protease permukaan sel, antigen protektif yang berukuran 83-
kDa itu membelah menjadi bentuk 63-kDa dan selanjutnya bentuk itu akan
mengalami oligomerisasi menjadi bentuk heptamer.
Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat pengikatan FL dan atau
FE. Antigen protektif yang telah mengalami pembelahan, bersama reseptornya akan
melakukan pengelompokan ke dalam lipid rafts sel kemudian mengalami endositosis.
Melalui lubang yang terbentuk terjadilah translokasi FE dan FL ke dalam sitosol yang
selanjutnya dapat menimbulkan edema, nekrosis, dan hipoksia. FE merupakan
calmodulin-dependent adenylate cyclase yang mengubah adenosine triphosphate
(ATP) menjadi cy-clic adenosine monophosphate (cAMP) yang menyebabkan edema.
FE menghambat fungsi netrofil dan aktivitas oksidatif sel polimormonuklear (PMN).
FL merupakan zinc metal-loprotease yang menghambat aktifitas mitogen-activated
protein kinase kinase (MAPKK) in vitro dan dapat menyebabkan hambatan signal
intraselular. FL menyebabkan makrofag melepaskan tumor necrosis-α (TNF-α) dan
interleukin-1 (IL-1) yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian mendadak.
Sebagai respon terhadap toxin, tubuh akan membentuk cytokines(TNF-α, dan IL-1)
dan vasodilator substance (nitric oxide, prostaglandin E₂, prostacycline) yang disebut
juga proinflamatory cytokines. Pada waktu yang bersamaan tubuh membentuk anti
inflamatory cytokines (IL-10, IL-11, IL-13 dsb). Bila keduanya seimbang akan terjadi
homeostasis, bila proinflamatory lebih dominan, maka akan terjadi Systemic

12
Inflamatory Respons (SIRS). Plasmid pXO2 mengkode tiga gen (capB, capC dan
capA) yang terlibat dalam sintesis kapsul polyglutamyl. Kapsul menghambat proses
fagositosis bentuk vegetatif B.anthracis.
G. GEJALA ANTRAKS
Gejala klinis antraks pada manusia dibagi menjadi 4 bentuk yaitu antraks kulit,
antraks saluran pencernaan, antraks paru dan antraks meningitis.
1. Antraks Kulit (Cutaneus Anthrax)
Kejadian antraks kulit mencapai 90% dari keseluruhan kejadian antraks di
Indonesia. Masa inkubasi antara 1-5 hari ditandai dengan adanya papula pada
inokulasi, rasa gatal tanpa disertai rasa sakit, yang dalam waktu 2-3 hari membesar
menjadi vesikel berisi cairan kemerahan, kemudian haemoragik dan menjadi jaringan
nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi kerak berwarna hitam, kering yang disebut
Eschar (patognomonik). Selain itu ditandai juga dengan demam, sakit kepala dan
dapat terjadi pembengkakan lunak pada kelenjar limfe regional.Apabila tidak
mendapat pengobatan, angka kematian berkisar 5-20%.
2. Antraks Saluran Pencernaan (Gastrointestinal Anthax)
Masa inkubasi 2-5 hari.Penularan melalui makanan yang tercemar kuman atau
spora misal daging, jerohan dari hewan, sayur- sayuran dan sebagainya, yang tidak
dimasak dengan sempurna atau pekerja peternakan makan dengan tengan yang kurang
bersih yang tercemar kuman atau spora antraks.Penyakit ini dapat berkembang
menjadi tingkat yang berat dan berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 2
hari.Angka kematian tipe ini berkisar 25-75%.
Gejala antraks saluran pencernaan adalah timbulnya rasa sakit perut hebat,
mual, muntah, tidak nafsu makan, demam, konstipasi, gastroenteritis akut yang
kadang-kadang disertai darah, hematemesis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembesaran kelenjar limfe daerah inguinal (lipat paha), perut membesar dan keras,
kemudian berkembang menjadi ascites dan oedem scrotum serta sering dijumpai
pendarahan gastrointestinal..
3. Antraks Paru-paru (Pulmonary Anthrax)
Masa inkubasi : 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Gejala klinis antraks paru-paru
sesuai dengan tanda-tanda bronchitis.Dalam waktu 2-4 hari gejala semakin
berkembang dengan gangguan respirasi berat, demam, sianosis, dispneu, stridor,
keringat berlebihan, detak jantung meningkat, nadi lemah dan cepat.Kematian
biasanya terjadi 2-3 hari setelah gejala klinis timbul.
4. Antraks Meningitis (Meningitis Anthrax)

13
Terjadi karena komplikasi bentuk antraks yang lain, dimulai dengan adanya
lesi primer yang berkembang menjadi meningitis hemoragik dan kematian dapat
terjadi antara 1-6 hari. Gambaran klinisnya mirip dengan meningitis purulenta akut
yaitu demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang umum, penurunan kesadaran dan
kaku kuduk.
H. TOKSIN YANG BERPERAN
Toksin yang dihasilkan oleh B. anthracis berasal dari plasmid pX01 yang
memiliki AB model (activating dan binding). Toksin dari B. anthracis terdiri dari tiga
jenis, yaitu protective antigen (PA) yang berasal dari kapsul poly D- glutamic
acid, edema factor (EF), dan lethal factor (LF). Ketiga toksin ini tidak
bersifat racun secara individual, namun dapat bersifat toksik bahkan letal jika ada dua
atau lebih. Toksin PA dan LF akan mengakibatkan aktivitas yang letal, EF dan PA
akan mengakibatkan penyakit edema (nama lain dari penyakit anthrax), toksin EF dan
LF akan saling merepresi (inaktif), sedangkan jika ada ketiga toksin tersebut (PA, LF,
dan EF), maka akan mengakibatkan edema, nekrosis dan pada akhirnya
mengakibatkan kematian (letal).
I. PENGOBATAN ANTRAKS
Antibiotik yang biasa diberikan sebagai pengobatan anthrax yaitu:

1. Ciprofloxacin

2. Doxycycline

3. levofloxacin.

Pengobatan anthrax akan efektif jika dilakukan sesegera mungkin, dan seringkali
dengan menggunakan kombinasi sejumlah antibiotik. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat keberhasilan pengobatan, adalah:

1.Usia penderita.

2.Kondisi kesehatan penderita secara umum.

3.Luas bagian tubuh yang terinfeksi.

Penderita anthrax inhalasi seringkali tidak merespon pengobatan dengan baik,


karena bakteri sudah terlanjur memproduksi banyak racun yang tidak dapat dihilangkan
seluruhnya oleh obat-obatan. Sedangkan pada anthrax injeksi, beberapa kasus dapat
disembuhkan dengan mengangkat jaringan tubuh yang terinfeksi melalui pembedahan.
14
J. CONTOH KASUS ANTRAKS
Propinsi NTB terdiri atas 6 kabupaten yang terdapat di dua pulau, yaitu
Kabupaten Lombok Barat,Lombok Tengah dan Lombok Timur di Pulau
Lombok,Kabupaten Sumbawa, Dompu dan Bima di Pulau Sumbawa.Situasi penyakit
antraks secara umum dalam kurun waktu 11 tahun di Propinsi NTB disajikan dalam
Tabel I (sumber data dari Laboratorium Tipe B) dan Tabel 2 (sumber data dari Seksi
Kesehatan Hewan).Dari Tabel 1 dapat diungkap bahwa di Pulau Lombok dari tahun
1984 sampai dengan tahun 1994 dilaporkan 5 kasus antraks di Kabupaten Lombok
Barat. Sementara itu, menurut laporan Seksi Kesehatan Hewan (Tabel 2) kasus antraks
di Pulau Lombok dilaporkan terjadi di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok
Tengah.Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa, dari tahun 1988 hingga tahun 1990
dilaporkan 21 kasus antraks di Kabupaten Lombok Tengah. Sementara itu,di
Kabupaten Lombok Barat kasus antraks barudilaporkan sebanyak 3 kali, masing-
masing tahun 1985 (1 kasus), tahun 1988 (2 kasus) dan tahun 1992 (2 Kasus antraks di
NTB berdasarkan bulan kejadian Kasus antraks di Propinsi NTB berdasarkan bulan
kejadiannya disajikan pada Tabel 3 dan digambarkan dengan histogram (Gambar 1).
Dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1992 hampir setiap bulan dilaporkan ada kasus
antraks, kecuali pada tahun 1989. Data pada Tabel 3 ini kemudian dianalisis dengan
metode deret waktu (time series) .
Rata-rata kasus antraks secara bergulir tiga-bulanan (rolling three month
average) untuk menghilangkan random variation disajikan pada Tabel 4, sehingga ada
suatu seri kasus antraks setiap bulan selama 11 tahun.Dengan demikian, pola letupan
kasus antraks pada Tmak dan kecenderungan kejadiannya dari tahun 1984 sampai
dengan tahun 1994 dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 2. Pada gambar
tersebut terlihat bahwa kasus antraks pada Tmak di NTB cenderung menurun yang
ditunjukkan dengan persamaan regresi linier Y= 6,04 - 0,0162 X.kasus) .

15
BAB III
PENUTUP

16
A. Kesimpulan
Antraks merupakan penyakit menular akut dan sangat mematikan yang
disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas. Sel
bakteri tersebut seperti spora untuk bertahan dari ganasnya kondisi. Spora tumbuh subur
secara berkoloni dalam tubuh binatang atau manusia.
Sumber penyait anthraks adalah hewan ternak herbivora. Manusia terinfeksi
anthraks melalui kontak dengan tanah, hewan, produk hewan yang tercemar spora
anthraks. Penularan juga bisa terjadi bila mengirup spora dari produk hewan yang sakit
seperti kulit dan bulu.
Penularan penyakit anthraks pada manusia pada umumnya karena manusia
mengonsumsi daging yang berasal dari ternak yang mengiap penyakit tersebut. Meskipun
hanya mengonsumsi dalam jumlah kecil, B.a mempuyai daya menimbulkan penyakit
sangat tinggi. Terlebih pada saat pertahanan tubuh manusia menjadi rendah akibat
kelaparan, defisiensi vitamin A, keracunan (alkohol), iklim yang jelek, dan stress.

B. Saran
Masyarakat dalam melakukan kegiatan yang berhubungan dengan ternak harus
berhati-hati. Selalu mamakai alat pelindung diri dan menjaga higienis perorangan agar
tidak terkena spora Bacillus anthracis. Banyak membaca informasi tentang anthraks,
diharapkan dapat lebih meningkatkan pemahaman dan pencegahan secara dini. Jika
terjadi infeksi segera dibawa ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan dan
diharapkan tidak menular kepada yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Rahim, Abdul dkk. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Bianrupa
Aksara: Jakarta

Dwidjoseputro,D. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan: Malang Akoso., B. 2009.


Epidemiologi dan Pengendalian Antrhrax Penyakit Menular pada Hewan dan Manusia.
Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI): Yogyakarta
17
Adji. SR.dkk. 2006. Pengendalian penyakit antraks: diagnosis. vaksinasi daninvestigasi.
Wartazoa vol. 16 no . 4 th. 2006. Bogor.
Anonim.2011.hasil-uji klinis lima pasien positif antraks.http://www.solopos.com/2011/di
akses tanggal 27MEI 2019.
Arikunto. S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta.Jakarta.
Kepmenkes RI. 2003. Pedoman penyelengaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit
Notoatmodjo. S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.Jakarta.
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian IlmuKeperawatan.Salemba
Medika.Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai