Anda di halaman 1dari 16

AYAM MATI DALAM LUMBUNG

Bencana Kelaparan di Karawang Tahun 1977

Raden Muhammad Mulyadi

r.m.mulyadi@unpad.ac.id

Departemen Sejarah dan Filologi


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Karawang yang merupakan salah satu daerah tingkat II di Jawa Barat yang dikenal
sebagai salah satu daerah penghasil beras yang utama di Indonesia. Hal itu
sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda. Demikian juga pada
masa Orde Baru, Karawang dijadikan daerah sentra penghasil beras nasional. Hal
itu menandakan bahwa pada 1970-an produksi beras di Karawang sangat besar
jumlahnya. Akan tetapi, ironisnya di daerah sentra penghasil beras inilah terjadi
peristiwa kelaparan yang menjadi isu nasional. Penduduknya banyak yang tidak
dapat menikmati beras yang dihasilkan daerahnya. Melalui makalah ini dijelaskan
faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa tersebut. Selain itu,
makalah ini juga memperlihatkan tanggapan dan tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru terhadap peristiwa kelaparan tersebut. Peristiwa ini sangat
memukul “wibawa” pemerintah Orde Baru, karena pada saat itu pemerintah sedang
menggiatkan pembangunan pertanian sementara di salah satu daerah sentra
penghasil berasnya sendiri terjadi kekurangan beras sebagai pangan utama
masyarakat Indonesia.
Kata kunci: Karawang, Beras, Kelaparan, Pertanian, Orde Baru

1. Latar Belakang
Pada tahun 1977 di beberapa wilayah di Indonesia, terutama wilayah Pulau
Jawa, terjadi peristiwa kelaparan. Di antara wilayah yang paling parah dilanda
kelaparan adalah wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat (Kompas, 20 Oktober 1977:
VIII). Penyebab utama dari peristiwa kelaparan pada 1977 adalah gagal panen di
provinsi-provinsi yang dilanda kelaparan. Kegagalan panen secara umum terutama
disebabkan oleh musim kemarau yang berkepanjangan, banjir dan serangan hama.
1

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


Salah satu indikasi kegagalan panen adalah tingginya jumlah impor beras selama
tahun 1977 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 1977 Indonesia telah
mengimpor beras sebanyak 2 juta ton dari berbagai negara. Jumlah tersebut lebih
tinggi apabila dibandingkan tahun 1976 yang mencapai 1,6 juta ton. Di samping
disebabkan kegagalan panen pada 1977, memang naiknya jumlah impor beras juga
disebabkan oleh terjadinya peningkatan konsumsi pada masyarakat1
Karawang merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat yang paling parah
menderita kelaparan apabila dibandingkan daerah-daerah lainnya. Ketua
Penanggulangan Bencana Alam Pusat dan Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang
Pertahanan dan Keamanan, Brigjen Jahmun Sudjono mengemukakan bahwa
penilaian tersebut berdasarkan atas angka penduduk yang menderita kelaparan
mencapai 50 ribu jiwa. Jumlah angka penderita kelaparan tersebut sama dengan
angka yang dikemukakan Bupati Karawang, Tata Suwanta Hadisaputra Jumlah
penderita tersebut berada di dua kecamatan yang paling parah menderita kelaparan
yaitu Kecamatan Pedes dan Kecamatan Rawamerta (Kompas, 20 Oktober: VIII
dan Pelita, 3 Oktober 1977: I).2
Gambaran mengenai tingkat keparahan lainnya adalah jumlah korban yang
besar. Hal itu dapat dilihat dari salah satu desa di kecamatan Pedes yang menderita
kelaparan menurut Kepala Desa Dongkal adalah 5.000 jiwa. Sementara jumlah
keseluruhan masyarakat desa Dongkal adalah 9.700 jiwa (Kompas, 20 Oktober
1977: VIII). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban kelaparan di desa
Dongkel adalah hampir 50%.
Tingkat keparahan tersebut juga dapat diketahui dengan melihat konsumsi
makanan penduduk Karawang yang kelaparan tersebut yaitu eceng gondok
(eichhornia crasssipes). Suatu tumbuhan yang tidak biasa dikonsumsi oleh manusia
(Tito Subakti. Kompas, 21 Oktober 1977: IV dan IX). Menurut penduduk Desa
Dongkal Kecamatan Pedes, di antara mereka ada yang sudah tiga hari tidak makan
nasi. Bahkan seorang penduduk mengakui sudah tujuh hari hanya makan dedaunan
saja (Kompas, 20 Oktober 1977: VIII dan Pelita, 3 Oktober 1977: I).
Bupati Karawang Tata Suwanta Hadisaputra menolak berita-berita yang
menyatakan telah terjadi kelaparan di Karawang, dia menyatakannya dengan
istilah kekurangan makan. Istilah lainnya yang digunakan oleh Bupati adalah
kurang makan.3

1
Bustanul Arifin, Kepala Badan Urusan Logistik – Bulog – dalam Kompas, 2 Desember 1977: I.
2
Menurut Harian Kompas pada tanggal yang sama, jumlah penderita sebenarnya terus bertambah.
Solichin GP, Sekdalopang juga menyatakan bahwa jumlah penderita kelaparan adalah 50 ribu jiwa
(Kompas, 4 Oktober 1977. Hal I). Lihat juga Pelita, 8 Oktober 1977: I).
3
Tito Subakti. “Segi Lain dari Kegagalan di Desa Rangdu.” Kompas, 21 Oktober 1977. Hal IV dan
IX. Lihat juga Berita Buana, 17 Oktober 1977.

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


Gubernur Jawa Barat, A Kunaefi menyatakan bahwa situasi Jawa Barat saat
itu bukan merupakan “rawan pangan” tetapi merupakan “rawan beras” pada tingkat
ringan sekali, karena menurutnya masih ada bahan pangan lain di samping beras.
Produksi karbohidrat di Jawa Barat sudah cukup tinggi yaitu sekitar 165 kg
ekuivalen beras untuk setiap orang per hari, termasuk komponen non-beras sekitar
10% (Pikiran Rakyat, 17 Oktober 1977: 1 dan Berita Yudha, 21 Oktober 1977:
1977: IV)). Meskipun pada dasarnya menyatakan bahwa persediaan beras di Jawa
Barat mencukupi, ketua Depot Logistik (Dolog) Jawa Barat, Lily Kusumah
menyatakan bahwa yang terjadi di Karawang adalah lemahnya daya beli
masyarakat (Berita Yudha, 1977: IV).
Terlepas dari istilah-istilah yang mengindikasikan adanya kelaparan atau
rawan beras dan kekurangan daya beli, pada kenyataannya pada Nopember 1977
penderita pra-HO (Honger Odeem atau busung lapar) di Kecamatan Batujaya
Karawang seluruhnya mencapai 60 orang. Sebelumnya dilaporkan jumlah
penderita 28 orang (Kompas, 1 Nopember 1977). Kepala Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Batujaya dr. Suryana Affandi dalam
laporannya kepada Bupati pada 1 Nopember 1977 melaporkan bahwa 36 penderita
berasal dari Desa Srikamulyan, dan 24 penderita dari Desa Kutamakmur. Sejumlah
15 penderita di antaranya telah dikirim ke Rumah Sakit Umum Karawang (Kompas,
19 Nopember 1977: VIII). Menurut mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanegara yang mengunjungi pasien pada akhir Oktober, di antara pasien
rumah sakit sudah terkena HO sebanyak 3 orang, mereka bukan pra-HO lagi.
Bahkan di antara penderita HO tersebut ada yang sudah tidak dapat berjalan (Sinar
Harapan, 1 Nopember 1977: I dan Merdeka, 1 Nopember 1977: VIII)).
Mengenai kelaparan di Karawang, Presiden Soeharto, sudah sejak awal
Oktober 1977 menginstruksikan kepada semua aparat negara dari Pusat, Provinsi
dan Kabupaten untuk memberikan prioritas utama kepada persoalan kelaparan di
Karawang. Presiden menghendaki agar prioritas perhatian itu dapat menjamin
keadaan yang lebih baik dan harus menyelematkan penduduk dari kekurangan
pangan untuk kembali kepada kehidupan yang normal dalam waktu secepat
mungkin. Presiden mengkhawatirkan akan semakin memburuknya kondisi di
Karawang apabila tidak ditangani dengan cepat. Presiden Soeharto juga mengutus
Solihin GP selaku Sekretaris Pengendalian Operasionial Pembangunan
(Sekdalopbang) untuk mengetahui lebih dalam masalah kekurangan pangan di
Karawang (Pikiran Rakyat, 1 Oktober 1977, Kompas, 1 Oktober 1977: I dan Pelita,
3 Oktober 1977: I).

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


2.Faktor-faktor Terjadinya Bencana Kelaparan
Dari hasil kunjungannya ke lapangan, Solihin GP menyatakan bahwa
memang terjadi kekurangan pangan di masyarakat Karawang yang sudah
mengkhawatirkan. Apabila tidak ditangani secara cepat akan mengakibatkan
terjadinya penyakit busung lapar. Mengenai faktor-faktor penyebab bencana
kelaparan Solihin GP menyebutkan adanya kegagalan panen yang disebabkan oleh
faktor alam, yaitu kekeringan dan banjir serta serangan hama. Faktor lainnya adalah
masalah sistem monokultur yang diterapkan oleh petani. Di luar masalah faktor
alam dan masalah teknis pertanian Sekdalopbang juga menyoroti masalah
administrasi pemerintahan, pemerintah setempat kurang memperhatikan masalah
pertanian, terutama Pemerintah Daerah Tingkat II Karawang. Berikut akan dibahas
mengenai faktor-faktor terjadinya bencana alam berdasarkan surat-surat kabar yang
memberitakan masalah kelaparan di Karawang pada 1977.

2.1. Faktor Alam


Peristiwa kelaparan di Karawang diawali dengan rentetan kejadian
kegagalan panen. Kegagalan panen di daerah Karawang sering disebabkan oleh
adanya pengaruh iklim yaitu kekeringan dan hujan berlebih yang menyebabkan
banjir dan serangan hama. Hal itu misalnya terjadi di Kecamatan Pedes, Rawamerta
dan Batujaya, pada musim tanam (MT) 1975/1976 mengalami banjir, MT 1976
karena kekeringan dan serangan hama, MT 1976/1977 karena banjir, dan MT 1977
karena kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman (Her Suganda. Kompas,
10 Desember 1977: II).4
Pada 1977 banjir yang melanda Karawang terjadi pada Januari dan Februari,
akibat banjir tersebut belasan ribu hektar tanaman padi petani rusak. Pada 1977,
sampai awal Maret, luas area sawah yang rusak diakibatkan banjir adalah seluas
11.209 Ha. Selain curah hujan yang tinggi, banjir yang terjadi di Karawang pada
saat itu disebabkan oleh bobolnya tanggul sungai Citarum (Merdeka, 21 Maret
1977: VII). Sementara menurut Bupati Karawang banjir yang kerap terjadi di
Karawang disebabkan oleh karena sungai Cibeet dan sungai Cigeuntis belum
menjadi anak waduk Jatiluhur. Selama dua sungai itu belum menjadi anak waduk
Jatiluhur maka banjir masih akan terus terjadi (Berita Buana, 17 Oktober 1977).
Pada Maret 1977 tanaman padi di beberapa kecamatan di Karawang
diserang hama wereng. Beberapa kecamatan yang sawahnya mengalami serangan
wereng adalah Batujaya, Rengasdengklok, Jatisari, Cilamaya, Cikampek dan Pedes
(Merdeka, 21 Maret 1977: VII). Mengenai jenis hama yang paling ditakuti oleh
para petani di Karawang adalah hama wereng, walangsangit, lembingbatu dan tikus

4
Lihat juga Tito Subakti. “Segi Lain dari Kegagalan di Desa Rangdu.” Kompas, 21 Oktober 1977.
Hal IV dan IX.
4

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


(Pikiran Rakyat, 6 Desember 1977: VIII). Areal pesawahan yang jadi sasaran hama
wereng tidak hanya tanaman padi yang berumur satu atau dua bulan, tetapi juga di
antaranya adalah padi yang telah menguning dan siap untuk dipanen (Merdeka, 21
Maret 1977: VII).
Sampai awal Maret 1977, luas area sawah yang terkena serangan hama
wereng sekitar 8.929 Ha. Hama wereng yang menyerang Karawang berasal dari
daerah Subang. Akibat curah hujan yang tinggi di daerah Karawang telah
menyebabkan kelembaban udara yang tinggi. Kondisi udara tersebut merupakan
suatu hal yang disukai wereng. Sebagian besar tanaman padi yang terserang wereng
adalah jenis Pelita dan jenis lokal. Sementara tanaman padi jenis PB 26, PB 28, PB
30 dan PB 34 tidak terkena serangan hama (Merdeka, 21 Maret 1977: VII).
Sampai 1977 pemerintah Jawa Barat mengakui kesulitan untuk mengatasi
serangan hama wereng. Meskipun pestisida sudah disemprotkan melalui udara
dengan mengunakan pesawat ringan. Termasuk upaya menanam padi varietas
unggul tahan wereng.5 Menteri Pertanian, Toyib Hadiwidjaya juga mengakui
bahwa meskipun upaya-upaya intensifikasi dan ekstensifikasi serta pemenuhan
sarana produksi sudah dilakukan, tantangan serta hambatan termasuk serangan
hama dan penyakit tanaman akan tetap muncul (Pelita, 10 Agustus 1977: VI).

2.2. Masalah Perhatian Pemerintah


Masalah kurangnya perhatian dari aparat pemerintah adalah tidak
mengetahui ataupun tidak melaporkan peristiwa adanya kekurangan pangan di
daerahnya. Selain itu, penyuluh-penyuluh pertanian juga gagal mengetahui gejala-
gejala akan berlansungnya kegagalan panen. Padahal kondisi tersebut sebetulnya
dapat dipantau oleh pemerintah dan penyuluh pertanian (Tito Subakti. Kompas, 21
Oktober 1977: IV dan IX).
Menurut Theodorus Walandouw, Anggota Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia DPR RI dari hasil kunjungannnya ke desa-desa yang merupakan desa
kurang pangan diperoleh keterangan bahwa di daerah terjadinya peristiwa
kelaparan sudah terjadi empat kali gagal panen. Apabila daerah-daerah tersebut
mengalami panen dua kali dalam setahun, berarti sudah dua tahun mengalami gagal
panen. Akan tetapi mengapa para pejabat pemerintah di daerah tersebut tidak
melaporkannya ke atasan. Apabila pejabat tidak lalai dan melaporkan peristiwa
tersebut sejak awal dan melakukan tindakan pencegahan kelaparan maka peristiwa
kelaparan tidak akan terjadi (Berita Buana, 17 Oktober 1977 dan Berita Yudha, 15
Oktober 1977: I ). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Solihin GP, bahwa
keterlambatan antisipasi kelaparan disebabkan oleh kurang aktifnya pejabat-pejabat
daerah turun ke lapangan (Berita Yudha, 4 Oktober 1977: I).

5
R Sabur Nataprawira, Kepala Dinas Pertanian Jawa Barat dalam Kompas, 19 Oktober 1977.
5

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


Akan tetapi permasalahannya tidak sesederhana apa yang dikatakan oleh
Theodorus Walandouw, masalah gagal panen merupakan masalah yang
memperlihatkan ketidakcakapan kerja aparat pemerintah dari tingkat desa sampai
dengan tingkat gubernur, maka peristiwa gagal panen sering tidak dilaporkan ke
atasan. Demikian juga berita mengenai kegagalan panen yang menyebabkan
kelaparan ditutupi rapat-rapat. Apabila berita tersebut sampai terdengar ke atasan
bahkan sampai ke masyarakat luas maka akan merasa malu karena dinilai tidak
cakap dalam bekerja. Oleh karena itu, sering bawahan membuat laporan yang hanya
menyenangkan atasannya saja. Pada masa Orde Baru dikenal dengan istilah “Asal
Bapak Senang atau disingkat ABS” (Tito Subakti. Kompas, 21 Oktober 1977: IV
dan IX dan Kompas, 28 Oktober 1977).
Rasa malu karena dapat dianggap tidak cakap bekerja dan daerahnya
diketahui oleh masyarakat luas bahkan oleh pemerintah di atasnya mengalami
kelaparan maka Bupati Karawang pun melampiaskan kekesalannya kepada lurah
Desa Rangdu Kecamatan Pedes, H Juddin. Lurah yang dianggap sebagai penyebab
tersiarnya berita kelaparan di Karawang tersebut diberhentikan dengan hormat oleh
Bupati. Alasan Bupati memberhentikannya adalah bahwa bahwa lurah tersebut
memiliki kesehatan fisik yang buruk. Setelah 5 tahun masa baktinya dan sering
sakit, oleh karena itu Bupati tidak menugaskannya kembali dan menunjuk lurah
baru yang dipandangnya lebih muda dan gesit (Berita Buana, 17 Oktober 1977).
Akan tetapi sebenarnya lurah yang diberhentikan tersebut tidak dalam keadaan
sakit. Demikian pula penduduk Desa Rangdu masih mendukungnya. Hanya saja H.
Juddin yang telah menjadi lurah selama 12 tahun tersebut pernah melaporkan
kepada Bupati bahwa penduduk di desanya menderita kelaparan. Laporan tersebut
kemudian sampai tersiar ke masyarakat banyak, bahkan sampai ke pemerintah
pusat. Bupati tampaknya tidak dapat menerima keadaan tersebut terutama dengan
istilah “kelaparan” (Merdeka, 30 Oktober 1977: I).
Alasan pemberhentian karena telah melaporkan peristiwa kelaparan
tersebut dikuatkan dengan keterangan yang berbeda dari bupati kepada gubernur
yang menyatakan bahwa alasan pemecatan adalah masa jabatan yang telah
melampaui dari seharusnya, yaitu 10 tahun. Menurut gubernur bahwa masa jabatan
seorang lurah adalah 8 tahun.6 Apabila dilihat dari masa jabatan yang dinyatakan
bupati selama 10 tahun, sementara sebenarnya lurah H Juddin yang diberhentikan
mengakui telah menjadi lurah selama 12 tahun, maka mengapa setelah 2 tahun
kelebihan jabatan tersebut belum digantikan? Bahkan apabila dihitung berdasarkan
pengakuan H Juddin dirinya telah menjadi lurah selama 12 tahun, maka dia sudah
4 tahun lebih dari batas yang sudah ditentukan. Di samping itu, bupati tidak
menyatakan sakit sebagai suatu alasan pemberhentian lurah itu kepada gubernur.

6
Aang Kunaefi dalam Kompas, 19 Oktober 1977.
6

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


Sementara itu Solihin GP lebih menegaskan masalah lambannya
pemerintah dalam menangani kelaparan di Karawang akibat kesalahan Bupati,
karena Bupati dekonsentrasi dari tugas pokok. Kemungkinan bupati memikirkan
masalah industrialisasi di Karawang. Padahal tugas pokok bupati adalah
pembangunan ekonomi menurut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
Rencana Pembangunan Lima Tahun, yaitu pertanian. Sepanjang program pokok
pembangunan masih pertanian, maka Solihin GP mengingatkan para pemimpin
daerah harus semaksimal mungkin sering berada di desa-desa. Sebagai indikator
adanya dekonsentrasi pimpinan di Karawang, Solihin GP menunjukkan bahwa
bupati terlambat mengetahui perkiraan kejadian (Kompas, 4 Oktober 1977: II,
Pelita, 3 Oktober 1977: VII dan Pelita, 4 Oktober 1977: VIII).
Mengenai adanya keterlambatan pemerintah dalam mengetahui adanya
bencana kelaparan di Karawang menurut Lily Kusumah, Kepala Depot Logistik
(Dolog) Jawa Barat, adalah suatu kebohongan. Karena menurutnya, dia sudah
melaporkan akan adanya kekeringan di Karawang, Subang dan Indramayu yang
dapat mengakibatkan adanya bahaya kelaparan. Menurutnya laporan tersebut sudah
disampaikan ke Pemda Jawa Barat sekitar bulan Maret dan April 1977. Kekeringan
yang dimaksud bukan dikarenakan cuaca melainkan adanya penghentian pengairan
ke wilayah-wilayah tersebut oleh pengelola waduk Jatiluhur pada Agustus 1977
(Berita Yudha, 28 Oktober 1977: V).
Pejabat pemerintah derah Karawang berupaya menutupi menyebarnya
berita-berita mengenai kelaparan di Karawang salah satu caranya adalah dengan
menghalang-halangi penduduknya yang berniat mengungsi untuk mencari makan
ke tempat lain. Bahkan penduduk yang terdampak kelaparan yang sedang bekerja
di Sumatra pun dipanggil pulang dengan alasan keadaan di Karawang sudah
membaik. Hal itu dilakukan agar peristiwa kelaparan tidak menyebar luas dan
pemerintah daerah ingin membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikan
masalah tersebut (Kompas, 28 Oktober 1977).
Rasa malu yang dialami oleh suatu pemerintahan karena kegagalannya
dalam menyejahterakan penduduknya harus ditutupinya. Bukan menyelesaikan
masalahnya. Hal itulah yang membuat laporan dari daerah terlambat ke pemerintah
pusat. Bahkan banyak laporan yang tidak sesuai dengan keadaaan.
Mengenai masalah administrasi yang disoroti adalah adanya tunggakan
Bimas di Karawang yang sangat besar di Kabupaten Karawang yaitu Rp 2,7 Milyar.
Padahal tunggakan Bimas untuk seluruh Indonesia tercatat hanya Rp 8 Milyar.
Tunggakan Bimas yang besar tersebut mengganggu intensifikasi untuk beberapa
ribu Ha persawahan lainnya di Karawang (Pikiran Rakyat, 1 Oktober 1977, Pelita,
3 Oktober 1977: I dan Pelita, 4 Oktober 1977: VIII). Selain itu seringkali kredit
tidak jatuh ke tangan para petani. Dalam menyikapi masalah tersebut Gubernur

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


Jawa Barat meminta agar seluruh instansi pemerintah yang ada hubungannya
dengan permasalahan dengan Bimas mengkaji kembali pelaksanaan Bimas di Jawa
Barat, yaitu bahwa kredit benar-benar jatuh kepada para petani yang berhak dan
bukan pada petani-petani fiktif atau bukan petani (Pikiran Rakyat, 17 Oktober
1977: 1).

2.3. Kemiskinan
Sebagai gudang beras, memang Karawang terkenal sejak dulu. Tetapi
penduduknya tidak terkenal sebagai orang kaya.7 Struktur penduduk Karawang dan
kaitannya dengan pertanian serta kepemilikan lahan dapat menjelaskan hal tersebut.
Daerah Tingkat II Kabupaten Karawang berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa dengan
luas wilayah 172.783 Ha mempunyai sawah seluas 104.203 Ha. Sebanyak 85% dari
jumlah penduduk tersebut adalah petani. Dari jumlah petani di Karawang, 40%
adalah petani penggarap, 30% adalah buruh tani, 10% petani yang menggarap
sawahnya sendiri, dan 20% adalah petani yang mengupahkan sawahnya kepada
buruh tani (Merdeka, 25 Nopember 1977: II).
Dari data di atas dapat dilihat bahwa mayoritas petani di Karawang adalah
buruh tani tanpa lahan, dengan komposisi 40% petani penggarap dan 30% buruh
tani. Petani penggarap pada adalah petani yang mempunyai modal untuk
menggarap sawah milik orang lain. Meskipun modal didapatkannya dengan cara
meminjam uang, baik pada juragannya (pemilik tanah) ataupun rentenir. Sementara
buruh tani tidak mengeluarkan modal dan hanya menjadi pekerja saja di sawah.
Mengenai petani yang menggarap sawahnya sendiri yang mencapai 10% juga
masih dapat dipertanyakan mengenai luas sawah yang dimilikinya. Karena
menggarap lahannya sendiri dapat diperkirakan bahwa sawahnya tidak terlalu luas
sehingga dapat digarap sendiri.
Luas ideal kepemilikan lahan sawah menurut Solihin GP adalah empat
hektar. Menurut seorang pejabat Pertanian Karawang idealnya satu keluarga tani
memiliki satu hektar sawah yang digarapnya secara langsung. Sedangkan menurut
H. Sudar, seorang petani terkemuka dari desa Kutagandok, kepemilikan sawah
ideal adalah lima hektar. Menurutnya dengan luas tanah seluas itu akan mencukupi
kehidupan petani secara sederhana. Sementara menurut seorang petani yang
bernama Kajum, dua hektar dipandangnya dapat mencukupi kebutuhan petani (Her
Suganda. Kompas, 10 Desember 1977: II). Oleh karena memiliki luas tanah yang
tidak ideal dalam bidang pertanian banyak di antara mereka yang memiliki sawah


7
Atang Sukardi Atmadja, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Kerukunan
Tani Indonesia dalam Her Suganda.”Petani Karawang Adalah “Petani Tiga Tak”. Kompas, 10
Desember 1977. Hal II.

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


setengah sampai satu hektar memilih menjualnya daripada terus menerus
memeliharanya. Uangnya dibelikan sepeda motor lalu dioperasikan sebagai ojek.
Mereka merasakan harga hasil pertanian tidak seimbang dengan biaya yang
dikeluarkan (Her Suganda. Kompas, 10 Desember 1977: II). Bahkan luas
kepemilikan lahan yang minimal lima hektar pun tampaknya tidak menjamin dapat
bertahannya seorang petani dari kekurangan akibat bencana kekeringan, banjir dan
serangan hama. Seorang petani yang sebelumnya memiliki lima hektar sawah, pada
1977 terpaksa menjadi kuli harian dengan dibayar Rp300.00,- per hari. Petani ini
sebelumnya selalu berhasil panen dan pernah menjadi orang kaya, serta pernah
naik haji (Kompas, 4 Desember 1977: 1).
Kemiskinan yang dialami petani dan kegagalan panen merupakan dua hal
yang saling berkaitan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kegagalan panen dan juga
gagal panen atau bahkan tidak dapat menanami sawahnya kembali dapat juga
disebabkan oleh kemiskinan.
Karena kurang modal, setelah panen gagal pada musim tanam berikutnya
pengolahan sawah dilakukan seadanya. Kadang-kadang pupuk bersubsidi dari
pemerintah djual separuh. Obat tidak disemprotkan, bahkan dijual pula. Uangnya
dibelikan beras atau dipakai menututupi biaya garapan, akibatnya hasil pertanian
sering tidak maksimal. Menurut seorang petani, untuk menutupi biaya makan dan
biaya produksi pengolahan selanjutnya minimal per hektar dihasilkan empat ton.
Sebab menurutnya perkiraan biaya mengolah sawah secara sederhana
membutuhkan modal garapan Rp50.000,00.- per hektar, apabila mendekati tingkat
penerapan panca usaha tani sepenuhnya setidak-tidaknya dibutuhkan modal
Rp150.000,00.- per hektar. Sedangkan dalam kredit Bimas yang diberikan jauh dari
mencukupi, apalagi kredit Inmas yang hanya memperoleh bibit dan pupuk secara
paket tanpa uang (Her Suganda. Kompas, 10 Desember 1977: II dan Kompas, 4
Desember 1977: I).
Kegelisahan yang dialami petani kecil, petani miskin dan buruh tani adalah
tidak mendapat pinjaman uang dan beras dari petani kaya atau petani yang menjadi
juragannya (tuannya). Persediaan juragan juga sudah menipis. Persoalan petani
kecil bertambah dengan persoalan membayar hutang pada musim tanam
sebelumnya dan juga kredit Bimas.8 Para juragan lebih suka menjual padi atau beras
lalu uangnya dipinjamkan dengan cara ijon. Biasanya untuk pinjaman sebesar
Rp2.000,00.- yang harus dikembalikan pada musim panen Rp3.000,00.- Karena
yang digunakan sebagai ukuran adalah padi, mereka telah terpukul dua kali. Harga
padi pada musim paceklik adalah Rp7.000,00.- per kwintal. Sebaliknya pada musim
panen raya, harga padi (gabah) hanya Rp4.500,00.- sampai Rp5.000,00.- dengan

8
Herman Suwardi, Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian Jawa Barat dan Kolonel Samallo.
anggota Laksusda Jawa Barat dalam Kompas, 19 Oktober 1977.
9

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


demikian hidup petani tidak mengalami perubahan. Hasil panen habis dipotong
hutang, sementara apabila gagal panen dia tetap harus membayar hutangnya (Her
Suganda. Kompas, 10 Desember 1977: II).
Oleh karena tidak adanya modal untuk menanam padi, dari 3.970 Ha sawah
di desa Rangdu hanya sekitar 150 Ha sawah yang sudah mulai ditanami pada musim
tanam 1977/1978 yang dimulai bulan November. Sedang sebagian lainnya sama
sekali belum diolah (Kompas, 4 Desember 1977: I). Banyak petani penggarap
mengembalikan tanah garapannya kepada pemilik sawah karena tidak mempunyai
biaya lagi. Mereka lebih memilih untuk bekerja di pasar-pasar di kota Karawang
sebagai kuli (Merdeka, 25 Nopember 1977: II).

3. Upaya Penanggulangan Bencana


Berita mengenai “kurang makan” di desa Rangdu Kecamatan Pedes
Kabupaten Karawang telah sempat menghebohkan masyarakat maupun pemeritah
pusat. Berbagai organisasi maupun pemerintah sendiri turut memberikan
sumbangan kepada daerah yang terkena paceklik itu (Berita Buana, 17 Oktober
1977). Pemerintah Karawang sendiri, menurut Bupatinya telah mempunyai pola
yang diterapkan yaitu kegiatan-kegiatan represif. Berupa penanggulangan langsung
dengan memberikan bantuan kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan
dan perlu ditolong. Kemudian bantuan pengobatan secara massal berupa vaksinasi
untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit. Bantuan yang berupa pangan
untuk mencegah bahaya kelaparan secara cepat harus diserahkan pada posko
bantuan yang dibentuk berdasarkan intruksi presiden (Berita Buana, 17 Oktober
1977).
Bantuan berdasarkan berita-berita di surat kabar memang berdatangan ke
Karawang, tetapi hal tersebut tidak serta merta menghapuskan kelaparan di
Karawang. Hal itu disebabkan oleh adanya penyelewengan bantuan yang dilakukan
oleh pengelola atau kekurang mampuan dalam mendistribusikan bantuan. Menurut
penduduk Desa Dongkal Kecamatan Pedes, sampai pertengahan Oktober mereka
baru menerima bantuan beras satu kali. Bantuan tersebut berupa beras sebanyak
250 gram untuk setiap jiwa (Kompas, 20 Oktober 1977: VIII). Kepala Staf Posko
Bantuan, Suhendi, menyatakan bahwa bantuan yang diberikan adalah 250 gram per
jiwa. Tetapi banyak masyarakat yang menerima kurang dari jumlah bantuan
tersebut. Hal tersebut diakibatkan adanya “kebijaksanaan” dari yang membagi.
Penduduk pun mengadukan masalah penyelewengan bantuan tersebut kepada
Dewan Mahasiswa se-Jakarta. Menurut laporan penduduk ke organisasi mahasiswa
tersebut penyelewengan dilakukan oleh oknum petugas kampung (Kompas, 20
Oktober 1977: VIII).

10

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


Penyelewengan bantuan memang terjadi di daerah bencana kelaparan
tersebut. Penyelewengan dilakukan oleh para petugas bantuan yang terdiri aparat
pemerintahan tingkat kewedanaan, kecamatan dan unsur kesejahteraan sosial
kabupaten. H. Dayat, mantan lurah desa Rangdu 1945 -1956. menyatakan bahwa
pembagian beras seharusnya dilakukan setiap hari dengan membagikan 250 gram
beras untuk setiap jiwa, tetapi dalam kenyataannya pembagian beras dilakukan
empat hari sekali. Berat beras yang diterima pun hanya 100 gram per jiwa.
Penduduk desa Rangdu baru menerima bantuan beras sebanyak tiga kali dalam
kurun 3 Oktober sampai 15 Oktober 1977 (Merdeka, 30 Oktober 1977: I).
Sementara itu, lurah Cikepek menyatakan bahwa setelah menerima bantuan beras
sebanyak empat kali, walaupun tidak setiap hari. Bantuan tersebut kemudian
terhenti selama delapan hari (Suara Karya, 1 Nopember 1977; I). Ada juga
penduduk yang belum menerima sama sekali bantuan sampai 1 Nopember, yaitu
sebagiam besar penduduk Kampung Bunder Desa Pedes. Padahal kondisinya
sangat kritis (Sinar Harapan, 1 Nopember 1977: I).
Bantuan yang berupa beras dilihat penduduk ada di posko bantuan, tetapi
tidak pernah dibagikan. Bahkan beras bantuan dari posko pernah hilang sebanyak
3 ton dan diduga dijual ke pasar. Bantuan lainnya seperti mie instan, ikan sarden
dalam kaleng, ikan asin dan jagung tidak dibagikan ke penduduk, hanya singkong
yang telah busuk dibagikan ke penduduk (Merdeka, 30 Oktober 1977: I).
Mengenai bantuan beras yang dijual ke pasar dinilai oleh beberapa anggota
DPRD Karawang sebagai sesuatu yang memang terjadi. Hal itu terutama
disebabkan oleh adanya perbedaan angka mengenai jumlah bantuan beras yang
diterima. Laporan bupati pada sidang paripurna DPRD 24 Oktober 1977
menyatakan bahwa bantuan beras yang diterima adalah 160.940 Kg. Sementara
Posko penanggulangan pangan bidang I mencatat jumlah beras yang diterima
sebanyak 172.152 Kg. Diduga selisih jumlah tersebut itulah yang dijual ke pasar
(Merdeka, 9 Nopember 1977: VII).
Upaya-upaya lain yang dilakukan kelaparan di daerah Karawang yang
dilakukan oleh pemerintah selain bantuan pangan adalah dengan memberdayakan
daya beli masyarakat melalui proyek padat karya. Proyek ini merupakan suatu
kegiatan pembangunan fisik dengan melibatkan masyarakat secara maksimal.
Artinya sebanyak mungkin masyarakat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan fisik di wilayahnya, misalnya membangun saluran air.
Padat-karya di Karawang telah dimulai tanggal 1 Nopember 1977 dan
berlangsung selama dua bulan. Dalam jangka waktu sepuluh hari (1 – 10 Nopember
1977) telah dibayarkan uang perangsang untuk tenaga kerja yang ikut padat-karya
sejumlah Rp24.166.700 dan telah diselesaikan perbaikan 267,455 km saluran

11

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


tersier yang terdapat di 7 kecamatan kabupaten Karawang (Kompas, 17 Nopember
1977: II).
Setiap hari rata-rata dipekerjakan 7.916 orang, selama 10 hari telah
diperkerjakan 79.161 orang per hari (Kompas, 17 Nopember 1977: II). Mengenai
jumlah hari kerja itu, tidak dijelaskan berapa orang tertolong dengan mendapat
pekerjaan di proyek padat karya. Sebab dari jumlah orang per hari tersebut, masih
terkandung kemungkinan adanya seorang buruh yang bekerja selama 10 hari
berturut-turut. Bila masing-masing tenaga kerja peserta padat-karya itu dianggap
bekerja selama 10 hari, maka jumlah tenaga kerja yang tercakup oleh proyek ini
sekitar 7.900 orang. Tetapi apabila semakin banyak tenaga kerja diikutkan, semakin
kecil uang perangsang yang diterima masing-masing tenaga kerja (Kompas, 17
Nopember 1977: II). Proyek padat karya memang tidak menyentuh semua angkatan
kerja. Sebagai contoh di Kampung Bunder Desa Pedes hanya 80 orang saja
penduduk usia kerja yang terlibat dalam proyek padat karya. Selebihnya sebanyak
145 orang tidak dilibatkan.9
Pengelola proyek padat karya ditangani oleh tiga lembaga terpisah. Ada
yang ditangani oleh Direktorat Jendral Bina Guna dan ada juga yang ditangani oleh
Dinas Pekerjaan Umum Tingkat II Kabupaten Karawang dan yang ditangani oleh
PT Waskita Karya (Kompas, 19 Oktober 1977 dan Suara Karya, 1 Nopember 1977:
I). Upah bagi peserta proyek padat karya adalah sebesar Rp 300 dan pembayaran
dilakukan setiap hari.10
Bantuan lainnya yang diberikan pemeritah pusat untuk menanggulangi
kelaparan di Karawang adalah dengan memberikan kedit pangan berupa beras dan
jagung. Bantuan tersebut hanya diberikan kepada penduduk yang benar-benar
memiliki sawah tetapi menderita kurang pangan. Penyalurannya diselenggarakan
melalui Bank Karya Produksi Desa (BKPD) yang terdapat di setiap desa dan
kemantren setelah sebelumnya permohonan diseleksi oleh Lembaga Sosial Desa
(LSD) atau Kepala Desa. Sedangkan dalam pengembalian kredit ditentukan dengan
cara tunai, yaitu berdasarkan harga yang telah ditetapkan untuk setiap kilogram
beras Rp138,60 dan jagung Rp65 (Kompas, 19 Nopember 1977: VIII).
Kredit dengan jangka waktu maksimum tujuh bulan itu diberikan tanpa
bunga dan tanpa potongan. Tetapi apabila panen tidak berhasil atau puso,
pengembalian kredit dapat ditangguhkan pada musim panen berikutnya. Tidak
dijelaskan secara terperinci, presentase kerusakan tanaman yang termasuk puso
atau panen tidak berhasil (Her Suganda. Kompas, 19 Nopember 1977: VIII).


9
H. Soleh, Kepala Kampung Bunder, dalam Sinar Harapan, 1 Nopember 1977. Hal I.
10
Sekretaris Wilayah Jawa Barat, Kadarusman Kadi dalam Kompas 19 Oktober 1977. Sementara
menurut surat kabar Suara Karya terbitan 1 Nopember 1977, besar upah adalah Rp 250 per hari.
12

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


Proyek Bank Pangan Kabupaten Karawang menetapkan pula besar kredit
seratus kilogram beras dan enam kilogram jagung untuk pemilik sawah dengan luas
setengah hektar sampai dengan satu hektar. Untuk pemilik sawah dengan luas 1,1
hektar sampai 2 Ha diberikan 200 kg beras dan 12 kg jagung. Pemilik sawah
dengan luas 2,1 Ha sampai dengan 3 Ha, memperoleh kredit 300 Kg beras dan 18
Kg jagung. Sedangkan pemilik sawah dengan luas 3,1 Ha sampai dengan 4 Ha
memperoleh kredit 400 Kg beras dan 24 Kg jagung. Besar kredit untuk pemilik
sawah di atas 4 Ha adalah 500 Kg beras dan 30 Kg jagung (Kompas, 19 Nopember
1977: VIII).
Proses permohonanannya dilakukan secara berkelompok disertai
rekomendasi dari Ketua LSD masing-masing desa. Pimpinan bank baru merealisasi
kredit setelah meneliti permohonan dan menandatangani surat perjanjian (Kompas,
19 Nopember 1977: VIII). Pangan yang dipinjamkan itu berasal dari bantuan Bulog
(Badan Urusan Logistik), terdiri dari 900 ton beras dan 100 ton jagung. Besarnya
alokasi kredit tiap kecamatan berbeda beda, Kecamatan Pangkalan 80 ton beras
dan 5 ton jagung, Karawang 50 ton beras dan 6 ton jagung, Telukjambe 80 ton beras
dan 5 ton jagung, Klari 50 ton beras dan 5 ton jagung, Cikampek 80 ton beras dan
5 ton jagung, Cilamaya 80 ton beras dan 10 ton jagung, Telagasari/Kemantren
Wadas 80 ton beras dan 10 ton jagung, Rawamerta/Kemantren Tempuran 80 ton
beras dan 15 ton jagung, Rengasdengklok 80 ton beras dan 10 ton jagung, Pedes 80
ton beras dan 10 ton jagung, da Batujaya 80 ton beras dan 15 ton jagung (Kompas,
19 Nopember 1977: VIII).
Kepada setiap pemilik sawah yang memperoleh kredit diwajibkan
menyerahkan 5% dari kredit yang diperolehnya sebagai simpanan LSD. Realisasi
kredit tersebut semula direncanakan tanggal 1 November akan tetapi mengalami
keterlambatan. Hal itu disebabkan terlambatnya administrasi di desa untuk
melengkapi segala persyaratan (Kompas, 19 Nopember 1977: VIII dan Pelita, 8
Oktober 1977: I).

4. Penutup

Kelaparan di Karawang memberikan gambaran mengenai kebijakan


pembangunan pertanian pada era Orde Baru. Kebijakan-kebijakan pemerintah
pusat mengenai pembangunan pertanian menghadapi berbagai kendala dalam
pelaksanaannya pada tingkat bawah. Kendala tersebut misalnya seperti kurangnya
perhatian pemerintah daerah terhadap pertanian dan sikap mental pemerintah
daerah yang cenderung memberikan laporan-laporan yang baik kepada atasannya.
Kendala lainnya adalah adanya penyelewengan-penyelewengan yang kerap terjadi,
termasuk penyelewengan dalam bantuan kemanusiaan. Suatu hal menarik pada
13

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


peristiwa kelaparan ini adalah begitu besar dan cepatnya pemerintah pusat
bertindak untuk menanggulanginya dibandingkan pemerintah daerahnya sendiri.
Pemerintah daerah menganggap peristiwa kelaparan adalah peristiwa kecil,
sementara pemerintah pusat menganggapnya sebagai suatu masalah besar yang
harus dapat perhatian serius. Hal ini memberikan gambaran bahwa pada era Orde
Baru pemerintah pusat tidak selalu bertindak lamban pada setiap peristiwa di daerah
yang memerlukan penanganan khusus.

14

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


DAFTAR SUMBER

Artikel dalam Surat Kabar


Her Sugandha. “Petani Karawang Adalah “Petani Tiga Tak”. Kompas, 10 Desember 1977. Hal II.
Ikranegara. “Matahari Krawang Berdenyar-denyar di Atas Cikande.” Kompas, 1 Nopember 1977.
Hal VI.
N. Daldjoeni. “Menonton Bencana Kelaparan.” Kompas. 28 Oktober 1977.
Tito Subakti. “Segi Lain dari Kegagalan di Desa Rangdu.” Kompas, 21 Oktober 1977. Hal IV dan
IX.

Berita Surat Kabar


Berita Buana, 17 Oktober 1977 a. “Kecamatan Pedes di Desa Karawang”.
Berita Buana, 17 Oktober 1977 b. “Keadaan Rakyat di “Gudang Beras” Karawang”.
Berita Yudha, 4 Oktober 1977. “Produksi Pangan di Karawang Turun 5%”.
Berita Yudha, 15 Oktober 1977. “Ratusan HA Dimiliki Orang Jakarta”.
Berita Yudha, 21 Oktober 1977. “Produksi Padi di Jabar Menurun 1,37%”.
Berita Yudha, 28 Oktober 1977. “95 Kecamatan di Jabar Terancam Kekurangan Pangan”.
Kompas, 4 Oktober 1977. Hal I. “Kalau Tidak Diselamatkan Puluhan Ribu Penduduk akan
Menderita HO”.
Kompas, 19 Oktober 1977. “Beras Cukup, 30 pCt Rakyat Desa Kurang Pekerjaan”.
Kompas, 20 Oktober 1977. Hal I. “Penduduk Karawang di Sumatera Dianjurkan Pulang”.
Kompas, 20 Oktober 1977. Hal VIII. “Mahasiswa Lakukan Survey Gizi di Karawang”.
Kompas, 1 Nopember 1977. Hal I dan XII. “Mahasiswa Jumpai Penduduk Pra-HO di Karawang”.
Kompas, 19 Nopember 1977. Hal VIII. “Kredit Pangan akan Segera Disalurkan.”
Kompas, 2 Desember 1977. Hal I dan IX. “Tahun 1977, Indonesia Impor Beras 2 Juta Ton”.
Kompas, 4 Desember 1977 Hal 1. “Tiada Beaya, Petani Desa Rangdu Belum Tanam Padi”.
Kompas, 6 Desember 1977. Hal VIII. “Dikhawatirkan, 80% Penduduk di 7 Kecamatan Kekurangan
Pangan”.
Merdeka, 21 Maret 1977. Hal VII. “Sesudah Dilanda Banjir Karawang Diserang Wereng”.
Merdeka, 30 Maret 1977. Hal VII. “Rp 530 juta Kredit Macet pada 44 BUUD Karawang”.
Merdeka, 30 Oktober 1977. Hal I. “H. Juddin Dipecat Jadi Lurah Karena Laporkan yang Benar”.
Merdeka, 9 Nopember 1977. Hal VII. “Laporan Bupati dan Posko Soal Bantuan di Karawang
Berbeda”.
Merdeka, 14 Nopember 1977. Hal VII. “3000 Penduduk Subang Juga Terancam H.O”.
Merdeka, 16 Nopember 1977. Hal VII. “16 Penderita H.O. dirawat di Karawang”.
15

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5


Merdeka, 25 Nopember 1977, Hal II. “Karena Tak Punya Uang Petani Kembalikan Semua Tanah
Garapan”.
Pelita, 10 Agustus 1977. Hal VI. “Petani Tak Perlu Khawatir Serangan Hama”.
Pelit, 3 Oktober 1977. Hal I. “Sekdalopbang Solichin GP Temui Sendiri Penduduk Cari Eceng”.
Pelita, 4 Oktober 1977. Hal VIII. “Solichin: Bupati Karawang Kurang Konsentrasi Terhadap
Tugasnya”.
Pelita, 8 Oktober 1977. “Dirjen Bansos: 50 ribu Penduduk Karawang Perlu Segera Ditolong”.
Pelita, 10 Oktober 1977. “Sekdalopbang Solichin GP Temui Sendiri Penduduk Cari Enceng .....”.
Pikiran Rakyat, 30 Juli 1979. Hal I. “Kekurangan Beras Jabar Dipenuhi Dengan Impor”.
Pikiran Rakyat, 1 Oktober 1977. “Dirikan Pos2 Komando di Karawang”.
Pikiran Rakyat, 8 Oktober 1977. “Para Petani di 7 Kecamatan di Karawang Kurang Modal”.
Pikiran Rakyat, 17 Oktober 1977, Hal I. “Teliti Kembali Pelaksanaan Bimas di Daerah Daerah”.
Sinar Harapan, 1 Nopember 1977. Hal I. “35 Penderita Kurang Makan di Karawang dalam Keadaan
Gawat”.
Sinar Harapan, 3 Nopember 1977. Hal I. “14.592 Orang Penderita Kurang Makan di Tiga Kab.
Semarang”.
Suara Karya, 1 Nopember 1977. Hal I. “Beberapa Desa di Krawang Sudah Dilanda “Pra HO””.

16

Prosiding Universitas Indonesia: Seminar Nasional Sejarah Lokal Munas II PPSI,


November 2016. Hlm, 316-327. Program Studi Ilmu Sejarah, FIB UI. ISBN 978-602-
74858-1-5

Anda mungkin juga menyukai