Anda di halaman 1dari 9

Indonesia – Malaysia:

Bersatu dalam Musik Pop?


Raden Muhammad Mulyadi
r.m.mulyadi@unpad.ac.id
Prodi Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra Unpad

Latar Belakang
Pada kunjungan Presiden Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono ke Malaysia
bulan Januari 2008 secara khusus diadakan suatu konser musik di Auditorium Perdana
Angkasapuri. Konser bernama ‘Konsert Setiakawan’ itu dimeriahkan oleh artis terkenal
dari kedua negara. Menurut keterangan pemerintah Malaysia yang dinyatakan oleh
Menteri Penerangan, Datuk Seri Zainuddin Maidin, “Konsert Setiakawan merupakan
lambang semangat setia kawan kedua negara, sekaligus merayakan ulang tahun ke-50
hubungan Malaysia-Indonesia. Dalam acara tersebut menampilkan hubungan seni dan
budaya kedua negara serumpun itu yang tidak dapat dipisahkan.
Memang hubungan kedua negara diwarnai oleh hubungan kebudayaan yang
erat. Selain seni budaya tradisional, hubungan Indonesia – Malaysia pun diwarnai oleh
seni budaya kontemporer. Dalam hal seni budaya kontemporer misalnya terlihat dalam
musik pop, musik pop Indonesia dan musik pop Malaysia dapat dikatakan mempunyai
hubungan sejak tahun 1950-an. Hubungan tersebut ditandai dengan saling digemarinya
masing-masing artis kedua negara satu dengan lainnya. Pada saat itu beberapa penyanyi
pop dari Malaysia digemari di Indonesia, demikian pula sebaliknya. Hubungan tersebut
berupa beredarnya berbagai musik rekaman antar kedua negara, maupun pertunjukkan
musik panggung.
Sampai dengan era 1990-an hubungan musik pop Indonesia – Malaysia dapat
dikatakan berjalan dengan baik. Hubungan itu juga menandakan hubungan yang mesra
antar kedua negara. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, akhir tahun 1990-an,
musik Indonesia lebih menunjukkan dominasinya di Malaysia daripada musik Malaysia
di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan banyak pihak di Malaysia mulai
mempersoalkan dominasi musik pop Indonesia di Malaysia. Banyak hal dihubungkan
dengan dominasi musik pop Indonesia tersebut, seperti masalah nasionalisme, ekonomi,
dan kreativitas seni. Pada sisi lain masyarakat Indonesia sebetulnya sangat terbuka
dengan musik Malaysia, dan tidak pernah mempermasalahkan dari mana suatu musik
pop berasal.
Musik pop Indonesia dan Malaysia yang pada awalnya mempertegas identitas
serumpun, ternyata dapat menjadi batu sandungan dalam hubungan kedua negara
tersebut. Makalah ini berupaya menjelaskan permasalahan-permasalahan apa saja yang
timbul dalam hubungan musik antar kedua negara? Apakah musik pop masih menjadi
perekat hubungan Indonesia – Malaysia?
Musik Malaysia di Indonesia
Dalam tahun 1950-1960an banyak masyarakat Indonesia mengenal seorang
artis legendaris asal Malaysia yaitu P Ramlee baik melalui musik maupun film-nya.
Lagu-lagu dari P Ramlee yang dikenal di Indonesia di antaranya adalah Engkau
Laksana Bulan dan Azizah. Pada era 1980an beberapa penyanyi Malaysia yang dikenal
di Indonesia adalah Anita Serawak dengan lagunya Tragedi Buah Apel dan Sheila
Madjid dengan lagunya Antara Anyer dan Jakarta. Pada era 1980 dan awal 1990-an
giliran penyanyi slow rock Malaysia menembus pasaran Indonesia, penyanyi tersebut
adalah Amy Search (Isabela), Grup Slam (Gerimis Mengundang) dan Iklim Saleem
(Suci dalam Debu). Era 1990-an akhir sampai saat ini penyanyi Malaysia Siti Nurhaliza
merupakan penyanyi Malaysia yang paling populer di Indonesia. Era 2000-an
kelompok Thoo Pat merupakan grup vokal yang juga sempat menjadi favorit ramaja-
remaja Indonesia.
Penyanyi Malaysia era pertengahan 1990-an sampai tahun 2000-an awal yang
menjadi trend setter bagi remaja Indonesia, khususnya yang beragama Islam adalah
grup Raihan. Grup Raihan merupakan sekumpulan anak muda Malaysia yang
berdakwah melalui lagu. Lagu-lagu mereka digolongkan sebagai nasyid, lagu-lagu
pujian. Secara irama dapat dikatagorikan sebagai musik pop. Grup ini dikatakan trend
setter, karena setelah kepopuleran grup ini di Indonesia banyak bermunculan grup
nasyid Indonesia. Raihan pun berulangkali mengadakan pertunjukkan di Indonesia.

Musik Indonesia di Malaysia


Musik sebagai penanda hubungan yang mesra antara Indonesia dan Malaysia
diperlihatkan pula oleh Presiden Soekarno ketika pada tahun 1960 beliau mengirim
Bing Slamet ke Malaysia untuk melatih para musisi di sana. Pada era Soekarno pula,
RRI sempat meminjamkan koleksinya kepada RTM. Sehingga sekitar 50% lebih
koleksi RTM merupakan lagu-lagu dari Indonesia. Hal inilah yang mungkin menjadi
benih-benih musik Indonesia digemari oleh masyarakat Malaysia. Pada tahun 1970, era
orde baru, Indonesia – Malaysia mengadakan pertukaran acara televisi dan radio.
Apabila sebelumnya penyanyi Malaysia P Ramlee banyak penggemarnya di
Indonesia, maka pada giliran selanjutnya, pada dekade 1950- dan 1960an, giliran said
Effendy dari Indonesia yang banyak mempunyai penggemar di Malaysia. Melalui lagu
Fatwa Pujangga yang pertama kali dipopulerkan sekitar tahun 1957, Said Effendy
bukan hanya membuat bintang P Ramlee, yang di era itu sedang populer di Indonesia
menjadi redup, tetapi juga penyanyi Indonesia yang mengembalikan citra irama Melayu
dari Malaysia ke Indonesia. Lagu ciptaannya, Bahtera Laju menempatkan dirinya
sebagai pedendang irama Melayu nomor satu di Indonesia. Said Effendi banyak
mencipta lagu-lagu yang sebagian besar populer pada masanya, baik itu di Malaysia,
Brunai, maupun Indonesia sendiri.
Meskipun Indonesia telah memiliki perusahaan rekaman sejak tahun 1950-an,
para penyanyi dan musisi Indonesia sampai tahun 1977-an banyak yang melakukan
rekaman di Malaysia dan Singapura. Hal itu dimungkinkan oleh bayaran yang diterima
lebih besar, teknologi yang lebih maju, dan gengsi penyanyi serta musisi sebagai artis
yang pernah rekaman di luar negeri, atau studio rekaman di Malaysia dan Singapura
kekurangan penyanyi dan musisi.
Faktor lain dimungkinkan oleh banyaknya lagu-lagu Indonesia yang disukai
oleh masyarakat Malaysia dan Singapura. Kemudian juga perusahaan rekaman
Singapura itu mengekspor kaset lagu-lagu berbahasa Indonesia ke Malaysia, suatu
negara yang masyarakatnya juga menyukai lagu-lagu Indonesia. Misalnya pada awal
tahun 1962-an, lagu-lagu Koes Bersaudara mendominasi tangga urutan lagu-lagu yang
populer di radio-radio Singapura dan Malaysia. Lagu Pagi Indah dan Oh Kau Tahu
dianggap saingan berat duet The Everly Brother dari Amerika Serikat dengan lagunya
yang hits, All I Have To Do dan Devoted To You.
Penyanyi-penyanyi Indonesia yang pernah rekaman di Singapura antara lain
Alfian, Lilis Syarif, Tiar Ramon, Emilia Contessa, Inneke Kusumadewi, Aida Mustafa,
Bimbo, Khatanti Yosepha (Tanti Yosepa) dan Wirdaningsih. Any Ray, Ivo Nilakresna,
Titik Puspa, Sutan Suti dan Zulkarnain adalah penyanyi yang dikontrak oleh Philips.
Band yang sering menjadi pengiring penyanyi Indonesia pada perusahaan rekaman
Philips adalah Zaenal Combo dan Eka Sapta. Keduanya dari Indonesia. Sampai
pertengahan tahun 1970-an beberapa penyanyi dan musisi masih rekaman di Singapura.
Pada tahun 1976 The Kids membuat rekaman berjudul Salam Kasih dari Jakarta dan
Indonesia Pusaka. Pada tahun 1977 Marini rekaman di studio Philips Singapura dengan
iringan The Step.
Benyamin.S sudah terkenal di Malaysia sejak tahun 1960-an karena sering
mentas di negara itu. Anita Tourisia, kemudian Maya Sopha, Ida Royani, Ivo Nilla, dan
Deddy Damhudi adalah penyanyi-penyanyi yang pernah melakukan pertunjukkan di
Malaysia. Sementara Aida Mustafa sering muncul di TV Malaysia. Beberapa nama
penyanyi dan musisi lainnya yang terkenal di malaysia adalah Ervina, Broery Pesolima,
Hetty Koes Endang, kemudian band D Llyod`s, Emilia Contesa, Bob Totupuli, dan
Koes Plus.
“Booming” artis Indonesia di Malaysia dapat dikatakan terjadi pada tahun
1970-an. Mereka sudah mendapat tempat yang istimewa di mata dan hati peminat lagu-
lagu Melayu di Malaysia. Dekade 70-an adalah era emas artis-artis Indonesia menguasai
pasaran musik di Malaysia. Pada dekade 1980-an dan 1990-an ketika irama rock
menguasai pentas hiburan Malaysia, kehadiran artis-artis Indonesia di Malaysia tidak
terlalu menonjol. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada sama sekali. Karena artis
yang berkarir sejak tahun 1970-an masih digemari oleh masyarakat Malaysia pada
tahun-tahun 1980-dan 1990-an. Fenomena artis-artis Indonesia yang populer di
Malaysia pada dekade pertengahan 1990 dan 2000-an diwarnai pula oleh kehadiran artis
yang pada saat itu digolongkan sebagai anak muda seperti Krisdayanti, Melly Goeslow,
Sheila On 7, Gigi, Dewa, dan Peterpan. Mereka meneruskan kepopuleran artis
Indonesia di Malaysia.

Pasar atau Hubungan Serumpun?


Sepanjang hubungan musik pop Indonesia – Malaysia berlangsung, musisi-
musisi Indonesia banyak menuai sukses di Malaysia. Pada era 2000-an lagu-lagu
Indonesia dapat dikatakan mendominasi musik di Malaysia. Dominasi tersebut nampak
dari musik yang disiarkan di radio, tv, maupun pertunjukkan-pertunjukkan musik artis
Indonesia di Malaysia. Apabila sebelumnya kehadiran musik Indonesia tidak pernah
dipersoalkan, atau tidak muncul ke permukaan. Maka pada era 2000-an mulai muncul
suara-suara sumbang tentang dominasi musik Indonesia di Malaysia.
Pada tahun 2005 misalnya dalam Anugrah Era, suatu acara penghargaan
musik yang diadakan oleh stasiun Radio Era sejak tahun 2000, muncul kritik kenapa
artis dari Indonesia dan Singapura diikutsertakan dalam penghargaan musik tersebut.
Hal itu muncul dalam satu artikel di utusan online yang ditulis oleh tiga wartawannya,
masing-masing adalah Abd. Aziz Itar, Nor Fadzilah Baharudin dan Mohammas Arif
Nizam Abdullah. Tulisan tersebut menyatakan bahwa tujuan Anugrah Era adalah untuk
memberikan penghargaan bagi musik Malaysia. Akan tetapi, mengapa
mengikutsertakan penyanyi dari luar? Pada Anugerah Era 2005 (AE05) misalnya,
terdapat beberapa kategori seperti Band Pilihan yang mencalonkan artis Indonesia
seperti Dewa, Sheila On 7 dan Peterpan yang bersaing bersama artis Malaysia. Kategori
Artis Harapan Pilihan, Vokal Duo/Berkumpulan Pilihan, Irama Global Pilihan dan
Lagu Rock pun.
Lebih lanjut suara sumbang yang ditulis oleh wartawan Malaysia tersebut
mempertanyakan alasan Anugerah Era memasukkan pencalonan artis dari luar
Malaysia dalam beberapa kategori yang mereka pertandingkan setiap tahun itu? Lebih
lanjut wartawan tersebut menuliskan bahwa hal itu merupakan suatu fenomena yang
memperlihatkan tidak adanya apresiasi dalam memberi peluang dan pengakuan kepada
artis-artis Malaysia. Bahkan, secara tidak langsung, mengarahkan masyarakat Malaysia
supaya mengagung-agungkan artis luar dalam industri musik di Malaysia.
Menanggapi tulisan tersebut pihak manajer acara Era, Azrullah Mohd. Nor
menyatakan bahwa banyak album artis dari Indonesia yang dipasarkan di Malaysia.
Radio Era tidak mau menghalangi mereka karena Radio Era bersikap terbuka dan
menyajikan yang disukai para pendengarnya. Dalam hal ini pihak radio Era nampaknya
tidak melihat bahwa dilibatkan artis dari Indonesia dalam Anugrah Era sebagai suatu
masalah.
Nada sumbang lainnya, muncul terhadap acara Anugerah Planet Muzik 2006
(APM 2006). Suatu acara penganugrahan musik bagi artis Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Sebelum penganugrahan diumumkan, banyak yang menduga bahwa
kemenangan pasti banyak diraih oleh artis dari Indonesia. Dugaan tersebut muncul
karena sejak pertama kali penganugrahan tersebut diberikan, artis Indonesia sering
meraih kemenangan dalam kategori terbaik.
Dugaan tersebut ternyata benar, enam dari delapan anugerah APM 2006 untuk
kategori terbaik menjadi milik artis Indonesia seperti Artis Baru Terbaik (Ello),
Kumpulan Baru Terbaik (Maliq & D’Essentials), Artis Lelaki Terbaik (Marcell),
Duo/Kumpulan Terbaik (Peterpan), Lagu Terbaik (Dealova dendangan Once) dan
Album Terbaik (Senyawa – Chrisye). Sementara artis Malaysia hanya meraih
kemenangan dalam kategori Artis Wanita Terbaik (Jaclyn Victor) dan Artis Baru
Terbaik (Nikki). Penulis mengenai masalah ini di Utusan Online, Khadijah Ibrahim
menuliskan bahwa APM yang diadakan untuk memberi pengiktirafan kepada penggiat-
penggiat seni di Malaysia, Indonesia dan Singapura itu sejak dulu hingga kini dilihat
tidak menawarkan banyak perubahan. Inti dari tulisan ini kenapa banyak artis Indonesia
memenangkan anugrah ini?
Pada 2007, suara sumbang terhadap penyanyi Indonesia muncul dari Amy
Search, seorang penyanyi Malaysia, yang menyatakan bahwa dominasi lagu-lagu
Indonesia yang disiarkan oleh radio swasta di Malaysia sudah keterlaluan. Pernyataan
Amy itu dimuat di media massa Malaysia dan banyak mendapat perhatian masyarakat
Malaysia. Dengan pedas Amy mengatakan, “kadang-kadang apabila mendengarkan
radio kita tidak tahu apakah kita berada di Malaysia atau di Indonesia. Lebih jauh kritik
Amy itu menyatakan apakah Malaysia sudah dijajah Indonesia?”
Amy Search menyatakan bahwa dengan banyaknya stasiun radio swasta di
Malaysia yang lebih sering menyiarkan lagu-lagu artis dari Indonesia dibandingkan
artis-artis Malaysia, telah memarginal-kan karya-karya musisi Malaysia yang
menurutnya tidak kalah kemampuannya. Apabila masalah itu dibiarkan, dikhawatirkan
penyanyi, pemusik, pencipta lagu, dan perusahaan-perusahaan rekaman Malaysia
semakin sulit untuk bertahan. Banyak yang bersimpati dan memandang serius
permasalahan tersebut, termasuk kalangan persatuan-persatuan artis Malaysia.
Pendapat Amy tersebut memang beralasan, karena penjualan album Indonesia
yang sukses di Malaysia ditunjang oleh beberapa program radio yang sering
menampilkan lagu-lagu Indonesia. Di antaranya adalah program Carta Baek Banget
milik Red 104,9 FM dan Carta Ngetop milik Era FM. Keduanya dianggap sebagai
andalan publik musik Malaysia dalam meng-up date musik-musik Indonesia. Radio Hot
Fm juga merupakan radio yang dominan menyiarkan lagu-lagu dari artis Indonesia.
Selain di radio, artis-artis Indonesia juga sering muncul dalam berbagai acara di televisi
yang disediakan khusus untuk mereka.
Pendapat Amy terhadap pengaruh radio dalam hal penjualan album artis
Malaysia yang cenderung menurun juga cukup beralasan, karena kehadiran artis-artis
Indonesia merupakan saingan yang cukup berat bagi artis Malaysia. Sebagai contoh,
pada awal kehadirannya grup band Peterpan sudah mampu menjual 50,000 unit album
di Malaysia sementara lima album Sheila On 7 terjual hampir 300,000 unit. Sedangkan
banyak artis Malaysia menghadapi berbagai masalah dengan berbagai kesulitan dalam
penjualan. Untuk menjual sebanyak 10,000 unit album baru saja artis Malaysia
mengalami kesulitan.
Sebenarnya bukan hanya Amy yang kecewa dengan kondisi tersebut, banyak
artis Malaysia marah dengan sikap radio swasta Malaysia tersebut tetapi mereka tidak
membuat pernyataannya secara terbuka. Mereka berpendapat bahwa dulu tidak banyak
lagu Indonesia disiarkan radio, pada kenyataannya radio di Malaysia dapat tetap
berjalan.
Sementara itu, pihak radio berpendapat bahwa banyak pendengar radio yang
menyukai lagu-lagu Indonesia. Stasiun radio swasta biasanya hanya menyiarkan lagu-
lagu yang terbaik dan mendapat permintaan yang banyak dari pendengarnya. Tidak
mempermasalahkan dari negara mana. Perkembangan itu sulit dihalangi karena
berhubungan dengan perkembangan zaman, selain bertujuan menarik minat para
pendengar, terutama golongan muda. Dalam hal ini, stasiun radio swasta tidak dapat
menghindarkan dari lagu-lagu terbaru dan mempunyai unsur-unsur komersial yang
dapat membawa keuntungan, seperti dari pendapatan iklan.
Lebih lanjut pihak radio berpendapat banyak penyanyi dan pemusik Malaysia
kurang menyadari mengenai hak pendengar untuk menilai dan memilih musik yang
digemarinya. Sementara musisi Malaysia masih menghasilkan karya-karya yang statis
sama seperti yang pernah mereka hasilkan 20 tahun lalu. Paling menyedihkan apabila
budaya berdikari supaya berusaha untuk mencipta lagu-lagu dan musik-musik sendiri
tidak ada dalam pemikiran artis-artis Malaysia.
Persatuan Perusahaan Rekaman Malaysia, RIM, juga memberikan perhatian
atas banyaknya stasiun-stasiun radio swasta yang menyiarkan lagu-lagu artis Indonesia.
Namun, RIM berada dalam posisi yang dilematis karena ada anggota-anggotanya yang
secara langsung dan tidak langsung merupakan distributor album-album artis dari
Indonesia di Malaysia. Jadi, secara tidak langsung mereka juga tentunya sangat
mendukung stasiun-stasiun radio swasta untuk menyiarkan lagu-lagu album artis
Indonesia yang diedarkan di Malaysia.
Dominasi artis Indonesia di radio, dianggap merugikan artis Malaysia, karena
masyarakat Malaysia terpaksa membayar sejumlah royalti yang banyak dan meningkat
setiap tahunnya kepada artis luar. Tetapi bayaran untuk artis musik Malaysia sendiri
semakin berkurang. Hal itu disebabkan oleh stasiun radio dan televisi banyak
menyiarkan lagu-lagu luar yang sehingga harus membayar royalti kepada artis luar.
Bertambahnya stasiun radio tidak memberikan peningkatan royalti kepada artis musik
Malaysia. Hal itu sekaligus mengalirkan uang ke luar negeri untuk membayar royalti
lagu-lagu. Stasiun radio, terutama swasta, cenderung menyiarkan lagu-lagu artis luar
tanpa memikirkan dampak jangka panjang kepada artis Malaysia.
Menurut Tengku Khalidah Tengku Bidin, wartawan Utusan Malaysia, apabila
tidak diambil tindakan lambat-laun tidak akan ada lagi generasi yang menghargai karya
seni artis Malaysia. Kehadiran lagu luar terutamanya dari Indonesia wajar dibatasi
untuk menjaga kepentingan artis Malaysia. Lebih lanjut
Tengku Khalidah Tengku Bidin menyatakan bahwa pihak radio swasta terlalu
mementingkan unsur keuntungan secara financial.
Mengenai isu pembatasan untuk lagu luar, termasuk Indonesia, Pengurus
Besar Rangkaian Radio Media Prima Berhad, Seelan Paul menyatakan bahwa hanya
lagu berbahasa Inggris saja yang dibatasi di stasiun Hot FM, tetapi bukan untuk lagu
Indonesia. Hal itu disebabkan bahwa Indonesia adalah masyarakat serumpun. Di
Malaysia tidak ada peraturan yang melarang untuk menyiarkan karya luar.
Meskipun demikian ada juga radio swasta yang melakukan pembatasan
terhadap lagu Indonesia misalnya radio Suria FM yang hanya memutarkan sebanyak
15% lagu-lagu Indonesia. Menurut Ketua Pegawai Operasinya, Engku Emran Engku
Zainal Abidin, “hanya 30% lagu asing yang ke udara yaitu 15% lagu Indonesia dan 15%
lagi lagu-lagu negara lain. Radio Surya Fm memandang bahwa lagu Indonesia sebagai
lagu asing.
Bukan hanya artisnya saja yang menuai sukses, musisi Indonesia pun menuai
sukses di Malaysia. Sejak Sheila Madjid sering minta dibuatkan lagu oleh Erwin
Gutawa, tahun 1990-an, maka musisi Indonesia sejak saat itu sering kebanjiran order
dari Malaysia. Sampai saat ini banyak artis Malaysia yang meminta dibuatkan lagu oleh
pencipta lagu Indonesia. Hal ini pun menimbulkan nada sumbang dari pengkritik seni
di Malaysia. Hal itu terlihat dari komentar terhadap penyanyi Malaysia Anuar Zain yang
membuat suatu album rekaman dengan melibatkan tujuh komposer Indonesia dan
hanya tiga komposer Malaysia.
Dalam kondisi banyak artis Malaysia merasa tidak puas dengan dominasi artis
Indonesia, tindakan Anuar tersebut dipandang melawan arus. Tindakan Anuar tersebut
mengundang pertanyaa kenapa artis Malaysia sendiri tidak mendukung komposer
lokal? Anuar sendiri mempunyai alasan kenapa memilih komposer Indonesia,
menurutnya seni adalah seni, dibuat untuk masyarakat. Seni tidak boleh dipolitikkan.
Menurut Anuar musik adalah global, jangan salahkan orang lain dan menyatakan
ketidakpuasan terhadap musisi Indonesia. Anuar tidak mempermasalahkan komposer
dari Indonesia, atau Malaysia, dia hanya ingin membuat Album yang menurutnya baik
dan menekankan bahwa tidak ada unsur politik dan prasangka, seni tidak harus
dipolitikkan. Anuar juga menolak bahwa kualitas composer Malaysia bukannya rendah,
hanya saja masalah kesesuaian nilai seni. Menurut pengakuannya dia juga sering
menggunakan jasa komposer Malaysia.
Selain dalam industri rekaman, banyak artis dari Indonesia yang mendominasi
konser-konser musik di Malaysia. Hal ini juga menjadi perdebatan masyarakat
Malaysia. Dalam masalah ini peran promotor pertunjukan menjadi pihak yang
disalahkan. Promotor pertunjukkan di Malaysia dituduh cenderung mengadakan
konser-konser artis dari Indonesia dibandingkan artis-artis Malaysia.
Kehadiran Grup Dewa 19 bersama Gigi, Padi, Cokelat, Ada Band, Ari Lasso,
Ratu dan Unggu dalam Konsert Pesta Malam Indonesia di Stadium Merdeka, Kuala
Lumpur pada 15 April 2006 menjadi bahan perdebatan banyak pihak di Malaysia.
Perdebatan timbul karena konser itu seluruhnya menampilkan artis Indonesia. Tanpa
melibatkan artis Malaysia.
Suatu nada sumbang terhadap konser-konser musik artis Indonesia di Malaysia
dapat dilihat dari surat pembaca sebagai berikut:

Saya setuju dengan pendapat Terkejut Benor, Ipoh, Perak yang


disiarkan dalam ruangan Forum, Selasa 4 April 2006.
Penganjuran Pesta Malam Indonesia berlangsung pada 15 April
2006, dilihat sebagai memberi penghargaan terbesar kepada artis
Indonesia. Apa kelebihan mereka sehingga diberi peluang untuk
mengadakan persembahan selama delapan jam di negara
Malaysia? Apakah Malaysia tidak mempunyai artis sendiri yang
mampu memberikan persembahan untuk memberi hiburan
kepada rakyat Malaysia.
Apa yang dapat saya perhatikan dewasa ini kebanjiran artis
Indonesia ke pasaran musik Malaysia. Setiap kali ada album baru
dilancarkan, pasti mereka akan datang ke Malaysia untuk
memasarkan album tersebut dan secara tidak langsung akan
diadakan konsert untuk bertemu peminat. Sampai bila kita harus
menyokong artis Indonesia? Kenapa artis Malaysia tidak pernah
diberi peluang seperti ini di Indonesia. Apakah artis Malaysia
tidak berkualitas. Berilah peluang kepada artis Malaysia. Jangan
hanya untuk mengeruk keuntungan sehingga sanggup
meminggirkan artis Malaysia sendiri. Janganlah seperti kera di
hutan disusui, anak di rumah mati kelaparan. Sokonglah Industri
muzik tanahair.

Tindakan promotor mengadakan suatu konser yang dapat dikatakan besar


tersebut, menyebabkan munculnya tuduhan bahwa promotor konser musik Malaysia
telah menganaktirikan artis Malaysia sendiri, selain membuka peluang lebih luas bagi
dominasi artis luar dalam pasaran industri musik di Malaysia. Selain konser tersebut,
memang sebelumnya banyak artis Indonesia tampil di Malaysia. Kemampuan artis
Indonesia bermain musik secara live dianggap sebagai suatu kelebihan artis-artis
Indonesia.
Walaupun mereka dikatakan hebat, tetapi seorang wartawan hiburan
Malaysia, Niezam Abdullah, mengingatkan bahwa masyarakat Malaysia seharusnya
tidak lupa bahwa artis-artis Indonesia merupakan artis dari luar yang mencoba
memonopoli pasaran Malaysia. Seandainya pemusik Malaysia tidak berubah dalam
menghasilkan karya agar disukai pendengar, tidak mustahil pasaran album Malaysia
pada masa akan datang terus dikuasai oleh orang luar.
Sementara wartawan hiburan lainnya, Tengku Khalidah Tengku Bidin
menyatakan secara lebih arif bahwa pelaku industri musik Malaysia boleh cemburu
tetapi jangan prasangka buruk terhadap artis Indonesia sebagai saingan. Industri musik
adalah pasaran bebas, tidak diperkenankan memaksa peminat musik untuk membeli
produk yang tidak disukainya. Sebaliknya artis Malaysia perlu memberikan sesuatu
yang berkualitas.
Amy Search kemudian kembali menjadi pengkritik atas kehadiran artis-artis
Indonesia dalam berbagai konser musik di Malaysia. Menurutnya, artis-artis luar
diberikan pelayanan secara istimewa dan bayaran yang cukup lumayan untuk
mengadakan konser. Pada waktu yang bersamaan promotor seolah-olah
mengesampingkan hak artis Malaysia untuk muncul dalam berbagai konser di
negerinya sendiri. Artis-artis Malaysia mempunyai kemampuan untuk menarik
perhatian penonton, namun para promotor pertunjukkan tetap menutup peluang untuk
muncul dalam acara yang besar. Promotor konser sepertinya tidak melihat banyak artis
Malaysia yang dapat ditampilkan dalam suatu konser yang besar.
Penyanyi Malaysia lainnya, yaitu Hattan juga sependapat dengan Amy dalam
hal tersebut. Hattan melihat sikap promotor yang terlalu menyanjung artis luar, terutama
dari Indonesia, telah memperkecil peluang artis Malaysia untuk memperlihatkan
kehebatannya. Ibarat kera di hutan disusukan, anak di rumah mati kelaparan. Hattan
menyatakan jangan sampai promotor pertunjukkan meletakkan artis Malaysia di lapisan
terbawah dan memberi kepercayaan penuh kepada artis luar untuk mengadakan
pertunjukkan.
Sementara itu di antara musisi Indonesia yang bersikap pasif atau memang
tidak mengetahui atas permasalahan yang terjadi, ada juga artis Indonesia yang bersikap
terhadap pendapat negatif mengenai kehadiran musik Indonesia di Malaysia. Artis
Indonesia tersebut adalah Ahmad Dhani, dari grup band Dewa 19. Ahmad Dhani
meminta supaya grup band dan artis-artis Indonesia yang sering melakukan
pertunjukkan di Malaysia tidak disalahkan. Lebih lanjut Dhani menyatakan bahwa “Itu
bukan urusan kami. Kami datang ke sini karena diundang oleh pihak promotor. Apa
yang penting kami dibayar untuk mengadakan pertunjukkan. Kalau mau salahkan,
salahkan saja pihak promotor pertunjukkan”.
Dani juga menyatakan kekesalannya apabila konsernya di Malaysia bersama
artis-artis Indonesia yang lain dilihat sebagai satu persaingan yang tidak sehat. Artis-
artis Indonesia tidak mempunyai perasaan seperti itu karena mereka menganggap
Malaysia adalah satu rumpun bangsa yang sama. Dhani sendiri mengaku menyukai
artis Malaysia seperti Sheila Majid. Dhani heran mengapa banyak artis dari Amerika
Serikat, bisa mengadakan pementasan di Malaysia sedangkan artis Indonesia tidak
bisa?”.
Penutup
Ketidakseimbangan pasar antara artis Indonesia yang mendapat pasar yang luas
di Malaysia dan artis Malaysia yang merasakan kurang mendapat pasar di Indonesia
menjadi salah satu pemicu munculnya pendapat-pendapat sumbang terhadap kehadiran
artis Indonesia di Malaysia.
Hal tersebut mengakibatkan musik pop dalam Hubungan Indonesia – Malaysia
telah mengalami pergeseran. Musik pop yang pada awalnya menjadi pengikat hubungan
serumpun, justru dapat menjadi batu sandungan dalam hubungan kedua negara. Makna
serumpun menjadi “asing” dalam musik populer kedua negara. Musik pop Indonesia
tidak dilihat lagi sebagai cultural sharing (a mutual sharing between cultures) atau
sebagai pengkayaan budaya tetapi lebih dilihat sebagai ancaman terhadap
keberlangsungan musik pop Malaysia. Terutama dilihat dari sisi industri musik. Musik
pop Indonesia ternyata tidak lagi sepenuhnya dianggap sebagai musik serumpun, tetapi
mulai dipandang oleh sebagian masyarakat Malaysia sebagai musik dari luar.
Bahkan dikatakan lebih jauh bahwa dominannya musik Indonesia di Malaysia
sebagai “penjajahan budaya” (cultural imperialism). Suatu istilah yang sebenarnya
harus dipertimbangkan kembali, karena istilah tersebut biasanya digunakan terhadap
dominasi budaya Barat terhadap budaya nonBarat.
Bagi Malaysia ketidakseimbangan pasar menjadi perhatian yang serius. Hal itu
dapat dilihat dari pernyataan Wakil Perdana Menteri Malaysia saat berkunjungan ke
Indonesia pada akhir tahun 2007. Pada kunjungan tersebut Wakil Perdana Menteri
meminta agar Indonesia membuka pasar yang lebih luas bagi produk industri budaya
(musik dan film) Malaysia. Wakil Perdana Menteri justru tidak menyatakan perlunya
mempertahankan atau bahkan mempererat hubungan budaya kedua negara.
Pada sisi lain, industri musik Indonesia sendiri sebetulnya merupakan pasar
yang terbuka bagi produk industri luar. Terlebih dari Malaysia, karena musik Malaysia
tidak dipandang sebagai produk industri budaya dari luar. Selama ini tidak
nampak adanya upaya dari pihak-pihak tertentu di Indonesia untuk menghalangi
masuknya musik Malaysia ke Indonesia.
Di tengah globalisasi sebaiknya tantangan dua negara serumpun ini adalah
bukan hanya memikirkan persaingan antar musik Indonesia dan Malaysia, tetapi harus
membawa musik pop mereka (serumpun) ke dalam industri musik internasional. Seperti
halnya sukses Korea dan Jepang, yang sudah diterima menjadi bagian industri musik
internasional. Dengan demikian musik dapat terus berperan sebagai perekat hubungan.

Raden Muhammad Mulyadi, dosen Jurusan Sejarah Fak Sastra Unpad, peneliti
Industri Budaya.

Tulisan ini merupakan makalah pada Seminar Internasional SEBUMI di Fak Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Indonesia tanggal 24 Juni 2008.

Anda mungkin juga menyukai