Latar Belakang
Pada kunjungan Presiden Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono ke Malaysia
bulan Januari 2008 secara khusus diadakan suatu konser musik di Auditorium Perdana
Angkasapuri. Konser bernama ‘Konsert Setiakawan’ itu dimeriahkan oleh artis terkenal
dari kedua negara. Menurut keterangan pemerintah Malaysia yang dinyatakan oleh
Menteri Penerangan, Datuk Seri Zainuddin Maidin, “Konsert Setiakawan merupakan
lambang semangat setia kawan kedua negara, sekaligus merayakan ulang tahun ke-50
hubungan Malaysia-Indonesia. Dalam acara tersebut menampilkan hubungan seni dan
budaya kedua negara serumpun itu yang tidak dapat dipisahkan.
Memang hubungan kedua negara diwarnai oleh hubungan kebudayaan yang
erat. Selain seni budaya tradisional, hubungan Indonesia – Malaysia pun diwarnai oleh
seni budaya kontemporer. Dalam hal seni budaya kontemporer misalnya terlihat dalam
musik pop, musik pop Indonesia dan musik pop Malaysia dapat dikatakan mempunyai
hubungan sejak tahun 1950-an. Hubungan tersebut ditandai dengan saling digemarinya
masing-masing artis kedua negara satu dengan lainnya. Pada saat itu beberapa penyanyi
pop dari Malaysia digemari di Indonesia, demikian pula sebaliknya. Hubungan tersebut
berupa beredarnya berbagai musik rekaman antar kedua negara, maupun pertunjukkan
musik panggung.
Sampai dengan era 1990-an hubungan musik pop Indonesia – Malaysia dapat
dikatakan berjalan dengan baik. Hubungan itu juga menandakan hubungan yang mesra
antar kedua negara. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, akhir tahun 1990-an,
musik Indonesia lebih menunjukkan dominasinya di Malaysia daripada musik Malaysia
di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan banyak pihak di Malaysia mulai
mempersoalkan dominasi musik pop Indonesia di Malaysia. Banyak hal dihubungkan
dengan dominasi musik pop Indonesia tersebut, seperti masalah nasionalisme, ekonomi,
dan kreativitas seni. Pada sisi lain masyarakat Indonesia sebetulnya sangat terbuka
dengan musik Malaysia, dan tidak pernah mempermasalahkan dari mana suatu musik
pop berasal.
Musik pop Indonesia dan Malaysia yang pada awalnya mempertegas identitas
serumpun, ternyata dapat menjadi batu sandungan dalam hubungan kedua negara
tersebut. Makalah ini berupaya menjelaskan permasalahan-permasalahan apa saja yang
timbul dalam hubungan musik antar kedua negara? Apakah musik pop masih menjadi
perekat hubungan Indonesia – Malaysia?
Musik Malaysia di Indonesia
Dalam tahun 1950-1960an banyak masyarakat Indonesia mengenal seorang
artis legendaris asal Malaysia yaitu P Ramlee baik melalui musik maupun film-nya.
Lagu-lagu dari P Ramlee yang dikenal di Indonesia di antaranya adalah Engkau
Laksana Bulan dan Azizah. Pada era 1980an beberapa penyanyi Malaysia yang dikenal
di Indonesia adalah Anita Serawak dengan lagunya Tragedi Buah Apel dan Sheila
Madjid dengan lagunya Antara Anyer dan Jakarta. Pada era 1980 dan awal 1990-an
giliran penyanyi slow rock Malaysia menembus pasaran Indonesia, penyanyi tersebut
adalah Amy Search (Isabela), Grup Slam (Gerimis Mengundang) dan Iklim Saleem
(Suci dalam Debu). Era 1990-an akhir sampai saat ini penyanyi Malaysia Siti Nurhaliza
merupakan penyanyi Malaysia yang paling populer di Indonesia. Era 2000-an
kelompok Thoo Pat merupakan grup vokal yang juga sempat menjadi favorit ramaja-
remaja Indonesia.
Penyanyi Malaysia era pertengahan 1990-an sampai tahun 2000-an awal yang
menjadi trend setter bagi remaja Indonesia, khususnya yang beragama Islam adalah
grup Raihan. Grup Raihan merupakan sekumpulan anak muda Malaysia yang
berdakwah melalui lagu. Lagu-lagu mereka digolongkan sebagai nasyid, lagu-lagu
pujian. Secara irama dapat dikatagorikan sebagai musik pop. Grup ini dikatakan trend
setter, karena setelah kepopuleran grup ini di Indonesia banyak bermunculan grup
nasyid Indonesia. Raihan pun berulangkali mengadakan pertunjukkan di Indonesia.
Raden Muhammad Mulyadi, dosen Jurusan Sejarah Fak Sastra Unpad, peneliti
Industri Budaya.
Tulisan ini merupakan makalah pada Seminar Internasional SEBUMI di Fak Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Indonesia tanggal 24 Juni 2008.