Anda di halaman 1dari 16

Gaya Hidup Elite Minangkabau..... (Dwi Vina Lestari, Nina H. Lubis, R.M.

Mulyadi) 45

GAYA HIDUP ELITE MINANGKABAU


DI AFDEELING AGAM (1837-1942)
THE LIFE STYLE OF MINANGKABAU ELITE
IN AFDEELING AGAM (1837-1942)

Dwi Vina Lestari, Nina Herlina Lubis, R.M. Mulyadi


Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung Sumedang Km. 21 Jatinangor
e-mail: dwi.vinalestari@gmail.com, nina.herlina@unpad.ac.id, r.m.mulyadi@unpad.ac.id

Naskah Diterima:6 Januari 2017 Naskah Direvisi:10 Februari 2017 Naskah Disetujui:20 Februari 2017

Abstrak
Elite Minangkabau di Afdeeling Agam mengalami perubahan, baik meliputi status,
kekuasaan, maupun sumber penghasilan. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan ditetapkannya
kebijakan politik Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat (1837-1942). Untuk
menjabarkan persoalan tersebut diperlukan kajian historis menggunakan metode sejarah, terdiri
atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Selain itu, untuk menghasikan karya yang
bersifat analitis, dilakukan pendekatan ilmu antropologi dan sosiologi politik. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, gaya hidup elite Minangkabau di Afdeeling Agam pada 1837-1942
tidak mengalami perubahan seutuhnya, melainkan terjadi akulturasi budaya asli Minangkabau
dengan budaya Barat. Umumnya, gaya hidup elite tradisional Minangkabau yang menduduki
jabatan kolonial mencerminkan statusnya sebagai pegawai pemerintah dan pemimpin sukunya
masing-masing, sedangkan gaya hidup elite intelektual lebih banyak menyerap budaya Barat.
Meskipun demikian, baik elite tradisional maupun elite intelektual tetap menunjukkan cirinya
sebagai orang Minangkabau, dapat diperhatikan dari agama dan tradisi adat yang tetap
dilakukan hingga saat ini.
Kata kunci: elite tradisional Minangkabau, elite intelektual, Afdeeling Agam.
Abstract
Minangkabau Elite in Afdeeling Agam has been changed, including status, power, and
income sources. It coincided with the enactment of the Dutch East Indies government policy in
West Sumatra (1837-1942). To describe these issues, it needs historical study by using the
historical method; it consists of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. In
addition, to generate the analytical work, the writer does anthropology and political sociology
approach. Based on the research, Minangkabau elite lifestyle in Afdeeling Agam in 1837-1942 did
not change completely, but there were an acculturation between native Minangkabau and Western
culture. Generally, the traditional Minangkabau elite lifestyle which has colonial positions
reflected its status as government officials and leaders of their own people. Meanwhile, the
intellectual elite lifestyle absorbed Western culture. Nonetheless, both the traditional elite and
intellectual elite continued to show the character as the Minangkabau, it can be considered from
the religious and customary traditions which are still being done until today.
Keywords: Minangkabau Traditional elite, intellectual elite, afdeeling Agam.

A. PENDAHULUAN (Asnan, 2003: xv). Agam, yang menjadi


Minangkabau identik dengan batasan spasial dalam penelitian ini
wilayah administratif Provinsi Sumatera merupakan bagian dari Sumatera Barat.
Barat saat ini, ditambah Kabupaten Wilayah tersebut terletak di kaki Gunung
Kampar dan Kuantan di Provinsi Riau, Merapi dan Gunung Singgalang. Sejak
serta dikurangi Kepulauan Mentawai Belanda memperkenal- kan sistem
46 Patanjala Vol. 9 No. 1 Maret 2017: 45-60

pemerintahannya, Agam memperoleh terbatas pada daerah asal (Kato, 2005:


kedudukan sebagai daerah administratif 100).
setingkat afdeeling dengan ibu kota Fort de Pada 1914, sistem laras diganti
Kock (Asnan, 2003: 12). dengan sistem distrik yang dikepalai oleh
Masyarakat Minangkabau demang. Berbeda dengan kepala laras,
menganut sistem demokrasi. Strata sosial seorang demang dipilih berdasarkan
hanya berlaku dalam sebuah desa sehingga tingkat pendidikan dan kemampuannya
dikenal tiga lapisan masyarakat, yaitu (Zulqayyim, 2006: 47). Selain itu, juga
bangsawan, orang biasa, dan orang paling terdapat elite intelektual. Golongan
rendah (Junus, 1999: 158). Sementara itu, tersebut muncul akibat berkembangnya
stratifikasi sosial di Pedalaman Sumatera pendidikan Barat di Sumatera Barat.
Barat dibedakan berdasarkan tempat Kedudukan elite intelektual dan
tinggal sehingga dikenal keluarga pendiri elite tradisional Minangkabau di Afdeeling
kampung, pendatang yang mempunyai Agam membawa perubahan politik dan
hak, dan pendatang yang tidak mempunyai sosial. Status sosial yang tinggi
hak (Josselin, 1975: 11). Meskipun menentukan gaya hidup mereka. Pada
demikian, banyak peneliti yang setuju hakikatnya, gaya hidup memuat suatu
bahwa orang pertama pendiri nagari eksklusivisme yang menonjolkan adanya
(bentuk khusus wilayah pemerintahan perbedaan status. Perbedaan tersebut
menurut sistem hukum adat Minangkabau) sering dilambangkan sebagai larangan bagi
memiliki status lebih tinggi. Mereka suatu golongan dan hak istimewa bagi
mempunyai tanah yang lebih luas sehingga golongan tertentu (Kartodirdjo, et al.,
berbeda dengan masyarakat pada 1993: 53; Lubis, 1998: 3). Untuk itu, gaya
umumnya (Kato, 2005: 50). hidup dapat dijadikan sebagai salah satu
Sebelum Belanda berkuasa di cara untuk melihat perubahan kedudukan
Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau dan kekuasaan elite Minangkabau di
tidak mengenal struktur politik Afdeeling Agam pada masa Pemerintahan
pemerintahan yang lebih tinggi dari nagari Hindia Belanda yang dibahas dalam
(Zulqayyim, 2006: 39). Tiap nagari bebas, penelitian ini.
berdiri sendiri, dan tidak memiliki Pada penelitian terdahulu, Graves
hubungan dengan nagari-nagari tetanggga, (2007) mengungkapkan tentang reaksi
kecuali untuk keamanan bersama. Sistem bumiputra terhadap kekuasaan kolonial
pemerintahan nagari tetap bertahan hingga Belanda di Minangkabau, khususnya
dekade kedua abad ke-19. Dalam sistem berkenaan dengan perkembangan abad ke-
pemerintahan ini, penghulu adalah ningrat, 19; Reid (2012) menguraikan pertikaian
jabatan dengan hak istimewa dan gelar kelas, konflik, bentrok agama sebagai titik
datuak yang digunakannya. Situasi balik menghilangnya kaum bangsawan,
tersebut menyulitkan Belanda menerapkan raja dan sultan Aceh, sekaligus sebagai
sistem politik kolonialnya. Untuk itu, tanda dimulainya perputaran sejarah
dibentuk sistem pemerintahan supra modern di Sumatera; Sjarifoedin (2011)
nagari (Amran, 1986: 187; Zulqayyim, memaparkan sejarah Minangkabau, mulai
2006: 39-40; Mansoer, et al., 1970: 13). dari awal berdirinya Minangkabau,
Dalam sistem pemerintahan yang Kerajaan Minangkabau, Adityawarman,
baru, Belanda membentuk jabatan baru di Kerajaan Pagaruyung, masuk dan
luar adat, di antaranya kepala laras berkembangnya Islam, hingga kebangkitan
(larashoofd), penghulu kepala, dan Islam; Hadler (2010) mendeskripsikan
penghulu suku rodi. Umumnya, mereka mengenai sejarah ringkas Perang Paderi,
berasal dari elite penghulu tradisional berakhirnya Perang Paderi hingga
nagari yang sedang berkuasa. Meskipun kekalahan Tuanku Imam Bonjol,
menyandang gelar baru, kekuasaannya masuknya Sumatera Barat ke dalam Hindia
Gaya Hidup Elite Minangkabau..... (Dwi Vina Lestari, Nina H. Lubis, R.M. Mulyadi) 47

Timur Belanda, perdebatan tentang fisik B. METODE PENELITIAN


rumah, konsep keluarga, pendidikan anak- Penelitian ini menggunakan
anak dalam masyarakat Minangkabau, metode sejarah yang terdiri atas heuristik,
gagasan moralitas dan peran perempuan kritik, interpretasi, dan historiografi.
pada awal abad ke-20, serta kontroversi Tahapan pertama dari metode sejarah
publik antara matriarkat, Islam reformis, adalah heuristik, merupakan tahapan atau
dan progresivisme yang mendominasi kegiatan menemukan dan menghimpun
pergerakan masyarakat Minangkabau; sumber, informasi, jejak masa lampau
Manan (1984) membahas tentang (Herlina, 2008: 7-15). Setelah sumber
kehidupan penghulu andiko sebagai elite terhimpun, dilakukan tahapan kedua, yaitu
tradisional di Minangkabau; Lubis (1998) kritik, terdiri atas kritik eksternal dan kritik
menjelaskan berbagai aspek kehidupan internal. Kritik eksternal dilakukan dengan
Kaum Menak Priangan pada 1800-1942, meneliti keaslian sumber dan kritik
terutama berkaitan dengan gaya hidup internal dengan meneliti kredibilitas
Kaum Menak yang meliputi gelar dan sumber (Kuntowijoyo, 2013: 77-78).
nama, tempat tinggal, etiket dan bahasa, Sumber yang telah dikritik belum
pusaka dan upacara, pendidikan, dianggap sebagai fakta sejarah. Untuk itu,
perkawinan dan konkubinasi, kesenian dan perlu dilakukan koroborasi suatu sumber
rekreasi, kebiasaan makan, serta agama sejarah dengan sumber lain yang bersifat
dan kepercayaan. Penjelasan tersebut merdeka sehingga menghasilkan fakta
dijadikan sebagai model dalam penelitian yang mendekati kepastian (centainty fact).
ini dengan objek penelitian, batasan spasial Jika koroborasi tidak bisa dilakukan,
dan temporal yang berbeda. Penelitian ini berlaku prinsip argumentum ex silentio,
membahas dinamika gaya hidup elite sumber yang berisi data dianggap sebagai
Minangkabau di Afdeeling Agam tahun fakta (Gottschalk, 2008: 130; Herlina,
1837-1942. Tahun 1837 dijadikan sebagai 2008: 34-35).
titik awal penelitian, berkaitan dengan Tahapan ketiga disebut
pembentukan Gouvernement Sumatra’s interpretasi, terdiri atas analisis
Westkust melalui Besluit Gouvernement (menguraikan) dan sintesis (menyatukan).
Kommissaris Cochius pada 29 November Untuk itu, pada tahapan ini, penulis harus
1837 dan jatuhnya benteng terakhir Paderi mengambil jarak dengan sumber agar tidak
di Bonjol. Jatuhnya benteng tersebut terlalu dekat dan menimbulkan bias.
dianggap petinggi sipil dan militer Belanda Dalam hal ini dikenal beberapa jenis
di daerah tersebut sebagai awal baru dari interpretasi, yaitu interpretasi verbal,
kekuasaan mereka (Asnan, 2006: 43-44). teknis, logis, psikologis, dan faktual.
Tahun 1942 sebagai titik akhir penelitian Selanjutnya, tahapan akhir dari metode
berkaitan dengan berakhirnya masa sejarah disebut historiografi (Herlina,
Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera 2008: 36-60).
Barat. Penjelasan yang bersifat analitis
Keluarga elite tradisional terkemuka di diperoleh melalui pendekatan ilmu
Afdeeling Agam yang dijadikan objek antropologi dan sosiologi politik.
penelitian ini, yaitu Yahya Datuak Kayo Pendekatan antropologi dapat mem-
dari Koto Gadang, Djaa Datuak Batuah pertajam analisis, menyangkut status sosial
dari Tilatang, dan Sulaiman Datuak dan gaya hidup, serta aspek-aspek yang
Tumangguang (Datuak Tumangguang berkaitan dengan kedua unsur kultural
Sutan Sulaiman) dari Sungai Puar. tersebut, termasuk meneliti latar belakang
Sementara itu, elite intelektual yang budaya sehingga melahirkan suatu prilaku
dimaksud di antaranya, Haji Agus Salim, politik. Pendekatan sosiologi politik
Sutan Sjahrir, Abdul Muis, dan digunakan untuk menjelaskan hubungan
Mohammad Hatta. antara status dan kekuasaan, masalah
48 Patanjala Vol. 9 No. 1 Maret 2017: 45-60

otoritas, hubungan-hubungan sosial, dan Pada hakikatnya, seorang elite mampu


masalah birokrasi (Lubis, 1998: 12). Selain berdiri pada puncak piramida cabang
itu, penulis juga menggunakan konsep kegiatannya. Ia membagi kelas elite
gaya hidup dan elite. menjadi dua kelompok, yaitu elite yang
Gaya hidup (style of life) memerintah (governing elite) dan elite
mengandung pengertian yang meliputi yang tidak memerintah (non-governing
karakteristik, kekhususan, dan tata cara elite). Elite memerintah terdiri dari
dalam kehidupan suatu golongan individu-individu yang secara langsung
masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan, gaya atau tidak langsung memainkan peranan
hidup menunjukkan bagaimana orang besar dalam pemerintahan, sedangkan elite
mengatur kehidupan pribadinya, hidup yang tidak memerintah merupakan sisanya.
bermasyarakat, bertingkah laku di depan Kemudian, Gaetano Mosca menjelaskan
umum, dan membedakan statusnya dari bahwa dalam setiap masyarakat dijumpai
orang melalui lambang-lambang. Adapun dua kelas, yaitu kelas yang berkuasa dan
aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya kelas yang dikuasai. Kelas pertama
hidup, di antaranya gelar dan nama, jumlahnya jauh lebih sedikit,
pakaian, tempat tinggal, etika dan bahasa, melaksanakan fungsi politik, monopoli
pusaka, upacara yang dijalankan selama kekuasaan dan menikmati keistimewaan
hidup, pendidikan, perkawinan dan yang diberikan oleh kekuasaan. Sementara
konkubinasi, ikatan kekerabatan, serta itu, kelas yang kedua jumlahnya lebih
kesenian dan rekreasi (Lubis, 1998: 4 & banyak, diperintah, dan dikendalikan oleh
153). Dalam hal ini, gaya hidup dijadikan yang pertama. Meskipun demikian, baik
sebagai petunjuk utama dari status Pareto maupun Mosca memusatkan
(Kartodirdjo, et al., 1993: 53). Oleh karena perhatian pada elite dalam artian
itu, dalam penelitian ini konsep gaya hidup kelompok-kelompok yang secara langsung
dan aspek-aspeknya digunakan untuk menggunakan atau berada dalam posisi
menguraikan perubahan kedudukan dan yang memberikan pengaruh kuat terhadap
kekuasaan elite Minangkabau di Afdeeling penggunaan kekuataan politik. Pada saat
Agam sehingga bisa membedakannya yang sama, mereka menyadari bahwa elite
dengan masyarakat kebanyakan. memerintah atau kelas politik terdiri dari
Sementara itu, konsep elite digunakan kelompok-kelompok sosial berbeda
untuk menjelaskan kedudukan penghulu (Bottomore, 2006: 2-5).
sebagai elite tradisional Minangkabau yang
dianggap sebagai keluarga pendiri C. HASIL DAN BAHASAN
kampung dan pegawai Pemerintah Belanda 1. Afdeeling Agam Abad XIX hingga
di Sumatera Barat, serta elite intelektual Awal Abad XX
sebagai elite baru. Daerah Dataran Tinggi Agam
Istilah elite berasal dari bahasa disebut juga dengan Luhak Agam
latin “eligere” yang berarti “memilih”. (Mansoer, et al., 1970: 2-3; Navis, 1986:
Kata ini digunakan pada abad ke-17 untuk 28; Zulqayyim, 2006: 7). Wilayah tersebut
menggambarkan barang-barang dengan terletak di kaki Gunung Merapi dan
kualitas yang sempurna, penggunaannya, Singgalang (Asnan, 2003: 12). Sebelah
kemudian diperluas untuk merujuk pada utara, Agam berbatasan dengan Kabupaten
kelompok-kelompok sosial unggul. Pasaman, di timur laut dengan Kabupaten
Menurut Oxford English Dictionary, kata Limapuluh Koto, di timur dengan
elite digunakan sejak 1823 untuk Kabupaten Tanah Datar, di selatan dengan
kelompok-kelompok sosial (Bottomore, Kabupaten Padang Pariaman, serta di
2006: 1). bagian barat dan tenggara menghadap ke
Pareto menjelaskan bahwa setiap Lautan Hindia (Ensiklopedi Nasional
cabang kegiatan manusia memiliki elite. Indonesia Jilid 1, 1988: 123).
Gaya Hidup Elite Minangkabau..... (Dwi Vina Lestari, Nina H. Lubis, R.M. Mulyadi) 49

Keadaan alam Agam cukup Lurah, dan Bonjol. Masing-masing


beragam dan subur. Pantai baratnya berupa onderafdeeling terdiri atas beberapa
dataran rendah subur dengan budi daya kelarasan dan setiap kelarasan terdiri atas
kelapa dan makin ke timur tanahnya subur. beberapa nagari sebagai satuan politik
(Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 1, terkecil. Pada 1913, dilakukan kembali
1988: 123). Wilayah tersebut dilalui reorganisasi wilayah administratif,
banyak sungai, bersumber dari pinggang sehingga keberadaan Residentie
Gunung Merapi, dua di antaranya Batang Padangsche Bovenlanden dan Padangsche
Agam dan Batang Tambuo yang melewati Benedenlanden dihapuskan. Sejak saat itu,
Bukittinggi (Zulqayyim, 2006: 15). Afdeeling Agam langsung berada di bawah
Sungai-sungai tersebut digunakan untuk Residentie Sumatra’s Westkust (Asnan,
mengairi sawah dan ladang para petani. 2006: 32-79; Regeeringsalmanak voor
Perbedaan bentuk wilayah Agam Nederlandsch-Indie 1884-1942).
mengakibatkan beraneka ragam kehidupan Penduduk Afdeeling Agam
perekonomian masyarakatnya. Nagari- mengalami peningkatan setiap tahunnya.
nagari yang terletak di kaki Gunung Pada 1852 berjumlah 197.217 jiwa, terdiri
Merapi dan Gunung Singgalang disebut atas 30 Eropa, 196.927 pribumi, 49 Cina,
desa perbukitan (Canduang, Sungai Pua, dan 21 budak (Graves, 2007: 92). Pada
Pandai Sikek, Koto Gadang, Guguak, 1920, mengalami peningkatan menjadi
Malalak, Balingka, Matua, dan Kamang). 353.823 jiwa, terdiri atas 438 Eropa,
Penduduk yang mendiami nagari-nagari 352.529 pribumi, 688 Cina, dan 168
tersebut memenuhi kebutuhan hidup bangsa lain. Sementara itu, berdasarkan
dengan menanam tanaman keras (kopi, sensus penduduk tahun 1930, jumlah
indigo, dan kulit manis) dan sayur-sayuran penduduk di wilayah tersebut meningkat
(kentang dan buncis). Sementara itu, menjadi 434.209 jiwa, terdiri atas 693
nagari-nagari yang terletak di daerah Eropa, 431.997 pribumi, 1.208 Cina, 311
lembah disebut desa persawahan (IV lainnya yang tersebar di Onderafdeeling
Angkek, Kapau, dan Tilatang). Meskipun Ophir, Lubuaksikaping, Oud Agam, dan
demikian, sebagian dari masyarakat Agam Maninjau. Dengan demikian, penduduk
bergerak dalam industri rumah tangga dan terbanyak berada di Onderafdeeling Oud
perdagangan (Zulqayyim, 2006: 15-16). Agam dengan 191.707 jiwa penduduk dan
Sebelum Belanda datang ke paling kecil berada di Onderafdeeling
Sumatera Barat, daerah Agam telah Lubuk Sikaping dengan 51.553 jiwa
berhubungan dengan pantai barat, terutama penduduk (Volkstelling 1930, 1935: 113).
Pariaman untuk mendapatkan garam dan
ikan kering (Asnan, 2003: 12). Kedatangan 2. Elite Minangkabau di Afdeeling
Belanda untuk kedua kalinya pada 1819, Agam (1837-1942)
mengakibatkan Agam memperoleh Elite Minangkabau yang dibahas
kedudukan sebagai daerah administratif dalam penelitian ini terdiri atas elite
setingkat afdeeling. tradisional dan elite intelektual. Elite
Pada 1837, Agam merupakan tradisional (penghulu) merupakan seorang
bagian dari wilayah Afdeeling van laki-laki yang dituakan dalam suku di
Padangsche Bovenlanden. Dalam Minangkabau dan diberi gelar datuak. Ia
perkembangannya, pada 1841, Agam bertanggung jawab serta berkewajiban
memiliki status administratif setingkat memelihara anggota kaum, suku, dan
afdeeling dan bagian dari Residentie nagari (Sjarifoedin, 2011: 140, Asnan,
Padangsche Bovenlanden. Saat itu, 2003: 243). Pada masa kolonial, sebagian
Afdeeling Agam terbagi atas beberapa besar penghulu menduduki jabatan dalam
onderafdeeling, yaitu Oud Agam, Danau birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda.
Districten en Matoer, VIII Koto en VII Sementara itu, ciri utama dari elite
50 Patanjala Vol. 9 No. 1 Maret 2017: 45-60

intelektual adalah seorang tamatan sekolah 3. Gaya Hidup Elite Minangkabau di


sekuler, tetapi tidak dapat ditemukan di Afdeeling Agam (1837-1942)
nagari asalnya karena mereka telah a) Nama dan Gelar
merantau (Graves, 2007: 241). Laki-laki Minangkabau
Elite tradisional Minangkabau di menggunakan nama pemberian orang tua
Afdeeling Agam yang dijadikan objek dari lahir hingga usia tertentu dan setelah
penelitian, di antaranya Sulaiman Datuak menikah ia akan mendapatkan gala (gelar).
Tumangguang, Yahya Datuak Kayo, dan Hal tersebut sesuai dengan pepatah ketek
Djaa Datuak Batuah. Sulaiman Datuak banamo, gadang bagala (Navis, 1986:
Tumangguang adalah seorang Kepala 132). Dengan kata lain, laki-laki
Laras Sungai Puar (1870-1930). Ia Minangkabau menggunakan nama
merupakan kepala laras terkemuka di pemberian orang tua dari lahir hingga usia
Minangkabau dan dikenal sangat dekat tertentu, setelah dewasa dan menikah ia
dengan Belanda (Suryadi, 2016). Yahya mendapatkan gelar, sehingga nama aslinya
Datuak Kayo adalah Kepala Laras IV Koto tidak digunakan lagi.
terakhir (Etek, et al., 2007: 6, 187-204; Gelar di Minangkabau dibedakan
Etek, et al., 2008: 1-6). Sementara itu, menjadi gala pusako (gelar pusaka) dan
Djaa Datuak Batuah diangkat menjadi gala buatan (gelar buatan), serta gala
Kepala Distrik (districtshoofd) kelas 1 bapangkat (gelar berpangkat) dan gala
Tilatang pada 7 Juni 1923. Keluarganya mudo (gelar muda). Gelar pusaka
merupakan keturunan kepala laras suduik merupakan gelar sebenarnya yang
basuik dan cukup berpengaruh di diturunkan berdasarkan sistem matrilineal;
Minangkabau (Suryadi, 2016). gelar buatan ditetapkan melalui
Elite intelektual di Afdeeling persetujuan keluarga induak (induk); gelar
Agam berada di nagari-nagari kecil yang berpangkat menggunakan titel datuak yang
berada di kawasan perbukitan sekitar diturunkan berdasarkan sistem matrilineal;
Bukittinggi (Graves, 2007: 245). dan gelar muda menggunakan titel sutan.
Bukittinggi merupakan kota kelahiran Ukuran tua atau muda di Agam ditentukan
Mohammad Hatta. Ia merupakan anak dari oleh kelahiran seorang cucu. Orang yang
Haji Mohammad Djamil (Syekh belum memiliki cucu dianggap masih
Batuhampar, ulama Minangkabau). muda dan sebaliknya (Mansveld, 1876:
Sementara itu, berbagai unsur yang 450-451).
mendorong minat pendidikan sekuler di Pada masa Pemerintahan Hindia
kawasan Dataran Tinggi Sumatera Barat Belanda, orang-orang yang memiliki
terkonsentrasi di Koto Gadang. Wilayah jabatan tinggi, seperti kepala laras,
tersebut dikenal sebagai tempat lahirnya penghulu kepala, kepala nagari, penghulu
tokoh nasionalis, seperti Haji Agus Salim, suku rodi, demang, dan asisten demang,
Sutan Sjahrir, dan Abdul Muis. Haji Agus terkadang menggunakan gelar datuak
Salim adalah anak dari Sutan Mohammad sebagai sebuah penghormatan, tetapi tidak
Salim (hoofdjaksa Riau en bisa diwariskan (Navis, 1986: 135).
Onderhorigheden) dan Sutan Sjahrir Sebagian besar yang menduduki jabatan
adalah anak dari Mohammad Rasyad gelar tersebut berasal dari kalangan adat yang
Maharaja Soetan (pernah menjadi juru tulis berkedudukan sebagai seorang penghulu.
di Alahan Panjang, hoofdjaksa di Talu, Meskipun mereka menyandang gelar-gelar
Rao, Padang Panjang, dan Medan). Abdul baru di luar adat, kekuasaannya masih
Muis merupakan anak Sulaiman Datuak terbatas pada daerah asal dan tidak bisa
Tumangguang (Kepala Laras Sungai dipindahkan ke tempat lain (Kato, 2005:
Puar), tetapi ibunya berasal dari Koto 100).
Gadang. Umumnya, pemberian gelar di
Minangkabau sama. Salah satu contoh
Gaya Hidup Elite Minangkabau..... (Dwi Vina Lestari, Nina H. Lubis, R.M. Mulyadi) 51

dapat diperhatikan dari pemberian gelar b) Tempat Tinggal


kepada Yahja Datuak Kayo. Yahya Rumah gadang merupakan
menerima gelar Datuak Kayo saat berumur bangunan terpenting di Minangkabau.
20 tahun 9 bulan, setelah pamannya, Rumah gadang dikatakan gadang (besar)
Landjadin Khatib Besar gelar Datuak Kayo bukan dilihat dari fisiknya, melainkan
meninggal dunia. Kedudukan Yahya karena memiliki fungsi yang besar (Navis,
sebagai seorang penghulu suku di Koto 1986: 176-177). Bangunan tersebut terbuat
Gadang, memberikannya kesempatan dari kayu, didirikan di atas panggung,
untuk menduduki jabatan kepala laras. atapnya membungkuk berbentuk pelana,
Setelah dilakukan beberapa proses biasanya memiliki empat gonjong atau
pemilihan, melalui Besluit Gubernur lebih, ruang bagian bawah, dan ukuran
Sumatera Barat 11 Mei 1895, Yahya ditentukan oleh jumlah keluarga yang
Datuak Kayo resmi diangkat menjadi mendiaminya (Joustra, 1920: 166).
Kepala Laras IV Koto. Saat sistem
kelarasan diganti dengan sistem demang,
Yahya tetap menduduki jabatan dalam
birokrasi Pemerintahan Belanda sebagai
Demang Bukittinggi (1914), Demang
Payakumbuh (1915), Demang Padang
Panjang (1919-1928), dan Demang Air
Bangis pada tahun 1927 (Etek, et al., 2007:
187-189; Etek, et al., 2008: 3-4). Meskipun
demikian, selama menduduki jabatan-
jabatan tersebut, ia tetap menggunakan
gelar datuak sebagai gelar pusaka. Namun, Gambar 1. Rumah Gadang dan Gudang Beras
Kepala Laras Sungai Puar
dalam kesehariannya, saat menjabat
Sumber: Joustra, M, 1920: 167
sebagai kepala laras ia dipanggil dengan
angku lareh, sedangkan saat menjabat Atap rumah gadang dibuat sejajar
sebagai demang dipanggil dengan angku dengan jalan berdirinya rumah dan
demang. dibengkokkan dalam bentuk tanduk
Berbeda dengan elite intelektual, kerbau. Atap khas Minangkabau juga
Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Abdul ditemukan pada lumbung padi
Muis, dan Mohammad Hatta tidak (rangkiang), rumah tabuah, dan balai adat.
menggunakan gelar sesuai ketentuan adat Dalam hal ini, rumah gadang bangsawan
Minangkabau. Mereka menggunakan nama memiliki lebih dari dua gonjong, biasanya
pemberian orang tua sebagai identitasnya. empat atau enam. Di daerah Silungkang,
Hal tersebut berkaitan dengan tradisi Sulit Air, dan Koto Gadang, ruang bagian
merantau dan pendidikan Barat yang bawah digunakan untuk menenun. Selain
dijalaninya. Meskipun demikian, gelar itu, bangunan rumah gadang memiliki
sutan di depan nama Sjahrir adalah ukiran lebih rumit, ukuran lebih lebar,
pemberian orang tuanya (Mrazek, 1996: anjuang pada kedua ujung rumah, serta
8). Berbeda dengan Hatta, ia tidak dihiasi dengan pahatan dengan warna yang
menggunakan gelar dan tidak mengetahui berbeda, sebagian merah, putih, hitam,
sukunya. Menurut kakek Hatta, hal kadang-kadang biru, dan dilengkapi
tersebut berkaitan dengan tradisi merantau susunan cermin secara beraturan (Joustra,
yang dilakukannya sejak umur 19 tahun 1923: 154; Kato, 2005: 52; Boomgaard,
dan baru kembali setelah 13 tahun 1929: 26).
kemudian (Hatta, 1982: 268-271). Kedatangan bangsa Eropa ke
Sumatera Barat pada abad ke-19, telah
mengubah ciri dari bangunan rumah
52 Patanjala Vol. 9 No. 1 Maret 2017: 45-60

gadang. Sejak saat itu, masyarakat foto. Pada 1895, seorang ilmuan Jerman
Minangkabau cenderung menggunakan menjelaskan keadaan arsitektur bangunan
seng sebagai bahan dasar atap Rumah Gadang Sulaiman Datuak
(Boomgaard, 1929: 22-27). Menurut Tumangguang dengan mengambil foto
laporan seorang petualang, atap seng sudah kamar utama. Ia mendeskripsikan bahwa
banyak digunakan oleh orang-orang ruangan tersebut memiliki tiang-tiang yang
kampung di Minangkabau sekitar tahun diukir, lampu-lampu minyak yang
1907 (Kiyono, 1943: 283 dalam Kato, mengantung, dan klavir antik yang
2005: 39). Selain itu, kolonialisasi juga ditempatkan di sudut. Foto yang hampir
mempengaruhi motif-motif hiasan yang sama juga diambil Joustra sekitar tahun
digunakan. Umumnya, bagian depan 1920 (Gambar 2) (Hadler, 2008: 89-91;
dihiasi dengan berbagai ukiran warna- Asnan, 2006: 91).
warni, biasanya memiliki motif tumbuh-
tumbuhan. Selain itu, ditemukan peralatan
rumah tangga bergaya Eropa, seperti meja,
kursi, dan lampu minyak. Sebagian besar
dari peralatan tersebut dibuat sendiri
dengan menggunakan bahan-bahan alam,
di antaranya bambu, kayu, tanduk, kulit
binatang, logam, besi, tembaga, dengan
dekorasi dan warna yang berbeda (Joustra, Gambar 3. Rumah Kelahiran Mohammad Hatta
1923: 157). Namun, pengaruh Barat hanya Sumber: Hatta, 1982: 7
terjadi pada rumah-rumah orang kaya,
kepala, dan pejabat pribumi. Berbeda dengan elite tradisional,
Haji Agus Salim dan Sutan Sjahrir sejak
kecil hidup di rantau sehingga
mengharuskan mereka tinggal di
lingkungan Eropa. Sementara itu, Hatta
tinggal di Bukittinggi, rumahnya terbuat
dari papan, menggunakan atap seng, dan
memiliki dua tingkat , seperti Gambar 3
(Hatta, 1982: 2).

c) Bahasa dan Etika


Gambar 2 Tengah Rumah Gadang
Sulaiman Datuak Tumangguang Masyarakat Minangkabau meng-
Sumber: Joustra, M, 1923; 112 gunakan Bahasa Minang untuk
berkomunikasi. Menurut penelitian ilmu
Pengaruh Eropa ditemukan pada bahasa, Bahasa Minang dianggap sebagai
bangunan Rumah Gadang Sulaiman rumpun Bahasa Melayu, namun telah
Datuak Tumangguang, Kepala Laras mengalami perubahan dari bentuk asli,
Sungai Puar (1870-1930) (Gambar 1). terutama berkaitan dengan dialek dan
Rumahnya merupakan salah satu bangunan bunyi (Graaf & Stibbe, 1919: 494). Pada
termewah saat itu. Selain mendapatkan gaji masa Pemerintahan Hindia Belanda,
sebesar f.80,- per bulan, seorang kepala Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa
laras juga mendapatkan tunjangan pengantar pada sekolah Melayu dan
perbaikan rumah sebesar f.25,- per bulan bumiputra lainnya (Zulqayyim, 2006: 82-
sehingga tidak mengherankan jika 83). Menurut surat pemberitahuan dari s.p.t
rumahnya berbeda dengan masyarakat Directeur van Onderwijs en Eeredienst
Minangkabau lainnya. Ia mengizinkan pada 13 Maret 1831 no. 10152/D, Bahasa
orang-orang asing mengunjungi Minang dipakai dalam pengajaran sekolah-
kediamannya dan diabadikan dalam bentuk sekolah nagari, sekolah-sekolah
Gaya Hidup Elite Minangkabau..... (Dwi Vina Lestari, Nina H. Lubis, R.M. Mulyadi) 53

gouvernement di Sumatra’s Westkust, dan mandata (kata mendatar) kepada teman


Normal School di Padang Panjang. Oleh sebaya. Meskipun demikian, di daerah ini
karena itu, mulai tahun ajaran 1933/1934 tidak dikenal bahasa bangsawan dan
pemerintah menerbitkan kamus bahasa bahasa rakyat. Perbedaannya hanya
Minang (Soeloeh Agam, Mei 1934). terdapat pada cara pemakaian yang
Sejak 1 Maret 1873, Bahasa ditentukan oleh lawan berbicara sehingga
Belanda mulai diajarkan kepada murid- bahasa Minangkabau tidaklah egaliter
murid Kweekschool di Fort de Kock. (Navis, 1986: 101-102; Oktavianus & Ike
Namun, pada 1894 mata pelajaran Bahasa Revita, 2013: 26-31). Selain itu, tata karma
Belanda dihapuskan dan secara resmi masyarakat Minangkabau juga dapat
diajarkan kembali pada 1904 (Friederich, diperhatikan dari cara berpakaian.
1908: 17- 28; Zulqayyim, 2006: 96). Dalam kehidupan sehari-hari, baik
Dalam perkembangannya, menjelang abad di tempat kerja maupun di rumah,
ke-20, Bahasa Belanda dijadikan salah satu umumnya laki-laki di Minangkabau
persyaratan agar bisa menjadi pegawai menggunakan pakaian sederhana, terdiri
sipil (Graves, 2007: 213). Bahkan, atas penutup kepala, jaket atau jas, ikat
keluarga Haji Agus Salim menjadikan pinggang, celana, dan saputangan (Joustra,
Bahasa Belanda sebagai bahasa ibu. Ia 1923: 162; Graaf & Stibbe, 1919: 384).
mengajak dan mengajarkan anak-anaknya Dalam perkembangannya, saat menduduki
untuk berbicara menggunakan bahasa jabatan pemerintah kolonial, mereka
Belanda sejak lahir. Setelah berumur 3-4 cenderung menggunakan pakaian yang
tahun, mereka hanya menggunakan bahasa lebih kurang hampir mirip dengan bangsa
tersebut sebagai alat untuk berkomunikasi Eropa.
(Panitia Buku Peringatan: 1984: 53).
Berbeda dengan Yahja Datuak Kayo,
sebagai seorang pejabat pemerintah
kolonial, ia cenderung menggunakan
Bahasa Melayu daripada Bahasa Belanda.
Ia menggunakan Bahasa Melayu
(Indonesia) dalam pidato perdananya pada
sidang Volksraad periode 1927-1931.
Bahasa tersebut tidak lazim bagi anggota
Volksraad yang berasal dari kalangan
bumiputra pada saat itu. Selain itu, pada
1921-1923, Haji Agus Salim juga Gambar 4 Utusan Minangkabau dalam
menggunakan Bahasa Indonesia dalam Kunjungan ke Pulau Jawa
pidatonya, tetapi mendapat peringatan dari Sumber: Bintang Hindia, 1 Juni 1907: 38
Tuan Voorzitter. Oleh karena itu, dalam Pakaian yang digunakan
karyanya, Azizah Etek, Mursyid A.M, dan menjelaskan status politiknya sebagai
Arfan B.R menjelaskan bahwa Haji Agus pejabat Pemerintahan Hindia Belanda dan
Salim dan Yahja Datuak Kayo disebut pemimpin sukunya. Hal tersebut
sebagai perintis penggunaan Bahasa mengakibatkan mereka berbeda dengan
Indonesia (Etek, et al., 2008: 29-32). masyarakat pada umumnya. Situasi
Bahasa Minangkabau memiliki tersebut dapat diperhatikan dari kunjungan
empat jenis tutur kata (kato nan ampek), pejabat pribumi Minangkabau ke Jawa
yaitu kato mandaki (kata mendaki) pada awal abad ke-20, Angku Datuak
digunakan kepada orang yang lebih tua, Batuah (Kepala Laras Tilatang), Angku
kato manurun (kata menurun) kepada yang Datuak Bandaharo Pandjang (Kepala
lebih muda, kato malereng (kata melereng) Laras Banoeahampoea), Angku Datuak
kepada orang yang disegani, dan kato Kayo (Kepala Laras IV Koto), dan Angku
54 Patanjala Vol. 9 No. 1 Maret 2017: 45-60

Mas Warido (Menteri Kopi kelas I digunakan saat menempuh pendidikan


Tilatang yang merangkap sebagai wakil Barat. Saat menempuh pendidikan di Meer
Laras Mage‟ dan Salo) memakai pantalon Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
putih (celana panjang putih), jas hitam, Hatta menggunakan seragam sekolah,
sepatu hitam, deta saluak (penutup terdiri atas kopiah (penutup kepala), baju
kepala), serta dua di antaranya putih, celana pendek putih, kaus kaki, dan
menggunakan sarung dan tongkat sebagai sepatu, seperti Gambar 6. Sementara itu,
pelengkap pakaian, seperti Gambar 4 dalam kesehariannya, Haji Agus Salim
(Bintang Hindia, 1 Juni 1907: 38). tetap menggunakan baju teluk benggala,
Perempuan Minangkabau tetap pakaian khas dari Minangkabau (Panitia
menggunakan pakaian asli, yang terdiri Buku Peringatan, 1984: 99).
atas kain, baju, dan selendang (Gambar 5).
Pangaruh Barat hanya terjadi pada bahan d) Pusaka dan Upacara
baku kain yang digunakan diimpor dari Kekayaan di Minangkabau
Eropa, seperti benang, kapas, dan lain-lain ditentukan oleh kepemilikan tanah
(Joustra, 1923: 170; Graaf & Stibbe, 1919: keluarga. Harta, kekayaan, dan sumber
483). penghasilan lainnya disebut harta pusaka
atau pusako (Graves, 2007: 13). Setiap
harta yang telah menjadi pusaka harus
dijaga agar tetap utuh, tidak bisa diperjual
belikan, dan dikuasai secara pribadi.
Menurut adat Minangkabau, harta
pusaka terdiri atas, harta material dan harta
moril. Adapun yang disebut sebagai harta
material di antaranya sawah, ladang,
rumah gadang, emas, perak, dan lain-lain.
Sementara itu, gelar disebut sebagai harta
moril yang diwarisi secara turun temurun
Gambar 5 Minangkabau vrouwen (Sjarifoedin, 2011: 97). Pewarisan gelar
uit Koto Gadang (1895) Datuak Kayo dari Landjadin Khatib Besar
Sumber:media-kitlv.nl, kode foto 75252 kepada Yahya (kemenakannya) pada 1895
merupakan salah satu contoh dari harta
pusaka moril. Namun, pada tahun yang
sama ia juga menduduki jabatan Kepala
Laras IV Koto, Oud Agam (Etek, et al.,
2007: 189). Berbeda dengan gelar datuak
yang diterimanya, jabatan kepala laras
diberikan berdasarkan pertimbangan
Pemerintahan Hindia Belanda dan tidak
bisa diwariskan kepada generasi
berikutnya.
Pewarisan gelar di Minangkabau
dilakukan dengan serangkaian upacara adat
Gambar 6 Mohammad Hatta dan Dua yang dikenal dengan batagak pangulu.
Temannya Saat di Sekolah MULO Padang Upacara tersebut diadakan di lapangan
Sumber: Hatta, 1982: 37 terbuka dan perjamuan berlangsung selama
tiga hari berturut-turut (Navis, 1986: 146-
Berbeda dengan elite tradisional, kaum 147). Selain itu, dikenal upacara
intelektual lebih cenderung menggunakan perkawinan, kematian, batagak rumah
pakaian bergaya Barat. Pakaian tersebut
Gaya Hidup Elite Minangkabau..... (Dwi Vina Lestari, Nina H. Lubis, R.M. Mulyadi) 55

(mendirikan rumah), khatam Al-Qur‟an, intelektual di Afdeeling Agam. Minat


dan hari raya. paling tinggi terhadap pendidikan
Khatam Qur‟an (manamaikan kaji) ditemukan pada keluarga golongan
dilakukan jika seorang anak laki-laki atau menengah dengan tradisi merantaunya
perempuan sudah bisa membaca Al-Qur‟an (Graves, 2007: 202). Sulaiman Datuak
dan menyelesaikannya. Dalam perayaan Tumangguang memanfaatkan
tersebut si anak berpakaian layaknya kedudukannya sebagai Kepala Laras
seorang haji yang baru pulang dari Mekah. Sungai Puar (1870-1930-an), dengan
Acara berlangsung pada pagi, dimulai mengirim anaknya, Abdul Muis untuk
dengan arak-arakan sepanjang jalan melanjutkan sekolah ke Batavia (Azmi,
kampung, dilanjutkan dengan membaca 1981: 1-7). Cara yang berbeda dilakukan
Al-Qur‟an dan ditutup dengan makan Landjadin Khatib Besar gelar Datuak Kayo
besar, seperti Gambar 7 (Suryadi, 2016). dalam menentukan pendidikan
kemenakannya, Yahja Datuak Kayo. Ia
lebih banyak memperkenalkan Yahya
kepada birokrasi Pemerintah Hindia
Belanda daripada melanjutkan pendidikan
Barat ke luar wilayah Minangkabau. Pada
1882, Yahya bersekolah di Pasar Gadang.
Satu tahun kemudian, ia pindah ke Sekolah
Privat Bukittinggi. Sebenarnya, ia
memiliki kesempatan untuk mengikuti
ujian di Sekolah Raja Bukittinggi, namun
Gambar 7 Keramaian Khatam Al-Qur‟an di Landjadin Khatib Besar melarangnya.
Batipuh, Padang Panjang Alasannya sederhana, jika Yahya masuk ke
Sumber: Pandji Poestaka, 12 Februari 1926. Sekolah Raja, setelah lulus ia akan pergi
jauh merantau ke nagari lain. Landjadin
e) Pendidikan berkeinginan agar kemenakannya bisa
Sebelum berdirinya sekolah menjadi pemimpin di Nagari Koto Gadang
sebagai pendidikan formal di (Etek, et al., 2007: 187-189).
Minangkabau, dikenal surau sebagai Berbeda dengan elite tradisional,
lembaga pendidikan Islam. Pada Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Abdul
prinsipnya surau berfungsi untuk Muis, dan Mohammad Hatta memilih
mensosialisasikan nilai-nilai agama Islam melanjutkan pendidikan formal ke luar
kepada anak-anak Minangkabau. wilayah Minangkabau. Haji Agus Salim
Kemudian, pada 1848 Steinmetz memulai pendidikan dengan masuk ke
mendirikan Sekolah Melayu (Malaische Europeesche Lagere School (ELS),
School) di Bukittinggi. Sekolah tersebut kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger
merupakan pendidikan formal pertama di School (HBS) di Batavia (Panitia Buku
Bukittinggi dan Dataran Tinggi Padang Peringatan, 1884: 36-42). Sutan Sjahrir
(Zulqayyim, 2006: 79-8; Steinmetz, 1850: memulai pendidikan sekulernya saat
305). Namun, kontribusi utama pemerintah berumur enam tahun. Pada 1915, ia masuk
dalam pendidikan di Sumatera Barat ELS di Medan. Kemudian, melanjutkan
dilakukan dengan pembangunan dan pendidikan ke MULO pada 1923 dan lulus
pendanaan Sekolah Raja (Kweekschool) di pada musim panas tahun 1926. Pada 1927
Bukittinggi pada 1856 (Graves, 2007: ia melanjutkan pendidikan ke AMS
218). Bandung (Mrazek, 1996: 34-63). Abdul
Perkembangan pendidikan di Muis memulai pendidikan formalnya di
Sumatera Barat mendapat tanggapan yang Bukittinggi, kemudian melajutkan ke
berbeda dari elite tradisional dan elite STOVIA pada 1902. Namun, setelah tiga
56 Patanjala Vol. 9 No. 1 Maret 2017: 45-60

tahun bersekolah, ia dikeluarkan karena perempuan menggunakan pakaian khas


enggan melihat darah. Sementara itu, Koto Gadang dengan baju kuruang dan
pendidikan agama langsung diberikan tilakuang sebagai penutup kepala,
keluarga saat berada di kampung sedangkan mempelai laki-laki
halamannya (Azmi, 1981: 1-7). Hatta menggunakan jas dan saluak sebagai
memulai pendidikan formalnya dengan penutup kepala, seperti pada Gambar 8
belajar di Sekolah Belanda Preman Tuan (Etek, et al., 2007: 257).
Lederboer. Tujuh bulan kemudian, saat
berumur enam tahun, ia masuk ke Sekolah
Rakyat. Setelah dua tahun di Sekolah
Rakyat hingga pertengahan kelas tiga, ia
pindah ke Sekolah Belanda dan langsung
diterima di kelas dua, sesuai dengan
kemampuannya dalam berbahasa Belanda.
Pada pertengahan 1913, Hatta pindah ke
MULO Padang dan lulus pada Mei 1919.
Kemudian melanjutkan pendidikan ke Gambar 8 Pernikahan Yahya Datuak Kayo
Prins Hendrik School dan Rotterdamse dengan Syahrizan di Nagari Koto Gadang
Handelshogeschool pada 1921. Meskipun Sumber: Etek, et al. 2007: 256
demikian, saat tinggal di Bukittingi, pada
siang harinya ia bersekolah dan setelah Sama halnya dengan Yahya
magrib belajar mengaji di Surau Syekh Datuak Kayo, Haji Agus Salim tidak
Djambek (Hatta, 1982: 22-136). menolak untuk dikawinkan dengan saudara
sepupunya berdasarkan adat Minangkabau.
f) Perkawinan Perkawinan tersebut ideal menurut adat
Perkawinan ideal di Minangkabau Minangkabau. Namun, tidak semua tradisi
terjadi antara awak samo awak (sesama adat yang dijadikan sebagai acuan dalam
keluarga dekat). Perkawinan dengan orang upacara pernikahannya. Ia hanya
luar, terutama mengawini perempuan luar menjalankan tradisi adat yang tidak
dianggap dapat merusak struktur adat. bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Sebaliknya, perkawinan perempuan Perhelatan berlangsung menurut tradisi
Minang dengan laki-laki luar adat, termasuk acara diaraknya kedua
diperbolehkan karena tidak akan mempelai melalui jalan-jalan kampung dan
mengubah struktur adat, sehingga anak diiringi dengan bunyi-bunyian dari rebana.
yang lahir tetap mengikuti suku yang ada Saat upacara berlangsung, Haji Agus Salim
di Minangkabau (Navis, 1986: 194-195). menggunakan pakaian marapulai
Menurut suatu laporan pada tahun (mempelai pria) berwarna merah dan
1910-an, Nagari Koto Gadang kuning keemasan, serta dilengkapi dengan
memaksakan perkawinan antara kerabat sorban sebagai penutup kepala. Sementara
(endogami) (Mrazek, 1996: 15). Oleh itu, mempelai wanita menggunakan baju
karena itu, sebagai salah satu elite kuruang dan tilakuang sebagai penutup
tradisional terkemuka, Yahja Datuak Kayo kepala khas dari Koto Gadang. Namun,
mengikuti tipe perkawinan tersebut. Ia prinsip tersebut tidak berlaku bagi anak-
memiliki tiga istri. Pertama, Basiah dari anaknya. Ia menginginkan kedelapan
Koto Gadang, merupakan anak mamaknya anaknya menikah dengan orang di luar
(pamannya) yang berusia tujuh tahun lebih Nagari Koto Gadang. Menurut Agus
tua. Kedua, Rusiah dari Padang. Ketiga, Salim, perkawinan dengan keluarga dekat
Syahrizan dari Koto Gadang dan menikah tidak menguntungkan dari segi keturunan.
pada tanggal 20 Maret 1924. Pada Hal tersebut dilakukan untuk menghindari
pernikahannya yang ketiga, mempelai degenerasi pemurnian darah yang
Gaya Hidup Elite Minangkabau..... (Dwi Vina Lestari, Nina H. Lubis, R.M. Mulyadi) 57

dialaminya (Panitia Buku Peringatan, Penghoeloe, Medan Ra’jat, Februari 1939:


1984: 46- 51 & 97). 3 & 39; Navis, 1986: 270- 271 ).
Berbeda dengan elite tradisional,
g) Kesenian dan Permainan kesenian dan permainan para elite
Berbagai macam permainan intelektual lebih menirukan gaya Barat.
membedakan antara hiburan bagi anak- Pada saat menempuh pendidikan Barat,
anak dan orang tua. Umumnya, anak-anak mereka tidak hanya dididik dalam berbagai
di Minangkabau mengisi waktu luang mata pelajaran, namun juga cara bersikap
dengan bermain gasiang (gasing), alang- dan sopan santun. Keadaan tersebut bisa
alang (layang-layang), berjalan diperhatikan dari keseharian para elite
menggunakan batok kelapa, permainan intelektual dalam mengisi waktu luang di
katai (menggunakan dua tongkat), sela-sela kesibukannya sebagai seorang
kelereng (menggunakan buah kemiri), pelajar. Sjahrir mengisi waktu luangnya
pertengkaran, latihan perang, petak umpet, dengan bermain bola dan bermain musik
atau menirukan orang dewasa; perempuan (Mrazek, 1996: 38, 60-61). Sementara itu,
bermain congklak; dan laki-laki bermain Hatta lebih memilih bermain sepak bola
catur. Meskipun demikian, seseorang yang dan menonton ke bioskop (Hatta, 1982:
bermainan sepak rogo (sejenis sepak bola) 32-33).
di laun-alun akan mendapat kehormatan
besar. Permainan tersebut menggunakan h) Cara Makan
bola anyaman dan ditendang dari satu Makanan masyarakat
pemain ke pemain yang lain (Joustra, Minangkabau bisa disebut sederhana. Nasi
1923: 172-173). Selain itu, dikenal merupakan bahan makanan utama dan
berbagai jenis tarian, seperti ilau, tari tepung beras dijadikan untuk membuat
salendang panjang, adau-adau, tari piriang kue, kecuali pada acara-acara khusus
(tari piring), dan randai. mereka memiliki jenis makanan lain selain
Tari piring merupakan salah satu nasi. Biasanya nasi dimakan tiga kali
kesenian yang berasal dari Luhak Agam. sehari, pada pagi, siang, dan malam. Selain
Tarian tersebut dimainkan secara tunggal itu, dikenal bahan makanan pokok berupa
atau bersama-sama dengan meletakkan sagu, anau palm, sagu palm (roembio),
piring porselen di telapak tangan dan jagung, sakoei (gula merah), dan berbagai
cincin di ujung jari tengah. Cincin dan jenis sereal yang tidak dikenal. Mereka
piring porselen digerakkan secara juga mengkonsumsi ubi dan umbi-umbian,
bersamaan hingga menghasilkan bunyi. berbagai jenis terung, tomat, mentimun,
Sementara itu, kaki membentuk hentakan kacang, daun matung, bayam, petai, dan
dan membuat lingkaran. Gerakan tersebut jengkol. Sementara itu, sebagai pelengkap
mengimprovisasi elang terbang; petani nasi digunakan lauk pauk. Dalam hal ini,
membajak dan mencangkul; gadis berhias; kata lauk memiliki ekpresi kiasan. Untuk
perempuan menjahit dan menenun; dan daerah pedalaman, kata tersebut berarti
lain-lain. Setiap gerakan dilakukan secara daging dan di daerah pesisir berarti ikan.
berulang hingga sebuah pantun selesai Untuk itu, di wilayah ini lauk pauk kering
dinyanyikan atau satu gerakan memerlukan disebut dengan samba-samba, sedangkan
satu empat kali dalam empat ketukan. lauk pauk yang terdiri atas saus atau sup
Adakalanya, jika tarian tersebut dimainkan disebut gulai-gulai (Joustra, 1923: 175).
pada malam hari, penari memasang lilin di Jika dilihat dari waktunya, anggota
kedua piring. Tarian tersebut dimainkan dalam sebuah rumah gadang memiliki
dalam suasana ceria, misalnya saat waktu makan yang berbeda antara satu dan
dilakukan sunat rasul (sunatan), yang lainnya. Perempuan yang tidak
pernikahan, perkawinan, dan anak turun bersuami makan di ruangan dekat dapur
mandi (Oetoesan Minangkabau: Sasaran dan perempuan yang bersuami makan
58 Patanjala Vol. 9 No. 1 Maret 2017: 45-60

bersama suaminya masing-masing di ruang semua peraturan adat Minangkabau (Etek,


tepat di hadapan kamar sendiri. Sementara et al., 2007: 249-255).
itu, makan secara bersama hanya dilakukan
saat kenduri yang diadakan rumah tersebut D. PENUTUP
(Navis, 1986: 180). Berdasarkan uraian di atas, dapat
Sama halnya dengan elite disimpulkan bahwa gaya hidup elite
tradisional, elite intelektual juga Minangkabau di Afdeeling Agam tidak
menggunakan nasi sebagai makanan banyak mengalami perubahan, melainkan
pokok. Perbedaannya terdapat pada cara terjadi akulturasi antara budaya asli
pengolahan dan bahan pelengkap nasi yang Minangkabau dengan budaya Barat. Dalam
dipengaruhi budaya Barat. Keadaan hal ini, gaya hidup elite tradisional dan
tersebut dapat diperhatikan dari kehidupan elite intelektual memiliki beberapa
keluarga Haji Agus Salim yang menetap di perbedaan, diperhatikan dari nama dan
rantau. Mereka tidak hanya mengenal gelar, tempat tinggal, etika dan bahasa,
daging dan ikan sebagai lauk pauk, tetapi pusaka dan upacara, pendidikan,
juga menggunakan kecap, susu, mentega, perkawinan, kesenian dan permainan, cara
dan keju sebagai pelengkap nasi. Selain makan, serta agama dan kepercayaan.
itu, mereka telah mengenal nasi goreng Elite tradisional Minangkabau di
(Panitia Buku Peringatan, 1984: 80-81). Afdeeling Agam menggunakan nama dan
gelar berdasarkan aturan adat
i) Agama dan Kepercayaan Minangkabau, tinggal di rumah gadang,
Elite Minangkabau di Afdeeling berbahasa Minang, menggunakan pakaian
Agam menganut agama Islam. Yahya mirip bangsa Eropa dengan ciri khas
Datuak Kayo, Sulaiman Datuak Minangkabau, menempuh pendidikan di
Tumangguang, Haji Agus Salim, wilayah Minangkabau dan mengisi waktu
Mohammat Hatta, Sutan Sjahrir, dan luang dengan berbagai kesenian dan
Abdul Muis beragama Islam. Mereka permainan tradisional Minangkabau.
mendapatkan pendidikan agama dari Sementara itu, elite intelektual tidak
lingkungan keluarga sejak kecil. Haji Agus menggunakan gelar kebesaran datuak,
Salim memperdalam pengetahuan agama tinggal dan menetap di luar wilayah
Islam pada usia 22 tahun, saat ia menjabat Minangkabau (merantau), menempuh
sebagai dragman (ahli penerjemah) pendidikan formal di luar wilayah
Konsultan Belanda di Arab (Panitia Buku Minangkabau, dan mengisi waktu luang
Peringatan, 1984: 43-44). Sutan Sjahrir dengan kesenian dan permainan Eropa.
dan Mohammad Hatta belajar mengaji Meskipun demikian, baik elite tradisional
setelah menempuh pendidikan Barat pada maupun elite intelektual di Afdeeling
pagi hari (Mrazek, 1996: 40; Hatta, 1982; Agam pada masa Pemerintahan Hindia
1982). Abdul Muis memilih gerakan Belanda sama-sama memeluk agama Islam
politik berdasarkan agama Islam (Azmi, dan melaksanakan tradisi adat
1982:6). Sementara itu, Yahja Datuak Minangkabau hingga saat ini.
Kayo menjalankan hukum adat dan hukum Untuk kajian lebih lanjut,
Islam secara bersamaan. Dalam pidatonya diperlukan penelitian daerah lain di
pada Mei 1939, dijelaskan mengenai Sumatera Barat. Hal ini sebagai bahan
fenomena adat dan agama di Minangkabau perbandingan sehingga menghasilkan
tentang harta warisan. Ia berbicara dari karya yang lebih lengkap.
sudut pandang adat dan agama, seolah-olah
keduanya bertentangan. Namun, sebagai UCAPAN TERIMA KASIH
umat Islam, ia sepenuhnya harus Penulis mengucapkan terimakasih
mengerjakan agama Islam dan mengikuti kepada Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, M.S.
dan Dr. R.M. Mulyadi yang telah
Gaya Hidup Elite Minangkabau..... (Dwi Vina Lestari, Nina H. Lubis, R.M. Mulyadi) 59

memberikan arahan dan bimbingan dalam Elite dan Masyarakat. Terj. Jakarta:
penelitian ini. Terima kasih juga penulis Akbar Tandjung Institute.
ucapkan kepada staf Perpustakaan Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 1. 1988.
Nasional Republik Indonesia (PNRI), Jakarta: Cipta Adi Pustaka.
Arsip Nasional Republik Indonesia
Etek, Azizah; Mursyid; dan Arfan. 2007.
(ANRI), Perpustakaan FIB UNPAD, Koto Gadang Masa Kolonial.
Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Barat, Perpustakaan UNAND,
Perpustakaan UNP, Pusat Dokumentasi _______. 2008.
dan Informasi Budaya Minang (PDIKM), Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo;
Pidato Otokritik di Volksraad 1927-
dan semua pihak yang telah membantu
1939. Yogyakarta: LKiS Pelangi
dalam pengumpulan sumber pada Aksara.
penelitian ini.
Friederich, R. 1908.
DAFTAR SUMBER Gedenkboek samengesteld bij
gelegenheid van het 35jaring bestaan
1. Arsip dan Dokumen Tercetak
der Kweekschool voor Inlandsche
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie.
Onderwijzers te Fort de Kock. Arnheim:
1884-1942. Eerste Gedeelte. Batavia:
Threme.
Landsdrukkerij.
Gottschalk, Louis. 2008.
Volkstelling 1930; deel IV Inheemsche
Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho
Bevolking van Sumatra. 1935. Batavia:
Notosusanto. Jakarta: UI-Press.
Departement van Economische Zaken.
Graaf, S.de dan Stibbe, D.G (ed). 1919.
2. Disertasi Encyclopaedie van Nederlandsch Indie.
Manan, Imran. 1984. „s.Gravenhage: Martinus Nijhoff.
A Traditional Elite in Continuity and Graves, Elizabeth E. 2007.
Change; The Chief of the Matrilineal Asal Usul Elite Minangkabau Modern;
Lineages of the Minangkabau of West Respon terhadap Kolonial Belanda
Sumatra, Indonesia. Thesis Doctor of Abad XIX/XX. Terj. Jakarta: Yayasan
Philosophy. University of lllinois at Obor Indonesia.
Urban Champaign.
Hadler, Jeffrey. 2008.
3. Buku Sengketa Tiada Putus; Matriarkat,
Asnan, Gusti. 2003. Reformisme Islam, dan Kolonialisme di
Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Minangkabau. Terj. Jakarta: Freedom
Pusat Pengkajian Islam dan Institute.
Minangkabau. Hatta, Mohammad. 1982.
_____. 2006. Mohammad Hatta; Memoir. Jakarta:
Pemerintahan Sumatera Barat dari Tintamas Indonesia.
VOC hingga Reformasi. Yogyakarta: Herlina, Nina. 2008.
Citra Pustaka. Metode Sejarah. Bandung: Satya
Amran, Rusli. 1986. Historika.
Sumatera Barat Plakat Panjang. Josselin, de Jong P.E. 1975.
Jakarta: Sinar Harapan. Social Organization of Minangkabau.
Azmi. 1982. Leiden: University of Leiden.
Abdul Muis. Jakarta: Departemen Joustra, M. 1923.
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Minangkabau Overzicht van Land,
Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Geschiedenis en Volk. Martinis Nijhoff
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah „S-Gravenhage.
Nasional. Junus. 1999.
Bottomore, T.B. 2006.
60 Patanjala Vol. 9 No. 1 Maret 2017: 45-60

“Kebudayaan Minangkabau”, dalam Boekittinggi Tempo Doeloe. Padang:


Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Andalas University Press.
Kebudayaan di Indonesia. 1999. Jakarta:
Djambatan. Hlm. 248-265. 4. Surat Kabar dan Artikel
Kartodirdjo, Sartono; A.Sudewo; dan Suhardjo “Baso (Tjaro) Minangkabau”. Soeloeh Agam,
Hatmosuprobo. 1993. Mei 1934, No 5, hlm 1-2.
Perkembangan Peradapan Priyayi. Boomgaard, S.
Yogyakarta: Gadjah Mada University “Het Adathuis In Minangkabau”, Onze
Press. Aarde Geillustreerd Maandschrift. 1929,
Kuntowijoyo. 2013. hlm. 22-28.
Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Joustra, M.
Tiara Wacana. “De Minangkabausche Maleiers; Naar
Kato, Tsuyoshi. 2005. gegevens van Amaroellag Galar Soetan
Adat Minangkabau dan Merantau dalam Mangkoeto Bewerkt”. In de Volken van
Perspektif Sejarah. Terj. Jakarta: Balai Nederlandsch-Indie, 1920, hlm. 151-
Pustaka. 176.

Lubis, Nina H. 1998. “Kermaian Berchatam Koeran”. Pandji


Kehidupan Kaum Menak Priangan Poestaka, 12 Februari 1926, No. 12, Tahun
1800-1942. Bandung: Pusat Informasi IV, hlm. 263.
Kebudayaan Sunda. “Kesenian (Kunst dan Cultuur) Minangkabau;
Mansoer, M.D.; Amrin Imran; Mardanas Tari-Pentjak-Silat Jang Asli”. Oetoesan
Safwan; Asmaniar Z. Idris; dan Sidi I. Minangkabau; Sasaran Penghoeloe,
Buchari. 1970. Medan Ra’jat, 20 Februari 1939. No. 3.
Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Tahun 1, hlm. 38.
Bhratara. Mansveld, G.
Mrazek, Rudolf. 1996. “Namen en Galars Onder de Maleijer
Sjahrir; Politik dan Pengasingan di in de Padangsche Bovenlanden;
Indonesia. Terj. Jakarta: Yayasan Obor bepaaldelijk in Noordelijk Agam”.
Indonesia. Tijdschrift Bataviaasch Genootschap,
1876. hlm. 442-457.
Navis, A.A. 1986.
Alam Terkembang Jadi Guru; Adat dan “Oetoesan Orang Minangkabau”. Bintang
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Hindia, 1 Juni 1907, No. 4. Tahun V1,
Temprint. hlm. 38-39.

Oktavianus dan Ike Rivita. 2013. Steinmetz, H.E.


Kesantunan dalam Bahasa “Inlandsche Onderwijs van
Minangkabau. Padang: Minangkabau Overheidswege in de Padangsche
Press. Bovenlanden voor 1850”. BKI No.64
Tahun 1924, hlm. 301-312.
Panitia Buku Peringatan. 1984.
Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: 5. Internet
Sinar Harapan. “Minangkabau vrouwen uit Koto Gadang”
Reid, Anthony. 2012. diakses dari media-kitlv.nl (kode foto
Sumatera; Revolusi dan Elite 75252), Tanggal 31 Agustus 2016,
Tradisional. Jakarta: Komunitas Bambu. Pukul 10.45 WIB.

Sjarifoedin, Amir. 2011.


Minangkabau; dari Dinasti Iskandar
Zulkarnain sampai Tuanku Imam
Bonjol. Jakarta: Gria Media Prima.
Zulqayyim. 2006.

Anda mungkin juga menyukai