Anda di halaman 1dari 76

REFERAT ILMU KESEHATAN JIWA

NAPZA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat dalam Menempuh

Program Pendidikan Profesi Dokter

Dosen Pembimbing: dr. Titis Hadiati, Sp.KJ

Disusun Oleh:

Annisa Nurul Oktriani 22010116220349

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
2018
NAPZA

a. Pengertian NAPZA

NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan

adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi

menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan

ketergantungan.1 NAPZA (Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif)

adalah zat yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan

mempengaruhi system saraf pusat (SPP) sehingga menimbulkan

perubahan aktivitas mental, emosional, dan perilaku penggunanya dan

sering menyebabkan ketagihan dan ketergantungan terhadap zat

tersebut.2

NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi

beberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun

risiko penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa

sering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA

lain yang dikonsumsi.3

b. Jenis–Jenis NAPZA

NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan

bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa

kelompok.4
1) Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya

rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan

dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi

(ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran

(penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi.

Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika

tidak dapat lepas dari “cengkraman”-nya.

Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis

narkotika dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I,

golongan II, dan golongan III.

a) Narkotika golongan I adalah: narkotika yang paling berbahaya.

Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh

digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian

atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin,

opium, dan lain-lain.

b) Narkotika golongan II adalah: narkotika yang memiliki daya

adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.

Contohnya adalah petidin dan turunannya, benzetidin,

betametadol, dan lain-lain.


c) Narkotika golongan III adalah: narkotika yang memiliki daya

adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.

Contohnya adalah kodein dan turunannya.

2) Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik

alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui

pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan

perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika

adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan

jiwa (psyche).

Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika

dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu:

a) Golongan I adalah: psikotropika dengan daya adiktif yang sangat

kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang

diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan

STP.

b) Golongan II adalah: psikotropika dengan daya adiktif kuat serta

berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah

amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.

c) Golongan III adalah: psikotropika dengan daya adiksi sedang

serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah

lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya.

d) Golongan IV adalah: psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan


serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah

nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), diazepam, dan lain- lain.

3) Bahan Adiktif Lainnya

Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan

psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya:

rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan

menimbulkan ketagihan dan thinner dan zat-zat lain, seperti lem

kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin, yang bila dihisap, dihirup,

dan dicium, dapat memabukkan. Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat

lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan juga tergolong

NAPZA.

c. Penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang

bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya

sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial.

Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan,

misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena

efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara

salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa

nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan

pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga

menyebabkan kerusakan fisik.5


Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan

adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan

Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar

menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi

dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan

psikis yang khas.

Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu:5

1) Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau

menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan,

ia akan mengalami gejala putus zat. Selain ditandai dengan gejala

putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan adanya

toleransi.

2) Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti

menggunakan NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami

kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan NAPZA tersebut

walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.

d. NAPZA yang sering disalahgunakan beserta efek yang ditimbulkan

jenis NAPZA yang sering disalah gunakan oleh orang antara lain:6

1) Opioida (morfin, heroin, putaw, dan lain-lain)

Segolongan zat dengan daya kerja serupa, ada yang alami,

sintetik, dan semi sintetik. Opioida alami berasal dari getah opium

poppy (opiat), seperti mortin, opium, dan kodein. Contoh opioida

semi
sintetik adalah heroin/putauw dan metadon fentanyl (china white).

Potensi menghasilkan nyeri dan menyebabkan ketergantungan heroin

adalah sepuluh kali lipat dibanding morfin dan kekuatan opoida

sintetik 400 kali lipat dan kekuatan morfin.

Cara pemakaiannya adalah disuntikan ke dalam pembuluh

darah atau di hisap melalui hidung setelah dibakar. Pengaruh jangka

pendek: hilangnya rasa nyeri, ketegangan berkurang, munculnya rasa

nyaman (eforik) diikuti perasan seperti mimpi dan rasa mengantuk

dan pemakai dapat meninggal karena overdosis. Pengaruh jangka

panjang: ketergantungan (gejala putus zat, toleransi). Dapat timbul

komplikasi, seperti sembelit, gangguan menstruasi, dan impotensi

karena pemakaian jarum suntik yang tidak steril timbul abses,

hepatitis B/C yang merusak hati dan penyakit HIV/AIDS yang

merusak kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi dan

akhirnya menyebabkan kematian.

2) Ganja (marijuana, cimeng, gelek, hasis)

Ganja mengandung THC (tetrahydro-cannabinol) yang besifat

psikoaktif. Ganja yang dipakai berupa tanaman kering yang

dirajang, dilinting, dan disulut seperti rokok. Menurut Undang-

Undang, ganja tergolong narkotik golongan I. Segera setelah

pemakain muncul cemas, rasa gembira, banyak bicara, tertawa

cekikikan halusinasi dan berubahnya perasaan waktu (lama dikira

sebentar) dan ruang (jauh dikira dekat), peningkatan denyut

jantung, mata merah, mulut dan


tenggorokan kering, dan selera makan meningkat. Pengaruh jangka

panjang: daya pikir berkurang, motivasi belajar turun, perhatian

kesekitarnya berkurang, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun

mengurangi kesuburan, peradangan jalan nafas, aliran darah ke

jantung berkurang dan terjadi perubahan pada sel-sel otak.

3) Kokain (kokain, crack, daun koka, pasta koka)

Kokain berasal dari tanaman koka, tergolong stimulansia

(meningkatkan aktivitas otak dan fungsi organ tubuh lain). Menurut

Undang-Undang, kokain termasuk narkotika golongan I. Kokain

berbentuk Kristal putih. Nama jalanannya adalah koka, happy dust,

Charlie, srepet, snow/salju putih. Digunakan dengan cara disedot

melaluin hidung, dirokok, atau disuntikkan. Kokain dengan cepat

menyebabkan ketergantungan.

Segera setelah pemakaian: rasa percaya diri meningkat, banyak

bicara, rasa lelah hilang, kebutuhan tidur berkurang, minat seksual

meningkat, halusinasi visual dan taktil (seperti ada serangga

merayap), waham/curiga (paranoid). Pengaruh jangka panjang:

kurang gizi, anemia, sekat hidung rusak, dan terjadi gangguan jiwa

(psikotik).

4) Golongan Amfetamin (amfetamin, ekstasi, sabu)

Golongan amfetamin termasuk stimulansia susunan saraf

pusat. Disebut juga upper, amfetamin sering digunakan untuk

menurunkan berat badan karena dapat mengurangi rasa lapar, atau


mengurangin rasa kantuk harus begadang. Amfetamin cepat

menyebabkan ketergantungan.

Termasuk golongan amfetamin adalah MDM (ekstasi, XTC,

ineks) dan metamfetamin (sabu), yang banyak disalahgunakan.

Berbentuk pil warna-warni (ekstasi) atau kristal putih (sabu)

amfetamin disebut disainer drug karena dibuat dalam laboratorium

gelap yang kandunganya adalah campuran berbagai jenis zat.

Remaja dan orang dewasa muda dari bebagai kalangan mengunakan

ekstasi dan sabu untuk bersenang –senang.

Cara pemakaian : diminum (ekstasi), dihisap melalui hidung

(sabu), atau disuntikkan atau dihisap memakai sedotan. Pengaruh

jangka pendek: tidak tidur (terjaga), rasa riang, perasaan melambung

(fly), rasa nyaman, dan meningkatkan keakraban. Akan tetapi, setelah

itu, muncul rasa tidak enak, murung, nafsu makan hilang,

berkeringat, haus, rahang kaku dan bergerak-gerak dan badan

gemetar serta dapat terjadi gangguan jiwa). Pengaruh jangka

panjang: kurang gizi, anemia, penyakit jantung dan gangguan jiwa

psikotik.

5) Golongan Halusinogen: Lysergic Acid (LSD)

LSD menyebabkan halusinasi (khayalan) dan termasuk

psikotropika golongan I. Nama yang sering digunakan adalah acid,

red dragon, blue heaven, sugar cubes, trips, tabs. Bentuknya seperti

kertas beukuran kotak kecil sebesar seperempat perangko dalam

banyak warna dan gambar atau berbentuk pil dan kapsul. Cara
pemakainnya adalah dengan meletakkan LSD pada lidah.

Pengaruh LSD tak dapat diduga. Sensasi dan perasaan berubah

secara dramatis, dengan mengalami flashback atau bad trips

(halusinansi/penglihatan semu) berulang tanpa peringatan

sebelumnya. Pupil melebar, tidak bias tidur, selera makan hilang,

suhu tubuh meningkat, berkeringat, denyut nadi dan tekanan darah

naik, koordinasi otot terganggu dan tremor dapat merusak sel otak,

gangguan daya ingat dan pemusatan perhatian yang diikuti

meningkatnya resiko kejang, serta kegagalan pernafasan dan jantung.

6) Sedativa dan Hipnotika (obat penenang, obat tidur)

Contoh Sedativa dan hipnotik adalah Lexo, nipam, pil BK,

MG, DUM dan Rohyp yang termasuk psikotropika golongan III dan

IV dan digunakan dalam pengobatan dengan pengawasan. Tidak

boleh diperjualbelikan tanpa resep dokter.

Orang minum obat tidur atau pil penenang untuk

menghilangkan stres atau gangguan tidur. Memang stres berkurang

atau hilang sementara tetapi persoalan tetap saja ada. Pengaruhnya

sama dengan alkohol, yaitu menekan kerja otak dan aktifitas organ

tubuh lain (depresan). Jika diminum bersama alkohol akan

meningkatkan pengaruhnya, sehingga dapat terjadi kematian. Segera

setelah pemakaian: Muncul perasaan tenang dan otak-otak

mengendur. Pada dosis lebih tinggi : tertekannya pernapasan, koma,

dan kematian. Pada pemakaian jangka panjang: gejala

ketergantungan.
e. Tahapan Pemakaian NAPZA
Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA) yaitu sebagai berikut:7

1) Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental)

Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin

tahu atau coba-coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau

minum-minuman beralkohol. Jarang yang langsung mencoba

memakai putaw atau minum pil ekstasi.

2) Tahap pemakaian sosial

Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul

atau pada acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-

mula NAPZA diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia

belum secara aktif mencari NAPZA.

3) Tahap pemakaian situasional

Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian

atau stres. Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada

tahap ini pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.

4) Tahap habituasi (kebiasaan)

Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur

(sering), disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan

pada faal tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti dengan

teman pecandu. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah,

dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi

bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Ia

sering membolos dan prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih suka

menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.


5) Tahap ketergantungan

Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai

cara. Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia

sudah tidak dapat mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah

menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman-

teman rusak.

Pada ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat

yang dipakai, agar ia dapat berfungsi normal. Selama pasokan

NAPZA cukup, ia tampak sehat, meskipun sebenarnya sakit. Akan

tetapi, jika pemakaiannya dikurangi atau dihentikan, timbul gejala

sakit. Hal ini disebut gejala putus zat (sakaw). Gejalanya bergantung

pada jenis zat yang digunakan.

Orang pun mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar

dapat merasakan pengaruh zat yang diinginkan, dengan risiko

meningkatnya kerusakan organ-organ tubuh. Gejala lain

ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah

NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan

pengaruh yang sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena

itu, jumlah yang diperlukan meningkat. Jika jumlah NAPZA yang

dipakai berlebihan (overdosis), dapat terjadi kematian.

f. Faktor Risiko Penyalahgunaan NAPZA

Faktor risiko yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA antara

lain faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan (teman sebaya), dan

karakteristik individu.8
1) Faktor Genetik

Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa

remaja dari orang tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali

sebagai peminum alkohol dibandingkan remaja dari orang tua angkat

alkoholik. Penelitian lain membuktikan remaja kembar monozigot

mempunyai risiko alkoholik lebih besar dibandingkan remaja

kembar dizigot.

2) Lingkungan Keluarga

Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap

penyalahgunaan NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan

terbuka mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA lebih rendah

dibandingkan dengan pola asuh orang tua dengan disiplin yang ketat.

Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan

kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami

problem-problem tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan

hubungan keluarga. Banyak keluarga berantakan yang ditandai

oleh relasi orangtua yang tidak harmonis dan matinya komunikasi

antara mereka.

Ketidakharmonisan yang terus berlanjut sering berakibat

perceraian. Kalau pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang

ada sebetulnya adalah sebuah rumah tangga yang tidak akrab dimana

anggota keluarga tidak merasa betah. Orangtua sering minggat dari

rumah atau pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Kebanyakan

diantara penyalahguna NAPZA mempunyai hubungan yang biasa-


biasa saja dengan orang tuanya. Mereka jarang menghabiskan waktu

luang dan bercanda dengan orang tuanya.3

3) Pergaulan (Teman Sebaya)

Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA,

teman kelompok sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang

dapat mendorong atau mencetuskan penyalahgunaan NAPZA pada

diri seseorang. Perkenalan pertama dengan NAPZA justru datangnya

dari teman kelompok. Pengaruh teman kelompok ini dapat

menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang

bersangkutan sukar melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini

tidak hanya pada saat perkenalan pertama dengan NAPZA,

melainkan juga menyebabkan seseorang tetap menyalahgunakan

NAPZA, dan yang menyebabkan kekambuhan (relapse).9

Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan

terlepas ikatan psikologisnya dengan orangtua dan anak akan mudah

jatuh dalam pengaruh teman kelompok. Berbagai cara teman

kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan cara

membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga

anak turut menyalahgunakan NAPZA dan sukar melepaskan diri dari

teman kelompoknya.

Marlatt dan Gordon (1980) dalam penelitiannya terhadap para

penyalahguna NAPZA yang kambuh, menyatakan bahwa mereka

kembali kambuh karena ditawari oleh teman-temannya yang masih

menggunakan NAPZA (mereka kembali bertemu dan bergaul).


Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan yang seperti ini

merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi

pengaruh teman kelompok sebagai penyebab kekambuhan dalam

penelitian tersebut mencapai 34%.10

4) Karakteristik Individu

a) Umur

Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA

adalah mereka yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini

secara kejiwaan masih sangat labil, mudah terpengaruh oleh

lingkungan, dan sedang mencari identitas diri serta senang

memasuki kehidupan kelompok. Hasil temuan Tim Kelompok

Kerja Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba Departemen

Pendidikan Nasional menyatakan sebanyak 70% penyalahguna

NAPZA di Indonesia adalah anak usia sekolah.3

b) Pendidikan

Belum ada hasil penelitian yang menyatakan apakah

pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA. Akan

tetapi, pendidikan ada kaitannya dengan cara berfikir,

kepemimpinan, pola asuh, komunikasi, serta pengambilan

keputusan dalam keluarga.11

Pendidikan penyalahguna NAPZA sebagian besar termasuk

kategori tingkat pendidikan dasar (50,7%). Asumsi umum bahwa

semakin tinggi pendidikan, semakin mempunyai

wawasan/pengalaman yang luas dan cara berpikir serta bertindak


yang lebih baik. Pendidikan yang rendah memengaruhi tingkat

pemahaman terhadap informasi yang sangat penting tentang

NAPZA dan segala dampak negatif yang dapat ditimbulkannya,

karena pendidikan rendah berakibat sulit untuk berkembang

menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang

sempit.12

c) Pekerjaan

Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan

Universitas Indonesia tahun 2009 di kalangan pekerja di

Indonesia diperoleh data bahwa penyalahguna NAPZA tertinggi

pada karyawan swasta dengan prevalensi 68%, PNS/TNI/POLRI

dengan prevalensi 13%, dan karyawan BUMN dengan prevalensi

11%.1

g. Dampak Penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA akan berdampak sebagai berikut:13

1) Terhadap kondisi fisik

a) Akibat zat itu sendiri

Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat,

misalnya intoksikasi yaitu suatu perubahan mental yang terjadi

karena dosis berlebih yang memang diharapkan oleh

pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan

terjadi kondisi putus zat.

(1) Ganja: pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga

mudah terserang infeksi. Ganja juga memperburuk aliran


darah koroner.

(2) Kokain: bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi

sekat hidung, jangka panjang terjadi anemia dan turunnya

berat badan.

(3) Alkohol: menimbulkan banyak komplikasi misalnya

gangguan lambung, kanker usus, gangguan hati, gangguan

pada otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat

janin dan gangguan seksual.

b) Akibat bahan campuran/pelarut: bahaya yang mungkin timbul

antara lain infeksi, emboli

c) Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril. Akan terjadi infeksi,

berjangkitnya AIDS atau hepatitis.

d) Akibat pertolongan yang keliru misalnya dalam keadaan tidak

sadar diberi minum.

e) Akibat tidak langsung misalnya terjadi stroke pada pemakaian

alkohol atau malnutrisi karena gangguan absorbsi pada

pemakaian alkohol.

f) Akibat cara hidup pasien. Terjadi kurang gizi, penyakit kulit,

kerusakan gigi dan penyakit kelamin.

2) Terhadap kehidupan mental emosional

Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan

perubahan pada kehidupan mental emosional yang bermanifestasi

pada gangguan perilaku tidak wajar. Pemakaian ganja yang berat dan

lama menimbulkan sindrom amotivasional. Putus obat golongan


amfetamin dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri.

3) Terhadap kehidupan sosial

Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan

mengganggu fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau

sekolah. Pada umumnya prestasi akan menurun, lalu

dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk

menyalahgunakan obat.

Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan kawan

dekat pada umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan

menimbulkan toleransi, kebutuhan akan zat bertambah. Akibat

selanjutnya akan memungkinkan terjadinya tindak kriminal,

keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran, baik

norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat

yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan

bersifat agresif dan impulsif

h. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA

Pencegahan penyalahgunaan NAPZA meliputi:1

1) Pencegahan primer

Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada

mereka, individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki

risiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan

intervensi agar individu, kelompok, dan masyarakat waspada serta

memiliki ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya

pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar factor yang
dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan

baik.

2) Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas

yang sudah menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar

mereka tidak menggunakan NAPZA lagi.

3) Pencegahan tersier

Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah

pernah menjadi penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program

terapi dan rehabilitasi untuk menjaga agar tidak kambuh lagi.

Sedangkan pencegahan terhadap penyalahguna NAPZA yang

kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang

dapat membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya,

detoksifikasi, maupun dengan melakukan rehabilitasi kembali.

i. Terapi dan Rehabilitasi

1) Terapi

Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan

detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau

menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:

a) Detoksifikasi Tanpa Subsitusi

Klien ketergantungan putau (heroin) yang

berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak

diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien

hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti


sendiri.

b) Detoksifikasi dengan Substitusi

Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan

jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi

bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti

ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan

cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama

sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat

yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat

penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai

dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.14

2) Rehabilitasi

Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya memulihkan

dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna NAPZA

kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial, dan spiritual.

Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu

kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari.

jenis-jenis rehabilitasi antara lain :9

a) Rehabilitasi Medik

Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan

penyalahguna NAPZA benar-benar sehat secara fisik. Termasuk

dalam program rehabilitasi medik ini ialah memulihkan kondisi

fisik yang lemah, tidak cukup diberikan gizi makanan yang

bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olahraga yang teratur


disesuaikan dengan kemampuan masing-masing yang

bersangkutan.

b) Rehabilitasi Psikiatrik

Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta

rehabilitasi yang semula bersikap dan bertindak antisosial dapat

dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan baik

dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing atau

mengasuhnya. Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah

psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai

“rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-keluarga broken

home. Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar keluarga

dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat

penyalahgunaan NAPZA, bagaimana cara menyikapinya bila

kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya pencegahan agar tidak

kambuh.

c) Rehabilitasi Psikososial

Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar

peserta rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam

lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan di

tempat kerja. Program ini merupakan persiapan untuk kembali ke

masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan

pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun

balai latihan kerja


yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Dengan demikian

diharapkan bila mereka telah selesai menjalani program

rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke sekolah/kuliah atau

bekerja.

d) Rehabilitasi Psikoreligius

Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting.

Unsur agama dalam rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna

NAPZA mempunyai arti penting dalam mencapai penyembuhan.

Unsur agama yang mereka terima akan memulihkan dam

memperkuat rasa percaya diri, harapan dan keimanan.

Pendalaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan atau

keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan kerohanian pada diri

seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin

terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.

e) Forum Silaturahmi

Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pasca

rehabilitasi) yaitu program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh

mantan penyalahguna NAPZA (yang telah selesai menjalani

tahapan rehabilitasi) dan keluarganya. Tujuan yang hendak

dicapai dalam forum silaturahmi ini adalah untuk memantapkan

terwujudnya rumah tangga/keluarga sakinah yaitu keluarga yang

harmonis dan religius, sehingga dapat memperkecil kekambuhan

penyalahgunaan NAPZA.
f) Program Terminal

Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka

sesudah menjalani program rehabilitasi dan kemudian mengikuti

forum silaturahmi, mengalami kebingungan untuk program

selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang karena

keterlibatannya pada penyalahgunaan NAPZA di masa lalu

terpaksa putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani

program khusus yang dinamakan program terminal (re-entry

program), yaitu program persiapan untuk kembali melanjutkan

sekolah/kuliah atau bekerja.

2. Rehabiliasi Pengguna NAPZA

a. Pengertian

Rehabilitasi NAPZA adalah rehabilitasi yang meliputi pembinaan fisik,

mental, sosial, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan

lanjut bagi para mantan pengguna NAPZA agar mampu berperan aktif

dalam kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi NAPZA adalah suatu

bentuk terapi dimana klien dengan ketergantungan NAPZA ditempatkan

dalam suatu institusi tertutup selama beberapa waktu untuk

mengedukasi pengguna yang berusaha untuk mengubah perilakunya,

mampu mengantisipasi dan mengatasi masalah relaps (kambuh).

b. Model-model Pelayanan Rehabilitasi NAPZA

Berdasarkan KEPMENKES No.996/MENKES/SK/VIII/2002,

pelayanan rehabilitasi meliputi:


1) Pelayanan Medik

a) Detoksifikasi

Detoksifikasi adalah suatu proses dimana seorang individu yang

ketergantungan fisik terhadap zat psikoaktif (khususnya Opioida),

dilakukan pelepasan zat psikoaktif (opioida) tersebut secara tiba-

tiba (abrupt) atau secara sedikit demi sedikit (gradual).

b) Terapi Maintenance

Terapi maintenance (rumatan) adalah pelayanan pasca

detoksifikasi dengan tanpa komplikasi medik.

2) Terapi Psikososial

Dapat dilakukan melalui pendekatan Non Medis, misalnya Sosial,

Agama, Spiritual, Therapeutic Community, Twelve Steps, dan

alternatif lain. Metode ini diperlukan tindak lanjut dari sektor terkait

seperti Departemen Sosial, Departemen Agama atau pusat-pusat

yang mengembangkan metode tersebut. Pelaksanaan metode apapun,

harus tetap berkoordinasi bersama dokter puskesmas kecamatan

setempat atau dokter rumah sakit terdekat untuk menanggulangi

masalah kesehatan fisik dan mental yang mungkin dan atau dapat

terjadi selama proses rehabilitasi.

3) Rujukan

Pasien penyalahguna dan ketergantungan NAPZA dengan

komplikasi medis fisik dirujuk ke Rumah Sakit Umum Kabupaten /

Kota atau Rumah Sakit Umum Provinsi. Pasien penyalahguna dan


ketergantungan NAPZA dengan komplikasi medis psikiatris dirujuk

ke Rumah Sakit Jiwa atau bagian psikiatri Rumah Sakit Umum

terdekat.

Model-model pelayanan rehabilitasi NAPZA adalah sebagai berikut :

1) Model pelayanan dan rehabilitasi medis

a) Metadon

Metadon adalah zat opioid sintetik berbentuk cair yang

diberikan lewat mulut. Metadon merupakan obat yang paling

sering digunakan untuk terapi substitusi bagi ketergantungan

opioid. Bentuk terapi ini telah diteliti secara luas sebagai terapi

modalitas. Terapi substitusi Metadon dari penelitian dan

monitoring pelayanan, secara kuat terbukti efektif menurunkan

penggunaan NAPZA jalur gelap, mortalitas, resiko penyebaran

HIV, memperbaiki kesehatan mental dan fisik, memperbaiki

fungsi sosial serta menurunkan kriminalitas.

Pada klien dengan pengguna heroin yang memakai

rehabilitasi dengan Metadon, maka dosis Metadon dosis tinggi

dinilai lebih efektif daripada dosisnya rendah atau menengah.

Dosis Metadon yang tinggi akan diturunkan secara bertahap.

Terapi rumatan Metadon diikuti perbaikan kesehatan secara

substansial dan insiden efek samping rendah. Hampir ¾ klien

yang mengikuti terapi Metadon berespon baik.15 Meski demikian,

tidak semua pengguna dengan ketergantungn opioid dapat

diberi
terapi substitusi Metadon. Bagi mereka yang tidak dapat

menggunakan metode ini, tersedia banyak pendekatan lainnya dan

menggugah mereka tetap berada dalam terapi.

b) Burprenorfin

Burprenorfin adalah obat yang diberikan oleh dokter mellui resep.

Aktifitas agonis opioid Burprenorfin lebih rendah dari Metadon.

Burprenorfin tidak diabsorbsi dengan baik jika ditelan, karena itu

cara penggunaannya adalah sublingual (diletakkan di bawah

lidah).

2) Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan bimbingan

individu dan kelompok. Terapi ini merupakan terapi konvensional untuk

klien ketergantungan NAPZA yang tidak menjalani rawat inap dan dapat

dilakukan secara individual maupun kelompok. Program ini didesain

dengan kegiatan yang bervariasi seperti edukasi keterampilan,

meningkatkan sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional, edukasi

moral dan spiritual, serta terapi 12 langkah (the 12 steps recopvery

program).

Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan

Therapeutic Community. Therapeutic Community (TC) adalah

sebuah kelompok yang terdiri dari individu dengan masalah yang

sama, tinggal di tempat yang sama, memiliki seperangkat peraturan,

filosofi, norma dan nilai, serta kultural yang disetujui,

dipahami dan dianut bersama. Kesemuanya dijalankan demi

pemulihan diri masing-masing.


Program TC berlandaskan pada filosofi dan slogan-slogan

tertentu, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

a) Filosofi TC tertulis:

“Saya berada di sini karena tiada lagi tempat berlindung, baik dari

diri sendiri, hingga saya melihat diri saya di mata dan hati insan

yang lain. Saya masih berlari, sehingga saya masih belum

sanggup merasakan kepedihan dan menceritakan segala rahasia

diri saya ini, saya tidak dapat mengenal diri saya sendiri dan yang

lain, saya akan senantiasa sendiri. Dimana lagi kalau bukan di

sini, dapatkah saya melihat cermin diri sendiri? Bukan kebesaran

semu dalam mimpi atau si kerdil di dalam ketakutannya, tetapi

seorang insan, bagian dari masyarakat yang penuh kepedulian. Di

sini saya dapat tumbuh dan berakar, bukan lagi seseorang seperti

dalam kematian tetapi dalam kehidupan yang nyata dan berharga

baik untuk diri sendiri maupun orang lain.”

b) Filosofi tidak tertulis:

(1) Honesty (kejujuran) adalah nilai hakiki yang harus dijalankan

para residen, setelah sekian lama mereka hidup dalam

kebohongan.

(2) No free lunch (di dunia ini tidak ada yang gratis). Tidak ada

sesuatupun di dunia ini yang didapatkan tanpa usaha terlebih

dahulu.

(3) Trust your environment (percaya pada lingkunganmu).

Percaya pada lingkungan rehabilitasi dan yakin bahwa


lingkungan ini mampu membawa klien pada kehidupan yang

positif.

(4) Understand is rather than to be Understood (pahami lebih

dulu orang lain sebelum kita minta dipahami)

(5) Blind faith (keyakinan total pada lingkungan)

(6) To be aware is to be alive (waspada adlah inti kehidupan)

(7) Do your things right, everything else will follow (pekerjaan

yang dilakukan dengan benar-benar akan memberikan hasil

yang positif)

(8) Be careful what ask to you, you might just get it (mulutmu

harimaumu)

(9) You can’t keep it unless you give it away (sebarkanlah ilmumu

pada banyak orang)

(10) What goes around, comes around (perbuatan baik akan

berbuah baik)

(11) Compensation is valid (selalu ada ganjaran bagi perilaku

yang kita buat)

(12) Act as if (bertindak sebagaimana mestinya)


(13) Personal growth before vested status (kembangkanlah dirimu

seoptimal mungkin)

3) Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan agama

Ada berbagai macam pusat rehabilitasi dengan pendekatan

agama, misalnya Pondok Pesantren dengan pendekatan nilai-nilai

agama Islam dimana kegiatan utamanya adalah berdzikir. Beda


halnya di Thailand dimana para biksu Budha merawat klien yang

mengalami ketergantungan opioida di kuil, antara lain kuil Budha

Tan Kraborg. Di dalam kuil, setiap pagi klien diberi ramuan daun

yang menyebabkan klien muntah dan sore harinya mendapat

pelajaran agama Budha dalam lima hari pertama. Setelah lima hari

tidak ada lagi kegiatan terstruktur dan klien diberi kesempatan untuk

memulihkan kesehatannya dari kelelahan. Para pendeta ini juga telah

dilatih dalam memberi konseling kepada klien.

4) Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan Narcotic

Anonymus. Suatu program recovery yang dijalankan seorang pecandu

berdasarkan prinsip 12 langkah. Langkah-langkah ini harus dijalankan

lebih dari satu kali. Setelah selesai mengerjakan seluruh langkah yang ada,

seorang pecandu harus menjalankan kembali langkah pertama. Karena

banyak hal baru yang terjadi dan timbul sehingga seorang pecandu harus

menjalankan recorvery-nya seumur hidup. 12 langkah tersebut antara lain:

a) Step 1: Kami mengakui bahwa kami tidak punya kekuatan untuk

mengatasi kebiasaan menggunakan alkohol sehingga hidup kami

menjadi tidak terkendali.

b) Step 2: Kami berkesimpulan bahwa suatu kekuatan yang lebih

besar dari diri kami sendiri dapat memulihkan kami kepada hidup

yang lebih sehat.

c) Step 3: Kami memutuskan untuk memalingkan kemauan dan

hidup kami di bawah bimbingan Tuhan, sebagaimana kami

memahaminya.

d) Step 4: Mencari dan tidak takut akan menemukan moral kami


sendiri.

e) Step 5: Mengakui kepada Tuhan, kepada diri kami sendiri dan

kepada orang lain, kesalahankesalahan kami yang bersifat

alamiah.

f) Step 6: Siap secara bulat menerima Tuhan yang akan mengubah

semua cacat watak.

g) Step 7: Dengan rendah hati memohon kepada-Nya untuk

menghilangkan kekurangan kami.

h) Step 8: Membuat daftar-daftar orang yang telah kami rugikan, dan

ingin berubah terhadap mereka.

i) Step 9: Berubah secara langsung kepada orang tersebut dimana

mungkin, kecuali bila dengan berbuat demikian akan mencederai

mereka atau orang lain.

j) Step 10: Terus menemukan diri kami sendiri dan bila terdapat

kesalahan, segera mengakuinya.

k) Step 11: Melalui doa dan meditasi meningkatkan hubungan secara

sadar dengan Tuhan, sebagaimana kami memahami-Nya, berdoa

hanya untuk mengetahui akan kehendak-Nya atas diri kami dan

kekuatan melaksanakannya.

l) Step 12: Dengan memiliki kesadaran spiritual sebagai hasil dari

langkah ini, kami akan mencoba untuk menyampaikan kabar ini

kepada pecandu alkohol, dan menerapkan prinsip ini dalam semua

kehidupan kami.
5) Model pelayanan dan rehabilitasi dengan pendekatan terpadu

Suatu pelayanan rehabilitasi dengan memadukan konsep dari

berbagai pendekatan dan bidang ilmu yang mendukung sehingga

dapat memfasilitasi korban NAPZA dalam mengatasi masalahnya

dari aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual. Tahapan kegiatan

pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahguna Narkoba

dilaksanakan sesuai.

3. Therapeutic Community

a. Pengertian

Therapeutic community adalah grup atau sekelompok orang yang

memiliki prinsip interpersonal yang cukup tinggi, sehingga mampu

mendorong orang lain untuk belajar berinteraksi di suatu komunitas.

Therapeutic community terdiri dari staf yang pernah mengalami rasa

sakit dan memiliki perilaku yang timbul akibat ketergantungan narkoba,

namun telah mampu dan mengetahui cara mengatasinya serta telah

melalui pendidikan dan pelatihan khusus yang memenuhi syarat dan

konselor.16

Teori yang mendasari metode therapeutic community adalah

pendekatan behavioral dimana berlaku sistem reward (penghargaan /

penguatan) dan punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku.

Selain itu digunakan juga pendekatan kelompok, dimana sebuah

kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah suatu perilaku.

Therapeutic community adalah salah satu model terapi dimana

sekelompok individu hidup dalam satu lingkungan yang sebelumnya


hidup terasing dari masyarakat umum, berupaya mengenal diri sendiri

serta belajar menjalani kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip yang

utama dalam hubungan antar individu, sehingga mampu merubah

perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat.

Pengertian lain menyebutkan bahwa Therapeutic Community

merupakan suatu treatment yang menggunakan pendekatan psikososial,

yaitu bersama-sama dengan mantan pengguna narkoba lainnya hidup

dalam satu lingkungan dan saling membantu untuk mencapai

kesembuhan.17

Menurut pengertian diatas, maka yang dimaksud therapeutic

community adalah salah satu program untuk merehabilitasi dalam hal

ini

para pecandu narkoba agar bisa mempertahankan proses pemulihannya.

Dalam program ini, para pecandu narkoba berupaya untuk mengenal

diri dan sesamanya serta saling mendukung dalam mempersiapkan diri

untuk pada peningkatan kemampuan dan keterampilan residen yang

dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari maupun

masalah dalam kehidupannya.

Konsep therapeutic community yaitu menolong diri sendiri, dapat

dilakukan dengan adanya keyakinan bahwa:

1) Setiap orang bisa berubah

2) Kelompok bisa mendukung untuk berubah

3) Setiap individu harus bertanggung jawab

4) Program terstruktur dapat menyediakan lingkungan aman


dan kondusif bagi perubahan

5) Adanya partisipasi aktif.18

b. Program Therapeutic Community

Pelaksanaan program disusun untuk membuat residen terlibat

secara penuh dalam setiap kegiatan, sesuai dengan job function-nya

masing – masing. Kedudukan petugas hanya sebagai pengawas, yang

mengawasi program. Kategori struktur program utama dari Therapeutic

Community, terdiri dari 4 (empat), yaitu:

1) Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan

untuk mengelola kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang

sesuai dengan nilai-nilai, norma – norma kehidupan masyarakat.

2) Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan

penyesuaian diri secara emosional dan psikologis.

3) Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan

aspek pengetahuan, nilai – nilai spiritual, moral dan etika, sehingga

mampu menghadapi dan mengatasi tugas – tugas kehidupannya

maupun permasalahan yang belum terselesaikan

4) Vocational and survival (Keterampilan kerja dan keterampilan

bersosial serta bertahan hidup)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan

dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk


menyelesaikan tugas-tugas sehari – hari maupun masalah dalam

kehidupannya.18

Fase penanganan progam Therapeutic Community (TC) terdiri atas

5 tahap, yaitu :

1) Entry / Orientation Phase

Perkiraan waktu 2 sampai 4 minggu. Tahap awal berupa orientasi

terhadap aturan, norma, ritual dan tugas di TC. Pengenalan terhadap

komunitas dan staf pegawai. Kegiatan yang dilakukan berupa

pekerjaan sederhana dan mudah sehingga tidak perlu mengambil

keputusan penting, tetapi perlu pengawasan tingkat tinggi.

2) Core Treatment Phase

Perkiraan waktu antara 3 – 6 bulan. Belajar untuk mengidentifikasi

isu-isu klinis atau pengobatan misalnya psikologis, sosial atau

keluarga, kesehatan, pendidikan, pelatihan, dll. Pengelolaan emosi

dan belajar ekspresi perasaan yang tepat dalam kelompok dan bentuk

lain dari konseling. Selain itu praktek dalam mengartikulasikan dan

mengungkapkan masalah kritis kehidupan atau masalah pribadi yang

belum terselesaikan dalam sesi kelompok atau sesi pribadi.

3) Pre – Reentry Phase

Perkiraan waktu antara 2 – 3 bulan. Pada tahap ini fokus terhadap

pengejaran karier, pendidikan dan kegiatan produktif lainnya yang

meningkatkan kemandirian, sebagai wujud resosialisasi secara

bertahap untuk persiapan kegiatan di luar TC. Proses Internalisasi

yang baru untuk memperoleh norma, nilai-nilai pribadi dan gaya


hidup bebas narkoba. Keberhasilan dari proses ini perlu melibatkan

peran manajerial dan pengawasan

4) Reentry Phase

Perkiraan waktu antara 2 – 6 bulan. Dalam usaha pengembalian diri

ke masyarakat di luar kehidupan komunitas, maka perlu belajar

untuk menangani isu-isi jika terjadi kekambuhan dan menemukan

gaya hidup yang stabil. Oleh karena itu perlu dukungan dari

keluarga, teman, komunitas, dll. Melatih kemampuan dengan gaya

hidup baru seperti mengelola uang, manajemen waktu, manajemen

stress, kesehatan dan praktek seks yang aman.

5) Aftercare Phase

Perkiraan waktu antara 6 - 12 bulan. Melakukan kunjungan ke

komunitas TC untuk berhubungan kembali dengan komunitas atau

memberi waktu pribadi sebagai pembicara atau fasilitator dari

kelompok-kelompok khusus dalam upaya mempertahankan gaya

hidup bebas dari narkoba.

c. Kegiatan Therapeutic Community

Prinsip terapi yang dilakukan dengan metode therapeutic

community berupa kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan secara rutin

dan teratur. Adapun kegiatan yang rutin dilakukan yaitu:16

1) Perbaikan Perilaku Sehari-hari (Behavior Management)

Setiap hari, residen diharuskan beraktivitas mengikuti jadwal yang

telah ditentukan, kecuali ada kendala seperti residen dalam keadaan

sakit. Setiap kegiatan sudah dijadwal secara padat dan teratur.


Tujuannya agar pasien diberi kesibukan sehingga tidak memiliki

waktu untuk berdiam diri dan berkhayal. Semua aktivitas dilakukan

secara bersama – sama, antara para residen dan staf yang

bertugas.

Tujuannya untuk meningkatkan kedisiplinan dan rasa kebersamaan

dalam suatu komunitas.

2) Pertemuan

Pada terapi komunitas pertemuan berdasarkan tujuannya, dibedakan

menjadi 4 (empat) macam, yaitu :

a) Morning Meeting

Kegiatan yang bersifat formal dilakukan pada pagi hari, sesudah

makan, selama 30-45 menit. Kegiatan ini diikuti oleh staf dan residen

dengan mengenakan pakaian formal dan bersepatu, kemudian

mengucapkan moto hidup dari terapi komunitas agar memberi semangat

dan bebas dari ketergantungan narkoba.

Tujuan kegiatan ini yaitu mempengaruhi aspek psikologi, dengan

mengawali hari dengan baik, meningkatkan rasa keakraban dan

persaudaraan dalam komunitas dan yang terutama adalah

memotivasi agar aktivitas sepanjang hari dapat berlangsung

dengan baik.16

b) Seminar

Pertemuan formal yang dilakukan setiap sore selama 60-90 menit.

Kegiatan seminar dilakukan untuk mengasah kemampuan

mendengarkan, berbicara dan memperhatikan. Pada kegiatan ini


pasien diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat secara

bebas sehingga merangsang kemampuan berkomunikasi. Tujuan

seminar adalah sebagai stimulasi intelektual, yaitu merangsang

kreatifitas untuk memberi ide dan tanggapan terhadap hal-hal

yang baru, dan membentuk pola berpikir yang benar dan sarana

berinteraksi sosial serta merupakan pastisipasi aktif dalam

kegiatan berkomunikasi. Penataan ruang biasanya disusun seperti

susunan ruang kelas agar terkesan formal.16

c) House Meeting

Pertemuan informal yang dilakukan setiap malam hari, setelah

makan malam. Sifat pertemuan lebih akrab. Lama pertemuan

sekitar 45-60 menit. Situasi pada saat pertemuan adalah pasien

dalam keadaan santai, duduk tenang, pasif atau cenderung

mendengarkan. Tujuan house meeting adalah mengevaluasi semua

kegiatan yang telah dilakukan sepanjang hari, baik yang positif

maupun yang negative.16

d) General Meeting

Pertemuan ini bersifat santai namun kekeluargaan. Lama

pertemuan tidak ditentukan. Tujuannya merayakan hal-hal yang

membanggakan atas prestasi residen sehingga memotivasi dan

meningkatkan kesadaran untuk berperilaku positif.. Hal ini akan

meningkatkan rasa percaya diri merupakan bagian yang sangat

berarti bagi proses kesembuhan.16

3) Permainan
Berbagai permainan yang dapat meningkatkan kemampuan bekerja

sama dalam kelompok, mengasah kreativitas dan intelektual,

mengembangkan kemampuan untuk mengungapkan pendapat dan

lain-lain.

4) Ibadah

Perbaikan mental spiritual sangat dibutuhkan oleh pasien. Memiliki

hubungan yang dekat dengan Tuhan dapat membantu pasien dalam

mengendalikan perilaku dan pola berpikir. Beribadah secara rutin

akan dapat membantu proses penyembuhan. Kegiatan beribadah

dilakukan bersama-sama.

5) Ketrampilan untuk bertahan mandiri lepas dari ketergantungan

dengan narkoba (Vocational/Survival Skill)

Pelatihan yang diberikan untuk mampu bertahan mandiri lepas dari

ketergantungan narkoba dengan pemberian tugas secara bertahap

mulai dari yang mudah hingga kompleks dan menuntut tanggung

jawab dari setiap individu. Pelatihan kepemimpinan dan

penerapannya di lingkungan komunitas, meliputi evaluasi dan

pengambilan keputusan yang telah dibuat dalam komunitas.

d. Tahapan Program

Tahapan dalam pelaksanaan program therapeutic community meliputi:16

1) Induction

Tahap ini berlangsung pada sekitar 30 hari pertama saat residen

mulai masuk. Tahap ini merupakan masa persiapan bagi residen

untuk memasuki tahapan Primary.


2) Primary

Tahap ini ditujukan bagi perkembangan sosial dan psikologis

residen. Dalam tahap ini residen diharapkan melakukan sosialisasi,

mengalami pengembangan diri, serta meningkatkan kepekaan

psikologis dengan melakukan berbagai aktivitas dan sesi teraputik

yang telah ditetapkan. Dilaksanakan selama kurang lebih 3 sampai

dengan 6 bulan. Primary terbagi dalam beberapa tahap, yaitu:

a) Younger member

b) Middle Peer

c) Older member

3) Re-entry

Re-entry merupakan program lanjutan setelah Primary. Program Re-

entry memiliki tujuan untuk memfasilitasi residen agar dapat

bersosialisasi dengan kehidupan luar setelah menjalani perawatan di

Primary. Tahap ini dilaksanakan selama 3 sampai dengan 6 bulan.

4) Aftercare

Program yang ditujukan bagi eks-residen/alumni. Program ini

dilaksanakan di luar panti dan diikuti oleh semua angkatan di bawah

supervisi dari staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati bersama.

Adapun kegiatan kelompok (group therapy) dalam therapeutic

community yang dapat dilaksanakan adalah :

a) Morning meeting, yaitu kegiatan rutin setiap pagi hari pada


pukul 09.00 s.d 10.00 WIB yang berupa pertemuan seluruh residen
untuk menyampaikan hal-hal penting yang terjadi di lingkungan blok
mereka.

b) Seminar, yaitu kegiatan yang berupa pemberian materi yang

berkaitan dengan narkoba. Tujuannya adalah membuka wawasan

dan menumbuhkan kesadaran diri terhadap bahaya narkoba.

c) Learning experience, yaitu suatu kegiatan pembelajaran kepada

residen yang berupa sanksi dari pelanggaran yang dilakukannnya.

Bentuk dari sanksi tersebut diarahkan pada perubahan sikap, cara

berpikir, disiplin dan evaluasi diri terhadap kesalahannya. Hal ini

dapat dilihat apabila seorang residen yang telah melakukan suatu

pelanggaran aturan yang telah ditentukan haruslah terbuka dan

mengakui kesalahannya didepan rekan residen lainnya.

d) Sport and recreation, yaitu kegiatan bertujuan untuk mereduksi

tingkat stres yang dialami residen selama mengikuti kegiatan.

Kegiatan sport berupa kegiatan senam massal, sepak bola, bola

voli dan bola basket. Sementara kegiatan recreation berupa

musik/band dan video session, yaitu nonton film bersama.

e) Vocational group, yaitu kegiatan pengembangan kreatifitas

residen terdiri dari pembuatan pigura/bingkai foto, pembuatan

asbak, pot bunga dan kerajinan tangan lainnya.

f) Function, merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka

untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dan kepedulian

terhadap kebersihan lingkungan sekitar. Kegiatan ini dijadualkan

setiap harinya dan dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan

therapeutic community.
DAFTAR PUSTAKA

1. BNN. (2010). Hasil Studi Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan


Pekerja di Indonesia Tahun 2009. diakses 8 Januari 2016;
http://www.bnn.go.id/portal/index.php/kontent/detail/puslitdatin

2. Hidayat. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisi


Data. Jakarta: Salemba Medika

3. Jehani, L., Antoro. (2006). Mencegah Terjerumus Narkoba. Jakarta :


Visimedia Kemenkes RI. (2010). Pedoman Konseling Gangguan
Penggunaan NAPZA Bagi Petugas Kesehatan. diakses 29 Januari 2016;
http://www.scribd.com/doc/48415961/22/Proses-pemulihan

4. Partodiharjo, S. (2008). Kenali NARKOBA dan Musuhi


Penyalahgunaannya. Jakarta : Penerbit Erlangga

5. Sumiyati. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Korban Penyalahgunaan


dan Ketergantungan NAPZA. Jakarta: CV Trans Media Info

6. Martono, Lidya Harlina dan Joewana, Satya. (2008). Membantu


Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya. Jakarta: Balai Pustaka

7. Harlina, L., Joewana, S. (2008). Belajar Hidup Bertanggung Jawab,


Menangkal Narkoba dan Kekerasan. Jakarta : Balai Pustaka

8. Soetjiningsih. (2010). Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya.


Jakarta: CV.Sagung Seto
9. Hawari, D. (2006). Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

10. Marlatt, G.A., and Gordon, J.R. (2010). Determinants of Relapse :


Implications for the Maintenance of Behavior Change. New York :
Behavior Medicine : Changing Lifestyle

11. Friedman, M.M. (2005). Family Nursing : Theory, Research, and Practice.
California : Appleton & Lange

12. Prasetyaningsih, E. (2009). Faktor Prediksi Terjadinya Kekambuhan


Pada Penyalahguna NAPZA Paska Pengobatan di Panti Pamardi Putra
Mandiri-Semarang Jawa Tengah. Tesis : Universitas Diponegoro.

13. Alatas, H. (2010). Penanggulangan korban narkoba. Jakarta: Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

14. Purba, J.M. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Masalah
Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press

15. Donovan, D. (2005). Quality of life as an outcome measure in


alcoholism treatment research. Journal of Studies on Alcohol, Volume
15, p. 119– 139.

16. Leon, George (2007). Theurapetic Community, Theory, Model, and Method.
New York

17. Syarifuddin G. (2013). Therapeutic Community (TC) pada Residen


Penyalah Guna Narkoba di Panti Social Marsudiputra Dharmapala
Inderalaya Sumatera Selatan. Indonesian Institute for Counseling,
Education and Therapy (IICET)

18. Winanti. (2008). Penelitian Therapeutic Community (TC) Lapas Klas


IIA Narkotika Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai