Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DERMATOFITOSIS
Oleh:
Irma Widyani Warman (B04120096)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan, antara lain iklim yang
panas, higiene perseorangan, sumber penularan, penggunaan obatobatan steroid, antibiotik
dan sitostatika, imunogenitas dan kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta respon
imun dari pasien.
Dengan memperhatikan kejadian dermatofitosis yang cukup penting untuk dipelajari,
maka perlu dilakukan cara identifikasi yang tepat untuk dapat menentukan diagnosa terhadap
hewan yang diduga menderita dermatofitosis.
B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengidentifikasi sampel kerokan kulit hewan yang di
duga mengalami dermatofitosis.
C. TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit kulit yang disebabkan oleh kapang dermatofit disebut dermatofitosis dikenal
dengan nama ringworm. Pada manusia penyakit ini menimbulkan gejala kulit bersisik
kemerahan dan di pinggirnya berbentuk cincin (ring), dan di bagian tengahnya adalah sel-sel
kulit yang mengalami persembuhan. Gejala ini disangka penyebabnya adalah cacing (worm),
maka istilah ringworm digunakan untuk menamakan penyakit ini. Nama dermatofit
(dermatophyte) bagi jenis kapang penyebabnya diartikan sebagai ‘tanaman yang hidup di
kulit’ karena zat keratin yang terdapat di kulit diperlukan untuk pertumbuhannya. Sehingga
nama yang tepat untuk penyakit ini adalah dermatophytosis (dermatofitosis). Gejala pada
hewan menunjukkan kerontokan bulu berbentuk bulat, kulit bersisik, berwarna abu dan
keadaannya kering, kadang-kadang mirip dengan gejala penyakit kulit lainnya (Harkness dan
Wagner, 1983).
Penularan dapat terjadi akibat kontak dengan artrospora atau konidia. Infeksi biasanya
dimulai pada rambut yang sedang tumbuh atau pada stratum komeum kulit.Penularan
diantara inang terjadi akibat kontak langsung dengan inang yangmenunjukkan gejala maupun
yang tidak menunjukkan gejala klinis atau kontak langsung maupun melalui udara dengan
rambut atau kulit yang terkelupas yang mengandung spora kapang dermatofita (CFSPB,
2005). Faktor yang menyokong terjadinya penyakit antara lain cara pemeliharaan hewan,
faktor nutrisi, lingkungan dan stress. Populasi yang padat, suhu tinggi dan kelembaban, juga
ektoparasit, umur muda atau tua, kehamilan adalah faktor predisposisi timbulnya penyakit
(Harkness dan Wagner, 1983).
D. METODOLOGI
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah scalpel, gelas objek, cover glass,
ose dan jarum, cawan petri, dan mikroskop. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah
KOH 10%, Lactophenol Cotton Blue (LPCB), aquades, selotape, media biakan SDA
(Sabouraud Dextrose Agar), dan sampel kulit. Hewan sebelumnya diduga menderita
dermatofitosis dengan gejala klinis berupa kebotakan dengan batas yang jelas pada daerah
leher. Sampel kulit dikerok dengan scalpel yang steril dan dimasukkan ke dalam plastik
bersih yang berpenutup dan di bawa ke laboratorium untuk pemeriksaan lanjut.
Metode
Identifikasi berikutnya yaitu menanam sampel kerokan kulit pada media biakan SDA
yang diberi antibiotik, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 7 hari. Hasil biakan
tersebut kemudian diamati baik secara makroskopis dengan mengamati morfologi koloni dan
secara mikroskopis dengan mengamati morfologi mikroskopisnya. Pengamatan morfologi
mikroskopis dilakukan secara natif, yaitu dengan menggunakan selotape yang ditempelkan ke
gelas objek yang ditetesi LPCB dan dibuat slide culture dengan teknik Riddel. Penentuan
kapang dilakukan dengan mengidentifikasi berdasarkan morfologi hifa, konidia dan
konidiosporanya.
BAB II
A. HASIL
1. Pemeriksaan makroskopik
1.1 Hasil Pengamatan
Tanpa pewarnaan
Sample : 1 Referensi
(http://faculty.ccbcmd.edu/)
Keterangan :
Warna : cream
tekstur : cottony
kecepatan pertumbuhan : 3 – 4 minggu
topografi : verrucose
Media : SDA
2. Pewarnaan LCB
2.1 Hasil Pengamatan
( www. lib.jiangnan.edu.cn)
Keterangan :
Struktur : 1. Hifa bersepta
2. Makrokonidia (berbentuk spindel, dinding tebal, ukuran)
3. Mikrokonidia (berbentuk clubbing, dinding halus, ukuran)
Perbesaran : 40 x 100
B. PEMBAHASAN
Identifikasi isolat fungi dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama yaitu, pengamatan
fungi secara makroskopis yang meliputi pengamatan terhadap warna dan bentuk koloni. Tahap
kedua yaitu, pengamatan secara mikroskopis yang dilakukan dengan membuat slide kutur
yang meliputi pengamatan terhadap bentuk hifa, bentuk, dan ukuran konidia. Tahap
pembuatan slide kultur dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1Tahap pembuatan slide kultur : (A) Potongan agar yang diambil dari medium
PDA. (B) Cawan Petri berisi batang penahan dan gelas objek. (C) Inokulasi fungi pada agar
yang disimpan di atas gelas objek. (D) Agar yang telah diinokulasi ditutup dengan kaca
penutup. (Sumber : www.botany.utoronto.ca)
Disiapkan sebuah cawan petri steril yang di dalamnya diberi kertas saring steril yang
dipotong bundar dan telah dilembabkan dengan menggunakan akuades steril untuk menjaga
kelembaban kultur dalam cawan Petri. Pada cawan Petri tersebut disimpan batang penahan
berbentuk segitiga, dan di atas batang penahan tersebut diletakkan sebuah objek gelas steril
beserta penutupnya seperti terlihat pada Gambar 3.1. Blok agar steril kira-kira berukuran satu
sentimeter kuadrat dipotong dari medium PDA dalam cawan Petri steril lain (Gambar 3.1 A)
dan diletakkan di atas gela objek dengan menggunakan pisau atau alat pemotong steril.
Kemudian, fungi diinkubasi pada keempat blok agar (Gambar 3.1 C) dan ditutup oleh gelas
penutup steril (Gambar 3.1 D). Setelah beberapa hari diinkubasi dalam suhu kamar, sllide
dapat diamati dengan menggunakan mikroskop pada perbesaran rendah sampai tinggi, lalu
diidentifikasi.
PENUTUP
KESIMPULAN
Sample 1 setelah dilakukan serangkaian uji identifikasi didapatkan hasil bahwa jamur
tersebut adalah microsporum canis merupakan jamur yang memiliki warna cream, tekstur
cottony, topografi verrucose. Sedangkan secara mikroskopik memiliki makrokonidia
berbentuk spindle, dinding tipis 3-6 septa, mikrokonidianya berbentuk clubbing, hifa
bersepta.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad., R.Z. 2009. Permasalahan & Penanggulangan Ring Worm Pada Hewan. Lokakarya
Nasional. Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner.Bogor.
Boel.,T. 2009. Mikosis superficial. Fakultas kedoteran gigi. Universitas Sumatera Utara.
Harkness, JE. and JE. Wagner. 1983. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents,
Second Edition, Lea & Febiger. pp. 115-117.
Rippon JW. Medical Mycology The Pathogenic Fungi. 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders
Company; 1988.