Anda di halaman 1dari 10

ETIKA PROFESI DAN

TATA KELOLA KORPORAT

Kelompok 1 ‐ Kelas Grogol Angkatan 29 :


Aditya Wisnu
Aulia Nazir
Herman Salim
Palti Raja Nainggolan
Ryan Aviantara

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRISAKTI 2016
1. Latar Belakang Dan Permasalahan

Ford Pinto merupakan sebuah mobil yang diproduksi oleh Ford Motor Company

pada tahun 1971 sampai dengan 1980an. Sebagai mobil yang kompak dengan berat 816

kg yang di jual dengan harga kurang lebih US$2.000 atau sekitar Rp18 juta. Nama mobil

pinto berasal dari Hours pinto.

Ada suatu kontroversi dalam peluncuran mobil ini. Seputar keselamatan desain

Ford pinto. Ford pinto pada era 70an menarik 1,5 juta produknya dari pasar akibat

kesalahan produksi tanki bahan bakar. Mobil ini memiliki kekurangan pada bagian

knalpotnya. Mobil ini hampir selalu mengeluarkan percikan api pada kecepatan tinggi.

Tentu saja mobil ini akan membuat pengguna jalan lain khususnya yang berada tepat di

belakangnya khawatir.

Kasus Ford pinto bermula dari kesengajaan perusahaan mendesain mobil seperti

itu dengan maksud mendapat keuntungan yang besar. Dibandingkan dengan lainnya,

tempat duduk Ford Pinto sangat rendah. Pada tahun 1960‐an, posisi ford dipasar mobil

mengalami penurunan besar akibat persaingan dari produsen mobil luar negeri

khusunya dari prusahaan‐perusahaan jepang yang memproduksi mobil‐mobil kecil dan

hemat bahan bakar. Strateginya difokuskan pada proses desain pemanufakturan dan

penjualan yang cepat atas sebuah mobil baru Pinto.

Model desain Pinto mengharuskan pemasangan tangki bensin dibelakang garden

dan ini lebih rentan terhadap kebocoran akibat tabrakan dari belakang, namun manajer

Ford memutuskan untuk tetap memproduksi Pinto karena alas an. Pertama, mesin

mobil ini memenuhi standar hokum dan peraturan pemerintah. Kedua, manajer Ford

merasa bahwa mobil ini memiliki tingkat keamanan yang sebanding dengan mobil‐

mobil yang diproduksi perusahaan lain. Ketiga, menurut studi biaya keuntungan
internal yang dilakukan oleh Ford, biaya modifikasi Pinto tidak bisa ditutupi oleh
keuntungan yang diraih.

Manajer ford mengubah biaya dan keuntungan menjadi biaya dan keuntungan

ekonomi seperti biaya medis, kerugian material,dan lain‐lain dan semua dinilai dalam

uang. Tapi keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan dapat mencakup hal‐hal

menguntungan seperti kepuasan yang diperoleh dari tindakan tersebut, sedangkan

biaya dapat mencakup kerugian‐kerugian yang tidak diinginkan seperti kematian para

konsumen akibat produk yang dihasilkan perusahaan. Utilitarianisme digunakan

untuk semua teori yang mendukung pemilihan tindakan atau kebijakan yang

memaksimalkan keuntungan atau yang dapat menekan biaya.

2. Modus

Pada awal tahun 1960‐an, posisi ford dipasar mobil mengalami penurunan besar

akibat persaingan dari produser mobil luar negeri khususnya dari perusahaan jepang

yang memproduksi mobil kecil dan hemat bahan bakar, direktur Ford berusaha mati‐

matian untuk memperoleh kembali Pangsa pasar mobil. Strateginya di fokuskan pada

proses desain, pemanufakturan dan penjualan yang cepat atas sebuah mobil baruʺ

PINTOʺ sebuah mobil murah dengan berat kurang dari 2000 pon harganya tidak lebih

dari $ 2000 dipasarkan dalam waktu dua tahun karena Pinto merupakan proyek yang

dibuat dengan agak terburu‐buru, pertimbangan masalah model lebih diutamakan

ketimbang desain teknis. model desain pinto mengharuskan pemasangan tangki bensin

di belakang gardan, ini lebih rentan terhadap kebocoran tabrakan dari belakang saat

model awal di uji mengalami tabrakan saat di tabrak dari belakang dengan kecepatan 2

mil atau lebih tangki bahan bakar kadang pecah dan bensinnya masuk keruang

penumpang. namun manajer Ford memutuskan untuk tetap memproduksi Pinto.

Keputusan Ford untuk melanjutkan produksi dan penjualan model Pinto, dalam
kondisi cacat nya, diputuskan oleh perusahaan dengan melakukan “Analisis biaya
manfaat”. Diperkirakan biaya yang diharapkan memproduksi Pinto dengan dan tanpa
modifikasi tangki bahan bakar:

Perkiraan biaya produksi Pinto dengan modifikasi tangki bahan bakar:

 Penjualan unit Diharapkan: 11 juta kendaraan

 Modifikasi biaya per unit: $ 11,00

 Total Biaya: $ 121,000,000

Perkiraan biaya produksi Pinto tanpa modifikasi tangki bahan bakar:

Hasil yang diharapkan kecelakaan (asumsi 2100 kecelakaan):

 180 membakar kematian

 180 membakar luka serius

 2100 dibakar keluar kendaraan

Satuan biaya hasil kecelakaan (dengan asumsi keluar dari pemukiman pengadilan):

 $ 200.000 per kematian membakar

 $ 67.000 per cedera serius

 $ 700 per kendaraan terbakar

 Total Biaya: $ 49.530.000

3. Dampak

Pada tanggal 10 Agustus 1978, sebuah Ford Pinto ditabrak dari belakang di jalan

raya Indiana. Hantaman tabrakan itu menyebabkan tangki bahan bakar Pinto pecah,

meledak dan terbakar. Hal ini mengakibatkan kematian tiga remaja putri yang berada

di dalam mobil itu. Kejadian ini bukan pertama kalinya Pinto terbakar akibat tabrakan

dari belakang.
Pada tanggal 28 Mei 1972, Mrs Gray, dan Richard Grimshaw, mengendarai pinto

untuk bertemu Mr Gray. Di perjalanan Pinto tiba‐tiba terhenti di jalur tengah

menyebabkan ditabraknya mobil tersebut oleh driver dari Ford Galaxie yang tidak

mampu untuk menghindari bertabrakan dengan Pinto. Dampaknya Pinto terbakar dan

interior dilalap api. Mrs Gray meninggal beberapa hari kemudian dari gagal jantung

kongestif akibat luka bakar. Grimshaw berhasil bertahan hidup, mengalami luka bakar

dan harus operasi dan cangkok kulit serta harus menjalani operasi tambahan selama 10

tahun ke depan. Dia kehilangan bagian dari beberapa jari di tangan kirinya dan bagian

dari telinga kirinya, sementara wajahnya diperlukan banyak cangkok kulit dari

berbagai bagian tubuhnya

Dalam tujuh tahun sejak peluncuran pinto, sudah ada 50 tuntutan hukum yang

berhubungan dengan tabrakan dari belakang. Mesikpun demikian, kali ini ford

dituntut di pengadilan criminal akibat penumpangannya tewas.

4. Kode Etik Akuntan Indonesia


Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi profesi untuk mengatur perilaku

anggotanya dalam menjalankan praktik profesinya bagi masyarakat. Dalam kongresnya tahun

1973, IAI untuk pertama kalinya menetapkan Kode Etik bagi profesi Akuntan di Indonesia.

Pembahasan mengenai kode etik IAI ditetapkan dalam Kongres VIII tahun 1998.

Dalam kode etik yang berlaku sejak tahun 1998, IAI menetapkan delapan prinsip etika

yang berlaku bagi seluruh anggota IAI dan seluruh kompartemennya. Setiap kompartemen

menjabarkan 8 (delapan) Prinsip Etika ke dalam Aturan Etika yang berlaku secara khusus bagi

anggota IAI. Setiap anggota IAI, khususnya untuk Kompartemen Akuntansi Sektor Publik

harus mematuhi delapan Prinsip Etika dalam Kode Etika IAI beserta Aturan Etikanya, yakni:

1. Tanggung Jawab Profesi

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setipa anggota harus

senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegitan


yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam

masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab

kepada semua pemakai jasa profesional mereka.

2. Kepentingan Publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan

kepada publik, mengormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas

profesionalisme. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat

dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan.

3. Integritas

Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan

profesional. Integritas merupakan kualitas yang mendasari kepercayaan publik dan

merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang

diambilnya. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota

harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.

4. Objektivitas

Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan

anggota. Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak,

jujur, secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan

kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain. Setiap anggota harus menjaga

objektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajban

profesionalnya.

5. Kompetensi dan Kehati‐ hatian Profesional


Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak

menggambarkan dirinya memiliki keandalan atau pengalaman yang tidak mereka

miliki. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi 2 fase yang terpisah:

Pencapaian Kompetensi Profesional.

Pencapaian ini pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi,

diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subjek‐

subjek yang relevan. Hal ini menjadi pola pengembangan yang normal untuk

anggota.

Pemeliharaan Kompetensi Profesional.

Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui komitmen, pemeliharaan

kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti

perkembangan profesi akuntansi, serta anggotanya harus menerapkan suatu

program yang dirancang untuk memastikan terdapatnya kendali mutu atas

pelaksanaan jasa profesional yang konsisten.

Sedangkan kehati‐ hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi

tanggung jawab profesinya dengan kompetensi dan ketekunan.

6. Kerahasiaan

Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selam

melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi

tersebut tanpa persetujuan. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa

staff di bawah pengawasannya dan orang‐ orang yang diminta nasihat dan bantuannya

menghormati prinsip kerahasiaan.

7. Perilaku Profesional
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus

dipenuhi oleh amggota sebgai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa,

pihak ketiga, anggota yang lain, staff, pemberi kerja dan masyarakat umum.

8. Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis

dan standar professional yang relevan. Standar teknis dan standar professional yang

harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh IAI, International

Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang‐ undangan yang

relevan.

5. Pelanggaran Kode Etik Kasus Ford Pinto


Pertama‐tama perlu kami garis bawahi bahwa tidak ada pelanggaran kode etik profesi bagi

seorang akuntan dalam kasus ini. Yang terlibat dalam kasus ford pinto adalah desainer /

engineer, dan BOD. Berkaitan hal tersebut, dengan menggunakan kedelapan indikator kode

etik akuntan diatas, menurut kelompok kami, etika profesi yang di langgar adalah :

1. Standar Teknis : Manajemen Ford tidak melaksanaan pekerjaannya sesuai

dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Tidak sesuai

dengan keahliannya dan tidak berhati – hati dalam menjalankan dan

memproduksi mobil ford. Sehingga mengabaikan standar teknis dari safety car.

2. Tanggung Jawab profesi : Dalam kasus ford pinto ini, manajemen tidak

mempertimbangkan moral dan profesionalitasnya dalam kegiatan yang

dilakukan. Manajemen dengan sengaja mengabaikan kecacatan design daripada

ford pinto dan tidak memperbaiki kecatatan tersebut. Bahkan manajemen sudah

mengetahui hasil uji tabrak ford pinto yang setiap kali ditabrak akan
menghasilkan percikan api namun dihiraukan, dan lebih melihat kepada profit
yang di hasilkan.

3. Integritas : Dalam kasus ford pinto, manajemen tidak mempunyai integritas.

Dimana manajemen tidak bersikap jujur dan berterus terang atas kecacatan

design ford pinto, sehingga mengorbankan para pembeli mobil ford pinto.

Kepercayaan publik terhadap ford dikalahkan oleh keuntungan pribadi Ford,

dimana ford lebih mementingkan profit dibandingkan keselamatan pengemudi

ford pinto.

4. Kepentingan Publik : Dalam kasus ford pinto, manajemen tidak mementingkan

kepentingan publik dikarenakan manajemen tidak melakukan perbaikan atas

design mobil ford pinto. Bahkan manajemen lebih memilih membayar ganti rugi

akibat kecelakaan ford pinto daripada harus memperbaiki tangki bahar bakar,

dikarenakan biaya memperbaiki lebih besar ketimbang harus membayar ganti

rugi akibat kecelakaan ford pinto. Sehingga dalam hal ini, manajemen seolah –

olah tidak memperhatikan keselamatan para pengemudi ford pinto, dan lebih

mementingkan profit.

6. Solusi Perbaikan & Langkah kedepannya

Jika kami sebagai CEO perusahaan, maka langkah solutif dan perbaikan yang kami

lakukan adalah:

1. Mengembalikan kepercayaan publik, dengan cara menarik semua mobil hasil

produksi dan melakukan perbaikan atas design yang cacat tersebut. Dan melakukan ganti
rugi terkait kecelakaan yang disebabkan oleh Ford Pinto.

2. Mengevaluasi dan Menerapkan SOP yang berprinsip kepada etika profesi dan bisnis

dengan mengedepankan kepentingan publik.


3. Melakukan evaluasi terhadap metode atau proses produksi untuk menekan biaya

produksi agar lebih efisien sehingga harga yang dipasarkan dapat bersaing dengan

kualitas terbaik.

Anda mungkin juga menyukai