Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Teori Stakeholder

Teori stakeholder menjelaskan bahwa perusahaan beroperasi


tidak hanya untuk kepentingannya sendiri namun harus
memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham,
kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analisis, dan
pihak lain) (Chariri, 2008). Keberadaan suatu organisasi (perusahaan)
tidak terlepas dari pengaruh orang-orang atau kelompok yang memiliki
hubungan dengan organisasi. Adanya teori stakeholder menjelaskan
bahwa perusahaan tidaklah bersifat individualis dan mementingkan
diri sendiri dalam menjalankan kegiatan operasinya.

Teori Stakeholder juga dapat diartikan sebagai sekumpulan


praktik dan kebijakan yang berkaitan dengan stakeholder, pemenuhan
ketentuan hukum, nilai-nilai, penghargaan masyarakat dan
lingkungan, serta komitmen dalam dunia usaha untuk berkontribusi
dalam pembangunan secara berkelanjutan. Teori Stakeholder dimulai
dengan menggunakan asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak
dipungkiri merupakan bagian dari kegiatan usaha (Freeman dkk.,
2004).

Branco dan Rodrigues (2007) menyatakan bahwa manajemen


sebuah perusahaan sebaiknya dalam membuat keputusan bisnis
jangan hanya mempertimbangkan pada keputusan pemegang saham
melainkan juga sebaiknya harus mempertimbangkan pada siapa saja
yang terkena dampak atas keputusan tersebut. Jika dikaitkan antara
Teori Stakeholder dengan CSR maka CSR yg dilakukan perusahaan
akan lebih menarik konsumen dan pihak lain. Maka dari itu, CSR

8
harus dilakukan oleh perusahaan jika ingin meningkatkan minat dari
konsumen (Cheers, 2011).

2.1.2. Teori Legitimasi

Teori Legitimasi adalah teori yang sering digunakan dalam


bidang akuntansi sosial dan lingkungan. Di mana teori legitimasi lebih
berfokus pada interaksi antara perusahaan atau organisasi dengan
masyarakat. Tingginya tingkat kesadaran suatu perusahaan akan
sustainability/kelangsungan usahanya tergantung pada hubungan
perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat
perusahaan beroperasi. Suchman (1995) menyatakan:

“Legitimacy is generalized perception or assumption that the


actions of entity are desirable, proper, or appropriate withing some
socially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.”

Teori ini menjelaskan bahwa sebaiknya dalam menjalankan


usahanya sebuah perusahaan perlu memperhatikan lingkungan sosial
di sekitarnya, supaya terjalin hubungan yang harmonis dan baik antar
keduanya (Wilmshurts dan Frost 2000; Patten 1992; Guthrie dan
Parker 1989; Tinker dan Neimark 1987; Hogner 1982) dalam Chariri
(2008). Dalam hal ini sebaiknya sebuah perusahaan menyadari
bahwa kelangsungan hidup perusahaannya juga bergantung pada
hubungan mereka dengan lingkungan sekitar. O‟Donovan (2000)
menyebutkan bahwa legitimasi organisasi merupakan sesuatu yang
diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang dicari
perusahaan dari masyarakat. Dimana dalam hal ini sebuah
perusahaan harus memiliki kesadaran bahwa kelangsungan hidup
suatu usaha sangat memerlukan kontrak social dengan masyarakat
sekitar agar perusahaan mampu melaksanakan norma perusahaan
yang sejalan dengan norma yang ada di masyarakat. Corporate Social

9
Responsibility (CSR) merupakan suatu rantai atau proses dimana
dalam praktiknya perusahaan bertanggung jawab terhadap
masyarakat secara social. Mekanisme ini selaras kaitannya dengan
teori legitimasi yang menyebutkan bahwa perusahaan memiliki
kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya
berdasarkan nilai-nilai justice dan bagaimana perusahaan
menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi
tindakan perusahaan (Tilt, CA. 1994 dalam Titisari, Suwardi, dan
Setiawan 2010).

Dowling dan Preffer (1975) menyebutkan bahwa ada dua


aspek supaya perusahaan mendapatkan dukungan legitimasi, yaitu:
(1) aktivitas organisasi harus sesuai (congruence) dengan sistem nilai
di masyarakat; (2) pelaporan aktivitas perusahaan juga hendaknya
mencerminkan nilai social. Lindblom (1994) menyebutkan bahwa jika
sebuah perusahaan mampu mengungkapkan CSR, maka hal tersebut
akan berguna untuk memperlihatkan perhatian manajemen terhadap
nilai-nilai masyarakat dari pengaruh negatif aktivitas perusahaan.

2.1.3. Teori Agensi

Teori agensi adalah teori yang menjelaskan tentang hubungan


antara Principal dan Agent. Dimana yang dikatakan sebagai principal
yakni pemilik perusahaan atau pemilik saham perusahaan dan
manajemen atau karyawan perusahaan merupakan Agent. Kim,
Nofsinger dan Kohr (2010) berpendapat bahwa pada umumnya
terdapat pemisahan antara pemilik perusahaan dengan manajemen
perusahaan, pemisahan ini diharapkan akan berdampak pada
pertumbuhan bisnis perusahaan. Dikarenakan adanya pemisahaan
tersebut, memungkinkan timbulnya resiko konflik antara pemilik
perusahaan dengan manajemen atau biasa disebut juga dengan
Agency Conflict. Konflik yang terjadi antara pemilik perusahaan
dengan manajemen juga dapat berdampak kepada permasalahan

10
kepada pemerintah, salah satunya adalah penghindaran pajak.
Manajemen yang cenderung ingin meningkatkan keuntungan
perusahaan atau laba bersihnya akan menggunakan banyak cara,
salah satunya agresivitas pajak dan hal ini terjadi karena pemisahan
antara kepemilikan dan manajemen (Desai dan Dharmapala, 2007).
Dimana hal tersebut bertentangan dengan keinginan pemilik
perusahaan karena pemilik cenderung tidak ingin perusahaan
mendapat akibat yang lebih fatal ketika melakukan agresivitas pajak.
Maka dari itu, perusahaan dengan kepemilikan keluarga cenderung
akan lebih patuh dalam hal perpajakan bagi perusahannya.

2.2 Corporate Social Responsibility (CSR)

2.2.1 Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)

Dalam menjalankan proses bisnisnya, perusahaan semakin


menyadari bahwa untuk mempertahankan sustainability perusahaan
dalam jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar
profitability. Maka dari itu, perusahaan tidak hanya bertanggung jawab
terhadap internal perusahaan tetapi juga memiliki tanggung jawab
eksternal seperti Corporate Social Responsibility (CSR) yang
merupakan tanggung jawab sosial perusahaan kepada lingkungan
masyarakat. Sampai saat ini belum ada definisi tunggal tentang CSR,
berikut adalah pengertian CSR yang dikumpulkan dari berbagai
sumber.

Berdasarkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal


pasal 15 huruf b, menjelaskan kepada para penanam modal
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dimana dalam hal ini yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial
perusahaan” adalah tanggung jawab perusahaan dengan memberikan
kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan dengan

11
memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan bagi seluruh
pemangku kepentingan supaya terjalin hubungan yang harmonis dan
serasi. Dimana hal ini sudah dijelaskan dalam UU Penanaman Modal
diatas, UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74
juga mengatur mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan
yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan
masyarakat pada umumnya. Dipertegas pula dalam UU ini jika
Perseroan tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan maka Perseroan yang bersangkutan dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baker (2003) menyatakan bahwa CSR merupakan suatu


tindakan bagaimana perusahaan mengendalikan proses bisnisnya
agar memberikan dampak positif kepada masyarakat di sekitar
perusahaan.

Setelah melihat beberapa uarain penjelasan di atas mengenai


CSR maka dapat disimpulkan bahwa CSR adalah “bagaimana cara
suatu perusahaan bertanggungjawab atas dampak sosial dan
lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan operasinya serta
menjalankan komitmen yang konsisten dari perusahaan untuk
berperilaku secara etis kemudian berkontribusi atas pembangunan
ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan.”

2.2.2 Pengungkapan CSR

Dijelaskan dalam PP No. 47 Tahun 2012 mengenai Tanggung


Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas pasal 2 dinyatakan
bahwa setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung
jawab sosial dan lingkungan. Dimana dalam hal ini ditekankan bahwa
tanggung jawab sosial melekat pada setiap perusahaan/perseroan.
Maka perseroan perlu mempunyai komitmen untuk menjalin hubungan

12
yang harmonis dengan masyarakat untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut
dimaksudkan untuk:

1. meningkatkan kesadaran Perseroan terhadap pelaksanaan tanggung


jawab sosial dan lingkungan di Indonesia;
2. memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan; dan
3. menguatkan peraturan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang
telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai
dengan bidang kegiatan usaha Perseroan yang bersangkutan.

2.2.3 Indikator Pengungkapan CSR

Transparansi dampak ekonomi, lingkungan dan sosial menjadi


komponen utama bagi efektifnya hubungan dengan pemangku
kepentingan, kebijakan investasi dan hubungan pasar lainnya. Agar
tujuan ini tercapai, maka diperlukan sebuah kerangka konsep yang
global, dengan bahasa yang konsisten dan dapat diukur. Adalah
menjadi misi dari Inisiatif Pelaporan Global/Global Reporting Initiative
(GRI) untuk memenuhi kebutuhan itu dengan menyediakan sebuah
kerangka yang kredibel dan dapat dipercaya dalam melaporkan
keberlanjutan yang dapat digunakan oleh berbagai organisasi yang
berbeda ukuran, sektor, dan lokasinya.

Transparansi mengenai keberlanjutan dari aktivitas organisasi


menjadi perhatian penting bagi perusahaan, pekerja, lembaga
swadaya masyarakat, investor, akuntan, dan lainnya. Hal inilah yang
menyebabkan mengapa GRI sangat bergantung pada kerja sama dari
sebuah jejaring besar para ahli yang berasal dari berbagai pemangku

13
kepentingan dalam melakukan konsultasi untuk mencapai konsensus.
Kerangka pelaporan yang dibuat GRI ditujukan agar kerangka dapat
diterima umum dalam pelaporan kinerja ekonomi, lingkungan, dan
sosial dari organisasi. Kerangka didesain untuk digunakan oleh
berbagai organisasi yang berbeda ukuran, sektor, dan lokasinya.
Kerangka GRI mempertimbangkan hal praktis yang dihadapi oleh
berbagai macam organisasi –dari perusahaan kecil sampai kepada
perusahaan yang memiliki operasi ekstensif dan tersebar di berbagai
lokasi. Kerangka ini mengandung isi umum dan sektor secara
spesifik yang telah disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan
agar nantinya dapat diaplikasikan secara umum dalam melaporkan
kinerja keberlanjutan dari sebuah organisasi.

Panduan Laporan Keberlanjutan berisikan prinsip-prinsip


dalam mendefinisikan isi laporan dan menjamin kualitas dari informasi
yang dilaporkan. Panduan juga meliputi standar pengungkapan yang
terdiri atas tiga tipe yaitu :

1. Strategi dan Profil, yaitu pengungkapan yang membentuk


keseluruhan konteks untuk dapat memahami kinerja
organisasi, seperti strategi yang dimiliki, profil, dan tata kelola.
2. Pendekatan Manajemen, yaitu pengungkapan yang mencakup
mengenai bagaimana sebuah organisasi menggunakan topik
tertentu untuk memberikan konteks dalam memahami kinerja
pada sebuah bidang spesifik tertentu.
3. Indikator Kinerja, yaitu indikator yang memberikan
perbandingan informasi terkait kinerja ekonomi, lingkungan, dan
sosial dari organisasi.

Versi GRI terus menerus diperbaharui untuk memuat prinsip-


prinsip keberlanjutan perusahaan. Bulan Maret 2011, GRI
menerbitkan versi G3.1 yang merupakan update dan penyempurnaan
dari G3. Versi ini menambahkan pedoman tentang pelaporan jenis

14
kelamin, komunitas dan hak asasi manusia yang berhubungan
dengan kinerja.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan acuan GRI versi


G3.1. untuk mengetahui tingkat aktivitas CSR yang telah dilakukan
dan dilaporkan dalam sustainability report atau annual report
perusahaan

2.3 Kepemilikan Keluarga

Kepemilikan mayoritas dalam suatu perusahaan biasa disebut


dengan perusahaan keluarga. Morck dan Yeung (2004)
mendefinisikan perusahaan keluarga adalah perusahaan yang
dioperasikan oleh ahli waris dari mereka yang sebelumnya memimpin
perusahaan atau oleh keluarga yang sudah jelas dalam proses
pemindahan pada ahli waris. Selaras dengan Morck dan Yeung, Chen
et al (2010) mengartikan perusahaan keluarga sebagai perusahaan
yang anggota dari keluarga pendiri terus menerus memiliki posisi di
top management, baik pada dewan direksi maupun pemegang saham
perusahaan.

Sedangkan Arifin (2003) menjelaskan, perusahaan keluarga


adalah semua perusahaan tertutup dan individu yang kepemilikannya
terdaftar (kepemilikan di atas 5%) kecuali perusahaan asing,
perusahaan publik, Negara, institusi keuangan, atau publik (individual
yang kepemilikan tidak terdaftar). Perusahaan keluaraga merupakan
perusahaan yang pendiri atau anggota keluarganya berdasarkan
hubungan darah atau pernikahan menjabat sebagai karyawan,
direktur, atau memiliki minimal 5% dari modal perusahaan, baik
secara individual atau kelompok hal ini diungkapkan oleh Anderson
dan Reeb (2003). Perusahaan dengan keanggotaan dari satu
keluarga yang memegang lebih dari 50% hak suara dapat
didefinisikan sebagai perusahaan keluarga hal ini diungkapkan
Wolfenzon dan Nielsen (2004).

15
Andres (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa untuk
dikategorikan sebagai perusahaan keluarga, suatu perusahaan harus
memenuhi salah satu dari dua kriteria berikut :

1. Pendiri perusahaan atau anggota keluarga pendiri perusahaan


harus memiliki minimal 5% dari total saham perusahaan.
2. Apabila keluarga pendiri perusahaan memiliki kurang dari 5%
dari total saham perusahaan maka anggota keluarga tersebut
harus masuk dalam dewan direksi atau dewan komisaris
perusahaan.

Dari beberapa definisi yang diungkapkan diatas kepemilikan


keluarga dapat diartikan sebagai perusahaan yang didominasi dengan
keanggotaannya adalah ahli waris, atau keluarga dari pendiri
perusahaan dan memiliki saham minimal 5%.

2.4 Agresivitas Pajak

Definisi tindakan pajak agresif dalam penelitian ini mengacu


pada pengertian pajak agresif yang digunakan oleh Frank et al.
(2009), agresivitas pajak merupakan suatu tindakan yang bertujuan
untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak baik
menggunakan cara yang tergolong atau tidak tergolong tax evasion.
Hlaing (2012) menjelaskan bahwa agresivitas pajak adalah tindakan
perencanaan pajak semua perusahaan yang terlibat dalam usaha
mengurangi tingkat pajak yang efektif. Hanlon dan Slemrod (2008)
berpendapat bahwa dalam rangka meningkatkan nilai dari
perusahaan, pemilik saham dan pemilik perusahaan akan
meminimalisasi pajak perusahaan ditandai dengan tingkat
transparansi yang lebih rendah. Sedangkan menurut Steijvers dan
Niskanen. (2011) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai tindakan
merendahkan tingkat pajak penghasilan yang tertagih melalui kegiatan
manajemen pajak baik secara legal maupun illegal maupun keduanya.

16
Sebelum memutuskan untuk melakukan suatu tindakan pajak
agresif, pembuat keputusan (manajer) akan memperhitungkan
keuntungan dan kerugian dari tindakan yang akan dilakukan. Ada tiga
keuntungan tindakan pajak agresif :

1. Keuntungan berupa penghematan pajak yang akan dibayarkan


perusahaan kepada negara, sehingga jumlah kas yang dinikmati
pemilik/pemegang saham dalam perusahaan menjadi lebih besar.
2. Keuntungan bagi manajer (baik langsung maupun tidak langsung)
yang mendapatkan kompensasi dari pemilik/pemegang saham
perusahaan atas tindakan pajak agresif yang dilakukannya.
3. Keuntungan bagi manajer adalah mempunyai kesempatan untuk
melakukan rent extraction (Chen et al. 2010).

Sedangkan kerugian dari tidakan pajak agresif diantaranya


adalah :

1. Kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi/penalti dari fiskus


pajak, dan turunnya harga saham perusahaan (Sari dan Martani,
2010).
2. Rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak.
3. Penurunan harga saham dikarenakan pemegang saham lainnya
mengetahui tindakan pajak agresif yang dijalankan manajer
dilakukan dalam rangka rent extraction (Desai dan Dharmapala,
2006).

2.5 Variabel Kontrol

2.5.1. Profitabilitas

Yang dimaksud dengan Profitabilitas adalah kemampuan


perusahaan dalam menghasilkan laba pada periode tertentu
(Munawir, 2004). Dalam penelitian ini Profitabilitas yang digunakan
proksi Return On Assets (ROA). Return on assets atau ROA dapat
didfinisikan sebagai variabel yang menggambarkan profitabilitas dari

17
suatu perusahaan, yang merupakan hasil perhitungan pre-tax income
dibagi dengan total aset sehingga ROA diharapkan akan mengontrol
dampak dari perubahan laba akuntansi (Gupta dan Newberry, 1997).
ROA dan ETR memiliki hubungan yang positif, diamana semakin
tinggi ROA yang dihasilkan oleh perusahaan maka semakin tinggi
pula tingkat profitabilitas perusahaan tersebut begitupun sebaliknya.
Gupta dan Newberry (1997) dalam Janssen dan Buijink (2000)
menyebutkan bahwa seiring dampak dari reformasi perpajakan yang
menurunkan tarif pajak maka ROA dan ETR memiliki hubungan
negative.

2.5.2. Leverage

Leverage dapat diartikan sebagai penggunaan aktiva atau dana


dimana perusahaan harus membayar biaya tetap atau menutup beban
tetap (Riyanto, 1995). Dalam membiayai asetnya perusahaan yang
memiliki nilai leverage tinggi sangat bergantung kepada dana
pinjaman ke pihak eksternal, begitu pula sebaliknya perusahaan yang
memiliki leverage rendah maka untuk membiayai asetnya cenderung
modal sendiri. Variabel ini dihitung dengan cara Long-Term Debt
dibagi dengan Total Assets tujuannya adalah menggambarkan
struktur modal perusahaan dan keputusan pembiayaan perusahaan.

2.5.3. Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan merupakan variable control yang sangat


penting didalam penelitian ini, di mana ukuran perusahaan menjadi
salah satu karakteristik yang bisa menggambarkan kondisi
perusahaan. Untuk menjaga image dari perusahaan tersebut
Perusahaan yang besar cenderung akan mengungkapkan informasi
yang akurat dan relevan supaya mendapatkan kesan yang baik dari
masyarakat (Octaviana 2014).

18
Penelitian mengenai CSR dan agresivitas pajak yang
menggunakan ukuran perusahaan sebagai variable control telah
digunakan oleh peneliti seperti Lanis dan Richardson (2012).
Sedangkan penelitian mengenai family firm dengan agresivitas pajak
yang menggunakan ukuran perusahaan sebagai variable control
Martinez dan Ramalho (2014).

2.6 PenelitianTerdahulu

Di Indonesia maupun di negara luar, penelitian yang berkaitan


dengan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Agresivitas Pajak
telah banyak dilakukan, dimana penelitian tersebut dilakukan dengan
berbagai inovasi baik dalam metode penghitungan maupun sampel
yang digunakan. Sedangkan penelitian tentang Kepemilikan keluarga
dan agresivitas pajak masih belum banyak dilakukan di Indonesia,
tetapi penelitian dengan tema tersebut telah banyak diteliti oleh
beberapa peniliti dari luar negeri. Akan tetapi penelitian yang
menghubungkan antara CSR dan Kepemilikan Keluarga dengan
Agresivitas Pajak masih belum banyak dilakukan baik di Indonesia
ataupun di negara lain.

Ada beberapa peneliti terdahulu yang melakukan penelitian


mengenai CSR dan kaitannya dengan agresivitas pajak seperti Lanis
dan Richardson (2012) melakukan penelitian tentang CSR dan
agresivitas pajak yang berjudul “Corporate Social Responsibility and
Tax Aggressiveness: An Empirical Analysis.” Penelitian ini
menggunakan sampel pada perusahaan yang terdaftar dalam Aspect-
Hunley Financial Database periode 2008-2009 yang berada di
Australia dengan menggunakan analisis regresi tobit. Dimana variable
dependen dalam penelitian ini adalah agresivitas pajak yang dihitung
menggunakan proksi Effective Tax Rate (ETR). variable independen
yaitu CSR yang menggunakan proksi CSR Disclosure menggunakan
52 item dan Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin

19
tinggi tingkat pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan,
maka semakin kecil tingkat agresivitas pajak yang dilakukan oleh
perusahaan, atau berhubungan negatif.

Pradnyadari dan Rohman(2015) melakukan penelitian


mengenai CSR da agresivitas pajak yang berjudul “Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Agresivitas
Pajak.” Penelitian ini menggunakan variabel dependen, variabel
independen, dan variabel control. Variabel dependen yang digunakan
adalah agresivitas pajak dengan menggunakan proksi Effective Tax
Rate (ETR), sedangkan variabel independennya adalah Corporate
Social Responsibility. Variabel kontrol antara lain profitabilitas (ROA),
ukuran perusahaan (SIZE), leverage (LEV), capital intensity (CAPT)
dan inventory intensity (INVT). Hasil penelitian ini menunjukkan rata-
rata persentase pengungkapan CSR sebesar 20,65% saja. Sehingga
di Indonesia CSR belum dijadikan sebagai indikator untuk mengukur
tindak agresivitas pajak yang dilakukan perusahaan. Akan tetapi perlu
ditegaskan bahwa berdasarkan penelitian ini, CSR berpengaruh
negatif terhadap agresivitas pajak. Objek penelitian adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode tahun 2011-2013 yang secara continue mengungkapkan CSR
dan memiliki ETR antara 0 hingga 1.

Jessica dan Toly, Arianto (2014) juga meneliti tentang CSR dan
agresivitas pajak yang berjudul “Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Responsibility Terhadap Agresivitas Pajak.” Di mana dalam
penelitian ini menggunakan ETR sebagai variabel dependen , variabel
independen adalah CSR, dan variabel kontrol adalah SIZE, LEV,
CINT, RDINT dan ROA. Sampel penelitian ini adalah laporan tahunan
56 perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012-2013. Hasil
penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh signifikan antara
pengungkapan CSR terhadap agresivitas pajak. Namun jika

20
pengungkapan pajak diuji secara bersama-sama dengan variabel
kontrol antara lain ukuran perusahaan, Leverage, Capital Intensity,
Research & Development Intensity, Return on Assets menunjukkan
terdapat pengaruh terhadap agresivitas pajak.

Penelitian yang membahas tentang perusahaan dengan


kepemilikan keluarga dan agresivitas pajak telah dilakukan oleh
Martinez dan Ramalho (2014) dengan judul “Family Firms and Tax
Aggressiveness in Brazil”. Sampel dalam penelitian ini menggunakan
perusahaan yang berada di Brasil yang terdaftar pada BMF dan
Bovespa dari tahun 2001-2012. Dimana dalam penelitian ini variable
independennya adalah perusahaan keluarga dan memiliki beberapa
kriteria dalam pengukurannya seperti kepemilikan, diukur dengan
anggota keluarga paling tidak memiliki saham biasa pada perusahaan
sebesar 5%, pengendali, diukur menggunakan presentase
kepemilikan saham biasa dan manajemen, diukur melalui kedudukan
anggota keluarga dalam Dewan Direksi perusahaan. Sedangkan
variable dependen menggunakan agresivitas pajak, dengan proksi
Effective Tax Rates (ETR) dan Book Tax Difference (BTD). variable
control yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya ROA,
Leverage (LEV), Plant Property and Equipment (PPE), ukuran
perusahaan (SIZE) dan Market to Book Ratio (MB). Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa perusahaan dengan mayoritas kepemilikan
keluarga di Brasil lebih agresiv dalam melakukan perencanaan pajak
dibandingkan dengan perusahaan non-keluarga.

Utami dan Setyawan (2015) juga telah melakukan penelitian


mengenai Perusahaan dengan kepemilikan keluarga dan agresivitas
pajak dengan judul “Pengaruh Kepemilikan Keluarga Terhadap
Tindakan Pajak Agresif Dengan Corporate Governance Sebagai
Variabel Moderating” Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun

21
2010 sampai dengan 2013, dalam mengukur tingkat tindakan pajak
agresif peneliti menggunakan effective tax rate (ETR). Variabel
dummy dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur kepemilikan
keluarga yaitu nilai 1 jika proporsi kepemilikan keluarga > 50%, dan
bernilai 0 jika sebaliknya. Serta variabel kontrol dalam penelitian ini
adalah ROA, SIZE, LEV, RFIS, MB, PPE. Hasil penelitian
menunjukkan kepemilikan keluarga tidak berpengaruh signifikan
terhadap tindakan pajak agresif.

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Variabel Kontrol Hasil Penelitian

1 - Hasil dari penelitian ini menunjukkan


1 bahwa semakin tinggi tingkat
Corporate Social pengungkapan CSR yang dilakukan
Responsibility and oleh perusahaan, maka semakin kecil
Lanis dan
1. Tax tingkat agresivitas pajak yang
Richardson
Aggressiveness: An dilakukan oleh perusahaan, atau
(2012) berhubungan negatif.
Empirical Analysis

Profitabilitas berdasarkan penelitian ini, CSR


(ROA) ukuran berpengaruh negatif terhadap
Pengaruh
perusahaan agresivitas pajak
Pengungkapan
Pradnyadari (SIZE)
Corporate Social
2. dan leverage (LEV),
Responsibility
Rohman(2015) capital
Terhadap
intensity(CAPT)
Agresivitas Pajak
dan inventory
intensity (INVT).

22
Jessica dan Pengaruh SIZE, LEV, CINT, Hasil penelitian ini menunjukkan
Toly, Arianto Pengungkapan RDINT dan ROA tidak adanya pengaruh signifikan
(2014) Corporate Social antara pengungkapan CSR
3.
Responsibility terhadap agresivitas pajak
Terhadap
Agresivitas Pajak.
ROA, Leverage Hasil penelitian ini menjelaskan
(LEV), Plant bahwa perusahaan dengan
Property and mayoritas kepemilikan keluarga di
Martinez dan Family Firms and Equipment Brasil lebih agresiv dalam
Ramalho Tax Aggressiveness (PPE), ukuran melakukan perencanaan pajak
4.
(2014) in Brazil perusahaan dibandingkan dengan perusahaan
(SIZE) dan non-keluarga.
Market to Book
Ratio (MB).
Pengaruh ROA, SIZE, LEV, Hasil penelitian menunjukkan
Kepemilikan RFIS, MB, PPE. kepemilikan keluarga tidak
Keluarga Terhadap berpengaruh signifikan terhadap
Utami dan Tindakan Pajak tindakan pajak agresif.
5. Setyawan Agresif Dengan
(2015) Corporate
Governance
Sebagai Variabel
Moderating

Peneliti yang telah melakukan penelitian tentang agresivitas


pajak, sudah banyak baik di Indonesia maupun di negara lain.
Sedangkan masih belum banyak penelitian mengenai kepemilikan
mayoritas dan agresivitas pajak dilakukan di Indonesia karena hal
tersebut adalah isu yang baru dalam dunia penghindaran pajak di

23
Indonesia. Maka hal tersebut yang mendasari peneliti ingin
mengaitkan antara CSR dan kepemilikan mayoritas dengan
agresivitas pajak di Indonesia.

2.7 KerangkaTeoritis

Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, penelitian


ini menggunakan variable independen CSR dan Kepemilikan
Keluarga, sedangkan variable kontrol dalam penelitian ini adalah
agresivitas pajak. Penelitian ini juga menggunakan variable control
diantaranya Profitabilitas (ROA), Ukuran perusahaan (SIZE), Leverage
(LEV) dan Mark-to-Book Ratio (MTB). Kerangka pemikiran untuk
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut ini:

Gambar 2.1 Kerangka Peneitian

Aktivitas CSR (Tingkat


Pengungkapan SCR Agresivitas Pajak
(CSRD))
(Current ETR)

Kepemilikan Keluarga

 Profitabilitas (ROA)
 Ukuran Perusahaan
(SIZE)
 Leverage (LEV)

24
2.8 Pengembangan Hipotesa

2.8.1 Pengaruh Pengungkapan CSR dengan


Agresivitas Pajak

Teori Stakeholder menjelaskan bahwa perusahaan wajib


melaksanakan dengan baik tanggung jawab sosial, supaya manfaat
yang baik bisa dirasakan oleh konsumen, karyawan, pemerintah
maupun pihak lain yang menerima dampak dari keputusan bisnis
perusahaan. Kemudian teori legitimasi juga menyebutkan sebuah
perusahaan cenderung meyakinkan bahwa kegiatan operasi
perusahaan telah sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku, atau
perusahaan berusaha melegitimasi tindakannya agar dapat diterima di
dalam masyarakat. Maka dari itu, apabila perusahaan berusaha untuk
menghindari pajak, meskipun secara hukum tidak melanggar, tetapi
hal tersebut tidak sepantasnya dilakukan, karena perusahaan dapat
dianggap sebagai beban di masyarakat. Hubungan baik perusahaan
selain dengan masyarakat juga harus diterapkan dengan pemerintah.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membayar pajak sesuai
dan tepat waktu. Pajak perusahaan hanya bisa dikaitkan dengan CSR
jika pembayaran pajak yang dilakukan perusahaan memang memiliki
implikasi untuk masyarakat luas. Maka penerapan CSR dan
pengaitannya dengan pembayaran pajak harus berdampak pada
masyarakat secara masiv.

Lanis dan Richardson (2012) melakukan penelitian berkaitan


dengan agresivitas pajak pada perusahaan yang terdaftar dalam
Aspect-Hunley Financial Database periode 2008-2009 yang berada di
Australia dengan menggunakan analisis regresi tobit. Menemukan
dengan argunentasi. bahwa semakin besar tingkat pengungkapan
CSR yang dilakukan oleh perusahaan, maka semakin kecil tingkat
agresivitas pajak yang dilakukan oleh perusahaan. Ini berarti bahwa
pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan memberikan

25
dampak positif dalam ketaatan perusaahan membayar pajak maka
dari itu, perusahaan yang memiliki tingkat pengungkapan CSR yang
tinggi diharapkan berhati-hati untuk melakukan agresivitas pajak
sebab hal ini tentu akan bertentangan. Meskipun demikian penelitian
serupa juga dilakukan di Indonesia oleh Pradnyadari dan
Rohman(2015), Jessica dan Toly, Arianto (2014) Hasil dari penelitian
ini menunjukkan tidak adanya pengaruh signifikan antara
pengungkapan CSR terhadap agresivitas pajak. Sehingga di
Indonesia CSR belum dijadikan sebagai indikator untuk mengukur
tindak agresivitas pajak yang dilakukan perusahaan. Guthrie dan
Parker (1989) dalam Lanis dan Richardson (2013) dalam penelitian
terkait agresivitas pajak diperusahaan pertambangan di Australia.
Menurut teori legitimasi, perusahaan yang melakukan agresivitas
pajak membutuhkan pengungkapan informasi tambahan mengenai
CSR untuk memenuhi harapan masyarakat. Namun, hasil penelitian
tersebut gagal karena dianggap tidak konsisten. Penelitian yang sama
juga dilakukan oleh Deegan et. al. (2002) dalam Lanis dan Richardson
(2013) yaitu dengan menganalisis laporan tahunan perusahaan
agresivitas pajak yang sama di Australia. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa ada hubungan antara masyarakat terhadap isu-
isu sosial, lingkungan tertentu dan pengungkapan CSR dalam laporan
tahunan yang mana mengaitkan CSR dengan liputan media.

Perusahaan yang memiliki tingkat pengungkapan CSR yang


tinggi diharapkan berhati-hati untuk melakukan agresivitas pajak
sebab apabila perusahaan yang menerapkan CSR dan melakukan
tindakan agresivitas pajak, maka perusahaan akan kehilangan nama
baik di mata stakeholder, masyarakat dan pemerintah, serta akan
menurunkan nilai dan dampak positif dari CSR yang telah dilakukan
oleh perusahaan.. Dengan melakukan tingkat pengungkapan CSR
yang tinggi dan membayar pajak secara transparan maka
perusahaann akan mampu mempertahankan reputasinya. Karena

26
semakin tinngi pengungkapan csr maka semakin rendah tingkat
agresivitas pajak.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik hipotesis yang mendasari


penelitian ini adalah:

H1 : Pengungkapan Corporate Sosial Responsibility (CSR)


memiliki pengaruh negatif tehadap Agresivitas Pajak.

2.8.2 Pengaruh Kepemilikan Keluarga dengan


Agresivitas Pajak

Teori keagenan yang menjelaskan bahwa pada saat ini


perusahaan banyak memisahkan antara kepemilikan dan
manajerialnya. Tentunya keadaan tersebut bisa menyebabkan efek
yang negatif bagi perusahaan yaitu konflik yang melibatkan pemilik
perusahaan dengan dan pihak manajemen. Hal ini akan berdampak
pada ketaatan dalam membayar pajak karena manajemen ingin
memperoleh laba bersih yang besar dengan cara penghindaran pajak,
namun perusahaan yang cenderung dengan kepemilikan yang dimiliki
oleh pihak mayoritas akan lebih taat dalam membayar pajak karena
pemilik perusahaan lebih memilih menghindari sangsi pajak dan rela
membayar pajak sesuai dengan yang tertagih, agar keberlangsungan
dan citra perusahaan tetap baik di mata pemerintah, masyarakat serta
konsumen.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Martinez


dan Ramalho (2014), menggunakan variable independen kepemilikan
keluarga dan variable dependen agresivitas pajak, ditemukan yaitu
perusahaan dengan kepemilikan keluarga cenderung melakukan
agresivitas pajak yang lebih tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan
mengelompokan perusahaan keluarga yang cenderung
mengklasifikasikan pada kriteria yang berhubungan dengan
manajemen dari perusahaan sampel dan menimbulkan sebuah konflik

27
keagenan yang menyebabkan agresivitas pajak lebih tinggi dilakukan
oleh perusahaan keluarga pada sampel tersebut.

Sedangkan penelitian dari Utami dan Setyawan (2015)


menyatakan bahwa kepemilikan keluarga tidak berpengaruh signifikan
terhadap tindakan agresivitas pajak. Hasil ini menunjukkan bahwa
besarnya kepemilikan keluarga tidak menentukan agresivitas
perusahaan dalam tindakan pajaknya. bahwa keuntungan yang
didapatkan perusahaan yang berasal dari pajak yang berhasil dihemat
serta rent extraction besarnya lebih dari kemugkinan kerugian akibat
penurunan harga saham perusahaan, reputasi perusahaan yang
rusak atau adanya kemungkinan hukuman dari instansi perpajakan.
Dengan adanya resiko kemungkinan hukuman dari instansi
perpajakan, membayar denda dan kehilangan reputasi dan eksistensi
tersebut, perusahaan keluarga akan sangat mempertimbangkan jika
akan melakukan tindakan agresivitas pajak. Artinya perusahaan
dengan kepemilikan keluarga, rela membayar pajak lebih tinggi
daripada harus membayar denda perpajakan dan menghadapi
hilangnya reputasi dan eksistensi sebagai akibat dari audit yang
dilaksanakan oleh fiskus pajak.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik hipotesis yang mendasari


penelitian ini adalah:

H2 : Kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap


pajak agresif.

28

Anda mungkin juga menyukai