ETIKA KONSUMSI
Disusun Oleh:
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari kegiatan
konsumsi. Sebab manusia memiliki kebutuhan yang perlu dipenuhi, sehingga melakukan
kegiatan konsumsi. Tetapi tidak semua kebutuhan dapat terpenuhi. Demikianlah keadaan
manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah
ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan pengertian dari konsumsi,
konsep maslahah dalam perilaku konsumen islam, perilaku konsumen islam, serta tujuan
konsumsi.
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsumsi
Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan
mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa,
untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.
Maslahah merupakan tujuan hukum syara’ yang paling utama. Menurut Imam
Syabiti, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang atau jasa yang mendukung
elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ada 5 elemen
dasar menurut beliau yakni, kehidupan/jiwa, properti atau harta benda, keyakinan,
intelektual, dan keluarga/keturunan.
Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang
menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu “religious duty”.
Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan atau utility mengandung
maslahah didalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh
umat islam. Kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’, yakni:
Daruriyyah: merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi
penciptaan kesejahteraan didunia dan akhirat, yaitu mencakup
terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau
agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga serta harta benda.
Hajiyyah: bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilamgkan
kesempitan.
Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman
didalamnya.
Islam mengajarkan kepada kita agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih
mengutamakan kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Setidaknya
terdapat tiga kebutuhan pokok:
Pertama adalah kebutuhan primer, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang
dapat mewujudkan lima tujuan syariat. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan
makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan, dan pernikahan.
Kedua adalah kebutuhan sekunder, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan
kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum
kebutuhan primer terpenuhi.
Ketiga adalah kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia.
Untuk mewujudkan lima syariat ini, ibu rumah tangga harus disiplin dalam
menempatkan skala priorotas kebutuhan tadi, sesuai dengan pendapatan yang diperoleh
suaminya. Meski satu rumah tangga sudah mampu memenuhi sampai kebutuhan ketiga
atau pelengkap, islam tetap tidak menganjurkan, bahkan mengharamkan pengeluaran
yang berlebih-lebihan dan terkesan mewah.
Perilaku konsumsi dalam waktu yang lama lebih dikenal dalam dua macam yaitu perilaku
konsumsi rumah tangga individu dan perilaku konsumsi rumah tangga perusahaan.
Dikenalnya dua macam perilaku konsumsi tersebut karena keduanya merupakan subyek
permintaan. Akan tetapi menurut Sulistyo, perilaku konsumsi rumah tangga individu
menjadi lebih tepat disebut perilaku konsumsi saja dan perilaku konsumsi rumah tangga
perusahaan disebut investasi.4 Hal itu terjadi sebab pada kenyataannya, isi permintaan
yang datang dari rumah tangga individu adalah permintaan akan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup; dengan kata lain, barang dan jasa yang diminta oleh satu
individu atau sebuah rumah tangga dimaksudkan untuk dikonsumsi. Sedangkan
permintaan yang datang dari rumah tangga perusahaan pada umumnya ditujukan untuk
membeli barang dan jasa modal yang diperlukan dalam proses produksi, karenanya
permintaan akan barang dan jasa modal adalah bersifat investasi.
Islam sebagai pedoman hidup tidak menonjolkan standar atau sifat kepuasan dari
sebuah perilaku konsumsi sebagaimana yang dianut dalam ilmu ekonomi konvensional
seperti utilitas dan kepuasan marginal, melainkan lebih menonjolkan aspek normatif.
Kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi menurut Islam harus berlandaskan pada
tuntunan ajaran Islam itu sendiri. Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Siddiqi
mengatakan, konsumen harus puas akan perilaku konsumsinya dengan mengikuti norma-
norma Islam. Konsumen muslim seharusnya tidak mengikuti gaya konsumsi kaum
xanthous (orang-orang berkulit kekuning-kuningan dan berambut kecoklat-coklatan)
yang berkarakteristik menuruti hawa nafsu.5
Hal ini diperkuat dengan prinsip dasar dari perilaku konsumsi menurut M. Arif
Mufraini (211) adalah seperti yang dikonfirmasikan Q.S. al-Baqarah (2): 168.6
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.
Lebih tegas lagi, Yusuf Qardhawi menguraikan beberapa prinsip perilaku konsumsi
dalam Islam sebagai berikut:7
Dari hal-hal yang diuraikan diatas dapat dijelaskan bahwa prinsip perilaku
konsumsi yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen menurut Islam adalah
barang-barang yang dikonsumsi haruslah halal dan suci menurut syariat. Dalam hal
perilaku atau gaya harus pula dalam batas wajar dalam arti tidak berlebih-lebihan (isyrāf)
atau boros (tabżīr) meskipun seorang konsumen tergolong hidup kaya atau mampu.
Sedangkan prinsip perilaku konsumsi secara konvensional menurut Winardi, terpatok pada
istilah kepuasan (utilitas). Istilah kepuasan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk
memenuhi suatu kebutuhan. Kemampuan tersebut meliputi (1) kemampuan akan suatu
benda material atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia dan (2) kebutuhan yang
berhubungan dengan istilah public policy. Istilah ini kemudian melahirkan istilah-istilah
kepuasan tempat (utility of place), kepuasan waktu (utility of time) dan kepuasan
kepemilikan (utility of possession). Kepuasan tempat, ialah kepuasan yang timbul karena
fakta suatu benda atau jasa, tepat pada tempatnya untuk digunakan. kepuasan waktu, ialah
kepuasan yang timbul karena fakta suatu benda atau jasa tersedia pada waktu dibutuhkan,
sedangkan kepuasan kepemilikan, ialah kepuasan yang timbul karena fakta, suatu benda
atau jasa yang ada, dimiliki oleh orang yang akan menggunakannya.
َّللاَ ََل
ض ۖ إِ هن ه َ َّللاُ ِإ َليْكَ ۖ َو ََل تَبْغِ ْال َف
ِ سادَ فِي ا ْْل َ ْر سنَ هَ َْصي َبكَ ِمنَ الدُّ ْن َيا ۖ َوأَحْ س ِْن َك َما أَح َ هار ْاْل ِخ َرة َ ۖ َو ََل ت َ ْن
ِ سن َوا ْبتَغِ فِي َما آتَاكَ ه
َ َّللاُ الد
َي ُِحبُّ ْال ُم ْف ِسدِين
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila
telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari
kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.”
5. Supaya Negara melakukan kewajibannya terhadap warga Negara yang masih miskin.
Negara lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengambil peran dengan jalan:
a. Penyediaan lapangan kerja bagi para pengangguran.
b. Pemberian nafkah kepada golongan masyarakat yang tidak memiliki sumber
penghasilan serta tidak ada orang yang menjamin nafkahnya. Golongan yang
termasuk kategori ini adalah orang yang sakit, gila, manula, anak kecil yang tidak
memiliki keluarga, dan lainnya.
c. Menyediakan pendidikan dan sarana kesehatan secara gratis, karena sesungguhnya
penyakit dan kebodohan merupakan musuh bersama suatu bangsa.
d. Penyediaan tempat tinggal untuk menampung orang-orang lemah, orang-orang
jompo, orang gila, dan orang-orang yang terganggu mentalnya.
e. Negara harus menanggung masyarakat berkekurangan yang terancam oleh adanya
bahaya kelaparan, tertimpa wabah penyakit, kehilangan hak-hak, sarana beribadah,
dan sebagainya.
b. Tujuan Materil
Adapun tujuan materil dari perilaku konsumsi dalam pandangan Islam dapat
dipahami dari ayat dan hadis berikut:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
- Menjaga dan Menutup Aurat. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-A'rāf (7):
26 dan 32:
Hai anak Adam, Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling
baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-
mudahan mereka selalu ingat.
ةاﺮﻤﻟ ُا ﺔِ ﳊﺎﱠﺼﻟ ُا و: ﻦِم ةدﺎﻌﺳِ ﻦﺑاِ مدا: ﻦﻋ دﻌﺳِ ﻦﺑِ ا ََِﰊ صﺎﻗو
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: ada tiga hal yang
membahagiakan manusia, yaitu (1) isteri yang salehah, (2) rumah yang bagus dan (3)
kendaraan yang bagus (H. R. Ahmad).
c. Tujuan Spiritual
Adapun tujuan spiritual dari perilaku konsumsi dalam pandangan Islam antara lain
sebagai berikut: pertama, Pembentukan jiwa syukur akan karunia Allah. Dalam pandangan
seorang konsumen muslim (hamba Allah), setiap perilaku konsumsi sesungguhnya merupakan
realisasi rasa syukur kepada Allah. Hal itu karena tiga faktor; pertama, dikaruniakan-Nya
kemampuan untuk mencari bahan konsumsi seperti makanan; kedua, dikaruniakan-Nya bahan
konsumsi yang melimpah; dan ketiga, energi yang didapat sesudah menkonsumsi berbagai bahan
makanan, semata-mata dipergunakan untuk mempertebal rasa kesyukurannya kepada Allah.
Bahwa seorang konsumen muslim dalam setiap perilaku konsumsinya harus teresap dalam
dirinya nilai-nilai syukur.
Kedua, pembentukan ahli ibadah yang bersyukur. Seorang konsumen muslim yang telah
mengonsumsi berbagai barang konsumsi sekaligus mampu merasakannya sebagai nikmat
karunia Allah, akan berkontribusi besar dalam mengaksesnya untuk senantiasa menunaikan
ibadah dengan berlandaskan atas syukur akan nikmat karunia Allah. Ibadah yang dilakukan
berulang-ulang dengan berdasarkan atas rasa syukur akan nikmat karunia Allah, secara otomatis
akan membentuk pelakunya menjadi ahli ibadah dengan tingkat kualitas pengamalan ibadah
yang paling tinggi nilainya di mata Allah. Allah mengisyaratkan, bahwa dalam melakukan
ibadah-ibadah kepadanya, hendaknya didasarkan atas rasa syukur akan nikmat karunia-Nya. Hal
ini ditegaskan Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2):172.
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap manusia pasti akan melakukan konsumsi untuk memenuhi kenutuhannya. Namun,
dalam memenuhi kebutuhan kita harus bisa memprioritaskan barang yang memang kita perlukan
atau hanya yang kita butuhkan.
Dalam islam, kita tidak diperbolehkan untuk membelanjakan uang secara berlebihan.
Islam mengajarkan kepada kita agar pengeluaran muslim lebih mengutamakan kebutuhan pokok
sehingga sesuai dengan tujuan syariat.
Dari uraian pembahasan diatas penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, perilaku konsumsi semestinya dapat memperhatikan aspek-aspek yang tergolong
kebutuhan primer (dharuriyat) kemudian sekunder (hajjiyat) dan trisier (tahsiniyat) sesuai
dengan semangat al-maqashid asy-syari’ah, sehingga dalam memenuhi kebutuhan seorang
konsumen lebih mengedepankan aspek kebutuhan daripada aspek keingingan demi membatasi
kebutuhan dan kengingan manusia yang sifatnya senantiasa tidak terbatas.
Kedua, dalam pandangan Islam perilaku konsumsi harus menghindari perilaku isrāf dan tabżīr
dalam menggunakan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagai rambu-rambu dalam
konsumsi pangan semestinya manusia secara umum dan muslim secara khusus untuk senantiasa
menjaga unsur ke- halāl-an dan ke-ṭayyiban-an dalam konsumsi sebagai langkah untuk menjaga
kesehatan jasmani dan rohani.
Ketiga, perilaku konsumsi dalam ekonomi Islam bertujuan untuk tercapainya aspek
materil dan aspek spiritual dalam konsumsi, kedua aspek tersebut akan tercapai dengan
menyeimbangkan antara nilai guna total (total utility) dan nilai guna marginal (marginal
utility) dalam konsumsi. Sehingga setiap muslim akan berusaha memaksimumkan nilai guna
dari tiap barang yang di konsumsi, yang akan menjadikan dirinya semakin baik dan semakin
optimis dalam menjalani hidup dan kehidupan.