Anda di halaman 1dari 5

http://dauztech.blogspot.co.

id/2013/12/hubungan-
antropologi-dan-ilmu-hukum.html

Hubungan Antropologi dan Ilmu Hukum


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Antropologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani. Kata Anthropos berarti mansia dan logos
berarti ilmu pengetahuan. Jadi, antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Oleh karena itu antropologi
didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuna sebelumnya.
Dalam membandingkan kebudayaan-kebudayaan manusia, maka salah satu hal yang menarik perhatian
untuk dipahami secara mendalam dalam konteks yang universal adalah norma-norma yang selalu terumus
dalam setiap bentuk kehidupan bersama dari manusia sebagai pedoman, yang diajarkan kepada warganya
supaya diperhatikan dalam berperilaku. Hukum lahir dari kebudayaan. Melihat hal tersebut di atas tentunya
menyadarkan kepada kita akan peran Antropologi Budaya sebagai sebuah perspektif untuk melihat berbagai
macam corak hukum yang lahir dan berkembang pula dari berbagai corak dan ragam kebudayaan.

Gambar 1. Cabang-cabang Antropologi menurut Kontjaraningrat

Dalam gambar 1 kita dapat mempelajari Antropologi Budaya berarti kita melihat sebuah realitas,
kenyataan atas kehidupan budaya yang sesungguhnya berjalan di masyarakat yang didalamnya terdapat aturan
hukum baik berasal dari hukum tertulis maupun tidak tertulis. Satu hal yang dapat kita ambil dari antropologi
budaya, adalah diharapkan dapat memunculkan kesadaran atas kenyataan adanya keberagaman hukum karena
beragamnya budaya. Beragamnya hukum tersebut jangan dimaknakan sebagai pertentangan hukum (conflict of
laws), tetapi patut dianggap sebagai kekayaan hukum yang akan mampu memperkuat serta memperbaharui
hukum nasional. Di sisi lain akibatnya adalah memunculkan sikap toleransi untuk menghargai umat manusia
yang beragam pola fikir, karakter, pemahaman, dan tentunya juga beragam hukum. Dalam makalah ini
merupakan pemaparan peran budaya hukum dalam proses pembangunan hukum, terutama di negara
berkembang khususnya di indonesia. Tujuannya adalah untuk menggarisbawahi pentingnya budaya hukum
dalam masyarakat yang menginginkan terjadinya reformasi hukum. Ini hanyalah sebatas sebuah konsep,
makalah ini disertai dengan beberapa contoh reformasi hukum di Indonesia sekitar tahun 1990-an.
BAB II
PERMASALAHAN

Harus disadari bahwa hukum lahir dan berkembang dari sebuah kebudayaan, sehingga akan menjadi logis
bahwa tidak ada hukum yang seragam, karena tidak ada kebudayaan yang bersifat seragam. Hukum yang
berlaku bagi masyarakat Batak tentu saja akan berbeda dengan hukum yang berlaku pada masyarakat Minang,
dan tentu saja akan berbeda dengan hukum yang berlaku pada masyarakat Jawa dan Sunda, atau bahkan hukum
yang berlaku pada masyarakat Eskimo berbeda dengan hukum yang berlaku bagi masyarakat Indian di Amerika.
Untuk negara sebesar dan seluas Indonesia tentunya memberlakukan hukum secara seragam terhadap
masyarakat yang memiliki berbagai ragam kebudayaan di Indonesia akan menjadi tidak adil.
Dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan pada makalah ini adalah:
1. Seperti apa hukum itu sendiri jika dilihat dari perspektif antropologi?
2. Sejauh mana peranan antropologi kebudayaan itu sendiri dalam perkembangan ilmu hukum?
3. Apakah dengan kenyataan adanya keberagaman budaya tidak akan menimbulkan pertentangan hukum?

BAB III
PEMBAHASAN
A. Hukum dan Pembangunan
Hukum dan gerakan pembangunan pada tahun 1960-an sampai dengan 1970-an berkaitan dengan
hubungan antara hukum dan pembangunan, terutama negara-negara berkembang. Kaum ortodoks dan mayoritas
melihat bahwa reformasi di bidang hukum , terutama pengenalan ide dan lembaga hukum modern negara barat
kepada negara berkembang, memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan politik. Kaum
minoritas melihat hukum terikat dengan budaya dan tidak dapat dipindahkan atau dipinjam dari satu masyarakat
ke masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci Inggris untuk menutup lekuk yang bocor. Pandangan ini
berasal dari Montesquieu dan sarjana asal Jerman, Friedrich Carl von Savigny. Sagviny percaya bahwa negara
mempunyai kesatuan oganik dari individu dan bahwa hukum negara berkembang melalui pembentukan norma-
norma sosial dalam suatu masyarakat secara periodik.
Pada tahun 1990-an, hukum dan pembangunan kembali menjadi topik yang hangat. Hal ini tidak
mengejutkan sebab pada tahun ini ada dukungan pembaharuan dari negara maju terhadap ferormasi hukum pada
negara berkembang.

B. Budaya Hukum
Suatu perspektif antropologi menurut minat luas apra antropolog adalah minat mengenai masyarakat
(sebagai satuan sosial) atau kebudayaan (sebagai perangkat gagasan, aturan-aturan, keyakinan-keyakinan yang
dimiliki bersama). Freidman, seorang sosiolog hukum dari Universitas Stanfords, menyatakan bahwa sistem
hukum terdiri atas tiga komponen, struktur hukum, hukum substantif, dan budaya hukum. Struktur mengacu
pada lembaga dan proses dalam sistem hukum; struktur hukum merupakan badan, kerangka kerja, dan sistem
yang tahan lama. Sistem ini meliputi sistem pengadilan, legislatif, perbankan, dan sistem koporat. Hukum
substansi mengacu pada hukum peratutan prosedur dan substansi dan norma yang digunakan dalam sebuah
lembaga dan mengikat hukum struktur secara bersama. para pengacara dan sarjana hukum cenderung membatasi
analisis mereka terhadap struktur dan substansi sistem hukum yang sedang mereka pelajari. Budaya hukum
mengacu pada sikap, nilai, dan opini dalam masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem hukum serta
beberapa bagian hukum.
Dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan komponen yang paling penting. Budaya
hukum menentukan kapan, mengapa dan di mana orang menggunakan hukum, lembaga hukum atau proses
hukum atau kapan mereka menggunakan lembaga lain atau tanpa melakukan upaya hukum. Dengan kata lain,
faktor budaya merupakan ramuan penting untuk mengubah struktur statis dan koleksi norma ststis menjadi
badan hukum yang hidup. Menambahkan budaya hukum ke dalam gambar ibarat memutar jam atau menyalakan
mesin. Budaya hukum membuat segalanya bergerak. Namun demikian, konsep Friedman bukannya tanpa kritik.
Roger Cotterrell, seorang sarjana Inggris, mengatakan bahwa konsep Friedman tidak mempunyai kekerasan dan
secara teoritis tidak padu. Friedman menanggapi kritik tersebut dengan menjelaskan bahwa tidak adanya presisi
dalam istilah budaya hukum tidak membuat konsep itu tidak padu. Sebenarnya, konsep ini juga mempunyai
kesamaan dalam hal kekurangan presisi sama halnya dengan hukum struktur, sistem hukum, dan opini publik.
Menurut Friedman, arti pentingya budaya hukum adalah bahwa konsep ini merupakan variabel
penting dalam proses menghasilkan hukum statis dan perubahan hukum. Cotterrell menggarisbawahi kesulitan
dalam menggunakan konsep budaya hukum. Dia salah dalam menarik kesimpulan bahwa konsep tidak padu
karena tidak adanya hal yang khusus. Alasannya adalah bahwa konsep sekompleks µbudaya hukum cenderung
sulit dipahami. Hal ini membuktikan kemampuan konsep budaya hukum menembus masyarakat dan bukan
tanda-tanda kelemehan. Di sisi lain, Cotterrell sendiri mengakui bahwa konsep Friedman µmerupakan usaha
yang paling dapat menjelaskan konsep budaya hukum dalam sosiologi hukum komparatif dan mempertahankan
dan mengembangkan secara teoritis penggunaan konsep tersebut.
Di negara berkembang, konsep budaya hukum menempati posisi penting karena negara berkembang
sering mendatangkan peraturan, hukum bahkan keseluruhan sistem hukum dari negara barat dalam usahanya
untuk melakukan modernisasi kerangka kerja hukum mereka. Masalah muncul jika cangkok hukum
mengabaikan budaya hukum setempat. Jika budaya hukum lokal tidak diakomodasi dalam hukum struktur dan
substantif asing, konsep ini tidak akan dapat diterapkan dengan baik. Dikaitkan dengan kasus yang terjadi di
Indonesia, konsep ini telah disampaikankan oleh komentator luar negeri pada awal tahun 1972. Jika kita
melihat Antropologi pada tahap awal perkembangannya dalam abad ke 19 sudah menyadari bahwa hukum atau
sistem normatif merupakan aspek kebudayaan atau dapat dikatakan hukum merupakan salah satu aspek
kebudayaan.
Pada tahun 1982 mantan menteri hukum dan peradilan, Mochtar Kusumaatmaja juga menyampaikan hal
yang sama. Namun setelah beberapa tahun, konsep ini telah dilupakan para reformis hukum dan baru sekarang
diingat kembali oleh reformasi hukum di Indonesia.
Keberhasilan reformasi hukum Indonesia bergantung bukan hanya lembaga pengambil suara, tetapi
juga sikap mental yang tepat dan perilaku mereka yang bekerja, mengawasi dan menggunakan lembaga ini.
Dengan demikian, reformasi pada lembaga hukum tanpa lembaga budaya tidak akan efektif. Ketika melihat
hukum di Indonesia, perhatian dititikberatkan pada masalah structural, seperti sistem dewan dua pintu dan
ketetapan hukum perusahaan yang dikeluarkan pada tahun 1995 dan membandingkannya dengan produk hukum
lainnya.

C. Hubungan Ilmu Antropologi Dengan Ilmu Hukum


Dalam perspektif antropologi hukum, hukum lahir dari kebudayaan. Melihat hal tersebut di atas
tentunya menyadarkan kepada kita akan peran Antropologi Hukum sebagai sebuah perspektif untuk melihat
berbagai macam corak hukum yang lahir dan berkembang pula dari berbagai corak dan ragam kebudayaan.
Mempelajari Antropologi Hukum berarti kita melihat sebuah realitas, kenyataan atas kehidupan hukum yang
sesungguhnya yang berjalan di masyarakat.

Hal ini karena para ahli antropologi mempelajari hukum bukan semata-semata sebagai produk dari
hasil abstraksi logika sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
semata, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku dan proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan
masyarakat.Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara
keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-
aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi,struktur sosial, dll.
Satu hal yang dapat kita ambil dari antropologi hukum, adalah diharapkan dapat memunculkan
kesadaran atas kenyataan adanya keberagaman hukum karena beragamnya budaya. Beragamnya hukum tersebut
jangan dimaknakan sebagai pertentangan hukum (conflict of laws), tetapi patut dianggap sebagai khazanah
kekayaan hukum yang akan mampu memperkuat serta memperbaharui hukum nasional. Di sisi lain akibatnya
adalah memunculkan sikap toleransi untuk menghargai umat manusia yang beragam pola fikir, karakter,
pemahaman, dan tentunya juga beragam hukum.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian-uraian diatas, maka yang menjadi kesimpulan dalam makalah ini adalah:
Budaya hukum merupakan komponen yang paling penting Budaya hukum menentukan kapan, mengapa dan di
mana orang menggunakan hukum, lembaga hukum atau proses hukum atau kapan mereka menggunakan
lembaga lain atau tanpa melakukan upaya hukum.
Hukum lahir dari kebudayaan, berarti menyadarkan kepada kita akan peran Antropologi Budaya sebagai sebuah
perspektif untuk melihat berbagai macam corak hukum yang lahir dan berkembang pula dari berbagai corak dan
ragam kebudayaan dan Mempelajari Antropologi Budaya berarti kita melihat sebuah realitas, kenyataan atas
kehidupan budaya yang sesungguhnya berjalan di masyarakat yang didalamnya terdapat aturan hukum baik
berasal dari hukum tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum dan gerakan pembangunan pada tahun 1960-an sampai dengan 1970-an. Kaum ortodoks dan
mayoritas melihat bahwa reformasi di bidang hukum , terutama pengenalan ide dan lembaga hukum modern
negara barat kepada negara berkembang, memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan politik.
Sedangkan Kaum minoritas melihat hukum terikat dengan budaya dan tidak dapat dipindahkan atau dipinjam
dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci Inggris untuk menutup lekuk yang
bocor.
Beragamnya hukum tersebut jangan dimaknakan sebagai pertentangan hukum (conflict of laws), tetapi
patut dianggap sebagai khazanah kekayaan hukum yang akan mampu memperkuat serta memperbaharui hukum
nasional

DAFTAR PUSTAKA

Kontjarningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, Gramedia


Ahmad fedyani saifuddin, Antropologi Kontemporer: suatu pengantar kritis mengenai paradigma, Jakarta:
Kencana, 2006. Hlm. 23.
T.O Ihromi/E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Hlm. 1.

Anda mungkin juga menyukai