Nadirsyah Hosen
(Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar
Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Penyusun:
Irfan Abu Naveed
Penyunting:
Yuana Ryan Tresna
Penata Letak:
Abu Aria
Publikasi:
Afa Silmi Hakim
Diterbitkan oleh:
Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat
Di antara kebaikan umat Islam adalah kita memiliki sumber intelektual yang begitu kaya, yang
karenanya tidak pernah sepi dari percakapan intelektual sepanjang masa. Tradisi ini adalah
warisan para ulama salaf shalih, harus dirawat dan ditumbuh-suburkan. Tradisi intelektual
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah aktivitas pengetahuan baik kemampuan akal/rasional
maupun kemampuan pembacaan atas literasi yang berkesinambungan hingga menjadi etos
dan tradisi bagi individu atau masyarakat Islam.
Dalam sejarah Islam, tradisi intelektual ini memiliki masa emas sehingga menjauhkan jaraknya
dari Eropa yang sedang mengalamai masa kegelapan. Ketika di barat, banyak para ilmuan dan
pemikir ‘lari’ dari agama, bahkan menyerang balik agama dengan berbagai pernyataan, namun
sebaliknya di kawasan timur sana (dunia Islam), para ilmuan dan pemikir muslim mengikis
kegelisahan fitrahnya dengan membangun pandangan dunia yang kokoh dengan pondasi
pengetahuan yang dalam, dan yang terpenting lagi; tradisi intelektual ini mendapat dukungan
wahyu yang menganjurkan untuk senantiasa berpikir, merenung, meneliti, dan mengkaji. Semua
dalam bingkai ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kritik dan sanggahan ilmiah atas pemikiran atau nalar intelektual adalah hal yang lumrah. Kali
ini Nadirsyah Hosen mendapat kado berupa sanggahan ilmiah atas hipotesisnya (di akun resmi
beliau) yang dianggap lemah oleh salah satu peneliti kami. Kritik difokuskan pada empat hal:
(1) Kritik atas asumsi dasar Nadirsyah tentang bisyarah tegaknya khilafah di akhir zaman; (2)
Kritik atas tafsiran Nadirsyah terhadap QS. an-Nur ayat 55; (3) Kritik atas komentar Nadirsyah
terkait hadits bisyarah akan tegaknya khilafah; dan (4) Kritik atas penjelasan Nadirsyah seputar
masa khilafah hanya 30 tahun. Kemudian kami tambahkan epoliog tentang status hadits kabar
gembira akan kembalinya khilafah. Selamat menikmati. YRT
iii
DAFTAR ISI
BAGIAN I
Kritik Atas Asumsi Dasar Nadirsyah Hosen | Halaman 1
BAGIAN II
Kritik Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 | Halaman 5
BAGIAN III
Kritik Atas Narasi Nadirsyah:
Dalil Hadits Bisyarah Khilafah Nubuwwah | Halaman 13
BAGIAN IV
Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Hadits Khilafah 30 Tahun | Halaman 19
iv
Bisyarah
Tegaknya Khilafah
di Akhir Zaman
Bagian
I
Kritik Atas Asumsi Dasar
Nadirsyah Hosen
II
Kritik Atas Narasi Nadirsyah
Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55
Allah Ta’ala berfirman:
Ada beberapa kitab tafsir yang meluaskan lagi kandungan ayat ini, yang tidak hanya terbatas
pada masa Nabi Muhammad dan/atau al-Khulafa ar-Rasyidun, tapi juga pada masa-masa
selanjutnya termasuk masa sekarang dan akan datang. Tafsir Fathul Qadir (4/55) memaknai
kekuasaan sebelum Nabi itu tidak hanya terbatas pada Bani Israil, dan karenanya juga
tidak membatasi makna ayat ini pada masa Nabi di Mekkah dan khalifah yang empat, tapi
menggunakan keumuman ayat. Tafsir al-Qurthubi (12/299) juga menyetujui keumuman ayat ini.
Setelah jelas menunjukkan adanya penafsiran: janji Allah tersebut adalah janji tegaknya
kekhilafahan dan kekuasaan kaum Muslim. Nadirsyah malah melakukan framming yang sangat
jelas dipaksakan:
Namun, apa implikasi dari keumuman ayat ini? Sa’id Hawa dalam Asas at-Tafsir (7/3802)
menganggap janji Allah dalam ayat ini akan terus berlangsung sampai semua akan masuk
Islam. Tafsir al-Wasith (6/1457) karya Majma’ al-Bunuts Islamiyah di al-Azhar Mesir juga
mengisyaratkan bahwa janji Allah ini terwujud ketika Islam tersebar di penjuru dunia timur dan
barat. Jadi tidak dibatasi pada masa lalu saja. Berarti ini masalah dakwah, bukan soal kekhilafahan.
Dalam paragraf di atas, Nadirsyah melakukan framming, bahwa yang dimaksud para ulama
ini adalah dakwah bukan khilafah, benarkah? Padahal di muka, Nadirsyah menukil sabab al-
nuzul-nya yang menegaskan bahwa ayat ini menggambarkan janji Allah berupa kekuasaan,
bukan sekedar dakwah!
Ketika Rasulullah ﷺbersama para sahabatnya sampai ke Madinah, dan disambut serta dijamin
keperluan hidupnya oleh kaum Ansar, mereka tidak melepaskan senjatanya siang dan malam, karena
selalu diincar oleh kaum kafir. Mereka berkata kepada Nabi: “Kapan engkau dapat melihat kami hidup
aman dan tenteram tiada takut kecuali kepada Allah.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa
tersebut, sebagai jaminan dari Allah Swt bahwa mereka akan dianugerahi kekuasaan di muka bumi.
Penjelasan di atas, menurut Nadirsyah dinukil dari Tafsir Munir karya Prof. Dr. Wahbah al-
Zuhaili. Menariknya, al-Zuhaili menuliskan subjudul “Ushûl Daulat al-Îmân” (Prinsip-Prinsip Pokok
Daulah (Negara) Iman (baca: Negara Tauhid). Kalimat ini menegaskan apa yang dituliskan al-
Zuhaili, bahwa janji Allah dalam ayat ini sangat lekat dengan janji kekuasaan dan kekhilafahan
yang menegakkan dakwah, jadi bukan sekedar dakwah yang mengabaikan adanya eksistensi
kekuasaan, fatalnya, Nadirsyah membenturkan hakikat kekuasaan khilafah dengan amal praktis
dakwahnya, padahal Prof. Wahbah al-Zuhaili sendiri dalam Al-Tafsîr al-Munîr (XVIII/282-283)
menjelaskan:
Ibarah Kitab:
وإظهار، وتأييدهم بالنرص واإلعزاز،وعد الله سبحانه بتمكني املؤمنني الطائعني يف خالفة األرض
فيعبدون الله آمنني ال، وتبديلهم من بعد خوفهم من العدو أمنا،دينهم عىل الدين كله
يرشكون به شيئا وال يخافون.
ك ََم ْاستَ ْخل ََف ال َِّذي َن ِم ْن،حات لَيَ ْستَ ْخلِ َف َّن ُه ْم ِف ْالَ ْر ِض َّ َو َع َد اللَّ ُه ال َِّذي َن آ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َو َع ِملُوا
ِ ِالصال
قَبْلِ ِه ْم أي وعد الله الذين تحقق فيهم وصفان معا هام اإلميان بالله ورسوله والعمل الصالح
صل الله عليه وسلم خلفاء ّ الطيب الذي يقرب من الله تعاىل ويرضيه بأن يجعل أمة النبي
كام استخلف داود وسليامن عليهام، وبهم تصلح البالد، والوالة عليهم، أي أمئة الناس،األرض
. وكام فعل ببني إرسائيل حني أورثهم مرص والشام بعد إهالك الجبابرة،السالم عىل األرض
ِ ِالصال
حات َّ َو َع َد اللَّ ُه ال َِّذي َن آ َم ُنوا َو َع ِملُوا:وقوله ِم ْن ُك ْم من للبيان كالتي يف آخر سورة الفتح
29( ًِم ْن ُه ْم َم ْغ ِف َر ًة َوأَ ْجرا ً َع ِظيام
Bahwa, Allah Swt berjanji atas orang-orang beriman akan menjadikan mereka para khalifah bumi,
yakni pemimpin bangsa manusia, dan penguasa mereka, dan dengan kedudukan mereka ini maka
negeri-negeri menjadi baik, sebagaimana Allah menjadikan Nabi Dawud a.s. dan Sulaiman a.s.
sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang Allah anugerahkan pada Bani Israil tatkala Allah
mewarisi mereka Mesir, dan negeri Syam setelah hancurnya kekuasaan para rezim.
Sampai poin ini saja, tampak jelas bahwa Nadirsyah melakukan framming fatal. Nadirsyah
mengklaim:
Nah, yang menarik, semua kitab tafsir di atas, termasuk mereka yang menganggap
ayat ini berlaku umum, tidak satupun menyinggung akan kembalinya Khilafah ‘ala
Minhajin Nubuwwah seperti yang sering digelorakan oleh kelompok Pro-Khilafah.
Maka saya katakan: Ini merupakan framming gegabah, mengingat asumsi ini bisa dijawab
dengan argumentasi mapan:
Pertama, Jika para ulama tak merinci pembahasan, bukan berarti pembahasan tersebut boleh
dinegasikan begitu saja tanpa dasar ilmu. Benarlah ungkapan ulama dalam kaidah ushuliyyah:
: َو ْع َد اللَّ ِه َل يُ ْخلِ ُف اللَّ ُه الْ ِمي َعا َد {الزمر: كام قال تعاىل،ومبا أن وعد الله صادق ومنجز
وافتتحوا بعدئذ بالد املرشق، وأظهر املسلمني عىل جزيرة العرب،} فقد أنجز الله وعده٢٠
وفتحوا بالد القيارصة (بالد، وم ّزقوا ملك األكارسة (حكام فارس) وملكوا خزائنهم،واملغرب
الخالفة: وظلت دولة اإلسالم قوية منيعة يف ظل خالفات متعاقبة،الروم) واستولوا عىل الدنيا
ثم الخالفة العثامنية إىل، ثم الخالفة العباسية، ثم الخالفة األموية يف الشام واألندلس،الراشدية
) حيث ألغى أتاتورك الخالفة1924( انتهاء الربع األول من القرن العرشين.
Begitu pula Prof. Ali al-Shabuni dalam tafsirnya, Shafwat al-Tafâsîr (II/318), dimana beliau
menegaskan bahwa Allah berjanji atas mereka (orang-orang beriman) mewarisi bumi dan
menjadikan mereka para khalifah yang memakmurkan bumi, sebagaimana Allah memberikan
kekuasaan kepada orang-orang beriman sebelum mereka, hingga mereka menguasai negeri-
negeri kaum kuffar.
Ibarat Kitab:
{لَ َي ْستَ ْخلِ َف َّن ُه ْم ِف األرض ك ََم استخلف الذين ِمن قَ ْبلِ ِه ْم} أي وعدهم مبرياث األرض وأن يجعلهم
كام استخلف املؤمنني قبلهم فملكهم ديار،فيها خلفاء مترصفني فيها ترصف امللوك يف ماملكهم
الكفار
Kedua, Tafsir Ulama Mu’tabar: Janji Allah Tegaknya Kekhilafahan Penegak Din
Allah di Muka Bumi
Dalam ayat yang agung ini, Allah berjanji dengan janji pasti (wa’adaLlâh), dimana Allah
sesungguhnya bersumpah dengan petunjuk adanya jawab sumpah (jawâb al-qasam) berupa
lâm ta’kîd dan nûn ta’kîd al-tsaqîlah pada frasa: layastakhlifannahum, layumakkinanna lahum dan
layubaddilannahum. Sumpah yang disamarkan ini, termasuk bentuk al-îjâz bi al-hadzf (bentuk
peringkasan kalimat dengan menghilangkan bagian), bisa ditela’ah lanjut perincian terkait:
Ahmad ‘Ubaid al-Da’as dkk, I’râb al-Qur’ân al-Karîm (II/358).
َاص ِ ْب إِ َّن َو ْع َد اللَّ ِه َح ٌّق َو َل يَ ْستَ ِخ َّف َّن َك ال َِّذي َن َل يُو ِق ُنو َن
ْ ف
“Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-
orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu membuatmu khawatir.” (QS. Al-Rûm [30]:
60)
Dari uraian singkat padat di atas, tak ada yang cerdas yang memungkiri bahwa QS. Al-
Nûr [24]: 55 ini mengandung janji-janji agung dari Allah. Kepada siapa janji ini ditujukan?
Pada prinsipnya jelas, kalimat alladzîna âmanû minkum wa ’amilû al-shâlihât, sifatnya umum,
mengingat ism al-maushul “alladzîna” dalam ilmu ushul termasuk shiyagh al-’âm.
Allah bersumpah akan menganugerahkan kepada orang yang beriman dan beramal shalih tiga
hal agung dalam ungkapan: layastakhlifannahhum, layumakkinanna lahum, layubaddilannahum.
Allah ungkapkan dengan penegasan-penegasan, yakni lâm taukîd dan nûn taukîd al-tsaqîlah,
yang berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran, Imam Dhiya’uddin bin al-Atsir
al-Katib (w. 637 H) dalam Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa al-Syâ’ir (II/193) menjelaskan:
«ُوس ُه ْم ْالَنْ ِب َيا ُء كُل ََّم َهل ََك نَب ٌِّي َخلَ َف ُه نَب ٌِّي َوإِنَّ ُه َل نَب َِّي بَ ْع ِدي َو َس َيكُون
ُ سائِ َيل ت َُس
َ ْ ِكَان َْت بَ ُنو إ
» ُخلَفَا ُء فَ َيك ُ ُْثو َن
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.”
(HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal al-Bukhârî)
Kekuasaan yang dimaksud, mencakup kekuasaan politik, ini relevan dengan penjelasan para
ulama memperkuat dalil-dalil khabar lainnya, yang menukil dalil ini sebagai salah satu khabar
akan kembalinya era kekuasaan kaum Muslim yakni kekhilafahan Islam dengan adanya banyak
khalifah dari generasi ke generasi, tegaknya kekuasaan kaum Muslim yang membentang dari
Timur hingga Barat, tegaknya kembali Khilafah di atas manhaj kenabian, ditaklukkannya Roma,
lahirnya pusat Dar al-Islam di negeri Syam, hadits kekhilafahan Imam al-Mahdi, dan lain
sebagainya, itu semua membuktikan secara argumentatif, bahwa HT memiliki dasar yang sangat
mapan untuk menjadikan QS. Al-Nûr [24]: 55 ini sebagai dalil tegaknya kembali kekhilafahan
di atas manhaj kenabian, wa biLlâhi al-taufîq, kecuali bagi mereka yang mendustakan ilmunya
para ulama dan menganggap mereka berdusta, wal ’iyâdzu biLlâh, Allâh al-Musta’ân. []
III
Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Dalil
Hadits Bisyarah Khilafah Nubuwwah
Nadirsyah mengklaim:
Para ulama tafsir itu bahkan tidak mengutip riwayat Musnad Ahmad soal
ini, yang amat populer di kalangan HTI, namun sudah pernah saya jelaskan
dengan tuntas dan detil bahwa sanadnya pun lemah dan bermasalah.
«ُتَكُو ُن ال ُّن ُب َّو ُة ِفي ُك ْم َما شَ ا َء الل ُه أَ ْن تَكُو َن ث ُ َّم يَ ْرفَ ُع َها إِذَا شَ ا َء أَ ْن يَ ْرفَ َع َها ث ُ َّم تَكُون
ِخالَفَ ٌة َع َل ِم ْن َها ِج ال ُّنبُ َّو ِة فَتَكُو ُن َما شَ ا َء الل ُه أَ ْن تَكُو َن ث ُ َّم يَ ْرفَ ُع َها إِذَا شَ ا َء الل ُه أَ ْن
يَ ْرفَ َع َها ث ُ َّم تَكُو ُن ُملْكًا َعاضًّ ا فَيَكُو ُن َما شَ ا َء الل ُه أَ ْن يَكُو َن ث ُ َّم يَ ْرفَ ُع َها إِذَا شَ ا َء أَ ْن
يَ ْرفَ َع َها ث ُ َّم تَكُو ُن ُملْكًا َج ْ ِبيَّ ًة فَتَكُو ُن َما شَ ا َء الل ُه أَ ْن تَكُو َن ث ُ َّم يَ ْرفَ ُع َها إِذَا شَ ا َء أَ ْن
»يَ ْرفَ َع َها ث ُ َّم تَكُو ُن ِخالَفَ ًة َع َل ِم ْن َها ِج ال ُّن ُب َّو ِة
« ث ُ َّم ُملْكًا بَ ْع َد َذلِ َك،»ال ِْخ َلفَ ُة ِف أُ َّم ِتي �ث َ َلث ُو َن َس َن ًة
“Kekhilafahan dalam umatku tiga puluh tahun, kemudian setelahnya masa mulk[un].” (HR. Ahmad,
Al-Tirmidzi)
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 21928), al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali menyebutkan
dalam al-Jami’ (II/775): ”Sungguh Imam Ahmad telah men-shahih-kannya”, Syaikh Syu’aib al-
Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”; Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2226), Abu Isa
mengomentari: “Ini hadits hasan”.
Hadits ini, dalam perspektif cabang ilmu yang sangat mapan, ilmu balaghah (khususnya
ilmu al-ma’ani), sama sekali tak mengandung petunjuk pembatasan, dalam bahasa yang
lebih normatif, secara redaksional tak mengandung qarâ’in: qashr (pembatasan), yakni tidak
َ الْ ُمطلق ي ْجرِي عىل إِط َْلقه َما مل يقم َدلِيل التَّ ْقيِيد نصا أَو
دللَة
Lafal muthlaq tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya, baik dalil
berupa nas maupun dilâlah.
Kaidah ini, banyak disebutkan para ulama ushul, salah satunya Syakh Ahmad al-Zarqa, Syarh
al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (hlm. 323). Artinya, kehilafahan yang berjalan selama tiga puluh tahun
adalah khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adapun era pemerintahan setelahnya tetap dinilai
para ulama mengadopsi sistem khilafah, namun bukan khilâfah yang ideal berjalan di atas
manhaj kenabian (‘alâ minhâj al-nubuwwah), hingga datang masa mulk[an] jabriyyat[an] yakni
periode adanya para penguasa diktator yang menyalahi syari’ah pasca runtuhnya Khilafah
’Utsmaniyyah pada tahun 1924 M.
ٌات ِصفَات
ِ ال ُج َم ُل بَ ْع َد ال َّن ِك َر
“Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.” (Ibn Hisyam, Mughnî al-Labîb
‘an Kutub al-A’ârîb (hlm. 560))
Kalimat-kalimat (al-jumal) yang dimaksud dalam kaidah ini termasuk bentuk “syibh al-jumlah”
seperti ungkapan ’alâ minhâj al-nubuwwah, yang termasuk syibh al-jumlah karena didahului
huruf jarr (‘alâ) diikuti kata benda yang di-majrur yakni minhaj, di sisi lain kata benda yang
disifatinya adalah kata benda tanpa alif lâm, yakni nakirah berupa kata khilâfat[an]. Sehingga
menunjukkan secara jelas bahwa manhaj kenabian merupakan manhaj istimewa bagi sistem
kekhilafahan yang wajib ditegakkan, menegaskan adanya kebakuan dan keistimewaan sistem
pemerintahan dan tata kelola kenegaraan dalam Islam.
Apa makna khilafah ini? Al-Imam al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam Mirqât al-Mafâtîh
«، َوإِ َّن أُ َّم ِتي َس َي ْبلُ ُغ ُملْ ُك َها َما ُز ِو َي ِل ِم ْن َها، فَ َرأَيْ ُت َمشَ ا ِرقَ َها َو َمغَا ِربَ َها،إِ َّن الل َه َز َوى ِ َل ْالَ ْر َض
ُ » َوأُ ْع ِط
ْالَ ْح َم َر َو ْالَبْ َيض: ِيت الْ َك ْن َزيْن
“Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku
bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang
telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku darinya, dan aku dianugerahi dua pembendaharaan
yakni merah (emas) dan putih (perak).” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi)
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) menguraikan bahwa makna kalimat zawâlî al-ardha, yakni
menguasainya dan menyatukannya. Dimana beliau pun meluruskan asumsi keliru sebagian
orang yang memahami frasa minhâ (darinya) dalam hadits di atas, maknanya bukan bermakna
sebagian dari kekuasaan diraih Rasulullah ﷺtersebut (al-tab’îdh), melainkan keseluruhan
darinya, dari Timur hingga Barat, namun diraih dan ditaklukkan secara bertahap, juz[an] juz[an]
(bagian demi bagian), hingga menguasai seluruhnya.1 Mencakup dua pembendaharaan bumi,
dengan bahasa kiasan (majazi): al-ahmar yakni emas, dan al-abyadh yakni perak.2
Al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi’i (w. 676 H) menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat
isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) sebagian besarnya dari arah
Timur dan Barat, inilah yang telah terjadi. Adapun dari arah Selatan dan Utara maka itu lebih
kecil jika dibandingkan dengan arah Timur dan Barat.3 Dalam hal ini, maksud di balik kalimat
“Timur dan Barat” adalah bahasa kiasan dari keseluruhan penjuru bumi mencakup Timur, Barat,
Utara dan Selatan, ini merupakan penyebutan sebagian (dzikr al-juz’i) namun yang dimaksud
adalah keseluruhannya (irâdat al-kull), dipilih diksi “Timur dan Barat” karena diksi ini mewakili
cakupan keseluruhan penjuru bumi, cakupannya lebih panjang daripada garis Utara - Selatan.
Kata zuwiya ( ) ُزو َِيmerupakan bentuk kata kerja pasif (mabnî li al-majhûl) yang berkonotasi
jumi’a ( ) ُج ِم َعyakni dikumpulkan4, oleh siapa? Yakni oleh Allah untuk Nabi Muhammad ﷺdan
umatnya, ini menguatkan keyakinan bahwa kekhilafahan bagi umat ini hakikatnya merupakan
nashruLlâh yakni pertolongan Allah, yang harus dijemput dengan iman dan amal shalih, salah
satunya adalah dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, sesuai
dengan metode yang dicontohkan Rasulullah ﷺ. Informasi agung dan kabar gembira dalam
hadits ini, diawali dengan penegasan (taukîd) lafal inna (َّ )إِنyang berfaidah menafikan adanya
keraguan atas kebenaran hal yang diinformasikan.
Ini didukung oleh hadits-hadits lainnya yang menggambarkan penaklukkan Kota
Konstantinopel dan Roma, dimana penaklukkan Konstantinopel telah terealisasi, hadits pusat
Dar al-Islam di negeri Syam, hadits 12 orang Khalifah dari Quraysyi, dan hadits Imam al-Mahdi
dibai’at sebagai khalifah, dan lain sebagainya. Seluruhnya menunjukkan kesimpulan akan tegak
kembali kekhilafahan kaum Muslim di akhir zaman. Sekaligus meruntuhkan asumsi prematur
dari para penolak Khilafah.[]
1 Abu Sulaiman al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan: Syarh Sunan Abi Dâwud, juz IV, hlm. 339.
2 Ibid. lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
3 Al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
4 Al-Husain bin Mahmud al-Zaidani al-Muzhhiri, Al-Mafâtîh fî Syarh al-Mashâbîh, Kuwait: Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1433 H, juz VI, hlm. 9,
lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
IV
Kritik Atas Narasi Nadirsyah:
Hadits Khilafah 30 Tahun
Nadirsyah mengklaim:
« ث ُ َّم ُملْكًا بَ ْع َد َذلِ َك،»ال ِْخ َلفَ ُة ِف أُ َّم ِتي �ث َ َلث ُو َن َس َن ًة
“Kekhilafahan dalam umatku tiga puluh tahun, kemudian setelahnya
masa mulk[un].” (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi)
َ الْ ُمطلق ي ْجرِي عىل إِط َْلقه َما مل يقم َدلِيل التَّ ْقيِيد نصا أَو
دللَة
Lafal muthlaq tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya, baik dalil
berupa nas maupun dilâlah.
Kaidah ini, banyak disebutkan para ulama ushul, salah satunya Syakh Ahmad al-Zarqa, Syarh
al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (hlm. 323). Artinya, kehilafahan yang berjalan selama tiga puluh tahun
adalah khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adapun era pemerintahan setelahnya tetap dinilai
para ulama mengadopsi sistem khilafah, namun bukan khilâfah yang ideal berjalan di atas
manhaj kenabian (‘alâ minhâj al-nubuwwah), hingga datang masa mulk[an] jabriyyat[an] yakni
periode adanya para penguasa diktator yang menyalahi syari’ah pasca runtuhnya Khilafah
’Utsmaniyyah pada tahun 1924 M.
فهذا تاريخ لطيف ترجمت فيه الخلفاء أمراء املؤمنني القامئني بأمر األمة من عهد أيب بكر
الصديق ريض الله عنه إىل عهدنا هذا عىل ترتيب زمانهم األول فاألول
Ini merupakan sejarah yang mulia, aku uraikan didalamnya biografi al-khulafâ’ umarâ’ al-
mu’minîn (para khalifah yang merupakan para pemimpin orang-orang beriman), yang memelihara
urusan umat ini, dari semenjak masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. sampai dengan masa
khalifah di masa ini (di masa al-Suyuthi masih hidup), secara berurutan pada setiap masa mereka,
yang pertama maka diurutkan pertama (demikian seterusnya).
Al-Hafizh al-Suyuthi itu sendiri, hidup sekitar periode terakhir pemerintahan era Khilafah
‘Abbasiyyah, yakni hidup di antara tahun 849-911 H/ 1445-1505.
Kesimpulan
Dari keseluruh penjelasan bagian I s.d. IV, mencakup: Bag I Kritik Atas Asumsi Dasar Nadirsyah
Hosen; Bag II Koreksi Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55; Bag III Koreksi Atas
Narasi Nadirsyah Soal Hadits Khilafah di Atas Manhaj Kenabian; Bag IV Koreksi Atas Narasi
Nadirsyah Soal Bisyarah Khilafah [Hadits Khilafah 30 Tahun]. Dapat disimpulkan bahwa al-
Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah merupakan bisyarah nabawiyyah yang akan tegak kembali
di akhir zaman, yang sekaligus menunjukkan kesalahan Nadirsyah Hossen membangun
kesimpulan menegasikan tegaknya kembali khilafah di akhir zaman, dan terbukti salah atas
tuduhannya terhadap perjuang Khilafah dalam persoalan ini, silahkan ditela’ah, wa biLlâhi al-
taufîq.[]
Nadirsyah menuding bahwa hadits hadits Tsiqqat.” Adapun dalam kitab yang lebih kecil,
tentang kembalinya khilafah statusnya Taqrib al-Tahdzib Ibnu Hajar berkata, “la ba’sa
dha’if karena sanadnya lemah dan bihi.“
bermasalah. Sebenarnya sebelum kami, ada
Tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim
yang telah menulis bantahan terkait topik
ditsiqahkan oleh sebagian ulama jarh wa
ini. Namun tak salah penulis memberikan
ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian
tanggapan secara lebih fokus dan jelas
lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara
pada aspek kritik sanad hadits.
ketika menilai rawi bernama Habib bin
Jikia tuduhan diarahkan pada aspek kritik Salim. Seharusnya adil dan objektif meneliti
matan, sangatlah lemah dan sama sekali setiap ungkapan tersebut.
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun
Lalu benarkah rawi yang dinilai "fihi nazhar"
terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-
oleh Imam al-Bukhari sudah pasti dha’if?
gesa, dan membuktikan yang bersangkutan
Memang pada keumumannya, "fihi nazhar"
awam terhadap ilmu hadits, khususnya ilmu
itu berkaitan dengan penilaian jarh dari
al-jarh wa al-ta’dil. Masih menurut Nadirsyah
Imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh
dalam catatan terdahulunya, bahwa hadits
ringan. Tapi tidak sesederhana itu. Tidak
yang dijadikan landasan utama oleh pendiri
bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang
HT itu jika dilakukan penelaahan akan
terdapat rawi yang dinilai "fihi nazhar".
tampak jelas bahwa dalam perspektif kritik
sanad hadits tersebut ternyata ada seorang Ungkapan "fihi nazhar" tergantung qarinah-
rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari qarinahnya (indikasi-indikasinya). Qarinah
yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya
(terpercaya). Alasannya adalah karena sebagian pihak tergesa-gesa memutlakan
Habib bin Salim mendapatkan penilaian kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada
yang negatif (al-jarh) dari Imam Bukhari rawi yang dinilai "fihi nazhar" oleh Imam
yang menilainya “fihi nazhar”, dan juga al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-
komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama
dia menyimpulkan, dengan demikian hadits jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi
tentang kekuasaan khilafah Islamiyyah yang dikomentari "fihi nazhar".
tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
"Fihi nazhar" seperti ungkapan hipotesis
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib al- dari seorang peneliti, bahwa rawi ini perlu
Tahdzib berkata, “Abu Hatim berkata tsiqah, diperhatikan atau diteliti lebih lanjut. Tetapi
al-Bukhari berkata fihi nazhar, Ibnu Adi yang jelas, Imam al-Bukhari tidak sedang
berkata laisa fi mutun ahaditsihi hadits[un] menunjukkan ta’dil dengan ungkapan
munkar bal qad idhtharaba fi asanidi ma tersebut, melainkan jarh ringan yang
ruwiya ‘anhu (pada matan-matan haditnya masih membuka ruang interpretasi para
tidak ada hadits munkar, tapi telah terjadi nuqqad (kritikus hadits). Termasuk potensi
idhthirab pada sanad-sanad (hadits) yang jarh syadid (penilaian negatif yang parah)
diriwayatkan darinya).” Kemudian al-Hafizh bahkan ta’dil, ketika pada tempat lain Imam
berkata, “saya nyatakan, bahwa al-Ajiri al-Bukhari menerimanya.
berkata dari Abu Dawud bahwa ia tsiqah, dan
Bahkan ada yang mengajukan pendapat
Ibn Hibban menyebutkan dalam (kitab) al-
bahwa ungkapan "fihi nazhar" bermakna
Catatan
Tambahan Penyuntin
27
Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-
kalau menganggap bahwa perjuangan Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-
untuk menerapkan hukum Islam melalui Arna’uth, Juz 4 No. 18.430 dan dinilai shahih
khilafah hanya didasarkan pada hadits oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-
dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (2/17). Terlebih
ahmad tentang akan datangnya khilafah lagi, masih banyak hadits-hadits lain yang
adalah shahih atau minimal hasan. Hadits secara makna menegaskan hal yang sama.
[] YRT