Anda di halaman 1dari 33

Kado untuk

Nadirsyah Hosen
(Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar
Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Penyusun:
Irfan Abu Naveed
Penyunting:
Yuana Ryan Tresna
Penata Letak:
Abu Aria
Publikasi:
Afa Silmi Hakim

Diterbitkan oleh:
Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat

Cetakan I, Juni 2019


PENGANTAR PENYUNTING

“Memelihara Tradisi Intelektual Islam”

Di antara kebaikan umat Islam adalah kita memiliki sumber intelektual yang begitu kaya, yang
karenanya tidak pernah sepi dari percakapan intelektual sepanjang masa. Tradisi ini adalah
warisan para ulama salaf shalih, harus dirawat dan ditumbuh-suburkan. Tradisi intelektual
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah aktivitas pengetahuan baik kemampuan akal/rasional
maupun kemampuan pembacaan atas literasi yang berkesinambungan hingga menjadi etos
dan tradisi bagi individu atau masyarakat Islam.

Dalam sejarah Islam, tradisi intelektual ini memiliki masa emas sehingga menjauhkan jaraknya
dari Eropa yang sedang mengalamai masa kegelapan. Ketika di barat, banyak para ilmuan dan
pemikir ‘lari’ dari agama, bahkan menyerang balik agama dengan berbagai pernyataan, namun
sebaliknya di kawasan timur sana (dunia Islam), para ilmuan dan pemikir muslim mengikis
kegelisahan fitrahnya dengan membangun pandangan dunia yang kokoh dengan pondasi
pengetahuan yang dalam, dan yang terpenting lagi; tradisi intelektual ini mendapat dukungan
wahyu yang menganjurkan untuk senantiasa berpikir, merenung, meneliti, dan mengkaji. Semua
dalam bingkai ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Kritik dan sanggahan ilmiah atas pemikiran atau nalar intelektual adalah hal yang lumrah. Kali
ini Nadirsyah Hosen mendapat kado berupa sanggahan ilmiah atas hipotesisnya (di akun resmi
beliau) yang dianggap lemah oleh salah satu peneliti kami. Kritik difokuskan pada empat hal:
(1) Kritik atas asumsi dasar Nadirsyah tentang bisyarah tegaknya khilafah di akhir zaman; (2)
Kritik atas tafsiran Nadirsyah terhadap QS. an-Nur ayat 55; (3) Kritik atas komentar Nadirsyah
terkait hadits bisyarah akan tegaknya khilafah; dan (4) Kritik atas penjelasan Nadirsyah seputar
masa khilafah hanya 30 tahun. Kemudian kami tambahkan epoliog tentang status hadits kabar
gembira akan kembalinya khilafah. Selamat menikmati. YRT

iii
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENYUNTING | Halaman III

DAFTAR ISI | Halaman IV

BAGIAN I
Kritik Atas Asumsi Dasar Nadirsyah Hosen | Halaman 1

BAGIAN II
Kritik Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 | Halaman 5

BAGIAN III
Kritik Atas Narasi Nadirsyah:
Dalil Hadits Bisyarah Khilafah Nubuwwah | Halaman 13

BAGIAN IV
Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Hadits Khilafah 30 Tahun | Halaman 19

CATATAN TAMBAHAN PENYUNTING


APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA
AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF? | Halaman 24

iv
Bisyarah
Tegaknya Khilafah
di Akhir Zaman
Bagian

I
Kritik Atas Asumsi Dasar
Nadirsyah Hosen

KHILAFAH, dijegal semakin terkenal, dipersekusi


semakin unjuk gigi. Hingga detik ini, tak pernah
senyap dari pembicaraan banyak orang di negeri
ini, hingga tertulis dalam sebuah tulisan pendek
berjudul “Benarkah Allah Menjanjikan Kembalinya
Khilafah?”, berisi narasi ingkar Nadirsyah yang
melontarkan pengingkaran bernada pertanyaan,
dalam ilmu balaghah uslub seperti ini dikenal dalam
lisan arab dengan istilah istifhâm inkâri, mengingat
kontennya memperjelas jawaban dari judulnya
tersebut. Menjawab kebingungan penulis, maka saya
ajukan pertanyaan balik: “Benarkah takkan tegak
kembali Khilafah di akhir zaman?” Pertanyaan yang
semestinya tuntas di kalangan cendekiawan dan
akademisi muslim, menilik kajian komperhensif atas
isyarat al-Qur’an, al-Sunnah dan aqwâl para ulama
ahlus sunnah.

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian I)


Kritik Atas Asumsi Dasar Nadirsyah Hosen 1
Menariknya, dalam tulisan Nadirsyah, ia mendadak tampak tekstualis membangun
kesimpulan atas pemahaman sepotongnya pada teks-teks tafsir klasik, untuk membangun
framming “Tidak akan tegak lagi Khilafah di akhir zaman”. Kesimpulan yang sangat mungkin
menimpa mereka yang menyederhanakan pembahasan, semata-mata fokus pada satu dan dua
dalil, sangat riskan. Benarlah ungkapan ulama dalam kaidah ushuliyyah:

‫عدم العلم ليس علامً بالعدم‬


“Ketiadaan ilmu bukan lah bukti ilmu atas ketiadaan sesuatu.”
Kaidah ini disebutkan para ulama, semisal Ibn Taimiyyah dan para ulama lainnya,
ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak dalam Al-Risâlah al-Tadammuriyyah
dan kumpulan ulama di bawah bimbingan Syaikh Alawi bin Abdul Qadir al-Segaf dalam Al-
Mausû’ah al-‘Aqdiyyah. Atau dalam bahasa lebih familiar:

‫عدم العلم بالدليل ليس دليال عىل عدم الدليل‬


“Ketiadaan ilmu terhadap dalil, bukanlah dalil atas ketiadaan dalil”
Artinya ketidaktahuan seseorang pada petunjuk-petunjuk bisyarah tegaknya khilafah di
akhir zaman, bukanlah bukti atas ketiadaan semua petunjuk tersebut. Jangan seperti kaum
filosof yang bingung dengan cara berpikirnya sendiri hingga beranggapan, apa yang tidak
diketahui berarti tidak ada, hingga pemikiran mereka ini dikritik keras oleh para ulama Islam,
karena menggambarkan kesesatan paradigmatik.
Artinya seseorang yang belum mengkaji secara mapan berbagai petunjuk-petunjuk bisyarah
tegaknya kembali khilafah di akhir zaman, hendaknya menahan diri, kalau tidak maka berlaku
kaidah:

‫من تكلم يف غري ف ّنه أىت بالعجائب‬


“Siapa saja yang berbicara dalam hal yang tak dikuasainya, maka ia akan mendatangkan perkara-
perkara kontroversial.”
Kaidah ini disebutkan oleh para ulama, sebutlah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 1379 H)
dalam Fath al-Bârî (III/584), Syaikh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri (w. 1353 H) dalam
Tuhfat al-Ahwadzi (I/24), Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri (w. 1353 H) dalam Faidh
al-Bârî (IV/39).
Kata al-‘ajâ’ib dalam maqalah ini maksudnya adalah hal-hal aneh, kontroversial. Padahal,
tegaknya kejayaan dan kekuasaan kaum Muslim di akhir zaman, merupakan bisyârah (berita
gembira) akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga
diriwayatkan dalam banyak riwayat. Jika riwayat ini digabung dengan riwayat lain yang semakna,
yaitu riwayat akan masuknya Islam di setiap rumah, hadits al-waraq al-mu’allaq, hadits Khilafah
turun di bumi al-Quds, hadits mengenai Dâr al-Islâm kaum Mukmin berpusat di Syam, hadits
hijrah setelah hijrah, hadits al-ghurabâ’, hadits al-mahdi, dan hadits akan ditaklukkannya Roma,
maka makna tersebut bahkan bisa sampai pada tingkat mutawatir, sebagaimana ditegaskan
Syaikh Muhammad al-Syuwaiki dalam Al-Tharîq ilâ Daulat al-Khilâfah, dan Hafizh Abdurrahman
dalam buku Khilafah Islam dalam Hadist Mutawatir bi al-Ma’na.

Kado untuk Nadirsyah Hosen


2 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Kesalahan fatal Nadirsyah, setidaknya ada pada dua hal kentara dan asasi:
Pertama, Membatasi kajian pada teks tafsir sebagian ulama, padahal teks-teks tafsir tersebut
tidak bisa dijadikan dalih untuk menegasikan sistem Khilafah di akhir zaman, tidak, terlebih
untuk membangun kesimpulan fatal, tidak ada sistem Khilafah;
Kedua, Mengabaikan dalil-dalil al-Sunnah yang mengandung akhbar akhir zaman menyoal
kembalinya kekuasaan kaum Muslim, atau menakwilkannya dengan pemahaman yang keliru.
Artinya, kajian Nadirsyah, tampak sebagai kajian prematur yang terlalu menyederhanakan
masalah, sehingga tak bisa dinilai sebagai tulisan yang memenuhi standar kajian ilmiah. Padahal
untuk sampai pada kesimpulan besar, menyoal eksistensi Khilafah di akhir zaman terlebih
untuk membahas ada tidaknya sistem Khilafah dalam Islam, maka dia harus menelusuri akhbar
terkait akhir zaman, bukan hanya satu ayat saja. Dan tidak membatasi kajian sekedar kajian
tafsir, melainkan harus menelusuri kitab-kitab ulama mu’tabar yang men-syarah hadits-hadits
akhir zaman. Terlebih untuk sampai pada pembahasan ada tidaknya sistem baku Khilafah dalam
Islam, maka ini membutuhkan perspektif kajian lebih luas, mencakup kajian ushul fikih, fikih,
terutama fikih siyasah. Maka pada prinsipnya, narasi singkat berisi wahm Nadirsyah Hossen:

‫كل ما بني عىل باطل فهو باطل‬


“Segala hal yang dibangun di atas asas yang batil maka ia pun batil.”
Kaidah ini, disebutkan Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili dalam Al-Wajîz fî Ushûl
al-Fiqh al-Islâmi (juz I, hlm. 264), dan Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah al-Zamil dalam Syarh
al-Qawâ’id al-Sa’diyyah (hlm. 343). []

‫والله أعلم بالصواب‬

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian I)


Kritik Atas Asumsi Dasar Nadirsyah Hosen 3
Kado untuk Nadirsyah Hosen
4 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Bisyarah
Tegaknya Khilafah
di Akhir Zaman
Bagian

II
Kritik Atas Narasi Nadirsyah
Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55
Allah Ta’ala berfirman:

‫ات لَ َي ْستَ ْخلِ َف َّن ُه ْم ِف ْالَ ْر ِض‬


ِ ‫الصالِ َح‬َّ ‫َو َع َد اللَّ ُه ال َِّذي َن آ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َو َع ِملُوا‬
ٰ َ ‫ك ََم ْاستَ ْخل ََف ال َِّذي َن ِم ْن قَبْلِ ِه ْم َولَيُ َم ِّك َن َّن لَ ُه ْم ِدي َن ُه ُم ال َِّذي ا ْرت‬
‫َض لَ ُه ْم‬
‫شكُو َن ِب شَ يْئًا ج َو َم ْن‬ ِ ْ ُ‫َولَيُبَ ِّدلَ َّن ُه ْم ِم ْن بَ ْع ِد َخ ْو ِف ِه ْم أَ ْم ًنا ج يَ ْعبُ ُدونَ ِني َل ي‬
‫َاسقُو َن‬ ِ ‫كَ َف َر بَ ْع َد َٰذلِ َك فَأُولَٰ ِئ َك ُه ُم الْف‬
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh- sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
dalam ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap menyembahku-Ku
dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku, dan siapa
saja yang kufur sesudah (janji) itu, maka mereka itu lah orang-orang yang
fasik.” (QS. Al-Nûr [24]: 55)

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian II)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 5
KHILAFAH akan tegak kembali berdasarkan QS. Al-Nûr [24]: 55 itu memiliki dasar yang mapan,
didukung oleh akhbar nabawiyyah yang akan saya uraikan pada ulasan berikutnya, agar ngaji
ilmu tak sepotong seperti memotong ayat: fa wayl[un] li al-mushallîn (maka celakalah orang-
orang yang menegakkan shalat) dalam QS. Al-Mâ’ûn [107]: 4, padahal narasi qur’ani tak berhenti
pada potongan ayat ini, karena ada lanjutannya pada QS. Al-Mâ’ûn [107]: 5-7, berkenaan dengan
orang yang lalai dalam shalatnya, ria dengan ibadahnya.
Stigma buruk Nadirsyah bahwa pemahaman para pejuang khilafah ini KELIRU BESAR adalah
suatu kekeliruan itu sendiri, bahkan keliru besar bukan hanya pada para pejuang khilafah
sebagai pihak tertuduh, tapi juga terhadap kaum Muslim pada umumnya, dan para ulama yang
ia nukil pendapatnya, hendaknya mawas diri atas kritik yang diungkapkan Imam Taqiyuddin
al-Subki (w. 771 H) dalam Qâ’idah fî al-Jarh wa al-Ta’dîl (hlm. 53) berkata:

‫فكثريا ما رأيت من يسمع لفظة فيفهمها عىل غري وجهها‬


Aku melihat banyak orang yang mendengar sebuah perkataan namun memahaminya bukan seperti
apa yang dimaksudkan.
Menariknya, apa yang dijelaskan oleh Nadirsyah justru memperkuat argumentasi adanya
Sistem Khilafah Islamiyyah yang menjadi gambaran model sistem pemerintahan terbaik dalam
kehidupan dalam lisan para ulama mu’tabar. Ironisnya, kesimpulan yang dibangun Nadirsyah
selama ini justru bertolak belakang dengan apa yang ia jelaskan dalam nukilan, kebingungan
yang tampak nyata tatkala pikiran tak sejalan dengan lisan, menggambarkan kelemahan
argumentasi. Menegasikan kebakuan sistem Khilafah, tapi menukil maqalah para ulama yang
menegaskan adanya eksistensi sistem Khilafah yang terbaik? Kok bisa? Mari kita evaluasi:

Pertama, Evaluasi Atas Kesimpangsiuran Argumentasi Nadirsyah


Pertama, Nadirsyah membuat judul yang bertolakbelakang dengan tulisannya sendiri. Dari
judulnya saja sudah aneh, mempertanyakan: “Benarkah Allah Menjanjikan Kembalinya Khilafah?”
Pada saat yang sama, tulisannya justru membangun kesimpulan, “Ya, menurut para ulama
Allah menjanjikan kembali tegaknya Khilafah”, karena kajian ayat ini sebenarnya sudah cukup
menjawab pengingkaran Nadirsyah. Namun untuk sampai pada pembahasan bahwa janji Allah
tersebut mencakup tegaknya Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah di akhir zaman, seorang peneliti
harus meluaskan literasinya, membahas hadits-hadits akhir zaman.
Ini merupakan kesalahan fatal Nadirsyah yang menyederhanakan pembahasan besar
menyoal khilafah di akhir zaman, berbekal tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 semata, itu pun penggalian
datanya tampak sederhana bertolak pada sejumlah literatur saja, padahal ia menggunakan
metode library research (kajian kepustakaan), yang membutuhkan banyak referensi dan literatur.
Kedua, Nadirsyah menuduh para pendukung Khilafah mengelabui publik dengan mengklaim
bahwa “Kembalinya Khilafah sebagai wujud kekuasaan umat Islam merupakan janji Allah Swt
dalam QS An-Nur ayat 55”, pada saat yang sama, ybs justru mengemukakan pendapat para ulama
yang menegaskan tegaknya kembali kekuasaan kaum Muslim, menguatkan apa yang dijelaskan
pada pendukung Khilafah (baca: HT dan umat Islam) menyoal kembalinya kekuasaan kaum
Muslim (Khilafah). Saya, akan fokus terlebih dahulu membuktikan kebingungan Nadirsyah
dengan referensi yang ia nukil sendiri.

Kado untuk Nadirsyah Hosen


6 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Nadirsyah mengklaim:

Ada beberapa kitab tafsir yang meluaskan lagi kandungan ayat ini, yang tidak hanya terbatas
pada masa Nabi Muhammad dan/atau al-Khulafa ar-Rasyidun, tapi juga pada masa-masa
selanjutnya termasuk masa sekarang dan akan datang. Tafsir Fathul Qadir (4/55) memaknai
kekuasaan sebelum Nabi itu tidak hanya terbatas pada Bani Israil, dan karenanya juga
tidak membatasi makna ayat ini pada masa Nabi di Mekkah dan khalifah yang empat, tapi
menggunakan keumuman ayat. Tafsir al-Qurthubi (12/299) juga menyetujui keumuman ayat ini.

Setelah jelas menunjukkan adanya penafsiran: janji Allah tersebut adalah janji tegaknya
kekhilafahan dan kekuasaan kaum Muslim. Nadirsyah malah melakukan framming yang sangat
jelas dipaksakan:

Namun, apa implikasi dari keumuman ayat ini? Sa’id Hawa dalam Asas at-Tafsir (7/3802)
menganggap janji Allah dalam ayat ini akan terus berlangsung sampai semua akan masuk
Islam. Tafsir al-Wasith (6/1457) karya Majma’ al-Bunuts Islamiyah di al-Azhar Mesir juga
mengisyaratkan bahwa janji Allah ini terwujud ketika Islam tersebar di penjuru dunia timur dan
barat. Jadi tidak dibatasi pada masa lalu saja. Berarti ini masalah dakwah, bukan soal kekhilafahan.

Dalam paragraf di atas, Nadirsyah melakukan framming, bahwa yang dimaksud para ulama
ini adalah dakwah bukan khilafah, benarkah? Padahal di muka, Nadirsyah menukil sabab al-
nuzul-nya yang menegaskan bahwa ayat ini menggambarkan janji Allah berupa kekuasaan,
bukan sekedar dakwah!

Ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬bersama para sahabatnya sampai ke Madinah, dan disambut serta dijamin
keperluan hidupnya oleh kaum Ansar, mereka tidak melepaskan senjatanya siang dan malam, karena
selalu diincar oleh kaum kafir. Mereka berkata kepada Nabi: “Kapan engkau dapat melihat kami hidup
aman dan tenteram tiada takut kecuali kepada Allah.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa
tersebut, sebagai jaminan dari Allah Swt bahwa mereka akan dianugerahi kekuasaan di muka bumi.

Penjelasan di atas, menurut Nadirsyah dinukil dari Tafsir Munir karya Prof. Dr. Wahbah al-
Zuhaili. Menariknya, al-Zuhaili menuliskan subjudul “Ushûl Daulat al-Îmân” (Prinsip-Prinsip Pokok
Daulah (Negara) Iman (baca: Negara Tauhid). Kalimat ini menegaskan apa yang dituliskan al-
Zuhaili, bahwa janji Allah dalam ayat ini sangat lekat dengan janji kekuasaan dan kekhilafahan
yang menegakkan dakwah, jadi bukan sekedar dakwah yang mengabaikan adanya eksistensi
kekuasaan, fatalnya, Nadirsyah membenturkan hakikat kekuasaan khilafah dengan amal praktis
dakwahnya, padahal Prof. Wahbah al-Zuhaili sendiri dalam Al-Tafsîr al-Munîr (XVIII/282-283)
menjelaskan:
Ibarah Kitab:

‫ وإظهار‬،‫ وتأييدهم بالنرص واإلعزاز‬،‫وعد الله سبحانه بتمكني املؤمنني الطائعني يف خالفة األرض‬
‫ فيعبدون الله آمنني ال‬،‫ وتبديلهم من بعد خوفهم من العدو أمنا‬،‫دينهم عىل الدين كله‬
‫يرشكون به شيئا وال يخافون‬.

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian II)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 7
Yakni bahwa Allah berjanji kepada orang-orang beriman akan memberikan kepada mereka
kekuasaan kekhilafahan di muka bumi.

‫ ك ََم ْاستَ ْخل ََف ال َِّذي َن ِم ْن‬،‫حات لَيَ ْستَ ْخلِ َف َّن ُه ْم ِف ْالَ ْر ِض‬ َّ ‫َو َع َد اللَّ ُه ال َِّذي َن آ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َو َع ِملُوا‬
ِ ِ‫الصال‬
‫قَبْلِ ِه ْم أي وعد الله الذين تحقق فيهم وصفان معا هام اإلميان بالله ورسوله والعمل الصالح‬
‫صل الله عليه وسلم خلفاء‬ ّ ‫الطيب الذي يقرب من الله تعاىل ويرضيه بأن يجعل أمة النبي‬
‫ كام استخلف داود وسليامن عليهام‬،‫ وبهم تصلح البالد‬،‫ والوالة عليهم‬،‫ أي أمئة الناس‬،‫األرض‬
.‫ وكام فعل ببني إرسائيل حني أورثهم مرص والشام بعد إهالك الجبابرة‬،‫السالم عىل األرض‬
ِ ِ‫الصال‬
‫حات‬ َّ ‫ َو َع َد اللَّ ُه ال َِّذي َن آ َم ُنوا َو َع ِملُوا‬:‫وقوله ِم ْن ُك ْم من للبيان كالتي يف آخر سورة الفتح‬
29( ً‫ِم ْن ُه ْم َم ْغ ِف َر ًة َوأَ ْجرا ً َع ِظيام‬
Bahwa, Allah Swt berjanji atas orang-orang beriman akan menjadikan mereka para khalifah bumi,
yakni pemimpin bangsa manusia, dan penguasa mereka, dan dengan kedudukan mereka ini maka
negeri-negeri menjadi baik, sebagaimana Allah menjadikan Nabi Dawud a.s. dan Sulaiman a.s.
sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang Allah anugerahkan pada Bani Israil tatkala Allah
mewarisi mereka Mesir, dan negeri Syam setelah hancurnya kekuasaan para rezim.
Sampai poin ini saja, tampak jelas bahwa Nadirsyah melakukan framming fatal. Nadirsyah
mengklaim:

Nah, yang menarik, semua kitab tafsir di atas, termasuk mereka yang menganggap
ayat ini berlaku umum, tidak satupun menyinggung akan kembalinya Khilafah ‘ala
Minhajin Nubuwwah seperti yang sering digelorakan oleh kelompok Pro-Khilafah.

Maka saya katakan: Ini merupakan framming gegabah, mengingat asumsi ini bisa dijawab
dengan argumentasi mapan:
Pertama, Jika para ulama tak merinci pembahasan, bukan berarti pembahasan tersebut boleh
dinegasikan begitu saja tanpa dasar ilmu. Benarlah ungkapan ulama dalam kaidah ushuliyyah:

‫عدم العلم ليس علامً بالعدم‬


“Ketiadaan ilmu bukan lah bukti ilmiah atas ketiadaan sesuatu.”
Atau dalam bahasa lebih familiar:

‫عدم العلم بالدليل ليس دليال عىل عدم الدليل‬


“Ketiadaan ilmu terhadap dalil, bukanlah dalil atas ketiadaan dalil”
Artinya, jika para ulama tak merinci soal khilafah di akhir zaman, bukan berarti para ulama
ini mengingkari tegaknya khilafah di akhir zaman! Mengingat pada saat yang sama, mereka
pun hidup di era kekhilafahan. Sehingga wajar jika para ulama ini tidak merinci pembahasan
“akan tegak kembali kekhilafahan” mengingat mereka sendiri sedang hidup di era kekhilafahan,
maka dudukkan persoalan sebagaimana kaidah balaghiyyah:

‫لكل مقام مقال‬


Kado untuk Nadirsyah Hosen
8 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Untuk setiap kedudukan itu, ada tutur katanya (yang sesuai)
Yakni untuk setiap keadaan itu ada penjelasan yang relevan dengannya. Kenyataannya, para
ulama muktabar pun tatkala menjelaskan hadits riwayat Ahmad dan al-Bazzar menyoal hadits
khilafah di atas manhaj kenabian, mereka pun merincinya dalam turats mereka (nanti akan
saya buktikan).
Kedua, Para ulama tatkala menafsirkan ayat ini, jelas mengaitkannya dengan pembahasan
kekuasaan khilafah, dari mulai kekuasaan politik Rasulullah ‫ ﷺ‬di Madinah, al-khilâfah ‘alâ
minhâj al-nubuwwah pada periode pertama, Khilafah Umawiyyah, Khilafah ‘Abbasiyyah, hingga
Khilafah ‘Utsmaniyyah, sebagaimana ditegaskan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya.
Dalam hal ini, al-Zuhaili mencontohkan janji kekuasaan tersebut berkaitan dengan
penaklukkan-penaklukkan: dari mulai masa kekuasaan nubuwwah, Rasulullah ‫ﷺ‬, Khulafa’
Rasyidun, hingga Khilafah ‘Utsmaniyyah yang dihancurkan oleh Kemal Ataturk. Silahkan
perhatikan detail pernyataan jelas Prof Wahbah al-Zuhaili berikut ini:
Ibarah Kitab:

:‫ َو ْع َد اللَّ ِه َل يُ ْخلِ ُف اللَّ ُه الْ ِمي َعا َد {الزمر‬:‫ كام قال تعاىل‬،‫ومبا أن وعد الله صادق ومنجز‬
‫ وافتتحوا بعدئذ بالد املرشق‬،‫ وأظهر املسلمني عىل جزيرة العرب‬،‫} فقد أنجز الله وعده‬٢٠
‫ وفتحوا بالد القيارصة (بالد‬،‫ وم ّزقوا ملك األكارسة (حكام فارس) وملكوا خزائنهم‬،‫واملغرب‬
‫ الخالفة‬:‫ وظلت دولة اإلسالم قوية منيعة يف ظل خالفات متعاقبة‬،‫الروم) واستولوا عىل الدنيا‬
‫ ثم الخالفة العثامنية إىل‬،‫ ثم الخالفة العباسية‬،‫ ثم الخالفة األموية يف الشام واألندلس‬،‫الراشدية‬
‫) حيث ألغى أتاتورك الخالفة‬1924( ‫انتهاء الربع األول من القرن العرشين‬.
Begitu pula Prof. Ali al-Shabuni dalam tafsirnya, Shafwat al-Tafâsîr (II/318), dimana beliau
menegaskan bahwa Allah berjanji atas mereka (orang-orang beriman) mewarisi bumi dan
menjadikan mereka para khalifah yang memakmurkan bumi, sebagaimana Allah memberikan
kekuasaan kepada orang-orang beriman sebelum mereka, hingga mereka menguasai negeri-
negeri kaum kuffar.
Ibarat Kitab:

{‫لَ َي ْستَ ْخلِ َف َّن ُه ْم ِف األرض ك ََم استخلف الذين ِمن قَ ْبلِ ِه ْم} أي وعدهم مبرياث األرض وأن يجعلهم‬
‫ كام استخلف املؤمنني قبلهم فملكهم ديار‬،‫فيها خلفاء مترصفني فيها ترصف امللوك يف ماملكهم‬
‫الكفار‬
Kedua, Tafsir Ulama Mu’tabar: Janji Allah Tegaknya Kekhilafahan Penegak Din
Allah di Muka Bumi
Dalam ayat yang agung ini, Allah berjanji dengan janji pasti (wa’adaLlâh), dimana Allah
sesungguhnya bersumpah dengan petunjuk adanya jawab sumpah (jawâb al-qasam) berupa
lâm ta’kîd dan nûn ta’kîd al-tsaqîlah pada frasa: layastakhlifannahum, layumakkinanna lahum dan
layubaddilannahum. Sumpah yang disamarkan ini, termasuk bentuk al-îjâz bi al-hadzf (bentuk
peringkasan kalimat dengan menghilangkan bagian), bisa ditela’ah lanjut perincian terkait:
Ahmad ‘Ubaid al-Da’as dkk, I’râb al-Qur’ân al-Karîm (II/358).

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian II)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 9
Kalimat wa’adaLlâh, dipahami oleh para ulama sebagai janji dari Allah, sebagai kiasan (majaz)
dari kalimat sumpah Allah yang disamarkan (al-yamîn al-mudhmar), karena hakikat maknanya:
“Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, Demi Allah, Dia benar-benar akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi (dan seterusnya)”, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Tsa’labi
(w. 427 H), dalam Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân (VII/114).
Kata wa’ada yang Allah ungkapkan dengan kata kerja lampau (al-fi’il al-mâdhi’) pun berfaidah
menunjukkan kepastian apa yang diinformasikan. Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT
berjanji, dengan janji yang pasti ditepati-Nya, karena Allah tak mungkin menyalahi janji-Nya,
sebagaimana ditegaskan-Nya dalam firman-Nya yang agung:

‫َاص ِ ْب إِ َّن َو ْع َد اللَّ ِه َح ٌّق َو َل يَ ْستَ ِخ َّف َّن َك ال َِّذي َن َل يُو ِق ُنو َن‬
ْ ‫ف‬
“Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-
orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu membuatmu khawatir.” (QS. Al-Rûm [30]:
60)
Dari uraian singkat padat di atas, tak ada yang cerdas yang memungkiri bahwa QS. Al-
Nûr [24]: 55 ini mengandung janji-janji agung dari Allah. Kepada siapa janji ini ditujukan?
Pada prinsipnya jelas, kalimat alladzîna âmanû minkum wa ’amilû al-shâlihât, sifatnya umum,
mengingat ism al-maushul “alladzîna” dalam ilmu ushul termasuk shiyagh al-’âm.
Allah bersumpah akan menganugerahkan kepada orang yang beriman dan beramal shalih tiga
hal agung dalam ungkapan: layastakhlifannahhum, layumakkinanna lahum, layubaddilannahum.
Allah ungkapkan dengan penegasan-penegasan, yakni lâm taukîd dan nûn taukîd al-tsaqîlah,
yang berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran, Imam Dhiya’uddin bin al-Atsir
al-Katib (w. 637 H) dalam Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa al-Syâ’ir (II/193) menjelaskan:

‫ وأنه كائن ال محالة‬،‫ وإثباته يف نفوس املؤمنني‬،‫إمنا جاءت لتحقيق األمر‬


Sesungguhnya huruf-huruf lâm tersebut, ada untuk menegaskan (terwujudnya) perkara (yang
diinformasikan), dan peneguhan hal tersebut dalam jiwa orang-orang yang beriman, bahwa hal
tersebut akan terwujud, bukan hal yang mustahil.
Keberadaan huruf nûn taukîd al-tsaqîlah menurut al-Atsir, menguatkan penegasan huruf
lâm yang mengawali informasi (Ibid (II/195)). Menguatkan keyakinan orang-orang beriman
terhadap janji Allah ’Azza wa Jalla bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shalih.
Ungkapan layastakhlifannahum, bahwa Dia SWT akan menganugerahkan orang-orang yang
beriman dan beramal shalih kekuasaan di Muka Bumi, yakni mewarisi bumi baik Bangsa Arab
maupun Ajam, dimana Dia menjadikan mereka sebagai penguasanya, pengaturnya (dalam
kekuasaan politik) dan penduduknya, sebagaimana diuraikan Imam al-Tsa’labi dalam tafsirnya
(VII/114), dan al-Hafizh al-Thabari dalam tafsirnya (XIX/208). Karena kata kerja yastakhlifu
dari wazan istaf’ala-yastaf’ilu, menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab (V/197), bermakna
menjadikan mereka sebagai khalifah, yakni penguasa di Muka Bumi, menggantikan pihak
lainnya. Yakni kedudukan agung yang disebutkan Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam
Mafâtîh al-Ghaib (XXIV/412) yakni:

‫فَ َي ْج َعلَ ُه ُم الْ ُخلَفَا َء َوالْغَالِ ِب َني َوال َْملِ ِك َني‬


Maka Dia menjadikan mereka sebagai khalifah-khalifah (al-khulafâ’), para penakluk (al-ghâlibîn)
dan para penguasanya (al-mâlikîn).

Kado untuk Nadirsyah Hosen


10 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Penafsiran senada ditegaskan oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân (I/264), menariknya beliau menukil ayat yang agung ini (QS. Al-Nûr [24]: 55), ketika
menjelaskan dalil wajibnya mengangkat Khalifah ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30.
Pendalilan para ulama mu’tabar ini, memperjelas bentuk kekuasaan yang Allah anugerahkan
pada umat ini, dimana Allah mengumpamakannya dengan kekuasaan kaum sebelumnya {‫ك ََم‬
ْ ini merupakan bentuk tasybîh (penyerupaan) yang menguatkan keyakinan,
‫}استَ ْخل ََف ال َِّذي َن ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم‬,
sekaligus menjadi khabar gaib mengenai kaum terdahulu (al-umam al-sâbiqah) yang beriman
dan beramal shalih, yang ternyata pernah dianugerahi kekuasaan.
Dalam hal ini, imâm al-mufassirîn al-Hafizh al-Thabari dalam tafsirnya (XIX/208) menafsirkan
yakni Bani Isra’il. Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani dalam Tafsîr al-Qur’ân (III/544) dan Imam
Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib (XXIV/412) menjelaskan: Qatadah r.a merinci yakni
sebagaimana Nabi Dawud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. serta para nabi yang memiliki kekuasaan,
yakni kekuasaan riil politis, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a., Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda:

«ُ‫وس ُه ْم ْالَنْ ِب َيا ُء كُل ََّم َهل ََك نَب ٌِّي َخلَ َف ُه نَب ٌِّي َوإِنَّ ُه َل نَب َِّي بَ ْع ِدي َو َس َيكُون‬
ُ ‫سائِ َيل ت َُس‬
َ ْ ِ‫كَان َْت بَ ُنو إ‬
‫» ُخلَفَا ُء فَ َيك ُ ُْثو َن‬
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.”
(HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal al-Bukhârî)
Kekuasaan yang dimaksud, mencakup kekuasaan politik, ini relevan dengan penjelasan para
ulama memperkuat dalil-dalil khabar lainnya, yang menukil dalil ini sebagai salah satu khabar
akan kembalinya era kekuasaan kaum Muslim yakni kekhilafahan Islam dengan adanya banyak
khalifah dari generasi ke generasi, tegaknya kekuasaan kaum Muslim yang membentang dari
Timur hingga Barat, tegaknya kembali Khilafah di atas manhaj kenabian, ditaklukkannya Roma,
lahirnya pusat Dar al-Islam di negeri Syam, hadits kekhilafahan Imam al-Mahdi, dan lain
sebagainya, itu semua membuktikan secara argumentatif, bahwa HT memiliki dasar yang sangat
mapan untuk menjadikan QS. Al-Nûr [24]: 55 ini sebagai dalil tegaknya kembali kekhilafahan
di atas manhaj kenabian, wa biLlâhi al-taufîq, kecuali bagi mereka yang mendustakan ilmunya
para ulama dan menganggap mereka berdusta, wal ’iyâdzu biLlâh, Allâh al-Musta’ân. []

‫والله أعلم بالصواب‬

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian II)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 11
Kado untuk Nadirsyah Hosen
12 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Bisyarah
Tegaknya Khilafah
di Akhir Zaman
Bagian

III
Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Dalil
Hadits Bisyarah Khilafah Nubuwwah
Nadirsyah mengklaim:

Para ulama tafsir itu bahkan tidak mengutip riwayat Musnad Ahmad soal
ini, yang amat populer di kalangan HTI, namun sudah pernah saya jelaskan
dengan tuntas dan detil bahwa sanadnya pun lemah dan bermasalah.

Maka saya katakan:


Pertama, Itu kesimpulan prematur yang terlalu asumtif, sudah saya jelaskan kaidah
mendudukkan pembahasan para ulama soal tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 dan hadits
khilafah di atas manhaj kenabian dalam tulisan sebelumnya.
Kedua, Benarkah hadits berikut ini hadits dha’if? Dari Hudzaifah r.a., ia berkata:
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«ُ‫تَكُو ُن ال ُّن ُب َّو ُة ِفي ُك ْم َما شَ ا َء الل ُه أَ ْن تَكُو َن ث ُ َّم يَ ْرفَ ُع َها إِذَا شَ ا َء أَ ْن يَ ْرفَ َع َها ث ُ َّم تَكُون‬
‫ِخالَفَ ٌة َع َل ِم ْن َها ِج ال ُّنبُ َّو ِة فَتَكُو ُن َما شَ ا َء الل ُه أَ ْن تَكُو َن ث ُ َّم يَ ْرفَ ُع َها إِذَا شَ ا َء الل ُه أَ ْن‬
‫يَ ْرفَ َع َها ث ُ َّم تَكُو ُن ُملْكًا َعاضًّ ا فَيَكُو ُن َما شَ ا َء الل ُه أَ ْن يَكُو َن ث ُ َّم يَ ْرفَ ُع َها إِذَا شَ ا َء أَ ْن‬
‫يَ ْرفَ َع َها ث ُ َّم تَكُو ُن ُملْكًا َج ْ ِبيَّ ًة فَتَكُو ُن َما شَ ا َء الل ُه أَ ْن تَكُو َن ث ُ َّم يَ ْرفَ ُع َها إِذَا شَ ا َء أَ ْن‬
‫»يَ ْرفَ َع َها ث ُ َّم تَكُو ُن ِخالَفَ ًة َع َل ِم ْن َها ِج ال ُّن ُب َّو ِة‬

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian III)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Dalil Hadits Bisyarah Khilafah Nubuwwah 13
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan
mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti
manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika
Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas
izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.
Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan
tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad
dalam Musnad-nya (no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar
dalam Sunan-nya (no. 2796))
Benarkah hadits ini dha’if dan tertolak?
Maka saya katakan:
Pertama, Penilaian hadits itu ada konvensinya, dan konvensinya yakni termasuk shalahiyyat
para ulama muhaddits. Tidak sembarang orang boleh mengomentari: Hadits ini dha’if, hadits
ini shahih tanpa ilmunya. Terlebih tidak jika penilaian hadits tersebut diikuti dengan sikap
gegabah, bahwa hadits ini tertolak, tidak boleh digunakan dalil, tak boleh diamalkan. Jelas itu
semua sikap gegabah, padahal membutuhkan ilmunya para ulama. Pada prinsipnya penilaian
saya dan Nadirsyah tak bisa diterima begitu saja karena sama-sama bukan ulama muhaddits!
Maka wajib dikembalikan kepada penilaian para ulama ahlinya.
Kedua, Penilaian para ulama terkait hadits khilafah jelas tidak seperti penilaian Nadirsyah.
Hadits ini merupakan hadits yang maqbul dijadikan sebagai hujjah, al-Hafizh al-‘Iraqi (w. 806
H),dalam kitab Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab (hlm. 176) mengomentari: “Hadits ini
hadits shahih, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya.”; Dawud bin Ibrahim tinggal
di Bashrah, Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibn Hibban men-tsiqqah-kannya, selebihnya adalah
perawi yang dijadikan hujjah dalam al-shahih.
Setelah menukil penilaian hadits al-Hafizh al-’Iraqi di atas, Syaikh Abu al-Turab Sayyid bin
Husain al-‘Affani pun dalam A’lâm wa Aqzâm fî Mîzân al-Islâm (I/376) menegaskan: “Hadits ini
merupakan hadits shahih yang menegaskan kembalinya Khilafah Islamiyyah.” Dalam ta’liq-nya
atas Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad hadits ini hasan”.
Maka, siapa yang lebih layak dipercaya menyoal penilaian dan penyikapan atas hadits
ini? Semakin aneh, jika pihak yang mempersoalkan hadits ini berasal dari kelompok yang
memang menerima hadits dha’if dalam wilayah fadhâ’il al-‘amal. Maka intinya jelas: Penilaian
terhadap suatu hadits wajib didasari ilmu, misalnya apakah ia shahih atau dha’if dan lainnya;
jelas ada konvensinya, yang berhak menilai adalah muhaddits, bukan sembarang orang. Maka
tikaman mereka yang tidak jelas keilmuan dan kepakarannya di bidang hadits, namun tergesa-
gesa memvonis dha’if hadits ini semata-mata berbekal pengetahuannya (yang salah paham)
terhadap jarh (kritik) atas salah seorang perawi, jelas tidak ilmiah padahal duduk persoalannya
tak sesederhana itu. Kondisi oknum ini, menggambarkan apa yang disinggung para ulama:

‫إ َّن ال َّر ُج َل إذا تكلَّم يف غري فَ ِّنه أىت بالعجائب‬


Sesungguhnya seseorang itu jika berbicara di luar disiplin ilmunya pasti mendatangkan hal-hal
kontroversial.
Tak cukup sampai di sana, yang lebih mengherankan, dari kesalahpahaman ini mereka
menafikan secara mutlak perjuangan penegakkan Khilafah. Apa yang diperingatkan Imam
Malik cukup relevan, dari Ibn Wahb, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik r.a. berkata:

ِ‫الْ َع َجلَ ُة ِف الْ َفتْ َوى نَ ْو ٌع ِم َن الْ َج ْهلِ َوالْ ُخ ْرق‬


Kado untuk Nadirsyah Hosen
14 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
“Ketergesa-gesaan dalam berfatwa merupakan jenis kebodohan dan kebingungan.” (Al-Baihaqi, Al-
Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ’ (atsar no. 817); Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah (I/306))
Para ulama pun menjadikan hadits yang agung di atas sebagai bisyârah tegaknya kembali
periode Khilafah di atas manhaj kenabian, dimana hadits yang agung ini mengandung informasi
penting mengenai lima periode kepemimpinan politik yang akan dialami oleh kaum Muslim
sejak masa kenabian, yakni:
1. Periode Kenabian (Nubuwwah);
2. Periode Khilafah yang Tegak di Atas Manhaj Kenabian (Khilâfat[an] ’alâ Minhâj al-Nubuwwah);
3. Periode Penguasa yang Zhalim (Mulk[an] ‘Âdhdh[an]);
4. Periode Penguasa yang Diktator (Mulk[an] Jabriyyat[an]);
5. Periode Khilafah yang Tegak di Atas Manhaj Kenabian (Khilâfat[an] ’alâ Minhâj al-Nubuwwah)
Ketiga, Lalu, bagaimana penjelasan para ulama soal hadits ini?
Menurut hadits yang agung ini, periode pertama kekhilafahan pasca masa kepemimpinan
politik nubuwwah adalah periode khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adalah periode Khilafah
yang mengikuti manhaj kenabian dalam mengatur urusan umat (siyâsah). Al-Mulla Ali al-Qari
(w. 1014 H) dalam Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh (VIII/3376) menjelaskan bahwa
makna ’alâ minhâj al-nubuwwah, yakni metode kepemimpinan yang sesuai dengan manhaj
kenabian; tegak di atas asas al-Qur’an dan al-Sunnah, serta berpegang teguh padanya dengan
menegakkan keadilan.
Hadits ini pun menunjukkan secara jelas penggunaan istilah khilafah untuk mewakili sistem
pemerintahan Islam, ia adalah penyebutan (al-ism) yang memiliki landasan nushûsh syar’iyyah
secara jelas (sharîh[an]) dari al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan istilah yang semata-mata digagas
oleh para ulama Islam, yang menggambarkan adanya konsepsi pemerintahan dalam Islam,
dalam bahasa para ulama yakni: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm.
Para ulama sepakat bahwa periode Khilafah Rasyidah adalah periode Khilafah yang berjalan
di atas manhaj kenabian, yakni periode: Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah Umar bin
al-Khaththab, Khalifah ’Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhum-,
sebagian ulama -salah satunya Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam
al-Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh (hlm. 38)- menambahkan masa kekhilafahan Khalifah al-
Hasan bin Ali r.a. yang berjalan selama enam bulan, termasuk masa khilafah yang mengikuti
manhaj kenabian, sehingga hitungannya genap menjadi tiga puluh tahun.
Al-Mulla Ali al-Qari ketika menjelaskan hadits ini menukil dalil hadits, dari Safinah r.a. ia
berkata: Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«‫ ث ُ َّم ُملْكًا بَ ْع َد َذلِ َك‬،‫»ال ِْخ َلفَ ُة ِف أُ َّم ِتي �ث َ َلث ُو َن َس َن ًة‬
“Kekhilafahan dalam umatku tiga puluh tahun, kemudian setelahnya masa mulk[un].” (HR. Ahmad,
Al-Tirmidzi)
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 21928), al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali menyebutkan
dalam al-Jami’ (II/775): ”Sungguh Imam Ahmad telah men-shahih-kannya”, Syaikh Syu’aib al-
Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”; Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2226), Abu Isa
mengomentari: “Ini hadits hasan”.
Hadits ini, dalam perspektif cabang ilmu yang sangat mapan, ilmu balaghah (khususnya
ilmu al-ma’ani), sama sekali tak mengandung petunjuk pembatasan, dalam bahasa yang
lebih normatif, secara redaksional tak mengandung qarâ’in: qashr (pembatasan), yakni tidak

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian III)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Dalil Hadits Bisyarah Khilafah Nubuwwah 15
ada petunjuk dalam redaksinya, bahwa khilafah hanya tiga puluh tahun. Artinya, mereka yang
menerjemahkan: “kekhilafahan dalam umatku hanya tiga puluh tahun”, bisa dikatakan gegabah
karena ketidakpahamannya pada ilmu bahasa arab, atau tahu tapi jika disengaja maka termasuk
kedustaan mengatasnamakan baginda Rasulullah ‫ﷺ‬.
Kesalahan penerjemahan ini semakin jelas, tatkala kita mengembalikan hadits ini kepada
ilmunya para ulama mu’tabar:
Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (II/122),
menjelaskan bahwa Imam Ahmad berhujjah dengan hadits ini, atas kekhilafahan para khalifah
yang empat. Meski lafal hadits ini menyebutkan bahwa kekhilafahan setelah Rasulullah ‫ﷺ‬
tiga puluh tahun, namun tidak berarti bahwa setelah itu tidak ada kekhilafahan sama sekali.
Dibuktikan dengan hadirnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bahkan digolongkan para
ulama ke dalam golongan al-khulafâ’ al-râsyidîn karena keadilannya, sebagaimana ditegaskan
al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam al-Jâmi’, ini pula yang menjadi pandangan
Syaikh al-Masyayikh al-’Allamah Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam al-
Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh.
Bahkan al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (XII/696), menyebutkan
bahwa para ulama sepakat bahwa ia (Khalifah Umar bin Abdul Aziz), termasuk jajaran imam
yang adil, termasuk al-khulafâ’ al-râsyidîn dan imam yang berdiri di atas petunjuk. Ibn Katsir
lalu menggolongkannya ke dalam jajaran khalifah yang disebutkan baginda Rasulullah ‫ﷺ‬, dari
Jabir bin Samurah r.a., ia berkata: Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«‫ش َخلِي َف ًة ِم ْن قُ َريْ ٍش‬


َ َ ‫ َحتَّى يَكُو َن اث ْ َنا َع‬،‫»ل يَ َز ُال ال ِّدي ُن ق َِائًا‬
َ
“Urusan Din ini senantiasa tegak, hingga ada dua belas khalifah, seluruhnya dari keturunan
Quraysyi.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad. Lafal Ahmad)
HR. Muslim dalam Shahih-nya; Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4281); Ahmad dalam
Musnad-nya (no. 20805), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits shahih, ini isnadnya
hasan, al-Muhajir bin Mismar shaduq husn al-hadits, para perawi selainnya perawi isnad tsiqat,
perawi shahih.” Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika menukil hadits tentang ini pun mengomentarinya
sebagai hadits shahih.
Dengan kata lain, hadits yang mengabarkan masa tiga puluh tahun kekhilafahan di atas,
tak lantas menegasikan kemungkinan tegaknya kembali sistem khilafah. Karena lafal khilafah
dalam hadits “khilafah 30 tahun” ini merupakan lafal muthlaq yang di-taqyîd (dibatasi) oleh
hadits hudzaifah “khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah”, berdasarkan kaidah ushul:

َ ‫الْ ُمطلق ي ْجرِي عىل إِط َْلقه َما مل يقم َدلِيل التَّ ْقيِيد نصا أَو‬
‫دللَة‬
Lafal muthlaq tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya, baik dalil
berupa nas maupun dilâlah.
Kaidah ini, banyak disebutkan para ulama ushul, salah satunya Syakh Ahmad al-Zarqa, Syarh
al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (hlm. 323). Artinya, kehilafahan yang berjalan selama tiga puluh tahun
adalah khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adapun era pemerintahan setelahnya tetap dinilai
para ulama mengadopsi sistem khilafah, namun bukan khilâfah yang ideal berjalan di atas
manhaj kenabian (‘alâ minhâj al-nubuwwah), hingga datang masa mulk[an] jabriyyat[an] yakni
periode adanya para penguasa diktator yang menyalahi syari’ah pasca runtuhnya Khilafah
’Utsmaniyyah pada tahun 1924 M.

Kado untuk Nadirsyah Hosen


16 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Dan periode terakhir adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.
Ini merupakan bisyârah (berita gembira) akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya.
Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Jika riwayat ini digabung dengan
riwayat lain yang semakna, yaitu riwayat akan masuknya Islam di setiap rumah, hadits al-waraq
al-mu’allaq, hadits Khilafah turun di bumi al-Quds, hadits mengenai Dâr al-Islâm kaum Mukmin
berpusat di Syam, hadits hijrah setelah hijrah, hadits al-ghurabâ’, hadits al-mahdi, dan hadits
akan ditaklukkannya Roma, maka makna tersebut bahkan bisa sampai pada tingkat mutawatir
(Muhammad al-Syuwaiki, Al-Tharîq ilâ Daulat al-Khilâfah; Hafizh Abdurrahman, Khilafah Islam
dalam Hadist Mutawatir bi al-Ma’na, Bogor: al-Azhar Press, Cet. I, 1424 H/2003).
Di antara para ulama dan tokoh mu’ashirin yang menegaskan khabar tegaknya kembali
Khilafah di atas manhaj kenabian adalah: Al-Qadhi al-’Allamah Taqiyuddin bin Ibrahim al-
Nabhani (w. 1397 H), al-’Allamah Abdul Qadim Zallum, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu al-
Rasytah, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Dr. Thariq Suwaidan, dan lainnya, termasuk para penyusun
buku-buku kajian Islam yang merekam akhbâr akhir zaman, semisal Syaikh Abu al-Asybal Hasan
al-Zuhairi dalam kajian Syarh Shahîh Muslim, yang menjawab pertanyaan: “Apakah kekhilafahan
di atas manhaj kenabian akan muncul pada era kekhilafahan Imam al-Mahdi atau sebelumnya?”
Abu al-Asybal menjawab, bahwa yang rajih, bumi akan dilingkupi oleh kekhilafahan sebelum
era Imam al-Mahdi dan turunnya Nabi Isa a.s., dalam kajian berbahasa arab yang disebarkan
oleh islamweb.net.
Kalimat khilâfat[an] ‘alâ minhâj al-nubuwwah mengandung petunjuk adanya manhaj kenabian
dalam mengatur masyarakat. Hal itu ditegaskan para ulama yang menyifatinya sebagai manhaj
siyasi yang tegak di atas fondasi akidah Islam dan mengatur masyarakat dengan aturan syari'at
Islam dalam setiap aspek kehidupan. Menariknya dalam kajian kebahasaan, kalimat (baca: syibh
al-jumlah) “’alâ minhâj al-nubuwwah” merupakan sifat dari kata khilâfah, sesuai kaidah bahasa:

ٌ‫ات ِصفَات‬
ِ ‫ال ُج َم ُل بَ ْع َد ال َّن ِك َر‬
“Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.” (Ibn Hisyam, Mughnî al-Labîb
‘an Kutub al-A’ârîb (hlm. 560))
Kalimat-kalimat (al-jumal) yang dimaksud dalam kaidah ini termasuk bentuk “syibh al-jumlah”
seperti ungkapan ’alâ minhâj al-nubuwwah, yang termasuk syibh al-jumlah karena didahului
huruf jarr (‘alâ) diikuti kata benda yang di-majrur yakni minhaj, di sisi lain kata benda yang
disifatinya adalah kata benda tanpa alif lâm, yakni nakirah berupa kata khilâfat[an]. Sehingga
menunjukkan secara jelas bahwa manhaj kenabian merupakan manhaj istimewa bagi sistem
kekhilafahan yang wajib ditegakkan, menegaskan adanya kebakuan dan keistimewaan sistem
pemerintahan dan tata kelola kenegaraan dalam Islam.
Apa makna khilafah ini? Al-Imam al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam Mirqât al-Mafâtîh

Syarh Misykât al-Mashâbîh (VIII/3376), menjelaskan:

‫ طريقتها الصورية واملعنوية‬:‫)عىل منهاج النبوة) أي‬


“(Di atas manhaj kenabian) yakni metodenya yang tersurat dan tersirat.”
Yakni salafuna al-shalih meneladani metode kenabian dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat. Metode kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam memelihara
urusan Din ini, dan mengatur urusan dunia dengan akidah Islam sebagai fondasinya, dan
syari'at Islam sebagai aturannya sebagaimana ditegaskan para ulama.

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian III)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Dalil Hadits Bisyarah Khilafah Nubuwwah 17
Hadits Pendukung: Hadits Membentangnya Kekuasaan Kaum Muslim Ke
Seluruh Penjuru Dunia
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«،‫ َوإِ َّن أُ َّم ِتي َس َي ْبلُ ُغ ُملْ ُك َها َما ُز ِو َي ِل ِم ْن َها‬،‫ فَ َرأَيْ ُت َمشَ ا ِرقَ َها َو َمغَا ِربَ َها‬،‫إِ َّن الل َه َز َوى ِ َل ْالَ ْر َض‬
ُ ‫» َوأُ ْع ِط‬
‫ ْالَ ْح َم َر َو ْالَبْ َيض‬: ِ‫يت الْ َك ْن َزيْن‬
“Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku ‎sehingga aku
bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang
telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku darinya, dan aku dianugerahi dua pembendaharaan
yakni merah (emas) dan putih (perak).” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi)
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) menguraikan bahwa makna kalimat zawâlî al-ardha, yakni
menguasainya dan menyatukannya. Dimana beliau pun meluruskan asumsi keliru sebagian
orang yang memahami frasa minhâ (darinya) dalam hadits di atas, maknanya bukan bermakna
sebagian dari kekuasaan diraih Rasulullah ‫ ﷺ‬tersebut (al-tab’îdh), melainkan keseluruhan
darinya, dari Timur hingga Barat, namun diraih dan ditaklukkan secara bertahap, juz[an] juz[an]
(bagian demi bagian), hingga menguasai seluruhnya.1 Mencakup dua pembendaharaan bumi,
dengan bahasa kiasan (majazi): al-ahmar yakni emas, dan al-abyadh yakni perak.2
Al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi’i (w. 676 H) menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat
isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) sebagian besarnya dari arah
Timur dan Barat, inilah yang telah terjadi. Adapun dari arah Selatan dan Utara maka itu lebih
kecil jika dibandingkan dengan arah Timur dan Barat.3 Dalam hal ini, maksud di balik kalimat
“Timur dan Barat” adalah bahasa kiasan dari keseluruhan penjuru bumi mencakup Timur, Barat,
Utara dan Selatan, ini merupakan penyebutan sebagian (dzikr al-juz’i) namun yang dimaksud
adalah keseluruhannya (irâdat al-kull), dipilih diksi “Timur dan Barat” karena diksi ini mewakili
cakupan keseluruhan penjuru bumi, cakupannya lebih panjang daripada garis Utara - Selatan.
Kata zuwiya (‫ ) ُزو َِي‬merupakan bentuk kata kerja pasif (mabnî li al-majhûl) yang berkonotasi
jumi’a (‫ ) ُج ِم َع‏‬yakni dikumpulkan4, oleh siapa? Yakni oleh Allah untuk Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dan
umatnya, ini menguatkan keyakinan bahwa kekhilafahan bagi umat ini hakikatnya merupakan
nashruLlâh yakni pertolongan Allah, yang harus dijemput dengan iman dan amal shalih, salah
satunya adalah dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, sesuai
dengan metode yang dicontohkan Rasulullah ‫ﷺ‬. Informasi agung dan kabar gembira dalam
hadits ini, diawali dengan penegasan (taukîd) lafal inna (َّ‫ )إِن‬yang berfaidah menafikan adanya
keraguan atas kebenaran hal yang diinformasikan.
Ini didukung oleh hadits-hadits lainnya yang menggambarkan penaklukkan Kota
Konstantinopel dan Roma, dimana penaklukkan Konstantinopel telah terealisasi, hadits pusat
Dar al-Islam di negeri Syam, hadits 12 orang Khalifah dari Quraysyi, dan hadits Imam al-Mahdi
dibai’at sebagai khalifah, dan lain sebagainya. Seluruhnya menunjukkan kesimpulan akan tegak
kembali kekhilafahan kaum Muslim di akhir zaman. Sekaligus meruntuhkan asumsi prematur
dari para penolak Khilafah.[]

‫والله أعلم بالصواب‬

1 Abu Sulaiman al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan: Syarh Sunan Abi Dâwud, juz IV, hlm. 339.
2 Ibid. lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
3 Al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
4 Al-Husain bin Mahmud al-Zaidani al-Muzhhiri, Al-Mafâtîh fî Syarh al-Mashâbîh, Kuwait: Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1433 H, juz VI, hlm. 9,
lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.

Kado untuk Nadirsyah Hosen


18 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Bisyarah
Tegaknya Khilafah
di Akhir Zaman
Bagian

IV
Kritik Atas Narasi Nadirsyah:
Hadits Khilafah 30 Tahun
Nadirsyah mengklaim:

Sebagian kitab Tafsir mengatakan janji ini telah tuntas dipenuhi


Allah pada masa Nabi Muhammad dan al-Khulafa ar-Rasyidun
(Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Lihat Ibn Katsir (6/77),
Bahrul Ulum (2/52), al-Baghawi (3/426), al-Kasyaf (3/521), al-
Baydhawi (4/112), an-Nasafi (2/515), Dar al-Mansur(6/215).
Alasan mereka adalah adanya Hadits Sahih dimana Nabi
mengatakan kekhilafahan itu hanya berlansung selama 30
tahun. Dan itu terpenuhi dalam periode al-Khulafa ar-Rasyidun.

Maka saya katakan:


Pertama, Hadits yang menyebutkan Khilafah 30 tahun yakni
hadits berikut ini: Dari Safinah r.a. ia berkata: Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda:

«‫ ث ُ َّم ُملْكًا بَ ْع َد َذلِ َك‬،‫»ال ِْخ َلفَ ُة ِف أُ َّم ِتي �ث َ َلث ُو َن َس َن ًة‬
“Kekhilafahan dalam umatku tiga puluh tahun, kemudian setelahnya
masa mulk[un].” (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi)

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian IV)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Hadits Khilafah 30 Tahun 19
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 21928), al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali menyebutkan
dalam al-Jami’ (II/775): ”Sungguh Imam Ahmad telah men-shahih-kannya”, Syaikh Syu’aib al-
Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”; Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2226), Abu Isa
mengomentari: “Ini hadits hasan”.
Hadits ini, secara jelas menyebutkan lafal al-khilâfah, artinya sudah wajib diakui bahwa istilah
(ism) Khilafah itu secara qauli disebutkan dalam lisan salafunâ al-shâlih, untuk menggambarkan
konsep (musamma) dari kepemimpinan negara yang sifatnya baku dan khas, kebakuan ini jelas
ditunjukkan baik oleh nas-nas syar’iyyah dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang sifatnya qauliyyah
maupun fi’liyyah dalam sunnah baginda Rasulullah ‫ﷺ‬, ditegaskan oleh sunnah para khulafa’
rasyidun.
Kedua, Para ulama sepakat bahwa periode Khilafah Rasyidah adalah periode Khilafah yang
berjalan di atas manhaj kenabian, yakni periode: Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah Umar
bin al-Khaththab, Khalifah ’Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhum-,
sebagian ulama -salah satunya Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam al-
Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh (hlm. 38) menambahkan masa kekhilafahan Khalifah al-Hasan
bin Ali r.a. yang berjalan selama enam bulan, termasuk masa khilafah yang mengikuti manhaj
kenabian, sehingga hitungannya genap menjadi tiga puluh tahun. Al-Mulla Ali al-Qari ketika
menjelaskan hadits khilafah ’ala minhaj al-nubuwwah pun menukil hadits dari Safinah r.a. ini,
menguatkan pembuktian bahwa para ulama mu’tabar menafsirkan hadits 30 tahun, maksudnya
adalah khilafah di atas manhaj kenabian periode pertama, yakni kekhilafahan khulafa’ rasyidun.
Ketiga, Benarkah maknanya membatasi khilafah itu secara mutlak hanya 30 tahun dan tidak
akan tegak lagi kekuasaan kaum Muslim?
Maka saya katakan:
Itu adalah kesimpulan prematur, yang menyalahi ilmunya para ulama rabbani.

a. Perspektif Ilmu Bahasa Arab


Hadits ini, dalam perspektif cabang ilmu yang sangat mapan, ilmu balaghah (khususnya ilmu al-
ma’ani), sama sekali tak mengandung petunjuk pembatasan, dalam bahasa yang lebih normatif,
secara redaksional tak mengandung qarâ’in (indikasi-indikasi) dari qashr (pembatasan), yakni
tidak ada petunjuk dalam redaksinya, bahwa khilafah hanya tiga puluh tahun. Artinya, mereka
yang menerjemahkan: “kekhilafahan dalam umatku hanya tiga puluh tahun”, bisa dikatakan
gegabah karena kelalaiannya, atau bisa jadi karena ketidakpahamannya pada ilmu bahasa arab,
atau bahkan tahu ilmunya tapi sengaja menambahkan apa yang sebenarnya tidak ada, dan jika
disengaja maka termasuk kedustaan mengatasnamakan baginda Rasulullah ‫ﷺ‬. Hendaknya
ingat dengan sabda yang mulia baginda Rasulullah ‫ﷺ‬:

«ِ‫ فَلْ َيتَ َب َّوأْ َم ْق َع َد ُه ِم َن ال َّنار‬،‫ل ُمتَ َع ِّم ًدا‬


َّ َ ‫» َم ْن كَذ ََب َع‬
“Siapa saja yang berdusta atas nama diriku, maka hendaknya ia mengambil tempatnya di neraka.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Dalam redaksi hadits khilafah 30 tahun, sama sekali tidak ada misalnya lafal innamâ, atau
bentuk nafi yang diikuti dengan istitsna, itupun jika ada bisa jadi qashr-nya tidak mutlak, dalam
ilmu balaghah diistilahkan qashr idhafi. Bagaimana jadinya jika tak ada sama sekali redaksi
qashr-nya? Lebih fatal lagi jika kesalahan penerjemahan ini, dijadikan dalih untuk anti pada
perjuangan penegakkan Khilafah. Menariknya, kesalahan penerjemahan ini semakin jelas,
tatkala kita mengembalikan hadits ini kepada ilmunya para ulama mu’tabar, yang membuktikan
lagi bahwa Nadirsyah tampak gagal memahami tafsiran para ulama soal QS. Al-Nûr [24]: 55
yang menafsirkannya pada masa Khulafa Rasyidun.

Kado untuk Nadirsyah Hosen


20 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
b. Perspektif Ilmu Ushul FIkih
Lafal khilafah dalam hadits “khilafah 30 tahun” ini merupakan lafal muthlaq yang di-taqyîd
(dibatasi) oleh hadits hudzaifah “khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah”, berdasarkan kaidah ushul:

َ ‫الْ ُمطلق ي ْجرِي عىل إِط َْلقه َما مل يقم َدلِيل التَّ ْقيِيد نصا أَو‬
‫دللَة‬
Lafal muthlaq tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya, baik dalil
berupa nas maupun dilâlah.
Kaidah ini, banyak disebutkan para ulama ushul, salah satunya Syakh Ahmad al-Zarqa, Syarh
al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (hlm. 323). Artinya, kehilafahan yang berjalan selama tiga puluh tahun
adalah khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adapun era pemerintahan setelahnya tetap dinilai
para ulama mengadopsi sistem khilafah, namun bukan khilâfah yang ideal berjalan di atas
manhaj kenabian (‘alâ minhâj al-nubuwwah), hingga datang masa mulk[an] jabriyyat[an] yakni
periode adanya para penguasa diktator yang menyalahi syari’ah pasca runtuhnya Khilafah
’Utsmaniyyah pada tahun 1924 M.

c. Penjelasan Para Ulama Mu’tabar


Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (II/122), menjelaskan
bahwa Imam Ahmad berhujjah dengan hadits ini, atas kekhilafahan para khalifah yang empat.
Meski lafal hadits ini menyebutkan bahwa kekhilafahan setelah Rasulullah ‫ ﷺ‬tiga puluh
tahun, namun tidak berarti bahwa setelah itu tidak ada kekhilafahan sama sekali. Dibuktikan
dengan hadirnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bahkan digolongkan para ulama ke
dalam golongan al-khulafâ’ al-râsyidîn karena keadilannya, sebagaimana ditegaskan al-Hafizh
Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam al-Jâmi’, ini pula yang menjadi pandangan Syaikh al-
Masyayikh al-’Allamah Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam al-Munâjât Syarh
Safînat al-Shalâh.
Bahkan al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (XII/696), menyebutkan
bahwa para ulama sepakat bahwa ia (Khalifah Umar bin Abdul Aziz), termasuk jajaran imam
yang adil, termasuk al-khulafâ’ al-râsyidîn dan imam yang berdiri di atas petunjuk. Ibn Katsir
lalu menggolongkannya ke dalam jajaran khalifah yang disebutkan baginda Rasulullah ‫ﷺ‬, dari
Jabir bin Samurah r.a., ia berkata: Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«‫ش َخلِي َف ًة ِم ْن قُ َريْ ٍش‬


َ َ ‫ َحتَّى يَكُو َن اث ْ َنا َع‬،‫»ل يَ َز ُال ال ِّدي ُن ق َِائًا‬
َ
“Urusan Din ini senantiasa tegak, hingga ada dua belas khalifah, seluruhnya dari keturunan
Quraysyi.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad. Lafal Ahmad)
HR. Muslim dalam Shahih-nya; Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4281); Ahmad dalam
Musnad-nya (no. 20805), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits shahih, ini isnadnya
hasan, al-Muhajir bin Mismar shaduq husn al-hadits, para perawi selainnya perawi isnad tsiqat,
perawi shahih.” Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika menukil hadits tentang ini pun mengomentarinya
sebagai hadits shahih.
Hadits 12 khalifah di atas memperjelas kesalahan pembatasan kekhilafahan hanya 30
tahun saja, bahkan ulama besar, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya,
Târîkh al-Khulafâ’ (Sejarah Para Khalifah), ketika menjelaskan hadits 12 orang khalifah ini
mencirikan khilafah yang unggul dengan keadilannya, al-Suyuthi menyebutkan perincian: 4
orang Khulafa' Rasyidun, al-Hasan bin Ali, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Ibn Zubayr, Umar bin Abdil
Aziz, diduga juga termasuk: Al-Muhtadi dan Al-Zhahir, seluruhnya ada sepuluh, sisa dua khalifah
lagi menurut beliau masih sedang dalam penantian (‫)وبقي االثنان املنتظران‬, di mana salah satunya

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian IV)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Hadits Khilafah 30 Tahun 21
adalah al Mahdi. Terjemahan tepatnya:
Aku (al-Hafizh al-Suyuthi) berkata: Berdasarkan hal tersebut (berlakunya hadits 12 Khalifah hingga
Hari Kiamat) maka, telah dijumpai dari dua belas Khalifah tersebut adalah: Para khalifah yang empat
(al-Khulafa` al-Rasyidun), al-Hasan, Mu'awiyah, Ibn al-Zubayr, dan 'Umar bin 'Abdil 'Aziz; mereka
sudah berjumlah delapan. Boleh jadi juga termasuk ke dalamnya adalah: al-Muhtadi dari kalangan
Bani 'Abbasiyyah, karena beliau di kalangan mereka bagaikan 'Umar bin 'Abdil 'Aziz di kalangan Bani
Umayyah; dan juga: al-Zhahir, dikarenakan sifat adilnya. Tersisalah dua orang Khalifah lagi yang
sedang dalam penantian; salah satunya adalah al-Mahdi, karena ia dari keluarga Muhammad ‫ﷺ‬.
Dalam referensi lainnya, kekhilafahan sahabat Mu’awiyyah r.a. yang mengawali era Khilafah
Umayyah pun ditegaskan oleh ulama besar madzhab Maliki, al-Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi
al-Maliki (w. 543 H) dan ulama besar madzhab Hanbali, al-Qadhi Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458 H)
sebagai KHILAFAH yang sah secara syar’i. Imam Abu Ya’la misalnya dalam Al-Mu’tamad fî Ushûl
al-Dîn (hlm. 239) menegaskan:

‫وأما خالفته فثابتة ومدتها تسع عرشة سنة وشهو ًرا‬


Adapun kekhilafahan Mu’awiyyah r.a. maka telah tetap (sah) dan tempo waktunya selama sembilan
belas tahun beberapa bulan.
Meskipun estafeta kepemimpinan periode ini berada dalam daur kekerabatan (’Umayyah,
’Abbasiyyah dan ’Utsmaniyyah), keabsahan setiap khalifah pada periode ini tetap kembali pada
bai’at syar’i umat atas mereka, dimana para ulama pun menegaskan bai’at sebagai metode
syar’i pengangkatan khalifah. Sehingga status mereka bukan raja dengan sistem khas monarki
konstitusional, melainkan khalifah dengan sistem khilafah, ini merupakan realitas yang
disepakati para ulama. Ulama mujtahid yang menguasai banyak disiplin ilmu syar’i, al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dalam pengantar kitabnya, Târîkh al-Khulafâ’ (Sejarah Para
Khalifah) (hlm. 11) menegaskan:

‫إمنا ذكرت الخليفة املتفق عىل صحة إمامته و عقد بيعته‬


“Aku hanya menyebutkan khalifah yang telah disepakati keabsahan imâmah-nya dan keabsahan
akad bai’atnya.”
Bahkan sebelumnya, al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) (hlm. 12) menyifati mereka (secara
umum) dengan julukan al-khulafâ’ umarâ’ al-mu’minîn (para khalifah yang menjadi pemimpin
orang-orang beriman):

‫فهذا تاريخ لطيف ترجمت فيه الخلفاء أمراء املؤمنني القامئني بأمر األمة من عهد أيب بكر‬
‫الصديق ريض الله عنه إىل عهدنا هذا عىل ترتيب زمانهم األول فاألول‬
Ini merupakan sejarah yang mulia, aku uraikan didalamnya biografi al-khulafâ’ umarâ’ al-
mu’minîn (para khalifah yang merupakan para pemimpin orang-orang beriman), yang memelihara
urusan umat ini, dari semenjak masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. sampai dengan masa
khalifah di masa ini (di masa al-Suyuthi masih hidup), secara berurutan pada setiap masa mereka,
yang pertama maka diurutkan pertama (demikian seterusnya).
Al-Hafizh al-Suyuthi itu sendiri, hidup sekitar periode terakhir pemerintahan era Khilafah
‘Abbasiyyah, yakni hidup di antara tahun 849-911 H/ 1445-1505.

Kado untuk Nadirsyah Hosen


22 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
No Nama Khalifah Masa Pemerintahan
1 Al-Mustakfi Billah II 845-854 H/1446-1455 M
2 Al-Qa’im Biamrillah 754-859 H/1455-1460 M
3 Al-Mustanjid Billah 859-884 H/1460-1485 M
4 Al-Mutawakkil ‘AlaLlah 884-893 H/1485-1494 M
5 Al-Mutamassik Billah 893-914 H/1494-1515 M

Maka jelas secara faktual, Khilafah terus berlanjut sampai diruntuhkan oleh penjajah Barat
tahun 1924 M. Meskipun diakui bahwa selama rentang waktu tersebut terjadi penyimpangan
dan keburukan penerapan Islam di sana-sini. Jadi, periode tersebut adalah periode pemerintahan
dan kekuasaan yang di dalamnya terjadi kazhaliman, yaitu peyimpangan dan keburukan
penerapan sistem dalam beberapa sektor.
Artinya, klaim bahwa kekhilafahan hanya 30 tahun adalah klaim prematur yang sama sekali
tak ilmiah. Dengan demikian, hadits yang mengabarkan masa tiga puluh tahun kekhilafahan
di atas, sama sekali tak bisa digunakan sebagai dalil untuk menegasikan tegaknya kembali
sistem khilafah, diperkuat penjelasan dalam perspektif ilmu bahasa arab dan ilmu ushul fikih
di atas. Dan semakin terang benderang tatkala dijamak dengan hadits-hadits lainnya yang
mengabarkan tegaknya kekhilafahan di akhir zaman.

Kesimpulan
Dari keseluruh penjelasan bagian I s.d. IV, mencakup: Bag I Kritik Atas Asumsi Dasar Nadirsyah
Hosen; Bag II Koreksi Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55; Bag III Koreksi Atas
Narasi Nadirsyah Soal Hadits Khilafah di Atas Manhaj Kenabian; Bag IV Koreksi Atas Narasi
Nadirsyah Soal Bisyarah Khilafah [Hadits Khilafah 30 Tahun]. Dapat disimpulkan bahwa al-
Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah merupakan bisyarah nabawiyyah yang akan tegak kembali
di akhir zaman, yang sekaligus menunjukkan kesalahan Nadirsyah Hossen membangun
kesimpulan menegasikan tegaknya kembali khilafah di akhir zaman, dan terbukti salah atas
tuduhannya terhadap perjuang Khilafah dalam persoalan ini, silahkan ditela’ah, wa biLlâhi al-
taufîq.[]

‫والله أعلم بالصواب‬

Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bagian IV)


Kritik Atas Narasi Nadirsyah: Hadits Khilafah 30 Tahun 23
CATATAN TAMBAHAN PENYUNTING

APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF?


(Tanggapan atas Klaim Nadirsyah Hosen)

Nadirsyah menuding bahwa hadits hadits Tsiqqat.” Adapun dalam kitab yang lebih kecil,
tentang kembalinya khilafah statusnya Taqrib al-Tahdzib Ibnu Hajar berkata, “la ba’sa
dha’if karena sanadnya lemah dan bihi.“
bermasalah. Sebenarnya sebelum kami, ada
Tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim
yang telah menulis bantahan terkait topik
ditsiqahkan oleh sebagian ulama jarh wa
ini. Namun tak salah penulis memberikan
ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian
tanggapan secara lebih fokus dan jelas
lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara
pada aspek kritik sanad hadits.
ketika menilai rawi bernama Habib bin
Jikia tuduhan diarahkan pada aspek kritik Salim. Seharusnya adil dan objektif meneliti
matan, sangatlah lemah dan sama sekali setiap ungkapan tersebut.
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun
Lalu benarkah rawi yang dinilai "fihi nazhar"
terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-
oleh Imam al-Bukhari sudah pasti dha’if?
gesa, dan membuktikan yang bersangkutan
Memang pada keumumannya, "fihi nazhar"
awam terhadap ilmu hadits, khususnya ilmu
itu berkaitan dengan penilaian jarh dari
al-jarh wa al-ta’dil. Masih menurut Nadirsyah
Imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh
dalam catatan terdahulunya, bahwa hadits
ringan. Tapi tidak sesederhana itu. Tidak
yang dijadikan landasan utama oleh pendiri
bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang
HT itu jika dilakukan penelaahan akan
terdapat rawi yang dinilai "fihi nazhar".
tampak jelas bahwa dalam perspektif kritik
sanad hadits tersebut ternyata ada seorang Ungkapan "fihi nazhar" tergantung qarinah-
rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari qarinahnya (indikasi-indikasinya). Qarinah
yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya
(terpercaya). Alasannya adalah karena sebagian pihak tergesa-gesa memutlakan
Habib bin Salim mendapatkan penilaian kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada
yang negatif (al-jarh) dari Imam Bukhari rawi yang dinilai "fihi nazhar" oleh Imam
yang menilainya “fihi nazhar”, dan juga al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-
komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama
dia menyimpulkan, dengan demikian hadits jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi
tentang kekuasaan khilafah Islamiyyah yang dikomentari "fihi nazhar".
tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
"Fihi nazhar" seperti ungkapan hipotesis
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib al- dari seorang peneliti, bahwa rawi ini perlu
Tahdzib berkata, “Abu Hatim berkata tsiqah, diperhatikan atau diteliti lebih lanjut. Tetapi
al-Bukhari berkata fihi nazhar, Ibnu Adi yang jelas, Imam al-Bukhari tidak sedang
berkata laisa fi mutun ahaditsihi hadits[un] menunjukkan ta’dil dengan ungkapan
munkar bal qad idhtharaba fi asanidi ma tersebut, melainkan jarh ringan yang
ruwiya ‘anhu (pada matan-matan haditnya masih membuka ruang interpretasi para
tidak ada hadits munkar, tapi telah terjadi nuqqad (kritikus hadits). Termasuk potensi
idhthirab pada sanad-sanad (hadits) yang jarh syadid (penilaian negatif yang parah)
diriwayatkan darinya).” Kemudian al-Hafizh bahkan ta’dil, ketika pada tempat lain Imam
berkata, “saya nyatakan, bahwa al-Ajiri al-Bukhari menerimanya.
berkata dari Abu Dawud bahwa ia tsiqah, dan
Bahkan ada yang mengajukan pendapat
Ibn Hibban menyebutkan dalam (kitab) al-
bahwa ungkapan "fihi nazhar" bermakna

Kado untuk Nadirsyah Hosen


24 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
pertengahan, dengan alasan ungkapan al- Secara jelas Imam al-Bukhari
Hafizh Ibnu Hajar saat membahas Abu Balj menyebutkan sendiri dengan indikasi
di kitab Badzlu al-Ma'un fi Fadhli al-Tha'un jarh (‫)ال يحتمل‬.
hlm. 117:
2. Imam al-Bukhari menyebutkan dalam
biografi Suwaid bin Abdul Aziz bin
‫وقال البخاري فيه نظر وهذه عبارته فيمن‬ Numair al-Sulamiy Abi Muhammad al-
‫يكون وسطا‬ Dimasqi (al-Dhu'afa al-Shaghir, hlm. 57;
lihat Tahdzib al-Tahdzib, 4/242):
Menurut sebagian kalangan, penilaian
imam al-Bukhari "fihi nazhar" untuk Abu ‫فيه نظر ال يحتمل‬
Balj bukan jarh yang sifatnya menjatuhkan.
Namun bermakna bahwa Imam al-Bukhari Imam al-Bukhari menyebutkan sendiri
memiliki sedikit keraguan terhadapnya. dengan indikasi jarh (‫ )ال يحتمل‬sebagaimana
Bisa jadi Imam al-Bukhari menilai Abu yang disebutkan sebelumnya.
Balj shaduq, namun ada sedikit keraguan 3. Al-Khathib al-Baghdadi (Tarikh Baghdad,
terhadapnya. 2/25; lihat Taghliq al-Ta'liq, 2/10; dan
Buktinya, Imam al-Bukhari berhujjah dengan al-Hady, 481) dengan sanad kepada
keterangan Abu Balj saat membahas rawi Abu Ja'far Muhammad bin Abi Hatim,
lain. Dalam biografi Muhammad bin Hatib bahwasannya dia berkata: Muhammad
al-Qurasyi di Tarikh al-Kabir (1/18), Imam al- bin Ismail (al-Bukhari) ditanya tentang
Bukhari berhujjah dengan ini: informasi suatu hadits, maka al-Bukhari
berkata:
...‫َح َّدث َ َنا أَبُو بلج ق ََال لنا ُم َح َّمد بْن حاطب‬
‫يا أبا فالن! تراين أدلس وقد تركت عرشة‬
‫ولدت ِف الهجرة األوىل بالحبشة‬.
‫ وتركت مثلها‬،‫آالف حديث لرجل فيه نظر‬
Hanya saja, saya sedikit keberatan ketika
dikatakan bahwa asal dari istilah "fihi
‫أو أكرث منها لغريه يل فيه نظر‬.
nazhar" itu adalah pertengahan jarh dan
Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa
ta’dil. Dengan alasan: (1) Itu sangat kasuistik
beliau meninggalkan hadits yang di
tergantung rawi yang ditelitinya; (2) makna
dalamnya ada rawi yang dinilai "fihi
pertengahan adalah interpretasi al-Hafizh
nazhar".
Ibnu Hajar pada kasus tertentu. Adapun
interpretasi ulama lainnya berbeda; (3) Dengan demikian, dugaan awal atau
adanya penjelasan langsung dari Imam al- hipotesis dari ungkapan "fihi nazhar"
Bukhari tentang "fihi nazhar". adalah cela ringan. "Fihi nazhar" ini masih
membuka ruang penelitian. Imam al-
Berikut ini adalah penjelasan Imam al-
Bukhari sendiri adakalanya menolak dan
Bukhari terhadap istilah "fihi nazhar":
adakalanya menerima rawi yang dinilai "fihi
1. Dalam kitab Tahdzib al-Kamal (hlm. 544), nazhar". Demikian juga dengan penilaian
al-Mizzi menyebutkan: para ulama hadits lainnya, seperti Yahya
bin Ma'in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-
‫قال الحافظ أبو محمد عبد الله ابن أحمد‬ beda tergantung rawi yang ditelitinya.

‫ قال البخاري‬:‫بن سعيد بن يربوع اإلشبييل‬ Ringkasnya, "fihi nazhar" memberikan


peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab
‫ كل من مل أبني فيه جرحة‬: ‫يف التاريخ‬ hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang
yang sangat lebar.
‫ وإذا قلت فيه نظر فال‬،‫فهو عىل االحتامل‬
‫يحتمل‬.
Catatan
Tambahan Penyuntin
25
Istilah yang tercakup dalam bahasan ‫فيه نظر‬
diantaranya adalah:
‫بن سامل عن النعامن بن بشري أن النبي‬
‫صىل الله عليه وسلم كان يقرأ يف العيدين‬
‫ منكر‬،‫ يف إسناده نظر‬،‫يف حديثه نظر‬ ‫{س ِّب ِح ْاس َم َربِّ َك األَ ْع َل} و { َه ْل‬
َ ‫والجمعة ب‬
‫ يف صحته‬،‫ فيه بعض نظر‬،‫الحديث فيه نظر‬ ‫َاش َي ِة} ورمبا اجتمعا يف يوم‬ ِ ‫أَت ََاك َح ِديثُ الْغ‬
‫ يف إسناده نظر فيام‬،‫ إسناده فيه نظر‬،‫نظر‬ ‫فيقرأ بهام‬
،‫ يف حفظه نظر‬،‫ يف يعض حديثه نظر‬،‫يرويه‬
‫الخ‬... : ‫ فقال‬، ‫َسأل ُْت ُم َحم ًدا عن هذا الحديث‬
Para muhaddits (ahli hadits) dan para
‫هو حديث صحيح وكان ابن عيينة يروي‬
nuqqad telah meneliti persoalan ini. Mereka ‫هذا الحديث عن إبراهيم بن محمد بن‬
tidak satu suara dalam menilai rawi yang
disebutkan "fihi nazhar" atau istilah yang ‫املنترش فيضطرب يف روايته قال مرة حبيب‬
semisalnya oleh Imam al-Bukhari.
‫ َعن أَبِيه عن النعامن بن بشري‬، ‫بن سامل‬
Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai "fihi
nazhar" oleh Imam al-Bukhari. Ini baru ‫وهو وهم والصحيح حبيب بن سامل عن‬
yang "fihi nazhar". Belum lagi yang dinilai "fi
isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba'dhu
‫النعامن بن بشري‬
nazhar, dll". Untuk contoh, dalam hadits
Indikasi lainnya, meski Habib bin Salim
bisyarah nabawiyah "khilafah 'ala minhaj al-
dinilai "fihi nazhar", tapi imam al-Bukhari
nubuwah", yakni rawi bernama Habib bin
berhujjah dengan perkataan Habib bin
Salim, Maula Nu'man bin Basyir. Dalam
Salim dalam biografi Yazid bin Nu'man bin
al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2/2606), al-
Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365), al-Bukhari
Dhu'afa' al-Kabir (al-Uqaili, 2/66) dan al-
berhujjah dengan perkataan Habib bin
Kamil fi Dhu'afa al-Rijal (Ibnu Adi, 2/405),
Salim:
Imam al-Bukhari menilainya "fihi nazhar".
Imam Ibnu Adi menilai Habib bin Salim ‫ق ََال حبيب بْن سامل يزيد بن أصحاب ُع َمر‬
munkar dan idhthirab dalam sanad, tetapi
Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu ‫بْن َع ْبد العزيز‬
Hibban menilainya tsiqah. Al-Hafizh Ibnu
Hajar al-Asqalani menilai "la ba'sa bihi". Demikian juga kalau memperhatikan
(Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; al-Tsiqat, penilaian para imam nuqqad mutaqaddimin,
4/138; al-Kamil, 2/405; al-Taqrib, 1/151). semisal Imam Yahya bin Ma'in, Abu Hatim al-
Imam Muslim menggunakan dalam hadits Razi dan Ibnu Adi, ketiganya selalu berbeda
cabang sebagai mutaba'ah. Imam Ahmad dalam menilai rawi yang disebutkan "fihi
dan al-Darimi meriwayatkannya. nazhar". Mulai dari kadzdzab, munkar, syaikh,
shalih, la ba'sa bihi, hingga tsiqah. Jadi sekali
Informasi tambahan yang cukup berharga lagi, jangan tergesa-gesa.
adalah bahwa meski Habib bin Salim
dinilai "fihi nazhar", namun Imam al-Bukhari Pembahasan ini juga dibahas dalam
menilai shahih riwayat Habib bin Salim di kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa
'Ilal al-Tirmidzi no. 152, Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-
Mathbu' li al-Imam al-Bukhari ma'a Dirasah
‫ َح َّدث َنا أبو عوانة عن إبراهيم‬، ‫َح َّدث َنا قتيبة‬ Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi
Nazhar), hlm. 621-644.
‫ َعن أَبِيه عن حبيب‬، ‫بن محمد بن املنترش‬

Kado untuk Nadirsyah Hosen


26 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)
Catatan lainnya, bahwa manhaj yang bin Isma’il (maksudnya al-Bukhari) tentang
dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha Khalid bin Urfuthah maka beliau berkata:
adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih saya menahan diri terhadap hadits ini.”
suatu hadits tidak selalu disepakati semua Penjelasan al-Tirmidzi ini bisa kita gunakan
ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, untuk memahami arah ungkapan Imam al-
penilaian shahih menurut sebagian ahli Bukhari diatas.
hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai
Terkait pernyataan Imam Ibnu Adi, dalam
hujjah. Bagi para pengkaji, ini (jarh dan ta’dil)
kitab al-Kamil fi Dhua’afa al-Rijal, Ibnu
salah satu medan penelitian yang sangat
Adi berkata: “…dan untuk Habib bin Salim
penting. Kita bisa meneliti, membandingkan
hadits-hadits yang diimla’kan untuknya telah
dan mengambil suatu kesimpulan.
berbeda-beda sanadnya, meski pada matan-
Dalam menilai rawi Habib bin Salim matan haditsnya bukan hadits munkar tapi
misalnya, para ulama tidak satu suara. terjadi idhthirab sanad-sanadnya apa yang
Tetapi sebagian besar menerimanya. diriwayatkan darinya Habib bin Abi Tsabit…“.
Bahkan para ulama hadits telah menerima Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin
hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Dengan demikian tidak ada alasan
Salim, termasuk hadits bisyarah nabawiyah yang kuat untuk mendha’ifkan Habib bin
sebagaimana disebutkan di atas. Salim Al-Anshari. Adapun indikasi idhthirab
yang disampaikan oleh beliau juga bisa
Sebagaimana telah disinggung, bahwa
dijelaskan dari pernyataan al-Tirmidzi di
Habib bin Salim al-Anshari adalah salah
atas.
satu rijal dalam shahih Muslim. Imam
Muslim (II/598) meriwayatkan hadits Adapun rawi lainnya, seperti Ibrahim bin
tentang bacaan pada shalat ‘Ied dan jum’ah Dawud al-Wasithi ditsiqahkan oleh Abu
dari al-Nu’man bin Basyir, melalui sanad Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan
Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah rawi sisanya adalah para rawi yang tsiqah.
dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah
Dengan demikian adalah tidak benar
memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin
bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan
Muhamad bin al-Muntasyir dari bapaknya
datangnya khilafah itu dha’if hanya karena
dari Habib bin Muslim Maula al-Nu’man bin
sorotan pada rawi bernama Habib bin
Basyir dari al-Nu’man bin Basyir. Artinya,
Salim. Para ulama justru telah menerima
menurut Imam Muslim, Habib bin Salim
periwayatan Habib bin Salim. Adapun
al-Anshari memenuhi syarat yang telah
ungkapan “fihi nazhar” dari imam al-Bukhari
beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab
dan “idhthirab” dari Ibnu Adi sudah terjawab
shahihnya. Maka bisa dimengerti mengapa
dalam penjelasan sebelumnya.
Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib
menyatakan la ba’sa bihi. Adalah juga tidak benar bahwa hadits
bisyarah nabawiyyah akan datangnya
Imam al-Tirmidzi (IV/54) mengomentari
khilafah hanya didasarkan pada hadits
tentang hadits seorang laki-laki yang
riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-
melakukan hubungan seksual dengan
hadits lain yang secara makna sejalan
budak istrinya. Beliau berkata hadits al-
dengan hadits diatas. Misalnya hadits
Nu’man di dalam isnadnya terjadi idhthirab.
riwayat Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban
Beliau juga berkata, “saya mendengar
tentang khalifah di akhir zaman yang akan
Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata
‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung
bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib
jumlahnya. Selain itu masih banyak hadits-
bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan
hadits yang lain, misalnya hadits tentang
dari Khalid bin Urfuthah”. Dalam kitab Aun
akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis
al-Ma’bud disebutkan bahwa al-Tirmidzi
(HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Thabarani, dan
berkata, “saya bertanya pada Muhammad
al-Baihaqi).

Catatan
Tambahan Penyuntin
27
Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-
kalau menganggap bahwa perjuangan Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-
untuk menerapkan hukum Islam melalui Arna’uth, Juz 4 No. 18.430 dan dinilai shahih
khilafah hanya didasarkan pada hadits oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-
dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (2/17). Terlebih
ahmad tentang akan datangnya khilafah lagi, masih banyak hadits-hadits lain yang
adalah shahih atau minimal hasan. Hadits secara makna menegaskan hal yang sama.
[] YRT

Kado untuk Nadirsyah Hosen


28 (Sebuah Gugatan Ilmiah, Ikhtiar Meluruskan Nalar Soal Khilafah)

Anda mungkin juga menyukai