terbagi 3:
1
c. Tahap ketiga, tahap perumusan teori atau membuat
teori-teori, sehingga dapat dikatakan bersifat ilmiah.
2
kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa
berubah.
Selanjutnya yang menjadi pertentangan adalah antara
analogi dan anomali. Kaum analogi antara lain Plato dan
Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur.
Karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun
tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang dapat disusun
hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu. Sebaliknya,
kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak
teratur. Kalau bahasa itu tidak teratur mengapa bentuk
jamak bahasa Inggris child menjadi children, bukannya
childs; mengapa bentuk past tense bahasa Inggris dari write
menjadi wrote dan bukannya writed ?
Kelompok-kelompok yang termasuk dalam aliriran ini
adalah Kaum Sophis (abad ke-5 S.M), Plato (429-347 S.M),
Aristoteles (384-322 S.M), Kaum Stoik (Abad ke- 4S.M),
Kaum Alexandrian.
Kemudian dikenal lingistik zaman Romawi. Studi bahasa
pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan dari zaman
Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani dan munculnya
kerajaan Romawi. Tokoh pada zaman romawi yang
terkenal antara lain, Varro (116 – 27 S.M) dengan karyanya
De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones
Grammaticae.
Lalu, linguistik zaman Pertengahan. Studi bahasa pada
zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh
terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa Latin
menjadi Lingua Franta, karena dipakai sebagai bahasa
gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu pengetahuan.
Berikutnya, linguistik zaman Renaisans. Dalam sejarah
3
studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang
menonjol yang perlu dicatat, yaitu :
1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada
waktu itu juga menguasai bahasa Yunani, bahasa Ibrani,
dan bahasa Arab.
2) Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-
bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam
bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa dan malah
juga perbandingan.
Dan yang terakhir yang termasuk ke dalam linguistik
tradisional adalah masa menjelang lahirnya linguistik
modern. Dalam masa ini ada satu tonggak yang sangat
penting dalam sejarah studi bahasa, yaitu dinyatakan
adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sanskerta
dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin dan bahasa-bahasa
Jerman lainnya. Dalam pembicaraan mengenai linguistik
tradisional di atas, maka secara singkat dapat dikatakan,
bahwa :
a) Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal adanya
perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan;
b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan
dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa lain,
terutama bahasa Latin;
c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara prekriptif, yakni
benar atau salah;
d) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan
melibatkan logika;
e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu
cenderung untuk selalu dipertahankan.
4
3.2. Linguistik Strukturalis
5
Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi
yang timbul dalam pikiran kita, sedangkan signifie adalah
pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita.
4) Hubungan sintagmatik dan paradigmatif
Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur
yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara
berurutan, bersifat linear. Sedangkan hubungan
paradigmatik adalah hubungan unsur-unsur yang terdapat
dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak
terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.
Kedua, Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas
prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius
(1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah
yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik
dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri,
sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut
dalam suatu sistem.
Ketiga, Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya
antara lain : Louis Hjemslev (1899 – 1965), yang
meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Hjemslev juga
menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan, dan
mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan
paradigmatik.
Keempat, aliran firthian, nama John R. Firth (1890 – 1960)
guru besar pada Universitas London sangat terkenal karena
teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran
yang dikembangkannya dikenal dengan nama aliran
Prosodi.
Kelima, aliran sistemik, nama aliran linguistik sistemik
tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K Halliday, yaitu
salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth
6
mengenai bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi
kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus Firth dan
berdasarkan karangannya Categories of the Theory of
Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday
dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguistics atau Scals
and Category Linguistics. Namun kemudian ada nama baru,
yaitu Systemic Linguistics (SL).
Keenam, Leonard Bloomfield dan strukturalis Amerika.
Beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran
strukturalisme :
1) Pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi
masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di
Amerika yang belum diperlukan.
2) Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan
dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu di
Amerika, yaitu filsafat behaviorisme.
3) Diantara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik,
karena adanya The Linguistics Society of America, yang
menerbitkan majalah Language; wadah tempat
melaporkan hasil kerja mereka.
Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja
mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang
objektif untuk memberikan suatu bahasa.
Ketujuh adalah Aliran Tagmemik. Aliran ini dipelopori
oleh Kenneth L. Price, seorang tokoh dari Summer Institute
of Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan
Bloomfeld, sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis,
tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini satuan dasar dan
sintaksis adalah tagmem. Tagmem adalah korelasi antara
fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-
7
bentuk kata yang dapat saling diperlukan untuk mengisi slot
tersebut.
8
2) Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa,
sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak
berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan
semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik
tertentu.
3.3.2. Semantik Generatif
Menjelang dasawarsa tujuh puluhan beberapa murid dan
pengikut Chomsky, antara lain Pascal, Lakoff, Mc Cawly,
dan Kiparsky, sebagai reaksi terhadap Chomsky,
memisahkan diri dari kelompok Chomsky dan membentuk
aliran sendiri. Kelompok Lakoff ini, kemudian terkenal
dengan sebutan kaum Semantik generatif.
Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantik
dan sintaksis diselidiki bersama sekaligus karena keduanya
adalah satu.
3.3.3. Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus atau teori kasus pertama kali
diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam karangannya
berjudul “The Case for Case” tahun 1968 yang dimuat
dalam buku Bach, E. dan R. Harms Universal in Linguistic
Theory, terbitan Holt Rinehart and Winston.
Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore
membagi kalimat atas (1) modalitas, yang bisa berupa unsur
negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi, yang
terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus.
Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalah
hubungan antara verba dengan nomina.
3.3.4. Tata Bahasa Relasional
Tata bahasa relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai
tantangan langsung terhadap beberapa asumsi yang paling
9
mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh aliran
tata bahasa transformasi.
3.4. Tentang Linguistik Di Indonesia
Hingga saat ini bagaimana studi linguistik di Indonesia
belum ada catatan yang lengkap, meskipun studi linguistik
di Indonesia sudah berlangsung lama dan cukup semarak.
Pada awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan oleh
para ahli Belanda dan Eropa lainnya, dengan tujuan untuk
kepentingan pemerintahan kolonial. Pendidikan formal
linguistik di fakultas sastra (yang jumlahnya juga belum
seberapa) dan di lembaga-lembaga pendidikan guru sampai
akhir tahun lima puluhan masih terpaku pada konsep-
konsep tata bahasa tradisional yang sangat bersifat
normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut
perkenalan dengan konsep-konsep linguistik modern. Pada
tanggal 15 November 1975, atas prakarsa sejumlah linguis
senior berdirilah organisasi kelinguistikan yang diberi nama
Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). Anggotanya
adalah para linguis yang kebanyakan bertugas sebagai
pengajar di perguruan tinggi negeri atau swasta dan di
lembaga-lembaga penelitian kebahasaan. Penyelidikan
terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan bahasa
nasional Indonesia, banyak pula dilakukan orang di luar
Indonesia. Misalnya negeri Belanda, London, Amerika,
Jerman, Rusia, dan Australia banyak dilakukan kajian
tentang bahasa-bahasa Indonesia. Sesuai dengan fungsinya
sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa
negara maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki
tempat sentral dalam kajian linguistik dewasa ini, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Pelbagai segi dan
aspek bahasa telah dan masih menjadi kajian yang
10
dilakukan oleh banyak pakar dengan menggunakan
pelbagai teori dan pendekatan sebagai dasar analisis. Dalam
kajian bahasa nasional Indonesia, di Indonesia tercatat
nama-nama seperti Kridalaksana, Kaswanti Purwo,
Dardjowidjojo, dan Soedarjanto, yang telah menghasilkan
tulisan mengenai pelbagai segi dan aspek bahasa Indonesia.
4. Kajian Fonologi
Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disusun berdasarkan
kesepakatan bersama yang digunakan sebagai alat
komunikasi dalam rangka menjalankan interaksi sosial.
Interaksi yang dapat terjadi dapat menggunakan :
A bunyi → verbal
A tulis → lambang terhadap bunyi
Beberapa dasar tentang berbahasa :
Bebicara → bunyi
Mendengarkan → menyimak
Menulis → lambang
Membaca → memahami lambing
11
Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang masih abstrak
atau yang tidak diartikulasikan. Fonem merupakan aspek
bahasa pada aspek langue (istilah de Sausure), misalnya /t/.
/d/, /c/. Fon adalah realisasi dari fonem (parole), atau bunyi
yang diartikulasikan (diucapkan) misalnya {lari}. Alofon
adalah perbedaan bunyi yang tidak menimbulkan
perbedaan makna, misalnya /i/ dan /I/ dalam /menangIs/.
Bunyi Vokal : bunyi yang tidak mengalami hambatan di
daerah artikulator. Disebut juga huruf hidup karena dapat
berdiri sendiri dan dapat menghidupkan konsonan. Terdiri
dari : a, i, u, e, o. Diftong → au, ai, oi.
12
c) Labiodental : pembentukan konsonan oleh gigi dan
bibir (f, v)
d) Palatal : lidah – langit-langit keras (c, j)
e) Velar : belakang lidah – langit-langit lembut (k,g)
f) Hamzah (glottal stop) : posisi pita suara tertutup sama
sekali.
g) Laringal : pita suara terbuka lebar, udara keluar melalui
geseran.
4.4 Macam-macam bunyi bahasa
a. Bunyi Segmental
Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh
pernafasan, alat ucap dan pita suara. Bunyi Segmental ada
empat macam
1. Konsonan= bunyi yang terhambat oleh alat ucap
2. Vokal = bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap
3. Diftong= dua vokal yang dibaca satu bunyi,
misalnya: /ai/ dalam sungai, /au/ dalam /kau/
4. Kluster= dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
Contoh Kluster/Konsonan Rangkap
ng: yang
ny: nyonya
kh: khusus, khas, khitmad,
pr: produksi, prakarya, proses
kr: kredit, kreatif, kritis, krisis
sy: syarat, syah, syukur
str: struktur, strata, strategi
spr: sprai
tr : tradisi, tragedi, tragis, trauma, transportasi.
b. Bunyi Supra Segmental
Dalam suatu runtutan bunyi yang sambung-bersambung
terus-menerus diselangseling dengan jeda singkat atau agak
13
singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah
bunyi, panjang pendek bunyi, ada bunyi yang dapat
disegmentasikan yang disebut bunyi segmental.
1 . Tekanan atau Stres
Menyangkut masalah keras lunaknya bunyi.
2 . Nada atau Pitch
Berkenaan dengan tinggi rendahnya bunyi.
3 Jeda atau Persendian
Berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar.
Jeda antar kata, diberi tanda ( / )
Jeda antar frase, diberi tanda ( // )
Jeda antar kalimat, diberi tanda ( # )
Perhatikan contoh aplikasi bunyi berikut ini!
Doa
Karya Chairil Anwar
Tuhanku//
Dalam/ termangu//
Aku// masih/ menyebut/ namaMu///
Biar/ susah sungguh//
Mengingat Kau// penuh seluruh///
CayaMu// panas suci //
Tinggal// kerdip lilin// di kelam sunyi///
Tuhanku//
aku/ hilang bentuk//
remuk///
Aku/ mengembara// di negeri asing//
Tuhanku//
di pintuMu// aku// mengetuk//
aku// tidak bisa// berpaling#
14
5. Kajian Morfologi
Jika fonologi mengidentifikasi satuan dasar bahasa sebagai
bunyi, morfologi mengidentifikasi satuan dasar bahasa
sebagai satuan gramatikal. Bagian dari kompetensi
linguistik seseorang termasuk pengetahuan mengenai
morfologi bahasa, yang meliputi kata, pengucapan kata
tersebut, maknanya, dan bagaimana unsur-unsur tersebut
digabungkan (Fromkin & Rodman, 1998:96). Morfologi
mempelajari struktur internal kata-kata. Jika pada umumnya
kata-kata dianggap sebagai unit terkecil dalam sintaksis,
jelas bahwa dalam kebanyakan bahasa, suatu kata dapat
dihubungkan dengan kata lain melalui aturan. Misalnya,
penutur bahasa Inggris mengetahui kata dog, dogs, dan
dog-catcher memiliki hubungan yang erat. Penutur bahasa
Inggris mengetahui hubungan ini dari pengetahuan mereka
mengenai aturan pembentukan kata dalam bahasa Inggris.
Aturan yang dipahami penutur mencerminkan pola-pola
tertentu (atau keteraturan) mengenai bagaimana kata
dibentuk dari satuan yang lebih kecil dan bagaimana
satuan-satuan tersebut digunakan dalam wicara. Jadi dapat
disimpulkan bahwa morfologi adalah cabang linguistik
yang mempelajari pola pembentukan kata dalam bahasa,
dan berusaha merumuskan aturan yang menjadi acuan
pengetahuan penutur bahasa tersebut. Dalam hubungannya
dengan sintaksis, beberapa relasi gramatikal dapat
diekspresikan baik secara infleksional (morfologis) atau
secara sintaksis (sebagai bagian dari struktur kalimat),
misalnya pada kalimat He loves books dan He is a lover of
books. Apa yang di dalam suatu bahasa ditandai dengan
afiks infleksional, dalam bahasa lain ditandai dengan urutan
kata dan dalam bahasa yang lain lagi dengan kata fungsi.
15
Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimat Maxim defends
Victor (Maxim mengalahkan Victor) memiliki makna yang
berbeda dengan kalimat Victor defends Maxim (Victor
mengalahkan Maxim). Urutan kata sangat penting.
Demikian halnya jika bahasa Inggris memiliki penanda
have dan be, bahasa Indonesia menggunakan afiksasi untuk
mengungkapkan hal yang sama, misalnya: Dokter
memeriksa saya. The doctor examinesme. Saya diperiksa
dokter. I was examined by the doctor. Selain itu, semua
morfem memiliki struktur gramatikal yang dilekatkan
padanya. Terkadang, makna gramatikal hanya tampak jika
morfem tersebut digabungkan dengan morfem lain (seperti
pada afiks yang dapat mengubah makna gramatikal).
Morfem infleksional adalah morfem yang tidak memiliki
makna di luar makna gramatikal, seperti penanda jamak
â€s†dalam bahasa Inggris. Tetapi morfem lain
memiliki pengecualian, seperti pada kata hit – hit (present
– past), atau sheep – sheep (tunggal – jamak). Tata
bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun morfem.
Sebab morfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis
dan tidak semua morfem punya makna secara filosofis.
Morfem dikenalkan oleh kaum strukturalis pada awal abad
ke-20.
16
satuan bentuk yang merupakan morfem diapit dengan
kurung kurawal ({ }) kata kedua menjadi {ke} + {dua}.
5.2 Morf dan Alomorf
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum
diketahui statusnya. Sedangkan Alomorf nama untuk
bentuk bila sudah diketahui status morfemnya (bentuk-
bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama) .
Melihat . me-
Membawa . mem-
Menyanyi . meny-
Menggoda . meng-
5.3 Klasifikasi Morfem
Klasifikasi morfem didasarkan pada kebebasannya,
keutuhannya, maknanya dan sebagainya.
5.3.1 Morfem bebas dan Morfem terikat
Morfem Bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran
morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Sedangkan
yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang
tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat
muncul dalam pertuturan. Berkenaan dengan morfem
terikat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama
bentuk-bentuk seperti : juang, henti, gaul, dan , baur
termasuk morfem terikat. Sebab meskipun bukan afiks,
tidak dapat muncul dalam petuturan tanpa terlebih dahulu
mengalami proses morfologi. Bentuk lazim tersebut disebut
prakategorial. Kedua, bentuk seperti baca, tulis, dan
tendang juga termasuk prakategorial karena bentuk tersebut
merupakan pangkal kata, sehingga baru muncul dalam
petuturan sesudah mengalami proses morfologi. Ketiga
bentuk seperti : tua (tua renta), kerontang (kering
kerontang), hanya dapat muncul dalam pasangan tertentu
17
juga, termasuk morfem terikat. Keempat, bentuk seperti ke,
daripada, dan kalau secara morfologis termasuk morfem
bebas. Tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
Kelima disebut klitika. Klitka adalah bentuk singkat,
biasanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat
tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat
tetapi tidak dipisahkan .
5.3.2 Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Morfem utuh adalah morfem dasar, merupakan kesatuan
utuh. Morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri
dari dua bagian terpisah. Catatan yang perlu diperhatikan
dalam morfem terbagi. Pertama, semua afiks disebut
konfiks termasuk morfem terbagi. Untuk menentukan
konfiks atau bukan, harus diperhatikan makna gramatikal
yang disandang. Kedua, ada afiks yang disebut sufiks yakni
yang disisipkan di tengah morfem dasar.
5.3.3 Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh
fonem segmental. Morfem suprasegmental adalah morfem
yang dibentuk oleh unsur suprasegmental seperti tekanan,
nada, durasi.
5.3.4 Morfem beralomorf zero
Morfem beralomorf zero adalah morfem yang salah satu
alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun
berupa prosodi melainkan kekosongan.
5.3.5 Morfem bermakna Leksikal dan Morfem tidak
bermakna Leksikal
Morfem bermakna leksikal adalah morfem yang secara
inheren memiliki makna pada dirinya sendiri tanpa perlu
berproses dengan morfem lain. Sedangkan morfem yang
18
tidak bermakna leksikal adalah tidak mempunyai makna
apa-apa pada dirinya sendiri.
5.3.6 Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (stem),
dan Akar(root)
Morfem dasar bisa diberi afiks tertentu dalam proses
afiksasi bisa diulang dalam suatu reduplikasi, bisa digabung
dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Pangkal
digunakan untuk menyebut bentuk dasar dari proses
infleksi. Akar digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak
dapat dianalisis lebih jauh.
6. Kajian Sintaksis
Morfosintaksis yaitu gabungan dari morfologi dan sintaksis.
Morfologi membicarakan tentang struktur internal kata.
Sintaksis membicarakan tentang hubungan kata dengan
kata lain.
6.1 Struktur Sintaksis
Struktur sintaksis ada tiga yaitu fungsi sintaksis, kategori
sintaksis, dan peran sintaksis. Dalam fungsi sintaksis ada
hal-hal penting yaitu subjek, predikat, dan objek. Dalam
kategori sintaksis ada istilah nomina, verba, adjektiva, dan
numeralia. Dalam peran sintaksis ada istilah pelaku,
penderita, dan penerima. Menurut Verhaar (1978), fungsi-
fungsi S, P, O, dan K merupakan kotak kosong yang diisi
kategori dan peranan tertentu.
Contohnya: Kalimat aktif: Nenek melirik kakek tadi pagi.
SPOK
pelaku sasaran
Kalimat pasif: Kakek dilirik nenek tadi pagi.
SPOK
sasaran pelaku
19
Agar menjadi kalimat berterima, maka fungsi S dan P harus
berurutan dan tidak disisipi kata di antara keduanya.
Struktur sintaksis minimal mempunyai fungsi subjek dan
predikat seperti pada verba intransitif yang tidak
membutuhkan objek.
Contohnya: Kakek makan.
Verba transitif selalu membutuhkan objek.
Contohnya: Nenek membersihkan kamarnya.
Menurut Djoko Kentjono(1982), hadir tidaknya fungsi
sintaksis tergantung konteksnya.
Contohnya: Kalimat seruan: Hebat!
Kalimat jawaban: Sudah!
Kalimat perintah: Baca!
Fungsi-fungsi sintaksis harus diisi kategori-kategori yang
sesuai. Fungsi subjek diisi kategori nomina, fungsi predikat
diisi kategori verba, fungsi objek diisi kategori nomina, dan
fungsi keterangan diisi kategori adverbia.
Contohnya: Dia guru.(salah) Dia adalah guru.(benar)
SOSPO
Kata “adalah” pada kalimat tersebut merupakan verba
kopula, seperti to be pada bahasa Inggris.
– Berenang menyehatkan tubuh.
SPO
Kata “berenang” menjadi berkategori nomina karena yang
dimaksud adalah pekerjaan berenangnya. Peran dalam
struktur sintaksis tergantung pada makna gramatikalnya.
Kata yang bermakna pelaku dan penerima tetap tidak
berubah walaupun kata kerja yang aktif diganti menjadi
pasif. Pelaku berarti objek yang melakukan pekerjaan.
Penerima berarti objek yang dikenai pekerjaan. Makna
pelaku dan sasaran merupakan makna gramatikal.
20
Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan
kata, bentuk kata, dan intonasi. Perbedaan urutan kata dapat
menimbulkan perbedaan makna.
Contohnya: tiga jam – jam tiga.
Nenek melirik kakek. – Kakek melirik nenek.
Dalam kalimat aktif transitif mempunyai kendala
gramatikal yaitu fungsi predikat dan objek tidak dapat
diselipi kata keterangan.
Contohnya: Nenek melirik tadi pagi kakek.(salah)
Intonasi merupakan penekanan. Perbedaan intonasi juga
menimbulkan perbedaan makna. Intonasi ada tiga macam
yaitu intonasi deklaratif untuk kalimat bermodus deklaratif
atau berita dengan tanda titik, intonasi interogatif dengan
tanda tanya, dan intonasi interjektif dengan tanda seru.
Intonasi juga dapat berupa nada naik atau tekanan.
Contohnya: Kucing / makan tikus mati.
Kucing makan tikus / mati.
Kalimat tersebut sudah berbeda makna karena tafsiran
gramatikal yang berbeda yang disebut ambigu atau taksa.
Konektor bertugas menghubungkan konstituen satu dengan
yang lain. dilihat dari sifatnya, ada dua macam konektor.
Konektor koordinatif menghubungkan dua konstituen
sederajat. Konjungsinya seperti dan, atau, dan tetapi.
Contohnya: Nenek dan kakek pergi ke sawah. Konektor
subordinatif menghubungkan dua konstituen yang tidak
sederajat. Konjungsinya seperti kalau, meskipun, dan
karena. Contohnya: Kalau diundang, saya tentu akan
datang.
7. Kajian Semantik
Status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi
dan sintaksis adalah tidak sama. Semantik dengan objeknya
21
yakni makna, berada di seluruh tataran, yaitu berada di
tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Makna yang
menjadi objek semantik sangat tidak jelas, tak dapat diamati
secara empiris, sehingga semantik diabaikan. Tetapi, pada
tahun 1965, Chomsky menyatakan bahwa semantik
merupakan salah satu komponen dari tata bahasa dan
makna kalimat sangat ditentukan oleh semantik ini.
7.1 Hakikat Makna
Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda
bahasa terdiri dari 2 komponen, yaitu komponen signifian
(yang mengartikan) yang berwujud runtunan bunyi, dan
komponen signifie (yang diartikan) yang berwujud
pengertian atau konsep (yang dimiliki signifian). Menurut
teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure, makna
adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat
pada sebuah tanda linguistik. Jika tanda linguistik tersebut
disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, berarti
makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh
setiap kata atau leksem. Jika disamakan dengan morfem,
maka makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki
oleh setiap morfem, baik morfem dasar maupun morfem
afiks.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata,
makna kata atau leksem itu seringkali terlepas dari
pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya.
Banyak pakar menyatakan bahwa kita baru dapat
menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah
berada dalam konteks kalimatnya. Pakar itu juga
mengatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan
apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau
22
konteks situasinya. Bahasa bersifat arbiter, sehingga
hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
7.2 Jenis Makna
a. Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada
leksem meski tanpa konteks apapun. Dapat juga dikatakan
bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya,
sesuai dengan hasil observasi indera kita atau makna apa
adanya. Makna gramatikal adalah makna yang ada jika
terjadi proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi,
komposisi atau kalimatisasi. Makna kontekstual adalah
makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu
konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan
situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan
penggunaan bahasa itu.
b. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem dikatakan bermakna referensial
jika ada referensnya atau acuannya. Ada sejumlah kata
yang disebut kata diektik, yang acuannya tidak menetap
pada satu wujud. Misalnya : kata-kata pronominal seperti,
dia, saya dan kamu.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna
sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna
denotatif sebenarnya sama dengan makna leksikal. Makna
konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna
denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang
yang menggunakan kata tersebut. Konotasi sebuah kata bisa
berbeda antara seseorang dengan orang lain.
23
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi menjadi makna
konseptual dan makna asosiatif. Makna konseptual adalah
makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari
konteks atau asosiasi apapun. Makna konseptual
sebenarnya sama dengan makna leksikal, deotatif dan
makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang
dimiliki sebuah leksem atau kata bahasa. Makna asosiasi
sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu
masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang
mempunyai kemiripan sifat, keadaaan atau ciri-ciri yang
ada pada leksem tersebut. Makna konotatif termasuk dalam
makna asosiatif, karena kata-kata tersebut berasosiasi
dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika
berkenaan dengan perbedaan penggunaan kata sehubungan
dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Makna
afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap
lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna
kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang
dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang bersinonim.
e. Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki oleh sebuah kata adalah
makna leksikal, denotatif atau makna konseptual. Namun,
dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas
jika kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Istilah mempunyai makna yang pasti,
jelas, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat.
Oleh karena itu, istilah sering dikatakan bebas konteks,
sedangkan kata tidak bebas konteks.
24
f. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat
diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal
maupun secara gramatikal. Idiom terbagi atas idiom penuh
dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua
unsurnya telah melebur menjadi satu kesatuan. Sedangkan
idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya
masih memiliki makna leksikal sendiri. Peribahasa
memilliki makna yang masih dapat ditelusuri dari makna
unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa.
7.3 Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat
antara satuan bahasa yang satu dengan yang lain.
a. Sinonim
Yaitu hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan
ujaran lainnya. Dua buah ujaran yang bersinonim
maknanya tidak akan sama persis. Ketidaksamaan itu
terjadi karena faktor :
1. Faktor waktu
2. Faktor tempat atau wilayah
3. Faktor keformalan
4. Faktor sosial
5. Faktor bidang kegiatan
6. Faktor nuansa makna
b. Antonim
Yaitu hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran
yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau
kontras antara yang satu dengan yang lain.
25
c. Polisemi
Yaitu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Dalam
kasus polisemi, biasanya makna pertama adalah makna
sebenarnya, yang lain adalah maknamakna yang
dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna
yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu,
makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang
polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lain.
d. Homonim
Yaitu dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya
“kebetulan” sama dan maknanya berbeda, karena masing-
masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.
Pada kasus homonim ada dua istilah lain yang biasa
dibicarakan, yaitu homofon dan homograf. Homofon adalah
adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran, tanpa
memperhatikan ejaannya. Homograf adalah bentuk ujaran
yang ortografinya dan ejaannya sama, tetapi ucapan dan
maknanya berbeda. Perbedaan antara homonim dengan
polisemi adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk
ujaran atau lebih yang “kebetulan” bentuknya sama, dan
maknanya berbeda, sedangkan polisemi yaitu sebuah
bentuk ujaran yang memiliki makna lebih dari satu. Dengan
demikian jelas bahwa antara keduanya tidak punya
hubungan sama sekali.
e. Hiponimi
Yaitu hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Relasi hiponimi bersifat searah.
f. Ambiguitas atau Ketaksaan
Yaitu gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat
tafsiran gramatikal yang berbeda. Ketaksaan terjadi dalam
26
bahasa tulis akibat perbedaan gramatikal karena ketiadaan
unsur lisan, karena ketidakcermatan dalam menyusun
konstruksi beranaforis. Perbedaan homonim dengan
ambiguiti adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk
atau lebih yang kebetulan bentuknya sama, sedangkan
ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan dua tafsiran
makna atau lebih. Perbedaan polisemi dengan ambiguitas
adalah bahwa polisemi biasanya hanya pada tataran kata,
dan makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu itu,
sedangkan ambiguiti adalah satu bentuk ujaran yang
mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat perbedaan
tafsiran gramatikal.
g. Redudansi
Yaitu kata yang berlebih-lebihan yang menggunakan unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran.
7.4 Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan
berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat
berubah. Dalam masa yang relative singkat, makna sebuah
kata tidak akan berubah, tetapi dalam waktu yang relative
lama ada kemungkinan makna tersebut akan berubah. Ini
tidak berlaku untuk semua kosakata, tetapi hanya terjadi
pada sebuah kata saja, yang disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain :
1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2. Perkembangan sosial budaya
3. Perkembangan pemakaian kata
4. Pertukaran tanggapan indera (sinestesia)
5. Adanya asosiasi
Asosiasi dapat berupa hubungan wadah dengan isinya, dan
juga berupa hubungan waktu dengan kejadian. Perubahan
27
makna ada beberapa macam. Ada perubahan meluas,
menyempit dan berubah total. Perubahan yang meluas yaitu
jika tadinya sebuah kata bermakna A, maka kemudian
menjadi bermakna B. Perubahan yang menyempit yaitu jika
tadinya sebuah kata memiliki makna yang sangat umum,
tetapi kini maknanya menjadi khusus atau sangat khusus.
Perubahan makna total yaitu makna yang dimiliki sekarang
sudah jauh berbeda dengan makna aslinya. Dalam
pembicaraan tentang perubahan makna, dikenal usaha
untuk menghaluskan dan mengkasarkan ungkapan. Usaha
untuk menghaluskan ini dikenal dengan nama eufemia atau
eufemisme. Sedangkan usaha untuk mengkasarkan dikenal
dengan nama disfemia, usaha ini sengaja dilakukan untuk
mencapai efek pembicaraan menjadi tegas.
28
melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai
dengan yang dimau si pembicara. Contohnya “Dilarang
merokok di ruangan ber-AC.”
Dilihat dari segi kontak antara penutur dengan
pendengar, bahasa berfungsi fatik. Jakobson (1960) dan
Finnochiaro (1974) menyebutnya interpersonal, sedangkan
Halliday (1973) menyebutnya interactional. Maksud dari
fungsi ini adalah menjalin hubungan, memelihara,
memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial.
Dalam hal ini, bahasa yang berfungsi fatik ini mempunyai
ungkapan-ungkapan yang sudah berpola dan biasanya
disertai dengan gerak paralinguistik seperti senyuman,
anggukan kepala, geleng-geleng kepala, dan kedipan mata.
Tujuannya tidak hanya memberikan informasi, tetapi
membangun kontak sosial dengan para partisipan dalam
pertuturan itu.
Fungsi bahasa dilihat dari segi topik ujaran ini
berfungsi referensial. Finnocchiaro (1974) dan Halliday
(1973) menyebutnya representational, sedangkan Jakobson
(1960) menyebutnya fungsi kognitif, ada juga yang
menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif.
Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional
bahwa bahasa itu alat untuk menyatakan pikiran, untuk
menyatakan bagaimana pendapat si penutur mengenai
dunia di sekelilingnya. Contohnya “UPI adalah IKIP tertua
di Indonesia.”
Fungsi bahasa apabila dilihat dari kode yang
digunakan adalah berfungsi metalingual atau metalinguistik
(Jakobson (1960) dan Finnocchiaro (1974)), artinya bahasa
itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri.
Fungsi bahasa lainnya dapat kita lihat dari segi amanat
29
(pesan yang akan disampaikan), di mana bahasa berfungsi
imajinatif, Halliday (1973) dan Finnocchiaro (1974)
menyebutnya fungsi poetic speech. Wujud dari poetic
speech ini berupa karya seni seperti puisi, cerita, dongeng,
lelucon, dan sebagainya. Kalau kita simpulkan, peranan
sosiolingistik terhadap bahasa ini pada intinya menilai
bahasa tidak sekadar alat untuk berkomunikasi atau
menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh dan lebih
kompleks dari itu. Sosiolingistik membuat kita tahu bahwa
bahasa itu dinamis, tidak terpaku pada satu ukuran, tetapi
harus melihat hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa
itu, dalam hal ini adalah sisi sosialnya. Melalui
sosiolingguistik, kita dapat memahami bahasa tidak dengan
sudut pandang yang
kaku. Contohnya adalah pandangan orang awam terhadap
Bahasa Jawa Tegal. Kebanyakan orang awam itu
menyatakan bahwa Bahasa Tegal adalah bahasa yang
paling kasar, tidak mempunyai nilai keindahan, dan
sebagainya. Akan tetapi, setelah saya tinjau dari sudut
pandang sosiolinguistik, di mana letak geografis Tegal yang
dekat dengan pantai. Orang pantai kalau berbicara
cenderung agak teriak apabila dibandingkan dengan orang
yang tinggal di daerah pegunungan. Kekasaran Bahasa
Jawa Tegal yang dinyatakan oleh orang kebanyakan itu
mungkin dilihat dari logat dan bicaranya yang keras.
Padahal hal itu salah satu penyebabnya adalah karena letak
Tegal yang merupakan daerah pantai.
Dengan adanya sosiolinguistik, kita tidak bisa
menghakimi bahasa dengan sesuka hati. Kita juga tidak bisa
menilai atau menetapkan suatu bahasa itu kasar atau tidak,
berestetik atau tidak, dan sebagainya. Dengan
30
sosiolinguistik, kita menjadi menghargai keunikan tiap
bahasa.
31
sosioligi dan linguistik. Dalam istilah linguistik-sosial
(sosiolinguistik) kata sosio adalah aspek utama dalam
penelitian dan merupakan ciri umum bidang ilmu tersebut.
Linguistik dalam hal ini juga berciri sosial sebab bahasa
pun berciri sosial, yaitu bahasa dan strukturnya hanya dapat
berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Aspek sosial
dalam hal ini mempunyai ciri khusus, misalnya ciri sosial
yang spesifik dan bunyi bahasa dalam kaitannya dengan
fonem, morfem, kata, kata majemuk, dan kalimat.
Selain istilah sosiolinguistik ada juga digunakan istilah
sosiologi bahasa. Dari kedua istilah tersebut ada yang
menganggap itu sama, tetapi ada juga yang menganggap
berbeda. Ada yang mengatakan digunakannya
sosiolinguistik karena penelitiannya dimasuki dari bidang
linguistik; sedangkan istilah sosiologi bahasa digunakan
kalau penelitian itu dimasuki dari bidang sosiologi.
Fishman dalam mengkaji masalah ini menggunakan judul
Sosiolinguistik (1970), kemudian menggantinya dengan
sosiologi bahasa, Sociology of Language (1972). Artikel
yang ditulis Fishman dalam Giglioli (ed. 1972:45-58)
memang membahas Sosiolinguistik di bawah judul
Sosiologi Bahasa. Dikatakannya bahwa “ilmu ini meneliti
interaksi antara dua aspek tingkah laku manusia:
penggunaan bahasa dan organisasi tingkah laku sosial”.
J.A. Fishman mengatakan kajian sosiolinguistik lebih
bersifat kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa
bersifat kuantitatif. Jadi sosiolinguistik lebih berhubungan
dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang
sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian
bahasa/dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakaian
bahasa/dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, dan
32
latar pembicaraan, sedangkan sosiologi bahasa lebih
berhubungan dengan faktor-faktor sosial, yang saling
bertimbal-balik dengan bahasa/dialek.
Bram & Dickey, (ed. 1986:146) menyatakan bahwa
Sosiolinguistik megkhususkan kajiannya pada bagaimana
bahasa berfungsi di tengah masyarakat. Mereka
menyatakan pula bahwa sosiolinguistik berupaya
menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-
aturan berbahasa secara tepat dalam situasi-situasi yang
bervariasi.
Sosiolinguistik juga menyangkut individu sebab
unsur yang sering terlihat melibatkan individu sebagai
akibat dari fungsi individu sebagai makhluk sosial. Hal itu
merupakan peluang bagi linguistik yang bersifat sosial
untuk melibatkan diri dengan pengaruh masyarakat
terhadap bahasa dan pengaruh bahasa pada fungsi dan
perkembangan masyarakat sebagai akibat timbal-balik dari
unsur-unsur sosial dalam aspek-aspek yang berbeda, yaitu
sinkronis, diakronis, prospektif — yang dapat terjadi– dan
perbandingan. Hal tersebut memungkinkan sosiolinguistik
membentuk landasan teoretis cabang-cabang linguistik
seperti: linguistik umum, sosiolinguistik bandingan,
antarlinguistik dan sosiolinguistik dalam arti sempit
(sosiolinguistik yang konkret) (Deseriev, 1977:341-363).
Sumbangan bidang sosiologi dan linguistik kepada
sosiolinguistik tidak sama, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Sumbangan unsur-unsur kemasyarakatan untuk
landasan sosial dari sosiologi dan linguistik, termasuk
seluruh perkembangan dari masyarakat, mencakup
kesadaran secara sosial dan individu, mulai dari kenyataan-
kenyataan yang ada dalam masyarakat hingga hasil yang
33
berbeda-beda dari perkembangan masyarakat secara
keseluruhan.
Permasalahan Sosiolinguistik
Konferensi sosiolinguistik pertama yang
berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun
1964 telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam
penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan
isu dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari
penutur. (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat
dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik
dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda
oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6)
tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan
praktis dari penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar
1976:128).
Identitas sosial dari penutur antara lain dapat
diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut,
dan bagaimana hubungannya dengan lawan tutur. Dengan
demikian identitas penutur dapat berupa anggota keluarga
(ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat
berupa teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja),
guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan
sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi
pilihan kode dalam bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat
dari pihak penutur. Dengan demikian identitas pendengar
itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, adik,
kakak, paman, dan sebagainya) teman karib, guru, murid,
tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya.
34
Identitas pendengar atau para pendengar juga akan
mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi
dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga,
di dalam masjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di
perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur
terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya
dalam bertutur, misalnya, di ruang perpustakaan tentunya
kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, di
lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah
di ruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus
berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu
tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.
Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek
sosial berupa deskripsi pola-pola dialek sosial itu, baik yang
berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa
yang tidak terbatas. Dialek sosial ini digunakan para
penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai
anggota kelas-kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap
bentuk-bentuk perilaku ujaran. Maksudnya, setiap penutur
tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam
masyarakat. Dengan demikian berdasarkan kelas sosialnya
itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang tentunya
sama, atau jika berbeda, tidak akan terlalu jauh dari kelas
sosialnya, terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang
berlangsung.
Tingkatan variasi atau linguistik, maksudnya bahwa
sehubungan dengan heterogennya anggota suatu
masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik
bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka
35
alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu menjadi
sangat bervariasi. Setiap variasi, entah namanya dialek
varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya masing-
masing.
Dimensi terakhir, yakni penerapan praktis dari
penelitian sosiolinguistik, merupakan topik yang
membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk
mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat,
misalnya, masalah pengajaran bahasa, pembakuan bahasa,
penerjemahan, mengatasi konflik sosial akibat konflik
bahasa, dan sebagainya
Sudah selayaknya kalau pembicaraan sosiolinguistik
membahas ketujuh dimensi penelitian sosiolinguistik
tersebut. Dalam buku ini berturut-turut akan dibicarakan
masalah komunikasi bahasa, masyarakat tutur, variasi
bahasa, bilingualisme dan diglosia, alih kode dan campur
kode, interferensi dan integrasi, perubahan, pergeseran, dan
pemertahanan bahasa, sikap dan pemilihan kode bahasa,
pengajaran bahasa, diakhiri dengan profil sosiolinguistik di
Indonesia.
36
Campur Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa
(language depency) dalam masyarakat multilingual
adalalah terjadinya campur kode (code-mixing).
Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi
situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh
adanya hubungan timbal balik antara peranan dan
fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang
menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan
berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan
tuturannya (Suwito 1991:88). Ciri lain dari gejala
campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau
variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain
tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah
menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara
keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam
kondisi yang maksimal campur kode merupakan
konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang
unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang
masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan
mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Kachru (1978:28 dalam Suwito 1991:89)
memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian
dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan
unsusr-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang
satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten
Selain itu, Thelander (1976:103 dalam Suwito
1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang
terlibat dalam “peristiwa campur” (co-occurance) itu
terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu
tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara
37
variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang
sama, maka peristiwa itu disebut campur kode.
Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode
menurut Suwito (1991:90-91) ada dua yaitu campur
kode yang bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab
terjadinya campur kode yang bersifat ke luar antara lain
: (a) identifikasi peranan,(b) identifikasi ragam dan (c)
keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam
hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan tidak
jarang bertumpah tindih. Ukuran untuk identifikasi
peranan adalah sosial, registral dan edukasional.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana
seorang penutur melakukan campur kode yang akan
menempatkan dia di dalam hierarki status sosialinya.
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak
karena campur kode juga menandai sikap dan
hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan
hubungan orang lain terhadapnya.
Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila
seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa
daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur
dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur
ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu,
campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal
balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan
fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar
belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk
campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi
tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian
dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan
identitas pribadinya di dalam masyarakat.
38
Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para ahli
di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode
merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan
saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain,
dimana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang
menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
tersendiri.
39
manusia. Reching Koen (dalam Pateda dan Yenni,
1993: 5) menyatakan, bahwa hakikat bahasa bersifat (a)
mengganti, (b) individual, (c) kooperatif, dan (d)
sebagai alat komunikasi.Bahasa dapat menggantikan
peristiwa/kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh
individu/kelompok. Dengan bahasa, seorang individu
atau kelompok dapat meminta individu/kelompok lain
untuk melakukan suatu pekerjaan. Kalimat yang
diucapkan oleh seorang individu kepada individu lain
bersifat individual. Setelah sebuah kalimat lahir dan
didengar oleh individu lain, lalu individu tersebut akan
melakukan pekerjaan yang diminta. Kesediaan individu
dalam melakukan pekerjaan itu tentu karena adanya
kerja sama antarindividu. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa bahasa bersifat kooperatif. Di samping
itu, bahasa juga digunakan sebagai alat komunikasi
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut adalah
faktor sosial dan faktor situasional.Selain empat hakikat
tersebut, Chaer (1994: 33) mengatakan, bahwa hakikat
bahasa itu ada 12 butir. Kedua belas butir hakikat
bahasa itu adalah sebagai berikut:
1. Bahasa adalah sebuah sistem.
2. Bahasa berwujud lambang.
3. Bahasa berwujud bunyi.
4. Bahasa bersifat arbitrer.
5. Bahasa bermakna.
6. Bahasa bersifat konvensional.
7. Bahasa bersifat unik.
8. Bahasa bersifat universal.
9. Bahasa bersifat produktif.
10. Bahasa bersifat dinamis.
40
11. Bahasa bervariasi.
12. Bahasa adalah manusiawi.
41
Aslinda dan Syafyahya (2010: 6) mengutip pendapat
Chaer dan Agustin (1995:3), bahwa kata sosiolinguistik
merupakan gabungan dari kata sosiologi dan linguistik.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai
manusia dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga
serta proses sosial yang ada di dalam masyarakat.
Sedangkan linguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang
mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan
demikian, sosiolinguistik merupakan bidang ilmu
antardisiplin yang mempelajari bahasa di dalam
masyarakat.
Appel (dalam Suwito, 1982: 2) mengatakan,
sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial
dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari
masyarakat dan kebudayaan tertentu, sedangkan yang
dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk
interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret. Dengan
demikian, dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat secara
internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi/komunikasi
di dalam masyarakat.
Harimurti Kridalaksana (1974, kuliah pada
penataran Leksikografi) mengatakan, sosiolinguistik yaitu
cabang linguistik yang berusaha untuk menjelaskan ciri-ciri
variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi
bahasa tersebut dengan cir-ciri sosial. Dalam buku lain
Kridalaksana (1978: 94) mengutip pendapat Fishman dan
mengatakan, sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa,
serta hubungan di antara bahasawan dengan ciri dan fungsi
itu dalam suatu masyarakat bahasa. Criper dan H.G.
Widdowson (dalam J..P.B. Allen dan S. Pit Corder Ed.
42
1975: 156) mengatakan, Sociolinguistics is the study of
language in operational, its purpose is to investigate how
the conventions of language use relate to other aspects of
social behaviour (= sosiolinguistik adalah studi bahasa
dalam pelaksanaannya yang bermaksud mempelajari
bagaimana konvensi bahasa berhubungan dengan aspek-
aspek lain dari tingkah laku sosial).
G.E. Booij, J.G. Kerstens, H.J. Verkuyl (1975: 139)
mengatakan, Sociolinguistiek is subdiscipline van de
taalkunde, die bestudeert welke socialefactoren een rol
spelen in het taalgebruik er welke rol taal speelt in het
sociaal verkerr (= sosiolinguistik adalah cabang linguistik
yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam
pemakaian bahasa dan berperan dalam pergulan).
Sedangkan Rene Appel, Gerard Hubers, Greus Meijer
(1976: 10) mengatakan, Sociolinguistiek is de studie van
taal en taalgebruik in de kontext van maatschappij en
kultuur (= sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan). Nancy
Parrot Hickerson (1980: 81) mengatakan, Sociolingustiec
is a developing subvield of linguistics which takes speech
variation as its focus, viewing variation or its social
context. Sociolinguistics is concerned with the coration
between such social factor and linguistic variation. Yang
dimaksud dengan faktor-faktor sosial di sini adalah faktor
umur, kelamin, agama, perhatian, pekerjaan. Sosiolinguistik
merupakan perpaduan (= interdisipliner) antara linguistik
dan sosiologi. Dia memberikan tekanan paa hubungan
antara bahasa dan pemakaiannya (Lihat: Pateda, 1987: 2-3).
43
C. Perbedaan Sosiolinguistik dan Sosiologi Bahasa
Fishman (dalam Pateda, 1987: 2) beranggapan, bahwa
istilah sosiolinguistik dan sosiologi bahasa merupakan dua
hal yang berbeda. Sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif,
sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya,
sosiolinguistik mementingkan pemakainan bahasa oleh
individu-individu dalam konteks sosialnya, maka sosiologi
bahasa mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat
pelapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Istilah sosiologi bahasa sangat berkaitan dengan
sosiolinguistik. Bahkan banyak orang menganggap bahwa
keduanya sama. Namun jika diteliti, keduanya mempunyai
perbedaan. Perbedaan tersebut diungkapkan oleh Fishman,
pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam
kajian sosiolinguistik.Perbedaan sosiolinguistik dan
sosiologi bahasa adalah sebagai berikut:
1. Sosiolinguistik
a) Kajiannya bersifat kualitatif.
b) Penelitiannya dimasuki dari bidang linguistik.
c) Lebih berhubungan dengan perincian-perincian
penggunaan bahasa yang sebenarnya.
Contohnya: deskripsi pola-pola pemakain bahasa atau
dialek tertentu yang penutur, topik, dan latar pembicaraan
.2. Sosiologi Bahasa
a) Kajiannya bersifat kuantitatif.
b) Penelitiannya dimasuki dari bidang sosiologi.
c) Lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang
saling bertimbal balik dengan bahasa atau dialek.
Contohnya: perkembangan bilingualisme, perkembangan
pembakuan bahasa dan perencanaan bahasa di negara-
negara berkembang.Fishman dalam bukunya menggunakan
44
istilah sociolinguistics pada tahun 1970. Namun, pada tahun
1072 Fishman menggunakan nama Sociology of Language.
Jadi, sosiolinguistik dan sosiologi bahasa sangat berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan.
1. Linguistik Mikro
Linguistik mikro memfokuskan kajiannya terhadap
struktur intern bahasa. Artinya, kajian bahasa hanya pada
struktur intern bahasa tanpa menghubungkan dengan
faktor-faktor ekstern bahasa tersebut. Kajian terhadap
45
struktur intern bahasa ini antara lain meliputi: bidang
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi.
a. Bidang Fonologi
Bidak kajian bahasa yang membicarakan stuktur bunyi
bahasa disebut dengan fonologi. Istilah fonologi berasal
dari kata phonology, yaitu gabungan kata phone dan logy.
Kata phone berarti ‘bunyi bahasa, baik berupa bunyi vokal
maupun bunyi konsonan’ sedangkan kata logy berarti ‘ilmu
pengetahuan, metode atau pikiran’ (Homdy, 1974: 627).
Dalam ilmu bahasa yang dimaksud fonologi adalah salah
satu cabang ilmu bahasa umum atau (linguistik) yang
mempelajari bunyi-bunyi bahasa, baik bahasa masyarakat
yang sudah maju/modern maupun bunyi-bunyi bahasa
masyarakat yang masih bersahaja/primitif dalam segala
aspeknya (Arifin, 1979: 1).
b. Bidang Morfologi
Morfologi membicarakan struktur intern kata. Morfologi
merupakan bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata
dan bagian-bagian kata, yakni morfem (Kridalaksana,
1993:142). Dalam morfologi, dibicarakan seluk beluk
morfem, bagaimana cara menentukan suatu bentuk adalah
morfem atau bukan,bagaimana morfem-morfem itu
berproses menjadi kata. Proses-proses yang membicarakan
kata dalam morfologi disebut dengan proses
morfemis/proses morfologis.Proses morfemis berkenaan
dengan proses afiksasi, reduplikasi, komposisi, konversi,
dan modifikasi (chaer, 1994: 1770). Proses-proses
morfemis tersebut tidak akan dibicarakan lebih lanjut pada
bab ini.
c. Bidang sintaksis
Sintaksis membicarakan hubungan kata dengan kata lain
46
atau unsur-unsur lain sebagai suatu satuan ujaran. Hal ini
sesuai dengan asal-usul kata sintaksis itu sendiri, yaitu
bahasa Yunani sun (dengan) dan tattein (menempatkan).
Jadi, secara etimologi sintaksis berarti menempatkan kata
secara bersama-sama menjadi kelompok kata atau kalimat
(Chaer, 1994: 206).d. Bidang Semantik
Semantik adalah ilmu yang membicarakan makna atau arti
suatu bahasa. Semantik merupakan salah satu komponen
dari tata bahasa (di samping sintaksis dan morfologi) juga
makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik.
e. Bidang Leksikologi
Dalam ilmu linguistik, istilah leksikologi berarti
perbendaharaan kata. Cabang linguistik yang
membicarakan leksikon disebut leksikologi. Leksikologi
disebut juga dengan ilmu kosa kata yaitu ilmu yang
mempelajari seluk-beluk kata, menyelidiki kosa kata suatu
bahasa, baik mengenai pemakaiannya maknanya, seperti
yang dipakai oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan,
juga dipelajari mengenai bentuk dan sejarahnya (Usman,
1979:1).
2. Linguistik Makro
Linguistik makro mengkaji hubungan bahasa dengan
faktor-faktor di luar bahasa. Dengan kata lain, linguistik
makro mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat
pemakai bahasa dari situasi penggunaan bahasa. Khusus
untuk linguistik makro, akan menitikberatkan kajian pada
subkategori sosiolinguistik.
a. Masalah-masalah Sosiolinguistik
Masalah dalam sosiolinguistik maksudnya adalah hal-hal
yang merupakan topik-topik yang dibahas/dikaji dalam
47
sosiolinguistik. Dalam konferensi sosiolinguistik pertama di
Universitas of California, dirumuskan tujuh masalah yang
dibicarakan dalam sosiolinguistik. Ketujuh masalah
tersebut adalah (Chaer dan Agustina, 1995: 7) 1)
Identitas sosial penutur;
2) Identitas sosial dari pendengar yang terlibat;
3) Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur;
4) Analisis sinkronik dan diakronik dai dialek-dialek
sosial;
5) Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap
perilaku bentuk-bentuk ujaran;
6) Tingkatan variasi dnaragam linguistik;
7) Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Di samping tujuh masalah sosiolinguistik tersebut, ada
masalah lain yang intinya hampir sama dengan masalah
tersebut. Adapun masalah/topik-topik dalam sosiolinguistik
tersebut dibicarakan oleh Nababan (1991: 4), yaitu:
1) Bahasa, dialek, idiolek, dan ragam bahasa;
2) Repertoir bahasa;
3) Masyarakat bahasa;
4) Kedwibahasaan dan kegandaan;
5) Fungsi masyarakat bahasa dan profil sosiolinguistik;
6) Penggunaan bahasa/etnografi berbahasa;
7) Sikap bahasa;
8) Perencanaan bahasa;
9) Interaksi sosiolingusitik;
10) Bahasa dan kebudayaan.
48
· Bahasa, dialek, dan idiolek
Perbedaan ketiga istilah ini terdapat pada definisi masing-
masing. Jika yang dibicarakan bahasa seseorang atau ciri
khas yang dimiliki oleh seseorang individu dalam
menggunakan bahasa disebut idiolek. Idiolek seorang
individu akan berbeda-beda dengan idiolek individu lain.
Jika, idiolek-idiolek lain dapat digolongkan dalam satu
kumpulan kategori disebut dialek. Jadi, dialek itu
merupakan ciri khas sekelompok individu/masyarakat
dalam menggunakan bahasa.Dialek ini juga dibedakan atas
dua bagia, yaitu dialek geografi dan dialek sosial. Dialek
geografi adalah persamaan bahasa yang disebabkan oleh
letak geografi yang berdekatan sehingga memungkinkan
komunikasi yang sering di antara penutur-penutur idiolek
itu. Dialek sosial adalah persamaan yang disebabkan oleh
kedekatan sosial, yaitu penutur-penutur idiolek itu termasuk
dalam satu glongan masyarakat yang sama.Dalam kerangka
ini, bahasa termasuk dalam kategori kebahasaan yang tediri
dari dialek tiap-tiap penuturnya saling mengerti/Mutual
Inteligibility dan dianggap oleh penuturnya sebagai suatu
kelompok kebahasaan yang sama. Dengan kata lain, bahasa
terdiri dari dialek yang dimiliki oleh sekelompok penutur
tertentu yang sewaktu berkomunikasi satu sama lain dapat
saling mengerti.
· Verbal Repertoire
Istilah verbal repertoire diartikan sebagai kemampuan
berkomunikasi yang dimiliki oleh penutur. Artinya, penutur
mampu berkomunikasi dalam berbagai ragam bahasa
kepada pihak lainalam berbagai ujaran, maka akan semakin
49
luaslah verbal repertoire yang dimiliki oleh penutur
(Alwasilah, 1985: 68).
· Masyarakat Bahasa
Masyarakat bahasa adalah sekumpulan manusia yang
menggunakan sistem isyarat bahasa yang sama Bloomfield
(dalam Nababan, 1991: 5). Pengertian masyarakat bahasa
menurut Bloomfiled oleh para ahli sosiolinguistik dianggap
terlalu sempit karena setiap orang menguasai dan
menggunakan lebih dari satu bahasa.Corder (dalam
Alwasilah, 1985: 41) mengatakan, bahwa masyarakata
bahasa adalah sekelompok orang yang satu sama lain bisa
saling mengerti sewaktu mereka berbicara. Apabila dilihat
dari dua konsep ahli tersebut dapat dikatakan, bahwa
masyarakat bahasa itu dapat terjadi dalam sekelompok
orang yang menggunakan bahasa yang sama dana
sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang berbeda
dengan syarat di antara mereka terjadi saling pengertian.
· Kedwibahasaan/kegandaan
Kedwibahasaan artinya kemampuan/kebiasaan yang dimilik
oleh penutur dalam menggunakan bahasa. Banyak aspek
yang berhubungan dengan kajian kedwibahasaan, antara
lain aspek sosial, individu, pedagogis, dan psikologi. Di sisi
lain, kata kedwibahasaan ini mengandung dua konsep, yaitu
kemampuan mempergunakan dua bahasa/bilingualiatas dan
kebiiasaan memakai dua bahasa/ bilingualism. Dalam
bilingualitas, dibicarakan tingkat penguasaan bahasa dan
jenis keterampilan yang dikuasai, sedangkan dalam
bilingualism dibicarakan pola-pola penggunaan kedua
bahasa yang bersangkutan, seringnya dipergunakan setiap
50
bahasa, dan dalam lingkungan bahasa yang bagaimana
bahasa-bahasa itu dipergunakan.Di samping bilingualitas
dan bilingualism, dalam kedwibahasaan juga dibicarakan
masalah alih kode (code switching), campur kode (kode
mixing), interferensi dan integrasi. Perbedaan antara
keempat hal tersebut akan dibicarakan lebih lanjut pada bab
berikutnya.
51
sequences, key, instrumentalities, norm, dan genre). Berikut
ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai SPEAKING.
(1) Setting dan SceneSetting dan Scene berhubungan
dengan latar atau tempat peristiwa tutur terjadi. Tempat
peristiwa tutur berkaitan dengan where dan when (waktu
bicara dan suasana, kapan dan suasana yang tepat untuk
menggunakan tuturan).
(2) ParticipantParticipant adalah alat penafsir yang
menanyakan siapa saja pengguna bahasa (penutur, mitra
tutur, dan pendengar).
(3) EndKomponen tutur end mengacu pada maksud dan
tujuan yang ingin dicapai dalam aktivitas berbiacara.(4)
Act SequenceKomponen tutur art squence berhubungan
dengan bentuk dan isi suatu tuturan.
(5) KeyKomponen tutur key berhubungan dengan manner,
nada suara, sikap atau cara berbicara.
(6) Instrumentalis
Instrumentalis berhubungan dengan channel/saluran dan
bentuk bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan.
(7) NormKomponen tutur Norm berhubungan dengan
kaidah-kaidah tingkah laku dalam interaksi dan interpretasi
komunikasi. Norm interaksi dicerminkan oleh tingkat sosial
atau hubungan sosial yang umum dalam sekelompok
masyarakat.
(8) GenreGenre merupakan kategori yang dapat
ditentukan lewat bentuk bahasa yang digunakan.
· Sikap bahasa
Sikap bahasa dikaitkan dengan motivasi belajar suatu
bahasa. Pada hakikatnya, sikap bahasa adalah kesopanan
bereaksi terhadap suatu keadaan. Dengan demikian, sikap
52
bahasa menunjuk pada sikap mental dan sikap perilaku
dalam berbahasa. Sikap bahasa dapat diamati antara lain
melalui perilaku berbahasa atau perilaku bertutur.
· Perencanaan bahasa
Perencanaan bahasa berhubungan dengan proses
pengembangan bahasa, pembinaan bahasa, dan politik
bahasa. Perencanaan bahasa disusun setelah dan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh
kebijaksanaan bahasa. Perencaan bahasa harus meliputi dua
aspek pokok, yaitu pokok yang berhubungan dengan materi
bahasa atau korpusvatau kode (Suwito, 1982: 66).
· Interaksi sosiolingustik
Dalam interaksi sosiolinguistik, dibicarakan tentang
kemampuan komunikatif penutur. Di samping itu,
dibicarakan juga makna yang sebenarnya dari unsur-unsur
kebahasaan karena satu kata/bahasa dapat memiliki makna
ganda. Artinya, makna satu kata/bahasa bergantung pula
pada konteks pemakaiannya. Contohnya, dalam bahasa
Minangkabau, kata banak memiliki makna yang berbeda
dalam konteks yang berbeda.
1. Jika kata banak diucapkan oleh seorang pelanggan
masuk rumah makan Minangkabau dengan ujaran, Lai
banak Pak artinya ‘Ada gulai otak Pak?’.
2. Jika kata banak diucapkan oleh seorang ibu memarahi
anaknya; Lai banak ang ndak? Artinya, ‘Kamu punya otak
apa tidak?.
53
sebagai unsur budaya dan kebudayaan umum. Bahasa
sangat memengaruhi oleh kebudayaan, segala hal yang ada
dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.Bahasa
merupakan suatu sistem vokal simbol yang bebas yang
dipergunakan oleh anggota masyarakat untuk berinteraksi.
Bahasa dapat dikaji dari dua aspek, yaitu hakekat dan
fungsinya (Nababan, 1991: 46). Menurut Nababan secara
garis besarnya hakekat bahasa membicarakan sistem suatu
unsur bahasa, sedangkan bahasa yang paling mendasar
ialah untuk komunikasi. Dengan berkomunikasi akan
terjadi suatu sistem sosial atau masyarakat, tanpa
komunikasi tidak ada masyarakat. Masyarakat atau sistem
sosial manusia berdasarkan dan bergantung pada
komunikasi kebahasaan, tanpa bahasa tidak ada sistem
kemasyarakatan manusia dan akan lenyaplah
kemanusiaan.Berbicara masalah masyarakat, tidak terlepas
dari masalah kebudayaan. Kebudayaan memiliki berbagai
definisi bergantung pada sudut pandang pembuat definisi
itu sendiri. Kroeber dan Kluckhohn (dalam Nababan,
1991: 49) mengumpulkan definisi kebudayaan dari
beberapa ahli antropologi dan membaginya atas enam
golongan, yaitu:
1. Deskriptif (yang menekankan unsur-unsur
kebudayaan);
2. Historis (yang menekankan bahwa kebudayaan itu
diwarisi secara kemasyarakatan);
3. Normatif (yang menekankan hakikat kebudayaan
sebagai aturan hidup dan tingkah laku);
4. Psikologis (yang menekankan kegunaan kebudayaan
dalam penyesuaian diri pada lingkungan);
5. Struktural (yang menekankan sifat kebudayaan
54
sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur); serta
6. Genetis (yang menekankan terjadinya kebudayaan
sebagai hasil karya manusia).
Di sisi lain, Ohoiuwutun (2002: 77) mengatakan
kebudayaan itu mencakup seluruh perbuatan manusia.
Bahasa dan kebudayaan selalu terealisasi secara tumpang
tindih. Pengaruh timbal balik antara bahasa dan kebudayaan
dapat dilihat dalam belajar bahasa kedua atau bahasa asing.
Pola-pola komunikasinya yang dipengaruhi oleh
kebudayaan jelas dapat ditelusuri melalui pengamatan
terhadap kecenderungan–kecenderungan berbahasa
(Ohoiwutun, 2002: 79). Berdasarkan penjelasan tersebut,
dapat dikatakan eratnya hubungan antara bahasa dan
kebudayaan. Melalui bahasa seorang atau masyarakat kita
dapat mengetahui kebudayaan orang atau masyarakat
tersebut.
55
sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab
dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut,
masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan
pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan
yang mempunyai aspek yang sangat
56
dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir
leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat
struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis
dalam bahasa.
PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana
disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya
Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri
dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki
bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.
Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss
memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari
simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama,
yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.
57
untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.
58
kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada
lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat
kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya
kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
59
bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang
berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat,
sehingga tidak dapat dipisahkan.
60
bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem
kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu
61
adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai
kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi
sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk
menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata
rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain
berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau
padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya
Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain
yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada
kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
62
DAFTAR PUSTAKA
Aslindgf.2007.Variasi bahasa.http://larasati-
cadiva.blogspot.com/2010/04/variasibahasa.html. diakses
10 April 2011.
Bloomfield, Leonard. 1995. Language (diterjemahkan oleh
I. Sutikno). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown, Pnelope and Colin Fraser. 1979. Speech as a
Marker of Situation, In Klaus R. Schere and Howard Giles,
end, Social Markeus in Speech. Cambridge:Cambridge
University Press.
Chaer, Abdul dkk. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Kartomihardjo, Soesono. 1998. Bahasa Cermin Kehidupan
Masyarakat. Jakarta: Depdikbud
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Awal
Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Kridalaksana, Harimurti.1998. Introduction to Word
Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas
Indonesia.
Nababan, P.J.W. 1991.Sosiolinguistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Penny, Ralph. 2011. Variation and Change in Spanish.
United Kingdom: Cambridge University Press
Samsuri, 1994. Analsis Bahasa Memahami Bahasa Secara
Alamiah. Jakarta:Erlangga
63
Saussure, de Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik
Umum. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univerty
Press.
Suandi, I Nengah. 1996. Pemakaian Tingkat Tutur Bahasa
Bali Alus Kaum Remaja di Kota Singaraja. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Sabda. Supendi, Ketut Ayu. 2007. Kosakata yang
Punah Oleh Modernisasi dalam Sistem Pertanian
Tradisional : Khususnya Pertanian Padi di Desa Busungbiu
Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng. Skripsi:tidak
diterbitkan. Singaraja : IKIP Singaraja.
Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction Sosiolinguistik
Third Editor. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
64
PANDANGAN SOSIOLINGUISTIK
TERHADAP BAHASA
KELOMPOK II :
1. WINDA WIDYA NINGSIH. B. (217 502 006)
2. MEGA PUTRI (217 502 033)
3. ASNI (217 502 009)
4. NURUL ASMA (217 502 024)
5. IKA ASRIANTI PUSPITASARI (217 502 004)
6. HASWITA (217 502 039)
65
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
66
DAFTAR ISI
67iii