Anda di halaman 1dari 67

Pandangan sosiolinguistik terhadap bahasa

terbagi 3:

1. Pandangan linguistik terhadap bahasa


1. Pendahuluan
Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan
sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’
(Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of
English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:
“The scientific study of language and its structure,
including the study of grammar, syntax, and phonetics.
Specific branches of linguistics include sociolinguistics,
dialectology, psycholinguistics, computational linguistics,
comparative linguistics, and structural linguistics.”
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian
tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara
garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1)
tata bahasa tradisional dan (2) linguistik modern.
Selanjutnya Linguistik dapat dibagi menjadi beberapa
cabang yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.

2. Tahapan Studi Linguistik


a. Tahap pertama yaitu tahap spekulasi maksudnya
pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data
empiris, melainkan pada dongeng/cerita dan klasifikasi.
b. Tahap kedua, tahap observasi dan klasifikasi. Pada
tahapan ini diadakan pengamatan dan penggolongan
terhadap bahasa-bahasa yang diselidiki, tetapi belum
sampai pada merumuskan teori.

1
c. Tahap ketiga, tahap perumusan teori atau membuat
teori-teori, sehingga dapat dikatakan bersifat ilmiah.

3. Sejarah dan Aliran Linguistik


3.1 Linguistik Tradisional
Sejarah Linguistik dimulai dari linguistik tradisional, Tata
bahasa tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat
dan semantik; sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan
struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa
tertentu. Misalnya dalam merumuskan kata kerja, tata
bahasa tradisional mengatakan kata kerja adalah kata yang
menyatakan tindakan atau kejadian; sedangkan tata bahasa
struktural menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat
berdistribusi dengan frase “dengan . . . .”.
Dalam perkembangannya di dalam aliran linguistik
tradisional dikenal linguistik zaman Yunani. Sejarah studi
bahasa pada zaman Yunani ini sangat panjang, yaitu dari
lebih kurang abad ke-5 S.M sampai lebih kurang abad ke 2
M. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan
pada linguis pada waktu itu adalah pertentangan antara
bahasa bersifat alami (fisis) dan bersifat konvensi (nomos).
Bersifat alami atau fisis maksudnya bahasa itu mempunyai
hubungan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi
dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri. kaum
naturalis adalah kelompok yang menganut faham itu,
berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan
dengan benda yang ditunjuknya. Atau dengan kata lain,
setiap kata mempunyai makna secara alami, secara fisis.
Sebaliknya kelompok lain yaitu kaum konvensional,
berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi, artinya,
makna-makna kata itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi dan

2
kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa
berubah.
Selanjutnya yang menjadi pertentangan adalah antara
analogi dan anomali. Kaum analogi antara lain Plato dan
Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur.
Karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun
tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang dapat disusun
hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu. Sebaliknya,
kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak
teratur. Kalau bahasa itu tidak teratur mengapa bentuk
jamak bahasa Inggris child menjadi children, bukannya
childs; mengapa bentuk past tense bahasa Inggris dari write
menjadi wrote dan bukannya writed ?
Kelompok-kelompok yang termasuk dalam aliriran ini
adalah Kaum Sophis (abad ke-5 S.M), Plato (429-347 S.M),
Aristoteles (384-322 S.M), Kaum Stoik (Abad ke- 4S.M),
Kaum Alexandrian.
Kemudian dikenal lingistik zaman Romawi. Studi bahasa
pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan dari zaman
Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani dan munculnya
kerajaan Romawi. Tokoh pada zaman romawi yang
terkenal antara lain, Varro (116 – 27 S.M) dengan karyanya
De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones
Grammaticae.
Lalu, linguistik zaman Pertengahan. Studi bahasa pada
zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh
terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa Latin
menjadi Lingua Franta, karena dipakai sebagai bahasa
gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu pengetahuan.
Berikutnya, linguistik zaman Renaisans. Dalam sejarah

3
studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang
menonjol yang perlu dicatat, yaitu :
1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada
waktu itu juga menguasai bahasa Yunani, bahasa Ibrani,
dan bahasa Arab.
2) Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-
bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam
bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa dan malah
juga perbandingan.
Dan yang terakhir yang termasuk ke dalam linguistik
tradisional adalah masa menjelang lahirnya linguistik
modern. Dalam masa ini ada satu tonggak yang sangat
penting dalam sejarah studi bahasa, yaitu dinyatakan
adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sanskerta
dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin dan bahasa-bahasa
Jerman lainnya. Dalam pembicaraan mengenai linguistik
tradisional di atas, maka secara singkat dapat dikatakan,
bahwa :
a) Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal adanya
perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan;
b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan
dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa lain,
terutama bahasa Latin;
c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara prekriptif, yakni
benar atau salah;
d) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan
melibatkan logika;
e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu
cenderung untuk selalu dipertahankan.

4
3.2. Linguistik Strukturalis

Linguistik strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu


bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa
itu. Berikut ini merupakan tokoh dan aliran linguistik
strukturalis.
Pertama, Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure
(1857 – 1913) dianggap sebagai bapak linguistik modern
berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam
bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan
diterbitkan oleh Charles Bally dan albert Sechehay tahun
1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai
konsep :
1) Telaah sinkronik dan diakronik
Telaah bahasa secara sinkronik adalah mempelajari suatu
bahasa pada suatu kurun waktu tertentu saja. Sedangkan
telaah bahasa secara diakronik adalah telaah bahasa
sepanjang masa, atau sepanjang zaman bahasa itu
digunakan oleh para penuturnya.
2) Perbedaan La Langue dan La Parole
La Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi
sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu
masyarakat bahasa, sifatnya abstrak. Sedangkan yang
dimaksud dengan La Parole adalah pemakaian atau
realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat
bahasa; sifatnya konkret karena parole itu tidak lain
daripada realitas fisis yang berbeda dari orang yang satu
dengan orang yang lain.
3) Perbedaan signifiant dan signifie

5
Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi
yang timbul dalam pikiran kita, sedangkan signifie adalah
pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita.
4) Hubungan sintagmatik dan paradigmatif
Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur
yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara
berurutan, bersifat linear. Sedangkan hubungan
paradigmatik adalah hubungan unsur-unsur yang terdapat
dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak
terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.
Kedua, Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas
prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius
(1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah
yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik
dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri,
sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut
dalam suatu sistem.
Ketiga, Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya
antara lain : Louis Hjemslev (1899 – 1965), yang
meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Hjemslev juga
menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan, dan
mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan
paradigmatik.
Keempat, aliran firthian, nama John R. Firth (1890 – 1960)
guru besar pada Universitas London sangat terkenal karena
teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran
yang dikembangkannya dikenal dengan nama aliran
Prosodi.
Kelima, aliran sistemik, nama aliran linguistik sistemik
tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K Halliday, yaitu
salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth

6
mengenai bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi
kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus Firth dan
berdasarkan karangannya Categories of the Theory of
Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday
dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguistics atau Scals
and Category Linguistics. Namun kemudian ada nama baru,
yaitu Systemic Linguistics (SL).
Keenam, Leonard Bloomfield dan strukturalis Amerika.
Beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran
strukturalisme :
1) Pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi
masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di
Amerika yang belum diperlukan.
2) Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan
dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu di
Amerika, yaitu filsafat behaviorisme.
3) Diantara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik,
karena adanya The Linguistics Society of America, yang
menerbitkan majalah Language; wadah tempat
melaporkan hasil kerja mereka.
Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja
mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang
objektif untuk memberikan suatu bahasa.
Ketujuh adalah Aliran Tagmemik. Aliran ini dipelopori
oleh Kenneth L. Price, seorang tokoh dari Summer Institute
of Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan
Bloomfeld, sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis,
tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini satuan dasar dan
sintaksis adalah tagmem. Tagmem adalah korelasi antara
fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-

7
bentuk kata yang dapat saling diperlukan untuk mengisi slot
tersebut.

3.3. Linguistik Tranformasional dan Aliran-aliran


Sesudahnya
Dunia ilmu termasuk linguistik, bukan merupakan kegiatan
yang statis, melainkan merupakan kegiatan yang dinamis,
berkembang terus menerus sesuai dengan filsafat ilmu itu
sendiri yang selalu mencari kebenaran yang hakiki.
3.3.1. Tata Bahasa Transformasi
Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku
adalah Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan
teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures
(1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam
perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan
pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya
melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut
standard theory. Karena pendekatan teori ini secara
sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini
disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada
tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard
theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis
buku generative semantics; tahun 1980 government and
binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.
Setiap tata bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky
adalah merupakan teori dari bahasa itu sendiri; dan tata
bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat
diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat
yang wajar dan tidak dibuat-buat.

8
2) Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa,
sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak
berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan
semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik
tertentu.
3.3.2. Semantik Generatif
Menjelang dasawarsa tujuh puluhan beberapa murid dan
pengikut Chomsky, antara lain Pascal, Lakoff, Mc Cawly,
dan Kiparsky, sebagai reaksi terhadap Chomsky,
memisahkan diri dari kelompok Chomsky dan membentuk
aliran sendiri. Kelompok Lakoff ini, kemudian terkenal
dengan sebutan kaum Semantik generatif.
Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantik
dan sintaksis diselidiki bersama sekaligus karena keduanya
adalah satu.
3.3.3. Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus atau teori kasus pertama kali
diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam karangannya
berjudul “The Case for Case” tahun 1968 yang dimuat
dalam buku Bach, E. dan R. Harms Universal in Linguistic
Theory, terbitan Holt Rinehart and Winston.
Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore
membagi kalimat atas (1) modalitas, yang bisa berupa unsur
negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi, yang
terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus.
Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalah
hubungan antara verba dengan nomina.
3.3.4. Tata Bahasa Relasional
Tata bahasa relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai
tantangan langsung terhadap beberapa asumsi yang paling

9
mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh aliran
tata bahasa transformasi.
3.4. Tentang Linguistik Di Indonesia
Hingga saat ini bagaimana studi linguistik di Indonesia
belum ada catatan yang lengkap, meskipun studi linguistik
di Indonesia sudah berlangsung lama dan cukup semarak.
Pada awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan oleh
para ahli Belanda dan Eropa lainnya, dengan tujuan untuk
kepentingan pemerintahan kolonial. Pendidikan formal
linguistik di fakultas sastra (yang jumlahnya juga belum
seberapa) dan di lembaga-lembaga pendidikan guru sampai
akhir tahun lima puluhan masih terpaku pada konsep-
konsep tata bahasa tradisional yang sangat bersifat
normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut
perkenalan dengan konsep-konsep linguistik modern. Pada
tanggal 15 November 1975, atas prakarsa sejumlah linguis
senior berdirilah organisasi kelinguistikan yang diberi nama
Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). Anggotanya
adalah para linguis yang kebanyakan bertugas sebagai
pengajar di perguruan tinggi negeri atau swasta dan di
lembaga-lembaga penelitian kebahasaan. Penyelidikan
terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan bahasa
nasional Indonesia, banyak pula dilakukan orang di luar
Indonesia. Misalnya negeri Belanda, London, Amerika,
Jerman, Rusia, dan Australia banyak dilakukan kajian
tentang bahasa-bahasa Indonesia. Sesuai dengan fungsinya
sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa
negara maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki
tempat sentral dalam kajian linguistik dewasa ini, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Pelbagai segi dan
aspek bahasa telah dan masih menjadi kajian yang

10
dilakukan oleh banyak pakar dengan menggunakan
pelbagai teori dan pendekatan sebagai dasar analisis. Dalam
kajian bahasa nasional Indonesia, di Indonesia tercatat
nama-nama seperti Kridalaksana, Kaswanti Purwo,
Dardjowidjojo, dan Soedarjanto, yang telah menghasilkan
tulisan mengenai pelbagai segi dan aspek bahasa Indonesia.
4. Kajian Fonologi
Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disusun berdasarkan
kesepakatan bersama yang digunakan sebagai alat
komunikasi dalam rangka menjalankan interaksi sosial.
Interaksi yang dapat terjadi dapat menggunakan :
A bunyi → verbal
A tulis → lambang terhadap bunyi
Beberapa dasar tentang berbahasa :
Bebicara → bunyi
Mendengarkan → menyimak
Menulis → lambang
Membaca → memahami lambing

4.1 Defenisi Fonologi


Fonologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang
mempelajari tata bunyi/kaidah bunyi dan cara
menghasilkannya. Mengapa bunyi dipelajari? Karena
wujud bahasa yang paling primer adalah bunyi. Bunyi
adalah Getaran udara yang masuk ke telinga sehingga
menimbulkan suara.
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dibentuk oleh tiga faktor,
yaitu pernafasan (sebagai sumber tenaga), alat ucap (yang
menimbulkan getaran), dan rongga pengubah getaran (pita
suara). Fonologi dibedakan menjadi, fonetik dan fonemik.
Didalam fonologi terdapat istilah fonem, fon, dan alofon.

11
Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang masih abstrak
atau yang tidak diartikulasikan. Fonem merupakan aspek
bahasa pada aspek langue (istilah de Sausure), misalnya /t/.
/d/, /c/. Fon adalah realisasi dari fonem (parole), atau bunyi
yang diartikulasikan (diucapkan) misalnya {lari}. Alofon
adalah perbedaan bunyi yang tidak menimbulkan
perbedaan makna, misalnya /i/ dan /I/ dalam /menangIs/.
Bunyi Vokal : bunyi yang tidak mengalami hambatan di
daerah artikulator. Disebut juga huruf hidup karena dapat
berdiri sendiri dan dapat menghidupkan konsonan. Terdiri
dari : a, i, u, e, o. Diftong → au, ai, oi.

4.2 Klasifikasi vokal :


Berdasarkan bentuk bibir
· Vokal bulat → a, o, u
· Vokal lonjong → i, e
Berdasarkan tinggi rendah lidah
· Tinggi → i
· Tengah → e
· Bawah → a
Berdasarkan maju mundurnya lidah
· Depan → i, a
· Tengah → e
· Belakang → o
4.3 Bunyi Konsonan
Bunyi Konsonan adalah bunyi yang mengalami hambatan
dalam pengucapan.
4.3.1. Pembentukan konsonan
a) Bilabial : pembentukan konsonan oleh 2 bibir. (b, p, m)
b) Apikodental : pembentukan konsonan oleh ujung lidah
dan gigi (t, d, h)

12
c) Labiodental : pembentukan konsonan oleh gigi dan
bibir (f, v)
d) Palatal : lidah – langit-langit keras (c, j)
e) Velar : belakang lidah – langit-langit lembut (k,g)
f) Hamzah (glottal stop) : posisi pita suara tertutup sama
sekali.
g) Laringal : pita suara terbuka lebar, udara keluar melalui
geseran.
4.4 Macam-macam bunyi bahasa
a. Bunyi Segmental
Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh
pernafasan, alat ucap dan pita suara. Bunyi Segmental ada
empat macam
1. Konsonan= bunyi yang terhambat oleh alat ucap
2. Vokal = bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap
3. Diftong= dua vokal yang dibaca satu bunyi,
misalnya: /ai/ dalam sungai, /au/ dalam /kau/
4. Kluster= dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
Contoh Kluster/Konsonan Rangkap
ng: yang
ny: nyonya
kh: khusus, khas, khitmad,
pr: produksi, prakarya, proses
kr: kredit, kreatif, kritis, krisis
sy: syarat, syah, syukur
str: struktur, strata, strategi
spr: sprai
tr : tradisi, tragedi, tragis, trauma, transportasi.
b. Bunyi Supra Segmental
Dalam suatu runtutan bunyi yang sambung-bersambung
terus-menerus diselangseling dengan jeda singkat atau agak

13
singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah
bunyi, panjang pendek bunyi, ada bunyi yang dapat
disegmentasikan yang disebut bunyi segmental.
1 . Tekanan atau Stres
Menyangkut masalah keras lunaknya bunyi.
2 . Nada atau Pitch
Berkenaan dengan tinggi rendahnya bunyi.
3 Jeda atau Persendian
Berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar.
Jeda antar kata, diberi tanda ( / )
Jeda antar frase, diberi tanda ( // )
Jeda antar kalimat, diberi tanda ( # )
Perhatikan contoh aplikasi bunyi berikut ini!
Doa
Karya Chairil Anwar
Tuhanku//
Dalam/ termangu//
Aku// masih/ menyebut/ namaMu///
Biar/ susah sungguh//
Mengingat Kau// penuh seluruh///
CayaMu// panas suci //
Tinggal// kerdip lilin// di kelam sunyi///
Tuhanku//
aku/ hilang bentuk//
remuk///
Aku/ mengembara// di negeri asing//
Tuhanku//
di pintuMu// aku// mengetuk//
aku// tidak bisa// berpaling#

14
5. Kajian Morfologi
Jika fonologi mengidentifikasi satuan dasar bahasa sebagai
bunyi, morfologi mengidentifikasi satuan dasar bahasa
sebagai satuan gramatikal. Bagian dari kompetensi
linguistik seseorang termasuk pengetahuan mengenai
morfologi bahasa, yang meliputi kata, pengucapan kata
tersebut, maknanya, dan bagaimana unsur-unsur tersebut
digabungkan (Fromkin & Rodman, 1998:96). Morfologi
mempelajari struktur internal kata-kata. Jika pada umumnya
kata-kata dianggap sebagai unit terkecil dalam sintaksis,
jelas bahwa dalam kebanyakan bahasa, suatu kata dapat
dihubungkan dengan kata lain melalui aturan. Misalnya,
penutur bahasa Inggris mengetahui kata dog, dogs, dan
dog-catcher memiliki hubungan yang erat. Penutur bahasa
Inggris mengetahui hubungan ini dari pengetahuan mereka
mengenai aturan pembentukan kata dalam bahasa Inggris.
Aturan yang dipahami penutur mencerminkan pola-pola
tertentu (atau keteraturan) mengenai bagaimana kata
dibentuk dari satuan yang lebih kecil dan bagaimana
satuan-satuan tersebut digunakan dalam wicara. Jadi dapat
disimpulkan bahwa morfologi adalah cabang linguistik
yang mempelajari pola pembentukan kata dalam bahasa,
dan berusaha merumuskan aturan yang menjadi acuan
pengetahuan penutur bahasa tersebut. Dalam hubungannya
dengan sintaksis, beberapa relasi gramatikal dapat
diekspresikan baik secara infleksional (morfologis) atau
secara sintaksis (sebagai bagian dari struktur kalimat),
misalnya pada kalimat He loves books dan He is a lover of
books. Apa yang di dalam suatu bahasa ditandai dengan
afiks infleksional, dalam bahasa lain ditandai dengan urutan
kata dan dalam bahasa yang lain lagi dengan kata fungsi.

15
Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimat Maxim defends
Victor (Maxim mengalahkan Victor) memiliki makna yang
berbeda dengan kalimat Victor defends Maxim (Victor
mengalahkan Maxim). Urutan kata sangat penting.
Demikian halnya jika bahasa Inggris memiliki penanda
have dan be, bahasa Indonesia menggunakan afiksasi untuk
mengungkapkan hal yang sama, misalnya: Dokter
memeriksa saya. The doctor examinesme. Saya diperiksa
dokter. I was examined by the doctor. Selain itu, semua
morfem memiliki struktur gramatikal yang dilekatkan
padanya. Terkadang, makna gramatikal hanya tampak jika
morfem tersebut digabungkan dengan morfem lain (seperti
pada afiks yang dapat mengubah makna gramatikal).
Morfem infleksional adalah morfem yang tidak memiliki
makna di luar makna gramatikal, seperti penanda jamak
”s” dalam bahasa Inggris. Tetapi morfem lain
memiliki pengecualian, seperti pada kata hit – hit (present
– past), atau sheep – sheep (tunggal – jamak). Tata
bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun morfem.
Sebab morfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis
dan tidak semua morfem punya makna secara filosofis.
Morfem dikenalkan oleh kaum strukturalis pada awal abad
ke-20.

5.1 Identifikasi Morfem


Untuk menentukan bahwa sebuah satuan bentuk merupakan
morfem atau bukan kita harus membandingkan bentuk
tersebut di dalam bentuk lain. Bila satuan bentuk tersebut
dapat hadir secara berulang dan punya makna sama, maka
bentuk tersebut merupakan morfem. Dalam studi morfologi

16
satuan bentuk yang merupakan morfem diapit dengan
kurung kurawal ({ }) kata kedua menjadi {ke} + {dua}.
5.2 Morf dan Alomorf
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum
diketahui statusnya. Sedangkan Alomorf nama untuk
bentuk bila sudah diketahui status morfemnya (bentuk-
bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama) .
Melihat . me-
Membawa . mem-
Menyanyi . meny-
Menggoda . meng-
5.3 Klasifikasi Morfem
Klasifikasi morfem didasarkan pada kebebasannya,
keutuhannya, maknanya dan sebagainya.
5.3.1 Morfem bebas dan Morfem terikat
Morfem Bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran
morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Sedangkan
yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang
tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat
muncul dalam pertuturan. Berkenaan dengan morfem
terikat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama
bentuk-bentuk seperti : juang, henti, gaul, dan , baur
termasuk morfem terikat. Sebab meskipun bukan afiks,
tidak dapat muncul dalam petuturan tanpa terlebih dahulu
mengalami proses morfologi. Bentuk lazim tersebut disebut
prakategorial. Kedua, bentuk seperti baca, tulis, dan
tendang juga termasuk prakategorial karena bentuk tersebut
merupakan pangkal kata, sehingga baru muncul dalam
petuturan sesudah mengalami proses morfologi. Ketiga
bentuk seperti : tua (tua renta), kerontang (kering
kerontang), hanya dapat muncul dalam pasangan tertentu

17
juga, termasuk morfem terikat. Keempat, bentuk seperti ke,
daripada, dan kalau secara morfologis termasuk morfem
bebas. Tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
Kelima disebut klitika. Klitka adalah bentuk singkat,
biasanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat
tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat
tetapi tidak dipisahkan .
5.3.2 Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Morfem utuh adalah morfem dasar, merupakan kesatuan
utuh. Morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri
dari dua bagian terpisah. Catatan yang perlu diperhatikan
dalam morfem terbagi. Pertama, semua afiks disebut
konfiks termasuk morfem terbagi. Untuk menentukan
konfiks atau bukan, harus diperhatikan makna gramatikal
yang disandang. Kedua, ada afiks yang disebut sufiks yakni
yang disisipkan di tengah morfem dasar.
5.3.3 Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh
fonem segmental. Morfem suprasegmental adalah morfem
yang dibentuk oleh unsur suprasegmental seperti tekanan,
nada, durasi.
5.3.4 Morfem beralomorf zero
Morfem beralomorf zero adalah morfem yang salah satu
alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun
berupa prosodi melainkan kekosongan.
5.3.5 Morfem bermakna Leksikal dan Morfem tidak
bermakna Leksikal
Morfem bermakna leksikal adalah morfem yang secara
inheren memiliki makna pada dirinya sendiri tanpa perlu
berproses dengan morfem lain. Sedangkan morfem yang

18
tidak bermakna leksikal adalah tidak mempunyai makna
apa-apa pada dirinya sendiri.
5.3.6 Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (stem),
dan Akar(root)
Morfem dasar bisa diberi afiks tertentu dalam proses
afiksasi bisa diulang dalam suatu reduplikasi, bisa digabung
dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Pangkal
digunakan untuk menyebut bentuk dasar dari proses
infleksi. Akar digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak
dapat dianalisis lebih jauh.
6. Kajian Sintaksis
Morfosintaksis yaitu gabungan dari morfologi dan sintaksis.
Morfologi membicarakan tentang struktur internal kata.
Sintaksis membicarakan tentang hubungan kata dengan
kata lain.
6.1 Struktur Sintaksis
Struktur sintaksis ada tiga yaitu fungsi sintaksis, kategori
sintaksis, dan peran sintaksis. Dalam fungsi sintaksis ada
hal-hal penting yaitu subjek, predikat, dan objek. Dalam
kategori sintaksis ada istilah nomina, verba, adjektiva, dan
numeralia. Dalam peran sintaksis ada istilah pelaku,
penderita, dan penerima. Menurut Verhaar (1978), fungsi-
fungsi S, P, O, dan K merupakan kotak kosong yang diisi
kategori dan peranan tertentu.
Contohnya: Kalimat aktif: Nenek melirik kakek tadi pagi.
SPOK
pelaku sasaran
Kalimat pasif: Kakek dilirik nenek tadi pagi.
SPOK
sasaran pelaku

19
Agar menjadi kalimat berterima, maka fungsi S dan P harus
berurutan dan tidak disisipi kata di antara keduanya.
Struktur sintaksis minimal mempunyai fungsi subjek dan
predikat seperti pada verba intransitif yang tidak
membutuhkan objek.
Contohnya: Kakek makan.
Verba transitif selalu membutuhkan objek.
Contohnya: Nenek membersihkan kamarnya.
Menurut Djoko Kentjono(1982), hadir tidaknya fungsi
sintaksis tergantung konteksnya.
Contohnya: Kalimat seruan: Hebat!
Kalimat jawaban: Sudah!
Kalimat perintah: Baca!
Fungsi-fungsi sintaksis harus diisi kategori-kategori yang
sesuai. Fungsi subjek diisi kategori nomina, fungsi predikat
diisi kategori verba, fungsi objek diisi kategori nomina, dan
fungsi keterangan diisi kategori adverbia.
Contohnya: Dia guru.(salah) Dia adalah guru.(benar)
SOSPO
Kata “adalah” pada kalimat tersebut merupakan verba
kopula, seperti to be pada bahasa Inggris.
– Berenang menyehatkan tubuh.
SPO
Kata “berenang” menjadi berkategori nomina karena yang
dimaksud adalah pekerjaan berenangnya. Peran dalam
struktur sintaksis tergantung pada makna gramatikalnya.
Kata yang bermakna pelaku dan penerima tetap tidak
berubah walaupun kata kerja yang aktif diganti menjadi
pasif. Pelaku berarti objek yang melakukan pekerjaan.
Penerima berarti objek yang dikenai pekerjaan. Makna
pelaku dan sasaran merupakan makna gramatikal.

20
Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan
kata, bentuk kata, dan intonasi. Perbedaan urutan kata dapat
menimbulkan perbedaan makna.
Contohnya: tiga jam – jam tiga.
Nenek melirik kakek. – Kakek melirik nenek.
Dalam kalimat aktif transitif mempunyai kendala
gramatikal yaitu fungsi predikat dan objek tidak dapat
diselipi kata keterangan.
Contohnya: Nenek melirik tadi pagi kakek.(salah)
Intonasi merupakan penekanan. Perbedaan intonasi juga
menimbulkan perbedaan makna. Intonasi ada tiga macam
yaitu intonasi deklaratif untuk kalimat bermodus deklaratif
atau berita dengan tanda titik, intonasi interogatif dengan
tanda tanya, dan intonasi interjektif dengan tanda seru.
Intonasi juga dapat berupa nada naik atau tekanan.
Contohnya: Kucing / makan tikus mati.
Kucing makan tikus / mati.
Kalimat tersebut sudah berbeda makna karena tafsiran
gramatikal yang berbeda yang disebut ambigu atau taksa.
Konektor bertugas menghubungkan konstituen satu dengan
yang lain. dilihat dari sifatnya, ada dua macam konektor.
Konektor koordinatif menghubungkan dua konstituen
sederajat. Konjungsinya seperti dan, atau, dan tetapi.
Contohnya: Nenek dan kakek pergi ke sawah. Konektor
subordinatif menghubungkan dua konstituen yang tidak
sederajat. Konjungsinya seperti kalau, meskipun, dan
karena. Contohnya: Kalau diundang, saya tentu akan
datang.
7. Kajian Semantik
Status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi
dan sintaksis adalah tidak sama. Semantik dengan objeknya

21
yakni makna, berada di seluruh tataran, yaitu berada di
tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Makna yang
menjadi objek semantik sangat tidak jelas, tak dapat diamati
secara empiris, sehingga semantik diabaikan. Tetapi, pada
tahun 1965, Chomsky menyatakan bahwa semantik
merupakan salah satu komponen dari tata bahasa dan
makna kalimat sangat ditentukan oleh semantik ini.
7.1 Hakikat Makna
Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda
bahasa terdiri dari 2 komponen, yaitu komponen signifian
(yang mengartikan) yang berwujud runtunan bunyi, dan
komponen signifie (yang diartikan) yang berwujud
pengertian atau konsep (yang dimiliki signifian). Menurut
teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure, makna
adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat
pada sebuah tanda linguistik. Jika tanda linguistik tersebut
disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, berarti
makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh
setiap kata atau leksem. Jika disamakan dengan morfem,
maka makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki
oleh setiap morfem, baik morfem dasar maupun morfem
afiks.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata,
makna kata atau leksem itu seringkali terlepas dari
pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya.
Banyak pakar menyatakan bahwa kita baru dapat
menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah
berada dalam konteks kalimatnya. Pakar itu juga
mengatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan
apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau

22
konteks situasinya. Bahasa bersifat arbiter, sehingga
hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
7.2 Jenis Makna
a. Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada
leksem meski tanpa konteks apapun. Dapat juga dikatakan
bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya,
sesuai dengan hasil observasi indera kita atau makna apa
adanya. Makna gramatikal adalah makna yang ada jika
terjadi proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi,
komposisi atau kalimatisasi. Makna kontekstual adalah
makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu
konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan
situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan
penggunaan bahasa itu.
b. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem dikatakan bermakna referensial
jika ada referensnya atau acuannya. Ada sejumlah kata
yang disebut kata diektik, yang acuannya tidak menetap
pada satu wujud. Misalnya : kata-kata pronominal seperti,
dia, saya dan kamu.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna
sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna
denotatif sebenarnya sama dengan makna leksikal. Makna
konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna
denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang
yang menggunakan kata tersebut. Konotasi sebuah kata bisa
berbeda antara seseorang dengan orang lain.

23
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi menjadi makna
konseptual dan makna asosiatif. Makna konseptual adalah
makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari
konteks atau asosiasi apapun. Makna konseptual
sebenarnya sama dengan makna leksikal, deotatif dan
makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang
dimiliki sebuah leksem atau kata bahasa. Makna asosiasi
sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu
masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang
mempunyai kemiripan sifat, keadaaan atau ciri-ciri yang
ada pada leksem tersebut. Makna konotatif termasuk dalam
makna asosiatif, karena kata-kata tersebut berasosiasi
dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika
berkenaan dengan perbedaan penggunaan kata sehubungan
dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Makna
afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap
lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna
kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang
dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang bersinonim.
e. Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki oleh sebuah kata adalah
makna leksikal, denotatif atau makna konseptual. Namun,
dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas
jika kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Istilah mempunyai makna yang pasti,
jelas, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat.
Oleh karena itu, istilah sering dikatakan bebas konteks,
sedangkan kata tidak bebas konteks.

24
f. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat
diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal
maupun secara gramatikal. Idiom terbagi atas idiom penuh
dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua
unsurnya telah melebur menjadi satu kesatuan. Sedangkan
idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya
masih memiliki makna leksikal sendiri. Peribahasa
memilliki makna yang masih dapat ditelusuri dari makna
unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa.
7.3 Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat
antara satuan bahasa yang satu dengan yang lain.
a. Sinonim
Yaitu hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan
ujaran lainnya. Dua buah ujaran yang bersinonim
maknanya tidak akan sama persis. Ketidaksamaan itu
terjadi karena faktor :
1. Faktor waktu
2. Faktor tempat atau wilayah
3. Faktor keformalan
4. Faktor sosial
5. Faktor bidang kegiatan
6. Faktor nuansa makna
b. Antonim
Yaitu hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran
yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau
kontras antara yang satu dengan yang lain.

25
c. Polisemi
Yaitu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Dalam
kasus polisemi, biasanya makna pertama adalah makna
sebenarnya, yang lain adalah maknamakna yang
dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna
yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu,
makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang
polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lain.
d. Homonim
Yaitu dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya
“kebetulan” sama dan maknanya berbeda, karena masing-
masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.
Pada kasus homonim ada dua istilah lain yang biasa
dibicarakan, yaitu homofon dan homograf. Homofon adalah
adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran, tanpa
memperhatikan ejaannya. Homograf adalah bentuk ujaran
yang ortografinya dan ejaannya sama, tetapi ucapan dan
maknanya berbeda. Perbedaan antara homonim dengan
polisemi adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk
ujaran atau lebih yang “kebetulan” bentuknya sama, dan
maknanya berbeda, sedangkan polisemi yaitu sebuah
bentuk ujaran yang memiliki makna lebih dari satu. Dengan
demikian jelas bahwa antara keduanya tidak punya
hubungan sama sekali.
e. Hiponimi
Yaitu hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Relasi hiponimi bersifat searah.
f. Ambiguitas atau Ketaksaan
Yaitu gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat
tafsiran gramatikal yang berbeda. Ketaksaan terjadi dalam

26
bahasa tulis akibat perbedaan gramatikal karena ketiadaan
unsur lisan, karena ketidakcermatan dalam menyusun
konstruksi beranaforis. Perbedaan homonim dengan
ambiguiti adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk
atau lebih yang kebetulan bentuknya sama, sedangkan
ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan dua tafsiran
makna atau lebih. Perbedaan polisemi dengan ambiguitas
adalah bahwa polisemi biasanya hanya pada tataran kata,
dan makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu itu,
sedangkan ambiguiti adalah satu bentuk ujaran yang
mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat perbedaan
tafsiran gramatikal.
g. Redudansi
Yaitu kata yang berlebih-lebihan yang menggunakan unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran.
7.4 Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan
berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat
berubah. Dalam masa yang relative singkat, makna sebuah
kata tidak akan berubah, tetapi dalam waktu yang relative
lama ada kemungkinan makna tersebut akan berubah. Ini
tidak berlaku untuk semua kosakata, tetapi hanya terjadi
pada sebuah kata saja, yang disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain :
1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2. Perkembangan sosial budaya
3. Perkembangan pemakaian kata
4. Pertukaran tanggapan indera (sinestesia)
5. Adanya asosiasi
Asosiasi dapat berupa hubungan wadah dengan isinya, dan
juga berupa hubungan waktu dengan kejadian. Perubahan

27
makna ada beberapa macam. Ada perubahan meluas,
menyempit dan berubah total. Perubahan yang meluas yaitu
jika tadinya sebuah kata bermakna A, maka kemudian
menjadi bermakna B. Perubahan yang menyempit yaitu jika
tadinya sebuah kata memiliki makna yang sangat umum,
tetapi kini maknanya menjadi khusus atau sangat khusus.
Perubahan makna total yaitu makna yang dimiliki sekarang
sudah jauh berbeda dengan makna aslinya. Dalam
pembicaraan tentang perubahan makna, dikenal usaha
untuk menghaluskan dan mengkasarkan ungkapan. Usaha
untuk menghaluskan ini dikenal dengan nama eufemia atau
eufemisme. Sedangkan usaha untuk mengkasarkan dikenal
dengan nama disfemia, usaha ini sengaja dilakukan untuk
mencapai efek pembicaraan menjadi tegas.

Pandangan sosiolinguistik terhadap bahasa:


Sosiolinguistik memandang bahasa tidak hanya sebagai alat
komunikasi atau alat untuk menyampaikan pikiran. Karena,
yang menjadi sorotan dalam soiolingistik adalah siapa yang
berbicara, menggunakan bahasa apa, kepada siapa, kapan,
dan apa tujuannya. Pandangan sosiolingistik terhadap
bahasa dapat dilihat dari fungsi-fungsi bahasa melalui sudut
pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat
pembicaraan. Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi
personal atau pribadi atau emotif. Maksudnya, si penutur
menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Dilihat
dari segi pendengar, bahasa berfungsi direktif, yaitu
mengatur tingkah laku pendengar. Finnochiaro (1974) dan
Halliday (1973) menyebutnya fungsi instrumental,
sementara Jakobson (1960) menyebutnya fungsi retorikal.
Dalam hal ini, bahasa tidak hanya membuat si pendengar

28
melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai
dengan yang dimau si pembicara. Contohnya “Dilarang
merokok di ruangan ber-AC.”
Dilihat dari segi kontak antara penutur dengan
pendengar, bahasa berfungsi fatik. Jakobson (1960) dan
Finnochiaro (1974) menyebutnya interpersonal, sedangkan
Halliday (1973) menyebutnya interactional. Maksud dari
fungsi ini adalah menjalin hubungan, memelihara,
memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial.
Dalam hal ini, bahasa yang berfungsi fatik ini mempunyai
ungkapan-ungkapan yang sudah berpola dan biasanya
disertai dengan gerak paralinguistik seperti senyuman,
anggukan kepala, geleng-geleng kepala, dan kedipan mata.
Tujuannya tidak hanya memberikan informasi, tetapi
membangun kontak sosial dengan para partisipan dalam
pertuturan itu.
Fungsi bahasa dilihat dari segi topik ujaran ini
berfungsi referensial. Finnocchiaro (1974) dan Halliday
(1973) menyebutnya representational, sedangkan Jakobson
(1960) menyebutnya fungsi kognitif, ada juga yang
menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif.
Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional
bahwa bahasa itu alat untuk menyatakan pikiran, untuk
menyatakan bagaimana pendapat si penutur mengenai
dunia di sekelilingnya. Contohnya “UPI adalah IKIP tertua
di Indonesia.”
Fungsi bahasa apabila dilihat dari kode yang
digunakan adalah berfungsi metalingual atau metalinguistik
(Jakobson (1960) dan Finnocchiaro (1974)), artinya bahasa
itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri.
Fungsi bahasa lainnya dapat kita lihat dari segi amanat

29
(pesan yang akan disampaikan), di mana bahasa berfungsi
imajinatif, Halliday (1973) dan Finnocchiaro (1974)
menyebutnya fungsi poetic speech. Wujud dari poetic
speech ini berupa karya seni seperti puisi, cerita, dongeng,
lelucon, dan sebagainya. Kalau kita simpulkan, peranan
sosiolingistik terhadap bahasa ini pada intinya menilai
bahasa tidak sekadar alat untuk berkomunikasi atau
menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh dan lebih
kompleks dari itu. Sosiolingistik membuat kita tahu bahwa
bahasa itu dinamis, tidak terpaku pada satu ukuran, tetapi
harus melihat hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa
itu, dalam hal ini adalah sisi sosialnya. Melalui
sosiolingguistik, kita dapat memahami bahasa tidak dengan
sudut pandang yang
kaku. Contohnya adalah pandangan orang awam terhadap
Bahasa Jawa Tegal. Kebanyakan orang awam itu
menyatakan bahwa Bahasa Tegal adalah bahasa yang
paling kasar, tidak mempunyai nilai keindahan, dan
sebagainya. Akan tetapi, setelah saya tinjau dari sudut
pandang sosiolinguistik, di mana letak geografis Tegal yang
dekat dengan pantai. Orang pantai kalau berbicara
cenderung agak teriak apabila dibandingkan dengan orang
yang tinggal di daerah pegunungan. Kekasaran Bahasa
Jawa Tegal yang dinyatakan oleh orang kebanyakan itu
mungkin dilihat dari logat dan bicaranya yang keras.
Padahal hal itu salah satu penyebabnya adalah karena letak
Tegal yang merupakan daerah pantai.
Dengan adanya sosiolinguistik, kita tidak bisa
menghakimi bahasa dengan sesuka hati. Kita juga tidak bisa
menilai atau menetapkan suatu bahasa itu kasar atau tidak,
berestetik atau tidak, dan sebagainya. Dengan

30
sosiolinguistik, kita menjadi menghargai keunikan tiap
bahasa.

2. Pandangan sosiologi terhadap bahasa


Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara
sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang
mempunyai kaitan sangat erat. Apa sosiologi dan linguistik
itu? Banyak batasan telah dibuat oleh para sosiolog
mengenai sosiologi, tetapi intinya bahwa sosiologi adalah
kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam
masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial
yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha
mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung,
dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial
dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan
diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan
menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di
dalam masyarakat.
Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari
bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai
objek kajiannya. Dengan demikian, secara mudah dapat
dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu
antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya
dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan istilah
inilah yang akan digunakan dalam buku ini.
Sosiolinguistik adalah ilmu yang interdisipliner.
Istilahnya sendiri menunjukkan bahwa ia terdiri atas bidang

31
sosioligi dan linguistik. Dalam istilah linguistik-sosial
(sosiolinguistik) kata sosio adalah aspek utama dalam
penelitian dan merupakan ciri umum bidang ilmu tersebut.
Linguistik dalam hal ini juga berciri sosial sebab bahasa
pun berciri sosial, yaitu bahasa dan strukturnya hanya dapat
berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Aspek sosial
dalam hal ini mempunyai ciri khusus, misalnya ciri sosial
yang spesifik dan bunyi bahasa dalam kaitannya dengan
fonem, morfem, kata, kata majemuk, dan kalimat.
Selain istilah sosiolinguistik ada juga digunakan istilah
sosiologi bahasa. Dari kedua istilah tersebut ada yang
menganggap itu sama, tetapi ada juga yang menganggap
berbeda. Ada yang mengatakan digunakannya
sosiolinguistik karena penelitiannya dimasuki dari bidang
linguistik; sedangkan istilah sosiologi bahasa digunakan
kalau penelitian itu dimasuki dari bidang sosiologi.
Fishman dalam mengkaji masalah ini menggunakan judul
Sosiolinguistik (1970), kemudian menggantinya dengan
sosiologi bahasa, Sociology of Language (1972). Artikel
yang ditulis Fishman dalam Giglioli (ed. 1972:45-58)
memang membahas Sosiolinguistik di bawah judul
Sosiologi Bahasa. Dikatakannya bahwa “ilmu ini meneliti
interaksi antara dua aspek tingkah laku manusia:
penggunaan bahasa dan organisasi tingkah laku sosial”.
J.A. Fishman mengatakan kajian sosiolinguistik lebih
bersifat kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa
bersifat kuantitatif. Jadi sosiolinguistik lebih berhubungan
dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang
sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian
bahasa/dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakaian
bahasa/dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, dan

32
latar pembicaraan, sedangkan sosiologi bahasa lebih
berhubungan dengan faktor-faktor sosial, yang saling
bertimbal-balik dengan bahasa/dialek.
Bram & Dickey, (ed. 1986:146) menyatakan bahwa
Sosiolinguistik megkhususkan kajiannya pada bagaimana
bahasa berfungsi di tengah masyarakat. Mereka
menyatakan pula bahwa sosiolinguistik berupaya
menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-
aturan berbahasa secara tepat dalam situasi-situasi yang
bervariasi.
Sosiolinguistik juga menyangkut individu sebab
unsur yang sering terlihat melibatkan individu sebagai
akibat dari fungsi individu sebagai makhluk sosial. Hal itu
merupakan peluang bagi linguistik yang bersifat sosial
untuk melibatkan diri dengan pengaruh masyarakat
terhadap bahasa dan pengaruh bahasa pada fungsi dan
perkembangan masyarakat sebagai akibat timbal-balik dari
unsur-unsur sosial dalam aspek-aspek yang berbeda, yaitu
sinkronis, diakronis, prospektif — yang dapat terjadi– dan
perbandingan. Hal tersebut memungkinkan sosiolinguistik
membentuk landasan teoretis cabang-cabang linguistik
seperti: linguistik umum, sosiolinguistik bandingan,
antarlinguistik dan sosiolinguistik dalam arti sempit
(sosiolinguistik yang konkret) (Deseriev, 1977:341-363).
Sumbangan bidang sosiologi dan linguistik kepada
sosiolinguistik tidak sama, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Sumbangan unsur-unsur kemasyarakatan untuk
landasan sosial dari sosiologi dan linguistik, termasuk
seluruh perkembangan dari masyarakat, mencakup
kesadaran secara sosial dan individu, mulai dari kenyataan-
kenyataan yang ada dalam masyarakat hingga hasil yang

33
berbeda-beda dari perkembangan masyarakat secara
keseluruhan.

Permasalahan Sosiolinguistik
Konferensi sosiolinguistik pertama yang
berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun
1964 telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam
penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan
isu dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari
penutur. (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat
dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik
dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda
oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6)
tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan
praktis dari penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar
1976:128).
Identitas sosial dari penutur antara lain dapat
diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut,
dan bagaimana hubungannya dengan lawan tutur. Dengan
demikian identitas penutur dapat berupa anggota keluarga
(ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat
berupa teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja),
guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan
sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi
pilihan kode dalam bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat
dari pihak penutur. Dengan demikian identitas pendengar
itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, adik,
kakak, paman, dan sebagainya) teman karib, guru, murid,
tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya.

34
Identitas pendengar atau para pendengar juga akan
mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi
dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga,
di dalam masjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di
perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur
terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya
dalam bertutur, misalnya, di ruang perpustakaan tentunya
kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, di
lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah
di ruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus
berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu
tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.
Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek
sosial berupa deskripsi pola-pola dialek sosial itu, baik yang
berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa
yang tidak terbatas. Dialek sosial ini digunakan para
penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai
anggota kelas-kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap
bentuk-bentuk perilaku ujaran. Maksudnya, setiap penutur
tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam
masyarakat. Dengan demikian berdasarkan kelas sosialnya
itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang tentunya
sama, atau jika berbeda, tidak akan terlalu jauh dari kelas
sosialnya, terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang
berlangsung.
Tingkatan variasi atau linguistik, maksudnya bahwa
sehubungan dengan heterogennya anggota suatu
masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik
bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka

35
alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu menjadi
sangat bervariasi. Setiap variasi, entah namanya dialek
varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya masing-
masing.
Dimensi terakhir, yakni penerapan praktis dari
penelitian sosiolinguistik, merupakan topik yang
membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk
mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat,
misalnya, masalah pengajaran bahasa, pembakuan bahasa,
penerjemahan, mengatasi konflik sosial akibat konflik
bahasa, dan sebagainya
Sudah selayaknya kalau pembicaraan sosiolinguistik
membahas ketujuh dimensi penelitian sosiolinguistik
tersebut. Dalam buku ini berturut-turut akan dibicarakan
masalah komunikasi bahasa, masyarakat tutur, variasi
bahasa, bilingualisme dan diglosia, alih kode dan campur
kode, interferensi dan integrasi, perubahan, pergeseran, dan
pemertahanan bahasa, sikap dan pemilihan kode bahasa,
pengajaran bahasa, diakhiri dengan profil sosiolinguistik di
Indonesia.

36
Campur Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa
(language depency) dalam masyarakat multilingual
adalalah terjadinya campur kode (code-mixing).
Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi
situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh
adanya hubungan timbal balik antara peranan dan
fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang
menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan
berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan
tuturannya (Suwito 1991:88). Ciri lain dari gejala
campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau
variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain
tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah
menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara
keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam
kondisi yang maksimal campur kode merupakan
konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang
unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang
masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan
mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Kachru (1978:28 dalam Suwito 1991:89)
memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian
dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan
unsusr-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang
satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten
Selain itu, Thelander (1976:103 dalam Suwito
1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang
terlibat dalam “peristiwa campur” (co-occurance) itu
terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu
tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara

37
variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang
sama, maka peristiwa itu disebut campur kode.
Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode
menurut Suwito (1991:90-91) ada dua yaitu campur
kode yang bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab
terjadinya campur kode yang bersifat ke luar antara lain
: (a) identifikasi peranan,(b) identifikasi ragam dan (c)
keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam
hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan tidak
jarang bertumpah tindih. Ukuran untuk identifikasi
peranan adalah sosial, registral dan edukasional.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana
seorang penutur melakukan campur kode yang akan
menempatkan dia di dalam hierarki status sosialinya.
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak
karena campur kode juga menandai sikap dan
hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan
hubungan orang lain terhadapnya.
Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila
seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa
daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur
dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur
ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu,
campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal
balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan
fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar
belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk
campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi
tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian
dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan
identitas pribadinya di dalam masyarakat.

38
Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para ahli
di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode
merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan
saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain,
dimana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang
menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
tersendiri.

3. Pandangan sosiolinguistik terhadap bahasa


Pengertian Dan Perbedaan Sosiolinguistik Dengan
Sosiologi Bahasa

A. Definisi dan Hakikat Bahasa


Dalam buku Pengantar Sosiolinguistik Aslinda dan
Syafyahya (2010: 1) mengutip pendapat Kridalaksana
(1993: 21), bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri. Menurut Lyons (dalam Pateda dan Yenni, 1993:
4), bahwa bahasa adalah most of them hare taken the
views that languages are systems of symbols, designed,
as it were, for the purpose of communications. Dapat
dikatakan bahwa bahasa harus bersistem, berwujud
simbol yang kita lihat dan kita dengar dalam lambang,
serta bahasa digunakan oleh masyarakat dalam
berkomunikasi.Sedangkan hakikat bahasa (dalam
Aslinda dan Syafyahya, 2010: 2) dijelaskan, bahwa
bahasa dipergunakan oleh manusia dalam segala
aktivitas kehidupan. Dengan demikian, bahasa
merupakan hal yang paling hakiki dalam kehidupan

39
manusia. Reching Koen (dalam Pateda dan Yenni,
1993: 5) menyatakan, bahwa hakikat bahasa bersifat (a)
mengganti, (b) individual, (c) kooperatif, dan (d)
sebagai alat komunikasi.Bahasa dapat menggantikan
peristiwa/kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh
individu/kelompok. Dengan bahasa, seorang individu
atau kelompok dapat meminta individu/kelompok lain
untuk melakukan suatu pekerjaan. Kalimat yang
diucapkan oleh seorang individu kepada individu lain
bersifat individual. Setelah sebuah kalimat lahir dan
didengar oleh individu lain, lalu individu tersebut akan
melakukan pekerjaan yang diminta. Kesediaan individu
dalam melakukan pekerjaan itu tentu karena adanya
kerja sama antarindividu. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa bahasa bersifat kooperatif. Di samping
itu, bahasa juga digunakan sebagai alat komunikasi
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut adalah
faktor sosial dan faktor situasional.Selain empat hakikat
tersebut, Chaer (1994: 33) mengatakan, bahwa hakikat
bahasa itu ada 12 butir. Kedua belas butir hakikat
bahasa itu adalah sebagai berikut:
1. Bahasa adalah sebuah sistem.
2. Bahasa berwujud lambang.
3. Bahasa berwujud bunyi.
4. Bahasa bersifat arbitrer.
5. Bahasa bermakna.
6. Bahasa bersifat konvensional.
7. Bahasa bersifat unik.
8. Bahasa bersifat universal.
9. Bahasa bersifat produktif.
10. Bahasa bersifat dinamis.

40
11. Bahasa bervariasi.
12. Bahasa adalah manusiawi.

Dari dua belas butir hakikat bahasa tersebut, dapat


dikatakan bahwa bahasa merupakan hal paling penting
dalam kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh manusia
di segala bidang kehidupan. Mempelajari bahasa dan
mengkaji bahasa juga merupakan hal paling penting
dilakukan oleh manusia karena secara langsung akan
melestarikan dan mengiventarisasikan bahasa tersebut.
Dengan mempelajari dan melakukan pengkajian terhadap
bahasa, akan menghindari manusia dari kepunahan bahasa.

B. Istilah dan Pengertian Sosiolinguistik


Istilah sosiologi bahasa atau yang kini lebih populer
disebut sosiolinguistik (sejak tahun 1960), merupakan
istilah yang muncul sebab banyaknya persoalan di dunia
yang berhubungan dengan bahasa yang perlu diselesaikan.
Sosiologi bahasa menekankan perhatian pada aspek-aspek
tingkah laku manusia dan organisasi sosial bahasa yang
tercermin melalui tingkah laku berbahasa dan juga sikap
berbahasa. Tingkah laku berbahasa dan sikap berbahasa
menyangkut pula penggunaan bahasa dalam bidang-bidang
tertentu seperti politik dan pendidikan.Secara etimologi
sosiolinguistik merupakan ilmu yang menyangkut tentang
sosiologi dan linguistik, karena mempunyai kaitan erat
dengan kedua kajian tersebut. Sosio- adalah masyarakat,
dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi, sosiolinguistik
adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi
kemasyarakatan yang dipelajari oleh ilmu-ilmu sosial
khususnya sosiologi (Sumarsono, 2011: 1).

41
Aslinda dan Syafyahya (2010: 6) mengutip pendapat
Chaer dan Agustin (1995:3), bahwa kata sosiolinguistik
merupakan gabungan dari kata sosiologi dan linguistik.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai
manusia dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga
serta proses sosial yang ada di dalam masyarakat.
Sedangkan linguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang
mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan
demikian, sosiolinguistik merupakan bidang ilmu
antardisiplin yang mempelajari bahasa di dalam
masyarakat.
Appel (dalam Suwito, 1982: 2) mengatakan,
sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial
dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari
masyarakat dan kebudayaan tertentu, sedangkan yang
dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk
interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret. Dengan
demikian, dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat secara
internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi/komunikasi
di dalam masyarakat.
Harimurti Kridalaksana (1974, kuliah pada
penataran Leksikografi) mengatakan, sosiolinguistik yaitu
cabang linguistik yang berusaha untuk menjelaskan ciri-ciri
variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi
bahasa tersebut dengan cir-ciri sosial. Dalam buku lain
Kridalaksana (1978: 94) mengutip pendapat Fishman dan
mengatakan, sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa,
serta hubungan di antara bahasawan dengan ciri dan fungsi
itu dalam suatu masyarakat bahasa. Criper dan H.G.
Widdowson (dalam J..P.B. Allen dan S. Pit Corder Ed.

42
1975: 156) mengatakan, Sociolinguistics is the study of
language in operational, its purpose is to investigate how
the conventions of language use relate to other aspects of
social behaviour (= sosiolinguistik adalah studi bahasa
dalam pelaksanaannya yang bermaksud mempelajari
bagaimana konvensi bahasa berhubungan dengan aspek-
aspek lain dari tingkah laku sosial).
G.E. Booij, J.G. Kerstens, H.J. Verkuyl (1975: 139)
mengatakan, Sociolinguistiek is subdiscipline van de
taalkunde, die bestudeert welke socialefactoren een rol
spelen in het taalgebruik er welke rol taal speelt in het
sociaal verkerr (= sosiolinguistik adalah cabang linguistik
yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam
pemakaian bahasa dan berperan dalam pergulan).
Sedangkan Rene Appel, Gerard Hubers, Greus Meijer
(1976: 10) mengatakan, Sociolinguistiek is de studie van
taal en taalgebruik in de kontext van maatschappij en
kultuur (= sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan). Nancy
Parrot Hickerson (1980: 81) mengatakan, Sociolingustiec
is a developing subvield of linguistics which takes speech
variation as its focus, viewing variation or its social
context. Sociolinguistics is concerned with the coration
between such social factor and linguistic variation. Yang
dimaksud dengan faktor-faktor sosial di sini adalah faktor
umur, kelamin, agama, perhatian, pekerjaan. Sosiolinguistik
merupakan perpaduan (= interdisipliner) antara linguistik
dan sosiologi. Dia memberikan tekanan paa hubungan
antara bahasa dan pemakaiannya (Lihat: Pateda, 1987: 2-3).

43
C. Perbedaan Sosiolinguistik dan Sosiologi Bahasa
Fishman (dalam Pateda, 1987: 2) beranggapan, bahwa
istilah sosiolinguistik dan sosiologi bahasa merupakan dua
hal yang berbeda. Sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif,
sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya,
sosiolinguistik mementingkan pemakainan bahasa oleh
individu-individu dalam konteks sosialnya, maka sosiologi
bahasa mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat
pelapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Istilah sosiologi bahasa sangat berkaitan dengan
sosiolinguistik. Bahkan banyak orang menganggap bahwa
keduanya sama. Namun jika diteliti, keduanya mempunyai
perbedaan. Perbedaan tersebut diungkapkan oleh Fishman,
pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam
kajian sosiolinguistik.Perbedaan sosiolinguistik dan
sosiologi bahasa adalah sebagai berikut:
1. Sosiolinguistik
a) Kajiannya bersifat kualitatif.
b) Penelitiannya dimasuki dari bidang linguistik.
c) Lebih berhubungan dengan perincian-perincian
penggunaan bahasa yang sebenarnya.
Contohnya: deskripsi pola-pola pemakain bahasa atau
dialek tertentu yang penutur, topik, dan latar pembicaraan
.2. Sosiologi Bahasa
a) Kajiannya bersifat kuantitatif.
b) Penelitiannya dimasuki dari bidang sosiologi.
c) Lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang
saling bertimbal balik dengan bahasa atau dialek.
Contohnya: perkembangan bilingualisme, perkembangan
pembakuan bahasa dan perencanaan bahasa di negara-
negara berkembang.Fishman dalam bukunya menggunakan

44
istilah sociolinguistics pada tahun 1970. Namun, pada tahun
1072 Fishman menggunakan nama Sociology of Language.
Jadi, sosiolinguistik dan sosiologi bahasa sangat berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan.

D. Posisi Sosiolinguistik dalam Studi Bahasa


Dalam buku Pengantar Sosiolinguistik (Aslinda dan
Syafyahya, 2010: 3-11) menjelaskan, bahwa linguistik
menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Bidang kajian
linguistik yang mempelajari struktur internal bahasa atau
hubungan bahasa dengan struktur bahasa itu sendiri dan
stuktur eksternal atau hubungan bahasa itu dengan faktor-
faktor di luar bahasa. Hal ini dibedakan atas linguistik
mikro dan linguistik makro.Linguistik mikro mengarahkan
kajiannya pada struktur internal bahasa. Secara internal,
kajian bahasa adalah pengkajian hanya dilakukan terhadap
struktur intern bahasa yang terdiri dari bidang fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi. Linguistik
makro mengarahkan kajiannya pada hubungan bahasa
dengan faktor-faktor di luar bahasa. Bahasa merupakan
fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari segala kegiatan
manusia bermasyarakat, sedangkan kegiatan itu sangat luas.
Oleh karena itu, cabang linguistik makro itupun menjadi
sangat banyak, diantaranya sosiolinguistik, psikolinguistik,
dan antropolinguistik.

1. Linguistik Mikro
Linguistik mikro memfokuskan kajiannya terhadap
struktur intern bahasa. Artinya, kajian bahasa hanya pada
struktur intern bahasa tanpa menghubungkan dengan
faktor-faktor ekstern bahasa tersebut. Kajian terhadap

45
struktur intern bahasa ini antara lain meliputi: bidang
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi.
a. Bidang Fonologi
Bidak kajian bahasa yang membicarakan stuktur bunyi
bahasa disebut dengan fonologi. Istilah fonologi berasal
dari kata phonology, yaitu gabungan kata phone dan logy.
Kata phone berarti ‘bunyi bahasa, baik berupa bunyi vokal
maupun bunyi konsonan’ sedangkan kata logy berarti ‘ilmu
pengetahuan, metode atau pikiran’ (Homdy, 1974: 627).
Dalam ilmu bahasa yang dimaksud fonologi adalah salah
satu cabang ilmu bahasa umum atau (linguistik) yang
mempelajari bunyi-bunyi bahasa, baik bahasa masyarakat
yang sudah maju/modern maupun bunyi-bunyi bahasa
masyarakat yang masih bersahaja/primitif dalam segala
aspeknya (Arifin, 1979: 1).
b. Bidang Morfologi
Morfologi membicarakan struktur intern kata. Morfologi
merupakan bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata
dan bagian-bagian kata, yakni morfem (Kridalaksana,
1993:142). Dalam morfologi, dibicarakan seluk beluk
morfem, bagaimana cara menentukan suatu bentuk adalah
morfem atau bukan,bagaimana morfem-morfem itu
berproses menjadi kata. Proses-proses yang membicarakan
kata dalam morfologi disebut dengan proses
morfemis/proses morfologis.Proses morfemis berkenaan
dengan proses afiksasi, reduplikasi, komposisi, konversi,
dan modifikasi (chaer, 1994: 1770). Proses-proses
morfemis tersebut tidak akan dibicarakan lebih lanjut pada
bab ini.
c. Bidang sintaksis
Sintaksis membicarakan hubungan kata dengan kata lain

46
atau unsur-unsur lain sebagai suatu satuan ujaran. Hal ini
sesuai dengan asal-usul kata sintaksis itu sendiri, yaitu
bahasa Yunani sun (dengan) dan tattein (menempatkan).
Jadi, secara etimologi sintaksis berarti menempatkan kata
secara bersama-sama menjadi kelompok kata atau kalimat
(Chaer, 1994: 206).d. Bidang Semantik
Semantik adalah ilmu yang membicarakan makna atau arti
suatu bahasa. Semantik merupakan salah satu komponen
dari tata bahasa (di samping sintaksis dan morfologi) juga
makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik.
e. Bidang Leksikologi
Dalam ilmu linguistik, istilah leksikologi berarti
perbendaharaan kata. Cabang linguistik yang
membicarakan leksikon disebut leksikologi. Leksikologi
disebut juga dengan ilmu kosa kata yaitu ilmu yang
mempelajari seluk-beluk kata, menyelidiki kosa kata suatu
bahasa, baik mengenai pemakaiannya maknanya, seperti
yang dipakai oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan,
juga dipelajari mengenai bentuk dan sejarahnya (Usman,
1979:1).

2. Linguistik Makro
Linguistik makro mengkaji hubungan bahasa dengan
faktor-faktor di luar bahasa. Dengan kata lain, linguistik
makro mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat
pemakai bahasa dari situasi penggunaan bahasa. Khusus
untuk linguistik makro, akan menitikberatkan kajian pada
subkategori sosiolinguistik.
a. Masalah-masalah Sosiolinguistik
Masalah dalam sosiolinguistik maksudnya adalah hal-hal
yang merupakan topik-topik yang dibahas/dikaji dalam

47
sosiolinguistik. Dalam konferensi sosiolinguistik pertama di
Universitas of California, dirumuskan tujuh masalah yang
dibicarakan dalam sosiolinguistik. Ketujuh masalah
tersebut adalah (Chaer dan Agustina, 1995: 7) 1)
Identitas sosial penutur;
2) Identitas sosial dari pendengar yang terlibat;
3) Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur;
4) Analisis sinkronik dan diakronik dai dialek-dialek
sosial;
5) Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap
perilaku bentuk-bentuk ujaran;
6) Tingkatan variasi dnaragam linguistik;
7) Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Di samping tujuh masalah sosiolinguistik tersebut, ada
masalah lain yang intinya hampir sama dengan masalah
tersebut. Adapun masalah/topik-topik dalam sosiolinguistik
tersebut dibicarakan oleh Nababan (1991: 4), yaitu:
1) Bahasa, dialek, idiolek, dan ragam bahasa;
2) Repertoir bahasa;
3) Masyarakat bahasa;
4) Kedwibahasaan dan kegandaan;
5) Fungsi masyarakat bahasa dan profil sosiolinguistik;
6) Penggunaan bahasa/etnografi berbahasa;
7) Sikap bahasa;
8) Perencanaan bahasa;
9) Interaksi sosiolingusitik;
10) Bahasa dan kebudayaan.

Berikut ini akan dikenalkan secara singkat tiap-tiap topik


tersebut.

48
· Bahasa, dialek, dan idiolek
Perbedaan ketiga istilah ini terdapat pada definisi masing-
masing. Jika yang dibicarakan bahasa seseorang atau ciri
khas yang dimiliki oleh seseorang individu dalam
menggunakan bahasa disebut idiolek. Idiolek seorang
individu akan berbeda-beda dengan idiolek individu lain.
Jika, idiolek-idiolek lain dapat digolongkan dalam satu
kumpulan kategori disebut dialek. Jadi, dialek itu
merupakan ciri khas sekelompok individu/masyarakat
dalam menggunakan bahasa.Dialek ini juga dibedakan atas
dua bagia, yaitu dialek geografi dan dialek sosial. Dialek
geografi adalah persamaan bahasa yang disebabkan oleh
letak geografi yang berdekatan sehingga memungkinkan
komunikasi yang sering di antara penutur-penutur idiolek
itu. Dialek sosial adalah persamaan yang disebabkan oleh
kedekatan sosial, yaitu penutur-penutur idiolek itu termasuk
dalam satu glongan masyarakat yang sama.Dalam kerangka
ini, bahasa termasuk dalam kategori kebahasaan yang tediri
dari dialek tiap-tiap penuturnya saling mengerti/Mutual
Inteligibility dan dianggap oleh penuturnya sebagai suatu
kelompok kebahasaan yang sama. Dengan kata lain, bahasa
terdiri dari dialek yang dimiliki oleh sekelompok penutur
tertentu yang sewaktu berkomunikasi satu sama lain dapat
saling mengerti.

· Verbal Repertoire
Istilah verbal repertoire diartikan sebagai kemampuan
berkomunikasi yang dimiliki oleh penutur. Artinya, penutur
mampu berkomunikasi dalam berbagai ragam bahasa
kepada pihak lainalam berbagai ujaran, maka akan semakin

49
luaslah verbal repertoire yang dimiliki oleh penutur
(Alwasilah, 1985: 68).

· Masyarakat Bahasa
Masyarakat bahasa adalah sekumpulan manusia yang
menggunakan sistem isyarat bahasa yang sama Bloomfield
(dalam Nababan, 1991: 5). Pengertian masyarakat bahasa
menurut Bloomfiled oleh para ahli sosiolinguistik dianggap
terlalu sempit karena setiap orang menguasai dan
menggunakan lebih dari satu bahasa.Corder (dalam
Alwasilah, 1985: 41) mengatakan, bahwa masyarakata
bahasa adalah sekelompok orang yang satu sama lain bisa
saling mengerti sewaktu mereka berbicara. Apabila dilihat
dari dua konsep ahli tersebut dapat dikatakan, bahwa
masyarakat bahasa itu dapat terjadi dalam sekelompok
orang yang menggunakan bahasa yang sama dana
sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang berbeda
dengan syarat di antara mereka terjadi saling pengertian.

· Kedwibahasaan/kegandaan
Kedwibahasaan artinya kemampuan/kebiasaan yang dimilik
oleh penutur dalam menggunakan bahasa. Banyak aspek
yang berhubungan dengan kajian kedwibahasaan, antara
lain aspek sosial, individu, pedagogis, dan psikologi. Di sisi
lain, kata kedwibahasaan ini mengandung dua konsep, yaitu
kemampuan mempergunakan dua bahasa/bilingualiatas dan
kebiiasaan memakai dua bahasa/ bilingualism. Dalam
bilingualitas, dibicarakan tingkat penguasaan bahasa dan
jenis keterampilan yang dikuasai, sedangkan dalam
bilingualism dibicarakan pola-pola penggunaan kedua
bahasa yang bersangkutan, seringnya dipergunakan setiap

50
bahasa, dan dalam lingkungan bahasa yang bagaimana
bahasa-bahasa itu dipergunakan.Di samping bilingualitas
dan bilingualism, dalam kedwibahasaan juga dibicarakan
masalah alih kode (code switching), campur kode (kode
mixing), interferensi dan integrasi. Perbedaan antara
keempat hal tersebut akan dibicarakan lebih lanjut pada bab
berikutnya.

· Fungsi kemasyarakatan dan kedudukan


kemasyarakatan bahasa adalah suatu topik yang pokok
dalam pembahasan sosiolinguistik
Bahasa adalah suatu topik yang pokok dalam pembahasan
sosiolinguistik. Bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu
dalam pergaulan di antara sesama anggota sesuai dengan
kelompok/suku bangsa. Sebagai contoh, bahasa Indonesia
dapat menjadi bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi
dan bahasa persatuan antarsuku bangsa. Begitu pula dengan
bahasa Minangkabau dapat menjadi bahasa daerah, bahasa
pengantar di tingkat sekolah dasar kelas satu dan dua,
bahasa resmi dalam acara adat-istiadat, dan lainnya.

· Penggunaan bahasa/etnografi berbahasa


Dalam penggunaan bahasa, penutur harus memerhatikan
unsur-unsur yang terdapat dalam tindak berbahasa dan
kaitannya dengan, atau pengaruhnya terhadap bentuk dan
pemilihan ragam bahasa. Dell Hymes, 1979 (dalam
Nababan, 1991: 7) mengatakan, bahwa dalam penggunaan
bahasa ada delapan unsur yang harus diperhatikan dalam
penggunaan bahasa. Kedelapan unsur tersebut disingkat
dengan akronim, SPEAKING (setting, participant, ends, act

51
sequences, key, instrumentalities, norm, dan genre). Berikut
ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai SPEAKING.
(1) Setting dan SceneSetting dan Scene berhubungan
dengan latar atau tempat peristiwa tutur terjadi. Tempat
peristiwa tutur berkaitan dengan where dan when (waktu
bicara dan suasana, kapan dan suasana yang tepat untuk
menggunakan tuturan).
(2) ParticipantParticipant adalah alat penafsir yang
menanyakan siapa saja pengguna bahasa (penutur, mitra
tutur, dan pendengar).
(3) EndKomponen tutur end mengacu pada maksud dan
tujuan yang ingin dicapai dalam aktivitas berbiacara.(4)
Act SequenceKomponen tutur art squence berhubungan
dengan bentuk dan isi suatu tuturan.
(5) KeyKomponen tutur key berhubungan dengan manner,
nada suara, sikap atau cara berbicara.
(6) Instrumentalis
Instrumentalis berhubungan dengan channel/saluran dan
bentuk bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan.
(7) NormKomponen tutur Norm berhubungan dengan
kaidah-kaidah tingkah laku dalam interaksi dan interpretasi
komunikasi. Norm interaksi dicerminkan oleh tingkat sosial
atau hubungan sosial yang umum dalam sekelompok
masyarakat.
(8) GenreGenre merupakan kategori yang dapat
ditentukan lewat bentuk bahasa yang digunakan.

· Sikap bahasa
Sikap bahasa dikaitkan dengan motivasi belajar suatu
bahasa. Pada hakikatnya, sikap bahasa adalah kesopanan
bereaksi terhadap suatu keadaan. Dengan demikian, sikap

52
bahasa menunjuk pada sikap mental dan sikap perilaku
dalam berbahasa. Sikap bahasa dapat diamati antara lain
melalui perilaku berbahasa atau perilaku bertutur.

· Perencanaan bahasa
Perencanaan bahasa berhubungan dengan proses
pengembangan bahasa, pembinaan bahasa, dan politik
bahasa. Perencanaan bahasa disusun setelah dan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh
kebijaksanaan bahasa. Perencaan bahasa harus meliputi dua
aspek pokok, yaitu pokok yang berhubungan dengan materi
bahasa atau korpusvatau kode (Suwito, 1982: 66).

· Interaksi sosiolingustik
Dalam interaksi sosiolinguistik, dibicarakan tentang
kemampuan komunikatif penutur. Di samping itu,
dibicarakan juga makna yang sebenarnya dari unsur-unsur
kebahasaan karena satu kata/bahasa dapat memiliki makna
ganda. Artinya, makna satu kata/bahasa bergantung pula
pada konteks pemakaiannya. Contohnya, dalam bahasa
Minangkabau, kata banak memiliki makna yang berbeda
dalam konteks yang berbeda.
1. Jika kata banak diucapkan oleh seorang pelanggan
masuk rumah makan Minangkabau dengan ujaran, Lai
banak Pak artinya ‘Ada gulai otak Pak?’.
2. Jika kata banak diucapkan oleh seorang ibu memarahi
anaknya; Lai banak ang ndak? Artinya, ‘Kamu punya otak
apa tidak?.

· Bahasa dan budaya


Dalam sub topik ini, dibicarakan hubungan antara bahasa

53
sebagai unsur budaya dan kebudayaan umum. Bahasa
sangat memengaruhi oleh kebudayaan, segala hal yang ada
dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.Bahasa
merupakan suatu sistem vokal simbol yang bebas yang
dipergunakan oleh anggota masyarakat untuk berinteraksi.
Bahasa dapat dikaji dari dua aspek, yaitu hakekat dan
fungsinya (Nababan, 1991: 46). Menurut Nababan secara
garis besarnya hakekat bahasa membicarakan sistem suatu
unsur bahasa, sedangkan bahasa yang paling mendasar
ialah untuk komunikasi. Dengan berkomunikasi akan
terjadi suatu sistem sosial atau masyarakat, tanpa
komunikasi tidak ada masyarakat. Masyarakat atau sistem
sosial manusia berdasarkan dan bergantung pada
komunikasi kebahasaan, tanpa bahasa tidak ada sistem
kemasyarakatan manusia dan akan lenyaplah
kemanusiaan.Berbicara masalah masyarakat, tidak terlepas
dari masalah kebudayaan. Kebudayaan memiliki berbagai
definisi bergantung pada sudut pandang pembuat definisi
itu sendiri. Kroeber dan Kluckhohn (dalam Nababan,
1991: 49) mengumpulkan definisi kebudayaan dari
beberapa ahli antropologi dan membaginya atas enam
golongan, yaitu:
1. Deskriptif (yang menekankan unsur-unsur
kebudayaan);
2. Historis (yang menekankan bahwa kebudayaan itu
diwarisi secara kemasyarakatan);
3. Normatif (yang menekankan hakikat kebudayaan
sebagai aturan hidup dan tingkah laku);
4. Psikologis (yang menekankan kegunaan kebudayaan
dalam penyesuaian diri pada lingkungan);
5. Struktural (yang menekankan sifat kebudayaan

54
sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur); serta
6. Genetis (yang menekankan terjadinya kebudayaan
sebagai hasil karya manusia).
Di sisi lain, Ohoiuwutun (2002: 77) mengatakan
kebudayaan itu mencakup seluruh perbuatan manusia.
Bahasa dan kebudayaan selalu terealisasi secara tumpang
tindih. Pengaruh timbal balik antara bahasa dan kebudayaan
dapat dilihat dalam belajar bahasa kedua atau bahasa asing.
Pola-pola komunikasinya yang dipengaruhi oleh
kebudayaan jelas dapat ditelusuri melalui pengamatan
terhadap kecenderungan–kecenderungan berbahasa
(Ohoiwutun, 2002: 79). Berdasarkan penjelasan tersebut,
dapat dikatakan eratnya hubungan antara bahasa dan
kebudayaan. Melalui bahasa seorang atau masyarakat kita
dapat mengetahui kebudayaan orang atau masyarakat
tersebut.

Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa


sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada
manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk
lambang atau memberi nama guna menandai setiap
kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu
semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh
warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup
sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang
terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain,
budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut
menentukan wajah dari bahasa itu.

Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan


language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda,

55
sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab
dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut,
masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan
pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan
yang mempunyai aspek yang sangat

luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah


didefinisikan. Seperti yang diungkapkan oleh para ahli:
1. menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah
sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang
digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal
untuk kerjasama dan saling berhubungan.
2. Menurut Chomsky language is a set of sentences, each
finite length and contructed out of a finite set of elements.
3. Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara
anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia.

Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang


dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang
dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-
konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaaan dan
penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan
tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda
Thomas dan Shan Wareing dalam bukunya Bahasa,
Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam
menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai
cara sistematis untuk mengabungkan unit-unit kecil
menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan
komunikasi. Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-
bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai

56
dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir
leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat
struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis
dalam bahasa.

Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan


secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan
tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung
makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman
nyata manusia.

PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana
disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya
Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri
dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki
bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.
Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss
memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari
simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama,
yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.

Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia


Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa
mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa
saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehngga
dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang
berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu
merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus
dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena
itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang

57
untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.

Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai


fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih
banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai
anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang
terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi
sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.

Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO


seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan
kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari
elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi,
kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang
memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan
dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan
membangun potensi kreatif mereka.

Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya


dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul
Chaer yaitu:
1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada
unsur-unsur kebudayaan.
2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa
kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan
hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah
laku.
4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada

58
kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada
lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat
kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya
kebudayaan sebagai hasil karya manusia.

Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang


dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para
anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan
bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan
tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan
kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan
manusia, baik itu berupa produk material atau non material.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang


terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-
kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan
dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan
suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang,
kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara
damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam
khasanah budaya nasional.

HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA

Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan


kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan

59
bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang
berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat,
sehingga tidak dapat dipisahkan.

Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi


kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam
kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya,
ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat
dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau
masyarakat penuturnya.

Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul


Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa
bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara
bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang
subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup
kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang
koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi.

Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan


kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada
manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang
mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka
kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai
sarana berlangsungnya interaksi itu.

Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti


anak kembar siam, du buah fenomena sangat erat sekali

60
bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem
kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.

FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA


Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam
diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa,
tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona.
Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di
dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana,
makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh
berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda
yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya
ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari
konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh
budaya.

Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa


bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka
analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja,
tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11
Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk
kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa
dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan
dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata
iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish.
Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai
lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu
dan tempe sering juga disebut iwak.

Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu

61
adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai
kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi
sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk
menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata
rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain
berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau
padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya
Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain
yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada
kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).

Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara


(orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis
kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia
membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut
kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother
dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa
juga berarti adik.

62
DAFTAR PUSTAKA

Aslindgf.2007.Variasi bahasa.http://larasati-
cadiva.blogspot.com/2010/04/variasibahasa.html. diakses
10 April 2011.
Bloomfield, Leonard. 1995. Language (diterjemahkan oleh
I. Sutikno). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown, Pnelope and Colin Fraser. 1979. Speech as a
Marker of Situation, In Klaus R. Schere and Howard Giles,
end, Social Markeus in Speech. Cambridge:Cambridge
University Press.
Chaer, Abdul dkk. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Kartomihardjo, Soesono. 1998. Bahasa Cermin Kehidupan
Masyarakat. Jakarta: Depdikbud
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Awal
Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Kridalaksana, Harimurti.1998. Introduction to Word
Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas
Indonesia.
Nababan, P.J.W. 1991.Sosiolinguistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Penny, Ralph. 2011. Variation and Change in Spanish.
United Kingdom: Cambridge University Press
Samsuri, 1994. Analsis Bahasa Memahami Bahasa Secara
Alamiah. Jakarta:Erlangga

63
Saussure, de Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik
Umum. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univerty
Press.
Suandi, I Nengah. 1996. Pemakaian Tingkat Tutur Bahasa
Bali Alus Kaum Remaja di Kota Singaraja. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Sabda. Supendi, Ketut Ayu. 2007. Kosakata yang
Punah Oleh Modernisasi dalam Sistem Pertanian
Tradisional : Khususnya Pertanian Padi di Desa Busungbiu
Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng. Skripsi:tidak
diterbitkan. Singaraja : IKIP Singaraja.
Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction Sosiolinguistik
Third Editor. Oxford: Basil Blackwell Ltd.

64
PANDANGAN SOSIOLINGUISTIK
TERHADAP BAHASA

KELOMPOK II :
1. WINDA WIDYA NINGSIH. B. (217 502 006)
2. MEGA PUTRI (217 502 033)
3. ASNI (217 502 009)
4. NURUL ASMA (217 502 024)
5. IKA ASRIANTI PUSPITASARI (217 502 004)
6. HASWITA (217 502 039)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAKIDENDE
KONAWE
2019

65
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan buku yang berjudul “Variasi
Bahasa” ini sesuai dengan waktu yang ditentukan. Buku ini
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah
“Sosiolinguistik” yang diampuh oleh Ibu Hartati,
S.Pd.,M.Pd.
Rasa terima kasih penulis kepada semua teman-teman
yang telah memberikan banyak masukan serta saran yang
sangat bermanfaat dalam proses penyelesaian buku ini.
Penulis berharap agar buku ini memberi banyak
manfaat serta menambah pengetahuani para pembaca.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih
banyak kekurangan dan kekeliruan sehingga membutuhkan
kritik dan masukan dari berbagai pihak

Unaaha, 08 Mei 2019

Penulis

ii
66
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN .......................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................... iii
1. Pandangan linguistik terhadap bahasa ........................ 1
2. Pandangan sosiologi terhadap bahasa ......................... 31
3. Pandangan sosiolinguistik terhadap bahasa ................ 39
Daftar Pustaka ................................................................. 64

67iii

Anda mungkin juga menyukai