Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Makan

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai

jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan

merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan juga

dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau sekelompok orang atau keluarga memilih

makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan

sosial (Suhardjo, 1989).

Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber zat

pembangun dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk

pertumbuhan dan pemiliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktifitas

kerja, serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola

makan sehari-hari yang seimbang dan aman, berguna untuk mencapai dan

mempertahankan status gizi dan kesehatan yang optimal (Almatsier, S. dkk. 2011).

Pola makan di suatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan

beberapa faktor ataupun kondisi setempat, yang dapat dibagi dalam tiga kelompok

yaitu pertama adalah faktor yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan

bahan pangan. Termasuk di sini faktor geografi, iklim, kesuburan tanah berkaitan

dengan produksi bahan makanan, sumber daya perairan, kemajuan teknologi,

transportasi, distribusi, dan persediaan suatu daerah. Kedua, adalah faktor-faktor dan

adat kebiasaan yang berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio-ekonomi dan adat

Universitas Sumatera Utara


kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi penduduk.

Ketiga, hal yang dapat berpengaruh di sini adalah bantuan atau subsidi terhadap

bahan-bahan tertentu (Santoso dan Ranti, 2004).

Pola makan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah : kebiasaan

kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak

zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa

lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang

kemakmuran, kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas

bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi

(Santoso dan Ranti, 2004).

Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu.

Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah

pangan mereka sehari-hari. Termasuk dalam sumber pengetahuan dalam memilih dan

mengolah pangan adalah : sistem sosial keluarga secara turun temurun, proses

sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan media massa. Kedua, aspek aset

dan akses masyarakat terhadap pangan mereka sehari-hari. Unsur aset dan akses

terhadap pangan adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat

dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman pangan dan atau

sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan atau natura (uang). Ketiga,

pengaruh tokoh panutan atau yang berpengaruh. Pengaruh tokoh panutan terutama

berkenaan dengan hubungan bapak anak, jika keluarga yang memperoleh pangan atau

nafkah berupa uang kontan melalui usaha tani majikan (Santoso dan Ranti, 2004).

Universitas Sumatera Utara


Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan sangat

mempengaruhi kebiasaan makan, selera, dan daya terima anak akan suatu makanan.

Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup terutama keluarga perlu pembiasaan

makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi (Santoso dan Ranti, 2004).

2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan

1. Pengetahuan ibu mengenai makanan yang bergizi

Bila pengetahuan tentang bahan makanan yang bergizi masih kurang maka

pemberian makanan untuk keluarga biasa dipilih bahan-bahan makanan yang hanya

dapat mengenyangkan perut saja tanpa memikirkan apakah makanan itu bergizi atau

tidak, sehingga kebutuhan gizi energi dan zat gizi masyarakat dan anggota keluarga

tidak tercukupi. Menurut Suhardjo (1989), bila ibu rumah tangga memiliki

pengetahuan gizi yang baik ia akan mampu untuk memilih makanan-makanan yang

bergizi untuk dikonsumsi.

2. Pendidikan ibu

Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anaknya.

Pendidikan ibu sangat menentukan dalam pilihan makanan dan jenis makanan yang

dikonsumsi oleh anak dan anggota keluarganya lainnya.

Pendidikan gizi ibu bertujuan meningkatkan penggunaan sumber daya

makanan yang tersedia. Hal ini dapat diasumsikan bahwa tingkat kecukupan zat gizi

pada anak tinggi bila pendidikan ibu tinggi (Depkes RI, 2000).

Universitas Sumatera Utara


3. Pendapatan Keluarga

Pendapatan salah satu faktor dalam menentukan kualitas dan kuantitas

makanan.Tingkat pendapatan ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli dengan

tambahan uang tersebut. Orang miskin membelanjakan sebagian pendapatan

tambahan untuk makanan sedangkan orang kaya jauh lebih rendah (Agoes, 2003).

4. Jumlah Anggota Keluarga

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo

(2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan

kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin

besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan

pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia

untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya

setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah

timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.

Harper (1988), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi

pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan

lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga

dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi

pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang. Menurut

Hurlock 1998 dalam Gabriel 2008, jumlah anggota keluarga dikelompokkan menjadi

tiga yaitu (1) kelompok kecil 3-4 orang, (2) kelompok sedang 5-6 orang dan

kelompok besar 7-9 orang.

Universitas Sumatera Utara


Menurut penelitian yang dilakukan Nadaek (2011) di Kelurahan Pekan Dolok

Masihul, yang meneliti gambaran pola makan dan status gizi anak balita berdasarkan

karakteristik keluarga menunjukkan bahwa pola makan anak balita yang baik

berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein ditemukan pada keluarga kecil

(≤4 orang), pendapatan keluarga tinggi dan pengetahuan gizi ibu baik, sementara pola

makan anak balita yang kurang ditemukan pada keluarga besar (≥7 orang) dan

pengetahuan gizi ibu kurang. Demikian juga pada anak balita yang mempunyai status

gizi normal ditemukan pada keluarga kecil (≤4 orang), pendapatan keluarga tinggi

dan pengetahuan gizi ibu baik. Sementara anak balita yang gizi kurang, pendek dan

kurus ditemukan pada keluarga besar (≥7 orang) dan pengetahuan gizi ibu kurang.

Anak balita yang memiliki status gizi normal ditemukan pada keluarga yang

konsumsi energi dan protein baik. Sementara gizi kurang, pendek dan kurus pada

konsumsi energi dan protein keluarga kurang.

2.3 Pola Makan Balita

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang paling baik bagi bayi dan balita

hingga berumur dua tahun, dan dianjurkan memberikan secara ekslusif selama enam

bulan pertama. Secara berangsur sesudah berusia enam bulan bayi diberikan makanan

lumat, makanan lembek dan makanan biasa guna untuk mengembangkan kemampuan

mengunyah, menelan serta menerima bermacam-macam makanan dengan berbagai

tekstur dan rasa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat-zat gizi

dibutuhkan. Pemberian makanan hendaknya disesuaikan dengan perkembangan

Universitas Sumatera Utara


balita, makanan hendaknya dipilih dengan baik yaitu mudah dicerna, diabsorpsi dan

dimetabolisme.

Makanan akan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mental

balita, oleh karena itu makanan yang diberikan harus memenuhi kebutuhan gizi

balita. Balita dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya ditentukan oleh

makanan yang dimakan sehari-hari, untuk tumbuh optimal membutuhkan asupan

makanan yang baik yaitu beragam, jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang

(Depkes RI,2002).

Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita Menurut Kecukupan Energi

Waktu Pembagian Makanan Sehari Balita


Total
Menurut Kecukupan Energi
Umur Balita Energi
Selingan Selingan
(kkal) Pagi Siang Sore
Pagi (Siang)
0-6 bulan 550
6-8 bulan 650 84 - 97 - 28
9-11 bulan 900 122 36 123 25 143
12 bulan 1100 144 50 218 126 253
1-3 tahun 1300 221 149 261 87 235
4-6 tahun 1550 318,75 125 06,25 325 375
Sumber : Soekirman, dkk 2010

Faktor-faktor yang perlu di perhatikan untuk pengaturan makan yang tepat

adalah umur, berat badan, keadaan mulut sebagai alat penerima makanan, kebiasaan

makan, kesukaan dan ketidaksukaan, akseptabilitas dari makanan dan toleransi anak

terhadap makanan yang diberikan.

Dengan memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor tersebut diatas

umumnya tidak akan terjadi kekeliruan dalam mengatur makanan untuk balita. Pada

Universitas Sumatera Utara


umumnya kepada anak balita telah dapat diberikan jadwal waktu makan yang berupa

tiga kali makan dan diantaranya dua kali makanan selingan.

2.4 Kebutuhan Zat Gizi Pada Balita

Kebutuhan gizi balita diberikan harus disesuaikan dengan umur, jenis

kelamin, berat badan, aktivitas, jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang. Guna

untuk pemeliharaan, pemulihan, pertumbuhan dan perkembangan. Karena balita

sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang pesat (Uripi, 2004).

Kebutuhan energi protein balita berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata

perhari yang dianjurkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :

Tabel 2.2 Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita Berdasarkan


Angka Kecukupan Gizi Anjuran (AKG) Rata-Rata Per Hari

Berat Tinggi Energi Protein


No Kelompok Umur
Badan (kg) Badan (kg) (kkal) (kkal)
1 0-6 bulan 6,0 60 550 10
2 7-11 bulan 8,5 71 650 16
3 1-3 tahun 12,0 90 1000 25
4 4-6 tahun 18,0 110 1550 39
Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi, 2004

2.4.1 Energi

Energi dibutuhkan oleh tubuh yang berasal dari zat gizi yang merupakan

sumber utama yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Energi yang diperlukan tubuh ini

dinyatakan dalam satuan kalori. Setiap 1 (satu) gram karbohidrat menghasilkan 4

kalori, 1 (satu) gram lemak menghasilkan 9 kalori dan 1 (satu) gram protein

Universitas Sumatera Utara


menghasilkan 4 kalori. Energi yang diperlukan tubuh dapat dibagi menjadi 3 (tiga)

yaitu : (1) Energi untuk kebutuhan fisiologis minimal tubuh dalam keadaan basal,

(2) Energi untuk melakukan kerja luar yaitu energi yang dibutuhkan untuk melakukan

kegiatan atau aktivitas fisik, (3) Energi untuk menutup pengaruh makanan yaitu

banyaknya energi yang digunakan untuk mencerna atau mengangkut makanan dalam

tubuh.

Kebutuhan energi balita sehat dapat dihitung berdasarkan usia dan berat

badan. Kebutuhan energi dalam sehari pada balita usia 1-3 tahun adalah 100 kalori

per kilogram berat badan, sedangkan pada anak prasekolah kebutuhan energi dalam

sehari 4-6 tahun adalah 90 kalori per kilogram berat badan (Sulistijiani,dkk 2001).

2.4.2 Protein

Protein merupakan bahan pembentuk dasar struktur sel tubuh. Protein

merupakan bagian kedua terbesar tubuh setelah air. Protein juga merupakan bagian

penting dari bahan-bahan pengatur seperti enzim, hormon, dan plasma darah.

Jaringan ini harus senantiasa diganti dan diperbaiki. Protein fungsi utamanya adalah

membentuk jaringan baru dan memperbaiki jaringan yang rusak. Pada anak balita

yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan lebih banyak

protein, sedangkan pada orang dewasa hanya untuk memelihara jaringan. Jadi bila

protein makanan melebihi jumlah yang diperlukan untuk pembangunan dan

pemeliharaan, protein digunakan sebagai zat energi, bila zat energi utama berupa

karbohidrat dan lemak kurang dalam makanan sehari-hari (Almatsier, S. dkk, 2011).

Balita yang sedang dalam masa pertumbuhan secara fisiologis kebutuhan

protein relatif lebih besar dari pada orang dewasa. Menurut Persagi (1992),

Universitas Sumatera Utara


kebutuhan protein balita sehat (1-3 tahun) dalam sehari 2,5 gram per kilogram berat

badan sedangkan pada balita sehat pra sekolah (>3-4 tahun) dalam sehari 2 gram per

kilogram berat badan.

2.5 Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok

orang yang diakibatkan oleh konsumsi dan penyerapan zat besi makanan. Dengan

menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah

seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak (Riyadi,

2001).

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi

di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara

efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat

setinggi mungkin (Almatsier, S. 2001).

2.5.1 Penilaian Status Gizi

Menurut Gibson (1998) diikuti oleh Almatsier, S. dkk (2011), penilaian status

gizi adalah upaya menginterpretasikan semua informasi yang diperoleh melalui

penilaian antropometri, konsumsi makanan, biokimia, dan klinik yang berguna untuk

menetapkan status kesehatan perorangan atau kelompok orang yang dipengaruhi oleh

konsumsi dan utilisasi zat-zat gizi.

Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian

secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dengan metode

Universitas Sumatera Utara


antropometri sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dengan metode

survei konsumsi makanan.

1. Penilaian Secara Langsung dengan Metode Antropometri

Menurut Jellife dalam Gibson (1990) Penilaian antropometri adalah

pengukuran variasi dari dimensi fisik dan komposisi kasar tubuh manusia pada

tingkat usia dan status gizi yang berbeda. Sedangkan menurut Lee dan Nieman

(2007) Penilaian antropometri adalah pengukuran besar tubuh, berat badan, dan

proporsi. Hasil yang diperoleh dari antropometri dapat merupakan indikator sensitif

dari kesehatan, perkembangan, dan pertumbuhan bayi dan anak, dapat digunakan

untuk mengevaluasi status gizi apakah berupa obesitas yang disebabkan oleh gizi

lebih atau kurus yang disebabkan kurang energi protein (KEP).

Penilaian antropometri dilakukan melalui pengukuran dimensi fisik dan

komposisi kasar tubuh. Penilaian dilakukan terhadap berat badan (BB), panjang

badan (PB) atau tinggi badan (TB), lingkar kepala, lingkar lengan atas (LLA atau

LILA) dan tebal lemak kulit (Almatsier, S. dkk, 2011)

Untuk menilai status gizi balita dengan menggunakan beberapa indeks

penilaian yaitu berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut panjang

badan atau tinggi badan (BB/PB atau BB/TB), panjang badan atau tinggi badan

menurut Umur (PB/U atau TB/U), dan indeks yang baru diperkenalkan oleh WHO

(2005) yaitu indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Dalam menggunakan

semua indeks tersebut, dianjurkan menggunakan perhitungan dengan Z-sore

(menggunakan nilai median sebagai nilai normalnya). Interpretasi berbagai indikator

pertumbuhan tersebut dapat di lihat pada Tabel.2.3

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3 Baku Antropometri Menurut Standar WHO 2005
Indikator Status Gizi Keterangan
Berat Badan Status Gizi Baik - 2 SD sampai 2 SD
menurut Umur (BB/U) Status Gizi Kurang - 3 SD sampai < -2 SD
Status Gizi Sangat Kurang < - 3 SD
Status Gizi Lebih >2 SD

Panjang Badan menurut Normal - 2 SD sampai 2 SD


Umur (PB/U) atau Tinggi Pendek - 3 SD sampai <-2 SD
Badan menurut Umur Sangat Pendek < - 3 SD
(TB) Tinggi >2 SD

Berat Badan Sangat gemuk > 3 SD


menurut Panjang Badan Gemuk > 2 SD sampai 3 SD
atau Berat Badan menurut Risiko gemuk > 1 SD sampai 2 SD
Tinggi Badan (BB/TB) Normal - 2 SD sampai 2 SD
Kurus - 3 SD sampai < -2 SD
Sangat Kurus < - 3 SD
Sumber : Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, 2012

a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U)

Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator

dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake

dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh

(otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang

mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah

makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang. Berat

badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi

seseorang saat ini (Current Nutritional Status) (Supariasa, dkk, 2001).

Universitas Sumatera Utara


b). Indeks panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB-TB/U)

Indeks TB/U disamping memberikan status gizi masa lampau, juga lebih erat

kaitannya dengan status ekonomi (Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa, dkk.

(2001).

c). Indeks berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan (BB/PB-TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam

keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi

badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa, dkk., 2001).

Serbagai indeks antropometri, untuk menginterpretasinya dibutuhkan ambang

batas. Penentuan ambang batas yang paling umum digunakan saat ini adalah dengan

memakai standar deviasi unit (SD) atau disebut juga Z-Skor.

Rumus perhitungan Z-Skor adalah :

Z-Skor = Nilai individu subyek-Nilai median Baku Rujukan

Nilai Simpang Baku Rujukan

2. Penilaian Secara Tidak Langsung dengan Metode Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak

langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode survei

konsumsi makanan untuk individu antara lain :

a). Metode recall 24 jam

b). Metode frekuensi makanan (food frequency).

Universitas Sumatera Utara


2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut Unicef (1998) gizi kurang pada anak balita disebabkan oleh beberapa

faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, penyebab tidak

langsung, pokok masalah dan akar masalah.

Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangya konsumsi makanan

dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula

kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis

pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan

secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat,

dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier, 2001).

Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga

karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering

diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak

yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah,

sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah

terkena gizi kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat interaksi antara

konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling

mempengaruhi.

Menurut Schaible & Kauffman (2007) hubungan antara kurang gizi dengan

penyakit infeksi tergantung dari besarnya dampak yang ditimbulkan oleh sejumlah

infeksi terhadap status gizi itu sendiri. Penyakit infeksi bisa berkontribusi terhadap

kurang gizi seperti infeksi pencernaan dapat menyebabkan diare, tuberculosis, dan

beberapa penyakit infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan anemia dan parasit pada

Universitas Sumatera Utara


usus dapat menyebabkan anemia. Penyakit Infeksi disebabkan oleh kurangnya

sanitasi dan bersih, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan pola asuh

anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000).

Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya

ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya

sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga

faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga

serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan,

ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak terkena

penyakit dan kekurangan gizi (Unicef, 1998) Sedangkan penyebab mendasar atau

akar masalah gizi di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk

bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan

adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita

(Soekirman, 2000).

Universitas Sumatera Utara


Dampak Gizi Kurang

Penyebab Makanan Tidak Seimbang Penyakit Infeksi


Langsung

Sanitasi dan air


Penyebab Tidak cukup bersih/pelayanan kesehatan
Pola asuh anak
Tidak persediaan pangan tidak memadai
dasar tidak memadai
langsung

Kurang pendidikan, pengetahuan dan keterampilan

Pokok Kurang pemberdayaan wanita, keluarga, kurang


Masalah di pemanfaatan sumber daya masyarakat

Masyarakat

Penganggur,inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Krisis
Akar Masalah ekonomi,politik
dan sosial

Gambar 2.1 Skema Terjadinya Gizi Kurang

Universitas Sumatera Utara


2.7 Kerangka Konsep

Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka

kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Pengetahuan Gizi Ibu Pola Makan Balita Tingkat Konsumsi

Energi dan Protein

Pola Penyakit Status Gizi Balita

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Pengetahuan gizi ibu, pola makan, tingkat konsumsi energi, protein dan pola

penyakit dapat mempengaruhi status gizi balita.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai